Você está na página 1de 5

Penyimpangan Keuangan di

Perusahaan Sepur Indonesia

Selasa, 22 Agustus 2006

Naik kereta api tut...tut..tut


Siapa hendak ikut
Ke Bandung-Surabaya
Bolehlah naik dengan percuma.
Ayo kawanku lekas naik
Keretaku tak berhenti lama
Tembang itu barangkali demikian akrab di telinga anak-anak Indonesia. Atau
sebagian besar sosok manusia dewasa di seantero Nusantara yang pernah
melewatkan masa kecil. Tetapi apa yang salah dalam manajemen PT Kereta
Api Indonesia (PTKA). Kalau selama beberapa dekada telinga masyarakat
kerap mendengar kabar anjloknya gerbong kereta api atau tabrakan kereta
api, maka sekarang yang terdengar adalah dugaan manipulasi laporan
keuangan.
Boleh jadi lagu anak-anak yang popular itu telah salah diartikan.
"Bolehlah naik dengan percuma". Apakah ada yang keliru dalam
sepenggal bait lagu itu. Karena boleh naik dengan percuma alias
gratis, banyak penumpang PTKA yang tak sudi membeli karcis. Malah
lebih suka naik ke atas gerbong agar lolos pemeriksaan Polsuska.
Akibatnya atap gerbong kereta api runtuh seperti yang dialami kereta
api rute Tanah Abang-Rangkas Bitung.
Kali ini bukan itu yang terjadi. Skandal keuangan dalam tubuh Badan
usaha milik negara (BUMN) kini terulang kembali. Kali ini menerpa
PTKA. Dalam beberapa waktu sebelumnya, skandal serupa sebenarnya
pernah terjadi antara lain dalam tubuh PT Telkom Tbk dan juga PT
Indofarma Tbk. Hampir semuanya terjadi akibat kekeliruan audit yang
dilakukan oleh kantor akuntan publik (KAP).
Telisik atas persoalan kesalahan auditor tersebut bermuara pada hal
serupa, terjadi kekeliruan dalam penyajian laporan keuangan. Pada
umumnya kealpaan tersebut berupa overstated dalam worksheet
auditan. Ini pula yang terjadi dalam kasus PTKA. Pos yang seharusnya
dicatatkan dalam kerugian, tetapi sebaliknya dibukukan sebagai pos
yang bisa menggelembungkan pendapatan.
Menurut laporan keuangan 2005 PTKA, BUMN di bidang perkeretaapian
tersebut mencatat laba Rp 6,9 miliar. Padahal perusahaan tersebut
seharusnya menderita kerugian sebesar Rp 63 miliar. Meski tak
segempar skandal keuangan yang terjadi di Bursa Wall Street dalam
kasus Enron misalnya, kesalahan audit PTKA itu harus ditoreh sebagai
skandal yang serupa.
Sayangnya PTKA bukan listed company atau perusahaan yang
sahamnya tercatat di bursa saham. Sebab jika PTKA adalah listed
company, maka otoritas pasar modal Indonesia seharusnya langsung
dapat melakukan tindakan tegas. Kasus penolakan Securities Exchange
Commission (SEC) atau Bapepamnya Amerika Serikat atas laporan
keuangan PT Telkom Tbk, menginspirasi Bapepam untuk mengadopsi
Sarbane Act. Ketua Bapepam ketika kasus Telkom itu terjadi adalah
Herwidayatmo langsung menerapkan regulasi yang diadopsi dari
Amerika Serikat tersebut. Intinya dalam setiap hard copy laporan
keuangan emiten, dirut dan direktur keuangan harus membubuhkan
tanda tangannya dan langsung menyatakan bertanggung jawab jika
terjadi kesalahan penyajian. Kesalahan penyajian tersebut dapat
berupa overstated tersebut.
Namun untuk kasus PTKA, instansi negara yang berwenang adalah
Kementerian Negara BUMN. Sehingga segala bentuk sanksi ataupun
penalti amat tergantung dari lembaga tersebut. Lain cerita jika
perusahaan itu adalah listed company, ada unsur pemegang saham
publik yang tidak boleh diabaikan kepentingannya terutama dalam
aspek transparansi. Sebab faktor transparansi tersebut akan
menentukan keputusan investasi pemegang saham publik itu.
Kembali ke persoalan skandal keuangan PTKA, andai saja komisaris
perusahaan ini tak buka mulut, mungkin kasusnya tidak akan terkuak.
Komisaris PTKA Hekinus Manao mengungkapkan laporan keuangan
PTKA diaudit oleh KAP S Manan. Lembaga komisaris menemukan
adanya kejanggalan dalam laporan keuangan 2005 PTKA itu.
Kejanggalan itu berupa tagihan pajak yang telah tiga tahun tak
tertagih namun dalam laporan keuangan 2005 tersebut dibukukan
sebagai pendapatan PTKA selama tahun 2005. Hekinus Manao yang
juga salah satu pejabat pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Depkeu berpendapat sesuai prinsip standar akuntansi, pajak pihak
ketiga yang tak tertagih tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai
asset.
Akibat adanya temuan tersebut pelaksanaan rapat umum pemegang
saham (RUPS) PTKA yang sedianya berlangsung pada awal Juli 2006,
batal terlaksana. Pasalnya komisaris yang menengarai adanya
kejanggalan penyajian laporang keuangan itu menolak untuk
membubuhkan tanda tangan sebagai pengesahan laporan keuangan
yang telah diaudit. Tak cukup hingga di situ, lembaga komisaris juga
mensinyalir kekeliruan penyajian laporan keuangan telah berulang
terjadi. Karena itu laporan keuangan PTKA yang telah diaudit dalam 5
tahun terakhir diusulkan untuk diperiksa kembali. Bahkan temuan
tagihan pajak pihak ketiga tersebut baru temuan satu kasus. Diduga
masih ada beberapa pos pembukuan dengan kekeliruan serupa.
Anehnya terhadap temuan tersebut masih ada perbedaan pendapat.
Salah satu pendapat tersebut bahkan menyatakan bukan sebagai
skandal. Kesalahan itu dinilai sebatas perbedaan persepsi tentang
pencatatan piutang yang tidak pernah tertagih. Pada satu pihak
piutang pihak ketiga yang tidak tertagih sebesar Rp 95 miliar itu tidak
perlu tercatat sebagai penerimaan PTKA tahun buku 2005. Kalau
pendapat ini menjadi acuan maka laporan keuangan PTKA mencatat
rugi Rp 63 miliar. Sedangkan pada pihak lain beranggapan piutang
yang tidak pernah tertagih tetap dimasukkan sebagai penerimaan
PTKA tahun 2005. Dengan demikian PTKA membukukan laba Rp 6,9
miliar. Andai kesalahan laporan keuangan 2005 itu sebatas perbedaan
persepsi, tetapi mengapa belakangan manajemen PTKA melakukan
koreksi. Pasalnya jajaran direksi PTKA akhirnya memilih PTKA rugi Rp
63 miliar. Bukan sebaliknya membukukan keuntungan bersih Rp 6,9
miliar.
Dari kasus semacam ini, sudah semestinya Menneg BUMN Sugiharto
mengambil langkah tegas. Tindakan keras seyogianya bisa dilakukan
karena mudah saja untuk menyebut hal tersebut sebagai skandal atau
hanya sekadar perbedaan persepsi. Indonesia memiliki organisasi
profesi akuntan. Dalam profesi tersebut sudah diatur etika profesinya
termasuk sanksi bila melakukan kesalahan profesi. Pada profesi
tersebut juga sudah ada aturan soal standar akuntansi untuk setiap
pos pembukuan. Bila pedoman standar akuntansi keuangan (PSAK)
menjadi acuan akan bisa terlihat apakah hal tersebut sebagai
kesalahan atau sekadar perbedaan persepsi.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi yang membawahi
akuntan memang telah melakukan klarifikasi terhadap auditor PTKA.
Berdasarkan klarifikasi tersebut untuk sementara IAI menilai ada 3
perbedaan yang menyangkut penyajian laporan keuangan tersebut.
Tiga sumber perbedaan persepsi itu adalah kewajiban PT KA
membayarr surat ketetapan pajak (SKP) atas pajak pertambahan nilai
(PPN) sebesar Rp 95,2 miliar disajikan dalam laporan keuangan
sebagai piutang kepada pelanggan yang seharusnya menanggung
beban pajak tersebut.
Dalam hal ini, PTKA juga tidak melakukan proses provisi atau
pencadangan kerugian atas piutang yang tak tertagih tersebut. Alasan
jajaran manajemen PTKA provisi tak perlu dilakukan karena proses
penagihan masih berlangsung. Akan tetapi dewan komisaris tak
sependapat karena kecilnya peluang penagihan terhadap jasa
angkutan yang diberikan PTKA pada periode 1998-2003. Karena itu
seharusnya manajemen PTKA melakukan pencadangan atas potensi
kerugian tersebut.
Perbedaan persepsi yang kedua adalah terkait dengan penurunan nilai
persediaan suku cadang dan perlengkapan senilai Rp 24 miliar. Hal
tersebut diketahui pada saat dilakukan proses inventarisasi pada 2002
yang diakui sebagai beban kerugian secara bertahap selama 5 tahun.
Terkait dengan hal tersebut, dalam penyajian laporang keuangan 2005,
masih ada saldo penurunan nilai persediaan suku cadang dan
perlengkapan yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6
miliar. Perbedaan persepsi itu adalah apakah perlu dilakukan
pencatatan total atas kerugian tersebut dalam laporan keuangan tahun
2005.
Terakhir perbedaan pendapat tersebut juga menyangkut penyertaan
modal pemerintah (PMP) yang belum ditentukan statusnya dengan
akumulasi sebesar Rp 674,5 miliar. Pos ini oleh manajemen PTKA
disajikan sebagai bagian dari utang dalam neraca laporan keuangan
per 31 Desember 2005. Demikian pula dengan penyertaan modal
tambahan sebesar Rp 70 miliar yang diberikan oleh pemerintah.
Di luar permasalahan perbedaan persepsi itu, proses audit laporan
keuangan 2005 PTKA memang diluar kebiasaan selama ini. Audit
terhadap laporan keuangan PTKA tahun buku 2003 dan tahun-tahun
sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pada
penyajian laporan keuangan tahun buku 2004, BPK pun masih
melakukan pemeriksaan. Namun hal tersebut tidak lagi terjadi pada
audit laporan keuangan tahun 2005 PTKA. Pada periode tersebut
laporan keuangan PTKA itu hanya diaudit oleh KAP.
Apapun persoalan yang muncul di permukaan, sudah semestinya
pemerintah menyelesaikan perkara tersebut. Bila semua otoritas yang
berwenang mengawasi persoalan ini tetap membiarkan apabila sampai
mempetieskan kasus, tekad untuk memberantas penyimpangan
keuangan oleh penyelenggara negara hanya sebatas lip service. Lain di
mulut lain pula di tindakan. (Mangku)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=152959

Komisaris Bongkar Dugaan


Manipulasi Laporan Keuangan PT
Kereta Api
Jakarta (ANTARA News) - Komisaris PT Kereta Api mengungkapkan adanya
manipulasi laporan keuangan BUMN tersebut di mana seharusnya perusahaan
merugi namun dilaporkan memperoleh keuntungan.

"Saya tahu bahwa ada sejumlah pos yang sebetulnya harus dinyatakan sebagai
beban bagi perusahaan tetapi malah dinyatakan masih sebagai aset perusahaan.
Jadi ada trik akuntansi," kata salah satu Komisaris PT Kereta Api, Hekinus Manao
di Jakarta, Rabu.

Ia menyebutkan, hingga kini dirinya tidak mau menandatangani laporan keuangan


itu karena adanya ketidakbenaran dalam laporan keuangan BUMN perhubungan
itu.

"Saya tahu laporan yang diperiksa oleh akuntan publik itu tidak benar karena saya
sedikit banyak mengerti akuntansi, yang mestinya rugi dibuat laba," kata
penyandang Master of Accountancy, Case Western Reserve University, Cleveland,
Ohio USA tahun 1990.

Akibat tidak ada tanda tangan dari satu komisaris, rapat umum pemegang saham
(RUPS) PT Kereta Api yang seharusnya dilaksanakan sekitar awal Juli 2006 ini
juga harus dipending.

"Yang jelas RUPS dari PT Kereta Api sampai hari ini distop karena saya tidak
mau tanda tangan. Harusnya awal Juli 2006, cuma ditunda karena saya sebagai
komisaris tidak menyetujui laporan kantor akuntan publik," kata penyandang
Doctor of Business Administration Cleveland State University Ohio USA 1995.

Ia mengatakan, dirinya meminta agar laporan itu dikoreksi, dan koreksi akan
BUMN itu tidak untung tetapi rugi.

"Ini praktek-praktek akuntansi sebetulnya yang mengerti orang


akuntansi dan auditornya membiarkan begitu saja," kata Hekinus yang juga
Direktur dan Akuntansi Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan.

Mengenai berapa angka kerugiannya, Hekinus mengatakan, tidak bisa


memastikan, yang jelas ada sejumlah pos yang sebetulnya harus dinyatakan
sebagai beban tapi masih dinyatakan sebagai aset perusahaan.

Ia menyebutkan, setelah sekitar lima tahun bertugas sebagai eselon II di Depkeu,


dirinya baru mendapat kesempatan untuk menjadi komisaris di BUMN.

"Selama sekitar enam bulan jadi komisaris, saya merasa sedih, bukan saja karena
di jaman saya ada kereta berjalan mundur, tapi juga karena pelaksanaan fungsi
komisaris sangat menyedihkan, saya jadi barang aneh di sana," katanya.

Kepada direksi BUMN itu, ia meminta agar segera memperbaiki laporan


keuangan itu dan juga untuk kebaikan BUMN itu di masa yang akan datang.

"Saya bongkar masalah ini supaya jajaran direksi memperbaikinya karena tidak
hanya direksi yang punya BUMN itu tetapi juga lainnya, sementara saya mungkin
cuma sebentar dan besok mungkin keluar," katanya.

Sementara itu Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution


mengatakan, hingga saat ini audit BPK sama sekali belum menyentuh PT Kereta
Api karena kemampuan anggaran dan personil yang terbatas.

Menurut Anwar, BPK dapat melakukan audit terhadap BUMN baru-baru ini saja
itu pun tidak menyeluruh karena kemampuan yang terbatas.

"BPK bisa melakukan audit terhadap BUMN baru-baru ini saja, dulu mana boleh
BPK melakukan audit terhadap BUMN. Dulu tidak boleh masuk ke Pertamina,
bank-bank pemerintah, Bank Indonesia dan lainnya," katanya.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT 2012

Você também pode gostar