Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Latar Belakang
Persekutuan Perdata atau dalam bahasa Belanda disebut Burgelijke Maatschap diatur
dalam pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH
Perdata) yang berbunyi:
Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan
diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi
keuntungan yang terjadi karenanya.
Dari pasal ini dapat ditarik unsur-unsur dalam membentuk persekutuan perdata yaitu
adanya suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih, masing-masing pihak
harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng), bermaksud membagi
keuntungan bersama.
Ada dua macam bentuk persekutuan perdata menurut pasal 1620 sampai dengan pasal
1623 KUH Perdata yaitu:
Penggunaan kata persekutuan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris berbeda dengan pasal 20 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya ditulis UU 30/2004) yang menggunakan istilah
perserikatan.
Istilah perserikatan juga digunakan dalam peraturan organic sebagai perpanjangan
pasal 20 ayat (3) UU 30/2004 yaitu Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata (selanjutnya disebut Permen Perserikatan Perdata
Notaris).
Dalam kepustakaan ilmu hukum, istilah persekutuan bukanlah istilah tunggal, karena
ada istilah pendampingnya yaitu perseroan, dan perserikatan.[1] Dalam tulisan ini akan
digunakan terminologi perserikatan perdata yang mengacu pada terminologi yang
digunakan dalam Permen Perserikatan Perdata Notaris.
Adapun Persyaratan untuk menjadi teman serikat dalam perserikatan perdata Notaris
diatur di dalam Bab II Persyaratan Pendirian Perserikatan Pasal 3 ayat (1) Permen
Perserikatan Perdata:
(1) Perserikatan didirikan oleh 2 (dua) atau lebih Notaris berdasarkan perjanjian yang
dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal tardapat Teman Serikat dalam Perserikatan yang mempunyai hubungan:
Kasus ini dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 49/P/HUM/2010 tentang
permohonan uji materiil yang diajukan oleh Sutjipto SH., M.Kn, Aristiya Agung Setiawan,
SH., M.Kn., dan Arianti Artisari, SH., M.Kn, (selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon)
yang pada tanggal 30 Juli 2010 mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung
untuk melakukan uji materiil terhadap pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf f, dan pasal 4 ayat
(2) Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun
2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan
Perdata (Permen Perserikatan Perdata Notaris) melawan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia memberi kuasa kepada Dr. Aidir Amin Daud, SH., MH.,
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kmenterian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 31 Agustus 2010 selanjutnya
memberikan kuasa subtitusi kepada Sjafrudin, SH., M.Hum. Drs. Suparno, SH., MH., Nur
Ali, SH., MH., Abriana Kusuma Dewi, SH., Delmawati SH., MH., Hedra Adi Satya untin,
SH., MH., Nur Yanto, SH., MH., yang masing-masing telah disebut memegang jabatan
masing-masing di Direktorat Administrasi Hukum Umum dan Hak Asasi Manusia ,
selanjutnya disebut sebagai Termohon.
Rumusan Masalah
Untuk menganalisan Putusan Mahkamah Agung Nomor 49P/HUM/2010 perlu dirumuskan
beberapa permasalahan, yaitu :
Tujuan Permasalahan
1. Untuk mengetahui posisi kasus sebelum menganalisa lebih jauh tentang Putusan
Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010.
2. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Agung dalam melakukan Hak Uji
Materiil (judicial review) terhadap Permen Perserikatan Perdata Notaris.
3. Untuk mengetahui kedudukan hokum (legal standing) para Pemohon dalam
mengajukan permohonan Hak Uji Materiil.
4. Untuk mengetahui alasan dan/atau dasar pertimbangan sehingga Notaris yang
memiliki hubungan seperti yang dimaksud pasal 3 ayat (1) huruf f, dan pasal 4 ayat
(2) Permen Perserikatan Perdata Notaris dan Notaris yang sedang cuti karena
diangkat sebagi pejabat Negara (pasal 3 ayat (1) huruf d) tidak dapat melakukan
perserikatan perdata Notaris
BAB II
PEMBAHASAN
Bahwa Pemohon memohon agar Mahkamah Agung melakukan pengujian pada pasal 3
ayat (1) huruf d, huruf f, dan pasal 4 ayat (2) Permen Perserikatan perdata Notaris
dianggap bertentangan pasal 1320, pasal 1338 dan pasal 1618 KUH Perdata, pasal 11
ayat (1) dan ayat (3) pasal 20 ayat 3, pasal 25 ayat 1, pasal 26 ayat 3 UU/30/2004,
pasal 3 ayat 2 dan pasal 73 UU Hak asasi manusia, dan pasal 6 ayat 1 huruf g, huruf h,
huruf I, dan huruf j UU pembentukan peraturan perundang-undangan.
Bahwa para pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya pasal 3 ayat 1 huruf d dan
huruf f, serta pasal 4 ayat 2 Permen perserikatan perdata Notaris. Dalam surat
permohonannya para pemohon memuat:
1. Bahwa PEMOHON I adalah notaris yang sedang mengambil cuti karena diangkat
sebagai Pejabat Negara, sehingga dengan berlakunya peraturan menteri tersebut
menjadi tidak dapat menjalankan perserikatan perdata. Hal ini merupakan
diskriminasi dan/atau ketidakadilan dibandingkan dengan notaris yang menjalankan
cuti karena alasan lain.
2. Bahwa PEMOHON I sebagai notaris yang mempunyai keluarga notaris tidak dapat
menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata. Hal ini merupakan
diskriminasi dan/atau ketidakadilan dibandingkan dengan notaris lain yang tidak
memiliki keluarga yang berprofesi sebagai notaris. Hal ini juga tidak memenuhi asas
keadilan dibandingkan dengan profesi advokat dan akuntan publik yang
menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata tanpa pembatasan
apapun untuk memilih teman serikat.
3. Bahwa PEMOHON II dan PEMOHON III sebagai calon notaris yang mempunyai
keluarga notaris, pada saat menjadi notaris tidak dapat menjalankan jabatannya
dalam bentuk perserikatan perdata.
Bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia memberi kuasa
kepada Dr. Aidir Amin Daud, SH., MH., Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Kmenterian Hukum dan Hak Asasi Manusia, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 31
Agustus 2010 selanjutnya memberikan kuasa subtitusi kepada Sjafrudin, SH., M.Hum.
Drs. Suparno, SH., MH., Nur Ali, SH., MH., Abriana Kusuma Dewi, SH., Delmawati SH.,
MH., Hedra Adi Satya untin, SH., MH., Nur Yanto, SH., MH., yang masing-masing telah
disebut memegang jabatan masing-masing di Direktorat Administrasi Hukum Umum
dan Hak Asasi Manusia , selanjutnya disebut sebagai Termohon, dalam jawabannya
tanggal 17 september 2010 menolak pendapat dan permohonan pemohon karena
pemohon tidak mempunyai dasar hokum yang kuat dan hanya didasarkan pada
pendapat pribadi semata-mata.
1. Pasal 1320, Pasal 1338 juncto Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengandung norma bahwa persekutuan perdata (perserikatan) dibuat berdasarkan
perjanjian antara 2 (dua) orang atau lebih. Para pihak memiliki kebebasan dalam
berkontrak sepanjang Para pihak tersebut cakap untuk membuat perjanjian,
sehingga perjanjian tersebut menjadi sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi
Para pihak yang membuatnya.
2. Sebagai fakta hukum bahwa para advokat maupun akuntan publik di Indonesia
yang membuat perserikatan perdata adalah berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang tidak membatasi dan tidak ada.
Bahwa Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menetapkan bahwa :
Perserikatan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan
diri untuk memasukkan sesuatu dalam perserikatan, dengan maksud untuk membagi
keuntungan yang terjadinya karenanya. (dua) orang yang dimaksud dalam Pasal 1618
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah 2 (dua) orang yang mandiri, yang
mempunyai hak dan kewajiban (atau tanggung jawab) masing-masing, sedangkan
antara lelaki dan perempuan yang menikah terjadi percampuran harta, sehingga
selanjutnya dianggap satu pihak.
Bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320, Pasal 1338, dan Pasal 1618 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang persetujuan kebebasan berkontrak,
sedangkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 mengatur mengenai bentuk yang khusus dalam
berkontrak. Jadi dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan suatu
undang-undang yang bersifat umum, sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris merupakan suatu undang-undang yang bersifat khusus, dan
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004. Sesuai aksioma yang berlaku bahwa peraturan yang
khusus mengenyampingkan peraturan yang umum (lex specialis derogat lex generalis),
sehingga dengan demikian Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Dalam
Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perserikatan Perdata tidak
bertentangan dengan Pasal 1320, Pasal 1338 dan Pasal 1618 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Bahwa pasal 11 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2010 tentang Jabatan Notaris mengandung norma bahwa
setiap notaris mempunyai hak cuti maksimum selama 12 (dua belas) tahun dan tidak
dibedakan alasan apapun untuk menggunakan hak cutinya, sehingga baik notaris yang
cuti karena diangkat menjadi pejabat negara maupun notaris yang cuti karena alasan
lain memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama, termasuk notaris penggantinya. Oleh
karena itu, Pasal 3 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor:M.HH.01.AH.02.12.Tahun 2010 tentang Persyaratan
Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, seorang notaris dalam
keadaan cuti karena diangkat sebagai pejabat negara harus diperlakukan sama dengan
notaris yang mengambil cuti karena alasan lain, beserta notaris penggantinya.
Bahwa pasal 20 ayat (3) UU 30/2004 belum secara rinci diatur persyaratan pendirian
perserikatan, tujuan perserikatan, hak, kewajiban, tanggung jawab dan berakhirnya
teman serikat, pengurusan perserikatan, perubahan akta pendirian dan pembubaran
perserikatan. Dengan tidak adanya ketentuan yang mengatur persyaratan pendirian
perserikatan dalam Pasal 20 UUJN tersebut, selain menyulitkan para Notaris yang akan
mendirikan perserikatan Perdata dan petugas yang berwenang melayani penerimaan
permohonan pendaftaran pendirian perserikatan karena tidak ada standar acuan yang
dijadikan pedoman, juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemerintah sebagai
pelaksana undang-undang berkewajiban merinci aturan lebih lanjut apabila ada suatu
peraturan perundang-undangan yang belum jelas dan dapat menimbulkan multi tafsir,
dengan tujuan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya sehingga tercipta kepastian hukum. Dengan tujuan itulah maka dibuat
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.
Bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf f, serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor : M.HH.01AH.02.12.Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata tidak bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, karena
Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf f, serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri tersebut
telah memberikan kesempatan dan tidak membatasi hak asasi manusia para notaris
dalam mendirikan Perserikatan Perdata, tetapi hanya mengatur dan menata tata cara
pendirian Perserikatan sehingga hakekat dan tujuan pendirian Perserikatan Perdata
tersebut sejalan dengan hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan
dari manusia.
Bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010, dibuat dengan tujuan untuk mempermudah
penerapan hukumnya dengan merinci dan memperjelas ketentuan Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) demi tercapainya
kepastian hukum, sehingga dengan demikian asas pembuktian dengan mudah dapat
diterapkan sebagaimana mestinya. Tidak ada satu asas pun yang tercantum dalam
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan beserta Peraturan pelaksanaannya yang dilanggar Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tersebut.
Pada ringkasan posisi kasus tersebut diatas, pemohon tidak saja mempermasalahkan
tidak diperbolehkannya Notaris yang memiliki keluarga Notaris untuk melakukan
perserikatan perdata Notaris, tetapi juga Notaris yang dalam keadaan cuti karena
diangkat sebagai pejabat Negara juga tidak dapat melakukan perserikatan perdata
Notaris.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011
Tentang Hak Uji Materiil menyebutkan tentang pengertian Hak Uji Materiil yaitu:
Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan
Perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-
undangan tingkat lebih tinggi.
Melihat dari ketentuan tersebut diatas maka Mahkamah Agung berwenang untuk
melakukan uji materiil terhadap peraturan dibawah peraturan peraturan perundang-
undangan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.
Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, yang ditetapkan pada tanggal 8 Pebruari 2010, dan
Permen Perserikatan Perdata Notaris tersebut dapat dijadikan obyek Permohonan
Keberatan dan dapat dimohonkan Hak Uji Materiil.
Termohon dalam surat jawabannya mengatakan bahwa dalil yang digunakan oleh
pemohon yang kesemuanya mempunyai hubunan keluarga Notaris dianggap
menunjukan bahwa Pemohon berniat atau beritikad untuk membentuk kartel keluarga
Notaris, padahal Notaris harus bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hokum.
Menimbang, bahwa terhadap ketentuan Pasal 3 ayat 1 huruf d dan f serta Pasal 4 ayat 2
dimaksud dilandasi agar Notaris dalam bentuk perserikatan perdata diharapkan tetap
memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 2004;
Menimbang, bahwa adanya norma persyaratan Notaris menjadi Teman Serikat dalam
perserikatan perdata tidak dalam keadaan cuti karena diangkat sebagai Pejabat Negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 huruf d Peraturan Menteri tersebut tidaklah
bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 ayat 1 dan ayat 3, Pasal 20 ayat 3, Pasal 25
ayat 1, Pasal 26 ayat 3 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
tetapi malahan sejalan dengan ketentuan tersebut, karena pada asasnya Notaris yang
dapat mendirikan perserikatan perdata adalah Notaris yang aktif atau nyata
menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris; Menimbang, bahwa
keberadaan ketentuan dalam Pasal 1320, Pasal 1338, dan Pasal 1618 KUH Perdata
merupakan norma yang bersifat umum, sedangkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun
2004 beserta peraturan pelaksanaannya (in casu Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia R.I. Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan
Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata) merupakan ketentuan
yang bersifat khusus, sehingga dalam membentuk perserikatan perdata, Notaris wajib
mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai jabatan notaris;
Menimbang, bahwa sifat/kharakter jabatan Notaris dibandingkan dengan jabatan
akuntan publik dan advokat adalah berbeda, sehingga pengaturan terhadap jabatan-
jabatan tersebut juga terdapat adanya perbedaan, sehingga eksistensi Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010
Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata
tidaklah bersifat diskriminatif dan tidaklah bertentangan dengan Pasal 3 ayat 2 dan
Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Pasal 6 ayat 1
huruf g, huruf h dan huruf j UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan;
Akan tetapi ada keganjilan pada tujuan dibentuknya perserikatan perdata notaries pada
huruf (a) dan (b), yang dicantumkan Termohon dalam jawabannya. Yaitu tujuan
dibentuknya perserikatan perdata yang meliputi:
Kesimpulan
1. Peserikatan perdata Notaris tidak lepas dari pro dan kontra. Adanya Putusan
Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010 menandakan bahwa masih banyak hal
yang dapat disoroti dari Perserikatan Perdata Notaris.
2. Berdasarkan uraian yang telah diurai di pembahasan, para pemohon telah
memenuhi persyaratan formil, kepentingan dan legal standing untuk mengajukan
permohonan hak uji materiil di Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004.
3. Termohon dalam jawabannya telah menanggapi seluruh pasal dan ketentuan
yang dijadikan dalil oleh Pemohon dengan memberikan penjelasan demi penjelasan.
Adapun dalil yang dikemukakan oleh Termohon dalam jawabannya atas pasal 1320,
pasal 1338 dan pasal 1618 KUH Perdata, pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) pasal 20
ayat 3, pasal 25 ayat 1, pasal 26 ayat 3 UU/30/2004, pasal 3 ayat 2 dan pasal 73 UU
Hak asasi manusia, dan pasal 6 ayat 1 huruf g, huruf h, huruf I, dan huruf j UU
pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat daripada dalil yang
dikemukakan oleh pemohon. Mahkamah Agung sebagai judex factie mempunya
fungsi menganalisan dan menafsirkan peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-undang. Pada dasarnya persoalan ini hanya persoalan mengemukakan
argumentasi, terlepas dari benar atau tidaknya suatu produk hokum.
Saran
1. Perserikatan perdata notaries sebaiknya menyangkut perserikatan dalam arti
yang sempit, yaitu penggunaan gedung dan fasilitas yang sama, sedangkan
mengenai pembuatan akta dan pertanggungjawaban hokum terhadap akta yang
dibuat merupakan tanggungjawab oleh masing-masing anggota perserikatan.
2. Harus ada penyatuan istilah persekutuan dengan perserikatan yang mana
hendak digunakan. KUHPerdata menggunakan istilah Persekutuan, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014. Jabatan Notaris terbaru menggunakan istilah persekutuan,
maka perlu adanya Peraturan Menteri yang mengatur Persekutuan Perdata, bukan
lagi Perserikatan Perdata.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU No.14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun
2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan
Perdata
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010
1. Buku
Ali, Chidir, Badan Hukum, 1996, Penerbit : Alumni, Bandung.
Henry Campbell Black. 1999. Blacks Law Dictionary. St. Paul: West Group
Tobing, Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, 1996, Cetakan keempat, Penerbit : Erlanga,
Jakarta
1. Internet
Anonim, http://litbangdiklatkumdil.net/dok-kegiatan-litbang-kumdil/764-kewenangan-uji-
materiil-peraturan-perundang-undangan-di-bawah-undang-undang.html, diakses
tanggal 01/04/2014 jam 10.10 WIB
Anonim, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257/perbedaan-judicial-review-
dengan-hak-uji-materiil, diakses tanggal 31/03/2014 jam 15.00 WIB
Hamdy, M Kholis, http://www.jimlyschool.com/read/news/338/hak-uji-materiil-di-
mahkamah-agung/, diakses tanggal 01/04/2014 jam 10.03 WIB
Kusumasari, Diana, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257/perbedaan-judicial-
review-dengan-hak-uji-materiil, diakses tanggal 01/04/2014 jam 10.15 WIB