Você está na página 1de 25

REFERAT DEPARTMENT OBSGYN

Kepaniteraan Klinik Desember 2016

REFERAT
ADENOMIOSIS

PENULIS :
Putri Yulia Habsari (2012730078)

PEMBIMBING :
Dr. Eddy Purwanta, Sp. OG

Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah


Jakarta
STASE OBSTETRI GINEKOLOGI RSIJ CEMPAKA PUTIH

1
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL.................................................................................................................

DAFTAR GAMBAR............................................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................................

BAB II. PEMBAHASAN.....................................................................................................


2.1 Definisi.........................................................................................................................
2.2 Epidemiologi...............................................................................................................
2.3 Faktor Risiko..............................................................................................................
2.4 Histologi......................................................................................................................
2.5 Patofisiologi...............................................................................................................
2.5.1 Anatomi...10

2.5.2 Patologi Anatomi........10

2.6 Diagnosis..17

2.7 Gambaran Klinis.........20

2.8 Diagnosis Banding.......22

2.9 Penatalaksanaan..........21

BAB III. KESIMPULAN..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................

2
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Presentasi klinis adenomiosis 21

3
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gross bivalved uterine specimen.


Gambar 2.2 Microscopically benign endometrial glands
Gambar 2.3 Skematis mekanisme pertumbuhan adenomiosis yang estrogen-
dependent. Gambar 2.4 Skema patofisiologi endometriosis dan adenomiosis

4
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

BAB I
PENDAHULUAN

Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna, merupakan


kelainan jinak uterus yang ditandai oleh adanya komponen epitel dan stroma jaringan
endometrium fungsional di miometrium.1,2 Istilah adenomiosis diperkenalkan pertama
kali oleh Frankl (1925) dua tahun sebelum istilah endometriosis diperkenalkan oleh
Sampson (1927).2,3

Gambaran cystosarcoma adenoids uterinum (istilah awal adenomiosis)


pertama kali dilaporkan oleh patolog Carl von Rokitansky (1860).2,3,4 Pada tahun
1896, von Recklinghausen melaporkan fenomena yang sama dengan istilah
adenomyomata dan cystadenomata.2 Pada masa itu, patomekanisme adenomiosis dan
endometriosis masih dianggap berbeda.3 Thomas Stephen Cullen (1908) menemukan
tumor intramiometrial dengan epitel dan stroma endometrial terdistribusi di dalamnya.
Tahun 1921 barulah disadari bahwa adenomiosis dan endometriosiskeduanya
berasal dari jaringan endometriotik serupa.2,3

Tahun 1972, Bird et al. mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi


jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan
pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma
endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik
dan hiperplastik.2,3,4 Belakangan diketahui ada adenomiosis yang bermanifestasi
sebagai lesi fokal terisolasi dalam miometrium.1

Pada awal tahun 1988, Honor et al. mempublikasikan kasus adenomiosis


pada tiga wanita muda infertil yang menjalani pembedahan dengan diagnosis awal
leiomioma uteri.4 Memang, telah lama dicurigai adenomiosis berperan sebagai salah
satu penyebab subfertilitas bahkan infertilitas pada populasi wanita. Hanya saja
diagnosis adenomiosis saat itu masih berdasarkan spesimen histerektomi sehingga
sangat sulit mengevaluasi pengaruhnya terhadap fertilitas.4
Kini, pada wanita muda tanpa gejala sekalipun magnetic resonance imaging
(MRI) memungkinkan identifikasi penebalan junctional zone (JZ), tautan antara

5
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

endometrium dengan sisi dalam miometrium. JZ mengalami penebalan signifikan


pada adenomiosis.4Transvaginal sonography(TVS) memungkinkan identifikasi
adenomiosis itu sendiri.4,5,6 Kedua teknik noninvasif tersebut cukup akurat dalam
mendiagnosis adenomiosis preoperatif.4

6
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi & Klasifikasi

Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak


jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran
uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik
non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.2,3,4
Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi. Adenomiosis
adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang lokasi di
kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ seringkali
ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis
minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi miometrial di
sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus
adenomiotik tidak lebih dari 25% total ketebalan miometrium.2
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori
berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal, lapisan dalam
dan lapisan permukaan.7
Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis sederhana
berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama, hiperplasia JZ sederhana,
ketebalan JZ 8 mm tetapi 12 mm pada wanita berusia 35 tahun. Kedua,
adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ 12 mm, fokus miometrial berintensitas
sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium <, < atau >. Dan
ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal
rendah pada semua sekuens MRI.4
Secara tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan ketika
ditemukannya kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah endomyometrial
junction. Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut adenomiosis jika jarak
antara batas bawah endometrium dengan daerah miometrium yang terkena + 2,5 mm.

7
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

Adenomiosis sub-basalis diartikan sebagai invasi minimal kelenjar endometrium < 2


mm di bawah stratum basalis endometrium.
Menurut Hendrickson & Kempson, disebut adenomiosis jika lebih dari
sepertiga total ketebalan dinding uterus yang terkena. Sedangkan Ferenczy tetap
mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis adenomiosis jika jarak antara
endomyometrial junction dengan fokal adenomiosis terdekat > 25% total ketebalan
miometrium.
Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan kedalaman
penetrasi ke dalam miometrium, yaitu:

Derajat 1, mengenai 1/3 miometrium (Adenomiosis superfisial)

Derajat 2, mengenai 2/3 miometrium

Derajat 3, mengenai seluruh miometrium (Deep adenomyosis)

Selanjutnya adenomiosis juga dibagi berdasarkan jumlah pulau-pulau


endometrium pada pemeriksaan histologi menjadi ringan (1-3), sedang (4-9) & berat
(>10).

2.2 Epidemiologi

Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain


dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostik
yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% . 8 Studi di
Nepal oleh Shrestha et al. (2012) melaporkan insidens 23,4% pada 256 spesimen
histerektomi.5 Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh Parazzini et al. (1997)
melaporkan insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita yang menjalani
histerektomi atas berbagai indikasi.10 Meskipun insidensnya lumayan tinggi, tetapi
studi epidemiologi seputar adenomiosis masih sangat jarang.4,10
Telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa perkembangan teknologi
memungkinkan diagnosis adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi hubungannya
dengan infertilitas dapat dilakukan. De Souza et al. melaporkan insidens 54%
hiperplasia JZ pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan dismenore. Bukti
lain melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi adenomiosis dengan

8
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al. (2010) melibatkan 152
pasien in vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ uterus yang
diukur dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi, dilaporkan bahwa peningkatan
ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan kegagalan implantasi pada IVF.
Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8% pasien dengan JZ 7-10 mm versus 37,5%
pada subjek lain.4

2.3 Faktor Risiko

Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain
usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium, riwayat abortus
spontan, dan polimenore.10 Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali,
riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas,
menopause, panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD
dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.2,10
Paritas dan usia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk adenomiosis.
Secara khusus, hampir 90 persen kasus pada perempuan parous dan hampir 80 persen
berkembang pada wanita di usia empat puluhan dan lima puluhan (Lee, 1984).1

2.4 Histologi

Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga
archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain,
berperan sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan kelenjar endometrium
berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted menunjukkan tiga
lapisan berbeda pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan dalam, mukosa
endometrium, intensitas tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan lapisan serosa.
Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona tersebut bersifat
hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan secara siklis
menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu timbulnya peristaltik uterus
di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca menopause tampak kabur pada MRI
akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog GnRH.4

2.5 Patofisiologi

9
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

2.5.1 Anatomi
Pada pemeriksaan kotor, biasanya terdapat pembesaran uterus secara
menyeluruh, tetapi pembesarannya jarang melebihi kehamilan 12 minggu. Kontur
permukaan halus dan teratur, tekstur rahim melunak, dan kemerahan warna
miometrium seperti pada umumnya. Pada potongan , permukaan rahim biasanya
memperlihatkan gambaran spons dengan perdarahan fokal1.

Gambar 2.1 Adenomyosis. A. Gross bivalved uterine specimen. Note the


spongy texture of this uterus with adenomyosis. Gambar 2.2 B. Microscopically
benign endometrial glands (arrows) and stroma infiltrate deeply into the
myometrium. (Courtesy of Dr. Raheela Ashfaq.)

2.5.2 Patologi Anatomi


Teori yang paling banyak dipakai mengenai perkembangan adenomiosis
menggambarkan invaginasi ke bawah lapisan basalis endometrium dalam ke
miometrium.
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium
masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis berproliferasi

10
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini memungkinkan lapisan
fungsional menjadi tempat implantasi blastokista sedangkan lapisan basalis berperan
dalam proses regenerasi setelah degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi.
Selama periode regenerasi kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan
langsung dengan sel-sel berbentuk gelondong pada stroma endometrium.4

Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari


stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya
hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam
miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis
dapat berkembang secara embriologis dari sisa duktus Muller.4

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada masih


harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis
menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di
lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional
sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber
produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat
menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis
berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem
mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma pseudopodia.
Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis tidak
dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium
memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan
lapisan basalis endometrium ke dalam miometrium.4,9

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu


menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih
mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium yang
normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini
mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel
endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan
membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi
reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrii dibandingkan kelenjar

11
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas invasif
dibandingkan yang non-invasif pada koriokarsinoma.4

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang


tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada
40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor
progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik
pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen
dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.4

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang


menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,
hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan
banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi
estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana
halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan
estrogen dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik
yang dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.4

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma endometri,


endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen,
namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi
estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase
menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi
oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan
adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17-estradiol yang
meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi,
akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.
mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama aromatase
yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara
imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.4

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada


manusia masih dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis

12
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & ciliogenesis di


lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional
sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber
produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat
menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis
berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem
mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma pseudopodia.
Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis tidak
dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium
memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan
lapisan basalis endometrium ke dalam miometrium.

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu


menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih
mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium yang
normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini
mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel
endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan
membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi
reseptor hCG/LH ditemukan pada Carsinoma endometrii dibandingkan kelenjar
endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas invasif
dibandingkan yang non-invasif pada Choriocarsinoma.

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang


tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada
40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor
progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik
pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen
dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang


menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,
hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan
banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi

13
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana


halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan
estrogen dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik
yang dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti Carsinoma endometrii,


endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen,
namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi
estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase
menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi
oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan
adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17-estradiol yang
meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi,
akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.

Gambar 2.3 skematis mekanisme pertumbuhan adenomiosis yang estrogen-dependent.

Di dalam jaringan terdapat reseptor estrogen, aromatase & sulfatase. Produksi


estrogen lokal meningkatkan konsentrasi estrogen yang bersama-sama dengan
estrogen dalam sirkulasi, merangsang pertumbuhan jaringan yang termediasi oleh
reseptor estrogen.

mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama


aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir
secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.

14
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS & ADENOMIOSIS

Hiperperistaltik uterus mempunyai peranan penting dalam perkembangan


endometriosis & adenomiosis. Hiperperistaltik dapat dipicu oleh peningkatan kadar
estradiol perifer di dalam darah. Namun, estradiol yang memicu hiperperistaltik ini
dapat juga berasal dari endometrium itu sendiri. Adanya ekspresi P450 aromatase
selama fase luteal, dimana lapisan basalis endometrium merupakan kelenjar endokrin
yang memproduksi estrogen dari prekursor androgen. Pada wanita dengan
adenomiosis dan endometriosis, konsentrasi estrogen dalam darah saat haid lebih
tinggi dibandingkan wanita normal.

Konsep tentang hiperestrogenisme archimetrium non-ovarium merupakan


salah satu kejadian awal dalam tahap perkembangan endometriosis yang dipengaruhi
juga oleh faktor-faktor lingkungan seperti perusak endokrin dan konsumsi makanan,
tetapi hal ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Pada penelitian dengan hewan
coba, dioxin meningkatkan aktivitas peristaltik tuba dan diaktifkan melalui reseptor
estrogen. Faktor keturunan juga diteliti pada koloni monyet Rhesus yang
menunjukkan ada kaitannya dengan endometriosis.

Pada gambar berikut menerangkan konsep perkembangan endometriosis dan


adenomiosis. Archimiometrium distimulasi oleh peningkatan lokal dari estradiol dan
oksitosin endometrium beserta reseptornya. Kejadian yang menyebabkan
hiperestrogenisme archimetrium sampai saat ini belum diketahui. Diduga karena
peranan P450 aromatase yang karena aktivasi P450 aromatase menyebabkan
peningkatan produksi lokal dari estrogen. Hiperestrogenisme archimetrium
menghasilkan hiperperistaltik uterus dan peningkatan tekanan uterus.

15
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

Gambar 2.4 skema patofisiologi endometriosis dan adenomiosis

Hiperperistaltik menyebabkan trauma mekanik sehingga terjadi peningkatan


deskuamasi fragmen endometrium basalis dan juga terjadi peningkatan kapasitas
transport uterus retrograde sehingga terjadi diseminasi fragmen-fragmen tersebut
melalui tuba. Fragmen-fragmen dapat berimplantasi dimanapun di dalam cavum
peritoneum. Setelah proses implantasi, terjadi proliferasi dan pertumbuhan infiltrative
yang tergantung dari potensial proliferative dari fragmen basalis masing-masing.
Gambaran endometriosis pelvis yang pleimorfik merupakan rantai yang panjang sejak
gangguan awal pada tingkat archimetrium sampai berkembangnya lesi endometriosis.

Dalam perkembangan adenomiosis, rantai kejadian ini lebih pendek. Adanya


hiperperistaltik dan peningkatan tekanan uterus menyebabkan dehisiensi miometrium
yang dapat terinfiltasi oleh endometrium basalis. Terbentuklah adenomiosis fokal atau
difus. Adenomiosis fokal biasanya berada di dinding anterior dan atau posterior,
namun terutama di dinding posterior dan tidak pernah berada di dinding lateral atau
corpus uteri.

16
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

2.6 Diagnosis

Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan histologis spesimen bedah,


meskipun salah satu bentuk dapat diduga secara klinis. Dengan demikian, dilaporkan
insiden di spesimen histerektomi bervariasi tergantung pada kriteria histologis serta
tingkat sectioning, tetapi berkisar antara 20 sampai 60 persen (Bird, 1972; Parazzini,
1997).1

Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara dengan


pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu dapat
dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis klinis adenomiosis
seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis. Sehingga adanya kecurigaan
klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan pencitraan berupa
USG transvaginal dan MRI.4

Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga
ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun
endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara histologis
setelah dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam tehnik pencitraan, diagnosis
prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi.4

Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai


adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis
diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma. Kedua,
beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat
digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu
Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI.4

Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan
kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium. HSG memiliki
sensitivitas yang rendah.4

17
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang membesar


berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik di miometrium
dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot dkk pada 2001 melaporkan
bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%, sensitivitas 32,5% dan akurasi
74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal memiliki kapasitas
diagnostik yang terbatas untuk adenomiosis terutama pada wanita yang terdapat
fibroid.4

Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal


yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik. Kriteria diagnostik
dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur miometrium yang
heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas yang tidak
tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium. Bazot dkk melaporkan
sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG
transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif &
spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI merupakan
modalitas pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan uterus. Hal
ini karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat melihat
anatomi internal uterus yang normal dan monitoring berbagai perubahan fisiologis.
Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling spesifik untuk adenomiosis yaitu
adanya daerah miometrium dengan intensitas yang tinggi dan penebalan junctional
zone >12 mm.4

Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan USG


transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis. Dalam studi-studi terdahulu
menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI dibandingkan USG
transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan tingkat
akurasinya.4

Kanker Antigen 125

Selama bertahun-tahun, diagnosis adenomiosis dalam banyak kasus telah dibuat


secara retrospektif dengan histerektomi. serum dari CA125 tumor marker telah
dievaluasi sebagai alat diagnostik tetapi belum terbukti bermanfaat. Meskipun tingkat

18
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

CA125 biasanya meningkat pada wanita dengan adenomiosis, mereka juga dapat
meningkat pada orang-orang dengan leiomioma, endometriosis, infeksi panggul, dan
keganasan panggul.

Sonografi
Karena sonografi transabdominal tidak konsisten mengidentifikasi perubahan
miometrium pada adenomiosis, pencitraan dengan TVS lebih disukai, dan pencitraan
MR mungkin lebih banyak mendapat pujian. (Bazot, 2001; Reinhold, 1998).

Di tangan sonographers berpengalaman, temuan adenomiosis difus dapat meliputi: (1)


anterior atau posterior dinding miometrium tampak lebih tebal daripada yang lain, (2)
heterogenitas miometrium, (3) kista hypoechoic miometrium kecil, mewakili kelenjar
cystic dalam pusat endometrium ektopik , dan (4) proyeksi lurik linear membentang
dari endometrium ke dalam miometrium (Reinhold, 1999).

Adenomiosis fokal muncul sebagai nodul diskrit hypoechoic yang dapat dibedakan
dengan leiomioma oleh pinggiran/ batas yang susah dijelaskan,lebih berbentuk elips
daripada bentuk globular, efek massa minimal pada jaringan sekitarnya, kurangnya
kalsifikasi, dan adanya kista anechoic dengan diameter bervariasi (Fedele, 1992;
Reinhold 1998)

Karena temuan ini mungkin susah, pengalaman operator mempengaruhi akurasi


diagnostik berpengaruh lebih dari kebanyakan patologi panggul lainnya. Selain itu,
adanya penyakit bersamaan rahim lainnya seperti leiomioma atau kanker
endometrium juga membatasi akurasi. Dalam pengaturan ini, MR pencitraan telah
terbukti sangat akurat untuk diagnosis (lihat Gambar. 2-26).

2.8 Gambaran Klinis

Sekitar sepertiga dari wanita dengan adenomiosis memiliki gejala. keparahan


mereka berkorelasi dengan meningkatnya jumlah fokus ektopik dan luasnya invasi
(Levgur, 2000; Nishida, 1991; Sammour, 2002). Biasanya terdapat gejala
Menorrhagia dan dismenore. Menorrhagia mungkin akibat dari peningkatan dan
vaskularisasi abnormal dari lapisan endometrium. Dismenore diduga disebabkan oleh
peningkatan produksi prostaglandin ditemukan dalam jaringan adenomyotic

19
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

dibandingkan dengan miometrium normal (Koike, 1992). Mungkin 10 persen


mengeluhkan dispareunia. Karena adenomiosis biasanya berkembang pada wanita
parous tua di 40-an dan 50-an, infertilitas bukanlah keluhan umum (Nikkanen, 1980)1.

Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga


menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah studi
dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat dari spesimen
histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas. Gejala adenomiosis
yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran uterus. Gejala seperti ini
juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang terjadi
yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus.

Tabel 2.1 Presentasi klinis adenomiosis

Gejala Klinis Adenomiosis

1. Asimtomatis

Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal


atau MRI;

bersama dengan patologi yg lain)

2. Perdarahan uterus abnormal

Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses


adenomiosis

(pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan berat)

Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan
adenomiosis

3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis

20
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)

5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar


adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari
kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis dan
hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan strategi
penatalaksanaannya. McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi
endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium berhubungan
dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan. Sehingga pada adenomiosis
superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium. Sedangkan pada kasus
adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan banyak yang berlanjut, perlu
dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional yaitu histerektomi.2,11,12

2.8 Diagnosis Banding

Gejala mungkin seperti pada penderita leiomioma, kanker endometrium,


endometriosis, dan penyakit radang panggul kronis. Kanker endometrium, hipertrofi
miometrium, atau kontraksi uterus mungkin tampak seperti ademiosis difus pada
pencitraan sonografi. Adenomiosis fokal dapat memberikan karakteristik sonografi
leiomyomas.

2.9 Penatalaksanaan

Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi


selanjutnya. Dismenorea sekunder yang diakibatkan oleh adenomiosis dapat diatasi
dengan tindakan histerektomi, akan tetapi perlu dilakukan intervensi noninvasif
terlebih dahulu. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat kontrasepsi oral
dan progestin telah menunjukkan manfaat yang signifikan. Penanganan adenomiosis
pada prinsipnya sesuai dengan protokol penanganan endometriosis.8,12

21
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

a. Terapi Hormonal
Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya manfaat terapi
hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis. Pemberian obat hormonal
hanya mengurangi gejala dan efeknya akan hilang setelah pemberian obat dihentikan.
Obat hormonal yang paling klasik adalah gonadotrophin releasing hormone
agonist(GnRHa), yang dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja
GnRHa adalah dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang
mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada pasien dengan adenomiosis
dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara belebihan.4

b. Terapi Operatif
Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk adenomiosis.
Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8 cm, gejala yang progresif
seperti perdarahan yang semakin banyak dan infertilitas lebih dari 1 tahun walaupun
telah mendapat terapi hormonal konvensional. Suatu teknik operasi baru telah
dipublikasikan oleh Osada pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi yang
baru ini, jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus
direkonstruksi dengan teknik triple flap. Teknik ini diklaim dapat mencegah ruptur
uterus apabila pasien hamil. Dalam penelitian tersebut, dari 26 pasien yang
mengharapkan kehamilan, 16 di antaranya berhasil dan 14 dapat mempertahankan
kehamilannya hingga aterm dengan bayi sehat tanpa penyulit selama kehamilan. Akan
tetapi teknik ini belum diterima secara luas karena masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut.4

22
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

BAB III

KESIMPULAN

Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna. Bird et al.


(1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan
endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus
difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non
neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori berdasarkan
kedalaman lokasi lesi. Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi
adenomiosis sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus.
- Pertama, hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ 8 mm tetapi 12 mm pada
wanita berusia 35 tahun.
- Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ 12 mm, fokus
miometrial berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar
miometrium <, < atau >.
- Ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas
sinyal rendah pada semua sekuens MRI.
Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain
dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostik
yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% .
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain :
- Usia antara 40-50 tahun, bukan perokok, multipara, tingkat pendidikan rendah
(<7 tahun mengenyam pendidikan), riwayat hiperplasia endometrium, riwayat
abortus spontan, dan polimenore.10
- Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus
provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause,
panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD
dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium
masih belum jelas. Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia

23
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih


mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Beberapa menunjukkan
tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang
lain menunjukkan ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi dibandingkan
estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan
konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis
endometrium maupun adenomiosis.
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga
ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun
endometriosis.
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga
menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif.
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi
selanjutnya.
a. Terapi Hormonal
b. Terapi Operatif
Dengan MRI dan USG Transvaginal, Adenomiosis dapat dideteksi lebih dari
90% kasus. Prognosis Adenomiosis tidak ada resiko yang mengarah ke keganasan.
Dan karena kondisinya berkaitan dengan kadar esterogen, maka keadaan menopause
dapat menyebabkan kesembuhan alami, dimana tindakan histerektomi dapat
dilakukan apabila keluhan sangat mengganggu dan mengancam.

24
REFERAT DEPARTMENT OBSGYN
Kepaniteraan Klinik Desember 2016

DAFTAR PUSTAKA

1. Schorge JO et al, Williams Gynecology, 1st ed. New York, Mc Graw Hill, 2008
2. Pernol ML. Benson and Pernols Handbook of Obstetrics and Gynecology 10 th Ed.
2001. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update
1998; 4: 312-322.
4. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract Res
Clin Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar 2.
5. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and Infertility.
Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.
6. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy:
Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical
Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.
7. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &
Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
8. Reuter, K. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 21st 2012).
www.medscape.com.
9. Edmonds DK. Dewhursts Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7 th Ed. 2007.
London : Blackwell Science, Ltd.
10. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and
Uncommon Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging, J
Ultrasound Med 2006; 25:617627.
11. Parazzini F et al. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12 no.6
pp.12751279, 1997.
12. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania : Lippincott
Williams & Wilkins.
13. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London : Blackwell
Science, Ltd.

25

Você também pode gostar