Você está na página 1de 12

Manajemen Nyeri Kanker Payudara - Sebuah

Tinjauan Terapi Terbaru dan Novel Therapiest

Aanchal Satija, Syed Mehmood Ahmed, Rahul Gupta, Arif Ahmed, Shiv Pratap Singh Rana,
Suraj Pal Singh, Seema Mishra & Sushma Bhatnagar

Department of Anaesthesiology, Pain & Palliative Care, Dr BRA Institute Rotary Cancer
Hospital, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi, India

Received November 2, 2011


Kanker payudara adalah jenis kanker yang paling banyak diderita oleh wanita diseluruh
dunia. Sayangnya, setelah mendapatkan terapi yang adekuat, beberapa pasien tetap mengalami
nyeri yang hebat karena perkembangan penyakit maupun karena efek samping terapi. Rasa nyeri
yang persisten ini dapat memberikan efek negatif kepada kehidupan pasien baik mengenai fisik
maupun psikologi. Manajemen nyeri yang rasional saat ini harus berpusat kepada pasien dan
membutuhkan penilaian yang menyuluruh pada status psikososial pasien. Biasanya analgesia
yang adekuat dapat dicapai dengan menggunakan pedoman three step analgesic ladder milik
WHO. Seiring berkembangnya penyakit, rasa nyeri yang diderita pasien pun akan meningkat.
Manajemen opioid dan analgesic tambahan sangat dibutuhkan pada pasien kanker payudara yang
mengalami nyeri hebat. Namun, penggunaan opioid pun mempunyai efek samping yang berat
seperti konstipasi, nausea, vomitus, rasa takut untuk ketergantungan dan toleransi. Terapi
tambahan dapat digunakan untuk meminimalisir efek samping tersebut. Analgesic tambahan juga
diperlukan untuk menciptakan penahan rasa nyeri yang adekuat dan memuaskan. Faktor-faktor
ini dapat memperburuk keadaan psikologis pasien dan kualitas hidup mereka. Oleh karena itu,
pengembangan modalitas terapi untuk memberikan analgesia yang memadai dengan efek
samping yang minimal perlu dikembangkan. Tinjauan artikel ini berfokus pada terapi yang
tersedia dan keterbatasanya untuk manajemen nyeri pada kanker, novel target, dan tindakan
non farmakologis yang diselidiki memiliki potensi untuk menghasilkan perubahan radikal dalam
tindakan manajemen nyeri untuk pasien kanker payudara.

Kata kunci : Kanker Payudara, Nyeri pada Kanker, Manajemen nyeri


Pendahuluan
Variasi diamati berdasarkan tingkat kejadian dan tingkat kematian akibat kanker
payudara, dan beberapa factor yang berkontribusi seperti factor usia, ras, status sosio-ekonomi,
gaya hidup, riwayat reproduksi, riwayat penyakit keluarga dan lain-lain. Berdasarkan
GLOBOCAN 2008 cancer fact sheet, angka kejadian kanker payudara mendekati 1,38 juta (23%
dari semua neoplasma). Pada Negara maju (kecuali jepang) mempunyai angka kejadian yang
lebih tinggi (80 kejadian pada 100.000 orang) dibandingkan pada Negara berkembang (40
kejadian pada 100.000 orang).
Sebagai konsekuensi dari kemajuan dalam prosedur diagnostik dan perawatan yang
tersedia, tingkat kelangsungan hidup pasien kanker ini pun meningkat. Sudah diestimasi bahwa
pada Negara Berkembang akan terjadi peningkatan kasus baru kanker payudara sebanyak 70%
pada tahun 2020. Nyeri yang timbul di stadium lanjut kanker payudara dapat menyebabkan
penderitaan emosional dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Sesuai perkiraan dari
International Association for the Study of Pain (IASP) prevalensi nyeri pada kanker payudara
berkisar dari 40-89%. Telah ditemukan bahwa nyeri persisten yang timbul setelah terapi
pembedahan adalah sangat umum terjadi dan akan lebih meningkat pada pasien usia muda,
mereka yang menjalani radioterapi dan diseksi kelenjar getah bening aksila, dan sekitar 20-50%
wanita akan menderita nyeri neuropati persisten setelah terapi pembedahan.

Gejala
Nyeri biasanya tidak timbul pada awal kejadian kanker payudara. Adanya benjolan tanpa
rasa nyeri mungkin menjadi gejala awal. Pada stadium lanjut, nyeri dapat timbul oleh karena
keterlibatan dari struktur yang lebih dalam seperti otot, tulang rusuk, dll, sehinga nyeri dirasakan
sangat hebat dan akan meningkat dengan gerakan dada. Pasien yang menjalani mastektomi
mungkin dapat mengalami neuropatik kronis berupa phantom breast pain, atau
intercostobrachial neuralgia (termasuk sindrom nyeri post mastektomi), neuroma pain
( termasuk nyeri pada scar ) ataupun nyeri yang ditimbulkan karena cidera syaraf. Selama proses
radioterapi, mungkin akan timbul nyeri pada kulit yang sangat aktif pada situs radiasi dan
cervical atau brachial plexopathy. Keterlibatan plexus brachialis akan menimbulkan nyeri dan
sindrom Hormer, dimana terdapat gangguan sensorik berupa parestesia, mati rasa, dysesthesia
dan pembengkakan dan kelemahan dari lengan yang terjadi akibat induksi radioterapi yang
menimbulkan trauma pada plexus brachialis. Sesuai pada alat ukur yang digunakan, sebanyak 2-
83% pasien dengan kanker payudara yang sembuh bebas dari lymphoedema pada dada dan
lengan. Metastase dari kanker payudara umumnya melibatkan tulang, paru-paru, otak dan liver,
yang dimana akan menimbulkan gejala berupa nyeri pada tulang, nyeri pada hypochondrium,
cephalgia dan gejala lainya di daerah yang terinvasi.
Nyeri yang tiba-tiba muncul mungkin dapat terjadi, kondisi ini disebut sebagai
Breakthrough Cancer Pain (BTcP). Pasien yang mungkin mengalami BTcP ini hanya ketika
mereka memiliki riwayat nyeri pada kanker yang telah terkontrol dengan baik dan masih
mengalami eksaserbasi nyeri yang transient. Hal ini bisa terjadi secara tiba-tiba (idiopathic pain)
dengan tindakan yang tidak disadari seperti batuk, atau diharapkan (volitional pain) dengan
tindakan yang disadari seperti berjalan. Patofisologi dan situs dari BTcP umumnya sama seperti
pada nyeri. Hal ini sering terjadi pada penyakit-penyakit lanjut, nyeri hebat akibat metastase
vertebral dan nyeri yang berasal dari plexus syaraf.

Etiologi
Etiologi dari nyeri pada kanker adalah multi-faktorial. Ini mungkin timbul karena (i)
kanker itu sendiri akibat pelepasan mediator-mediator inflamasi atau karena metastasis yang jauh
seperti pada tulang dan jaringan neuronal, dan (ii) terapi kanker. Penurunan dari sensory neural
akan terjadi setelah kemoterapi dan menyebabkan neuropati. Radioterapi dapat menginduksi
nyeri yang timbul sebagai akibat dari perubahan mikrovaskuler dan kompresi system syaraf.
Penyebab utama nyeri yang timbul akibat operasi adalah adanya kerusakan syaraf
intercostobrachial dan formasi neuroma. Defisiensi estrogen yang disebabkan oleh inhibitor
aromatase dapat menyebabkan athralgia.

Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri untuk pasien kanker membutuhkan assessment nyeri yang kritis dan
evaluasi menyeluruh termasuk penilaian psikososial. Bergantung pada etiologi nyeri, pendekatan
untuk manajemen nyeri dapat disesuaikan. Berbagai pendekatan untuk manajemen nyeri dan
terapinya ada pada table I. Sekitar 85-90% pasien dapat mengontrol nyeri dengan mengunakan
oral analgesic yang sesuai dengan WHO analgesic ladder, walaupun intervensi lainnya pun boleh
dilakukan.
Terapi yang Tersedia dan Terbaru
Menurut WHO, farmakoterapi merupakan pengobatan yang utaman untuk nyeri pada
kanker (table II). Terdapat 5 prinsip dalam pemberian terapi anti nyeri yaitu by mouth, by the
clock, by the ladder, for the individual dan attention to detail . Menurut WHO analgesic
ladder, terapi untuk nyeri pada kanker harus mengikuti tahapanya. Hal ini diinisiasi oleh obat-
obatan non opioid seperti, paracetamol, ibuprofren yang merupakan tahap I. Jika anti nyeri tidak
memadai, golongan opioid lemah seperti, codein, tramadol boleh ditambahkan. Jika rasa sakit
masih belum teratasi dengan baik, golongan opioid kuat seperti morfin, oxycodone dapat
diberikan (table II), yang merupaka tahap ke III dari WHO analgesic ladder.
Obat adjuvant untuk menghilangkan rasa nyeri juga disediakan untuk berbagai macam
jenis nyeri (table III).
Di antara golongan opioid kuat, morfin paling sering digunakan. Formulasi yang
tersedia berupa immediate release (IR) morphine dan sustained release (SR) morphine sulphate
atau hydrochloride. Waktu paruh yang dibutuhkan dalam menimbulkan efek adalah 1,5-2 jam
untuk IR dan 3-4 jam untuk SR. Biasanya, terapi opioid diawali dengan formulasi IR, meskipun
beberapa dokter lebih memilih untuk memulai dengan controlled release formulation, dan
formulasi IR dijadikan cadangan untuk terapi BTcP. Kestabilan dosis ini dapat tercapai dengan
lima kali kehidupan, jadi perubahan dosis obat disarankan setelah 24 jam untuk formulasi IR dan
2-3 hari untuk formulasi SR. Tidak ada batasan dosis maksimum yang aman untuk morphine
karena morfin tidak mempunyai ceiling effect terhadap analgesia. Terdapat variasi dosis individu
yang lebar dalam menentukan target pereda nyeri. Sehingga dosis yang direkomendasikan adalah
dosis yang dapat mengurangi rasa nyeri secara adekuat tanpa menimbulkan efek samping.
Variasi penggunaan opioid dilakukan ketika efek analgesia tidak adekuat atau timbulnya
efek samping yang tidak dapat ditoleransi. Dosis opioid yang baru biasanya dikurangi 66% dari
perhitungan dosis cross tolerance ekuivalen antara keduanya. Selain itu, opioid dapat dihentikan
jika nyeri telah dapat diredakan dengan alternative lain seperti terapi radiasi dan blok neurolitik.
Penghentian opioid dapat dilakukan secara perlahan dengan mengurangi dosis harian 10-20% per
hari atau beberapa minggu untuk meminimalkan gejala withdrawal.
Transdermal fentanyl (TDF) digunakan untuk pasien kanker dengan nyeri yang tidak
dapat menggunakan terapi oral. Patch ini tersedia dalam bentuk 25,50,75 dan 100 mcg/h dan
harud diganti setiap 72jam. Dosis dapat dinaikan 30-50%, tapi yang sering dilakukan adalah
penaikan 100% (dari patch 25 menjadi 50mcg).

Terapi Adjuvant
Terapi adjuvant dapat ditambahkan pada tahap WHO ladder manapun. Untuk manajemen
kanker yang menginduksi nyeri neuropatik, antidepresan, gabapentinoids (gabapentin,
pregabalin), atau obat anti epilepsy dapat digunakan. Primary tricyclic antidepressants (TCA)
seperti amitriptilin lebih efektif untuk nyeri kanker neuropatik., sedangkan amine sekunder
seperti nortriptyline dan despiramine menghasilkan efek analgesia yang lebih rendah namun efek
samping lebih minimal. Neuroleptik seperti haloperidol, chlorpromazine, selective serotonin
reuptake inhibito-fluoxetine, dan anti epilepsy carbamazepine juga direkomendasikan untuk
mengobati nyeri kanker neuropatik.
Antagonis reseptor N-Methyl-D-aspartate (NMDA) seperti ketamine dan amantadine
dapat dijadikan altenatif untuk manajemen nyeri kanker yang resisten terhadap penggunaan
opioid. Ketika nyeri tidak respon terhadap opioid, ketamine oral dapat digunakan, dengan
percobaan pemberian ketamin IV dosis rendah terlebih dahulu. Namun tinjauan sistematis
mengungkapkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menentukan peran ketamin sebagai
terapi adjuvant untuk menghilangkan nyeri kanker.
Patch lidokain 5% dan patch capsaicin 8% dikemukakan mempunyai efek yang berarti
untuk menghilangi nyeri kanker neuropatik. Ini merupakan terapi yang aman dan dapat
ditoleransi, begitu juga mengenai efek sampingnya.
Kortikosteroid juga dapat digunakan untuk manajemen nyeri kanker neuropatik. Durasi
aksi yang lama dan mineralokortikoid yang minimal membuat dexametason paling sering
digunakan. Namun, penggunaan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan efek
samping berupa imunosupresan, pengecilan otot proksimal dan efek endokrin lainya.

Manajemen Breakhtrough Cancer Pain (BTcP)


BTcP dapat dikontrol dengan menerapi etiologi yang mendasarinya, mengoptimalkan
waktu terapi, dan dengan menggunakan obat-obat yang spesifik. Pada pasien yang dapat
mengontrol nyerinya mempunyai episode BTcP, peningkatan baseline dosis opioid menghasilkan
pereda nyeri yang lebih baik. Untuk episode BTcP, sekitar 1-6 (17%) dosis harian morfin dapat
digunakan.
Onset aksi yang cepat sangat diinginkan untuk mengontrol episode BTcP. Tablet
effervescent morfin memberikan efek analgesia yang lebih cepat dibandingkan dengan IR morfin
oral, maka keduanya dapat dijadikan alternatif terapi. Nasal morphine-chitosan semprot dapat
dengan cepat diserap melalui mukosa hidung dan memiliki profil plasama yang serupa sehingga
dapat memeperlambat penyerapan morfin di intravena. Ini menyimpulkan bahwa pemberian
morfin secara oral merupakan terapi yang efektif dan nyaman dalam manajemen episode BTcP.
Penyerapan transmukosal fentanil memberikan onset aksi yang cepat melalui rute non-
invasif. Oral transmucosal fentanyl citrate (OTFC) adalah semacam permen dengan campuran
fentanyl, tersedia dalam 6 dosis kuat (200, 400, 600, 800, 1200 dan 1600mcg). Waktu
penyerapan dan bioavailbilitas dari OFTC lebih besar dengan pemberian oral dan peningkatan
level dosis serum fentanyl. Intranasal fentanyl spray (INFS) mempunyai onset aksi yang lebih
cepat (10 menit), dan mencapai puncaknya pada 12-15menit. Hal ini dapat diterapkan dan dapat
diterima untuk pasien yang mempunyai masalah dengan aliran salivanya sehingga lebih efektif
daripada penggunaan OFTC. Fentanyl Buccal Tablet (FBT) adalah sediaan effervescent yang
berfungsi untuk meningkatkan tingkat absorbsi fentaniyl di mukosa buccal. Biovailabilitasnya
lebih besar dari pada OFTC. Sublingual fentanyl (SLF) lebih cepat diserap karena mukosa
sublingual mempunyai permeabilitias dan vaskularisasi yang tinggi. SLF dapat langsung
mencapai sirkulasi sistemik dan meningkatkan konsentrasi plasma dengan penambahan dosis.
Kemudahan penyerapannya membuat SLF disenangi oleh para pasien. Fentanyl Buccal Soluble
Films (FBSF) tersedia dalam dosis 200-1200mcg. FBSF mendistribusikan fentanyl melalui
mukosa buccal, sehingga memberikan onset yang cepat dalam meredakan nyeri dan mengurangi
intensitas nyeri yang persisten selama 60 menit. Semua formulasi ini lebih efektif dalam
mengurangi episode BTcP. Ini memberikan efek analgesia yang cepat, lebih meredakan episode
BTcP, lebih mudah digunakan dan lebih dapat ditoleransi dengan baik.

Manajemen Kelainan yang Sering Muncul pada Kanker Payudara


Brachial plexopathy : radioterapi merupakan terapi yang efektif dalam meredakan nyeri karena
metastase pada plexopathy, sedangkan operasi dapat meredakan nyeri akibat radiasi plexopathy,
tapi tanpa perbaikan terhadap adanya deficit neurologis. Sebagai tambahan, dorsal column
stimulators, transdermal electrical nerve stimulation, neurolisis dengan omentoplasty merupakan
terapi yang sangat membantu manajemen radiasi plexopathy. Sebaliknya, metastase pexopathy
dapat diterapi dengan dorsal root entry zone procedure, paravertebral nerve block, dorsal
rhizotomy dan contralateral cordotomy.

Painful Bony Metastasis : radioterapi paliatif, yang dinamakan beam radiotherapy sangat
berfungsi pasien dengan nyeri metastase. Baik single radiotherapy (8-10Gy) dan fractionated
radiotherapy (20-30Gy pada 5-10 fraksi) memberikan efek analgesia yang baik.
Biphosphonates seperti asam zoledronic, ibandronate atau denosumab (antibody monoclonal
manusia) tidak hanya dapat meredakan nyeri pada tulang namun dapat juga meminimalkan
resiko efek samping radioterapi terhadap skeletal. Toksisitas gastrointestinal, osteonekrosis
rahang dan toksisitas renal jarang terlihat. Radioisotop seperti samarium 153, strontium89 dan
rhenium186 juga dapat digunakan pada pasien dengan nyeri akibat metastase tulang. Radiosiotop
ini dapat mengurangi nyeri selama satu sampai enam bulan, namun sering menimbulkan supresi
dari sumsum tulang. Maka dari itu, radiosiotop ini diperuntukan bagi pasien nyeri akibat
metastase tulang yang tidak respon terhadap radioterapi, terapi hormone atau biphosphonates.

Post-mastetomy Pain Syndrome (PMPS) : PMPS dapat dicegah dengan pendekatan multimodal
menggunakan anastesi local dengan gabapentin dan pregabalin dan dengan antidpresan seperti
amitiptyline, venlafaxine. Block pada ganglion stellate juga dapat berguna bagi pasien dalam
menghadapi PMPS.

Lymphoedema : terapi dekongestif kompleks dan aktivitas seperti pergerakan, latihan kekuatan
dan ketahanan, dan pengurangan berat badan sangat membantu dalam menurunkan kejadian
lymphoedema. Terapi seperti endermologie, flexitouch, deep oscillation, akupuntur, liposuction,
dan autologous stem cell transplant adalah terapi terbaru yang dapat dijadikan pilihan.

Brain metastasis : metastasis tunggal biasanya diterapi dengan operasi yang dilanjutkan dengan
radioterapi selutuh otak (WBRT), sedangkan metastase multiple (2-4) diterapi dengan operasi
streotactic, dengan atau tanpa WBRT.

Liver metastasis : metastasis liver biasanya diterapi dengan agen kemoterapetik atau TACE
(transarterial chemoembolization).

Keterbatasan Farmakoterapi
NSAIDS biasanya dapat ditoleransi dan mempunyai efek samping yang minimal seperti
nausea, vomiting, gangguan pencernaan, disfungsi renal dan hepatic. Dengan adanya ceiling
effect, NSAIDS ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien denga resiko tinggi, seperti
usia tua, gangguan encernaan, gangguan ginjal dan hati atau pada mereka yang mengkonsumsi
obat lainnya.
Penggunaan opioid dapat dihubungkan dengan berbagai efek samping. Yang paling
banyak muncul adalah nausea/vomiting dan konstipasi. Jika terjadi toleransi terhadap konstipasi
maka dibutuhkan pengobatan seumur hidup dengan obat pencahar, pelunak feses, laksatif
osmotic dan stimulant pencahar. Efek sedasi dapat muncul akibat inisiasi dan ekskalasi dosis
yang cepat. Hal ini dapat dikurangi dengan penurunan dosis opioid, opioid rotation, atau dengan
menggunakan stimulasi psikosomatik. Performa psikomotor biasanya terganggu pada awal
penggunaan terapi opioid, tetapi jika dengan dosis pertama telah adekuat, maka tidak akan terjadi
kelainan walaupun dengan menggunakan dosis opioid secara cepat. Depresi pernapasan jarang
muncul pada pasien dengan penyakit kronis yang menggunakan opioid secara teratur. Depresi
pernapasan mungkin terjadi ketika menggunakan opioid secara tiba-tiba tanpa ditritasi sesaat
setelah blok syaraf terjadi. Toleransi dapat berkembang jika menggunakan opioid dalam jangka
wakyu yang lama. Dalam rangka untuk meredakan sakit, dosis harus ditingkatkan. Sebagai hasil
dari efek samping ini, pegurangan dosis atau penghentian awal opioid ini tidak dapat meredakan
nyeri secara adekuat.
Kekhawatiran mengenai keterbatasan dan susahnya aksesibilitas terhadap opioid telah
terjadi. Berbagai peraturan diberlakukan untuk meresepkan opioid. Praktisi yang berlisensilah
yang memiliki wewenang untuk merespekan opioid. Lisensi juga diperluka oleh apotek untuk
dapat mengeluarkan opioid. Berbagai peraturan dan persyaratan menyebabkan keengganan
beberapa apotik dalam menyediakan opioid. Dengan adanya kolaborasi dari WHO Collaborating
Centre at the Pain dan Policy Studies Group (PPSG) dan Indian Association of Palliative Care
Narcotic peraturan ini mulai mereda di India pada tahun 1998.
Kegunaan dari WHO Ladder telah banyak ditanyakan oleh banyak pelajar. Adanya
penambahan golongan opioid lemah terhadap NSAID menjadi sesuatu yang dipertanyakan.
Dalam suatu metanalisis, penambahan opioid lemah terhadap NSAID tidak membuktikan adanya
efek analgesia, sementara review lain menunjukkan bahwa NSAID dan opioid lemah
menghasilkan efek analgesia yang sama, ketika diberikan sendiri maupun dikombinasi. Peran
opioid kuat sebagai analgesic I dalam terapi kanker lanjut juga terus diterapkan. Sebuah uji coba
dilakukan secara acak dalam meredakan nyeri pada kasus kanker yang lanjut menggunakan
WHO ladder atau dengan penggunaan opioid kuat sebagai lini pertama. Pasien yang diterapi
dengan opioid kuat sebagai lini pertama merasakan nyerinya dapat lebih reda, kepuasaan yang
besar dan adanya peningkatan status general yang lebih tinggi dari pada dengan pasien yang
menggunakan WHO ladder.

Terapi Non-farmakologi
Terlepas dari farmakoterapi konvensional, banyak tindakan non-farmakologis yang
tersedia untuk mengelola nyeri pada kanker payudara. Prevalensi terapi koplementer atau
alternative untuk meningkatkan taraf kesehatan semakin meningkat. Penggunaannya pada pasien
dengan kanker payudara banyak yang seembuh dibandingan dengan tipe kanker lainnya.
Dengan penilaian secara objektif dan subjektif komponen dari nyeri kanker, terapi
perilaku kognitif telah diterapkan pada pasien dengan kanker payudara untuk meredakan nyeri.
Ini mencakup berbagai teknik seperti pelatihan relaksasi, relaksasi otot progresif, hipnosis,
gangguan, pemecahan masalah,dan lainya. Intervensi Hypnosis pra-operasi juga dapat
mengurangi nyeri pada pasien paska operasi. Moore dan Spiegel menunjukan pada wanita
berkulit putih berkebangsaan Afrika Amerika dengan metastase pada kanker payudara, mereka
menggunakan teknik hypnosis ini untuk menghubungkan kembali ke sugesti untuk mengelola
rasa sakit dan mengembangkan rasa untuk mengontrol kehidupan mereka masing-masing.
Sebuah meta analisis yang dilakukan oleh Tatrow dan Montgomery mengungkapkan bahwa
pasien kanker payudara yang menerima berbagai terapi perilaku kognitif mengalami nyeri yang
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok control.
Teknik blok syaraf paravertebral thoraks dapat mengurangi nyeri paska operasi dan dapat
emngurangi kemungkinan pengembangan sindrom nyeri mastektomi kronis. Teknik ini
membantu dalam menghilangkan rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan
kanker payudara setelah operasi bila dikombinasikan dengan pemberian glukokortikoid.

Novel Therapies
Berbagai macam bentuk penatalaksanaan farmakologikal dan non farmakologikal telah
dikembangkan untuk penanganan nyeri pada kanker, beberapanya dijelaskan dibawah ini:
Terapi Farmakologi
Agonis CB2 : Cannabinoid receptor 2 (CB2) agonist adalah target dari novel terapetik, yang
mana telah dibuktikan efektik melawan nyeri neuropatik. Dosis rendah dari THC menghasilkan
efek analgesik sedang pada pasien kanker, tetapi pada dosis tinggi menghasilkan efek samping
dalam bentuk somnolen, pusing, ataxia, dan pandangan kabur. Jonshon et all menemukan pada
percobaan multicentrenyang mana ekstrak THC:CBD mempunyai efek lebih efektif pada pasien
kanker yang sudah tidak mempan opioid. Pada pase III, di percobaan klinis untuk menetukan
efek ekstrak cannabinoid pada pengurangan nyeri neuropatik yang diinduksi oleh kemoterapi.

ii. tetrodotoxin : kenaikan gerbang volase dari gerbang sodium terliht pada metastasis kanker,
termasuk kanker payudara. Ekspresi sel dihambat oleh Na+ channel blocker selektif- tetrodoxin,
yang mana menghasilkan efek analgesik dengan mengeblok potensial aksi dari ectopic
discharges. Percobaan terbaru menyarankan tetrodoxin mungkin dapat mengatasi sedang sampai
menderita, nyeri kanker yang resisten pengobatan terlebih pada periode lanjutan dengan
penerimaan toxisitas.
(iii) Botulinum toxin : toksin botulinum mempunyai kemampuan untuk menyupresi pelepasan
neurotransmitter pada transmisi impulse nyeri, seperti endothelin-1, substance-P dan gen
kalsitonin peptide (CGRP) dan neuropeptida Y. Toksin ini telah dipakai untuk mengontrol nyeri
post-mastektomi dan juga mempunyai potensi untuk mengurangi resiko nyeri akibat metastase
tulang.

(iv) Caffeine : kafein adalah antagonis adenosine reseptor-A. kafein mempunyai efek yang
menguntungkan jika dijadikan terapi tambahan pada NSAID dan opioid. Percobaan klinis
mengemukakan bahwa kafein adalah terapi tambahan yang efektif terhadap opioid dalam
meredakan nyeri dan mengurangi nyeri paska operasi payudara.

(v) Soy isoflavones : beberapa studi pada binatang menunjukan adanya efek analgesia yang
diberikan soy isoflavones. Sebuah uji klinis masih sedang dilakukan untuk mentukan hasil efek
analgesia dari soy isoflavones pada kasus paska operasi karsinoma payudara.

Terapi Non-Farmakologi
(i) Gene Therapy : peningkatan pemahaman tentang pathways tranmisi nyeri, telah
mengahasilkan pengembangan dari pendekatan gene based ke modulasi nociception.
Fink et al, melakukan percobaan klinis tahap I dari NP2, yang merupakan sebuah
replikasi defektif dari virus herpes simpleks (HSV) berbasis Vector Expressing
Human Preproenkephalin (PENK) pada subjek nyeri kanker. Intervensi dapat
ditoleransi dnegan baik oleh subjek. Tahap II dari percobaan klinis ini sedang
dilakukan untuk mengobati nyeri pada penyakit keganasan.
(ii) Yoga : Yoga telah menunjukkan hasil yang positif pada hasil perilaku seperti sakit ,
kelelahan , depresi , mood dan kualitas hidup. Galantino et al menunjukkan bahwa
yoga dapat mengurangi nyeri sendi akibat inhibitor aromatase pada pasien yang
selamat dari kanker payudara . Cursen et al menunjukan bahwa wanita dengan
metastasis kanker payudara yang melakukan yoga sebagai intervensi dapat
mengurangi nyerinya. Namun, efek yoga terhadap pengurangan nyeri perlu diselidiki
lebih lanjut lagi.
(iii) Music Therapy : terapi music dapat mebgurangi nyeri melalui mekanisme
psikologikal dan socio-emotional. Li et al melaporkan bahwa terapi music secara
signifikan dan mengurangi skor nyeri pada pasien dengan kanker payudara yang
menjalani mastektomi. Karena keuntungan dan tidak adanya efek samping, terapi
musik dapat dikombinasikan dengan intervensi lain untuk mendapatkan manfaat
maksimal pengurangan nyeri. Intervensi non-farmakologis dan non-invasif dapat
disesuaikan sesuai dengan latar belakang budaya pasien dan keakraban; dan terbukti
bermanfaat dalam tidak hanya mengurangi kanker yang disebabkan sakit tetapi juga
untuk mengurangi kecemasan dan depresi.
(iv) Acupuncture : aktivitas analgesik dari akupunktur dikaitkan dengan berbagai
mekanisme seperti pembuangan polimodal receptors , meningkatkan kadar peredaran
peptida opioid , peningkatan aliran darah dan mechano-transduction-based response .
Akupunktur aurikula telah ditemukan dapat mengurangi intensitas nyeri pada subyek
dengan nyeri kanker neuropatik . Studi telah menunjukkan aktivitas analgesik dari
akupunktur dan elektro - akupunktur di pasien yang selamat dari kanker payudara
dengan arthralgia karena inhibitors81,82 aromatase . Uji klinis untuk menyelidiki
peran akupunktur / elektro - akupunktur dalam mengurangi taxane yang diinduksi
nyeri neuropatik pada pasien kanker payudara sedang dilakukan.
(v) Scrambler therapy : Terapi Scrambler adalah teknik elektro - analgesik untuk
mengatur rasa sakit . Ricci et al menunjukkan keamanan dan kemanjuran dalam
mengendalikan nyeri kanker pada kasus lanjut . Nyeri neuropatik kronis terbukti lebih
baik dengan pengacak terapi dari farmakoterapi standar dalam pilot studi yang
dilakukan oleh Marineo et al . Hasil dari studi ini perlu dikonfirmasi via uji klinis
untuk digunakan dalam mata pelajaran kanker termasuk pada penderita kanker
payudara . Sebuah studi tahap II untuk menentukan efek dalam mengelola neuropati
perifer kronis akibat kemoterapi telah dilakukan.

Simpulan
Harapan hidup pasien kanker payudara meningkat karena pilihan pengobatan yang
efektif telah tersedia. Meskipun demikian , adanya rasa nyeri yang persisten pada kasus onkologi
telah mendepresiasi kualitas hidup pada penderita kanker payudara stadium lanjut setelah
perawatan . Berbagai analgesik dan obat adjuvant dapat diakses oleh pasien . Obat-obatan ini
menyediakan analgesia yang memuaskan namun dapat juga menimbulkan sejumlah efek
samping . Oleh karena itu , cara yang lebih efektif untuk mengelola nyeri pada kanker payudara
sangat diperlukan. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk novel therapy dan agen untuk
menjamin peredaan nyeri secara cepat dan adekuat dengan efek samping yang minimal.

Você também pode gostar