Você está na página 1de 3

Terapi farmakologi pada pasien dengan fraktur, terdiri dari :

a. Reposisi terbuka, fiksasi eksternal.


b. Reposisi tertutup kontrol radiologi diikuti interial.
Terapi ini dengan reposisi anatomi diikuti dengan fiksasi internal. Tindakan pada
fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin, penundaan waktu dapat mengakibatkan
komplikasi. Waktu yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam berikan toksoid, anti
tetanus serum (ATS) / tetanus hama globidin. Berikan antibiotik untuk kuman gram positif
dan negatif dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dari
dasar luka fraktur terbuka. (Smeltzer, 2001).

Sebagian besar manajemen farmakologi yang dilakukan pada pasien fraktur bertujuan
untuk meredakan nyeri yang dialami oleh pasien. Nyeri pada fraktur disebabkan oleh perdarahan,
pembengkakan, pergerakan abnormal pada jaringan lunak di sekitarnya, dan pelepasan mediator-
mediator inflamasi. Nyeri yang dialami oleh pasien fraktur biasanya merupakan nyeri yang
sangat hebat, sehingga analgesik opioid, seperti morfin menjadi sebuah pilihan terakhir jika
analgesik lainnya tidak berhasil mengurangi nyeri. Obat anti-inflamasi nonsteroid tidak
dianjurkan untuk digunakan karena sifatnya yang menghambat COX-1 dan COX-2akan
menghambat proses penyembuhan.
1. Ketorolak
Ketorolak termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat analgesik yang kuat dan
efek anti inflamasi sedang. Ketorolak bekerja secara selektif menghambat COX-1. Absorpsi
ketorolak berlangsung cepat, baik itu melalui oral, maupun intramuskular. Ketorolak dapat
dipakai sebagai pengganti morfin dan penggunaannya dengan analgesik opioid dapat
mengurangi kebutuhan opioid sebesar 20-50%. Dosis intramuskular ketorolak sebesar 30-60
mg, secaraintravena sebesar 15-30 mg, dan secara oral sebesar 5-30 mg. Ketorolak bersifat
toksik pada beberapa organ, seperti hati, lambung, dan ginjal jika digunakan dalam jangka
waktu lebih dari5 hari.

2. Morfin
a. Farmakodinamik
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor . Morfin menimbulkan analgesia
dengan cara berikatan pada reseptor opioid pada SSP dan medula spinalis yang berperan
pada transmisi dan modulasi nyeri. Reseptor opioid terdapat pada saraf yang
mentransmisi nyeri di medulla spinalis dan aferen primer yang merelai nyeri. Reseptor
opioid membentuk g-protein coupled receptor. Morfin yang ditangkap reseptor aferen
primer akan mengurangi pelepasan neurotransmitter yang selanjutnya akan menghambat saraf
yang mentransmisi nyeri di kornudorsalis medula spinalis. Selain itu, morfin juga
menghasilkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor di otak. Analgesi pada
penggunaan morfin dapat timbul sebelum pasien tidur dan kadang tanpa disertai tidur.
Pemberian morfin dalam dosis kecil (5-10 mg) akan menyebabkan euforia pada pasien
yang sedang nyeri. Namun, pemberian morfin dengan dosis15-20 mg, pasien akan
tertidur cepat dan nyenyak. Efek analgetik morfin dan opioid lain sangatselektif dan
tidak disertai hilangnya fungsi sensorik lain. Yang terjadi adalah perubahan reaksi
terjadap stimulus nyeri, jadi stimulus nyeri tetap ada namun reaksinya berbeda.
b. Farmakokinetik
Pada umumnya, morfin diberikan secara oral maupun parenteral dengan efek
analgetik yang ditimbulkan pemberian oral jauh lebih rendah daripada pemberian
parenteral. Kemudian, morfinakan mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di
hati. Ekskresi morfin terutama dilakukan oleh ginjal dan sebagian kecil morfin bebas
terdapat di tinja dan keringat.

Morfin dan opioid lain terutama di indikasikan untuk meredakan nyeri hebat yang tidak
dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering digunakan untuk nyeri yang
menyertai
1) infark miokard
2) neoplasma
3) kolik renal atau kolik empedu
4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau coroner
5) perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan, dan
6) trauma misalnya luka bakar, fraktur, dan nyeri pasca bedah

Morfin bersifat adiksi yang menyangkut tiga fenomena, yaitu


1) habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan morfin
2) ketergantungan fisik, yaitu ketergantungan kerena faal dan biokimia tubuh tidak
berfungsilagi tanpa morfin
3) adanya toleransi
3. Metadon
Efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg morfin. Metadon dapat
diberikan secara oral dan parenteral. Setelah masuk ke darah, biotransformasi metadon
terutama akan berlangsung di hati. Setelah itu, sebagian besar metadon akan diekskresikan
melalui utindan tinja.
Metadon diberikan untuk meredakan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin. Pada
dosis yang ekuianalgetik, metadon sedikit lebih kuat dari pada morfin. Efek analgetik mulai
timbul 10-20 menit setelah pemberian parenteral dan 30-60 menit setelah pemberian
oral.Metadon biasanya digunakan sebagai pengganti morfin untuk mencegah timbulnya gejala
putus. Gejala putus obat yang ditimbulkan oleh metadon tidak sekuat yang ditimbulkan oleh
morfin, tetapi berlangsung lebih lama. Dosis pemberian metadon secara oral adalah 2,5-15
mg dan 2,5-10 mg untuk pemberian secara parenteral.
Selain sebagai penghilang rasa nyeri yang ada, manajemen farmakologi pada fraktur juga
bersifat profilaksis. Hal ini dilakukannya khususnya pada fraktur terbuka dan fraktur yang
akan segera dilakukan fiksasi interna. Umumnya, diberikan antibiotik cephalosporin
generasi 1dengan dosis 1 gram pada fraktur yang akan segera difiksasi interna. Untuk fraktur
terbuka, antibiotik yang diberikan disesuaikan besar luka yang terbentuk. Jika lukanya
bersih dan luasnya kurang dari 1 cm, cephalosporin generasi pertama dengan dosis 1 gram
sudah cukup. Jika lukanya lebih luas, harus ditambahkan pemberian antibiotik khusus gram
negatif. Jika lukanya tampak agak kotor, pemberian 1,5 mg gentamicin juga harus dilakukan
dan jika lukanya tampak sangat kotor harus dilakukan pemberian penicillin untuk mencegah
infeksi Clostridium.

Você também pode gostar