Você está na página 1de 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Zat gizi (nutrien) merupakan unsur/senyawa kimia yang diperlukan tubuh untuk
melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, memelihara jaringan, dan mengatur proses
zat-zat kimia di dalam tubuh. Zat gizi sangat penting dalam proses tumbuh kembang, bila
seseorang anak mengalami kekurangan gizi secara terus menerus/kronik maka anak tersebut
akan jatuh kedalam kondisi gizi buruk (Briend, 2014). Gizi buruk adalah status kondisi anak
yang mengalami kekurangan nutrisi/nutrisi dibawah standar (z-scores BB/TB atau BB/PB =
< -3SD dan BB/TB CDC untuk anak >5 tahun kurang dari 70 persen), terlihat sangat kurus
dan atau edema (WHO, 2010).
Kasus gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan di beberapa negara berkembang,
termasuk di Indonesia. The United Nations Childrens Fund (UNICEF), menyatakan satu dari
tiga anak dibawah usia 5 tahun di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi.
Pada tahun 2012 berdasarkan data WHO, sebanyak 17,3 juta balita di dunia mengalami gizi
buruk (Briend, 2014). Di Indonesia, berdasarkan data Riskerdas, pada tahun 2007 jumlah
balita gizi buruk dan kurang adalah sebanyak 18,4%, dan meningkat menjadi 19,6% pada
tahun 2013. Adapun di Palembang, Sumatera Selatan pada tahun 2013 dengan estimasi
jumlah balita 808.777 jiwa, sebanyak 148.006 (18,3%) balita menderita gizi buruk dan
kurang (Depkes RI, 2015).
Terdapat 3 tipe gizi buruk, yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor.
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat berat dan kronis terutama
terjadi pada tahun pertama kehidupan (Rabinowitz, 2014). Kwashiorkor adalah manifestasi
malnutrisi protein berat dengan tampilan penderita mengalami edema, seperti anak yang
gemuk (sugar baby). Adapun marasmik-kwashiorkor merupakan suatu keadaan defisiensi
kalori dan protein berat, dengan manifestasi campuran gejala klinik dari marasmus dan
kwashiorkor (Manary, Heikens, dan Golden; 2009).
Gizi diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal
dari organ, serta menghasilkan energi. Tanpa adanya gizi yang adekuat, maka proses tumbuh
kembang anak akan terganggu. Sebagai seorang dokter yang akan terjun di dalam
masyarakat, pemahaman tentang gizi sangatlah penting agar masyarakat tidak jatuh kedalam
kondisi gizi buruk. Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini dapat memberikan
informasi mengenai gizi buruk, terutama marasmus.

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Anak RG
b. Umur : 12 Tahun (20 Agustus 2003)
c. Jenis Kelamin : Laki-Laki
d. Nama Ayah : Hairul
e. Nama Ibu : Ermi
f. Bangsa : OKU
g. Alamat : OKU Selatan
h. Dikirim oleh : RSUD Baturaja
i. MRS Tanggal : 18 Maret 2016

II. ANAMNESIS ( Subjektif / S)


Tanggal : 22 Maret 2016, pukul 07.00
Diberikan oleh : Alloanamnesis (Ibu Kandung Pasien)

A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


1. Keluhan Utama : Benjolan pada leher
2. Keluhan tambahan : Demam, nyeri kepala, batuk
3. Riwayat Perjalanan Penyakit:

Sejak 6 bulan SMRS anak sering mengeluh demam tidak terlalu tinggi,
demam dirasakan meningkat pada malam hari. Pasien juga mengeluh sering batuk
berdahak, dahak berwarna putih. Pasien tidak dibawa berobat. Pasien juga
mengalami penurunan nafsu makan. Berat badan pasien saat itu 26kg. Pasien
hanya makan Nasi porsi sebanyak 3 kali sehari, dengan lauk yang tidak
beragam seperti telur dan ikan.

Sejak 4 bulan SMRS, pasien mengeluh muncul benjolan awal pada dada kiri
sebesar kelereng dan tidak nyeri, lalu benjolan juga muncul pada leher kanan
depan sebesar telur puyuh yang semakin membesar hingga ke belakang telinga
kanan, terasa nyeri. Benjolan juga muncul pada ketiak kiri sebesar kelereng dan
terasa nyeri. Pasien mengeluh batuk berdahak warna kekuningan dan kental.
Pasien mengeluh demam tidak terlalu tinggi, terus menerus, nafsu makan
menurun, pasien berkeringat banyak pada malam hari. Pasien tidak mengeluh
sesak. Selama 4 bulan terakhir, ibu pasien merasa pasien bertambah kurus. Pasein
hanya makan nasi sebanyak porsi dengan frekuensi 3 kali sehari. Pasien berobat
ke dukun tetapi benjolan dirasa semakin membesar, lalu pasien dibawa ke RSUD
Baturaja, lalu dirujuk ke RSMH. Di RSMH pasien disarankan untuk melakukan
biopsi, rontgen thoraks dan cek darah.

2

Satu bulan SMRS, tanggal 4 Februari 2016, pasien dirawat di RSMH untuk
dilakukan biopsi pada benjolan. Setelah biopsi, pasien dipulangkan dan diminta
kontrol ke poli bedah onkologi sambil menunggu hasil biopsi (kurang lebih satu
minggu). Didapatkan kesan limfadenitis kronis granulomatous spesifik lazimnya
e.c tuberculosis pada regio coli, regio axilla dekstra dan region thorak anterior.

Dua minggu SMRS pasien mengalami batuk yang semakin sering. Batuk
disertai dahak berwarna putih. Demam yang tidak terlalu tinggi masih dirasakan
pasien. Pasien tidak dibawa berobat. Satu hari SMRS pasien datang kontrol ke
poli dengan keluhan luka operasi biopsi di leher terus mengeluarkan cairan
kuning, nyeri (-). Pasien juga masih mengeluh batuk berdahak, demam terus
menerus, nafsu makan dan berat badan semakin menurun, sesak napas hilang
timbul, sesak tidak dipengaruhi cuaca dan posisi, sesak tidak berkurang dengan
istirahat. BAB dan BAK seperti biasa. Berat badan tertinggi 26kg.

B. RIWAYAT SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT


1. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
Masa Kehamilan : 40 Minggu
Partus : Spontan
Tempat : Rumah
Ditolong oleh : Dukun
Tanggal : 20 Agustus 2003
BB : 3500 gram
PB : Ibu lupa
Lingkar kepala : Ibu Lupa

2. RIWAYAT MAKANAN
ASI : 6 bulan Tempe : 1 potong
Susu botol : tidak pernah Tahu : 1 potong
Bubur Nasi : - Sayuran: sangat jarang
Nasi Tim/lembek : - Buah : pisang
Nasi Biasa : 3 x 1/4 porsi Lain-lain: -
Daging : Sangat jarang Kesan :
Kualitas : kurang
Kuantitas: kurang

3

3. RIWAYAT IMUNISASI

IMUNISASI DASAR ULANGAN


Umur Umur Umur Umur
BCG -
DPT 1 - DPT 2 - DPT 3 -
HEPATITIS - HEPATITIS - HEPATITIS -
B1 B2 B3
Hib 1 - Hib 2 - Hib 3 -
POLIO 1 - POLIO 2 - POLIO 3 -
CAMPAK - POLIO 4 -

KESAN : Imunisasi dasar tidak dilakukan

4. RIWAYAT KELUARGA
Perkawinan : Pertama, harmonis
Pendidikan : Ayah dan Ibu SMP
Pekerjaan : Ayah = buruh, Ibu = Ibu rumah tangga
Penyakit yang pernah diderita :
Riwayat kakek pasien sering ditemui pasien menderita sakit paru-paru,
minum obat 6 bulan, dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi. Diagnosa sakit
paru-paru kakek dari pemeriksaan dahak.

5. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Gigi Pertama : lupa Berdiri : 10 bulan
Berbalik : 3 bulan Berjalan : 1 tahun
Tengkurap : 4 bulan Berbicara : 1 tahun
Merangkak : 9 bulan Kesan : normal
Duduk : 8 bulan

6. RIWAYAT PERKEMBANGAN MENTAL


Pasien berusia 12 tahun dan sekolah kelas 2 SMP, pasien tidak pernah
tinggal kelas.

7. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


Riwayat sakit Tuberkulosis sebelumnya (-)
Riwayat Pengobatan tidak ada

4

III. PEMERIKSAAN FISIK ( Objektif / O)
Pemeriksaan dilakukan perawatan pasien hari ke 4
A. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Anak tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 20 Kg
PB atau TB : 134, 5 Cm
Status gizi
BB/U : p5 (20/40= 50%) severe wasted
TB (PB)/U : <p5 (134,5/149= 90%) mild stunted
BB/TB (PB) : 20/29 = 68,9% severe wasted (gizi buruk)
Lingkar kepala : 52 cm (0 s/d -2 SD)
Lingkar Lengan Atas : 11 cm
Edema ( - ), sianosis ( - ), dispnue ( - ), anemia ( - ), ikterus ( - ), dismorfik ( - )
Suhu : 38,4 OC
Respirasi : 24 x/menit
Tipe Pernapasan : Torakoabdominal
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 111 x/ menit, Isi/kualitas : cukup
Regularitas : reguler
Kulit : sianosis (-), pucat (-).

B. PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA : MATA : konjungtiva anemis (-), skelra ikterik (-).
MULUT : mukosa bibir anemis (-), kering (-), cheilitis (-)
GIGI : gigi geligi lengkap
LIDAH : normal, atrofi papil lidah (-)
FARING/TONSIL : normal / T1-T1, tenang, hiperemis (-)

LEHER
INSPEKSI : pembesaran KGB (+) dengan bekas biopsi insisi, basah (+) sekret
berwarna kuning (+)

PALPASI : pembesaran KGB (+) pada regio coli dekstra hingga retro
aurikula dekstra, multiple >1 cm berlekatan, ukuran total 7x15 cm,
kenyal, mobile, panas, nyeri tekan (+)

THORAX
INSPEKSI : thorak dekstra sinistra statis dinamis simetris, terdapat jahitan
bekas biopsi eksisi KGB thorax pada ICS III linea parasternalis
sinistra, retraksi (-), ictus cordis tidak terlihat di ICS V, iga
gambang (+)

PALPASI : nyeri tekan (-), pembesaran KGB (+), stem fremitus kanan=kiri,
ictus cordis tidak teraba di ICS V

5

A. PARU
PERKUSI : bunyi sonor paru kanan, bunyi redup paru kiri
AUSKULTASI
Vesikuler : tidak normal, vesikuler paru kiri menurun
Ronkhi : (-/-)
Wheezing : (-/-)

B. JANTUNG
PERKUSI : Batas atas ICS II linea parasternal kiri, batas kanan
linea sternalis sinistra ICS IV, batas kiri linea
midclavicula sinistra ICS IV dan batas bawah ICS V
linea midclavicula.
AUSKULTASI
Bunyi jantung I
Mitral : Bunyi jantung I normal terdengar pada ICS 4 linea
midclavicula sinistra
Trikuspid : Bunyi jantung I normal terdengar pada ICS 4 linea
sternalis sinistra

Bunyi jantung II
Pulmonal : Bunyi jantung II normal terdengar pada ICS 2 linea
sternalis sinistra
Aorta : Bunyi jantung II normal terdengar pada ICS 2 linea
sternalis dekstra
Bising jantung : mur-mur (-), gallop (-)

ABDOMEN

INSPEKSI : datar, kulit normal.


PALPASI : lemas, Nyeri tekan (-)
PERKUSI : timpani
AUSKULTASI : bunyi usus (+) 4X/menit
HEPAR : tidak teraba
LIEN : tidak teraba
GINJAL : tidak teraba

6

EKSTREMITAS
INSPEKSI
Bentuk : normal
Deformitas :-
Edema :-
Trofi :-
Pergerakan : luas, dalam batas normal
Tremor :-
Chorea :-
Akral : hangat, pucat (-), CRT <2

AXILLA
Kelenjar Getah Bening : jahitan bekas biopsi eksisi KGB aksila
Lain-lain : pembesaran KGB (+)

INGUINAL
Kelenjar Getah Bening : pembesaran KGB (-)
Lain-lain :-

GENITALIA
LAKI-LAKI :
Phimosis :-
Testis : normal
Scrotum : normal

STATUS PUBERTAS : G1P1

7

STATUS NEUROLOGIS
Lengan Tungkai
Kanan kiri Kanan Kiri
Fungsi motorik

Gerakan 5 5 5 5Eut

Kekuatan 5 5 5 5

Tonus eutoni eutoni eutoni eutoni

Klonus - - - -

Reflex fisiologis normal normal normal normal

Reflex patologis - - - -

Gejala rangsang meningeal Kaku kuduk (-), laseque (-), kenig (-), bruzinsky I-II
(-)

Fungsi sensorik dalam batas normal

Nervi craniales dalam batas normal

Reflex primitif (-)

IV. RESUME
Anak RG, laki-laki usia 12 tahun, compos mentis, pasien masih bisa berjalan
datang kontrol ke poli dengan keluhan luka operasi biopsi di leher terus
mengeluarkan cairan kekuningan. Pasien juga mengeluh batuk berdahak, demam
terus menerus, nafsu makan dan berat badan menurun, sesak napas hilang timbul,
yang tidak dipengaruhi cuaca dan posisi tubuh, sesak tidak berkurang dengan
istirahat.. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Berat badan tertinggi 26 kg. Riwayat
kehamilan cukup bulan lahir spontan di dukun dengan berat lahir 3500 gram.
Riwayat makan secara kualitas dan kuantitas dinilai kurang. Riwayat Imunisasi
dasar tidak dilakukan. Riwayat keluarga menderita sakit paru-paru, minum obat 6
bulan dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi. Riwayat perkembangan normal.
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak sakit sedang, berat badan 20
kg, tinggi badan 134,5 cm. Dengan status gizi buruk. Suhu tubuh 38,4 c, RR
24x/menit, Nadi 111x/menit i/t cukup. Sianosis (-), pucat (-). Jantung normal. Pada
perkusi paru dekstra sonor, paru sinistra redup. Auskultasi bunyi vesikuler dekstra
> kiri. Terdapat pembesaran KGB di regio coli anterior dekstra hingga retro
aurikula dekstra, multiple >1 cm berlekatan, ukuran total 7x15 cm, kenyal, mobile,
panas, dengan bekas biopsi insisi di leher, nyeri tekan (+) basah (+), sekret (+).
Jahitan bekas biopsi eksisi KGB thorax sinistra. Pada aksila sinistra terdapat
jahitan bekasi biopsi eksisi KGB.

Skor TB :
1. Kontak TB (+) 3
2. Limfadenopati 1
3. Tuberkulin 3
4. Berat badan turun 2
5. Demam > 2 minggu 1
6. Batuk > 3 minggu 1
7. Pembengkakan tulang /sendi 0
8. Rontgen torak 1
Total 12

V. DAFTAR MASALAH
1. Batuk
2. Demam
3. Sesak
4. Pembesaran KGB pada regio coli desktra, thoraks sinistra, dan axilla sinistra.
5. Sekret basah kekuningan bekas operasi insisi KGB
6. Marasmus kondisi V
9

VI. DIAGNOSIS BANDING


Limfadenitis TB dd/ keganasan+ TB paru dd/pneumonia + Marasmus Kondisi V

VII. DIAGNOSIS KERJA


Limfadenitis TB + TB paru + Marasmus Kondisi V

VIII. TATALAKSANA (Planning / P)


a. PEMERIKSAAN ANJURAN
Biopsi insisi KGB leher, axilla, thorax (11 Februari 2016):
Limfadenitis kronis granulomatous spesifik lazimnya e.c suspek tuberkulosa
pada regio colli, axilla sinistra, thorax anterior

BTA (S-P-S) tanggal 22 Maret 2016


1. S: +1
2. P: +1
3. S: +1

Rontgen thoraks (22 Maret 2016): konsolidasi pada pulmo sinistra

b. TERAPI ( SUPORTIF SIMPTOMATIS-CAUSATIF)


NON FARMAKOLOGIS
1. Istirahat cukup
2. Teratur minum obat setiap hari
3. Ventilasi ruangan yang baik, ruangan harus terang terpapar sinar matahari.

FARMAKOLOGIS
1. OAT RHZ 1x4 (FDC) + etambutol 400 mg
2. Bersihkan sekret dan kompres dengan Nacl 0,9% selama 30 menit 3x/ hari
3. Piridoksin 10 mg/ hari mencegah neuritis perifer akibat INH
4. Asam Folat 5mg per oral (hari pertama), selanjutnya 1 mg
5. Suplemen multivitamin (Vit C 1x100mg, VitBcomplex 1x1tab, zink 1x20mg)

c. DIET
Target kalori = RDA x BB ideal = 60x29 =1740 kkal
Pemberian kalori awal = RDA x BB sekarang = 60 x 20 = 1200 kkal

Pada kasus ini, anak sudah berusia 12 tahun, dan sudah terbiasa untuk mendapat
asupan makanan padat. Anak sudah terbiasa untuk makan nasi porsi, sehingga
pemberian makanan padat masih kami teruskan. Kekurangan kalori kami gantikan
dengan pemberian susu F100.
Uraian tatalaksana :
1. Nasi biasa 1/2 porsi +lauk = 250 kkal x 3 = 750 kkal
2. Snack (kue potong) = 50 kkal x 2 = 100 kkal
Total = 850 kkal

10

Kekurangan kalori = 1200kkal 850 kkal = 350kkal


Pemberian F 100 sebanyak 350 kkal = 350 cc dibagi 4 kali pemberian = 88 cc

Susu F100 diberikan 4 kali dengan menyesuaikan jam istirahat pasien. Bila
pemberian terlalu sering ditakutkan akan menggangu jam istirahat pasien.
Pemberian kalori dinaikan bertahap bila kalori jumlah makanan yang diberikan
telah dapat dihabiskan.

d. MONITORING
1. Tanda vital
2. Berat badan
3. Kepatuhan minum obat
4. Akseptibilitas : makanan mau dimakan atau tidak
Toleransi : apakah anak diare, muntah, alergi
Efektivitas : kenaikan berat badan

IX. EDUKASI
Perhatikan pola makan pada anak
Profilaksis sekunder dengan isoniazide kepada orang yang kontak dengan pasien
(kakak pasien)

X. PROGNOSIS

a. Qua ad vitam : dubia ad bonam

b. Qua ad functionam : dubia ad bonam

c. Qua ad sanationam : dubia ad bonam

11

FOLLOW UP (Subjektif/Objektif/Assestment/Planning)
Tanggal CATATAN KEMAJUAN RENCANA PARAFSUPERVISOR
Jam (S/O/A) TATALAKSANA
Masalah : Terapi :
23/3/ 1. Batuk 1. OAT RHZ 1x4(FDC)
2016 2. Demam + etambutol 400 mg
3. Pembesaran KGB pada regio 2. Bersihkan sekret dan
Pukul coli desktra, thoraks sinistra, kompres dengan
07.00 dan axilla sinistra. Nacl 0,9% selama 30
4. Sekret basah kekuningan menit 3x/ hari
bekas insisi operasi regio 3. Piridoksin 10 mg/
coli hari
5. Marasmus kondisi V 4. Asam Folat 1 mg,
oral
S : Batuk masih, temperatur 5. Suplemen
malam : 37,5. multivitamin (Vit C
1x100mg,
O : CM, TD 100/60, Nadi VitBcomplex
94x/menit, RR : 26 x/menit, 1x1tab, zink
T:36,8.
1x20mg)
Kepala
Konjungtiva anemis (-), Diet :
Sklera ikterik (-) Nasi biasa porsi + lauk
Leher 3x sehari
Pembesaran KGB (+) Snack, kue potong/ buah
Pulmo 2x sehari
Vesikuler menurun pada paru Susu F100 88cc 4x sehari
kiri, ronki(-/-), wheezing (-/-)
Cor Monitoring :
BJ I dan II normal, murmur (-) 1. Tanda vital
Abdomen 2. Berat badan
Datar, lemas, hepar dan lien 3. Kepatuhan minum
tidak teraba obat
Neurologis : fungsi motorik 4. Akseptibilitas
normal makanan mau
dimakan atau tidak,
Diet : nasi tersisa lagi, lauk habis atau tidak.
habis, snack dihabiskan, susu
habis. Anak tidak muntah, tidak Toleransi : apakah
diare, BB tetap 20 kg. anak diare, muntah,
alergi
A : Limfadenitis TB + TB paru +
Marasmus Kondisi V Efektivitas :
kenaikan berat
P : Meneruskan pengobatan dan badan
menaikkan berat badan

Diagnosis :
Limfadenitis TB + TB paru +
Marasmus Kondisi V

12

FOLLOW UP (Subjektif/Objektif/Assestment/Planning)
Tanggal CATATAN KEMAJUAN RENCANA PARAFSUPERVISOR
Jam (S/O/A/P) TATALAKSANA
Masalah : Terapi :
24/3/ 1. Batuk 1. OAT RHZ
2016 2. Demam 1x4(3FDC) +
3. Pembesaran KGB pada regio etambutol 400 mg
Pukul coli desktra, thoraks sinistra, 2. Bersihkan sekret dan
07.00 dan axilla sinistra. kompres dengan Nacl
4. Sekret basah kekuningan 0,9% selama 30 menit
bekas insisi operasi regio 3x/ hari
coli 3. Piridoksin 10 mg/
5. Marasmus kondisi V hari
4. Asam folat 1 mg
S : batuk masih Batuk masih, 5. Suplemen
temperatur malam : 37,7. multivitamin (Vit C
1x100mg,
O : CM, TD 100/70, Nadi VitBcomplex
100x/menit, RR : 24 x/menit, 1x1tab, zink
T:37,5.
1x20mg)
Kepala
Konjungtiva anemis (-), Diet :
Sklera ikterik (-) Nasi biasa porsi + lauk
Leher 3x sehari
Pembesaran KGB (+) Snack, kue potong/ buah
Pulmo 2x sehari
Vesikuler menurun pada paru Susu F100 88 cc 4x
kiri, ronki(-/-), wheezing (-/-) sehari
Cor
BJ I dan II normal, murmur (-) Monitoring :
Abdomen 1. Tanda vital
Datar, lemas, hepar dan lien 2. Berat badan
tidak teraba 3. Kepatuhan minum
Neurologis : fungsi motorik obat
normal 4. Akseptibilitas
makanan mau
Diet : nasi tersisa lagi, lauk dimakan atau tidak,
habis, snack dihabiskan, susu habis atau tidak.
habis. Anak tidak muntah, tidak
diare, BB tetap 20 kg. Toleransi : apakah
anak diare, muntah,
A : Limfadenitis TB + TB paru + alergi
Marasmus Kondisi V
Efektivitas :
P : Meneruskan pengobatan dan kenaikan berat
menaikkan berat badan badan

Diagnosis :
Limfadenitis TB + TB paru +
Marasmus Kondisi V

13

FOLLOW UP (Subjektif/Objektif/Assestment/Planning)
Tanggal CATATAN KEMAJUAN RENCANA PARAFSUPERVISOR
Jam (S/O/A/P) TATALAKSANA
Masalah : Terapi :
25/3/ 1. Batuk 1. OAT RHZ
2016 2. Demam 1x4(3FDC) +
3. Pembesaran KGB pada regio etambutol 400 mg
Pukul coli desktra, thoraks sinistra, 2. Bersihkan sekret dan
07.00 dan axilla sinistra. kompres dengan Nacl
4. Sekret basah kekuningan 0,9% selama 30 menit
bekas insisi operasi regio coli 3x/ hari
5. Marasmus kondisi V 3. Piridoksin 10 mg/
hari
S : batuk masih Batuk masih, 4. Asam Folat 1 mg
temperatur malam : 37,7. 5. Suplemen
Multivitamin (Vit C
O : CM, TD 100/70, Nadi 1x100mg,
100x/menit, RR : 24 x/menit, VitBcomplex
T:37,5. 1x1tab, zink
Kepala 1x20mg)
Konjungtiva anemis (-), Sklera
ikterik (-) Diet :
Leher Nasi biasa porsi + lauk
Pembesaran KGB (+) 3x sehari
Pulmo Snack, kue potong/ buah
Vesikuler menurun pada paru 2x sehari
kiri, ronki(-/-), wheezing (-/-) Susu F100 120 cc 3x
Cor sehari
BJ I dan II normal, murmur (-)
Abdomen Monitoring :
Datar, lemas, hepar dan lien 1. Tanda vital
tidak teraba 2. Berat badan
Neurologis : fungsi motorik 3. Kepatuhan minum
normal obat
4. Akseptibilitas
Diet : nasi tersisa sedikit lagi, makanan mau
lauk habis, snack dihabiskan, dimakan atau tidak,
susu habis. Anak tidak muntah, habis atau tidak.
tidak diare, BB tetap 20 kg.
Toleransi : apakah
A : Limfadenitis TB + TB paru + anak diare, muntah,
Marasmus Kondisi V alergi

P : Frekuensi susu di kurangi Efektivitas :


dengan penambahan volume susu kenaikan berat
tiap minumnya. badan
Meneruskan pengobatan dan
menaikkan berat badan

Diagnosis :
Limfadenitis TB + TB paru +
Marasmus Kondisi V

14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Gizi Buruk


Severe acute malnutrition atau malnutrisi akut berat (MAB), atau disebut juga gizi
buruk akut adalah keadaan dimana seseorang anak tampak sangat kurus, ditandai dengan
BB/PB <-3 SD dari median WHO child growth standard, atau didapatkan edema nutritional,
dan pada anak umur 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) <115mm (IDAI, 2014).
Pada remaja (10-18 tahun) rekomendasi WHO expert committee untuk menentukan
malnutrisi remaja dapat dengan menggunakan IMT dengan nilai cut-off pada <P5 atau bila
ada edema nutritional.

3.2.Klasifikasi Gizi Buruk


Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-
masing tipe yang berbeda-beda. Marasmus dan kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat
keparahan penderita gizi buruk. Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus dengan
berbagai tanda ikutannya, sedangkan kwarshiorkor ditandai dengan edema, diawali edema
pada punggung kaki (edema +), yang dapat menyebar ke seluruh tubuh (edema +++).

1. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul
diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah
kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan
kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak
tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih
merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-
ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

15

2. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (super baby), dietnya
mengandung cukup energi namun kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh
lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau
edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan
terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas

3. Marasmus-kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi
untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya
berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti
edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula
(Depkes RI, 2000).

3.3.Patofisiologi Gizi Buruk


Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi
karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan
dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin
C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut.
Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan
protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan
cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu
protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut
akan mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin.

16

Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran
adaptasi rodopsin.

Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella
negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf
motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter.
Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein,
maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan
LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke
jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.

Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah
edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh
kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka
terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena
pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium.
Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor,
selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada
intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan
mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema
biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik
dan onkotik (Sadewa, 2008).

Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang kalori
protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat
seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik atau
malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan
makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri
anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus.
Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :

a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit,
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan
orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya
17

infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.


c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng,
deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia,
hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI
kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat
b. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup
c. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia,
lactose intolerance
d. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab
maramus yang lain disingkirkan
e. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang
akan menimbulkan marasmus
f. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus,
meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan
kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari
tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis
akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.

3.4.Diagnosis Gizi Buruk


Diagnosis gizi buruk berdasarkan kriteria :
1. Terlihat sangat kurus
2. Edema nutrisional
3. BB/TB <-3 SD
4. LILA <115mm
LILA merupakan indikator nutrisi yang paling unggul untuk seleksi kasus penderita
gizi buruk dibandingkan antropometri yang lain seperti BB/U, PB/U, BB/PB. Bila skrining
yang digunakan hanya dengan LILA dan atau BB/TB maka yang terjaring hanyalah penderita
dengan marasmus, sementara penderita kwarshiokor hanya sedikit yang terjaring. Oleh karena
itu skrining penderita gizi buruk sebaiknya menggunakan tanda klinis yaitu sangat kurus
(marasmus) dan edema (kwarshiokor) serta pemeriksaan LILA dan atau BB/TB.

18

3.5.Tatalaksana Gizi Buruk


Tatalaksana penderita gizi buruk (MAB) dibagi menjadi 2 yaitu gizi buruk dengan
komplikasi yang harus dirawat inap di RS atau puskesmas, dan gizi buruk tanpa komplikasi
yang tidak perlu dirawat inap. Gizi buruk (MAB) tanpa komplikasi tetap di rumah masing-
masing dan seminggu sekali mereka datang ke suatu tempat yang disepakati masyarakat
setempat untuk pemantauan status nutrisi dan kesehatannya serta mendapat makanan khusus.
Tatalaksana gizi buruk dengan rawat jalan disebut dengan Outpatient Therapeutic Program
(OTP) yang bertujuan untuk mengurangi dampat rawat inap bagi penderita maupun
keluarganya.

Gambar 1. Alur tatalaksana gizi buruk (sumber : buku pedoman pelayanan anak gizi buruk
kemenkes 2011; IDAI 2014)

19

3.5.1 Rawat inap pada penderita gizi buruk


Pada buku paduan WHO 1999 (management of sever malnutrition) penderita gizi
buruk yang diwarat di RS dibagi menjadi dua tahap yaitu fase stabilisasi dan fase
rehabilitasi dengan tindakan atau kegiatan yang terdiri atas 10 langkah utama yaitu :
a. Atasi /cegah hipoglikemia
b. Atasi /cegahhipotermia
c. Atasi /cegahdehidrasi
d. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
e. Atasi /cegah infeksi
f. Memulai pemberian makan
g. Mengupayakan tumbuh-kejar
h. Memberikan stimulasi sensoris dan dukungan emosional
i. Mempersiapkan untuk tindak lanjut pasca perbaikan

Gambar 2. Bagan tatalaksana gizi buruk pada anak (sumber : tatalaksana gizi buruk pad
anak, kemenkes 2011)

3.5.2 Rawat jalan pada penderita gizi buruk


Anak peserta program Outpatient Therapeutic Program (OTP) ini dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan antropometri, terapi untuk penyakit penyerta dan

20

pemberian RUFT. Jumlah RUFT (Ready to use therapeutic food) diberikan berdasarkan
perhitungan penderita mendapat makanan atau RUFT sebanyak 200kkal/kgBB/hari, untuk
satu minggu. Anak gizi buruk diminta untuk datang seminggu sekali.
RUFT merupakann makanan padat energy, berbentuk pasta dengan bahan utamanya
adalah susu, gula, minyak, kacang tanah, vitamin dan mineral. Tiap sachet berisi 100 gram
dengan kandungan energy 500 kkal. Makanan ini setara dengan F100 yang
direkomendasikan WHO untuk penderita gizi buruk. RUFT mempunyai berberapa
kelebihan diantaranya : tinggi lemak (59%) dan rendah kandunagn air (1-2%). Namun
RUFT inni dibuat diprancis sehingga harganya masih mahal.
Oleh karena itu tatalaksana gizi buruk di Indonesia masih digunakan F100 atau F100
ditambah makanan sapihan padat gizi. Pemberian makanan pada anak gizi buruk
kebutuhan energy hanya dapat dicapai jika konsentrasi lemak tinggi pada makanan.

Gambar 3. Pemberian makan pada anak gzi buruk Outpatient Therapeutic Program (OTP)
(sumber : tatalaksana gizi buruk pad anak, kemenkes 2011).

3.6. Tuberkulosis

A. Epidemiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14
tahun.
21

Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua


kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2%
pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8%
sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada
level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14
tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok
umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus
TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.


B. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
Kejang, kaku kuduk
22

Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak napas

Penegakan Diagnosis
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH
profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat
diagnostik utama pada TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan
dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila
terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah
terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin
dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap
dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke
RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

23

C. Paduan OAT Anak


OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

24

o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan,
OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum
obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal
prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu
dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi
perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

25

26

BAB IV
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis didapatkan keluhan utama benjolan pada leher. Sejak empat bulan yang
lalu pasien mengeluh muncul benjolan pada leher, dada kiri dan axilla. Berdasarkan anatomis
letak benjolan dipikirkan suatu pembesaran KGB. Menurut Respirologi IDAI, 2012,
pembesaran KGB superfisialis yang sering terkena adalah kelenjar limfe koli anterior dan
posterior, tetapi juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula dan supraklavikula.
Pada pemeriksaan khusus, ditemukan pembesaran KGB pada leher regio coli dekstra
dengan bekas biopsi basah dan sekret (+), multiple >1 cm berlekatan dengan ukuran total
7X15 cm, kenyal, mobile, hangat dan terdapat nyeri tekan. Pembesaran KGB juga terdapat
pada throrak sinistra dan axilla. Secara klinis, karaketristik pembesaran KGB yang sering
dijumpai biasanyan multiple, unilateral, mudah digerakan, dan melekat. Nyeri tekan dan
hangat merupakan suatu tanda terjadinya proses inflamasi pada KGB. Pembesaran KGB
superfisialis paling sering merupakan manifestasi dari infeksi TB. Hal ini didukung oleh hasil
biopsi didapatkan kesan limfadenitis kronis granulomatous spesifik lazimnya e.c tuberculosis
pada regio coli, regio axilla dekstra dan region thorak anterior. Sehingga kami menyimpulkan
bahwa terdapat limfadenitis TB pada pasien ini.
Pada anamnesis didapatkan keluhan tambahan demam, nyeri kepala, dan batuk. Sejak 6
bulan yang lalu anak mengeluh demam tidak terlalu tinggi dan batuk berdahak berwarna
putih. Satu hari SMRS pasien masih mengeluh batuk berdahak, demam terus menerus, sesak
napas hilang timbul, sesak tidak dipengaruhi cuaca dan posisi, sesak tidak berkurang dengan
istirahat. Riwayat imunisasi tidak pernah dilakukan, riwayat keluraga menderita sakit paru-
paru minum obat 6 bulan ada. Berdasarkan respirologi idai, 2012, gejala umum pada TB anak
adalah demam lama (>2 minggu), demam tidak tinggi, batuk > 3 minggu, Berat badan turun
tanpa sebab yang jelas nafsu makan yang turun tanpa sebab yang jelas. Pada kasus ini gejala
klinis yang tampak pada pasien sesuai dengan gejala umum pada TB paru anak, sehingga
dapat dicurigai sebagai TB paru anak. Tidak dilakukan imunisasi (BCG), terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif) dan tinggal di daerah endemis TB
merupakan faktor risiko terjadinya infeksi TB pada pasien ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada perkusi thorak bunyi sonor pada paru kanan
dan redup pada paru kiri, pada auskultasi bunyi vesikuler kiri menurun. Pemeriksaan BTA
positif S(+), P(+), S(+), dengan skor TB 12 (uji tuberkulin +). Sehingga ditegakan diagnosis
TB paru.
27

Anamnesis food recall didapatkan bahwa 6 bulan lalu pasien mengalami penurunan
nafsu makan, makan nasi porsi sebanyak 3x sehari dengan lauk yang tidak beragam seperti
telur dan ikan, berat badan pasien saat itu 26 kg. Empat bulan sebelum masuk rumah sakit Ibu
pasien merasa pasien bertambah kurus, pasien hanya makan nasi sebanyak porsi dengan
frekuensi 3x sehari. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit, nafsu makan dan berat badan
semakin menurun. Anamnesis riwayat makan didapatkan kesan kuantitas kurang dan kualitas
kurang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status gizi BB/U= p5 (20/40= 50%) severe
wasted, TB (PB)/U = <p5 (134,5/149= 90%) mild stunted, BB/TB (PB) = 20/29 = 68,9%
severe wasted (gizi buruk), LILA 11 cm. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan iga
gambang, anak tampak kurus, edema tidak ada, sehingga didapatkan kesan gizi buruk.
Menurut Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit metabolik IDAI, 2014, diagnosis gizi
buruk dapat ditegakan dengan kriteria terlihat sangat kurus, edema nutrisional, LILA <115
dan BB/TB <-3SD atau untuk remaja dnegan nilai IMT cut-off <P5. Iga gambang dan tidak
terdapat edema merupakaan ciri khas dari gizi buruk tipe marasmus. Pada rentang usia 10-18
tahun (remaja) gizi buruk paling sering terjadi akibat penyakit kronis, salah satunya yang
paling sering adalah Tuberculosis. Menurut Respirologi Idai, 2012, berat badan turun tanpa
sebab yang jelas nafsu makan yang turun tanpa sebab yang jelas merupakan gejala umum dari
infeksi TB.
Tatalaksana gizi buruk pada kasus ini dibagi berdasarkan adanya komplikasi dan tidak
ada komplikasi pada gizi buruk. Komplikasi yang dimaksud berdasarkan IDAI, 2014 adalah
anoreksia, penumonia berat, anemia berat, demam tinggi, dehidrasi berat, letargis, hipotermia
dan hipoglikemia sehingga harus diwarat inap. Pada kasus ini termasuk kedalam gizi buruk
tanpa komplikasi, dimana pasien dapat dirawat jalan. Pasien ini dirawat inap karena adanya
infeksi akibat TB yang ia derita, sehingga tatalaksana gizi kami memberikan F100 dengan
tetap memberikan makanan padat. Makanan padat yang kami pilih adalah makanan dengan
kadar lemak yang tinggi yaitu 50-60 %. Pada anak dengan gizi buruk sering terjadi defisiensi
mikronutrien, IDAI, 2014, sehingga kami memberikan asam folat dan suplemen multivitamin.
Untuk penatalaksanaan TB kami memberikan FDC sebanyak 4 tablet per hari sesuai dengan
berat badan pasien yaitu 20kg .

28

DAFTAR PUSTAKA

Kemenskes, 2013 Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Kemenkes: Jakarta


Kemenkes. 2013. Buku Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Kemekes: Jakarta
Rahajoe, Nastiti N, dkk. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. IDAI : Jakarta
Sjarif, Damayanti Rusli, dkk. 2014. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metabolik. IDAI : Jakarta
Briend, A. 2014. Measuring the burden of severe acute malnutrition. University of
Copenhagen, Denmark.

Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 2014. Panduan
Praktik Klinik (PPK) Divisi Nutrisi & Penyakit Menular. RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang, hal 242-8.

Depkes RI. 2015. Situasi dan Analisis Gizi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta, hal 1-2.

Direktorat Bina Gizi. 2011. Bagian Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku 1, cetakan keenam.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, hal 1-19.

Manary, M.J., Heikens, G.T., and Golden, M. 2009. Kwashiorkor: more hypothesis testing is
needed to understand the etiology of oedema. Mal med jour, 21(3):106-7.

Nelson. 2007. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Behman Kliegman Alvin: EGC, Jakarta.

Rabinowitz, S.S. 2014. Marasmus. University of New York Downstate College of Medicine,
New York.

Word Health Organization. 2010. Community-based management of severe acute


malnutrition. WHO, Geneva.

29

Você também pode gostar