Você está na página 1de 27

Demokrasi dalam Pandangan Islam

Mar 23

Posted by M. Taufik N.T

Oleh : Muhammad Taufik NT

Rasulullah saw bersabda:

:

:

Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Ditanyakan, Wahai Rasulullah, seperti
Persia dan Romawi? Nabi menjawab: Manusia mana lagi selain mereka itu? (HR.
Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301),
menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti umat
lain dalam masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.

Sekarang dapat kita rasakan kebenaran sabda Beliau saw, dalam pemerintahan dan
pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik, bahkan tidak
jarang hukum Islam pun dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau hukum Islam
tersebut dianggap tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau diabaikan.

Secara ringkas, tulisan ini akan mengkritisi demokrasi, baik dalam tataran konsep maupun
praktiknya dalam sistem pemerintahan.

Pengertian Demokrasi

Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada
di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di
bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[1] Secara teori, dalam sistem
demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang
dipilih rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.

Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :

a. Kebebasan beragama

b. Kebebasan berpendapat

c. Kebebasan kepemilikan

d. Kebebasan bertingkah laku


Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara yang
ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang
dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu negara.
Namun demikian variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip
tersebut.

Asal Usul Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani (dmokrata) kekuasaan rakyat,


yang dibentuk dari kata (dmos) rakyat dan (Kratos) kekuasaan, merujuk
pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota
Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari
demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria
memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat
seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil
berdasarkan konsensus atau mufakat.

Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang
merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara kota
(poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang
berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat
Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu
demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang
penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitus yang ditulisnya pada 594 SM menjadi
dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi
baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena.
Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang
mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari
sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan
menyuarakan pendapat mereka.[2]

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi
mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni
situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam
kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja
terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti
idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah
berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil
menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan
mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi
sejarah yang melingkupi kelahirannya.

Demokrasi Bertentangan Dengan Islam

Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi
(penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya,
seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara, bukan di tangan
rakyat. Ketika syara telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun
seluruh rakyat sepakat membolehkannya.

Disisi lain, kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan manusia adalah lebih baik daripada
hukum Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan. Ketika
Rasulullah saw membacakan:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah. (QS. At Taubah : 31)

Ady bin Hatimr.a berkata:

Wahai Rasulullah mereka (org nashrany) tidaklah menyembah mereka (rahib).

Maka Rasul menjawab:

Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-apa yang diharamkan
Allah maka mereka (org nashrany) menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah maka mereka (nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan
mereka (nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga
diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]

Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia untuk
masuk agama tertentu. Namun demikian Islam mengharamkan seorang muslim untuk
meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah bersabda:

Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah dia.(HR
Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).

Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah


terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak boleh
melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat
tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara yang membolehkan hal tersebut. Islam
mengharuskan kaum muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan saja.
Rasulullah saw bersabda :

Dan kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami
tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan
Allah. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).

Berkaitan dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum,
seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga melarang cara
mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara seperti riba, judi, menjual
barang haram, menjual kehormatan, dll.
Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-
lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat
keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut,
apalagi kalau didukung suara mayoritas. sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi,
homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah
dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka[3]. Begitu juga perzinaan asal
dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah
dipermasalahkan[4].

Demokrasi = Syuro (Musyawarah)?

Sebagian kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni
sama dengan syuro (musyawarah), amar maruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa. Hal
ini tidaklah tepat karena syuro, amar maruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa
merupakan hukum syara yang telah Allah swt tetapkan cara dan standarnya, yang jauh
berbeda dengan demokrasi.

Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang


dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :

(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara, yang menjadi kriteria adalah
kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah,
dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat,
dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:

Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah
penolongku. (HR Bukhari)

(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau
kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk
ini.

(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak
memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud
menjadi dalilnya.

Demokrasi: Cacat Sejak Lahir

Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-
maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai
Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem
yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan
akan anarkisme.

Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus biang
petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato dalam bukunya, The
Republic, mengatakan, .they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech,
and men in it may do what they like. (mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara
penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh
melakukan apa yang disukainya). Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan
yang tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin
mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan
berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), tidak
bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).

Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan betapa
negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu
mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi
negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.

Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat
terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada
perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat
tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi
rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata:
Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.

Demokrasi Ketuhanan

Karena menganggap demokrasi sebagai konsep yang bagus walaupun ada kekurangannya,
sebagian kalangan ada yang berupaya mengambil ide demokrasi namun membuang apa yang
menurut mereka jelek. Sehingga mereka katakan, kita memakai demokrasi namun yang
berdaulat tetaplah syara yakni mereka bermaksud berdemokrasi namun hukum syara tidak
akan ditolak. Ungkapan seperti ini sebenarnya hanyalah permainan kata-kata dan definisi
saja, seperti orang mau memesan sate ayam namun mereka syaratkan sate ayamnya tidak
menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal seperti ini hendaknya kita berhati-hati menjaga
lidah. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Raa`ina,
tetapi katakanlah: Unzhurna, dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang
pedih. (QS Al Baqarah 104)

Raa `ina berarti sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Di kala para sahabat
menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai pula kata ini dengan
digumam seakan-akan menyebut Raa `ina, padahal yang mereka katakan ialah
Ru`uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah
sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan Raa `ina dengan
Unzhurna yang juga sama artinya dengan Raa `ina. Kalau masalah pilihan kata saja
Allah memperhatikan, padahal dua kata tersebut kurang lebih artinya sama, lalu baggaimana
pula dengan kata yang memang memiliki pemahaman yang khas seperti demokrasi ini?
Tentunya harus lebih hati-hati lagi.

Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah)

Berbeda dengan demokrasi, Islam menggariskan bahwa sistem pemerintahan yang


seharusnya dipakai umat Islam tegak diatas 4 pilar pokok yakni: [5]
Pertama, kedaulatan di tangan syara. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa
kedaulatan di tangan syara, yakni hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum
bagi manusia, kalaupun semua manusia sepakat menghalalkan yang diharamkan Allah maka
kesepakatan mereka tidak berlaku.

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
Pemberi keputusan yang paling baik. (QS Al Anam : 57)

Ketika terjadi perselisihan, maka keputusan hukumnya juga wajib menggunakan ketentuan
syara. Allah berfirman:

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. (QS. An Nisaa: 59)

Kedua, kekuasaan[6] di tangan umat, yakni umatlah yang berhak memilih pemimpin yang
dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis
tentang baiat, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara, kecuali dibaiat (diangkat) oleh
umat.

Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Ibnu
Katsir dalam tafsirnya (1/222, Maktabah Syamilah) menyatakan:

:
.

Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh berdasarkan
sabda Beliau saw: barang siapa datang kepada kalian sementara urusan kalian bersatu,
(orang itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah dia siapapun orangnya(HR. Muslim)
Dan ini merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang yang telah menceritakan adanya
ijma dalam hal ini, di antara mereka adalah Imamul Haramain.

Keempat, hanya kepala negara saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara.

Hal ini didasarkan pada Ijma Shahabat yang melahirkan kaidah syariyah yang termasyhur,

Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syariyah lain yang
tak kalah masyhur,Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri m yahdutsu min
musykilt. (Imam (kepala negara) berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan
persoalan-persoalan baru yang terjadi).

Penutup
Demokrasi yang telah dijajakan Barat ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem
kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung.
Demokrasi bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya,
dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya,
serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.

Fakta juga membuktikan kerusakan masyarakat akibat dipakainya konsep demokrasi ini,
bukan hanya di Indonesia, namun juga di AS yang menjajakan konsep ini. Allahu Alam.
(Insya Allah disampaikan di Masjid Nurul Falah Banjarbaru, pada 24 Maret 2013)

https://mtaufiknt.wordpress.com/2013/03/23/demokrasi-dalam-pandangan-islam/

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Demokrasi

Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani
yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini,
demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani
kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang terjadi di Yunani
kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan,
atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak
langsung ini cocok untuk negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.

Secara etimologi Demokrasi berarti Pemerintahan oleh Rakyat. Inilah yang membedakan
demokrasi dengan istilah-istilah pemerintahan lainnya di mana tidak mempunyai hak paten
dari rakyat. Amerika mendefinisikan demokrasi sesuai dengan apa yang diucapkan oleh
Presiden ke-16 mereka, Abraham Lincoln (1809-1865): Pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Dengan kata lain di dalam demokrasi terdapat partisipasi rakyat
luas (public) dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada kehidupan
bermasyarakat.
2.2 Pandangan Ulama tentang Demokrasi

Yusuf al-Qardhawi :
Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan Islam.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya:
- Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang
untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus
keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak akan memilih sesuatu yang tidak
mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi
imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga
sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan
nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu,
barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang
mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada
kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah
Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak
bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang
tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan
sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah
berdasarkan suara terbanyak. Sementara lainnya yang tidak terpilih harus
tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus
memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn
Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah
khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama
tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
- Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta
otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan
dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi :


Menurut beliau, demokrasi mengandung sisi yang baik yang
tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan
dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama
tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan
hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang
haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya
islamisasi sebagai berikut:
- Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
- Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas
lainnya.
- Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan
dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
- Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya
yang bermoral yang duduk di parlemen.
2.3 Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam

Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi :

Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan


keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Quran. Misalnya saja
disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik
kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana
syura adalah ahl halli wa-laqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga
ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara
atau khalifah.

Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab
bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap
musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena
pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.

Al-adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum


termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus
dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti
pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini
ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam
surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa: 58, dan
seterusnya. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat
diperlukan, sehingga ada ungkapan yang ekstrim berbunyi: Negara
yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara
yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam.

Al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang


merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan
kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap
rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam
suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas
rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan
begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan
adil. Sebagian ulama memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-
syura dan al-adalah. Diantara dalil al-Quran yang sering digunakan dalam hal ini adalah
surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam
khutbah wada dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.

Al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan


seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah
tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin
atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu
melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.
Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah
SWT dalam Surat an-Nisa:58.

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan
orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan
tersebut. Inilah etika Islam.
Al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui
bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus
diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung
jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan
kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah
yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah
yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan
dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing
orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan
demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah
(penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian,
kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan
keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap


warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan
pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan
memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-l-maruf
wa an-nahy an al-munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk
mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya
kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan
kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol
dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.

2.4 Persamaan dan Perbedaan Islam dan Demokrasi

Persamaan Islam & Demokrasi


Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan
yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak.
Persamaannya:
1. Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan
kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai
sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat
sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden.
Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist,
ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam,
bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya
dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan
eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan
tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden,
melainkan berdasarkan pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
2. Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk
rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan
pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.
3. Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu
(misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan
berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak
tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak
tersebut dijamin dalam Islam.

Perbedaan Islam & Demokrasi


1. Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat
dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat
yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran
nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun
menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya.
Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan
perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam
terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan
demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional
2. Tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada
tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi,
demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa
dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan,
peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup
pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih
utama dan fundamental.
3. Kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah
kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli
kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan
rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat
sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat,
alQuran dan asSunnah tanpa mendapat sanksi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi


tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan
rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam
menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan
adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa
mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari ketetapan
Hukum Allah.
Oleh karena itu, maka perlu sebuah sistem yang sesuai dengan ajaran Islam.
Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap
menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr
ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang
tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah
hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu
dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi;
bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan
Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar
dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

https://haryayaya.wordpress.com/2011/10/30/demokrasi-dalam-pandangan-
islam/

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga penyusun berhasil menyelesaikan Makalah Pendidikan
Kewarganegaraan ini yang berjudul Demokrasi Indonesia.
Makalah ini berisikan tentang demokrasi di indonesia yang akan penyusun bahas
secara lebih dalam, karena selain kita perlu memahami dan mengerti apa itu demokrasi, kita
juga perlu mengetahui demokrasi dalam perspektif islam, sejarah perkembangan, jenis-jenis
demokrasi, dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penyusun harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penyusun sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini. Semoga dari makalah ini, kita dapat
menambah pengetahuan mengenai sistem demokrasi di Indonesia.

Tangerang, Oktober 2014

Penyusun

BAB 1
PENDAHULUAN
Pemerintahan demokrasi yang kokoh adalah pemerintahan yang sesuai dengan pandangan
hidup, kepribadian, dan falsafah bangsanya. Pada masa Yunani Kuno sudah berkembang
demokrasi langsung, artinya seluruh rakyat terlibat secara langsung dalam masalah
kenegaraan. Hal ini terjadi karena wilayah negara sempit dan penduduknya sedikit. Pada
masa modern, demokrasi langsung tidak dapat dijalankan karena wilayah negara cukup luas,
jumlah penduduk banyak, rakyat melalui suatu lembaga perwakilan (badan-badan perwakilan
rakyat) dapat menyalurkan aspirasinya dalam kenegaraan atau sering disebut demokrasi
perwakilan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara demokrasi. Indonesia merupakan negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia. Makna demokrasi sendiri adalah pemerintahan dimana
kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Dan pemerintahan demokrasi dijalankan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi di Indonesia ditunjukkan oleh adanya
pemilihan umum legislatif secara terbuka yang dilakukan dengan penentuan suara terbanyak
(voting), bebasnya masyarakat dalam berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta
kebebasan media pers dalam berwacana.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi
dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian
muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty
(kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst. Secara normatif, Islam menekankan
pentingnya ditegakkan amar maruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu,
anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip
Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang
aman dan sejahtera.
Bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam
memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi,
bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan
pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F.
Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible
dengan demokrasi? Tulisan ini akan mengkaji lebih detail bagaimana tahapan-tahapan atau
sejarah dan perkembangan demokrasi di Indonesia, implementasi demokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat dan demokrasi dalam perspektif islam.
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Demokrasi


1. Pengertian Demokrasi
a. Pengertian secara Bahasa
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos artinya rakyat dan cratos atau
cratein artinya pemerintahan atau kekuasaan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-
cratos berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat (Wijianto, 2008).
b. Pengertian secara istilah
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi di
tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih
dibawah sistem pemilihan yang bebas.
Jadi yang diutamakan dalam pemerintahan demokratis adalah rakyat (Wijianto, 2008).
Dengan demikian demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat dan
selalu mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan negara (Agus Dwiyono dkk, 2006).
Pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat
dan untuk rakyat (Saptono dkk, 2006).
Pemerintahan dari rakyat berarti kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah itu pada dasarnya
berasal dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat berarti rakyat sendirilah sesungguhnya
menjalankan kehidupan negara sedangkan pemerintahan untuk rakyat berarti pemerintah
melaksanakan pemerintahan, bukan untuk melayani kepentingan mereka sendiri melainkan
untuk melayani kepentingan rakyat yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Berikut merupakan beberapa pengertian lain dari demokrasi :
Budaya Demokrasi adalah pola pikir, pola sikap, dan pola tindak warga masyarakat yang
sejalan dengan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan antar manusia yang
berintikan kerjasama, saling percaya, menghargai keanekaragaman, toleransi,
kesamaderajatan, dan kompromi.
International Commision of Jurist (ICJ), demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan
dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara
melalui wakil-wakil yg dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui
suatu proses pemilihan yg bebas.
Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Giovanni Sartori, memandang demokrasi sebagai suatu sistem di mana tak seorangpun
dapat memilih dirinya sendiri, tak seorangpun dapat menginvestasikan dia dgn kekuasaannya,
kemudian tidak dapat juga untuk merebut dari kekuasaan lain dengan cara-cara tak terbatas
dan tanpa syarat.
Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Panca-sila, demokrasi adalah suatu pola
pemerintahan dimana kekuasaan untuk memerintah berasal dari mereka yang diperintah.

2. Unsur-unsur Demokrasi
Unsur-unsur demokrasi sebagai bentuk pemerintahan sebagai berikut :
1. Partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara
Partisipasi rakyat tidak hanya berupa partisipasi dalam mekanisme lima tahunan
(pemilu).Partisipasi tidak identik dengan memilih dan dipilih dalam pemilu. Khusus bagi
rakyat yang telah memilih ,mereka berhak dan bertanggung jawab untuk menyuarakan
aspirasi atau kritik kapan saja terhadap para wakil dan pemerintah yang mereka pilih.
2. Kebebasan
Kebebasan, adalah keleluasaan untuk membuat pilihan terhadap beragam pilihan atau
melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk kepentingan bersama atas kehendak sendiri tanpa
tekanan dari pihak manapun. Bukan kebebasan untuk melakukan hal tanpa batas. Kebebasan
harus digunakan untuk hal yang bermanfaat bagi masyarakat, dengan cara tidak melanggar
aturan yang berlaku. Diantaranya, kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat.
3. Supremasi hukum atau daulat hukum
Unsur penting lainnya, adalah Supremasi Hukum (Rule of Law). Supremasi mempunyai arti
kekuasaan tertinggi (teratas). Hukum mempunyai arti peraturan. Jadi, Supremasi Hukum
mempunyai pengertian sebagai suatu peraturan yang tertinggi. Tidak ada gunanya pemerintah
membiarkan semua kebebasan yang disebut diatas bertumbuh apabila pemerintah menginjak
injaknya. Pengalaman banyak Negara menunjukkan banyak pengkritik dijebloskan kedalam
penjara, banyak demonstran yang menentang kebijakan pemerintah dibubarkan dengan cara
kekerasan, dan bahkan banyak diantara mereka ditembak mati secara diam diam oleh agen
agen rahasia Negara. Agar kebebasan bertumbuh subur, rakyat harus yakin bahwa
kebebasan itu berlaku tetap.
4. Pengakuan akan kesamaan warga negara
Dalam demokrasi , semua warga negara diandaikan memiliki hak-hak politik yang sama
,jumlah suara yang sama,hak pilih yang sama,akses atau kesempatan yang sama.
5. Pengakuan akan supremasi sipil atas militer
Dalam sebuah negara yang demokratis , sipil mengatur militer bukan sebaliknya. Hal ini
mengandung arti, pertama, sipil mengendalikan militer. Kedua, militer aktif tidak
diperkenankan menjadi pejabat Negara (lurah,camat,walikota,bupati,presiden dan sebaginya).
Militer hanya bertanggung jawab mengamankan negara. (Tim Abdi Guru,2006)

B. Demokrasi Dalam Perspektif Islam


1. Konsep Kedaulatan menurut islam
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat
konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa
perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia
Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya
Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian Dramamengidentifikasi
seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya demokrasi. Berkenaan dengan agama
secara umum dan Islam khususnya, dia mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu,
Islam dan Budha tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin Islam,
dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk mendukung reformasi sejajar
dengan idealisme modernisasi.
Apabila demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam dan Budha dapat memberikan
dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi khususnya reformasi egalitarian. John O.
Voll dan John L. Esposito, dua pakar yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas
pandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini dalam
khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim kontemporer
untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik.
Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil
Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di Jurnal Foreign Affairs:
Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia
sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti
seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana
yang mengkaji literatur utama Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan
demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi.
Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara
meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya,
asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada
Syura (musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi, Hasan
Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual
dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam
dan Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam
dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan
terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.
Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan
oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada
rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem
perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan
secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya
distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau
gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat
esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka
akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang
korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi
Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin)
di sisi lain.
Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan
yang `konstitusional, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk
diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi
Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan,
efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat,
yang memiliki hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian,
pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer.
Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan egalitarianism
emerupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui bahwa awal pemerintahan Islam
di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga
melibatkan non-muslim.
Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur
pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris.
Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi
rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. Umat Islam dapat memanfaatkan
kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk
melembagakan dan memperbaiki proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses
Syura dalam Islam.
Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem
konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada
rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam
secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran
praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara
bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagaiKhalifah al-Rasul (representatif rasul) dan
Khalifah al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.
Poin ini memerlukan kajian lebih lanjut karena adanya mispersepsi tentang kedaulatan
(sovereignty): bahwa kedaulatan Islam adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan
dalam demokrasi adalah milik rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan salah.
Memang, Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia telah memberikan
kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia.
Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia. Dia telah
menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan untuk
membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu.
Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi dan
implementasinya adalah profan.
Apakah akan memilih jalan ke surga atau neraka adalah murni keputusan manusia. Apakah
akan memilih Islam atau keyakinan lain juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih
untuk mengorganisir kehidupan kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga terserah kita.
Begitu juga, apakah umat Islam hendak memilih bentuk pemerintahan Islam atau sekuler.
Tidak ada paksaan dalam agama.
Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas masyarakat tidak
menginginkan sistem Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang
tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena
tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan fondasi Islam tidak
dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.
Pada karakter fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada konflik antara
demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak
dapat mengklaim dirinya Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah
mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum
bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut sistem demokrasi. Seperti
yang dikatakan oleh Dr Fathi Osman, salah satu intelektual muslim kontemporer terkemuka,
demokrasi merupakan aplikasi terbaik dari Syura.

2. Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam


Prinsip Demokrasi Menurut Sadek, J. Sulaymn, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip
yang menjadi standar baku. Di antaranya, Kebebasan berbicara setiap warga negara,
pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali
atau harus diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol
minoritas, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat,
pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum (semua harus
tunduk pada hukum), semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh
dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi.
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak
mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk
menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan
Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap
demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam
menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan seperti teokrasi yang
diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas
pada para pendeta.
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan
ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama,
demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi
yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan
keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan
hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya,
menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan
basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi
spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan
demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal
menawarkan sebuah model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi; kepatuhan pada
hukum; toleransi sesama warga; tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit; serta dilandasi
penafsiran hukum Allah melalui ijtihad.
Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak
menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan
menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura
(Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum
tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan
prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan
Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syri (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqh
(yang memahami sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan) hukum- Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan.
Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat
Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan
Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman, Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. al-Arf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal
lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta
orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat
dari beberapa hal. Misalnya,
Pertama, dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk
mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu
saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga
dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh
makmum di belakangnya.
Kedua, usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan
Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin
adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga, pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi.
Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang
mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang
sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan
kesaksian pada saat dibutuhkan.
Ketiga penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk
Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk
menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus
tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang
yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah
penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas
yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. Keempat
juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan
merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Menurut Salim Ali al-Bahnasawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak
bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi
baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam.
Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah
pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia
menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut
Pertama, menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
Kedua, wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
Ketiga, mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan
dalam Alquran dan Sunnah.
Keempat, komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya
yang bermoral yang duduk di parlemen
.
Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi,
Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara
eksplisit ditegaskan dalam al-Quran. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali
Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai
pelaksana syura adalah ahl halli wa-laqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih
menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah.
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab
bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap
musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena
pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen
dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh
kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini
ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalamsurat an-Nahl: 90; as-
Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa: 58, dan seterusnya. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah
negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang ekstrim berbunyi: Negara yang
berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur
meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi
dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam
suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan
begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan
adil. Sebagian ulama memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-
syura dan al-adalah. Diantara dalil al-Quran yang sering digunakan dalam hal ini adalah
surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam
khutbah wada dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang
kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan
baik.
Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh
rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.
Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-
Nisa:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan
orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan
tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa,
kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus
disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan
di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan
dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing
orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan
demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah
(penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian,
kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan
keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan. Keenam, al-
Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak
dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan
cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-l-
maruf wa an-nahy an al-munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.
Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang
berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi
kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
C. Sejarah Perkembangan dan Pelaksanaan Demokrasi di
Indonesia
1. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat di bagi empat periode yaitu; periode 1945-1959,
periode 1959-1965, periode1965-1998, dan periode pasca Orde Baru. Demokrasi pada
periode 1945-1959 dikenal dengan sebutan parlementer, sistem ini berlaku sebulan
setelah kemerdekaan di proklamasikan. Namun demikian, model demokrasi ini di
anggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi untuk mempraktikan
demokrasi model barat ini telah memberi peluang sangat besar kepada partai- partai politik
mendominasi kehidupan sosial politik. Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan
sistem demokrasi parlementer ini ahirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi
kesukuan dan agama. Akibatnya pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masa
ini jarang dapat bertahan lama.
Hal ini mengakibatkan destabilitas politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang
sedang dibangun, Demokrasi pada periode 1959-1965 ini dikenal dengan sebutan
demokrasi terpimpin. Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominan politik presiden dan
berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalam panggung politik
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai usaha untuk
mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui kepemimpinan personal yang kuat.
Demokrasi pada periode 1965-1998 ini merupakan masa pemerintahan presiden Soeharto
dengan Orde Barunya. Orde baru merupakan kritik tehadap periode sebelumnya, Orde lama.
Seiring pergantian kepemimpinan nasional, demokrasi Presiden Soekarno telah diganti oleh
elite Orde Baru Demokrasi Pancasila.Demokrasi pasca Orde Baru sering disebut dengan era
reformasi sampai dengan sekarang. Periode ini erat hubunganya dengan gerakan reformasi
rakyat yang menuntut pelaksaan demokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntunan ini di
tandai oleh lengsernya Presiden Sueharto tampuk kekeuasaan Orde Baru pada Mei 1998,
setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa dengan demokrasi pancasilanya. Penyelewengan
atas dasar Negara Pancasila oleh penguasa Orde Baru berdampak pada sikap antipati
sebagian masyarakat terhadap dasar Negara atau Pancasila.
Demokrasi di negera Indonesia bersumber dari Pancasila dan UUD 1945 sehingga sering di
sebut demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk mufakat,
dengan berpangkal tolak pada paham kekeluargaan dan Gotong royong yang ditujukan
kepada kesejateraan yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius berdasarkan
kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur. Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu
tidak bersikap mutlak, tetapi harus dengan tanggung jawab sosial. Pemerintahan demokrasi
merupakan pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat, maka persoalan
tentang sistem pemerintahan demokrasi itu langsung mengenai soal-soal rakyat sebagai
penduduk dan warga dalam hak dan kewajibanya.
Dengan kata lain paham tersebut memiliki makna bahwa suatu pemerintahan yang
memegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Artinya dalam setiap pemerintah akan
mengambil keputusan yang akan dijadikan kebijakan maka rakyat selalu diikutsertakan dalam
agenda tersebut melalalui perwakilan yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Demokrasi
pada masa lalu dipahami hanya sebagai bentuk pemerintahan. Demokrasi adalah salah satu
bentuk pemerintah. Akan tetapi, sekarang ini demokrasi di pahami lebih luas lagi sebagai
sistem pemerintahan atau politik. Konsep demokrasi sebagai bentuk pemerintah berasal dari
filsup yunani. Dalam pandangan ini demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintah.

2. Hubungan Demokrasi dan Pemilu


Dalam sebuah Negara yang menganut paham Demokrasi, Pemilu menjadi kunci terciptanya
demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa diikuti Pemilu. Pemilu merupakan wujud yang paling
nyata dari demokrasi. Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah
Pemilihan Umum. Demokrasi sebuah bangsa hampir tidak terpahamkan tanpa Pemilu.
Sehingga setiap pemerintahan suatu Negara yang hendak menyelenggarakan pemilu selalu
menginginkan pelaksanaanya benar-benar mencerminkan proses demokrasi. Pemilu
merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut serta menentukan figure dan arah kepemimpinan
Negara dalam periode waktu tertentu.
Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan Negara adalah kehendak
rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Pemilu yang teratur dan
berkesinambungan saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar
mendekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan saran legitimasi bagi sebuah kekuasaan.
Setiap penguasa betapapun otoriternya pasati membutuhkan dukungan rakyat secara formal
untuk melegitimasi kekuasaanya.
Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktek bernegara saat ini
karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatan rakyat atas Negara
dan Pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut dapat diwujudkan dalam proses
pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa saja yang harus menjalankan dan di sisi
lain mengawasi pemerintahan Negara. Karena itu, fungsi utama bagi rkayat adalah untuk
memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil mereka. Dan yang tidak boleh
kita lupakan pemilu adalah peristiwa perhelatan rakyat yang paling akbar yang hanya terjadi
lima tahun dan melalui pemilulah rakyat secara langsung tanpa kecuali benar-benar
menunjukkan eksistensinya sebagai pemegang kedaulatan dalam Negara. Berdasarkan dapat
ditegaskan bahwa pemilu sebagai wujud paling nyata dari demokrasi.
BAB 3
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya
bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang
sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan
menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak
sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu
ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran
Islam. Yaitu pertama, demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Kedua,
rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan
senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Keempat, suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak
meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr
ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau
membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang
dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan
cukup mengambil pajaknya. Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan
ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
Keenam produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
Ketujuh hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang
harus dilakukan pertama, seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman
yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari
ajarannya. Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh
orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unila.ac.id/322/7/BAB%20II.pdf
http://thoha.files.wordpress.com/2011/06/demokrasi-dalam-perspektif-
islam.pdf
https://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/proses-demokrasi-menuju-
masyarakan-madani.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
http://ektynabilah.blogspot.com/2012/01/unsur-unsur-demokrasi-sebagai-
bentuk.html
http://rezkarezka.wordpress.com/2012/06/19/hubungan-demokrasi-
dengan-pemilihan-umum/

Você também pode gostar