Você está na página 1de 5

Ekonomi Indonesia Tumbuh 6,2 Persen

Pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,2 persen apabila dibandingkan


triwulan yang sama tahun 2009 (year on year). Pertumbuhan itu didukung
ekspansi kredit perbankan. Menatap semester kedua, pemerintah yakin
pertumbuhan ekonomi melebihi target. Dari 5,8 persen menjadi enam
persen."Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester satu
2010 dibandingkan semester satu 2009 tumbuh 5,9 persen," kata Deputi
Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Slamet Sutomo di
kantor BPS, Jakarta, Kamis (5/8).Bila dibanding semester satu tahun lalu,
ekonomi bertumbuh 5,9 persen. Jumlah itu didorong konsumsi rumah
tangga yang tumbuh sebesar 4,5 persen. Pertumbuhan pembentukan
modal tetap bruto sebesar 7,9 persen, dan ekspor-impor yang masing-
masing tumbuh 17,2 persen dan 20,1 persen.Tiga sektor yang tumbuh
tertinggi yakni sektor pengangkutan dan komunikasi (5,0 persen), sektor
industri, gas dan air bersih (4,8 persen), dan sektor jasa-jasa (3,7 persen).
Sementara dalam hitungan setahunan (year on year) sektor
pengangkutan dan komunikasi tumbuh 12,9 persen, sektor perdagangan,
hotel dan restoran tumbuh 9,6 persen dan sektor konstruksi tumbuh
sebesar 7,2 persen.Besaran PDB atas dasar harga berlaku pada triwulan
kedua 2010 mencapai Rp1.572,4 triliun. Sedangkan PDB atas dasar harga
konstan 2000 pada triwulan yang sama Rp573,7 triliun.Struktur PDB
triwulan kedua 2010, kata Slamet, masih didominasi sektor industri
pengolahan, sektor pertanian, dan sektor perdagangan, hotel dan
restoran. Masing-masing berkontribusi sebesar 24,9 persen, 15,9 persen,
dan 13,7 persen.Komisaris Independen Bank Permata Tony Prasetiantono
mengatakan ekspansi kredit perbankan ikut mendorong pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada semester satu 2010 hingga 5,9 persen.
"Pertumbuhan tersebut dipicu oleh ekspansi kredit perbankan yang
mencapai 18 persen," ujarnya Kamis (5/8).Ekspansi pemberian kredit
perbankan, kata Tony, akan lebih meningkat pada semester kedua. Diikuti
ekspansi fiskal belanja pemerintah yang akan mendorong pertumbuhan
ekonomi, melebihi target yang ditetapkan 5,8 persen. "Diperkirakan
semester dua ekspansi kredit akan lebih tinggi lagi, sekitar 20 persen,"
ujarnya.Menurut dia, perkiraan pertumbuhan pada semester kedua nanti
akan sama dengan semester satu. Walau harus waspada terhadap
pengaruh kenaikan tarif dasar listrik serta laju inflasi yang tinggi.Karena
ekspansi kredit, untuk itu Tony optimistis dan memprediksi pertumbuhan
ekonomi pada 2010 akan mencapai angka enam persen, lebih tinggi dari
asumsi pemerintah. "Saya yakin keseluruhan 2010 pertumbuhan ekonomi
kita bisa tembus angka enam persen, yang berarti lebih tinggi dari target
pemerintah 5,8 persen," ujarnya.Sejurus dengan Tony, Menko
Perekonomian Hatta Rajasa juga yakin pertumbuhan ekonomi mencapai
enam persen, melebihi target 5,8 persen."Kita optimistis laju
pertumbuhan kita semester kedua akan dapat melampaui angka
perkiraan 5,8. Kita akan tumbuh berkisar enam persen," kata Hatta di sela
rapat kerja nasional di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (5/8).Meski krisis
perekonomian di Eropa berpotensi memburuk, namun Hatta yakin kondisi
tersebut tidak memengaruhi kondisi ekonomi di dalam negeri. Karena
keterkaitan ekspor dan impor Indonesia terhadap negara-negara Eropa
yang kena krisis seperti Portugal, Yunani dan Spanyol sangat kecil. "Share
kita terhadap Eropa kurang 13 persen, terhadap negara tertentu yang
terkena dampak krisis kurang dari 15 persen. Oleh karena itu, sejauh itu
tidak memberi dampak pada ekspor kita," katanya. Widyasari/ Rizky
Pohan

Kenaikan Biaya STNK Penyumbang Terbesar Inflasi


DIY
Kenaikan biaya pengurusan STNK yang terjadi awal Januari 2017 memberi
kontribusi terbesar penyebab inflasi di DIY. Grafis/Istimewa.

YOGYAKARTA - Kenaikan biaya pengurusan surat-surat kendaraan seperti


Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB) yang terjadi awal Januari 2017 memberi kontribusi
terbesar penyebab inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di mana
inflasi di DIY pada Januari 2017 cukup tinggi yaitu 1,24%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY J B Priyono mengatakan,
sepanjang Januari 2017 harga berbagai komoditas secara umum
mengalami kenaikan dan mengakibatkan inflasi di wilayah ini. "Angka
(inflasi) ini cukup tinggi," tuturnya di Yogyakarta, Rabu (1/2/2017).
Angka ini dinilai cukup tinggi mengingat pada bulan yang sama
2016 angka inflasi hanya 0,53%. Kenaikan inflasi yang hampir dua kali
lipat ini selain ditunjang kenaikan harga komoditas juga karena sebab
yang lain. Penyebab paling besar adalah karena kenaikan biaya STNK.
BPS mencatat, kenaikan biaya STNK yang mencapai 104%
dibanding sebelumnya memberi andil terhadap inflasi sebesar 0,31%.
Kenaikan tarif pulsa sebanyak 16,16% memberi andil sebanyak 0,29%
terhadap inflasi.
Sementara untuk angkutan udara naik 12,19% turut memberi andil
sebanyak 0,17%. Sementara tarif listrik yang naik 2,95% memberi andil
sebesar 0,11%.
Di sisi lain, harga cabai rawit yang mengalami kenaikan sebesar
35,74% hanya memberi andil sebanyak 0,07% terhadap inflasi. Komoditas
yang mengalami penurunan harga sehingga menahan inflasi terjadi pada
bawang merah yang turun 9,25% berkontribusi menahan inflasi -0,06%.
Selain itu, harga telur, bayam, tarif kereta api, sayur-sayuran,
telepon seluler mengalami penurunan. "Kenaikan bahan bakar minyak
sebesar 2,95% memberi kontribusi terhadap inflasi sebanya 0,1%,"
ujarnya.

Harga Pangan Makin Mahal, Inflasi November Bakal 0,32


Persen

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede memperkirakan


inflasi November 2016 mencapai sekitar 0,32 persen atau meningkat dari realisasi 0,14
persen di bulan sebelumnya. Kenaikan inflasi ini dipicu mahalnya harga-harga komoditas
pangan, yaitu cabai dan beras di bulan kesebelas.

"Inflasi November ini diperkirakan mencapai 0,32 persen (MoM) dan 3,43 persen secara
tahunan (Yoy). Naik dibanding bulan sebelumnya 3,31 persen Yoy," ujar dia saat dihubungi
Liputan6.com, Jakarta, Kamis (1/12/2016).

Kata Josua, inflasi terkerek naik didorong peningkatan harga pangan di November 2016,
yaitu harga beras yang naik 0,19 persen, cabai merah keriting 23 persen, cabai merah 19,5
persen, serta harga bawang merah yang melonjak 14,9 persen.

"Kenaikan harga komoditas pangan, khususnya bumbu dapur jelang akhir tahun disebabkan
terganggunya pasokan cabai karena peningkatan intensitas hujan," jelas Josua.

Ia menambahkan, inflasi inti November ini diprediksi meningkat menjadi 3,18 persen (Yoy)
dari bulan sebelumnya sebesar 3,08 persen (Yoy). Penyebabnya, Josua menuturkan, karena
pelemahan nilai tukar rupiah serta tren kenaikan harga komoditas global. Sementara hingga
November ini, inflasi diperkirakan mencapai 2,44 persen (year to date/Ytd).

"Tekanan inflasi cenderung meningkat kembali sampai akhir tahun seiring meningkatnya
permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru. Curah hujan pun diperkirakan meningkat dan
akan mendorong kenaikan harga komoditas pangan. Jadi inflasi pada akhir tahun ini
diproyeksi inflasi di kisaran 3 persen (Yoy)," jelas Josua.

Pencabutan Subsidi Listrik 900 VA Picu Inflasi Naik Tipis


Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan dampak
pencabutan subsidi listrik bagi golongan 900 Volt Ampere (VA) sebanyak 18,9 juta pelanggan
di Januari 2017 terhadap kenaikan inflasi sekitar 0,5 persen. Proyeksi ini lebih rendah dari
perkiraan Bank Indonesia (BI) yang meramal 0,95 persen.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah
akan terus memantau dampak pencabutan subsidi listrik di tahun depan terhadap inflasi.
Pemerintah dan DPR mematok target inflasi sebesar 4 persen di Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2017.
"Dampak (pencabutan subsidi listrik) tentu saja ada. Pasti akan kami pantau terus, karena
estimasi kami kenaikan inflasi dari pemindahan tarif ini hanya sekitar 0,5 persen saja,
sehingga secara makro, ini tidak membahayakan," ucap Suahasil saat dihubungi
Liputan6.com, Jakarta, Senin (21/11/2016).

Suahasil menuturkan, saat ini jumlah pelanggan listrik yang menikmati tarif subsidi sekitar
45 juta rumah tangga. Pemerintah meyakini sebagian dari jumlah tersebut merupakan
golongan mampu yang tidak berhak menerima subsidi.

"Kita yakini sebagian dari 45 juta pelanggan penerima subsidi adalah tidak berhak karena
tidak termasuk rumah tangga miskin ataupun rentan miskin. Sehingga sekitar 22 juta rumah
tangga akan dipindahkan tarifnya menjadi tarif keekonomian," ujar Suahasil.

Sementara sisanya sekitar 23 juta rumah tangga, Suahasil mengakui akan tetap diberikan
subsidi karena berstatus masyarakat dengan sosial ekonomi terendah. Termasuk di dalamnya
rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 6,3 juta rumah tangga,
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

"Jadi saya rasa tidak akan mengganggu kesejahteraan masyarakat dan memicu penambahan
jumlah orang miskin baru," Suahasil menegaskan.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Askolani menyatakan, sekitar


18,9 juta pelanggan yang dicabut subsidi listriknya merupakan masyarakat mampu, salah satu
contohnya pemilik apartemen.

"Dampak inflasi adalah perhitungan di atas kertas. Kalau yang dicabut subsidinya rumah
tangga yang punya apartemen contohnya, maka tidak ada dampak inflasi atau menimbulkan
kemiskinan. Tapi bila pencabutan subsidi kena ke konsumen yang pakai listrik untuk proses
produksi barang dan jasa, maka dampak inflasi tidak signifikan karena konsumen yang
seperti itu tidak banyak," Askolani menuturkan.

Kebijakan pencabutan subsidi listrik, ia mengatakan sudah dibahas dan ditetapkan dalam
Undang-undang APBN 2017. Rencananya dijalankan pada Januari 2017 sehingga alokasi
anggaran subsidi listrik sebesar Rp 44,98 triliun.

Jika kebijakan tersebut gagal kembali dijalankan awal tahun, maka potensi pembengkakan
anggaran subsidi tidak dapat dihindari. "Tapi ini 2017 belum jalan, jangan berandai-andai
ada pembengkakan anggaran," ujar Askolani. (Fik/Ahm)

Tarif Pulsa Jadi Penyumbang Inflasi pada September


Liputan6.com, Jakarta - Sejalan dengan perkiraan Bank Indonesia (BI), Indeks Harga
Konsumen (IHK) pada September 2016 mencatat inflasi sebesar 0,22 persen (mtm).
Inflasi IHK bulan ini cukup terkendali dan sesuai dengan pola historisnya. Dengan
perkembangan tersebut, inflasi IHK secara year to date (ytd) dan tahunan (yoy) masing-
masing mencapai 1,97 persen (ytd) dan 3,07 persen (yoy).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara
mengungkapkan, inflasi September bersumber dari inflasi pada komponen administered
prices (AP) dan komponen inti. Inflasi komponen AP tercatat sebesar 0,14 persen (mtm) atau
secara tahunan mengalami deflasi sebesar 0,38 persen (yoy).
"Inflasi AP secara bulanan tersebut terutama bersumber dari kenaikan harga rokok
kretek filter, tarif listrik, rokok kretek, rokok putih, dan tarif air minum PAM," kata Tirta
dalam keterangan tertulis, Senin (3/10/2016).

Sementara itu, inflasi komponen inti tercatat sebesar 0,33 persen (mtm) atau 3,21
persen (yoy), lebih rendah dari rata-rata inflasi historis pada September. Ini sejalan dengan
masih terbatasnya permintaan domestik, harapan inflasi terkendali dan relatif stabilnya nilai
tukar rupiah.
"Beberapa komoditas penyumbang inflasi inti adalah tarif pulsa ponsel, tarif sewa
rumah, uang kuliah akademi/perguruan tinggi, mobil, nasi dengan lauk, dan tarif kontrak
rumah," tambah Tirta.
Di sisi lain, kelompok volatile food (VF) tercatat mengalami deflasi sebesar 0,09
persen (mtm) atau secara tahunan mengalami inflasi sebesar 6,51 persen (yoy).
Deflasi tersebut terutama bersumber dari koreksi harga komoditas telur ayam ras, daging
ayam ras, wortel, cabai rawit, bayam, kangkung, dan kentang.
Ke depan, Tirta menuturkan, inflasi diperkirakan tetap terkendali dan berada pada
batas bawah sasaran inflasi 2016, yaitu 4 persen plus minus satu persen (yoy).
Menurut Tirta, koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam
mengendalikan inflasi akan terus dilakukan, khususnya mewaspadai tekanan inflasi VF akibat
dampak fenomena La Nina.
"Koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia akan difokuskan pada upaya menjamin
pasokan dan distribusi, khususnya berbagai bahan kebutuhan pokok, dan menjaga ekspektasi
inflasi," tutur dia. (Yas/Ahm)

Você também pode gostar