Você está na página 1de 4

A .

Matsya Awatara

Matsya artinya ikan. Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Beliau sebagai
Dewa Wisnu ( Dewa Pemelihara ), pada masa permulaan ciptaan Beliau,
atas alam semesta, ternyata ciptaan Beliau penuh dihuni oleh mahluk air, dunia ini
sampai-sampai dirupai oleh air. Dalam keadaan seperti itu Sang Hyang Wisnu
menjadikan diri Beliau sebagai ikan yang maha besar, dengan wujud ini, Matsya
Awatara dapat mengangkat dan menyelamatkan dunia dari pralaya, dan mahluk
ciptaan Beliau dapat diselamatkan.

Mitologi

Kisah tentang Matsya dapat disimak dalam Matsyapurana dan juga Purana lainnya. Diceritakan
bahwa pada saat Raja Satyabrata (yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci
tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu
meminta perlindungan. Akhirnya ia memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam kecil
sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut bertambah besar, hampir
memenuhi seluruh kolam. Akhirnya ia memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih besar.
Kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia
pelihara bukanlah ikan biasa.

Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa
Wisnu. Dalam versi lain, ikan itu dibawa ke samudra. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar
bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan itu
berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan diri dari banjir
besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya
berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, bibit segala
macam tumbuhan, dan mengajak Saptaresi (tujuh nabi). Ikan tersebut juga menambahkan bahwa
setelah banjir besar tiba, diharapkan agar bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan
naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh pesan, ikan ajaib tersebut
menghilang.
Menurut Matsyapurana, seratus tahun kemudian, kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak
makhluk yang mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang
mencurahkan hujan lebat tak terhentikan. Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi daratan di
bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera sesuai dengan petunjuk yang
disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta pengikutnya selamat dari bencana.

B. Kurma Awatara

Dalam kitab Padma Purana disebutkan bahwa Sang Hyang Wisnu memperlihatkan diri
sebagai Kurma Raja, di saat para Dewata hendak mencari Tirta Amerta. Gunung Mandara
dimasukkan ke dalam samudra, akibatnya air meluap dan hampir menenggelamkan dunia dengan
segala isinya, saat itulah Sang Hyang Wisnu segera menjadikan diri Beliau Kurma Raja ( kura-
kura yang sangat besar), kemudian mengangkat dan menopang dunia ( bumi ). Dasar Gunung
Mandara dari bawah sehingga dapat diselamatkan, Gunung Mandara dapat diputar kembali. Dari
hasil jerih payah pemutaran tersebut akhirnya didapatkan Waruni, Laksmi, Soma, Apsara, Uccha,
Iswara, Hala-hala, dan Tirta Amerta.

Sebagai wujud rasa Bhakti umat Hindu atas kejadian tersebut, maka dibangunlah tempat
suci berbentuk Padmasana. Bangunan Padmasana dilengkapi dengan symbol Kurma Raja
( Bedawangnala) Naga Basuki, Angsa, dan Wisnu duduk diatas Garuda.

Mitologi

Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat dalam
Kitab Adiparwa.

Pemutaran Mandaragiri

Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung
Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat
hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nryana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta
amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta
amerta. Maka dari itu, kerjakanlah!"

Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nryana, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke
laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa
(Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga
beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di
laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama
Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut.
Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.

Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra
menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para
Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki
sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang
kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut
bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura
dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian
mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak
kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin
diperhebat.

Timbulnya racun

Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat
membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka
lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan).
Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:

Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur

Apsara, kaum bidadari kahyangan

Kostuba, permata yang paling berharga di dunia

Uccaihsrawa, kuda para Dewa

Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan

Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi

Airawata, kendaraan Dewa Indra

Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran

Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah
banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun,
maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta
amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat
asalnya, Sangka Dwipa.

Perebutan tirta amerta


Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu memikirkan siasat
bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang
wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura dan
rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena
tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini. Setelah
mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu.
Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para
Dewa dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak sama-sama
sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra yang
mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari tunggang langgang
karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para Dewa.

Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka
meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang
Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi
Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan
Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian
mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta
sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup
karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa
Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.

Você também pode gostar