Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Sebagian besar manajemen farmakologi yang dilakukan pada pasien fraktur bertujuan
untuk meredakan nyeri yang dialami oleh pasien. Nyeri pada fraktur disebabkan oleh perdarahan,
pembengkakan, pergerakan abnormal pada jaringan lunak di sekitarnya, dan pelepasan mediator-
mediator inflamasi. Nyeri yang dialami oleh pasien fraktur biasanya merupakan nyeri yang
sangat hebat, sehingga analgesik opioid, seperti morfin menjadi sebuah pilihan terakhir jika
analgesik lainnya tidak berhasil mengurangi nyeri. Obat anti-inflamasi nonsteroid tidak
dianjurkan untuk digunakan karena sifatnya yang menghambat COX-1 dan COX-2akan
menghambat proses penyembuhan.
1. Ketorolak
Ketorolak termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat analgesik yang kuat dan
efek anti inflamasi sedang. Ketorolak bekerja secara selektif menghambat COX-1. Absorpsi
ketorolak berlangsung cepat, baik itu melalui oral, maupun intramuskular. Ketorolak dapat
dipakai sebagai pengganti morfin dan penggunaannya dengan analgesik opioid dapat
mengurangi kebutuhan opioid sebesar 20-50%. Dosis intramuskular ketorolak sebesar 30-60
mg, secaraintravena sebesar 15-30 mg, dan secara oral sebesar 5-30 mg. Ketorolak bersifat
toksik pada beberapa organ, seperti hati, lambung, dan ginjal jika digunakan dalam jangka
waktu lebih dari5 hari.
2. Morfin
a. Farmakodinamik
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor . Morfin menimbulkan analgesia
dengan cara berikatan pada reseptor opioid pada SSP dan medula spinalis yang berperan
pada transmisi dan modulasi nyeri. Reseptor opioid terdapat pada saraf yang
mentransmisi nyeri di medulla spinalis dan aferen primer yang merelai nyeri. Reseptor
opioid membentuk g-protein coupled receptor. Morfin yang ditangkap reseptor aferen
primer akan mengurangi pelepasan neurotransmitter yang selanjutnya akan menghambat saraf
yang mentransmisi nyeri di kornudorsalis medula spinalis. Selain itu, morfin juga
menghasilkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor di otak. Analgesi pada
penggunaan morfin dapat timbul sebelum pasien tidur dan kadang tanpa disertai tidur.
Pemberian morfin dalam dosis kecil (5-10 mg) akan menyebabkan euforia pada pasien
yang sedang nyeri. Namun, pemberian morfin dengan dosis15-20 mg, pasien akan
tertidur cepat dan nyenyak. Efek analgetik morfin dan opioid lain sangatselektif dan
tidak disertai hilangnya fungsi sensorik lain. Yang terjadi adalah perubahan reaksi
terjadap stimulus nyeri, jadi stimulus nyeri tetap ada namun reaksinya berbeda.
b. Farmakokinetik
Pada umumnya, morfin diberikan secara oral maupun parenteral dengan efek
analgetik yang ditimbulkan pemberian oral jauh lebih rendah daripada pemberian
parenteral. Kemudian, morfinakan mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di
hati. Ekskresi morfin terutama dilakukan oleh ginjal dan sebagian kecil morfin bebas
terdapat di tinja dan keringat.
Morfin dan opioid lain terutama di indikasikan untuk meredakan nyeri hebat yang tidak
dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering digunakan untuk nyeri yang
menyertai
1) infark miokard
2) neoplasma
3) kolik renal atau kolik empedu
4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau coroner
5) perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan, dan
6) trauma misalnya luka bakar, fraktur, dan nyeri pasca bedah