Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh allergen atau factor
pencetus. Gejala ini dapat timbul melalui reaksi allergen dan antibody disebut reaksi
anafilaktik ataupun yang tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi anafilaktoid.
Reaksi alergi karena makanan ,racun serangga, dan obat obatan dan lateks biasanya di
perantarai oleh Imunoglobulin-E (IgE). Beberapa obat obatan juga bisa menimbulkan gejala
tanpa di perantarai reaksi imunologik. Selain itu anafilaksis dapat dikategorikan menjadi
idiopatik apabila terdapat gejala klinik yang khas ,namun penyebabnya tidak diketahui. Akan
tetapi karena baik gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka
berbagai macam reaksi tersebut di sebut sebagai anafilaksis.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan.
II.2 Epidemiologi
Anafilaksis memang jarang di jumpai, tetapi paling tidak di laporkan kurang lebih
dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam, khususnya
penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002% pemakaian.2
Studi retrospektif tentang anafilaksis dari berbagai negara, di rumah sakit, instalasi
gawat darurat, bangsal perawatan, dan klinik alergi. Di Spanyol, dari 100.000 orang terjadi
103 kejadian, lebih tinggi dari laporan sebelumnya, dengan puncak 314 kejadian per 100.000
orang pertahun pada kelompok usia 0-4 tahun, di turkey, lebih rendah, dari 45 rumah sakit
diIstanbul. Secara keseluruhan, dilaporkan 195 kasus anafilaksis per 100.000 orang pertahun,
di Inggris, kejadian anafilaksis meningkat dari tahun ke tahun dan kelangsungan keberhasilan
untuk bertahan hidup 90%.3
Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa umur, jenis kelamin, ras, atau lokasi
geografis sebagai faktor predisposisi manusia untuk anafilaksis kecuali melalui paparan
immunogens tertentu. Selain itu, beberapa individu yang menderita episode berulang
anafilaksis idiopatik memiliki morfologis sel mast yang menyimpang dalam sumsum tulang
mereka atau mutan.
Bahan yang mampu memunculkan reaksi anafilaksis sistemik pada manusia meliputi
protein heterolog dalam bentuk hormon (insulin, vasopresan, parathormon), enzim (tripsin,
kimotripsin, penisilinase, streptokinase); ekstrak serbuk sari (rumput, pohon), bukan ekstrak
serbuk sari (tungau debu, bulu kucing,anjing, kuda,), makanan (kacang, susu, telur,makanan
laut, kacang-kacangan, biji-bijian) antibodi monoklonal, Produk yang terkait pekerjaan
(produk karet lateks), Racun Hymenoptera (lebah kuning dan putih, tawon, lebah madu,
semut api), polisakarida seperti dekstran dan thiomersal sebagai pengawet vaksin, obat-
obatan seperti protamine; antibiotik (Penisilin, sefalosporin, amfoterisin B, nitrofurantoin,
kuinolon), obat kemoterapi (carboplatin, paclitaxel, doxo rubicin), anestesi lokal (prokain,
lidokain); relaksan otot (Suxamethonium, galamin, pancuronium), vitamin (tiamin, asam
folat); agen diagnostik (natrium dehydrocholate, sulfobromophthalein), biologis
(omalizumab, rituximab), dan faktor pekerjaan dengan bahan kimia (etilen oksida).5
Mungkin ada obstruksi jalan napas atas atau bawah atau keduanya. Edema laring
mungkin dialami sebagai "benjolan" di tenggorokan, suara serak, atau stridor, sedangkan
obstruksi bronkus dikaitkan dengan perasaan sesak di dada dan atau mengi terdengar. Syok
Anafilaktik merupakan salah satu manifestasi dari anafilaksis yang di tandai dengan adanya
hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah, syok anafilaktik menunjukan
kegawatdaruratan tetapi terlalu sempit untuk mengambarkan anafilaksis secara keseluruhan,
karena anafilaksis berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas
gejala utamanya.2,5
Sensasi alergi terjadi ketika limfosit T memberikan sinyal kepada sel di antigen
seperti dendritik sel di sistem limfatik yang kemudian berinteraksi dengan sel B untuk
memproduksi Ig E. Limfosit B mengembangkan sel plasma yang merupakan sekret dari
antibodi Ig G atau Ig E atau sel memori dengan reseptor yang mengingat antigen. Segmen G
akan memberikan kode formasi dari ratusan alergen spesifik B dan sel T. Jutaan dari reseptor
yang berbeda akan menyebabkan memori jangka panjang
Mediator peradangan di keluarkan dari sel mast dan basofil, seperti histamin,
protease, leukotrien dan prostaglandin, yang menyebabkan gejala yang cepat dari reaksi
alergi seperti pruritus, wheezing atau hipotensi dan dapat mencetus terjadinya kolaps
kardiovaskular.
Mediator peradangan di keluarkan dari sel mast jantung seperti sistein leukotrin dan
prostaglandin, mengurangi kontratilitas dan perfusi miokard. Faktor-faktor pengaktivasi
platelet dapat menyebabkan konstriksi dari pembuluh darah koroner dan juga merilis
karboksipeptidase dan chymase yang mengaktivasi renin angiotensin sistem (RAAS).
4 tipe dari histamin (H) reseptor terbentuk di dalam tubuh. H4 reseptor di temukan di
dalam persarafan vaskular dan sel darah, paru, hati, usus, pankreas; simulasi dari reseptor H4
menyebabkan inflamasi. Sistem saraf pusat di regulasi oleh reseptor H1, H2, H3. Neuron H3
di nukleus pada hipotalamus mengontrol neurotransmiter. Hasil dari histamin dimodulasi oleh
hasil autoreseptor H3, muskarink, alfa 2 adrenergik dan reseptor peptidergik.
Tahap awal dari reaksi alergi yang menyebabkan degranulasi sel mast dapat diikuti
oleh reaksi akhir fase dengan pelepasan sitokin yang dapat berinteraksi dengan jenis sel T-
helper 2 . Pada gilirannya, sitokin seperti interleukin 4 (IL-4) merangsang sel B untuk
menghasilkan IgE dan lebih merangsang sel mast dan eosinofil.
Gambar 3. Patofisiologi.6
Gambar 4. Patofisiologi.6
II.5 Diagnosis
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih
setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.5
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah,
uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),
yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh
inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,
muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen
yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-
anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih
dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.7
Gambar 5. Diagnosis Anafilaksis.8
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak
spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit
lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi
seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator
dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang
berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi
anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi
tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun
tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara
infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.
Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai
adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai
beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah
mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma.
Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan
suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,
aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika,
penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di
udara dingin.2
II.7 Penatalaksanaan
Sistem Pernapasan
Sistem Kardiovaskular
1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid
(NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberi kan
cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan
koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar
pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan sp langnikus, tetapi juga
dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
2. oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem kardiovaskular
dan pemberian bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik
3. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure). Pemasangan CVP
ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan
pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor
dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor Dengan cara melalui cairan infus
250 ml melarutkan 1 epineprin intravena dektrosa (konsentrasi 1 1000 dalam 4
mg/ml) dengan infus 1 4 atau 15 60 mikrodri menit (dengan infus mikrodrip),
dapat dinaikkan sampai maksimum dosis 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis yang berat,
American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal. ahli
Kemudian dengan dosis 10 ml epinefrin 1: 10.000 diberikan melalui jarum panjang atau
kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1: 10.000). Tindakan di atas
kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usaha-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan
1. Pasien yang mendapatkan obat atau dalampengobatan obat penyakit reseptor beta
(beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan
menjadi lebih buruk karena stimulan reseptor adrenergik alfa tidak terhambat.
Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropin akan
memberikan manfaat di samping pemberian aminofilin dan kortikosteroid secara
intravena.
2. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH, dengan AH, bekerja secara
sinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya
penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan IV Untuk AHz seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan
dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin pemakaian
simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin
3. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan
napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat
untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi
anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sada bisa diberikan tablet
prednison tetapi lebih disukai memberikan intravena dengan dosis 5 mg/kg
hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini dapat diberikan setiap 4-6
jam.2,5
Gambar 6. Tatalaksana.8
II.8 Pencegahan
Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anafilaksis bisa jauh lebih
berat,oleh karena itu setiap pasien asma atau jantung harus memperoleh pengobatan yang
optimal. Pasien yang mempunyai risiko anafilaksis dianjurkan untuk tidak memakai obat-
obat penyekat beta karena bila terjadi reaksi anafilaksis pengobatannya sulit. Sebaiknya obat-
obat substitusi pengganti obat penyekat beta tersebut.2
II.9 Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang
akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi,
penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan
elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval
waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.
BAB III
KESIMPULAN
yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik
memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa
golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan,
dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya
anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase
sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak,
keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala
dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang
dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok anfilaktik harus
cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan
penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan
resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring
keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi
keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah terpenting
dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila
ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis