Você está na página 1de 12

ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH

AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO.


49 P/HUM/2010 (persekutuan
perdata notaris)
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Persekutuan Perdata atau dalam bahasa Belanda disebut Burgelijke Maatschap diatur
dalam pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH
Perdata) yang berbunyi:
Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan
diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi
keuntungan yang terjadi karenanya.

Dari pasal ini dapat ditarik unsur-unsur dalam membentuk persekutuan perdata yaitu
adanya suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih, masing-masing pihak
harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng), bermaksud membagi
keuntungan bersama.

Ada dua macam bentuk persekutuan perdata menurut pasal 1620 sampai dengan pasal
1623 KUH Perdata yaitu:

1. Persekutuan umum (algehele maatschap) yaitu perserikatan yang tidak


mengadakan perincian, baik seluruhnya ataupun sebagian harta kekayaan tertentu
yang dimasukkan oleh para teman serikat (pesero/teman serikat).
2. Persekutuan khusus (bijzondere maatschap) yaitu perserikatan
yang inbreng (pemasukan)nya dari para teman serikat ditentukan secara terperinci
baik seluruhnya maupun sebagian.
Keahlian sebagai Notaris dapat menjadi modal bagi para notaris untuk membuka kantor
bersama. Hal ini dikarenakan keahlian sebagai notaris merupakan suatu keterampilan
yang khusus dan spesifik sehingga dapat memberikan manfaat bagi perserikatan
perdata. Hal ini kemudian diperkuat dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris yang menyatakan:

Notaris dapat menjalankan dalam bentuk persekutuan perdata dengan tetap


memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.

Penggunaan kata persekutuan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris berbeda dengan pasal 20 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya ditulis UU 30/2004) yang menggunakan istilah
perserikatan.
Istilah perserikatan juga digunakan dalam peraturan organic sebagai perpanjangan
pasal 20 ayat (3) UU 30/2004 yaitu Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata (selanjutnya disebut Permen Perserikatan Perdata
Notaris).
Dalam kepustakaan ilmu hukum, istilah persekutuan bukanlah istilah tunggal, karena
ada istilah pendampingnya yaitu perseroan, dan perserikatan.[1] Dalam tulisan ini akan
digunakan terminologi perserikatan perdata yang mengacu pada terminologi yang
digunakan dalam Permen Perserikatan Perdata Notaris.
Adapun Persyaratan untuk menjadi teman serikat dalam perserikatan perdata Notaris
diatur di dalam Bab II Persyaratan Pendirian Perserikatan Pasal 3 ayat (1) Permen
Perserikatan Perdata:

(1) a. telah diangkat dan mengucapkan sumpah/janji untuk menjalankan jabatannya;

1. mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota yang sama;


2. tidak dalam proses pemberhentian sementara atau pemberhentian sebagai
Notaris;
3. tidak dalam keadaan cuti karena diangkat sebagai pejabat negara;
4. mempunyai kondite baik; dan
5. tidak dalam hubungan perkawinan atau semenda dan/atau tidak mempunyai
hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah, atau garis ke samping
sampai derajat kedua, dengan teman serikat lainnya.
Kemudian untuk persyaratan pendirian Perserikatan Perdata Notaris telah dirumuskan di
dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Permen Perserikatan Perdata sebagai berikut :

(1) Perserikatan didirikan oleh 2 (dua) atau lebih Notaris berdasarkan perjanjian yang
dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia.

(2) Dalam hal tardapat Teman Serikat dalam Perserikatan yang mempunyai hubungan:

1. perkawinan atau semenda; dan/atau


2. darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah, atau garis ke samping sampai
derajat kedua harus ada Teman Serikat lainnya yang tidak mempunyai hubungan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan/atau huruf b, yang dibuktikan dengan
surat keterangan dari Teman Serikat yang bersangkutan dan surat keterangan
tersebut dilampirkan bersama dengan surat keterangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d
Masalah kemudian timbul ketika ada Notaris yang ingin membentuk persekutuan
perdata bersama Notaris lain yang masih memiliki hubungan sedarah dan kekeluargaan
seperti dimaksud pasal 4 ayat (2) Permen Perserikatan Perdata, walaupun berada dalam
satu wilayah kerja yang sama.

Kasus ini dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 49/P/HUM/2010 tentang
permohonan uji materiil yang diajukan oleh Sutjipto SH., M.Kn, Aristiya Agung Setiawan,
SH., M.Kn., dan Arianti Artisari, SH., M.Kn, (selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon)
yang pada tanggal 30 Juli 2010 mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung
untuk melakukan uji materiil terhadap pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf f, dan pasal 4 ayat
(2) Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun
2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan
Perdata (Permen Perserikatan Perdata Notaris) melawan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia memberi kuasa kepada Dr. Aidir Amin Daud, SH., MH.,
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kmenterian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 31 Agustus 2010 selanjutnya
memberikan kuasa subtitusi kepada Sjafrudin, SH., M.Hum. Drs. Suparno, SH., MH., Nur
Ali, SH., MH., Abriana Kusuma Dewi, SH., Delmawati SH., MH., Hedra Adi Satya untin,
SH., MH., Nur Yanto, SH., MH., yang masing-masing telah disebut memegang jabatan
masing-masing di Direktorat Administrasi Hukum Umum dan Hak Asasi Manusia ,
selanjutnya disebut sebagai Termohon.

Rumusan Masalah
Untuk menganalisan Putusan Mahkamah Agung Nomor 49P/HUM/2010 perlu dirumuskan
beberapa permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana posisi kasus terkait dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor


49 P/HUM/2010 ?
2. Apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan melakukan Hak Uji Materiil
terhadap Permen Perserikatan Perdata Notaris ?
3. Bagaimana Legal Standing para Pemohon ?
4. Mengapa Notaris yang memiliki hubungan seperti yang dimaksud pasal 3 ayat
(1) huruf f, dan pasal 4 ayat (2) Permen Perserikatan Perdata Notaris dan Notaris
yang sedang cuti karena diangkat sebagi pejabat Negara (pasal 3 ayat (1) huruf d)
tidak dapat melakukan perserikatan perdata Notaris ?

Tujuan Permasalahan
1. Untuk mengetahui posisi kasus sebelum menganalisa lebih jauh tentang Putusan
Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010.
2. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Agung dalam melakukan Hak Uji
Materiil (judicial review) terhadap Permen Perserikatan Perdata Notaris.
3. Untuk mengetahui kedudukan hokum (legal standing) para Pemohon dalam
mengajukan permohonan Hak Uji Materiil.
4. Untuk mengetahui alasan dan/atau dasar pertimbangan sehingga Notaris yang
memiliki hubungan seperti yang dimaksud pasal 3 ayat (1) huruf f, dan pasal 4 ayat
(2) Permen Perserikatan Perdata Notaris dan Notaris yang sedang cuti karena
diangkat sebagi pejabat Negara (pasal 3 ayat (1) huruf d) tidak dapat melakukan
perserikatan perdata Notaris
BAB II
PEMBAHASAN

Posisi Kasus Putusan MA No. 49 P/HUM/2010


Bahwa 1, Sutjipto, SH M.Kn, 2, Aristiya Agung setiawan SH, M.Kn dan Aryanti Artisari
SH,M.Kn selanjutnya disebut sebagai para Pemohon mengajukan permohanan hak uji
materiel pada tanggal 29 Juli 2010 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung
Republik Indonesia pada tanggal 30 Juli 2010 dan didaftar dibawah register No. 49
P/HUM/2010.

Bahwa Pemohon memohon agar Mahkamah Agung melakukan pengujian pada pasal 3
ayat (1) huruf d, huruf f, dan pasal 4 ayat (2) Permen Perserikatan perdata Notaris
dianggap bertentangan pasal 1320, pasal 1338 dan pasal 1618 KUH Perdata, pasal 11
ayat (1) dan ayat (3) pasal 20 ayat 3, pasal 25 ayat 1, pasal 26 ayat 3 UU/30/2004,
pasal 3 ayat 2 dan pasal 73 UU Hak asasi manusia, dan pasal 6 ayat 1 huruf g, huruf h,
huruf I, dan huruf j UU pembentukan peraturan perundang-undangan.
Bahwa para pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya pasal 3 ayat 1 huruf d dan
huruf f, serta pasal 4 ayat 2 Permen perserikatan perdata Notaris. Dalam surat
permohonannya para pemohon memuat:

1. Bahwa PEMOHON I adalah notaris yang sedang mengambil cuti karena diangkat
sebagai Pejabat Negara, sehingga dengan berlakunya peraturan menteri tersebut
menjadi tidak dapat menjalankan perserikatan perdata. Hal ini merupakan
diskriminasi dan/atau ketidakadilan dibandingkan dengan notaris yang menjalankan
cuti karena alasan lain.
2. Bahwa PEMOHON I sebagai notaris yang mempunyai keluarga notaris tidak dapat
menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata. Hal ini merupakan
diskriminasi dan/atau ketidakadilan dibandingkan dengan notaris lain yang tidak
memiliki keluarga yang berprofesi sebagai notaris. Hal ini juga tidak memenuhi asas
keadilan dibandingkan dengan profesi advokat dan akuntan publik yang
menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata tanpa pembatasan
apapun untuk memilih teman serikat.
3. Bahwa PEMOHON II dan PEMOHON III sebagai calon notaris yang mempunyai
keluarga notaris, pada saat menjadi notaris tidak dapat menjalankan jabatannya
dalam bentuk perserikatan perdata.
Bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia memberi kuasa
kepada Dr. Aidir Amin Daud, SH., MH., Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Kmenterian Hukum dan Hak Asasi Manusia, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 31
Agustus 2010 selanjutnya memberikan kuasa subtitusi kepada Sjafrudin, SH., M.Hum.
Drs. Suparno, SH., MH., Nur Ali, SH., MH., Abriana Kusuma Dewi, SH., Delmawati SH.,
MH., Hedra Adi Satya untin, SH., MH., Nur Yanto, SH., MH., yang masing-masing telah
disebut memegang jabatan masing-masing di Direktorat Administrasi Hukum Umum
dan Hak Asasi Manusia , selanjutnya disebut sebagai Termohon, dalam jawabannya
tanggal 17 september 2010 menolak pendapat dan permohonan pemohon karena
pemohon tidak mempunyai dasar hokum yang kuat dan hanya didasarkan pada
pendapat pribadi semata-mata.

Dalam jawabannya, Termohon menjawab:

1. Pasal 1320, Pasal 1338 juncto Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengandung norma bahwa persekutuan perdata (perserikatan) dibuat berdasarkan
perjanjian antara 2 (dua) orang atau lebih. Para pihak memiliki kebebasan dalam
berkontrak sepanjang Para pihak tersebut cakap untuk membuat perjanjian,
sehingga perjanjian tersebut menjadi sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi
Para pihak yang membuatnya.
2. Sebagai fakta hukum bahwa para advokat maupun akuntan publik di Indonesia
yang membuat perserikatan perdata adalah berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang tidak membatasi dan tidak ada.
Bahwa Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menetapkan bahwa :
Perserikatan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan
diri untuk memasukkan sesuatu dalam perserikatan, dengan maksud untuk membagi
keuntungan yang terjadinya karenanya. (dua) orang yang dimaksud dalam Pasal 1618
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah 2 (dua) orang yang mandiri, yang
mempunyai hak dan kewajiban (atau tanggung jawab) masing-masing, sedangkan
antara lelaki dan perempuan yang menikah terjadi percampuran harta, sehingga
selanjutnya dianggap satu pihak.
Bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320, Pasal 1338, dan Pasal 1618 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang persetujuan kebebasan berkontrak,
sedangkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 mengatur mengenai bentuk yang khusus dalam
berkontrak. Jadi dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan suatu
undang-undang yang bersifat umum, sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris merupakan suatu undang-undang yang bersifat khusus, dan
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004. Sesuai aksioma yang berlaku bahwa peraturan yang
khusus mengenyampingkan peraturan yang umum (lex specialis derogat lex generalis),
sehingga dengan demikian Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Dalam
Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perserikatan Perdata tidak
bertentangan dengan Pasal 1320, Pasal 1338 dan Pasal 1618 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Bahwa pasal 11 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2010 tentang Jabatan Notaris mengandung norma bahwa
setiap notaris mempunyai hak cuti maksimum selama 12 (dua belas) tahun dan tidak
dibedakan alasan apapun untuk menggunakan hak cutinya, sehingga baik notaris yang
cuti karena diangkat menjadi pejabat negara maupun notaris yang cuti karena alasan
lain memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama, termasuk notaris penggantinya. Oleh
karena itu, Pasal 3 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor:M.HH.01.AH.02.12.Tahun 2010 tentang Persyaratan
Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, seorang notaris dalam
keadaan cuti karena diangkat sebagai pejabat negara harus diperlakukan sama dengan
notaris yang mengambil cuti karena alasan lain, beserta notaris penggantinya.
Bahwa pasal 20 ayat (3) UU 30/2004 belum secara rinci diatur persyaratan pendirian
perserikatan, tujuan perserikatan, hak, kewajiban, tanggung jawab dan berakhirnya
teman serikat, pengurusan perserikatan, perubahan akta pendirian dan pembubaran
perserikatan. Dengan tidak adanya ketentuan yang mengatur persyaratan pendirian
perserikatan dalam Pasal 20 UUJN tersebut, selain menyulitkan para Notaris yang akan
mendirikan perserikatan Perdata dan petugas yang berwenang melayani penerimaan
permohonan pendaftaran pendirian perserikatan karena tidak ada standar acuan yang
dijadikan pedoman, juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemerintah sebagai
pelaksana undang-undang berkewajiban merinci aturan lebih lanjut apabila ada suatu
peraturan perundang-undangan yang belum jelas dan dapat menimbulkan multi tafsir,
dengan tujuan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya sehingga tercipta kepastian hukum. Dengan tujuan itulah maka dibuat
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.
Bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf f, serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor : M.HH.01AH.02.12.Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata tidak bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, karena
Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf f, serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri tersebut
telah memberikan kesempatan dan tidak membatasi hak asasi manusia para notaris
dalam mendirikan Perserikatan Perdata, tetapi hanya mengatur dan menata tata cara
pendirian Perserikatan sehingga hakekat dan tujuan pendirian Perserikatan Perdata
tersebut sejalan dengan hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan
dari manusia.
Bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010, dibuat dengan tujuan untuk mempermudah
penerapan hukumnya dengan merinci dan memperjelas ketentuan Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) demi tercapainya
kepastian hukum, sehingga dengan demikian asas pembuktian dengan mudah dapat
diterapkan sebagaimana mestinya. Tidak ada satu asas pun yang tercantum dalam
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan beserta Peraturan pelaksanaannya yang dilanggar Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tersebut.
Pada ringkasan posisi kasus tersebut diatas, pemohon tidak saja mempermasalahkan
tidak diperbolehkannya Notaris yang memiliki keluarga Notaris untuk melakukan
perserikatan perdata Notaris, tetapi juga Notaris yang dalam keadaan cuti karena
diangkat sebagai pejabat Negara juga tidak dapat melakukan perserikatan perdata
Notaris.

Mahkamah Agung setelah membaca, mempelajari dan memahami substansi


permohonan keberatan yang diajukan oleh pemohon dan jawaban dari temohon, dalam
amar putusannya pada hari kamis tanggal 11 nopember 2010 mengadili; menolak
permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Para Pemohon, dan menghukum para
pemohon membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).

2.2 Kewenangan Mahkamah Agung


Kewenangan Mahkamah Agung dalam judicial review merupakan kewenangan atributif
yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945:

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan


perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011
Tentang Hak Uji Materiil menyebutkan tentang pengertian Hak Uji Materiil yaitu:

Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan
Perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-
undangan tingkat lebih tinggi.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa jenis dan hirarki
peraturan perundang-undangan adalah :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/PERPU ;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain dari pada urutan hierarki peraturan perundang-undangan diatas, adapula jenis
peraturan perundang-undangan lainnya yang diakui keberadaanya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Jenis peraturan
perundang-undangan lainnya tersebut yaitu sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mencakup:

peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan


Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan, pedoman mengenai hierarki peraturan perundang-
undangan dimuat di dalam Pasal 7 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi sebagai
berikut:

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :


1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dikarenakan permohonan 49 P/HUM/2010 diajukan sebelum diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka sesuai pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004, Permen Perserikatan Perdata Notaris adalah peraturan dibawah undang-
Undang yang terjadi akibat dari ditentukannya pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Melihat dari ketentuan tersebut diatas maka Mahkamah Agung berwenang untuk
melakukan uji materiil terhadap peraturan dibawah peraturan peraturan perundang-
undangan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.
Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, yang ditetapkan pada tanggal 8 Pebruari 2010, dan
Permen Perserikatan Perdata Notaris tersebut dapat dijadikan obyek Permohonan
Keberatan dan dapat dimohonkan Hak Uji Materiil.

Kedudukan Legal Standing para Pemohon


Legal standing menurut Blacks Law Dictionary adalah A Partys right to make legal
claim or seek judicial enforcement of a duty or right.[2] Yaitu hak untuk mengajukan
gugatan atau permohonan. Hak mengajukan permohonan pengujian atau legal standing
tersebut dapat dikatakan serupa dengan doktrin konvensional perbuatan melawan
hukum di Indonesia yang menganut asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum
(point d interest, point d action). Asas ini mengandung pengertian bahwa seseorang
atau kelompok dikatakan dapat memiliki standing apabila terdapat kepentingan hukum
yang dikaitkan dengan kepentingan kepemilikan (propietary interest) atau kerugian
langsung yang dialami oleh seorang penggugat (injury in fact) .
Legal Standing dalam pengajuan permohonan uji materiil diatur di dalam pasal 31 ayat
(2) Undang-Undang Nomr 3 Tahun 2009. Lebih lengkapnya Pasal 31A Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 berbunyi :

Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang


terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada
Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh
pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-
undangan di bawah undang- undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang- undang; atau c. badan hukum publik atau badan hukum
privat.
Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat pemohon;
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan
dengan jelas bahwa: 1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau 2. pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan c.
hal-hal yang diminta untuk diputus.
Berdasar pada ketentuan tersebut, maka Pemohon telah memenuhi legal standing.
Pemohon adalah warga Negara Indonesia yang menganggap haknya dirugikan oleh
Permen Perserikatan Perdata Notaris.

2.4 Alasan tidak diperbolehkannya Notaris yang memiliki hubungan seperti


yang dimaksud pasal 3 ayat (1) huruf f, dan pasal 4 ayat (2) Permen
Perserikatan Perdata Notaris dan Notaris yang sedang cuti karena diangkat
sebagi pejabat Negara (pasal 3 ayat (1) huruf d) tidak dapat melakukan
perserikatan perdata Notaris.
Dalam jawaban Termohon, Termohon menjelaskan bahwa munculnya ketentuan Pasal 3
ayat (1) huruf d dan huruf f serta Pasal 4 ayat (2) pada saat penyusunan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris
Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, dilandasi pemikiran agar para Notaris yang menjadi
anggota Teman Serikat:
lebih obyektif dalam menangani dan menghadapi suatu masalah. hukum;
mencegah terjadi conflic of interest atau perbenturan kepentingan di antara
Teman Serikat; serta
mencegah agar tidak saling menutupi apabila terjadi pelanggaran.
Dilihat dari alasan tersebut, pencantuman pasal 3 ayat 1 huruf d dan huruf f, serta pasal
4 ayat 2 Permen Perserikatan perdata adalah sebagai kontrol terhadap perserikatan
agar tidak merugikan masyarakat apabila ada Notaris yang memiliki itikad tidak baik
dan mencegah kartel keluarga. Hal ini berarti bila ada Suami-isteri yang kedua-duanya
Notaris, tidak tertutup sama sekali untuk mendirikan Perserikatan, asalkan dalam
Perserikatan tersebut terdapat Teman Serikat yang tidak mempunyai hubungan
perkawinan atau semenda dan/atau tidak mempunyai hubungan darah dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah, atau garis ke samping sampai derajat kedua, dengan
teman serikat lainnya, ini sesuai dengan pasal 4 ayat 2 Permen Perserikatan perdata
Notaris.
Sedang mengenai Persyaratan Notaris menjadi Teman Serikat dalam Perserikatan tidak
dalam keadaan cuti karena diangkat sebagai pejabat Negara dilandasi pemikiran bahwa
yang dapat mendirikan Perserikatan adalah Notaris yang aktif atau nyata menjalankan
jabatannya, tidak dalam keadaan cuti, sehingga secara hukum Notaris tersebut
kewenangannya sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tidak berkurang.
Karena saat Notaris menjadi pejabat Negara, dia tidak berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam UU 30/2004 karena yang
bersangkutan menjalani cuti. Pendirian perserikatan perdata atau menjadi teman
serikat dalam perserikatan perdata adalah kapasitas sebagai Notaris aktif bukan dalam
kedudukan sebagai Notaris yang sedang cuti atau menjadi pejabat Negara.

Termohon dalam surat jawabannya mengatakan bahwa dalil yang digunakan oleh
pemohon yang kesemuanya mempunyai hubunan keluarga Notaris dianggap
menunjukan bahwa Pemohon berniat atau beritikad untuk membentuk kartel keluarga
Notaris, padahal Notaris harus bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hokum.

Mahkamah Agung dalam dasar pertimbangannya juga mengungkapkan kesepakatannya


terhadap dalil-dalil yang dikemukakan oleh Termohon.

Menimbang bahwa Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI dimaksud merupakan


pelaksanan dari ketentuan Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2004 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan
perdata;

Menimbang, bahwa adapun pertimbangan Menteri Hukum dan HAM menerbitkan


peraturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pemberian pelayanan kepada
masyarakat di bidang kenotariatan, dan meningkatkan pengetahuan dan keahlian para
Notaris;

Menimbang, bahwa terhadap ketentuan Pasal 3 ayat 1 huruf d dan f serta Pasal 4 ayat 2
dimaksud dilandasi agar Notaris dalam bentuk perserikatan perdata diharapkan tetap
memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 2004;

Menimbang, bahwa adanya norma persyaratan Notaris menjadi Teman Serikat dalam
perserikatan perdata tidak dalam keadaan cuti karena diangkat sebagai Pejabat Negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 huruf d Peraturan Menteri tersebut tidaklah
bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 ayat 1 dan ayat 3, Pasal 20 ayat 3, Pasal 25
ayat 1, Pasal 26 ayat 3 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
tetapi malahan sejalan dengan ketentuan tersebut, karena pada asasnya Notaris yang
dapat mendirikan perserikatan perdata adalah Notaris yang aktif atau nyata
menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris; Menimbang, bahwa
keberadaan ketentuan dalam Pasal 1320, Pasal 1338, dan Pasal 1618 KUH Perdata
merupakan norma yang bersifat umum, sedangkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun
2004 beserta peraturan pelaksanaannya (in casu Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia R.I. Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan
Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata) merupakan ketentuan
yang bersifat khusus, sehingga dalam membentuk perserikatan perdata, Notaris wajib
mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai jabatan notaris;
Menimbang, bahwa sifat/kharakter jabatan Notaris dibandingkan dengan jabatan
akuntan publik dan advokat adalah berbeda, sehingga pengaturan terhadap jabatan-
jabatan tersebut juga terdapat adanya perbedaan, sehingga eksistensi Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010
Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata
tidaklah bersifat diskriminatif dan tidaklah bertentangan dengan Pasal 3 ayat 2 dan
Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Pasal 6 ayat 1
huruf g, huruf h dan huruf j UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan;
Akan tetapi ada keganjilan pada tujuan dibentuknya perserikatan perdata notaries pada
huruf (a) dan (b), yang dicantumkan Termohon dalam jawabannya. Yaitu tujuan
dibentuknya perserikatan perdata yang meliputi:

1. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di bidang kenotarisan;


2. meningkatkan pengetahuan dan keahlian Teman Serikat; dan
3. efisiensi biaya pengurusan kantor.
Lumban Tobing mengtakan[3] bahwa perserikatan perdata notaries tidak
menguntunkan bagi masyarakat umum karena hal itu menurangi persaingan dan pilihan
masyarakat tentan notaris yang dikehendakinya, lebih-lebih ditempat-tempat dimana
hanya ada beberapa orang notaries. Pada poin (b) perlu dipahami bahwa notaries
adalah pejabat umum, sebuah profesi, sebuah keahlian, yan memiliki kewenangan-
kewenangan yan ada didalam undang-undang. Artinya notaries dituntut untuk
memahami seluruh kewenangannya dan dianggap telah ahli untuk melakukan
kewajiban dan kewenangan notaries. Sehinga poin (b) dirasakan kurang tepat
menggunakan kata meningkatkan.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Peserikatan perdata Notaris tidak lepas dari pro dan kontra. Adanya Putusan
Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010 menandakan bahwa masih banyak hal
yang dapat disoroti dari Perserikatan Perdata Notaris.
2. Berdasarkan uraian yang telah diurai di pembahasan, para pemohon telah
memenuhi persyaratan formil, kepentingan dan legal standing untuk mengajukan
permohonan hak uji materiil di Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004.
3. Termohon dalam jawabannya telah menanggapi seluruh pasal dan ketentuan
yang dijadikan dalil oleh Pemohon dengan memberikan penjelasan demi penjelasan.
Adapun dalil yang dikemukakan oleh Termohon dalam jawabannya atas pasal 1320,
pasal 1338 dan pasal 1618 KUH Perdata, pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) pasal 20
ayat 3, pasal 25 ayat 1, pasal 26 ayat 3 UU/30/2004, pasal 3 ayat 2 dan pasal 73 UU
Hak asasi manusia, dan pasal 6 ayat 1 huruf g, huruf h, huruf I, dan huruf j UU
pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat daripada dalil yang
dikemukakan oleh pemohon. Mahkamah Agung sebagai judex factie mempunya
fungsi menganalisan dan menafsirkan peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-undang. Pada dasarnya persoalan ini hanya persoalan mengemukakan
argumentasi, terlepas dari benar atau tidaknya suatu produk hokum.
Saran
1. Perserikatan perdata notaries sebaiknya menyangkut perserikatan dalam arti
yang sempit, yaitu penggunaan gedung dan fasilitas yang sama, sedangkan
mengenai pembuatan akta dan pertanggungjawaban hokum terhadap akta yang
dibuat merupakan tanggungjawab oleh masing-masing anggota perserikatan.
2. Harus ada penyatuan istilah persekutuan dengan perserikatan yang mana
hendak digunakan. KUHPerdata menggunakan istilah Persekutuan, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014. Jabatan Notaris terbaru menggunakan istilah persekutuan,
maka perlu adanya Peraturan Menteri yang mengatur Persekutuan Perdata, bukan
lagi Perserikatan Perdata.
DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tetang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU No.14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun
2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan
Perdata
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2010

1. Buku
Ali, Chidir, Badan Hukum, 1996, Penerbit : Alumni, Bandung.
Henry Campbell Black. 1999. Blacks Law Dictionary. St. Paul: West Group
Tobing, Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, 1996, Cetakan keempat, Penerbit : Erlanga,
Jakarta

1. Internet

Anonim, http://litbangdiklatkumdil.net/dok-kegiatan-litbang-kumdil/764-kewenangan-uji-
materiil-peraturan-perundang-undangan-di-bawah-undang-undang.html, diakses
tanggal 01/04/2014 jam 10.10 WIB
Anonim, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257/perbedaan-judicial-review-
dengan-hak-uji-materiil, diakses tanggal 31/03/2014 jam 15.00 WIB
Hamdy, M Kholis, http://www.jimlyschool.com/read/news/338/hak-uji-materiil-di-
mahkamah-agung/, diakses tanggal 01/04/2014 jam 10.03 WIB
Kusumasari, Diana, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257/perbedaan-judicial-
review-dengan-hak-uji-materiil, diakses tanggal 01/04/2014 jam 10.15 WIB

[1] Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1999, hal.133


[2] Henry Campbell black. 1999. Blacks Law Dictionary. St. Paul: West Group
[3] Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan keempat, Erlanga, Jakarta, 1996,
hal. 107

Você também pode gostar