Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
MAKALAH
Oleh :
Binti Jariyah
M. Dian Ilhamto
Riska Fariani L.
TULUNGAGUNG
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT karena dengan izinya kita masih di
beri kesempatan dalam menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
Glikosida. Dan tak lupa pula penulis haturkan shalawat dan salam atas
junjungan Rasululloh Muhammad SAW beserta keluarga,sahabat serta para
pengikutnya sampai akhir zaman.
Adapun maksud penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah farmakognosi. Penyusun telah berusaha semaksimal mungkin dalam
penyusun makalah ini dengan memberikan gambaran secara deskriptif agar
mudah di pahami.
Namun penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan ,maka dari itu penyusun memohon saran dan arahan yang sifatnya
membangun guna kesempurnaan makalah ini,di masa akan datang dan penyusun
berharap makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
Sering kali kita mengalami alergi, misal alergi kulit yang menjadi merah,
gatal dan bentol sampai alergi yang membuat sesak nafas. Ketika jari kita tertusuk
jarum atau kita terluka, kita langsung merasakan sakit atau nyeri. Nyeri ini terasa
juga saat kita sakit gigi atau penyebab-penyebab lain. Sebenarnya kenapa kita bisa
merasakan hal ini? Kenapa rasa nyeri itu bisa diteruskan oleh saraf ke otak dan
interprestasikan sebagai nyeri? Jawabanya adalah adanya senyawa/zat dalam tubuh
kita (senyawa endogen) yang disebut dengan Autakoid. Konsep ini akan menjadi
salah satu dasar ditemukannya berbagai obat yang saat ini sering dikonsumsi seperti
parasetamol, aspirin, sampai morfin.
Histamin adalah turunan -imidazoliletilamin yang pada dasarnya terdapat
di dalam seluruh jaringan mamalia. Kerja fisiologis utama histamine berpusat pada
system kardiovaskular, otot polos nonvascular, kelenjar eksokrin, dan medula
adrenal. Dalam pengetahuan umum , histamine berperan penting sebagai komponen
pembawa kimia pada berbagai jalur yang terlibat dalam organism multiseluler,
yang memungkinkan berkomunikasi secara efektif dan efisien.
1.2 Rumusan Masalah
2. Apa itu Autakoid ?
3. Apa itu Histamin dan Antihistamin ?
4. Apa itu Alergi dan Antialergi ?
5. Apa itu serotonin dan antiserotonin ?
1.3. Tujuan
agar mahasiswa atau pembaca memperoleh pengetahuan tentang:
Autakoid
Histamin
Antihistamin
Anti - Alergi Lain
Serotonin
Antiserotonin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Autakoid
Dalam bahasa Yunani disebut denga autos yang berari sendiri, dan
akos yang berarti menyembuhkan.autakoid adalah segolongan zat yang
terdapat dalam tubuh yang mempunyai reseptor yg beraneka macam yang
dapat menimbulkan efek sistemik.Fungsinya seperti hormon local. Dihasilkan
oleh jaringan >> kel.endokrin. Terbentuk secara alami atau analog sintetik.
Antagonis autakoid = senyawa yg menghambat sintesis autakoid
tertentu/mempengaruhi interaksinya dgn reseptor Autakoid adalah zat yang
dihasilkan oleh sel tertentu dalam tubuh yang dapat menimbulkan suatu efek
fisiologis. Jenis-jenis Autakoid antara lain : 1. Histamin 2. Eikosanoid, meliputi
prostaglandin, tromboksan, leukotrien dan prostasiklin. 3. Serotonin
2.2 Histamin
a. Sejarah
Histamin dan asetilkolin mempunyai persamaan sejarah yaitu disintesis secara
kimia lebih dahulu sebelum dikenal sifat-sifat biologinya; keduanya pertama kali
diisolasi dari ekstrak ergot. Histamin dan asetilkolin kemudian terbukti dihasilkan
oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal abad ke 19 histamin dapat
diisolasi dari jaringan hati dan paru-paru segar. Histamin juga ditemukan pada
berbagai jaringan tubuh, oleh karena itu diberi nama histamin (histos-jaringan).
Kemudian terbukti bahwa pada penggoresan kulit dilepaskan zat yang sifatnya mirip
histamin (H-subtance) yang kemudian terbukti histamin.
b. Kimia
Histamin atau beta-imidazoliletilamin ialah 4 (2-aminoetil)- Imidazol, yang
dibentuk dari asam amino histidin oleh pengaruh enzim histidin dekarboksilase.
c. Farmakodinamik
Reseptor Histamin
Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu juga
berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing. Histamin menstimulasi
sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP dan menurunkan kadar cGMP,
sedangkan antihistamin H2 memblokade efek tersebut. Pada otot polos bronkus
aktivasi reseptor Ht oleh histamin menyebabkan bronkokonstriksi sedangkan
aktivasi reseptor H oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi. Selain itu
telah ditemukan pula reseptor H32, berfungsi menghambat saraf kolinergik dan
nonkolinergik yang merangsang saluran napas. Blokade terhadap reseptor ini
membatasi terjadinya bronkokonstiksi yang diinduksi oleh histamin.
SISTEM KARDIOVASKULAR
Dilatasi kapiler. Efek histamin yang terpenting pada manusia ialah dilatasi
kapiler (arteriol dan venul), dengan akibat kemerahan dan rasa panas di wajah
(blushing area), menurunnya resistensi perifer dan tekanan darah. Afinitas histamin
terhadap reseptor H amat kuat, efek vasodilatasi cepat timbul dan berlangsung
singkat. Sebaliknya pengaruh histamin terhadap reseptor H 21, menyebabkan
vasodilatasi yang timbul lebih lambat dan berlangsung lebih lama. Akibatnya
pemberian AH, dosis kecil hanya dapat menghilangkan efek dilatasi oleh histamin
dalam jumlah kecil, sedangkan efek histamin dalam jumlah lebih besar hanya dapat
dihambat oleh kombinasi AH1 dan AH21.
Permeabilitas kapiler. Histamin meningkatkan permeabilitas kapiler dan ini
merupakan efek sekunder terhadap pembuluh darah kecil. Akibatnya protein dan
cairan plasma keluar ke ruangan ekstrasel dan menimbulkan udem. Efek ini jelas
disebabkan oleh peranan histamin terhadap reseptor H1.
Triple response. Bila histamin disuntikkan intradermal pada manusia akan timbul
tiga tanda khas yang disebut triple response dari Lewis, yaitu: (1) bercak merah
setempat beberapa mm sekeliling tempat suntikan yang timbul beberapa detik
setelah suntikan. Hal ini disebabkan oleh dilatasl lokal kapiler, venul dan arterial
terminal akibat efek langsung histamin. Daerah tersebut dalam satu menit menjadi
kebiruan atau tidak jelas lagi karena adanya udem; (2) flare, berupa kemerahan yang
tebih terang dengan bentuk tidak teratur dan menyebar + 1-3 cm sekitar bercak
awal. Ini disebabkan oleh dilatasi arteriol yang berdekatan akibat refleks akson; (3)
udem setempat (wheal) yang dapat dilihat setelah 1-2 menit pada daerah bercak
awal. Udem ini menunjukkan meningkatnya permeabilitas oleh histamin.
Pembuluh darah besar.
Histamin cenderung menyebabkan konstriksi pembuluh darah besar yang
intensitasnya berbeda antar spesies. Pada binatang mengerat, konstriksi juga terjadi
pada pembuluh yang lebih kecil, bahkan pada dosis yang besar vasokonstriksi
menutupi efek vasodilatasi kapiler sehingga justru terjadi peningkatan resistensi
periter.
Jantung.
Histamin mempengaruhi langsung kontraktilitas dan elektrisitas jantung. Obat ini
mempercepat depolarisasi diastol di nodus SA sehingga frekuensi denyut jantung
meningkat. Histamin juga memperlambat konduksi AV, meningkatkan automatisitas
jantung sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia. Semua efek ini
terjadi melalui perangsangan reseptor H1 di jantung, kecuali perlambatan konduksi
AV yang terjadi lewat perangsangan reseptor H2.
Tetapi dosis konvensional histamin IV 4idak menimbulkan efek yang nyata terhadap
jantung. Bertambahnya trekuensi denyut jantung dan curah jantung pada pemberian
infus histamin disebabkan oleh retleks kompensasi terhadap penurunan tekanan
darah.
Tekanan darah.
Pada manusia dan beberapa spesies lain, dilatasi arteriol dan kapiler akibat
histamin dosis sedang menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang
kembali normal setelah terjadi refleks kompensasi atau setelah histamin
dihancurkan. Bila dosis histamin sangat besar maka hipotensi tidak dapat diatasi dan
dapat terjadi syok histamin.
OTOT POLOS NONVASKULAR.
Histamin merangsang atau menghambat kontraksi berbagai otot polos.
Kontraksi otot polos terjadi akibat aktivasi reseptor H 1, sedangkan relaksasi otot
polos sebagian besar akibat aktivasi reseptor H2. Pada orang sehat bronkokonstriksi
akibat histamin tidak begitu nyata, tetapi pada pasien asma bronkial dan penyakit
paru lain efek ini sangat jelas. Histamin menyebabkan bronkokonstriksi pada
marmot walaupun dengan dosis kecil, sebaliknya histamin menyebabkan relaksasi
bronkus domba dan trakea kucing. Histamin pada uterus manusia tidak
menimbulkan efek oksitosik yang berarti KELENJAR EKSOKRIN
Kelenjar lambung.
Histamin dalam dosis lebih rendah daripada yang berpengaruh terhadap
tekanan darah akan meningkatkan sekresi asam lambung. Komposisi cairan
lambung ini berbeda-beda antar spesies dan pada berbagai dosis. Pada manusia
histamin menyebabkan pengeluaran pepsin, dan faktor intrinsik Castle bertambah
sejalan dengan meningkatnya sekresi HCl. Ini akibat perangsangan langsung
terhadap sel parietal melalui reseptor H2. Perangsangan fisiologis ini melibatkan
juga asetilkolin yang dilepaskan selama aktivitas vagus, dan gastrin. Maka setelah
vagotomi atau pemberian atropin, efek histamin akan menurun. Selain itu blokade
reseptor H2 tidak hanya menghambat produksi asam lambung, tetapi juga
mengurangi efek gastrin atau aktivitas vagal.
Kelenjar lain.
Histamin meninggikan sekresi kelenjar liur, pankreas, bronkial dan air mata
tetapi umumnya efek ini lemah dan tidak tetap.
UJUNG SARAF SENSORIS.
Nyeri dan gatal. Flare oleh histamin disebabkan oleh pengaruhnya pada
ujung saraf yang menimbulkan refleks akson. Ini merupakan kerja histamin
merangsang reseptor H1 di ujung saraf sensoris. Histamin intradermal dengan cara
goresan, suntikan atau iontoforesis akan menimbulkan gatal, sedangkan pemberian
SK terutama dengan dosis lebih tinggi akan menimbulkan nyeri disertai gatal.
MEDULA ADRENAL DAN GANGLIA.
Selain merangsang ujung saraf sensoris, histamin dosis besar juga langsung
merangsang sel kromafin medula adrenal dan sel ganglion otonom. Pada pasien
feokromositoma pemberian IV histamin akan meningkatkan tekanan darah.
d. Histamin Endogen Histamin berperan penting dalam fenomena fisiologis dan
patologis terutama pada anafilaksis, alergi, trauma dan syok. Selain itu terdapat
bukti bahwa histamin merupakan mediator terakhir dalam respons sekresi cairan
lambung; histamin juga mungkin berperan dalam regulasi mikrosirkulasi dan dalam
fungsi SSP.
Distribusi. Histamin terdapat pada hewan antara lain pada bisa ular, zat beracun,
bakteri dan tanaman. Hampir semua jaringan mamalia mengandung prekursor
histamin. Kadar histamin paling tinggi ditemukan pada kulit, mukosa usus dan paru-
paru.
Sumber, Sintesis Dan Penyimpanan. Histamin yang asal makanan atau yang
dibentuk bakteri usus bukan merupakan sumber histamin endogen karena sebagian
besar histamin ini dimetabolisme dalam hati, paru-paru serta jaringan lain dan
dikeluarkan melalui urin. Setiap sel jaringan mamalia yang mengandung histamin,
misalnya leukosit, dapat membentuk histamin dari histidin. Enzim penting untuk
sintesis histamin ialah L-histidin dekarboksilase. Depot utama histamin ialah mast
cell dan juga basofil dalam darah. Histamin disimpan sebagai kompleks dengan
heparin dalam secretory granules. Laju malih histamin dalam depot ini lambat.
Apabila terjadi pengosongan, baru setelah beberapa minggu dapat terisi kembali.
Histamin juga terdapat dalam jumlah besar di sel epidermis dan mukosa usus
dengan laju malih yang cepat.
Fungsi Histamin Endogen. Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi antigen-
antibodi (antibodi IgE) menyebabkan kulit melepaskan histamin sehingga terjadi
vasodilatasi, gatal dan udem. Penglepasan histamin selama terjadinya reaksi
antigenantibodi telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti. Hipotesis yang
menyatakan bahwa histamin merupakan perantara terjadinya fenomena
hipersensitivitas telah mapan. Selama reaksi hipersensitivitas selain histamin
dilepaskan juga autakoid lain misalnya serotonin, kinin plasma dan slow reacting
substance (SRS). Pada mamalia histamin menimbulkan anafilaksis, pruritus,
urtikaria, angioudem dan hipotensi, sedangkan kolaps vaskuler disebabkan oleh
kinin plasma dan bronkospasme oleh SRS.
Penglepasan histamin oleh zat kimia dan obat.
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenik sehingga akan melepaskan histamin
dari mast cell dan basofil. Zat-zat tersebut ialah : (1) enzim kimotripsin, fostolipase
dan tripsin; (2) beberapa surface active agents misalnya detergen, garam empedu
dan lisolesitin; (3) racun dan endotoksin; (4) polipeptida alkali dan ekstrak jaringan;
(5) zat dengan berat molekul tinggi misalnya ovomukoid, zimosan, serum kuda,
ekspander plasma dan polivinilpirolidon; (6) zat bersifat basa misalnya morfin,
kodein, antibiotik, meperidin, stilbamidin, propamidin, dimetiltubokurarin, d-
tubokurarin, dan (7) media kontras. Pembebas histamin yang banyak diteliti ialah
48/80. Beberapa detik setelah pemberian 48/80 IV pada manusia akan timbul gejala
seperti terbakar dan gatal-gatal. Gejala ini nyata pada telapak tangan, muka, kulit
kepala dan telinga, diikuti dengan rasa panas. Kemerahan kulit segera meluas ke
seluruh badan. Tekanan darah menurun, frekuensi jantung bertambah, timbul sakit
kepala berat. Setelah beberapa menit tekanan darah kembali normal, dan timbul
udem terutama di daerah abdomen dan toraks disertai kolik, mual, hipersekresi asam
lambung dan bronkospasme.
Penglepasan histamin oleh sebab lain. Proses fisik seperti mekanik, termal atau
radiasi cukup untuk merusak sel terutama mast cell yang akan melepaskan histamin.
Hal ini terjadi misalnya pada cholinergic urticaria, solar urticaria dan cold
urticaria. Pada beberapa orang, pendinginan akan menyebabkan kemerahan lokal,
flare, gatal-gatal dan udem.
Pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Histamin banyak dibentuk di jaringan
yang sedang bertumbuh cepat atau sedang dalam proses perbaikan misalnya pada
jaringan embrio, regenerasi hati, sumsum tulang, luka, jaringan granulasi dan
perkembangan keganasan pada berbagai spesies terutama tikus. Histamin yang
terbentuk ini disebut nascent histamine; tidak ditimbun tetapi berdifusi bebas.
Penghambatan histidin dekarboksilase akan menghambat perkembangan janin pada
tikus. Sebaliknya obat yang meningkatkan kapasitas pembentukan histamin akan
mempercepat penyembuhan luka. Nascent histamine diduga juga berperan dalam
proses anabolik.
Sekresi cairan lambung.
Telah dibahas di farmakodinarni histamin.
e. Histamin Eksogen Histamin eksogen bersumber dari daging, dan bakteri dalam
lumen usus atau kolon yang membentuk histamin dari histidin. Sebagian histamin
ini diserap kemudian sebagian besar akan dihancurkan dalam hati, sedangkan
sebagian kecil masih ditemukan dalam arteri tetapi jumlahnya terlalu rendah untuk
merangsang sekresi lambung. Pada pasien sirosis hepatis, kadar histamin dalam
darah arteri akan meningkat setelah makan daging, sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya tukak peptik.
Farmakokinetik. Histamin diserap secara baik setelah pemberian SK atau IM.
Efeknya tidak ada karena histamin cepat dimetabolisme dan mengalami difusi ke
jaringan. Histamin yang diberikan oral tidak efektif karena diubah oleh bakteri usus
(E. coli) menjadi N-asetil-histamin yang tidak aktif. Sedangkan histamin yang
diserap diinaktivasi dalam dinding usus atau hati.
Pada manusia ada dua jalan utama dalam metabolisme histamin, yaitu: (1) metilasi
oleh histamine N-metiltransferase menjadi N-metilhistamin; N-metilhistamin oleh
MAO diubah menjadi asam N-metil imidazol asetat; (2) deaminasi oleh histaminase
atau diaminoksidase yang nonspesifik menjadi asam imidazol asetat dan mungkin
juga dalam bentuk konjugasinya dengan ribosa. Metabolit yang terbentuk akan
diekskresi dalam urin.
Intoksikasi Keracunan histamin jarang terjadi dan bila terjadi karena takar lajak.
Gejala utama berupa vasodilatasi umum, tekanan darah turun sampai syok,
gangguan penglihatan dan sakit kepala (histamine cephalgia). Sakit kepala ini
biasanya sebelah, hilang timbul, terutama terjadi pada malam hari, disertai lakrimasi
dan rinore ipsilateral. Juga dapat terjadi muntah, diare, rasa logam, sesak napas dan
bronkospasme. Pengobatan keracunan histamin yang paling baik ialah dengan
memberikan adrenalin. AH1 hanya bermanfaat bila diberikan setengah jam sebelum
keracunan terjadi.
Sediaan Histamin fosfat tersedia sebagai obat suntik yang mengandung 0,275 atau
0,55 mg/ml (sesuai dengan 0,1, 0,2 mg dan 2,75 mg/ml histamin basa).
Indikasi.
Histamin digunakan untuk beberapa prosedur diagnostik : (1) Penetapan
kemampuan sekresi asam lambung. Basa histamin 0,3-0,7 mg diberikan SK sesudah
puasa satu malam, setelah 60-90 menit akan terjadi sekresi asam lambung yang
maksimal. Pada penyakit achylia gastrica vera, anemia pernisiosa, gastritis atrofik
atau karsinoma lambung, sekresi asam lambung tidak terjadi atau berkurang. Pada
tukak duodenum dan sindrom Zollinger-Ellison ditemukan hipersekresi asam
lambung dengan tes ini. H2 agonis misalnya dimaprit dan impromidin bekerja lebih
selektif dari histamin dalam mensekresi asam lambung. (2) Tes integritas serabut
saraf sensoris pada kelainan neurologis dan lepra. Penyuntikan intradermal histamin
akan menimbulkan flare melalui refleks akson; (3) inhalasi histamin juga digunakan
untuk menilai reaktivitas bronkus; (4) Diagnosis feokromositoma. Histamin 0,025-
0,05 mg IV sewaktu tekanan darah turun akan meninggikan tekanan darah.
Peninggian tekanan darah ini disebabkan karena histamin merangsang medula
adrenal sehingga adrenalin dilepaskan dalam jumlah besar. Manfaat histamin untuk
tujuan terapeutik masih kontroversial.
Kontraindikasi Dan Efek Samping.
Histamin tidak boleh diberikan pada pasien asma bronkial atau hipotensi.
Dosis kecil histamin (0,01 mg/ kgBB, SK) untuk tes sekresi asam lambung akan
menimbulkan kemerahan di wajah, sakit kepala dan penurunan tekanan darah.
Hipotensi ini biasanya bersifat postural (hipotensi ortostatik) dan pulih sendiri bila
pasien dibaringkan.
Antihistamin Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak
proses faalan dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek
histamin. Epinefrin merupakan antagonis faalan pertama yang digunakan. Antara
tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan
dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin misalnya antergan,
neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk
mengobati udem, eritem dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi
asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut di atas digolongkan dalam
antihistamin penghambat reseptor H (AH1). Sesudah tahun 1972, ditemukan
kelompok antihistamin baru, yaitu burimamid, metiamid dan simetidin yang dapat
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Kedua jenis antihistamin ini
bekerja secara kompetitif, yaitu dengan menghambat interaksi histamin dan reseptor
histamin H1 atau H2.
a. Farmakologi ANTAGONISME TERHADAPHISTAMIN.
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen
berlebihan.
Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot
polos (usus, bronkus). Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AHt
pada percobaan dengan marmot.
Permeabilitas kapiler. Peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat
histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi
refrakter terhadap pemberian AH, karena di sini bukan histamin saja yang berperan
tetapi autakoid lain juga dilepaskan. Efektivitas AH 11 melawan reaksi
hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan
lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH dapat mencegah asfiksi pada marmot
akibat histamin, tetapi hewan ini mungkin mati karena AH 11 tidak mencegah
perforasi lambung akibat hipersekresi cairan lambung. AH 1 dapat menghambat
sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
Susunan saraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP.
Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH 1 biasanya ialah
insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada
keracunan AH. Dosis terapi AH11 umumnya menyebabkan penghambatan SSP
dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang
lambat. Golongan etanolamin misalnya difenhidramin paling jelas menimbulkan
kantuk, akan tetapi kepekaan pasien berbeda-beda untuk masing-masing obat.
Antihistamin yang relatif baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sangat
sedikit menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya
tidak menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. Obat-obat
tersebut digolongkan sebagai antihistamin nonsedatif. Dalam golongan ini termasuk
juga loratadin, akrivastin, mequitazin, setirizin yang data klinisnya masih terbatas.
AH1 juga efektif untuk mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau
sebab lain. Difenhidramin dapat mengatasi paralisis agitans, mengurangi rigiditas
dan memperbaiki kelainan pergerakan
Anestesi lokal. Beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda.
AH1 yang baik sebagai anestesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi
untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi
dari pada sebagai antihistamin.
Antikolinergik. Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk
terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut
kering, kesukaran miksi dan impotensi. Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh
terhadap reseptor muskarinik.
Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH tidak memperlihatkan efek yang
berarti pada sistem kardiovaskular. Beberapa AH11 memperlihatkan sitat seperti
kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.
Penyakit alergi. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya
pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat
efek histamin yang dilepaskan sewaktu_ reaksi antigen-antibodi terjadi. AH tidak
berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab
berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan menghindari
alergen, desensitisasi atau menekan reaksi tersebut dengan kortikosteroid. AH 11
tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autakoid lain. Asma bronkial
terutama disebabkan oleh SRSA atau leukotrien, sehingga AH 1 saja tidak efektif.
AH dapat mengatasi asma bronkial ringan bila diberikan sebagai profilaksis. Untuk
asma bronkial berat, aminofilin, epinefrin dan isoproterenol merupakan pilihan
utama. Pada anafilaktis, AH11 hanya merupakan tambahan dari epinefrin yang
merupakan obat terpilih. Pada angioudem berat dengan udem laring, epinefrin juga
paling baik hasilnya. Epinefrin merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis
alergi karena epinefrin : (1) lebih efektif daripada AH 1; (2) efeknya lebih cepat; (3)
merupakan antagonis tisiologik dari histamin dan autakoid lainnya. Artinya
epinefrin mengubah respons vasodilatasi akibat histamin dan autakoid lain menjadi
vasokonstriksi.
Farmakodinamik.
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor Hsecara selektif dan reversibel.
Perangsangan reseptor H22 akan merangsang, sekresi cairan lambung, sehingga
pada pemberian simetidin atau ranftidin sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh
fisiologi simetidin dan raniticlin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting.
Walaupun tidak lengkap simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi cairan
lambung akibat perangsangan obat muskarinik atau gastrin. Simetidin dan ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi
asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.
Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat
pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 - 3 jam pada orang dewasa,
dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit
hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal.
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin
secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin mengalami
metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberianvral.
Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja.
Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara
oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.
Efek Samping. Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya
berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2; beberapa efek samping
lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping IN antara lain
nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasf, ruam kulit, pruritus,
kehilangan libido dan Impoten.
Interaksi Obat.
Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obatlain belum dilaporkan
meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak mengganggu
oksidasi diazepam, teofilin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol
membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bila diberikan
bersama AH2.
Dosis. Oral dewasa, pada tukak duodenum atau tukak lambung aktif 40 mg
satu kali sehari pada saat akan tidur. Umumnya 90% tukak sembuh setelah 8 minggu
pengobatan. Pada pasien tukak peptik tanpa komplikasi dan bersihan kreatinin < 10
ml/menit, dosis awal 20 mg pada saat akan tidur. Dosis pemelharaan untuk pasien
tukak duodenum 20 mg. Untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison dan lain keadaan
hipersekresi asam lambung, dosis harus diindividualisasi. Dosis awal per oral yang
dianjurkan 20 mg tiap 6 jam.
Intravena : Pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien
yang tidak dapat diberikan sediaan oral, famotidin diberikan intravena 20 mg tiap 12
jam. Dosis obat untuk pasien harus dititrasi berdasarkan jumlah asam lambung yang
disekresi.
c. Nizatidin
2.4 Anti - Alergi Lain AH1 tidak sepenuhnya etektif untuk pengobatan simtomatik
reaksi hipersensitivitas akut. Hal ini disebabkan oleh fungsi histamin yang
sebenarnya merupakan pemacu untuk dibentuk dan dilepasnya autakoid lain. Baru
kemudian histamin dan autakoid lain ini bersama-sama menimbulkan simtom
alergi. Untuk menghambat semua efek ini diperlukan penghambat berbagai
autakoid tersebut, hal ini pada kenyataannya sulit dicapai, sebab belum tersedia
penghambat untuk semua autakoid. Itutah sebabnya pengobatan reaksi alergi lebih
ditujukan pada penggunaan antagonis fisiologis misalnya epinefrin pada
anafilaksis dan kortikosteroid pada gejala alergi yang tidak berespons terhadap
AH1. Tetapi terapi ini, seperti halnya penghambat autakoid, tidak tertuju pada
penyebabnya.
Pernapasan.
e. Sediaan Tidak ada sediaan serotonin kecuali untuk penelitian yang tersedia
dalam bentuk kompleks dengan kreatinin sulfat. Pemberian serotonin secara oral
yang diikuti dengan pengukuran 5-HIAA dalam urin menunjukkan derajat
penghambatan MAO.
f. Ketanserin
Ketanserin Ketanserin merupakan penghambat reseptor 5-HT selektif tanpa
memperlihatkan efek terhadap reseptor 5-HT12. Tetapi ketanserin juga mempunyai
afinitas yang berarti terhadap reseptor H adrenergik dan reseptor H11 (histamin).
Obat ini juga menghambat secara ringan reseptor dopamin. Ketanserin
mengantagonisasi efek vasokonstriksi 5-HT pada berbagai sediaan vaskular,
sehingga mungkin bermanfaat untuk pengobatan hipertensi, klaudikasio intermiten
dan fenomen Raynaud. Ketanserin menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi, tetapi ritanserin, suatu antagonis 5-HT yang lebih selektif tidak
mempunyai efek antihipertensi pada dosis ekuivalen dengan ketanserin sebagai
antagonis 5HT22. Mekanisme kerja ketanserin sebagai antihipertensi diduga
merupakan gabungan efeknya terhadap reseptor 5-HT1 dan a1- adrenergik. Efek
penurunan tekanan darah ini agaknya terjadi karena menurunnya tonus pembuluh
kapasitans (capacitance vessels) dan resistans (resistance vessels). Potensi
antihipertensif ketanserin kira-kira sebanding dengan penghambat adrenergik A atau
diuretik. Efek samping yang dapat terjadi umumnya ringan seperti mengantuk,
mulut kering, pusing dan mual. Ketanserin juga menghambat respons kontraksi otot
trakea dan efek agregasi trombosit akibat 5-HT, sedangkan agregasi trombosit sebab
agonis lain tidak begitu dipengaruhi.
.Farmakologi. Metisergid menghambat efek vasokonstriksi dan presor serotonin
pada otot polos vaskular. Efek terhadap susunan saraf sangat kecil. Walaupun obat
ini suatu derivat ergot, sifat vasokonstriksi dan oksitosiknya jauh lebih lemah
daripada alkaloid ergot. Obat ini dapat digunakan untuk mencegah serangan migren
dan sakit kepala vaskular lainnya, termasuk sindrom Horton. Penggunaan
profilaksis mengurangi frekuensi dan intensitas serangan sakit kepala. Rebound
headache sering terjadi bila obat ini dihentikan. Metisergid tidak bermanfaat pada
migren akut, bahkan merupakan kontraindikasi. Cara kerja metisergid dalam
mengatasi sakit kepala vaskular tidak diketahui, hubungannya dengan serotonin
masih diragukan
c. Siproheptadin Kimia siproheptadin
Farmakologi. Siproheptadin merupakan antagonis histamin (H1) dan serotonin
yang kuat. Siproheptadin melawan efek bronkokonstriksi akibat pemberian
histamin pada marmot, dengan potensi yang menyamai atau melampaui antihistamin
yang paling kuat. Obat ini juga menghambat efek bronkokonstriktor, stimulasi rahim
dan udem oleh serotonin pada hewan coba dengan aktivitas yang sebanding atau
melebihi LSD. Selain itu siproheptadin mempunyai aktivitas antikolinergik dan efek
depresi SSP yang lemah.
Siproheptadin bermanfaat untuk pengobatan alergi kulit seperti dermatosis
pruritik yang tidak teratasi dengan antihistamin. Berdasarkan efek antiserotoninnya,
obat ini digunakan pada dumping syndrome pasca gastrektomi dan hipermotilitas
usus pada karsinoid. Penggunaannya pada karsinoid lambung berdasarkan kedua
efek tersebut. Akan tetapi saat ini oktreotida lebih disukai dalam pengobatan supresi
gejala karsinoid.
Efek samping.
Yang paling menonjol ialah perasaan mengantuk. Efek samping lain yang jarang
terjadi ialah : mulut kering, anoreksia, mual, pusing dan pada dosis tinggi dapat
menyebabkan ataksia. Yang menarik perhatian, siproheptadin sering menyebabkan
berat badan bertambah, yang pada anak-anak disertai dengan percepatan
pertumbuhan. Mekanismenya mungkin melalui perubahan pengaturan sekresi
hormon pertumbuhan. Penggunaannya dalam klinik sebagai penambah nafsu makan
diragukan.
d. Fluoksetin
Farmakologi. Fluoksetin ialah penghambat ambilan 5-HT yang sangat selektif dan
poten. Efek ini terlihat pada trombosit dan jaringan otak. Tetapi hubungannya
dengan efek terapi obat tidak jelas.
Obat ini diabsorpsi secara baik pada pemberian per oral, bioavailabilitasnya
tidak dipengaruhi makanan. Fluoksetin dimetabolisme terutama dengan N-
demetilasi menjadi norfluoksetin yang sama potennya. Waktu paruh plasma setelah
pemberian dosis tunggal ialah 48-72 jam, sedangkan bila ditambah metabolit
menjadi 7-15 hari. Obat ini terikat protein sebanyak 80-95%. Tidak ada hubungan
antara kadar plasma fluoksetin dengan efek terapinya. Gangguan fungsi ginjal
ringan tidak mempengaruhi kinetik fluoksetin secara bermakna. Bersihan fluoksetin
dan norfluoksetin berkurang pada pasien dengan gangguan faal hati yang berat.
Fluoksetin diekskresi dalam air susu, tetapi belum diketahui apakah dapat
menembus plasenta atau tidak.
Efek samping.
Efek samping fluoksetin yang berbahaya jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan
terjadinya vaskulitis, eritema multiforme dan serum sickness. Vaskulitis jika
mengenai organ penting misalnya paru-paru, ginjal atau hati dapat berakibat fatal.
Fluoksetin yang digunakan dalam dosis tunggal berlebihan, bersama obat
lain atau alkohol pernah dilaporkan mengakibatkan kematian. Efek samping
fluoksetin pada dosis biasa dapat berupa : keluhan SSP (cemas, insomnia,
mengantuk, lelah, astenia, tremor) berkeringat, gangguan saluran cerna (anoreksia,
mual, muntah, diare), sakit kepala dan rash kulit. Gejala lain juga dapat berupa
demam, leukositosis, artralgia, edema, sindrom karpal, gangguan faal hati, dsb.
Kontraindikasi.
Fluoksetin tidak boleh diberikan bersama penghambat MAO. Walaupun tidak
menimbulkan kelainan reproduktif pada hewan coba, fluoksetin sebaiknya tidak
diberikan pada wanita hamil karena data pada manusia belum cukup. Obat int tidak,
dianjurkan penggunaannya pada anak dan usia lariJut. Fluoksetin dapat berinteraksi
dengan obat lain yaitu antidepresan, lithium, diazepam, warfarin, digitoksin, obat-
obat SSP, sehingga penggunaannya bersamaan harus dilakukan secara lebih
berhatihati. Penggunaannya harus dilakukan secara hati-hati pada penyakit
kardiovaskular, penyakit hati dan diabetes melitus.
d. Sertralin
Farmakokinetik.
Absorpsi oral lambat, kadar puncak plasma baru tercapai 6-8 jam setelah
pemberian. Pada pemberian bersama makanan area di bawah kurva (AUC)
meningkat 39% dan Cmax 32% dibanding dengan pemberian pada lambung kosong.
Kenyataan ini mungkin berhubung berkurangnya eliminasi presistemik, bila obat
diberi bersama makanan. Obat ini mengalami metabolisme presistemik.
Farmakologi.
Sertralin menghambat ambilan serotonin. Obat ini merupakan salah satu inhibitor
ambilan serotonin selektif. Potensinya sebagai penghambat 47 ambilan 5-HT lebih
kuat dibanding dengan klomipramin dan amitriptilin yaitu secara berurutan 1 : 0;16 :
0,02.
Susunan saraf pusat.
Pengaruh sertralin terhadap EEG yang mirip pengaruh desipramin paling
jelas 6 jam setelah pemberian, sewaktu kadar plasma puncak tercapai. Efek sedatif
tidak terlihat sampal dosis 150 mg, tetapi dengan dosis 400 mg sedasi ringan terjadi.
Ditinjau dari pengaruhnya terhadap EEG, sertralin berada antara obat antidepresan
dan obat angiolitik.
Psikomotor.
Secara umum sertralin dengan dosis 100 mg tidak mempengaruhi fungsi
psikomotor.
Kardiovaskular.
Sertralin 3 x 50 mg tidak menimbulkan kelainan EKG pada orang sehat.
Pengaruhnya terhadap jantung diduga kurang dari antidepresan trisiklik.
Indikasi.
Obat ini diindikasikan pada depresi. Indikasi pada obesitas dan ganggan
kompulsif-obsesif masih dalam taraf penjajagan.
Efek samping.
Efek samping jarang (< 5%), dari yang terjadi berupa gejala SSP dan saluran
cerna. Gejala SSP berupa tremor, pusing, somnolens dan hiperhidrosis. Gejala
saluran cerna berupa mual, muntah, tinja lembek dan dispepsia. Gangguan seksual
serupa dengan gangguan akibat antidepresan trisiklik. Penurunan berat badan
mungkin mengganggu, tetapi rata-rata pasien berat badannya hanya turun 1-2 kg.
Jarang sekali obat perlu dihentikan sehubungan penurunan berat badan.
Empat kasus takar lajak (maksimum 2,6 g) dilaporkan terjadi. Keempatnya
pulih sempurna. Tidak ada antidotum spesifik; yang perlu dilakukan hanya terapi
simtomatik dan suportif.
e. Ondansetron
Farmakologi. Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang
dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya asplatin dan radiasi.
Mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dengan mengantagonisasi reseptor 5-HT
yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone di area postrema otak dan mungkin
juga pada aferen vagal saluran cerna.
Ondansetron juga mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan
basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang, sehingga dapat terjadi
konstipasi. Ondansetron tidak efektif untuk pengobatan motion sickness.
Pada pemberian oral, obat ini diabsorpsi secara cepat. Kadar maksimum
tercapai setelah 1-1,5 jam, terikat protein plasma sebanyak 7076 %, dan waktu
paruh 3 jam. Ondansetron di eliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat
ini terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukuronida atau sulfat dalam
hati.
Efek Samping.
Ondansetron biasanya ditoleransi secara baik. Keluhan yang umum
ditemukan ialah konstipasi. Gejala lain dapat berupa sakit kepala, flushing,
mengantuk, gangguan saluran cerna, dsb. Belum diketahui adanya interaksi dengan
obat SSP lainnya seperti diazepam, alkohol, morfin atau anti emetik lainnya.
Kontraindikasi.
Keadaan hipersensitivitas merupakan kontraindikasi penggunaan
ondansetron. Obat ini dapat digunakan pada anak-anak. Obat ini sebaiknya tidak
digunakan pada kehamilan, dan ibu masa menyusui karena kemungkinan disekresi
dalam ASI. Pasien dengan penyakit hati mudah mengalami intoksikasi, tetapi pada
insutisiensi ginjal agaknya dapat digunakan dengan aman.
Karena obat ini sangat mahal, maka penggunaannya harus dipertimbangkan
dengan baik, mengingat obat dengan indikasi sejenis tersedia cukup banyak.
Indikasi.
Ondansetron digunakan untuk mengatasi mual dan muntah pada pengobatan
kanker dengan radioterapi dan sitostatika. Sumatriptan Sumatriptan merupakan
suatu 5-HT, agonis yang dikembangkan sebagai obat migren. Aktivitas antimigren
diduga berdasarkan efek vasokonstriksi pembuluh darah kranial yang mengalami
dilatasi sewaktu serangan dan penghambat inflamasi neurogenik di duramater.
Dugaan peranan serotonin dalam patogenesis migren semakin kuat dengan
kenyataan bahwa sebagian besar serangan migren dapat diatasi dengan sumatriptan.
Sumatriptan merupakan agonis selektif di reseptor 5-HT-like yang
memperantarai konstriksi pembuluh darah kranial. Obat ini hampir tidak
memperlihatkan aktivitas pada reseptor 5-HT11 lainnya yang memperantarai
vasodilatasi pembuluh darah kranial, 5-HT2, 5-HT, tetapi memperlihatkan efek
vasokonstriksi lemah pada pembuluh darah koroner lewat reseptor 5-HT1.
Farmakokinetik.
Median kadar puncak plasma 10 menit (rentang waktu 5-20 menit) setelah dosis
6 mg SK, dan 1 1/2 jam (rentang waktu 1/2 - 4 9/2 jam) setelah dosis 100 mg oral.
Pada orang sehat kadar puncak 72 ug/L setelah 6 mg SK, 77 ug/L setelah 3 mg IV
dan 54 ug/L setelah 100 mg oral. Bioavailabilitas hanya 14% setelah pemberian oral
karena metabolisme lintas pertama, setelah pemberian subkutan bioavailabilitas
96%.
Dibanding dengan plasebo, sumatriptan jelas lebih efektif mengatasi gejala
mual, muntah, fonofobia dan fotofobia. Sayangnya 40% pasien mengalami
kekambuhan dalam 24-48 jam. Dari data saat ini dapat disimpulkan bahwa
sumatriptan sama efektif pada serangan ulang. Belum ada petunjuk untuk
menyokong penggunaan sumatriptan sebagai profilaksis kekambuhan.
Efek samping.
Sumatriptan terterima baik. Efek samping ringan dan selintas, berhubungan
dengan cara pemberian. Mual muntah dan gangguan rasa (taste) paling sering
dilaporkan setelah pemberian oral. Gangguan rasa ini sebagian berhubungan dengan
bentuk sediaan dispersible tablet dan hilang setelah sediaan diubah menjadi bersalut
film. Nyeri, merah di tempat suntikan terjadi setelah pemberian subkutan dan juga
parestesia, flushing, rasa panas dan terbakar.
Posologi. Dosis subkutan ialah 6 mg diberikan sedini mungkin dalam serangan,
boleh diulang sekali selang I jam, selama 24 jam. Dosis oral 100 mg, sedini
mungkin, boleh diulang. Dosis oral maksimal per hari 300 mg.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Autakoid adalah zat yang dihasilkan oleh sel tertentu dalam tubuh yang dapat
menimbulkan suatu efek fisiologis. Jenis-jenis Autakoid antara lain : 1.
Histamin 3. Serotonin Histamin adalah suatu senyawa nitrogen organik lokal
yang terlibat dalam respon imun serta mengatur fungsi fisiologis dalam usus
dan bertindak sebagai neurotransmitter . Histamin memicu respon inflamasi .
Sebagai bagian dari respon kekebalan terhadap asing patogen, Histamin
dihasilkan oleh basofil dan sel mast yang ditemukan dalam jaringan ikat di
sekitarnya. Serotonin adalah neurotransmitter monoamina yang terutama
ditemukan pada gastrointestinal (GI) saluran dan sistem saraf pusat (SSP).
Sekitar 80 persen dari total serotonin tubuh manusia terletak dalam sel-sel
enterochromaffin di usus, di mana ia digunakan untuk mengatur gerakan usus