Você está na página 1de 20

Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

Analisa Strategi Keamanan Nasional

MENINGGALKAN DEMOKRASI, MEWUJUDKAN


CITA-CITA BANGSA DENGAN PANCASILA

Oleh : Yudi Zulfahri


(Mahasiswa Pasca Sarjana, Program Studi Kajian Stratejik Ketahanan Nasional)

I. MEMAHAMI KONSEP KEAMANAN NASIONAL

Keamanan berasal dari kata pokok aman yang berarti : bebas, terlindung dari
bahaya, selamat, tidak membahayakan, yakin, dapat dipercaya, dapat diandalkan. Sedangkan
keamanan memiliki arti suasana aman ketenteraman, ketenangan (Peter Salim, 2002).

Keamanan memiliki pengertian yang universal atau sering disebut dengan security.
Pada awal mulanya konsep keamanan (security) hanya menyangkut pengertian yang berkaitan
dengan keamanan suatu Negara. Namun seiring perjalanannya, pengertian security telah
bergeser dan berkembang semakin luas.

Pemahaman tentang konsep keamanan nasional dapat kita telusuri dari beberapa
sumber. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Keamanan Nasional berarti kekuatan suatu
bangsa untuk melindungi negaranya terhadap ancaman atau bahaya baik dari dalam maupun
dari luar negeri.

Keamanan nasional dapat diartikan juga sebagai kebijakan politik pemerintah yang
bertujuan untuk menegakan situasi yang aman dan kondusif bagi terselenggaranya
pemerintahan sehingga mampu mempertahankan tujuan vital nasional dari segala gangguan
dan ancaman. Dengan demikian keamanan nasional perlu dilihat dalam hubungannya dengan
upaya untuk mecapai kepentingan nasional.

Kusnanto Anggoro, dalam buku Keamanan Demokrasi dan Pemilu (2004) tidak
memberikan pengertian tetang konsep keamanan nasional, tetapi dikemukakan bahwa
terdapat beberapa ancaman terhadap keamanan nasional, yaitu ancaman militer yang dapat
muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk yang paling ekstrim adalah serangan dan
pendudukan, baik dengan tujuan untuk memusnahkan suatu negara, untuk merebut atau
menguasai suatu wilayah, maupun mengubah institusi kenegaraan. Dan ancaman yang tidak
kalah pentingnya adalah ancaman ekonomi yang secara jelas dapat mengganggu stabilitas
domestik.
[1]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

Secara hakikat, keamanan nasional adalah keperluan untuk memelihara kelangsungan


hidup satu bangsa, yang mana hal itu akan terwujud jika kondisi politiknya relatif stabil,
ekonominya baik, dan pertahanannya kuat. Di Indonesia, keamanan nasional merupakan
bagian dari ketahanan nasional, yaitu bersama kesejahteraan nasional membentuk ketahanan
nasional yang diartikan sebagai kondisi dinamis satu bangsa yang mewujudkan kekuatan
untuk menghadapi dan mengatasi setiap ancaman, tantangan, dan gangguan yang
membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan pencapaian tujuan nasionalnya.

II. ANTARA KEAMANAN NASIONAL DAN KEPENTINGAN NASIONAL

Sebelum menyusun konsep Keamanan Nasional, maka perlu didefinisikan terlebih


dahulu pengertian dari kepentingan nasional. Kepentingan nasional adalah sumber dari
tujuan nasional dan alur grand strategy. Dalam arti yang sangat umum, kepentingan nasional
dianggap oleh negara tertentu sebagai tujuan yang diinginkan. Lebih spesifik lagi,
kepentingan nasional merupakan keinginan atau cita-cita suatu bangsa yang terus dikejar dan
dilindungi dari berbagai ancaman.

Untuk itu, sebaiknya kepentingan nasional diproklamirkan secara jelas ke seluruh


dunia, agar negara lain (aktor lain) tahu dan tidak mengusik kepentingan nasional tersebut,
serta tidak akan terjadi kesalahpahaman dalam menanggapi strategi keamanan nasional yang
dibuat oleh suatu negara untuk melindungi kepentingannya. Namun, strategi ini tetap harus
menghargai norma-norma internasional agar tidak menimbulkan kontroversi dan malah
memancing negara lain untuk mengintervensi atau menginvasi. Kolonel Angkatan Udara
Amerika, Col. Dennis M. Drew, dan Dr Donald M. Snow mendefinisikan kepentingan
nasional kedalam empat tingkat intensitas, yaitu; survival (kelangsungan hidup), vital (sangat
penting), major (utama), dan peripheral (kurang penting). Tingkat intensitas kepentingan ini
menjadi acuan dalam membuat kebijakan dan merancang strategi (keamanan) nasional;
apakah akan bertindak agresif atau diplomatif, dapat ditentukan berdasarkan tingkat intensitas
kepentingan ini.

Jika kepentingan tersebut berada pada level survival, ini berarti kepentingan nasional
tidak bisa dikompromikan karena menyangkut kedaulatan negara, diantaranya teritorial,
perlindungan terhadap penduduk dan institusi dari serangan musuh (baik dari luar negeri
maupun dalam negeri), atau perlindungan nilai-nilai bangsa. Jika kepentingan ini tidak
tercapai, negara akan mengalami bencana besar (catastrophic). Sehingga, negara tidak akan
[2]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

segan untuk berperang demi melindungi kepentingan pada tingkat intensitas ini. Selama
negara eksis, maka kepentingan nasional ini selalu ada.

Turun satu tingkat, pada level vital, suatu bangsa akan rela menggunakan kekuatan
militer untuk melindungi kepentingan ini. Namun, jika memungkinkan, kekuatan militer tidak
akan digunakan apabila terdapat cara lain yang lebih efektif dan sesuai. Jika kepentingan vital
tercapai, maka akan membawa keuntungan besar bagi negara. Tetapi jika tidak, negara akan
mendapatkan kerugian besar, tetapi tidak sebesar kerugian jika gagal mencapai kepentingan
survival (severe, but not catastrophic).

Kemudian terdapat juga kepentingan pada tingkat major yang berkaitan dengan
kesejahteraan politik, atau mungkin ekonomi dan sosial. Pada tingkat ini, kekuatan bersenjata
dianggap tidak perlu dilakukan untuk menghindari hasil yang lebih merugikan.

Terakhir, peripheral dimana kepentingan pada level ini lebih fleksibel, dalam artian
dapat dikompromikan dan berubah-ubah pada periode tertentu. Perlindungan terhadap
kepentingan ini diperlukan. Tetapi jika tidak, dampak yang ditimbulkan terhadap
perlindungan penduduk tidaklah besar (Stolberg in Bartholomess, 2012: 18-19; Drew & Snow
in Lloyd, 1988: 27-44).

Agar tidak keliru merancang strategi keamanan nasional, negara perlu menyamakan
persepsi terkait kepentingan nasional negaranya. Dalam arti, mereka harus menggolongkan
setiap kepentingan pada tiap tingkat intensitas kepentingan nasional. Persepsi tingkat survival
sudah jelas, konstan, dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Tetapi, pada tingkat vital, major, dan
peripheral, harus terdapat pengklasifikasian yang jelas agar tidak salah strategi.

Misalnya, ketika suatu bangsa dihadapkan dengan ancaman yang mengganggu


kepentingan peripheral, pemerintah sudah tahu strategi apa yang perlu dilakukan. Jangan
sampai bahaya terhadap kepentingan peripheral ini direspon dengan tindakan militer. Apabila
dianalogikan dalam kehidupan sehari-hari; jika ingin membunuh kecoa, setakut apapun
seseorang, ia hanya akan menyemprotnya dengan racun serangga. Meskipun was-was dan
ketakutan, ia tidak mungkin menggunakan bom molotov karena tahu itu tidak efektif dan
berlebihan.

Tingkat intensitas inilah yang mempengaruhi respon negara dalam memandang


ancaman. Saat ancaman datang dan ketika diidentifikasi ternyata ancaman tersebut

[3]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

membahayakan kepentingan survival atau vital mereka, negara dapat menjadi sangat agresif
dalam bertindak. Meskipun ancaman tersebut belum benar-benar membahayakan negaranya.

Terefleksi pada contoh kasus ancaman diatas, Amerika dan Perancis berusaha
menghalau ancaman sebelum ancaman tersebut benar-benar membahayakan kepentingan
nasionalnya melalui strategi keamanan nasional mereka, preemptive self-defense. Negara lain
mungkin tidak akan membuat strategi keamanan nasional seagresif apa yang dilakukan
Amerika dan Perancis karena mereka menempatkan ancaman-ancaman tersebut (masalah
senjata pemusnah masal, terorisme, imigran) pada skala intensitas yang lebih rendah. Namun
sebaliknya, Perancis dan Amerika menggolongkan ancaman tersebut pada tingkat intensitas
survival atau vital.

Pada periode pasca Perang Dunia II, kedatangan imigran sangat diharapkan untuk
menjadi tenaga kerja di Perancis. Namun, hal ini berubah ketika isu imigran yang pada
mulanya merupakan potensi, berbalik menjadi ancaman bagi kepentingan nasional Perancis.
Morgenthau mengatakan bahwa, kepentingan nasional yang fundamental (survival), bukan
hanya melindungi fisik negara dan politiknya, tetapi juga melindungi identitas budaya dari
gangguan bangsa lain (Morgenthau dalam Weldes, 1999: 5). Budaya impor hasil bawaan
para imigran dianggap Perancis sudah mengganggu budaya asli warisan sejarah bangsa
Perancis. Maka, preemptive self-defense Perancis ini merupakan bentuk perlindungan dan
strategi keamanan nasional yang sesuai jika dilihat berdasarkan analisis tingkat intensitas
kepentingan nasionalnya, dimana identitas budaya sebagai kepentingan survival telah
terancam akibat isu imigran.

Kasus preemptive self-defense yang dilakukan Amerika didasari oleh kepentingan


nasional Amerika yang menempatkan isu kepemilikan senjata pemusnah masal (dan pada
kasus ini juga Irak) sebagai kepentingan nasional yang utama. Pada abad ke 21, terdapat tiga
kepentingan utama Amerika, yaitu keamanan, kesejahteraan ekonomi, dan nilai Demokrasi.
Menyoroti kepentingan keamanan, perlindungan melawan proliferasi nuklir (senjata
pemusnah masal) merupakan salah satu bagian utama dari kepentingan nasional Amerika.
Lebih spesifik lagi dikatakan bahwa, pada periode kepemimpinan George W. Bush, resolusi
atas perang Irak diidentifikasi sebagai satu-satunya kepentingan nasional Presiden yang paling
penting.

Pada saat itu, kepentingan nasional Amerika hampir-hampir semata-mata ditetapkan


berdasarkan suatu isu kebijakan tunggal: Irak. Semua komponen strategi keamanan nasional

[4]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

pada masa itu harus berkaitan dengan kepentingan nasional yang dihubungkan dengan
kebijakan Amerika dan Irak (Stolberg dalam Bartholomess, 2012: 20). Karena menempatkan
masalah senjata pemusnah masal dan Irak pada intensitas kepentingan utama (vital), maka
sesuai dengan definisinya, bahwa untuk melindungi kepentingan vital, kekuatan militer
mungkin dilakukan.

Begitu pula dengan masalah posisi geografis beberapa negara di Benua Afrika dan
Eropa Timur. Well-being (kesejahteraan) masyarakat idealnya tergolong pada kepentingan
nasional tingkat intensitas survival. Sehingga, posisi landlocked (terkurung oleh daratan)
menjadi ancaman ketika negara-negara di Afrika dan Eropa Timur tidak dapat memenuhi
kesejahteraan masyarakatnya dikarenakan sulitnya akses perdagangan. Sedangkan negara-
negara di Eropa Barat tidak melihat posisi geografis landlocked sebagai suatu ancaman karena
well-being masyarakat mereka terpenuhi.

Maka pada dasarnya, ancaman diidentifikasikan berbeda-beda antara satu negara


dengan negara lainnya dikarenakan perbedaan kepentingan nasional. Analoginya, if someone
is singing in a ballroom with super irritating voice and there is no one there to hear it, does it
make a noise? (jika seseorang bernyanyi di ruang serbaguna dengan suara yang super
menjengkelkan namun tidak seorangpun disana untuk mendengarnya, apakah itu disebut
membuat kebisingan?) Dalam arti, meskipun negara-negara lain mengidentifikasikan suatu
variabel sebagai ancaman, namun jika variabel tersebut tidak mengganggu kepentingan
nasional bangsa lainnya, maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai ancaman
nasional.

Tidak semua ancaman dapat diasumsikan sebagai ancaman nasional. Karena sejatinya,
apapun ancamannya, baik itu nuklir atau letak geografis, atau ancaman-ancaman lainnya
diluar contoh diatas, semua tidak akan berpengaruh selama tidak mengganggu kepentingan
nasional negara terkait. Sehingga, berdasarkan pemaparan diatas, sesungguhnya sudah dapat
kita ketahui, bahwa acuan dari perumusan atau pembuatan strategi keamanan nasional atau
bahkan grand strategy ialah kepentingan nasional.

Lalu, dimana posisi keamanan nasional? Keamanan nasional berbeda dengan


keamanan. Keamanan nasional adalah kondisi dimana tercapainya kepentingan nasional.
Sesuai dengan definisinya, keamanan nasional adalah ketiadaan ancaman dari nilai-nilai yang
dibutuhkan dan ketiadaan rasa takut akan diserangnya nilai-nilai tersebut (Wolfers, 1952, hal:
485), dimana nilai-nilai yang dimaksud disini ialah kepentingan nasional. Sehingga,

[5]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

keamanan nasional sesungguhnya berarti kepentingan nasional berada dalam kondisi aman.
Sedangkan keamanan adalah bagian dari kepentingan nasional. Keamanan adalah salah satu
dari beberapa variabel fundamental yang termasuk dalam kepentingan nasional pada tingkat
survival, sebagaimana halnya dengan kemerdekaan bangsa, nilai-nilai bangsa, kesejahteraan
masyarakat, dan hal-hal lainnya yang menyangkut kedaulatan bangsa.

Mungkin ada yang mengatakan; ketika keamanan nasional tercipta, maka kepentingan
nasional akan tercapai. Tapi, bagaimana dapat memahami bahwa keamanan nasional tercipta,
jika kepentingan nasional saja tidak terdefinisi? Bagaimana bisa membuat strategi keamanan
nasional jika tidak tahu apa yang harus dilindungi?

Seorang Profesor Hubungan Internasional dan anggota Think Tank dari The Council
on Foreign Relations (CFR) mengatakan bahwa, beban paling fundamental dalam merancang
grand strategy adalah menetapkan kepentingan nasional suatu bangsa. Ketika kepentingan
nasional telah teridentifikasikan, hal tersebutlah yang menjadi penggerak dari kebijakan luar
negeri dan strategi militer suatu bangsa, penentu tujuan utama yang harus dicapai, dan sikap
yang harus negara lakukan untuk keberhasilan kepentingan nasional (Bartholomess, 2012:
13).

Maka dari itu, hendaknya dapat dipahami bahwa bukan masalah keamanan yang
mendorong perumusan strategi keamanan nasional. Tetapi, kepentingan nasional yang
mendorong terbentuknya strategi tersebut. Sehingga, rancangan dan perumusan strategi
keamanan nasional tidak dapat diasumsikan dengan melihat isu-isu atau fenomena keamanan
tanpa mengacu kepada kepentingan nasional.

Semarak apapun isu atau fenomena yang sedang terjadi, hal tersebut tidak dapat
dipersepsikan penting sebelum melewati proses identifikasi. Kepentingan nasional lah yang
kemudian akan membantu para pembuat kebijakan dalam menilai seberapa besar fokus atau
perhatian yang harus diberikan negara dalam menghadapi isu tersebut. Apakah isu tersebut
merupakan ancaman atau kesempatan bagi negara? Bagaimana dampak isu tersebut terhadap
kepentingan nasional? Ada pada skala intensitas kepentingan yang mana isu tersebut? Strategi
apa yang negara harus ambil untuk melindungi kepentingan nasional dari perkembangan isu
tersebut? Pada akhirnya, pemahaman dan kesepakatan para pembuat kebijakan mengenai
kepentingan nasional (dan penggolongannya dalam skala intensitas kepentingan) dapat
membantu negara dalam menentukan tingkat kepentingan suatu isu dan kegentingan suatu
ancaman (ibid., 2012: 15).

[6]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

Terdapat pertanyaan filsuf-filsuf kuno tentang dilema telur atau ayam; mana yang
lebih dahulu muncul, ayam atau telur? Jawabannya, tidak masalah apakah ayam atau telur
yang lebih dulu muncul karena pada dasarnya pertanyaan ini menunjukkan suatu proses yang
berkesinambungan; no hens-no eggs, no-eggs-no hens (tanpa ayam tidak ada telur, tanpa
telur tidak ada ayam). Namun, tidak begitu halnya dengan kepentingan nasional. Mana yang
lebih dulu muncul, kepentingan nasional atau keamanan nasional? Tidak perlu pusing-pusing
karena jawabannya kepentingan nasional lah yang lebih dulu menjadi acuan.

Bukan keamanan nasional yang dijadikan alat untuk merumuskan strategi keamanan
nasional, melainkan kepentingan nasional. Penting untuk diingat, bahwa keamanan nasional
merupakan keadaan ketika kepentingan nasional bebas dari gangguan atau ancaman. Dengan
kata lain, terpenuhinya kepentingan nasional merupakan acuan untuk memaknai keamanan
nasional. Tanpa kepentingan nasional, maka tidak ada keamanan nasional. Tapi, tanpa
keamanan nasional, kepentingan nasional akan selalu ada karena negara merdeka selalu
memiliki kepentingan, setidaknya kepentingan survival.

Keamanan nasional hanya dapat muncul ketika terlebih dahulu dibangun kesepakatan
atas kepentingan nasional. Setelah para pemangku kebijakan merumuskan kepentingan
nasional apa yang akan dikejar, baru negara dapat memaknai dan mengukur apakah keamanan
nasionalnya telah tercipta.

Konsepsi ini sebenarnya membuat pemahaman tentang definisi keamanan nasional


dan hubungannya dengan kepentingan nasional menjadi lebih sederhana. Dan dengan adanya
konsepsi ini juga, pembuat kebijakan sesungguhnya lebih dipermudah dalam merancang
strategi keamanan nasionalnya. Dengan mengetahui apa yang harus dilindungi, ancaman dan
isu dapat lebih termarjinalkan, sehingga penyusunan strategi menjadi lebih fokus dan efektif.

Berdasarkan uraian diatas maka langkah-langkah yang harus kita tempuh untuk
menyusun strategi keamanan nasional Indonesia adalah dengan terlebih dahulu menetapkan
kepentingan nasional Indonesia, kemudian mengidentifikasi ancaman-ancaman yang dapat
menghambat terciptanya kepentingan nasional tersebut, baru kemudian menyusun konsep
keamanan nasional.

III. MENETAPKAN KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA

Kepentingan Nasional Indonesia tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu :

[7]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia


2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial

Dalam rangka mewujudkan cita cita dan tujuan nasional, negara Indonesia perlu
memiliki Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara yang sesuai dengan falsafah, budaya
dan pengalaman sejarah. Ketahanan Nasional Indonesia dan Wawasan Nusantara
dikembangkan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 (khususnya Pembukaan) dan wawasan
Nusantara sebagai Wawasan Nasional Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara yang berwawasan Nusantara


memiliki kekayaan yang berlimpah ruah baik sumber hayati dan non hayati. Letak yang
strategis dan kekayaannya berpotensi adanya pelanggaran wilayah oleh negara lain yang
dilakukan secara sistematis dalam bentuk ancaman Militer maupun ancaman nir militer.
Bentuk ancaman dan waktunya dapat terjadi setiap saat secara tidak terduga, oleh karena itu
perlunya adanya upaya perlindungan dari segala ancaman.

IV. MENGIDENTIFIKASI BERBAGAI ANCAMAN YANG MENGHALANGI


TERWUJUDNYA KEPENTINGAN NASIONAL

Dengan melihat perjalanan bangsa Indonesia sampai hari ini, dapat dikatakan bahwa
tujuan nasional masih belum tercapai, juga Indonesia belum bangkit dan mandiri. Hal ini tidak
lain terjadi karena Indonesia belum mampu mengatasi berbagai ancaman yang dimiliki. Sebut
saja misalnya penguasaan kekayaan oleh negara asing, perampasan wilayah teritorial dari
negara tetangga, proxy war, konflik internal, masih begitu tingginya angka korupsi, maraknya
peredaran narkoba, serta aksi terorisme yang masih terus terjadi.

Namun berbagai ancaman yang disebutkan ini adalah ancaman yang masih bersifat
hilir. Sedangkan hulu yang menjadi ancaman utama yang menghambat terwujudnya
kepentingan nasional Indonesia adalah karena Indonesia masih menganut sistem Demokrasi.
Sistem Demokrasi lah yang melahirkan berbagai ancaman yang disebutkan diatas.

Meskipun populer dan dianggap terbaik, Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak
kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-
322 SM) menyebut Demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob (aturan massa). Ia

[8]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

menggambarkan Demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan
yang dilakukan oleh massa, Demokrasi rentan akan anarkisme.

Menurut Aristoteles (384 322 SM) bila negara dipegang oleh banyak orang akan
berbuah petaka. Dalam bukunya Politics, Aristoteles menyebutkan: Empat
penyelenggaraan negara yang buruk yang ditandai dengan :

1. Timokrasi
2. Oligarki
3. Demokrasi
4. Tirani

Kondisi tersebut akan berujung pada terbangunnya bangsa yang A-MORAL dan A-ETIKA.
(M.L Bodlaender, Politeia, 1956).

Menurut Aristoteles, pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di


Dewan Perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah
menjadi pemerintahan anarkis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai
kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan.

Didalam sistem Demokrasi, orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan


yang tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin
mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah berbagai kerusuhan yang
disebabkan berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy),
kejangakan/tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).

Dengan sistem Demokrasi, kita bisa menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan
buruk akibat penguasa yang korup. Karena Demokrasi terlalu mendewa-dewakan kebebasan
individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara. Banyak orang melakukan
hal yang tidak senonoh, anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid
merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada perkembangan Yunani, intrik
para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan, korupsi merajalela,
dan Demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya.

Kritik terhadap Demokrasi pasti akan sulit diterima saat ini, karena Demokrasi sudah
terlanjur dianggap sebagai sistem pemerintahan terbaik di dunia. Bahkan hampir seluruh
negara di dunia saat ini seperti terdoktrin untuk mengerahkan segala daya upaya demi
terciptanya sebuah negara yang demokratis. Maka disini kita memerlukan sebuah tinjauan
kritis terhadap sistem Demokrasi, baik dalam tataran konsep maupun realita prakteknya dalam

[9]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

sistem pemerintahan. Dari sini diharapkan muncul kesadaran baru tentang kebobrokan sistem
Demokrasi, dan juga agar kita bisa berhenti untuk bermimpi dengan harapan-harapan palsu
yang ditawarkan oleh sistem ini. Tinjauan kritis ini akan dirangkum dalam beberapa point
sebagai berikut :

(1) Demokrasi: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat

Menurut kamus, Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan


tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil rakyat
yang dipilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, Demokrasi
merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (Apakah Demokrasi
Itu? United States Information Agency, hlm. 4). Namun, benarkah realitanya seperti ini?

Faktanya, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara Demokrasi


sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Para kapitalis
raksasa inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan atau lembaga-
lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum
kapitalis tersebut. Kaum kapatalis pulalah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye
sampai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Wajar kalau mereka memiliki
pengaruh besar terhadap para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Para pengkritik Demokrasi cenderung melihat Demokrasi sebagai topeng ideologis


yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam prakteknya, yang berkuasa adalah
sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, kelompok mayoritas
berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok
minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital).

Kritik yang sama muncul dari C. Wright Mills yang memokuskan penelitiannya pada
persoalan elit politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat
bahwa meskipun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu
datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut
yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian. Merekapun
datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah tersebut, yang mengirimkan anak-anak mereka
ke sekolah-sekolah elit yang sama. Memang, secara ide, Demokrasi sering menyatakan bahwa
semua orang bisa menempati jabatan negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok
tertentu.
[10]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

Pendukung Demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam Demokrasi


setiap keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya tidaklah
begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh selompok orang yang berkuasa, yang memiliki
modal besar, kelompok berpengaruh dari keluarga bangsawan, atau dari militer.

Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting
dalam pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak
mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak aneh, karena
dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki modal yang besar untuk
mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan pengusaha kaya, dia akan dicalonkan
atau disponsori oleh para pengusaha kaya, sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa
disebut hampir mustahil, kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau
anggota parlemen kalau tidak memiliki modal.

Karena itu, keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak pemilik
modal besar tersebut. Dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman Sam
tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS
terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar setelah Saudi Arabia.

Dalam sejarah Inggris, PM Anthony Eden misalnya, bahkan pernah mengumumkan


perang terhadap Mesir dalam Krisis Suez tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen.
Demikian juga serangan AS terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan, Sudan,
Libya, Somalia; sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota parlemen. Dalam pembuatan
UU, sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas menngesahkan rancangan UU yang
dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana menteri).

Memang, dalam kenyataannya, sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dulu
mendapat persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim suara anggota parlemen adalah cerminan
suara rakyat hanyalah mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar dilaksanakan, setiap
kali parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan, mereka bertanya dulu kepada
rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja, cara seperti ini sangat sulit, untuk tidak
dikatakan utopis. Apalagi, kalau negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat besar
seperti Amerika Serikat dan Indonesia.

Klaim Demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat.
Anggapan ini, selain keliru, juga utopis. Pada prakteknya, tidak mungkin seluruh rakyat

[11]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal
dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.

(2) Demokrasi dan Kebebasan

Bagi para pendukung Demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu
nilai unggul dan luhur dari Demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam
negara Demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh Demokrasi itu sendiri. Artinya,
pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Demokrasi atau akan menghancurkan
sistem Demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah
juga yang sejalan dengan Demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.

Sebenarnya dalam sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan
yang tidak boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun
masalahnya, sering muncul klaim bahwa hanya sistem Demokrasi yang membolehkan
kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak. Padahal dalam kenyataannya,
sistem Demokrasi pun memberikan batasan tentang kebebasan berpendapat ini.

Tidak mengherankan kalau negara yang dikenal demokratis, bahkan mahagurunya


Demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama Demokrasi. Misalnya di Prancis dan beberapa
negara lainnya di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakaiannya.

(3) Demokrasi dan Kesejahteraan

Banyak pihak yang memandang bahwa Demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi
dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga supaya
mereka mau dan setia menerapkan sistem Demokrasi, tentu saja termasuk Indonesia. Namun,
apa kenyataannya? Sistem Demokrasi yang dipraktekkan oleh negara-negara kapitalis
hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka Barat yang menjadi agen
kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, Dunia Ketiga tetap saja
menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis
penjajah, Dunia Ketiga semakin tidak sejahtera.

Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan
bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal
dunia akibat kelaparan. Kemiskinan terbesar ada di negara-negara Afrika (sebaliknya, pada
saat yang sama penduduk negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal,
[12]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

sebenarnya hanya diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan
pangan dan sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan
pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli parfum mereka
(Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde Diplomatique, November 1998).
Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak lain adalah sistem Kapitalisme Internasional
yang dipraktikkan saat ini oleh negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling
demokratis di dunia.

Sementara itu, kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan


karena faktor Demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab,
sudah merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi
kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di dunia.
Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat berbagai cara
seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian utang, standarisasi mata uang dolar,
dan mekanisme perampokan lainnya.

Demokrasi sering dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan


penjajahan ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk dieksploitasi
sering dicap sebagai pelanggar Demokrasi dan HAM. Itulah yang kemudian dijadikan alasan
oleh mereka untuk menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau memboikot
ekonominya. Lihat saja bagaimana Irak yang kaya dengan minyak diinvasi militer oleh
Amerika dengan alasan adanya senjata pemusnah massal yang sampai hari ini tidak
ditemukan wujudnya. Beberapa negara, seperti Cina, Korea Utara, atau Iran sering dikenakan
sanksi ekonomi dengan memunculkan alasan melanggar Demokrasi dan HAM. Sebaliknya,
negara-negara yang jelas-jelas tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain
tetap dipelihara oleh Amerika. Sebab, Amerika mempunyai kepentingan minyak di negara-
negara tersebut.

Tidak adanya relevansi antara Demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa
negara Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina, ternyata
bukanlah negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam penderitaan. Indonesia,
yang sering dipuji lebih demokratis pada masa reformasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari
sejahtera. Sebaliknya, banyak negara yang dikenal tidak demokratis justru kaya seperti Saudi
Arabia, Kuwait, Bahrain, atau Brunei Darussalam. Di sini jelas, Demokrasi bukanlah faktor
kunci sejahtera-tidaknya sebuah negara.

[13]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

(4) Demokrasi dan Stabilitas

Mitos lain adalah sistem Demokrasi dianggap akan menciptakan stabilitas. Padahal
dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Kran Demokrasi yang diperluas ternyata
menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan
Demokrasi bisa dirujuk pada ide utama Demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan.
Ketika pintu Demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan
kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, atau kelompok. Muncullah konflik antar
pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya tersebut.
Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing.

Bersamaan dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul
sebagai penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. Masa reformasi ditandai
dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur (yang kemudian
lepas), Aceh, Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh isu keinginan untuk
memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri
sebagai bagian dari asas kebebasansebagai pilar utama Demokrasi.

Hal yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain.
Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia, sebelumnya diyakini
sebagai cahaya terang Demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi menimbulkan konflik yang
berlarut-larut, dengan korban manusia yang tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi,
masing-masing dengan alasan yang sama, kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita
membicarakan korban-korban perang atas nama Demokrasi yang disulut oleh Amerika. Apa
yang terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. Tawaran Demokrasi Amerika ternyata
menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama Demokrasi
ini telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia.

Di Indonesia sendiri, apa yang terjadi baru-baru ini dalam kasus dugaan penistaan
agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang telah
menimbulkan kegaduhan dalam skala nasional juga merupakan hasil dari diterapkannya
sistem Demokrasi di Indonesia. Kasus yang belum menemukan penyelesaiannya ini sangat
berpotensi mengakibatkan terjadinya disintegrasi didalam masyarakat. Inikah yang disebut
dengan stabilitas?

(5) Demokrasi dan Kemajuan

[14]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

Pidato Bush yang menyatakan bahwa tanpa Demokrasi Timur Tengah akan menjadi
stagnan (jumud)seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem
Demokrasi atau tidakpatut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan, Demokrasi
menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain,
reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom (kebebasan), baik freedom of thinking
(kebebasan berpikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu
hanya ada dalam sistem Demokrasi. Karena itu, Demokrasi mutlak harus diperjuangkan.

Benarkah dengan kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak
sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan
teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang
angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.

Bandingkan pula dengan masa kejayaan Islam, yang jelas-jelas bukan berdasarkan
sistem Demokrasi. Betapa banyak karya intelektual yang dihasilkan oleh para pemikir Islam
saat itu. Dunia Islam pun dipenuhi dengan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan
teknologi, yang diakui oleh banyak pihak. Bandingkan dengan sekarang. Sebaliknyalah yang
terjadi, negeri-negeri Islam yang sebagian besar menganut sistem Demokrasi mundur dalam
bidang sains dan teknologi.

Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat
itu memiliki kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif sendiri
merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi tertentu. Jadi,
terlepas benar atau tidak, ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat akan
mendorong produktivitas berpikir bangsa tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah
senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus
mempertahankan dan menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang
produktif.

Propaganda demokratisasi di Dunia Ketiga pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar negeri dari
negara-negara kapitalis itu memang menyebarkan ideologi Kapitalisme mereka, dengan
Demokrasi sebagai turunannya. Tersebarnya nilai-nilai Kapitalisme di dunia ini akan
menguntungkan negara-negara kapitalis; mereka akan tetap dapat mempertahankan
penjajahannya atas negara-negara Dunia Ketiga.

[15]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

Untuk menyebarluaskan Demokrasi, negara-negara kapitalis melakukan berbagai


penipuan dan kebohongan. Ide Demokrasi pun dikemas sedemikian rupa sehingga tampak
bagus dan memberikan harapan kepada Dunia Ketiga. Alih-alih memberikan solusi terhadap
persoalan bangsa, sistem Demokrasi justru memperparah kondisi bangsa.

V. STRATEGI KAMNAS : KEMBALI KEPADA NEGARA PANCASILA

Dari paparan diatas, hendaknya kita melakukan refleksi terhadap logika berpikir kita
sejenak, mengapa kita harus mengadopsi sistem Demokrasi? Kalau di negeri asalnya saja
Demokrasi tidak pernah dilaksanakan dan hanya berada dalam alam ide kenapa kita mesti
mengkampanyekan Demokrasi? Kalau secara realita, Demokrasi dalam prakteknya
sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles hanya menghasilkan para penguasa yang
korup yang tak pernah memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, kenapa kita masih harus terus
mempertahankannya? Padahal kita telah memiliki konsep bernegara yang disusun oleh bangsa
kita sendiri, yaitu Pancasila.

Nilai-nilai Pancasila digali dari akar kesejarahan dan falsafah masyarakat Indonesia
serta merupakan abstraksi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sedangkan
nilai-nilai Demokrasi digali dari akar kesejarahan dan falsafah Yunani kuno yang jauh disana,
di negeri Eropa, pada zaman dahulu kala, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan
Indonesia. Pancasila lahir setelah dicetuskan oleh sekelompok anak bangsa, dan dibuat untuk
mengakomodir berbagai kepentingan Nasional Indonesia. Lalu kenapa kita tidak
mencukupkan diri dengan apa yang lahir dari negeri kita sendiri?

Pembukaan UUD 1945 sendiri telah membuat sebuah pedoman bahwa kepentingan
nasional akan dapat diwujudkan dengan negara yang berdasarkan kepada Pancasila, bukan
berdasarkan kepada Demokrasi. Mari kita simak kembali isi dari alinea ke 4 Pembukaan UUD
1945 :

"Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang


melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar

[16]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ".

Saat ini banyak pihak yang menganggap Pancasila dan Demokrasi adalah 2 hal yang
berbeda sehingga dapat dijalan secara simultan dalam rangka penyelenggaraan negara.
Pancasila dianggap sebagai ideologi, sedangkan Demokrasi adalah sistem bernegara.
Sehingga untuk menggabungkan hal itu muncullah istilah Demokrasi Pancasila.

Pemahaman seperti ini sama saja dengan mengerdilkan Pancasila. Jika kita mau benar-
benar mempelajari setiap butir yang terkadung di dalam Pancasila, maka akan terlihat dengan
jelas bahwa Pancasila sebagai dasar negara bukan hanya sekedar memuat ideologi saja,
namun juga sistem bernegara dan cita-cita bangsa. Dan sistem bernegara Pancasila berbeda
jauh dengan sistem bernegara Demokrasi.

Sistem Pancasila tersusun berdasarkan kondisi rakyat Indonesia yang agamis,


berdasarkan tuntunan wahyu ilahi, yang tertuang dalam kitab-kitab suci setiap agama. Setiap
perwakilan agama hadir dan bermusyawarah untuk mencari kebenaran dan kebaikan bagi
bangsa dan negara yang bermartabat. Melalui konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, didalam
sistem Pancasila, agama memiliki porsi dalam rangka penyelenggaraan negara, dan hal ini
sangat sesuai dengan kondisi rakyat Indonesia yang sangat peduli kepada agama.

Adapun sistem Demokrasi disusun atas dasar tuntunan falsafah yunani, dimana agama
tidak diberikan peran dalam rangka penyelenggaraan negara. Yang mana efek terbesar yang
dirasakan dari tidak dimasukkannya unsur agama dalam penyelenggaraan negara adalah
negara-negara Demokrasi saat ini dilanda krisis moral yang begitu parah.

Sistem Pancasila menghendaki terciptanya manusia-manusia yang adil dan beradab.


Manusia-manusia yang memiliki budi pekerti luhur dan bermoral tinggi, dimana seluruh nilai-
nilai moral terkandung dalam ajaran agama. Sedangkan sistem Demokrasi menghendaki
manusia-manusia yang hidup serba bebas dalam bingkai Hak Azazi Manusia. Sistem
Demokrasi ingin menciptakan manusia-manusia yang berpola pikir permissif dan tidak
memiliki rasa malu.

[17]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

Pola pikir permissif mungkin cocok untuk diterapkan di negara-negara barat, yang
mana mayoritas penduduknya memang biasa terlibat dalam pergaulan bebas. Sex bebas,
mabuk-mabukan, berpakaian tidak sopan, berciuman di tengah jalan, bahkan sex sejenispun
sudah biasa bagi masyarakat di negara-negara barat. Jika di Indonesia menjaga keperawanan
adalah hal yang sangat sakral, di negara-negara barat jika ada wanita dewasa yang masih
perawan justru dianggap kurang pergaulan.

Akibat diterapkannya sistem Demokrasi di Indonesia, hari ini kita melihat pemuda-
pemudi Indonesia sudah mulai mengadopsi pergaulan bebas ala masyarakat negara barat.
Bahkan di kota-kota besar, sex bebas sudah menjadi sebuah trend di kalangan pelajar dan
mahasiswa. Para pemuda-pemudi yang seharusnya hari ini menjadi kader utama bangsa dalam
mengisi kemerdekaan, justru dibuat mabuk sempoyongan dengan berbagai hiburan dan
kemaksiatan. Hal ini tentu saja menjadi salah satu faktor utama yang menjadi penghambat
kemajuan bangsa, karena bangsa yang maju sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusianya.

Mungkin akan ada yang bertanya, mengapa negara Amerika yang berlaku kehidupan
dengan pergaulan bebas justru menjadi negara yang sangat maju? Maka jawaban yang kita
berikan adalah karena pergaulan bebas memang merupakan habitat asli mereka. Setiap yang
hidup di habitat aslinya pasti akan tumbuh dan berkembang. Sedangkan habitat bangsa
Indonesia adalah kehidupan yang sangat menjunjung tinggi norma-norma dan etika
kehidupan. Sehingga ketika bangsa Indonesia tidak hidup dengan habitat aslinya, yang terjadi
adalah kemunduran yang akan berbuah kehancuran.

Hal yang selanjutnya adalah, sistem Pencasila menghendaki masyarakat Indonesia


yang terdiri dari banyak sekali suku, agama, dan ras ini bersatu dibawah naungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Namun masalahnya adalah bagaimana caranya mempersatukan
masyarakat Indonesia yang sangat mejemuk ini?

Persatuan hanya akan bisa didapatkan jika elemen-elemen yang ingin dikumpulkan
dalam sebuah kesatuan tersebut merasa aspirasi-aspirasi mereka sudah terpenuhi. Tanpa
memperhatikan hal ini, mustahil persatuan akan terwujud. Lihat saja misalnya apa yang
terjadi dengan masyarakat Aceh yang sangat berhasrat ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Mereka melakukan pemberontakan karena merasa kebutuhan mereka sebagai daerah yang
Islamis dan memiliki banyak kekayaan alam belum terpenuhi. Pemberontakan di Aceh baru
berhasil diredam setelah Pemerintah Pusat bersedia memenuhi aspirasi masyarakat Aceh

[18]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

dengan memberikan hal untuk menerapkan Syariat Islam dan pembagian hasil kekayaan alam
yang sesuai bagi daerah.

Contoh lainnya adalah masalah terorisme. Berbagai aksi terorisme yang terjadi adalah
karena Pemerintah tidak mengakomodir aspirasi umat Islam yang menginginkan hidup
dibawah naungan syariat Islam. Padahal Pancasila dan UUD 1945 sudah mengakomodir
kepentingan umat beragama, namun tidak bisa terlaksana karena hal itu bertentangan dengan
nilai-nilai Demokrasi yang menganut azas sekulerisme. Akhirnya, stabilitas keamanan negara
seringkali terganggu akibat maraknya aksi terorisme yang terjadi.

Maka, sistem Pancasila menghendaki kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah


kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan. Artinya, orang-orang yang duduk
didalam pemerintah adalah perwakilan dari setiap elemen bangsa yang mewakili kepentingan
berbagai suku, agama, ras dan daerah yang ada di Indonesia. Para perwakilan inilah yang
kemudian bermusyawarah untuk menciptakan sebuah negara yang penuh dengan hikmah dan
kebijaksanaan bagi rakyatnya.

Bukan seperti sistem Demokrasi yang mana siapa saja boleh mencalonkan diri untuk
duduk di kursi pemerintahan, tidak peduli bagaimanapun moralnya, asal usulnya, kualitasnya,
dan kapasitasnya. Selama orang tersebut memiliki modal yang cukup untuk ikut di dalam
pemilihan, maka ia berhak untuk dipilih. Maka hasil yang kita lihat dalam sistem Demokrasi
adalah pemerintah diisi oleh orang-orang yang haus akan kekuasaan, yang menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan jabatan. Rendahnya moral para pejabat dan penyelenggara
negara sudah menjadi rahasia umum di Indonesia.

Pada hakikatnya, para wakil rakyat bukan berjuang demi kepentingan rakyat untuk
mencapai cita-cita bangsa, akan tetapi berjuang untuk diri pribadi dan kepentingan
kelompoknya (partai). Inilah akibat dari sistem yang kita anut saat ini, Demokrasi, semua
pihak yang terlibat dalam politik berlomba untuk berkuasa dan bersaing memperebutkan
kekuasaan.

Sistem Pancasila menghendaki tujuan akhir yang ingin dicapai adalah keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Adil bukan berarti sama rata dan sama rasa. Namun adil
bermakna berpegang pada kebenaran dan menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.
Sedangkan prinsip adil dalam Demokrasi adalah setiap orang diberikan hak yang sama tanpa
melihat sisi kebenaran dan tempat yang sesuai dengan kapasitasnya.

[19]
Meninggalkan Demokrasi, Mewujudkan Cita-cita Bangsa dengan Pancasila

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, semestinya kita bangga memiliki Pancasila.
Pancasila seharusnya menjadi pedoman kita dalam mengelola negara. Pancasila sebagai
falsafah, jiwa, nafas dan semangat bernegara dalam setiap membentuk Undang-Undang.
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan dan diilhami oleh nilai-
nilai Pancasila, bukan mengadopsi nilai-nilai Demokrasi.

Pancasila merupakan alat ukur dan pedoman yang memberi arah pembangunan di
Indonesia, bukan Demokrasi. Karena nilai Pancasila tidaklah setara dengan nilai Demokrasi.
Nilai Pancasila lebih utama ketimbang nilai Demokrasi dan nilai Demokrasi tidak dapat
menggantikan nilai Pancasila.

Akhirnya, kita patut bersyukur karena pendiri bangsa ini telah mewariskan Pancasila
sebagai jalan utama, sehingga kita semua tidak perlu memikirkan jalan yang lainnya untuk
mewujudkan cita-cita bangsa. Strategi Keamanan Nasional Indonesia harus dimulai dengan
membuang Demokrasi dan mengembalikan Indonesia menjadi negara Pancasila, baru setelah
itu disusun penjabarannya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.

[20]

Você também pode gostar