Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Mar 23
:
:
Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Ditanyakan, Wahai Rasulullah, seperti
Persia dan Romawi? Nabi menjawab: Manusia mana lagi selain mereka itu? (HR.
Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301),
menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti umat
lain dalam masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.
Sekarang dapat kita rasakan kebenaran sabda Beliau saw, dalam pemerintahan dan
pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik, bahkan tidak
jarang hukum Islam pun dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau hukum Islam
tersebut dianggap tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau diabaikan.
Secara ringkas, tulisan ini akan mengkritisi demokrasi, baik dalam tataran konsep maupun
praktiknya dalam sistem pemerintahan.
Pengertian Demokrasi
Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada
di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di
bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[1] Secara teori, dalam sistem
demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang
dipilih rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a. Kebebasan beragama
b. Kebebasan berpendapat
c. Kebebasan kepemilikan
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari
demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria
memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat
seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil
berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang
merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara kota
(poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang
berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat
Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu
demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang
penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitus yang ditulisnya pada 594 SM menjadi
dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi
baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena.
Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang
mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari
sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan
menyuarakan pendapat mereka.[2]
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi
mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni
situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam
kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja
terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti
idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah
berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil
menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan
mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi
sejarah yang melingkupi kelahirannya.
Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi
(penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya,
seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara, bukan di tangan
rakyat. Ketika syara telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun
seluruh rakyat sepakat membolehkannya.
Disisi lain, kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan manusia adalah lebih baik daripada
hukum Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan. Ketika
Rasulullah saw membacakan:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah. (QS. At Taubah : 31)
Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-apa yang diharamkan
Allah maka mereka (org nashrany) menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah maka mereka (nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan
mereka (nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga
diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]
Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia untuk
masuk agama tertentu. Namun demikian Islam mengharamkan seorang muslim untuk
meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah bersabda:
Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah dia.(HR
Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).
Dan kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami
tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan
Allah. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).
Berkaitan dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum,
seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga melarang cara
mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara seperti riba, judi, menjual
barang haram, menjual kehormatan, dll.
Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-
lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat
keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut,
apalagi kalau didukung suara mayoritas. sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi,
homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah
dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka[3]. Begitu juga perzinaan asal
dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah
dipermasalahkan[4].
Sebagian kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni
sama dengan syuro (musyawarah), amar maruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa. Hal
ini tidaklah tepat karena syuro, amar maruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa
merupakan hukum syara yang telah Allah swt tetapkan cara dan standarnya, yang jauh
berbeda dengan demokrasi.
(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara, yang menjadi kriteria adalah
kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah,
dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat,
dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:
Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah
penolongku. (HR Bukhari)
(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau
kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk
ini.
(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak
memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud
menjadi dalilnya.
Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-
maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai
Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem
yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan
akan anarkisme.
Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus biang
petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato dalam bukunya, The
Republic, mengatakan, .they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech,
and men in it may do what they like. (mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara
penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh
melakukan apa yang disukainya). Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan
yang tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin
mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan
berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), tidak
bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan betapa
negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu
mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi
negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.
Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat
terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada
perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat
tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi
rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata:
Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.
Demokrasi Ketuhanan
Karena menganggap demokrasi sebagai konsep yang bagus walaupun ada kekurangannya,
sebagian kalangan ada yang berupaya mengambil ide demokrasi namun membuang apa yang
menurut mereka jelek. Sehingga mereka katakan, kita memakai demokrasi namun yang
berdaulat tetaplah syara yakni mereka bermaksud berdemokrasi namun hukum syara tidak
akan ditolak. Ungkapan seperti ini sebenarnya hanyalah permainan kata-kata dan definisi
saja, seperti orang mau memesan sate ayam namun mereka syaratkan sate ayamnya tidak
menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal seperti ini hendaknya kita berhati-hati menjaga
lidah. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Raa`ina,
tetapi katakanlah: Unzhurna, dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang
pedih. (QS Al Baqarah 104)
Raa `ina berarti sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Di kala para sahabat
menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai pula kata ini dengan
digumam seakan-akan menyebut Raa `ina, padahal yang mereka katakan ialah
Ru`uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah
sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan Raa `ina dengan
Unzhurna yang juga sama artinya dengan Raa `ina. Kalau masalah pilihan kata saja
Allah memperhatikan, padahal dua kata tersebut kurang lebih artinya sama, lalu baggaimana
pula dengan kata yang memang memiliki pemahaman yang khas seperti demokrasi ini?
Tentunya harus lebih hati-hati lagi.
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
Pemberi keputusan yang paling baik. (QS Al Anam : 57)
Ketika terjadi perselisihan, maka keputusan hukumnya juga wajib menggunakan ketentuan
syara. Allah berfirman:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. (QS. An Nisaa: 59)
Kedua, kekuasaan[6] di tangan umat, yakni umatlah yang berhak memilih pemimpin yang
dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis
tentang baiat, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara, kecuali dibaiat (diangkat) oleh
umat.
Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Ibnu
Katsir dalam tafsirnya (1/222, Maktabah Syamilah) menyatakan:
:
.
Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh berdasarkan
sabda Beliau saw: barang siapa datang kepada kalian sementara urusan kalian bersatu,
(orang itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah dia siapapun orangnya(HR. Muslim)
Dan ini merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang yang telah menceritakan adanya
ijma dalam hal ini, di antara mereka adalah Imamul Haramain.
Keempat, hanya kepala negara saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara.
Hal ini didasarkan pada Ijma Shahabat yang melahirkan kaidah syariyah yang termasyhur,
Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syariyah lain yang
tak kalah masyhur,Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri m yahdutsu min
musykilt. (Imam (kepala negara) berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan
persoalan-persoalan baru yang terjadi).
Penutup
Demokrasi yang telah dijajakan Barat ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem
kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung.
Demokrasi bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya,
dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya,
serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Fakta juga membuktikan kerusakan masyarakat akibat dipakainya konsep demokrasi ini,
bukan hanya di Indonesia, namun juga di AS yang menjajakan konsep ini. Allahu Alam.
(Insya Allah disampaikan di Masjid Nurul Falah Banjarbaru, pada 24 Maret 2013)
https://mtaufiknt.wordpress.com/2013/03/23/demokrasi-dalam-pandangan-islam/
BAB II
PEMBAHASAN
Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani
yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini,
demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani
kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang terjadi di Yunani
kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan,
atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak
langsung ini cocok untuk negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.
Secara etimologi Demokrasi berarti Pemerintahan oleh Rakyat. Inilah yang membedakan
demokrasi dengan istilah-istilah pemerintahan lainnya di mana tidak mempunyai hak paten
dari rakyat. Amerika mendefinisikan demokrasi sesuai dengan apa yang diucapkan oleh
Presiden ke-16 mereka, Abraham Lincoln (1809-1865): Pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Dengan kata lain di dalam demokrasi terdapat partisipasi rakyat
luas (public) dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada kehidupan
bermasyarakat.
2.2 Pandangan Ulama tentang Demokrasi
Yusuf al-Qardhawi :
Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan Islam.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya:
- Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang
untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus
keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak akan memilih sesuatu yang tidak
mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi
imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga
sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan
nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu,
barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang
mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada
kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah
Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak
bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang
tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan
sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah
berdasarkan suara terbanyak. Sementara lainnya yang tidak terpilih harus
tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus
memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn
Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah
khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama
tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
- Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta
otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan
dengan Islam.
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab
bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap
musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena
pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan
begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan
adil. Sebagian ulama memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-
syura dan al-adalah. Diantara dalil al-Quran yang sering digunakan dalam hal ini adalah
surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam
khutbah wada dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan
orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan
tersebut. Inilah etika Islam.
Al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui
bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus
diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung
jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan
kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah
yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah
yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan
dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing
orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan
demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah
(penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian,
kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan
keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
https://haryayaya.wordpress.com/2011/10/30/demokrasi-dalam-pandangan-
islam/
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga penyusun berhasil menyelesaikan Makalah Pendidikan
Kewarganegaraan ini yang berjudul Demokrasi Indonesia.
Makalah ini berisikan tentang demokrasi di indonesia yang akan penyusun bahas
secara lebih dalam, karena selain kita perlu memahami dan mengerti apa itu demokrasi, kita
juga perlu mengetahui demokrasi dalam perspektif islam, sejarah perkembangan, jenis-jenis
demokrasi, dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penyusun harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penyusun sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini. Semoga dari makalah ini, kita dapat
menambah pengetahuan mengenai sistem demokrasi di Indonesia.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
Pemerintahan demokrasi yang kokoh adalah pemerintahan yang sesuai dengan pandangan
hidup, kepribadian, dan falsafah bangsanya. Pada masa Yunani Kuno sudah berkembang
demokrasi langsung, artinya seluruh rakyat terlibat secara langsung dalam masalah
kenegaraan. Hal ini terjadi karena wilayah negara sempit dan penduduknya sedikit. Pada
masa modern, demokrasi langsung tidak dapat dijalankan karena wilayah negara cukup luas,
jumlah penduduk banyak, rakyat melalui suatu lembaga perwakilan (badan-badan perwakilan
rakyat) dapat menyalurkan aspirasinya dalam kenegaraan atau sering disebut demokrasi
perwakilan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara demokrasi. Indonesia merupakan negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia. Makna demokrasi sendiri adalah pemerintahan dimana
kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Dan pemerintahan demokrasi dijalankan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi di Indonesia ditunjukkan oleh adanya
pemilihan umum legislatif secara terbuka yang dilakukan dengan penentuan suara terbanyak
(voting), bebasnya masyarakat dalam berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta
kebebasan media pers dalam berwacana.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi
dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian
muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty
(kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst. Secara normatif, Islam menekankan
pentingnya ditegakkan amar maruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu,
anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip
Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang
aman dan sejahtera.
Bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam
memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi,
bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan
pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F.
Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible
dengan demokrasi? Tulisan ini akan mengkaji lebih detail bagaimana tahapan-tahapan atau
sejarah dan perkembangan demokrasi di Indonesia, implementasi demokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat dan demokrasi dalam perspektif islam.
BAB 2
PEMBAHASAN
2. Unsur-unsur Demokrasi
Unsur-unsur demokrasi sebagai bentuk pemerintahan sebagai berikut :
1. Partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara
Partisipasi rakyat tidak hanya berupa partisipasi dalam mekanisme lima tahunan
(pemilu).Partisipasi tidak identik dengan memilih dan dipilih dalam pemilu. Khusus bagi
rakyat yang telah memilih ,mereka berhak dan bertanggung jawab untuk menyuarakan
aspirasi atau kritik kapan saja terhadap para wakil dan pemerintah yang mereka pilih.
2. Kebebasan
Kebebasan, adalah keleluasaan untuk membuat pilihan terhadap beragam pilihan atau
melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk kepentingan bersama atas kehendak sendiri tanpa
tekanan dari pihak manapun. Bukan kebebasan untuk melakukan hal tanpa batas. Kebebasan
harus digunakan untuk hal yang bermanfaat bagi masyarakat, dengan cara tidak melanggar
aturan yang berlaku. Diantaranya, kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat.
3. Supremasi hukum atau daulat hukum
Unsur penting lainnya, adalah Supremasi Hukum (Rule of Law). Supremasi mempunyai arti
kekuasaan tertinggi (teratas). Hukum mempunyai arti peraturan. Jadi, Supremasi Hukum
mempunyai pengertian sebagai suatu peraturan yang tertinggi. Tidak ada gunanya pemerintah
membiarkan semua kebebasan yang disebut diatas bertumbuh apabila pemerintah menginjak
injaknya. Pengalaman banyak Negara menunjukkan banyak pengkritik dijebloskan kedalam
penjara, banyak demonstran yang menentang kebijakan pemerintah dibubarkan dengan cara
kekerasan, dan bahkan banyak diantara mereka ditembak mati secara diam diam oleh agen
agen rahasia Negara. Agar kebebasan bertumbuh subur, rakyat harus yakin bahwa
kebebasan itu berlaku tetap.
4. Pengakuan akan kesamaan warga negara
Dalam demokrasi , semua warga negara diandaikan memiliki hak-hak politik yang sama
,jumlah suara yang sama,hak pilih yang sama,akses atau kesempatan yang sama.
5. Pengakuan akan supremasi sipil atas militer
Dalam sebuah negara yang demokratis , sipil mengatur militer bukan sebaliknya. Hal ini
mengandung arti, pertama, sipil mengendalikan militer. Kedua, militer aktif tidak
diperkenankan menjadi pejabat Negara (lurah,camat,walikota,bupati,presiden dan sebaginya).
Militer hanya bertanggung jawab mengamankan negara. (Tim Abdi Guru,2006)
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan
begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan
adil. Sebagian ulama memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-
syura dan al-adalah. Diantara dalil al-Quran yang sering digunakan dalam hal ini adalah
surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam
khutbah wada dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang
kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan
baik.
Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh
rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.
Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-
Nisa:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan
orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan
tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa,
kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus
disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan
di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan
dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing
orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan
demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah
(penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian,
kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan
keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan. Keenam, al-
Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak
dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan
cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-l-
maruf wa an-nahy an al-munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.
Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang
berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi
kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
C. Sejarah Perkembangan dan Pelaksanaan Demokrasi di
Indonesia
1. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat di bagi empat periode yaitu; periode 1945-1959,
periode 1959-1965, periode1965-1998, dan periode pasca Orde Baru. Demokrasi pada
periode 1945-1959 dikenal dengan sebutan parlementer, sistem ini berlaku sebulan
setelah kemerdekaan di proklamasikan. Namun demikian, model demokrasi ini di
anggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi untuk mempraktikan
demokrasi model barat ini telah memberi peluang sangat besar kepada partai- partai politik
mendominasi kehidupan sosial politik. Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan
sistem demokrasi parlementer ini ahirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi
kesukuan dan agama. Akibatnya pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masa
ini jarang dapat bertahan lama.
Hal ini mengakibatkan destabilitas politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang
sedang dibangun, Demokrasi pada periode 1959-1965 ini dikenal dengan sebutan
demokrasi terpimpin. Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominan politik presiden dan
berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalam panggung politik
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai usaha untuk
mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui kepemimpinan personal yang kuat.
Demokrasi pada periode 1965-1998 ini merupakan masa pemerintahan presiden Soeharto
dengan Orde Barunya. Orde baru merupakan kritik tehadap periode sebelumnya, Orde lama.
Seiring pergantian kepemimpinan nasional, demokrasi Presiden Soekarno telah diganti oleh
elite Orde Baru Demokrasi Pancasila.Demokrasi pasca Orde Baru sering disebut dengan era
reformasi sampai dengan sekarang. Periode ini erat hubunganya dengan gerakan reformasi
rakyat yang menuntut pelaksaan demokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntunan ini di
tandai oleh lengsernya Presiden Sueharto tampuk kekeuasaan Orde Baru pada Mei 1998,
setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa dengan demokrasi pancasilanya. Penyelewengan
atas dasar Negara Pancasila oleh penguasa Orde Baru berdampak pada sikap antipati
sebagian masyarakat terhadap dasar Negara atau Pancasila.
Demokrasi di negera Indonesia bersumber dari Pancasila dan UUD 1945 sehingga sering di
sebut demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk mufakat,
dengan berpangkal tolak pada paham kekeluargaan dan Gotong royong yang ditujukan
kepada kesejateraan yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius berdasarkan
kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur. Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu
tidak bersikap mutlak, tetapi harus dengan tanggung jawab sosial. Pemerintahan demokrasi
merupakan pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat, maka persoalan
tentang sistem pemerintahan demokrasi itu langsung mengenai soal-soal rakyat sebagai
penduduk dan warga dalam hak dan kewajibanya.
Dengan kata lain paham tersebut memiliki makna bahwa suatu pemerintahan yang
memegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Artinya dalam setiap pemerintah akan
mengambil keputusan yang akan dijadikan kebijakan maka rakyat selalu diikutsertakan dalam
agenda tersebut melalalui perwakilan yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Demokrasi
pada masa lalu dipahami hanya sebagai bentuk pemerintahan. Demokrasi adalah salah satu
bentuk pemerintah. Akan tetapi, sekarang ini demokrasi di pahami lebih luas lagi sebagai
sistem pemerintahan atau politik. Konsep demokrasi sebagai bentuk pemerintah berasal dari
filsup yunani. Dalam pandangan ini demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya
bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang
sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan
menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak
sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu
ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran
Islam. Yaitu pertama, demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Kedua,
rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan
senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Keempat, suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak
meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr
ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau
membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang
dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan
cukup mengambil pajaknya. Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan
ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
Keenam produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
Ketujuh hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang
harus dilakukan pertama, seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman
yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari
ajarannya. Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh
orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unila.ac.id/322/7/BAB%20II.pdf
http://thoha.files.wordpress.com/2011/06/demokrasi-dalam-perspektif-
islam.pdf
https://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/proses-demokrasi-menuju-
masyarakan-madani.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
http://ektynabilah.blogspot.com/2012/01/unsur-unsur-demokrasi-sebagai-
bentuk.html
http://rezkarezka.wordpress.com/2012/06/19/hubungan-demokrasi-
dengan-pemilihan-umum/