Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Resiko likuiditas jangka pendek terutama berasal dari kebutuhan untuk membiayai operasional
lancar (current operations) hingga perusahaan harus melakukan pembayaran ke suppliers.
Sebelum perusahaan dapat pemasukan untuk barang dan servis yang telah disediakan, akan ada
kekurangan kas yang harus dipenuhi, biasanya kekurangan tersebut ditutupi melalui pinjaman
jangka pendek. Walaupun pembiayaan kebutuhan modal kerja dilakukan secara rutin oleh
kebanyakan perusahaan, rasio finansial (Financial Ratio) telah digunakan untuk mengawasi
sejauh mana perusahaan terpapar oleh resiko yang mana tidak dapat memenuhi kewajiban jangka
pendeknya. Yang paling sering digunakan untuk mengukur resiko likuiditas jangka pendek
adalah current ratio dan quick ratio.
Current ratio adalah rasio dari current assets (kas, persediaan, akun piutang) dengan current
liabilities-nya (kewajiban yang jatuh tempo untuk periode selanjutnya).
Current Asset
Current Liabilities
Sebagai contoh current ratio dibawah 1, mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki lebih
banyak hutang yang akan jatuh tempo di tahun berikutnya daripada aset yang diekspektasikan
untuk diubah menjadi kas. Hal ini merupakan suatu indikasi terhadap resiko likuiditas.
Ketika analisis tradisional menyarankan bahwa perusahaan menjaga nilai current ratio diatas 2
atau lebih, karena ada pertukaran antara meminimalisir resiko likuiditas dan meningkatkan kas
yang lebih banyak kedalam net working capital (Net working capital = Current Assets Current
Liabilities). Kenyataannya, hal ini bisa dibantah bahwa dengan current ratio yang tinggi
mengindikasikan perusahaan yang tidak sehat, yang mana memiliki masalah untuk menurunkan
persediaannya. Akhir-akhir ini, perusahaan telah berusaha untuk menurunkan current ratio
mereka dan mengelola net working capital mereka dengan lebih baik.
Penggunaan current ratio harus di pertimbangkan dengan beberapa faktor lainnya. Pertama, rasio
bisa dimanipulasi dengan mudah oleh perusahaan dibagian waktu laporan finansial untuk
memberikan ilusi rasa aman. Kedua, current assets (aset lancar) dan current liabilities (hutang
lancar) bisa berubah dengan jumlah yang sama, tapi efek dari current ratio tergantung pada
tingkat levelnya sebelum berubah. Maksudnya jika current assets dan current liabilities
meningkat dengan jumlah yang sama, current ratio akan menurun jika current ratio lebih dari 1
sebelumnya dan meningkat jika kurang dari 1.
Quick ratio atau acid test ratio adalah variasi dari current ratio. Hal ini membedakan aset lancar
yang bisa diubah menjadi kas dengan cepat (kas, sekuritas) dari hal-hal yang susah untuk diubah
(persediaan, akun piutang).
Pengecualian terhadap akun piutang dan persediaan adalah karena peraturan cepat diubah
menjadi kas. Jika ada bukti bahwa suatu akun bisa diubah menjadi kas dengan cepat, bisa
dimasukkan menjadi bagian dari quick ratio.
Activity ratio
Rasio aktivitas juga disebut sebagai rasio efisiensi atau perputaran, mengukur seberapa efektif
perusahaan menggunakan berbagai asetnya. Turnover ratio mengukur tingkat efisiensi
pengelolaan modal kerja dengan melihat hubungan antara akun piutang dan persiadaan dengan
harga pokok penjualan.
Sales
Account Receivable Turnover=
Average Account Receivable
Rasio-rasio ini bisa diinterpretasikan sebagai pengukur kecepatan perusahaan dalam mengubah
akun piutang menjadi kas atau inventory menjadi penjualan. Rasio-rasio ini sering
mengekspresikan waktu yang digunakan.
365
Days Receivable Outstanding=
Receivable Turnover
365
Days Inventory Held=
Inventory Turnover
Sejak akun piutang dan persediaan merupakan aset dan akun hutang adalah kewajiban, ketiga
rasio ini (distandarisasikan dalam hal hari yang digunakan) bisa digabungkan untuk
mendapatkan estimasi berapa banyak pembiayaan perusahaan yang dibutuhkan untuk membiayai
modal kerja yang dibutuhkan.
Semakin lama waktu pembiayaan perusahaan, semakin besar perusahaan menghadapi resiko
likuiditas.
Leverage Ratio
Rasio hutang terhadap ekuitas dihitung hanya membagi total hutang perusahaan dengan ekuitas
pemegang saham.
Debt
Debt Capital Ratio=
Debt + Equity
Debt
Debt Equity Ratio=
Equity
Rasio pertama mengukur proporsi hutang dengan total kapital perusahaan dan tidak bisa
melebihi 100%. Yang kedua mengukur proporsi hutang dengan ekuitas perusahaan dan bisa
disimpulkan dengan rasio yang pertama.
Meskipun rasio-rasio ini menganggap bahwa kapital ditingkatkan hanya melalui hutang dan
ekuitas, mereka bisa dengan mudah dimasukkan dengan sumber pembiayaan lainnya, seperti
saham preferen. Walaupun saham preferen terkadang digabung dengan saham biasa dibawah
label ekuitas, sebaiknya kedua saham ini dipisahkan dan dihitung rasio dari saham preferen
dengan kapital (yang mana termasuk dalam hutang, ekuitas, dan saham preferen).
Ada dua variasi yang mirip dengan debt ratio. Pertama, hanya hutang jangka panjang yang
digunakan daripada total hutang, dengan asumsi bahwa hutang jangka pendek hanya sementara
dan tidak mempengaruhi kesanggupan pelunasan hutang jangka panjang perusahaan.
Karena dengan mudahnya perusahaan terlilit dengan hutang jangka pendek, dan banyaknya
perusahaan yang ingin menggunakan pembiayaan jangka pendek untuk membiayai proyek
jangka panjang, variasi ini bisa memberikan gambaran yang salah terhadap resiko hutang
finansial perusahaan.
Variasi kedua dari debt ratio menggunakan market value(MV) daripada book value, dikarenakan
untuk merefleksikan kenyataan bahwa beberapa perusahaan memiliki kemampuan untuk
meminjam dengan signifikan daripada indikasi yang diberikan oleh book value.
banyak analis yang tidak setuju dalam penggunaan market value kedalam kalkulasi mereka,
menentang market value, ditambah dengan susahnya mendapat market value hutang, volatil dan
karena itu menjadi tidak bisa dipercaya. Pendapat ini terbuka untuk di debat. Memang benar
bahwa market value dari hutang perusahaan susah didapat yang mana tidak dipublikasikan
sebagai hutang yang bisa ditransaksikan, tetapi market value dari ekuitas tidak hanya mudah
untuk didapatkan, juga selalu update untuk merefleksikan luas market dan perubahan perusahaan
yang spesifik. Selanjutnya, penggunaan book value dari hutang sebagai proxy untuk market
value dalam kasus dimana hutang tidak ditransaksikan tidak mengubah market value dari rasio
hutang secara signifikan.
Profitability Ratio
Ada banyak cara dalam mengukur tingkat profitabilitas suatu perusahan (enterprise). Pertama,
bagaimana menentukan profitabilitas dari sudut padang penggunaan modal kerja (capital
employed) yang nantinya dapat menentukan rate of return on investment (ROI). Kedua,
penentuan profitabilitas terhadap tingkat penjualan (sales), dengan mengestimasikan margin
laba (profit margin).
Tingkat profitabilitas sendiri berupa rasio-rasio keuangan dimana sumber-sumber (sources) dari
determinannya berasal dari Income Statement & Balance Sheet (atau Statement of Financial
Position).
Fungsi dari rasio-rasio profitabilitas yang didapat adalah untuk menentukan seberapa efisien
kegiatan operasional perusahaan dan kebijakan-kebijakan pricing yang perusahaan terapkan.
ROA juga dapat dihitung berdasarka basis pre-tax (sebelum pajak) dengan asumsi tidak
terdapat loss (kerugian) secara umum, dan sebagai dasar yang baik untuk
membandingkan perusahaan yang berbeda dalam beban pajak yang diterapkan (segi
geografis).
Ketika tingkat leverage (pembiayan dengan hutang atau debt) meningkatkan kos atas
ekuitas (cost of equity), ROE akan meningkat diatas cost of equity.
Market Ratio
Ketika stock analyst ingin mencoba untuk memahami bagaimana investor-investor menilai
sebuah perusahaan, mereka akan merujuk pada rasio-rasio pasar. Perhitungan atas rasio-rasio ini
memiliki satu faktor yang sama dimana mereka mengevaluasi harga sahama sekarang (current
market price) dari saham biasa terhadap indikator kekuatan laba perusahaan atau aset yang
dimiliki oleh perusahaan.
Rasio-rasio pasar meliputi price to earnings, dividend yield, cash flow ratio, dan price to book.
c. Dividend Yield
Price to book ratio digunakan untuk menentukan apakah saham perusahaan berada dalam
status undervalue.
VALUASI
Relative Valuation
Relative Valuation adalah model valuasi saham yang menggunakan multiples. Multiples
merupakan istilah terhadah nilai pasar suatu aset perusahaan. Jadi, relative valuation merupakan
model valuasi yang membandingkan harga suatu aset dengan nilai pasarnya.
a. Price/Earnings Multiples
b. Price/Book Multiples
c. Price/Sales Multiples
1. Price/Earnings Multiples
Model ini sangat menarik digunakan ketika IPO (Initial Public Offering). P/E
meniadakan asumsi-asumsi seperti risiko, pertumbuhan, dan payout ratio dimana 3 faktor
tersebut dibutuhkan sebagai pertimbangan dalam model valuasi DCF (Discounted Cash
Flow). P/E dipandang oleh sebagian investor karena merefleksikan market moods and
persepsi.
Po = nilai ekuitas
EPS = laba per lembar saham
r = tingkat return atas ekuitas
g = tingkat pertumbuhan dividend
3. Price/Sales Multiples
Rasio PS menjadi populer akhir-akhir ini dibanding P/E ataupun P/B.
Keuntungan P/S:
a. P/S multiples tersedia meski dalam perusahaan yang paling bermasalah dalam
bisnisnya
b. Pendapatan sulit untuk dimanipulasi
c. Volatilitas P/S relatif lebih rendah dibanding P/E
Dividend Discount Model merupakan salah satu teknik valuasi yang digunakan untuk
menentukan nilai intrinsik dari suatu saham perusahaan. Metode valuasi ini berasal dari ide
bahwa satu-satunya kas atau uang yang didapatkan oleh investor atas kepemilikan saham sebuah
perusahaan adalah dividen. Berdasarkan metode Dividend Discount Model, nilai intrinsik atau
nilai wajar dari suatu saham perusahaan adalah nilai sekarang (present value) dari dividen
perusahaan dimasa yang akan datang. Model penentuan harga wajar saham dengan menentukan
nilai intrinsik saham menggunakan teknik valuasi Dividend Discount Model cocok digunakan
untuk saham perusahaan besar dan stabil yang rajin atau terus menerus membagikan dividen tiap
tahunnya., namun dapat pula digunakan pada saham perusahaan bertumbuh dimana perusahaan
memiliki tingkat pertumbuhan yang berbeda disetiap tingkatannya. Pada modul ini, akan dibahas
dua jenis teknik valuasi menggunakan Dividend Discount Models, yaitu The Gordon Growth
Model dan Three-stage Dividend Discount Model.
Teknik valuasi The Gordon Growth Model termasuk teknik valuasi Dividend Discount
Model yang paling sederhana. The Gordon Growth Model cocok digunakan untuk menentukan
nilai wajar saham perusahaan yang berada pada kondisi steady state atau dimana perusahaan
telah berada pada tingkatan yang stabil dan secara terus menerus membagikan dividen tiap
tahunnya. Model valuasi ini cocok diterapkan pada perusahaan-perusahaan besar yang sudah
tidak lagi bertumbuh dan membutuhkan sedikit dana untuk ekspansi sehingga keuntungan yang
didapatkan setiap tahunnya dapat selalu dibagikan kepada pemegang saham perusahaan, dividen
perusahaan juga diharapkan untuk selalu tumbuh. The Gordon Growth Model mencari harga
wajar saham dengan menggunakan variabel ekpektasi dividend pada tahun depan, cost of equity
dan harapan pertumbuhan dividen setiap tahunnya.
DPS1 : Ekspektasi dividen tahun depan
Ke : Required Rate of Return (Cost of Equity)
g : Pertumbuhan dividen per tahunnya
DPS1 bisa didapatkan dengan melihat kecepatan pertumbuhan dividen masa lalu dan
menggunakan besaran dividen yang dibayarkan oleh perusahaan pada tahun ini. Untuk variabel,
Ke, metode simpelnya adalah dengan menggunakan suku bunga Bank Indonesia pada saat ini.
Dan untuk g, dapat menggunakan pertumbuhan historis dividen pada masa lalu.
Contoh Kasus:
Perusahaan A pada tahun ini memberikan dividen per lembar saham sebesar Rp 1.000, dan
dilihat dari data historis pertumbuhan dividen, dividen terus bertumbuh stabil dengan rata-rata
pertumbuhan per tahunnya sebesar 5%. Pada saat ini, suku bunga Bank Indonesia berada pada
level 7,50%. Maka harga wajar saham perusahaan A adalah :
Dengan menggunakan rumus The Gordon Growth Model diatas, maka dapat ditemukan hasil
sebesar Rp 42.000. Dari hasil tersebut, kita mengetahui bahwa harga wajar saham perusahaan A
adalah sebesar Rp 42.000. Setelah mengetahui besaran harga wajar saham perusahaan A tersebut,
maka investor dapat membuat keputusan investasinya terkait membeli dan menjual saham
tersebut. Dengan demikian, investor hendaknya membeli saham perusahaan A tersebut ketika
harga sahamnya berada dibawah harga wajar. Begitupun sebaliknya, investor sebaiknya menjual
saham tersebut ketika harga saham telah melampaui harga wajarnya.
Contoh Kasus:
Perusahaan B merupakan perusahaan yang bergerak disektor makanan dan minuman dan telah
berdiri selama 5 tahun. Pada saat ini pertumbuhan pendapatan perusahaan masih kencang dan
terus melakukan ekspansi ke seluruh pulau Jawa. Pada tahun ini, pendapatan per saham (EPS)
perusahaan sebesar Rp 100 per lembar saham dan diharapkan untuk tumbuh kencang selama 5
tahun kedepan dengan pertumbuhan rata-rata per tahunnya sebesar 25%. Pada masa ekspansi ini,
perusahaan hanya mampu untuk memberikan 20% dari pendapatan sebagai dividen kepada
investor. Ketika memasuki masa diatas 5 tahun tersebut, pertumbuhan diharapkan melambat dan
pada tahun ke 10 pertumbuhan EPS hanya akan tumbuh sebesar 5% per tahunnya. Pada masa
penurunan pertumbuhan pendapatan ini, perusahaan berangsur-angsur meningkatkan rasio
pembayaran dividen (DPR) kepada investor dari yang sebelumnya 20% menjadi 70%. Pada saat
perusahaan memasuki masa stabilnya, pertumbuhan EPS akan stabil 5% per tahunnya dengan
rasio pembayaran dividen dari pendapatan (DPR) sebesar 70%. Denngan asumsi Cost of Equity
akan tetap selama 10 tahun kedepan sebesar 7,50%, maka harga wajar saham perusahaan dapat
dihitung sebagai berikut:
Rasio
Pendapatan Dividen per
Pertumbuhan Pembayaran Cost of Present
Tahun per Saham Saham
Pendapatan Dividen Equity Value DPS
(EPS) (DPS)
(DPR)
1 25% Rp 125 20% Rp 25 7.50% Rp 23
2 25% Rp 156 20% Rp 31 7.50% Rp 27
3 25% Rp 195 20% Rp 39 7.50% Rp 31
4 25% Rp 244 20% Rp 49 7.50% Rp 37
5 25% Rp 305 20% Rp 61 7.50% Rp 43
6 21% Rp 369 30% Rp 111 7.50% Rp 72
7 17% Rp 432 40% Rp 173 7.50% Rp 104
8 13% Rp 488 50% Rp 244 7.50% Rp 137
9 9% Rp 532 60% Rp 319 7.50% Rp 167
10 5% Rp 559 70% Rp 391 7.50% Rp 190
Terminal Value Rp 16.427 7.50% Rp 7.970
Total Present Value Dividen per Saham (Harga Wajar Saham) Rp 8.800
Discounted Cash Flow merupakan salah satu metode valuasi untuk menentukan harga
wajar suatu saham perusahaan. Berbeda dengan metode valuasi yang sebelumnya yang
berasumsi bahwa satu-satunya pendapatan yang didapatkan oleh investor adalah dividen, pada
metode Discounted Cash Flow ini investor berasumsi bahwa sebuah harga sebuah perusahaan
adalah total kas yang dapat dihasilkan oleh perusahaan dimasa yang akan datang. Ringkasnya,
metode valuasi ini menentukan harga wajar saham perusahaan berdasarkan nilai present vaue
dari seberapa besar perusahaan tersebut menghasilkan uang dimasa yang akan datang. Metode
valuasi ini merupakan metode yang sangat kompleks dan paling banyak digunakan oleh para
analis. Metode valuasi Discounted Cash Flow mewajibkan investor untuk berpikir lebih dalam
mengenai perusahaan dimasa yang akan datang seperti proyeksi pertumbuhan penjualan,
proyeksi margin keuntungan dan lain-lain. Metode ini juga mengharuskan investor menentukan
discount rate yan akan digunakan dalam perhitungan present value. Metode dan teknik valuasi
Discounted Cash Flow dapat bervariasi, dari yang sederhana sampai dengan yang sangat
kompleks. Namun demikian, pada modul inihanya akan dipaparkan metode valuasi Discounted
Cash Flow yang paling sederhana. Berikut merupakan tahapan paling mendasar dari metode
valuasi Discounted Cash Flow: 1. Periode Proyeksi; 2. Proyeksi Pertumbuhan Penjualan; 3.
Proyeksi Free Cash Flow; 4. Penentuan Discount Rate; 5. Perhitungan Harga Wajar Saham.
1. Periode Proyeksi
Hal pertama yang harus dilakukan ketika melakukan valuasi dengan metode ini adalah
menentukan seberapa jauh investor harus memproyeksikan cash flow. Dalam penentuan periode
proyeksi, investor harus mengetahui sejauh mana perusahaan bisa terus bertumbuh diatas
pertumbuhan ekonomi atau yang mana bisa disebut dengan excess return. Sulit untuk
mengetahui dengan tepat seberapa jauh perusahaan dapat bertumbuh diatas pertumbuhan
ekonomi, namun investor dapat mengestimasi hal tersebut menggunakan ciri dari perusahaan
tersebut seperti yang tertera pada tabel dibawah ini.
Setelah kita menentukan seberapa jauh perusahaan dapat tumbuh diatas pertumbuhan
ekonomi, asumsi selanjutnya yang harus dipikirkan oleh investor adalah memproyeksikan
pertumbuhan penjualan. Proyeksi pertumbuhan penjualan merupakan asumsi yang penting dalam
memproyeksikan cash flow dimasa depan. Kita perlu dengan hati-hati berpikir mengenai industri
dimana perusahaan beroperasi dan mempertimbangkan prospek industri dimasa yang akan
datang. Memproyeksikan penjualan dapat menjadi asumsi yang sangat kompleks, namun untuk
pembelajaran awal, investor dapat menggunakan rekam jejak pertumbuhan penjualan perusahaan
dimasa lampau dan target pertumbuhan penjualan pada akhir tahun proyeksi untuk
memproyeksikan penjualan yang lebih realistis. Sebagai contoh, perusahaan C selama 5 tahun
kebelakang mampu untuk tumbuh cepat sebesar 20% per tahunnya dan pada tahun ini
perusahaan mampu menghasilkan penjualan sebesar Rp 100.000.000. Namun demikian, karena
kompetisi yang semakin ketat selama 5 tahun kedepan, pertumbuhan perusahaan kita
proyeksikan akan menurun hingga hanya sebesar 10% pada tahun kelima. Dengan demikian,
investor dapat berasumsi mengenai pertumbuhan penjualan seperti dibawah ini.
Tahun ke-0 Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Tahun ke-4 Tahun ke-5
Growth (%) 20% 18% 16% 14% 12% 10%
Penjualan 100.000.000 118.000.000 136.880.000 156.043.200 174.768.384 192.245.222
Seperti yang dapat dilihat pada tabel diatas, pertumbuhan perusahaan semakin melambat.
Hal ini merupakan asumsi yang realistis dikarenakan perusahaan tidak dapat selamanya tumbuh
kencang pada kecepatan yang konstan. Namun demikian ini hanyalah salah satu contoh asumsi,
investor memiliki kebebasan untuk berasumsi selama mempunyai dasar yang kuat.
Free cash flow merupakan uang yang dihasilkan oleh perusahaan setelah mengurangkan
segala pengeluaran kas. Free cash flow merefleksikan jumlah uang yang aktual yang tersisa dari
operasional perusahaan yang dapat digunakan untuk menambah value para pemegang saham
perusahaan. Untuk menghitung free cash flow, investor harus mencari besaran uang yang tersisa
dari total penjualan setelah dikurangi biaya operasi, pajak, biaya investasi (capital expenditure),
dan perubahan modal kerja. Depresiasi dan amortisasi tidak dimasukkan kedalam perhitungan
dikarenakan depresiasi dan amortisasi tidak dalam bentuk kas.
Tahun ke-0 Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Tahun ke-4 Tahun ke-5
Growth (%) 20% 18% 16% 14% 12% 10%
Penjualan 100.000.000 118.000.000 136.880.000 156.043.200 174.768.384 192.245.222
OCM (%) 70% 70% 70% 70% 70% 70%
OCM 70.000.000 82.600.000 95.816.000 109.230.240 122.337.869 134.571.656
Operating
30.000.000 35.400.000 41.064.000 46.812.960 52.430.515 57.673.567
Profit
Tahun ke-0 Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Tahun ke-4 Tahun ke-5
Growth (%) 20% 18% 16% 14% 12% 10%
Penjualan 100.000.000 118.000.000 136.880.000 156.043.200 174.768.384 192.245.222
OCM (%) 70% 70% 70% 70% 70% 70%
OCM 70.000.000 82.600.000 95.816.000 109.230.240 122.337.869 134.571.656
Operating
30.000.000 35.400.000 41.064.000 46.812.960 52.430.515 57.673.567
Profit
Tax (%) 25% 25% 25% 25% 25% 25%
Tax 7.500.000 8.850.000 10.266.000 11.703.240 13.107.629 14.418.392
After Tax
22.500.000 26.550.000 30.798.000 35.109.720 39.322.886 43.255.175
Profit
Tahun ke-0 Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Tahun ke-4 Tahun ke-5
Growth (%) 20% 18% 16% 14% 12% 10%
Penjualan 100.000.000 118.000.000 136.880.000 156.043.200 174.768.384 192.245.222
OCM (%) 70% 70% 70% 70% 70% 70%
OCM 70.000.000 82.600.000 95.816.000 109.230.240 122.337.869 134.571.656
Operating
30.000.000 35.400.000 41.064.000 46.812.960 52.430.515 57.673.567
Profit
Tax (%) 25% 25% 25% 25% 25% 25%
Tax 7.500.000 8.850.000 10.266.000 11.703.240 13.107.629 14.418.392
After Tax
22.500.000 26.550.000 30.798.000 35.109.720 39.322.886 43.255.175
Profit
Investnment
7% 7% 7% 7% 7% 7%
(%)
Investment 7,000,000 8,260,000 9,581,600 10,923,024 12,233,787 13,457,166
After Tax &
Investment 15,500,000 18,290,000 21,216,400 24,186,696 27,089,100 29,798,009
Proofit
d. Proyeksi Perubahan Modal Kerja
Modal kerja mengacu pada kas yang dibutuhkan perusahaan untuk operasi sehari-hari,
atau, lebih khusus, pembiayaan jangka pendek untuk mempertahankan aset lancar
seperti persediaan. Semakin cepat bisnis berkembang, semakin banyak uang yang
diperlukan untuk modal kerja. Modal kerja dapat dihitung dengan mengurangkan aset
lancar dan hutang lancar. Perubahan modal kerja adalah perbedaan modal kerja pada
tahun ini dengan tahun sebelumnya. Misalkan pada tahun 2010, perusahaan yang sama
memiliki aset lancar sebesar Rp 5.000.000 dan hutang lancar sebesar Rp 4.000.000,
maka modal kerja pada tahun tersebut adalah sebesar Rp 1.000.000 [Rp 5.000.000 Rp
4.000.000 = Rp 1.000.000]. Jika pada tahun 2011, perusahaan memiliki aset lancar
sebesar Rp 7.000.000 dan hutang lancar sebesar Rp 5.000.000 atau memiliki modal
kerja sebesar Rp 2.000.000, maka untuk tahun 2011, perubahan modal kerja
perusahaan adalah sebesar Rp. 2.000.000 Rp 1.000.000 = Rp 1.000.000 [Modal kerja
2011 Modal kerja 2010]. Perubahan modal kerja yang positif mengindikasikan bahwa
perusahaan membutuhkan kas tambahan untuk menambah modal kerja. Oleh karena itu
dari sudut pandang valuasi Discounted Cash Flow, penambahan modal kerja
perusahaan diasumsikan akan mengurangi kas bebas, sehingga semakin besar
kebutuhan perusahaan akan modal kerja, akan semakin mengurangi kas bebas.
Untuk memproyeksikan perubahan modal kerja, kita dapat menggunakan asumsi
sederhana. Yaitu dengan menghitung perubahan modal kerja pada tahun awal proyeksi
dalam valuasi, dan memproyeksikan kenaikan modal kerja dengan tingkat
pertumbuhan yang sama dengan pertumbuhan penjualan. Hal ini berdasarkan pada
asumsi, semakin besar penjualan perusahaan, maka dibutuhkan tambahan modal kerja
yang akan tumbuh dengan kecepatan yang sama dengan pertumbuhan penjualan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tahun ke-0 Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Tahun ke-4 Tahun ke-5
Growth (%) 20% 18% 16% 14% 12% 10%
Penjualan 100.000.000 118.000.000 136.880.000 156.043.200 174.768.384 192.245.222
OCM (%) 70% 70% 70% 70% 70% 70%
OCM 70.000.000 82.600.000 95.816.000 109.230.240 122.337.869 134.571.656
Operating
30.000.000 35.400.000 41.064.000 46.812.960 52.430.515 57.673.567
Profit
Tax (%) 25% 25% 25% 25% 25% 25%
Tax 7.500.000 8.850.000 10.266.000 11.703.240 13.107.629 14.418.392
After Tax
22.500.000 26.550.000 30.798.000 35.109.720 39.322.886 43.255.175
Profit
Investnment
7% 7% 7% 7% 7% 7%
(%)
Investment 7,000,000 8,260,000 9,581,600 10,923,024 12,233,787 13,457,166
After Tax &
Investment 15,500,000 18,290,000 21,216,400 24,186,696 27,089,100 29,798,009
Proofit
Perubahan
1,000,000 1,180,000 1,368,800 1,560,432 1,747,684 1,922,452
Modal Kerja
Free Cash
14,500,000 17,110,000 19,847,600 22,626,264 25,341,416 27,875,557
Flow (FCF)
Setelah mengurangkan penjualan penjualan dengan biaya operasi, pajak, biaya investasi,
dan perubahan pada modal kerja, maka didapatkan hasil berupa Free Cash Flow. Free Cash
Flow ini merupakan kas yang tersisa yang dimiliki perusahaan yang dapat digunakan untuk
meningkatkan value para pemegang saham, entah dalam bentuk pemberian dividen, shares
buyback ataupun dalam bentuk investasi perusahaan lainnya.
Setelah mengetahui Free Cash Flow yang dihasilkan perusahaan dalam lima tahun
kedepan, investor harus mencari tahu seberapa besar nilai uang dimasa yang akan datang itu
dimasa sekarang, atau dengan kata lain kita mencari present value dari uang dimasa yang akan
datang tersebut. Untuk itu investor membutuhkan tingkat diskon, dan dalam valuasi kali ini, akan
digunakan metode penentuan tingkat diskon menggunakan Weighted-Average Cost of Capital
(WACC). WACC sebenarnya merupakan gabungan dari cost of equity dan after-tax cost of debt.
a. Cost of Equity
Pemegang saham memiliki harapan untuk mendapatkan hasil dari jerih payah
investasinya pada sebuah perusahaan. Dari sudut pandang perusahaan, cost of equity
memiliki arti berapa persen return yang diharapkan oleh investor agar mereka tetap
puas udan tetap berinvestasi pada perusahaan. Oleh karena itu, cost of equity pada
dasarnya adalah biaya perusahaan untuk mempertahankan harga saham yang
memuaskan kepada investor. Metode yang paling banyak digunakan oleh analis untuk
menentukan Cost of Equity adalah dengan menggunakan metode Capital Asset Pricing
Model (CAPM), dengan rumus:
- Rf (Risk-Free Rate)
Risk-free rate merupakan suatu aset investasi yang bebas resiko. Biasanya angka ini
didapatkan dari tingkat bunga obligasi pemerintah.
- Beta
Beta saham merupakan tingkat korelasi antara harga saham terhadap
benchmarknya. Untuk Indonesia, benchmark yang biasa digunakan adalah IHSG
(Indeks Harga Saham Gabungan). Untuk informasi beta saham Indonesia, bisa
dilihat pada web Reuters.com atau bisa mencari manual menggunakan tingkat
korelasi pergerakan saham dengan IHSG.
- (Rm Rf) atau Equity Market Risk Premium
Equity market risk premium merupakan suatu angka yang merepresentasikan
pengembalian tambahan atas keberanian investor untuk masuk kedalam aset yang
lebih beresiko seperti pasar saham disuatu negara tertentu. Tidak ada ketentuan
pasti dalam perhitungan ini, namun metode yang biasa digunakan adalah dengan
mengurangkan rata-rata pertumbuhan IHSG dengan tingkat bunga obligasi
pemerintah. Atau bisa juga dengan langsung melihat tabel equity risk premium
(http://pages.stern.nyu.edu/~adamodar/New_Home_Page/datafile/ctryprem.html)
[Cari negara Indonesia, dan cari angka Total Equity Risk Premium].
Sebagai contoh, investor ingin mengetahui Cost of Equity jika ia berinvestasi di saham.
Risk-free rate pada saat ini sebesar 8,62% yang diambil dari tingkat suku bunga
obligasi pemerintah tenor 5 tahun, dan menemukan angka sebesar 9,05% untuk Risk-
premiumnnya. Setelah menghitungtingkat korelasi saham dengan IHSG, investor
menemukan hasil bahwa Beta saham INTP adalah sebesar 1,08. Maka, Cost of Equity
saham tersebut adalah:
Cost of Equity (Re) = 8,62% + 1.08*(9,05%)
= 18,39%
Dengan demikian, investor mengharapkan return investasi sebesar 18,39% setiap
tahunnya ketika investor tersebut berinvestasi pada saham tersebut.
b. Cost of Debt
Cost of Debt dihitung berdasarkan pada rata-rata tertimbang bunga yang harus dibayar
perusahaan atas hutang-hutangnya. Sebagai contoh, misal sebuah perusahaan memiliki
dua sumber hutang: 1. Bank KSPM, Nominal Rp 5.000.000, tingkat bunga 20%; dan 2.
Bank Wiratama, Nominal Rp 10.000.000, tingkat bunga 7,5%. Maka cost of debt-nya
ialah:
c. Cost of Capital
Setelah mengetahui besaran cost of equity dan cost of debt, investor kemudian
menghitung berapa besar biaya modal yang harus diharapkan ketika membeli saham
tersebut. Dalam menghitung cost of capital, investor mencari rata-rata tertimbang
antara cost of equity dan cost of capital. Sebgai contoh, perusahan yang sama, memiliki
cost of equity sebesar 18,39% dan cost of debt sebesar 11,67% (seperti contoh diatas).
Dalam laporan keuangan tahun terakhir, struktur modal perusahaan terdiri dari 60%
modal (equity) dan 40% hutang (debt). Dengan demikian, penentuan cost of capital
dapat dicari seperti pada tabel dibawah ini.
Setelah kita mengetahui proyeksi Free Cash Flow dalam 5 tahun kedepan dan tingkat
diskon yang dibutuhkan. Kita sudah dapat menentukan harga wajar saham. Namun sebelum itu,
kita harus menentukan terlebih dahulu yang dinamakan dengan Terminal Value. Setelah kita
memproyeksikan perusahaan selama 5 tahun kedepan, bukan berarti kita berasumsi perusahaan
akan bangkrut setelahnya. Namun, kita berasumsi bahwa perusahaan akan bertumbuh stabil dan
memiliki tingkat pertumbuhan yang kurang atau maksimal sama dengan pertumbuhan ekonomi
nasional. Untuk itu, kita membutuhkan Terminal Value sebagai nilai proyeksi dari total Free
Cash Flow yang bisa dihasilkan oleh perusahaan pada masa stabil tersebut. Dalam menghitung
Terminal Value, metode yang cukup sering digunakan adalah metode Gordon Growth Model,
dengan rumus sebagai berikut:
Setelah kita mendapatkan hasil total dari semua kas masa depan atau yang biasa disebut
dengan enterprise value. Kemudian kita menambahkan hasil tersebut dengan total kas yang
tersisa dan total hutang (debt) yang dimiliki perusahaan, Hal ini dikarenakan hutang (debt)
bukanlah milik investor saham, melainkan hak dari pemberi kredit. Oleh karena itu, hak dari
pemilik saham adalah kas yang ada pada saat ini dan kas yang tersedia pada masa yang akan
datang. Misal pada contoh ini, total debt yang dimiliki perusahaan adalah sebesar Rp 15.000.000
(seperti pada contoh diatas), dan perusahaan memiliki total kas dan setara kas sebesar Rp
2.000.000, maka:
Hasil ini merupakan nilai wajar atau fair value dari keseluruhan perusahaan, Dikarenakan kita
adalah investor saham, maka kita perlu mengetahui seberapa besar nilai perusahaan yang ada
pada tiap lembar sahamnya. Untuk itu kita perlu membagi hasil tersebut dengan jumlah saham
yang beredar saat ini. Misalkan saham beredar saat ini sebanyak 10.000 lembar, maka:
Fair Value per Share = Rp 190.745.702 / 10.000
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa harga wajar saham pada saat ini adalah sebesar Rp
1.910 per lembar sahamnya. Selanjutnya investor dapat membuat keputusan investasi apakah
saham tersebut layak atau tidak dengan mebandingkan harga saham di pasar pada saat ini dengan
nilai wajarnya.
Bibliography
Damodaran, A. (2005). Investment Valuation: Second Edition.
McClure, B. (2008, 8 1). Discounted Cash Flow Analysis. Retrieved 12 18, 2015, from
Investopedia Web site: http://i.investopedia.com/inv/pdf/tutorials/dcf.pdf