Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
"Inflasi November ini diperkirakan mencapai 0,32 persen (MoM) dan 3,43 persen secara
tahunan (Yoy). Naik dibanding bulan sebelumnya 3,31 persen Yoy," ujar dia saat dihubungi
Liputan6.com, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
Kata Josua, inflasi terkerek naik didorong peningkatan harga pangan di November 2016,
yaitu harga beras yang naik 0,19 persen, cabai merah keriting 23 persen, cabai merah 19,5
persen, serta harga bawang merah yang melonjak 14,9 persen.
"Kenaikan harga komoditas pangan, khususnya bumbu dapur jelang akhir tahun disebabkan
terganggunya pasokan cabai karena peningkatan intensitas hujan," jelas Josua.
Ia menambahkan, inflasi inti November ini diprediksi meningkat menjadi 3,18 persen (Yoy)
dari bulan sebelumnya sebesar 3,08 persen (Yoy). Penyebabnya, Josua menuturkan, karena
pelemahan nilai tukar rupiah serta tren kenaikan harga komoditas global. Sementara hingga
November ini, inflasi diperkirakan mencapai 2,44 persen (year to date/Ytd).
"Tekanan inflasi cenderung meningkat kembali sampai akhir tahun seiring meningkatnya
permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru. Curah hujan pun diperkirakan meningkat dan
akan mendorong kenaikan harga komoditas pangan. Jadi inflasi pada akhir tahun ini
diproyeksi inflasi di kisaran 3 persen (Yoy)," jelas Josua.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah
akan terus memantau dampak pencabutan subsidi listrik di tahun depan terhadap inflasi.
Pemerintah dan DPR mematok target inflasi sebesar 4 persen di Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2017.
"Dampak (pencabutan subsidi listrik) tentu saja ada. Pasti akan kami pantau terus, karena
estimasi kami kenaikan inflasi dari pemindahan tarif ini hanya sekitar 0,5 persen saja,
sehingga secara makro, ini tidak membahayakan," ucap Suahasil saat dihubungi
Liputan6.com, Jakarta, Senin (21/11/2016).
Suahasil menuturkan, saat ini jumlah pelanggan listrik yang menikmati tarif subsidi sekitar
45 juta rumah tangga. Pemerintah meyakini sebagian dari jumlah tersebut merupakan
golongan mampu yang tidak berhak menerima subsidi.
"Kita yakini sebagian dari 45 juta pelanggan penerima subsidi adalah tidak berhak karena
tidak termasuk rumah tangga miskin ataupun rentan miskin. Sehingga sekitar 22 juta rumah
tangga akan dipindahkan tarifnya menjadi tarif keekonomian," ujar Suahasil.
Sementara sisanya sekitar 23 juta rumah tangga, Suahasil mengakui akan tetap diberikan
subsidi karena berstatus masyarakat dengan sosial ekonomi terendah. Termasuk di dalamnya
rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 6,3 juta rumah tangga,
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
"Jadi saya rasa tidak akan mengganggu kesejahteraan masyarakat dan memicu penambahan
jumlah orang miskin baru," Suahasil menegaskan.
"Dampak inflasi adalah perhitungan di atas kertas. Kalau yang dicabut subsidinya rumah
tangga yang punya apartemen contohnya, maka tidak ada dampak inflasi atau menimbulkan
kemiskinan. Tapi bila pencabutan subsidi kena ke konsumen yang pakai listrik untuk proses
produksi barang dan jasa, maka dampak inflasi tidak signifikan karena konsumen yang
seperti itu tidak banyak," Askolani menuturkan.
Kebijakan pencabutan subsidi listrik, ia mengatakan sudah dibahas dan ditetapkan dalam
Undang-undang APBN 2017. Rencananya dijalankan pada Januari 2017 sehingga alokasi
anggaran subsidi listrik sebesar Rp 44,98 triliun.
Jika kebijakan tersebut gagal kembali dijalankan awal tahun, maka potensi pembengkakan
anggaran subsidi tidak dapat dihindari. "Tapi ini 2017 belum jalan, jangan berandai-andai
ada pembengkakan anggaran," ujar Askolani. (Fik/Ahm)
Sementara itu, inflasi komponen inti tercatat sebesar 0,33 persen (mtm) atau 3,21
persen (yoy), lebih rendah dari rata-rata inflasi historis pada September. Ini sejalan dengan
masih terbatasnya permintaan domestik, harapan inflasi terkendali dan relatif stabilnya nilai
tukar rupiah.
"Beberapa komoditas penyumbang inflasi inti adalah tarif pulsa ponsel, tarif sewa
rumah, uang kuliah akademi/perguruan tinggi, mobil, nasi dengan lauk, dan tarif kontrak
rumah," tambah Tirta.
Di sisi lain, kelompok volatile food (VF) tercatat mengalami deflasi sebesar 0,09
persen (mtm) atau secara tahunan mengalami inflasi sebesar 6,51 persen (yoy).
Deflasi tersebut terutama bersumber dari koreksi harga komoditas telur ayam ras, daging
ayam ras, wortel, cabai rawit, bayam, kangkung, dan kentang.
Ke depan, Tirta menuturkan, inflasi diperkirakan tetap terkendali dan berada pada
batas bawah sasaran inflasi 2016, yaitu 4 persen plus minus satu persen (yoy).
Menurut Tirta, koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam
mengendalikan inflasi akan terus dilakukan, khususnya mewaspadai tekanan inflasi VF akibat
dampak fenomena La Nina.
"Koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia akan difokuskan pada upaya menjamin
pasokan dan distribusi, khususnya berbagai bahan kebutuhan pokok, dan menjaga ekspektasi
inflasi," tutur dia. (Yas/Ahm)