Você está na página 1de 25

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA

STUDI ABSORPSI OBAT SECARA IN VITRO

Disusun oleh:

Kelompok 1
Nama NPM Tugas

Ayu Apriliani 260110140078 Teori Dasar


Putri Raraswati 260110140079 Tujuan, Prinsip,
Simpulan, Editor
Ummmi Habibah 260110140080 Data Pengamatan
Ayyu Widyazmara 260110140081 Pembahasan
Anggia Diani Amaliah 260110140082 Pembahasan
Siti Nurrohmah 260110140083 Data Pengamatan
Ai Siti Rika F 260110140084 Pembahasan
Nisa Maulani N 260110140085 Pembahasan
Tiffany Sabilla R 260110140086 Teori Dasar
Nurmalia Saraswati 260110140087 Alat Bahan Prosedur

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016
I. Tujuan
Mempelajari pengaruh pH terhadap asorpsi obat melalui saluran
pencernaan secara in vitro.

II. Prinsip Percobaan


2.1 Absorpsi
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul
obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah
melewati sawar biologik (Aiache, et al., 1993).

2.2 Derajat Ionisasi


Derajat ionisasi adalah proporsi dari partikel netral pada gas dan
larutan cair yang dapat terionisasi sehingga menjadi partikel bermuatan.
Zat atau senyawa yang sangat kecil nilai derajat ionisasinya dikatakan
sebagai zat yang "terionisasi sebagian" sedangkan yang memiliki derajat
ionisasi tinggi disebut "terionisasi sempurna". Ionisasi merupakan proses
ketika atom atau molekul kehilangan satu elekron, sehingga menghasilkan
dua partikel dengan muatan berlawanan, partikel bermuatan positif dan
bermuatan negatif. Definisi derajat ionisasi ini juga digunakan sebagai
acuan untuk mendeskripsikan suatu larutan elektrolit dan nonelektrolit
(Batubara, 2008).

2.3 Persamaan Henderson-Hasselbach


Persamaan ini digunakan dalam perhitungan pH suatu larutan buffer.
Rumus yang berhubungan dengan nilai pH dari suatu larutan dengan nilai
pKa asam dalam larutan dan rasio dari asam dan konsentrasi konjugat
basa:
pH = pKa + log((A)/(HA))
Keterangan:
(A) : konsentrasi konjugat basa
(HA) : konsentrasi asam protonasi
Untuk sistem buffer bikarbonat dalam darah, digunakan rumus:
pH = pK + log((HCO3)/(CO2))
Nilai pK untuk plasma darah adalah 6,10 dan termasuk konstanta
disosiasi pertama dari H2CO3, hubungan antara (H2CO3) dan (CO2), dan
koreksi lain. Tekanan parsial CO2 dikalikan dengan kelarutan dalam
plasma pada 38 C (0.0301 mM/mm Hg) umumnya digantikan
dengan(CO2). Ketika konsentrasi plasma bikarbonat 24 mEq/L dan PCO2
40 mm Hg, nilai pH adalah 6.10 + log (24/0.0301 40) = 7,40.
(Shargel, 2012).
2.4 Difusi
Difusi merupakan suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat
yang dibawa oleh gerakan molecular secara acak dan berhubungan dengan
adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas (Martin
et al.,2008).

2.5 Kecepatan Transport Obat


Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat
atau metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Untuk
dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat.
Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik,
dan fase farmakodinamik (Batubara, 2008).

III. Teori Dasar

Proses absorpsi merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas


farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Faktor
mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute
masuk obat, aliran darah ketempat pemberian, fungsi saluran pencernaan
(Gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain, dan variable lainnya (Abrams,
2005).
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke
dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar
biologic. Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan
efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di
jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada
umumnya, membrane sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai
membran lipid semipermeabel (Shargel and Yu, 1988). Sebelum obat diabsorpsi,
terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta cepat-lambatnya
melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per
oral, cairan biologis utama adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui
membrane biologis obat masuk keperedaran sistemik (Joenoes, 2002).
Absorbsi obat berkaitan dengan mekanisme input obat ke dalam tubuh dan ke
dalam jaringan atau organ di dalam tubuh. Disposisi dapat dibedakan menjadi
distribusi dan eliminasi. Setelah obat memasuki sirkulasi sistemik pbat
didistribusikan ke jaringan tubuh. Penetrasi obat ke dalam jaringan bergantung pada
laju aliran darah ke jaringan, karakteristik pasrisi antara darah dan jaringan tercapai
(Sinko, 2012).
Pada obat yang diberikan secara peroral absorbs obat dapat terjadi pada saluran
cerna. Jadi saluran cerna memegang peranan penting terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan laju dan keberadaan absorbs obat. Faktor-faktor tersebut
diantaranya:
1. Sawar membrane saluran cerna
2. pH saluran cerna
3. kestabilan obat dalam saluran cerna.
4. Interaksi obat dan kompleksasi

Bila diasumsikan bahwa dalam saluran cerna tidak ada yang menghalangi
absorbsi setelah obat berada dalam keadaan terlarut, maka obat (molekul) harus
kontak dengan saluran cerna kalau obat itu telah terdifusi dari cairan salran cerna
ke permukaan membran (Syukri, 2002).
Disolusi dan absorbsi obat dalam saluran cerna tidak sederhana karena pH cairan
bulk bisa berbeda secara bermakna dari pH lapisan stationer di sekeliling partikel-
partikel obat. Pengisi, pengikat dan zat penambah lainnya dalam bentuk sediaan
bisa juga dipengaruhi oleh pH. pH partisi absorbsi obat dari saluran cerna bisa
dipengaruhi oleh pH cairan dan pKa obat tersebut tapi prinsip ini juga harus dilihat
dengan beberapa hal yang harus diperhatikan seperti setelah diterangkan
sebelumnya. Faktor-faktor lain seperti:
1. Tempat absorbsi spesifik dan luas permukaan dari berbagai daerah saluran
cerna mungkin sama pentingnya atau lebih penting dari pertimbangan asam
basa.
2. Usus halus mempunyai luas permukaan untuk absorbsi yang jauh lebih besar
diabsorbsi di sana tanpa melihat pertimbangan pH atau pKa (martin, 1993).

Obat pada umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan secara difusi pasif m
elalui membrane selular. Obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif hanyalah
yang larut dalam lipid. Makin baik kelarutannya dalam lipid, maka baik absorpsinya
sampai suatu absorpsi optimum tercapai. Obat-obat yang digunakan
sebagian besar bersifat asam atau basa organik lemah. Absorpsi obat dipengaruhi
derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan membran. Membran
sel lebih permeable terhadap bentuk obat yang tidak terionkan dari pada bentuk obat
yang terionkan. Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa obat seperti
terlihat pada persamaan Henderson-Hasselbach sebagai berikut :

(Watson,2007).
Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai
peranan dalam homeostasis. Kulit terdiri dari 3 lapisan epidermis, dermis dan
jaringan subkutan. Absorpsi bahan dari luar kulit ke posisi di bawah kulit
tercakup masuk kedalam aliran darah, disebut sebagai absorpsi perkutan (Ansel,
1999). Tahap penentuan kecepatan absorpsi perkutan melalui kulit yang utuh
adalah difusi/penetrasi melintasi stratum korneum (Sulaiman dan
Kuswahyuning, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan suatu bahan obat dari
suatu sediaan ke dalam kulit:
1. Tipe dan sifat kulit, yaitu keadaan kulit, jenis kulit, lokalisasi nilai pH
dan penanganan kulit secara langsung akan mempengaruhi absorbsi obat
melalui kulit.
2. Sifat dan pengaruh bahan obat, yaitu konsentrasi, kelarutan dalam
dasar/basis, ukuran molekul, kemampuan difusi, kecepatan melarut, daya
disosiasi, distribusi antara fase dari salep, koefisien distribusi salep-kulit,
kelarutan dalam lemak kulit, ikatan pada protein kulit, ukuran partikel dan
distribusi partikel.
3. Sifat dan pengaruh sediaan obat, yaitu sifat pembawa (hidrofil, lipofil, jenis
emulsi), komposisi pembawa, pembasahan kulit oleh pembawa(penambahan
tensid), viskositas pembawa, perubahan pembawa pada kulit (menguap),
perubahan kulit melalui pembawa (hidratasi), dan penyebaran pada kulit
(bidang yang dilapisi, tebal lapisan)
(Sulaiman dan Kuswahyuning, 2008).

Absorpsi perkutan dari kebanyakan obat dihambat/dibatasi oleh sifat


permeabilitas kulit yaitu tahap batasan kecepatan berupa difusi melintasi stratum
korneum atau sawar kulit. Difusi melalui kulit selalu merupakan proses pasif
dan mengikuti Hukum Fick dan kecepatan difusi dapat ditulis dengan rumus:
Obat yang mempunyai afinitas kuat terhadap dasar salep menunjukkan
koefisien aktivitas yang rendah, akibatnya pelepasan obat terhadap dasar salep
akan tinggi bila afinitas obat terhadap dasar salep rendah. Koefisien partisi suatu
zat dengan kemampuan penetrasinya menembus kulit orang dapat dirumuskan
sebagai berikut:

Kadar obat dalam lapisan atas stratum korneum dan dasar salep yaitu
K.P. Koefisien permeabilitas:

Hukum Fick yang diperluas menunjukkan bahwa kecepatan difusi obat


menembus sawar kulit tergantung langsung pada koefisien partisi dan pada
kadar obat yang terlarut dalam dasar salep (Anief, 2005). Difusi pasif merupakan
bagian terbesar dari proses transmembran bagi umumnya obat-obat (Shargel et
al., 2005).

IV. Alat dan Bahan

4.1 Alat

1. Alat-alat gelas
2. Alat-alat utnuk operasi
3. pH meter
4. Spektrofotometer
5. Tabung Crane dan Wilson yang dimodifikasi
6. Timbangan analitik
7. Water-bath (penangas air)

4.2 Bahan
1. Alkohol
2. Asam salisilat
3. Cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2), cairan usus buatan tanpa
pankreatin (pH 7,5)
4. Eter
5. Gas oksigen
6. Larutan NaCl 0,9 % b/v
7. Sebagai hewan percobaan digunakan tikus putih jantan
8. Seng sulfat dan barium hidroksida

V. Prosedur
maksimum ditentukan. Kurva baku dibuat. Absorpsi pada usus halus
tikus ditentukan. Lalu usus halus yang sudah dipreparasi disiapkan. Usus
diukur dengan panjang efektif 7 cm yang sebelumnya diisi dengan cairan
serosal 1,4 mL (terdiri dari larutan natrium klorida 0,9 % b/v). Kemudian
dimasukkan ke dalam tabung berisi cairan mukosal 75 mL (yang tidak
mengandung bahan obat).
Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian usus dijaga agar dapat
terendam dalam cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen dengan
kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit. Pada waktu tertentu kadar
obat dalam cairan serosal ditentukan. Untuk penentuan ini seluruh cairan
serosal diambil melalui kanula dan segera dicuci dengan larutan 0,9 % b/v
natrium klorida, kemudian diisi lagi dengan 1,4 mL larutan 0,9 % b/v
natrium klorida. Dilakukan analisis dengan cara diambil 1 ml sampel
kemudian ditambah dengan 2 ml larutan sengsulfat 5 % dan 2 mL barium
hidroksida 0,3 N, kemudian larutan dikocok dan disentrifugasikan selama 5
menit. Diambil bagian yang jernih, kemudian dibaca pada panjang
gelombang maksimum.

VI. Data Pengamatan

6.1 Pembuatan Kurva Baku Asam Salisilat

Kurva Baku Asam Salisilat (Suasana Asam)


Absorbansi
Konsentrasi Rata-rata
1 2 3

5 ppm 0.2888 0.2886 0.2863 0.2879

10 ppm 0.3559 0.358 0.3564 0.356767

15 ppm 0.4189 0.418 0.4183 0.4184

20 ppm 0.5051 0.5032 0.506 0.504767

25 ppm 0.7257 0.7263 0.7306 0.727533

kurva kalibrasi asam salisilat (asam)


0.8
0.7 y = 0.1027x + 0.1509
0.6 R = 0.913
0.5
Axis Title

0.4 kurva kalibrasi asam


salisilat (asam)
0.3
0.2 Linear (kurva kalibrasi
asam salisilat (asam))
0.1
0
0 2 4 6
Axis Title
Kurva Baku Asam Salisilat (Suasana Basa)
Absorbansi
Konsentrasi Rata-rata
1 2 3

5 ppm 0.1852 0.1873 0.1892 0.187233

10 ppm 0.3536 0.3535 0.3545 0.353867

15 ppm 0.3579 0.358 0.3597 0.358533

20 ppm 0.5074 0.5144 0.5121 0.5113

25 ppm 0.7102 0.7157 0.7114 0.712433

kurva kalibrasi asam salisilat (medium basa)


0.8
y = 0.1208x + 0.0623
0.6
R = 0.9347
Axis Title

0.4
Series1
0.2
Linear (Series1)
0
0 2 4 6
Axis Title

6.2 Penentuan Kadar Asam


1. Suasana Asam (Kontrol)

Tabel absorbansi kontrol (tanpa obat)


Waktu Absorbansi Absorbansi Absorbansi Rata-rata
(menit) 1 2 3 Absorbansi
5 0.0526 0.0498 0.0493 0.05
10 0.2339 0.2372 0.2316 0.23
30 0.0779 0.0742 0.0739 0.08
45 0.0475 0.0491 0.0473 0.05
60 0.0906 0.0856 0.0902 0.09

2. Suasana Asam (Sampel)

Tabel absorbansi sampel asam salisilat dalam kondisi asam


Waktu Absorbansi Absorbansi Absorbansi Rata-rata
(menit) 1 2 3 Absorbansi
5 0,1183 0,1200 0,1173 0,1185
10 0,0247 0,0263 0,0217 0,0243
30 0,267 0,2653 0,2627 0,261
45 0,0585 0,0593 0,0574 0,0584
60 0,0250 0,0250 0,0221 0,024

Kadar Obat yang terlarut

y = 0.1027x + 0.1509
= x

(1) Menit ke 5

Kadar Asam salisilat (C5)


0,1185 = 0,1027x + 0,1509
0,10275x = -0,0324
x = -0,3154 ppm (g/ml)

(2) Menit ke 10

Kadar Asam salisilat (C10)


0,0243 = 0.1027x + 0.1509
0.1027x = -0,1266
x = -1,232 ppm (g/ml)
(3) Menit ke 30
Kadar Asam salisilat (C30)
0,261 = 0.1027x + 0.1509
0,1027x = 0,1101
x = 1,072 ppm (g/ml)

(4) Menit ke 45
Kadar Asam salisilat (C45)
0,0584 = 0.1027x + 0.1509
0.1027x = -0,9006
x = -8,770 ppm (g/ml)

(5) Menit ke 60
Kadar Asam salisilat (C60)
0,024 = 0.1027x + 0.1509
0,1027x = -0,1269
x = -1,235 ppm (g/ml)

Jumlah Obat yang terlarut

Qb = Kadar obat yang terlarut x Volume yang diambil

Sampel = 1 ml
Control = 1,4 ml

1. Menit ke 5
Jumlah Obat (Qb5) = -0,315 g/ml x 1 ml = -0,315 g
2. Menit ke 10
Jumlah Obat (Qb10) = -1,232 g/ml x 1 ml = -1,232 g
3. Menit ke 30
Jumlah Obat (Qb30) = 1,072 g/ml x 1 ml = 1,072 g
4. Menit ke 45
Jumlah Obat (Qb45) = -8,770 g/ml x 1 ml = -8,770 g
5. Menit ke 60
Jumlah Obat (Qb60) = -1,235 g/ml x 1 ml = -1,235 g
Tabel Kadar Dan Jumlah Obat
Waktu Kadar Jumlah Jumlah
(menit) obat C obat Qb obat
(g/mL) (g) kumulatif
(mg)
5 -0,315 -0,315 -0,315
10 -1,232 -1,232 -1,547
30 1,072 1,072 -0,475
45 -8,770 -8,770 -9,245
60 -1,235 -1,235 -10.48

Grafik Hubungan Jumlah Obat sampel


Kumulatif terhadap Waktu Kondisi Asam
2
Jumlah obat kumulatif (mg)

0
Jumlah
0 20 40 60 80
-2 obat
kumulatif
-4 (mg)
-6
-8
y = -0.1927x + 1.368
-10
R = 0.7929
-12
waktu

Dari hasil regresi linier antara waktu vs jumlah obat kumulatif didapat nilai:

a = -0.1927

b = 1.368

r2 = 0.7929

y = -0.1927x + 1.368
Ka = a = -0.1927/menit
Cg=0,01 M x Mr Asam Salisilat = 0,01 x 138 = 1,38 mg/mL
Slope = Pm Cg

0.1927
Pm = = -0,1396 cm/menit
1,38 /

Lag time
Pada saat y = 0 x = 7.099 menit

3. Suasana Basa (Kontrol)

Tabel absorbansi kontrol (tanpa obat)


Waktu Absorbansi Absorbansi Absorbansi Rata-rata
(menit) 1 2 3 Absorbansi
5 -0.0374 -0.0366 -0.0369 -0.0369
10 -0.0303 -0.0284 -0.0291 -0.0293
30 -0.0209 -0.0253 -0.0282 -0.0248
45 -0.0043 -0.0046 -0.0051 -0.0047
60 -0.0374 -0.0380 -0.0366 -0.0373

4. Suasana Basa (Sampel)

Tabel absorbansi sampel asam salisilat dalam kondisi basa


Waktu Absorbansi Absorbansi Absorbansi Rata-rata
(menit) 1 2 3 Absorbansi
5 0,2025 0,2045 0,2040 0,2037
10 0,2645 0,2595 0,2531 0,2590
30 0,3212 0,3123 0,3149 0,3161
45 0,2547 0,2543 0,2471 0,2520
60 0,4699 0,4657 0,4644 0,4667
Konsentrasi Obat yang Terlarut (C)
= 0,1208 + 0,0623

0,0623
==
0,1208

(1) Menit ke-5


0,20370,0623
Kadar obat terlarut (C5) = = 1,17 ppm = 1,17 g/mL
0,1208

(2) Menit ke-10


0,25900,0623
Kadar obat terlarut (C10) = = 1,63 ppm = 1,63 g/mL
0,1208

(3) Menit ke-30


0,31610,0623
Kadar obat terlarut (C30) = = 2,10 ppm = 2,10 g/mL
0,1208

(4) Menit ke-45


0,25200,0623
Kadar obat terlarut (C45) = = 1,57 ppm = 1,57 g/mL
0,1208

(5) Menit ke-60


0,46670,0623
Kadar obat terlarut (C60) = = 3,35 ppm = 3,35 g/mL
0,1208

Jumlah Obat Terlarut Sampel


Qb = Kadar obat yang terlarut (C) Volume yang diambil (V)

Volume Sampel yang diambil 1 mL

Volume Kontrol yang diambil 1,4 mL

1. Menit ke-5
Jumlah Obat (Qb5) = 1,17 1 = 1,17 g

2. Menit ke-10
Jumlah Obat (Qb10) = 1,63 1 = 1,63 g
3. Menit ke-30
Jumlah Obat (Qb30) = 2,10 1 = 2,10 g
4. Menit ke-45
Jumlah Obat (Qb45) = 1,57 1 = 1,57 g
5. Menit ke-60
Jumlah Obat (Qb60) = 3,35 1 = 3,35 g

Tabel Kadar dan Jumlah Obat

Waktu Kadar Jumlah Jumlah


(menit) Sampel Sampel Sampel
(C) (Qb) Kumulatif
(g/mL) (g) (g)
5 1,17 1,17 1,17
10 1,63 1,63 2,8
30 2,10 2,10 4,9
45 1,57 1,57 6,47
60 3,35 3,35 9,82

Grafik Hubungan Jumlah Obat Kumulatif terhadap


Waktu Kondisi Basa
12
Jumlah obat kumulatif (mg)

10 y = 0.1425x + 0.7567
8 R = 0.9724
6
Y-Values
4
Linear (Y-Values)
2
0
0 20 40 60 80
waktu
Dari hasil regresi linier antara jumlah obat (sampel) kumulatif
terhadap waktu, didapat nilai:

a = 0,1425

b = 0,7567

y = 0,1425x + 0,7567

Nilai

= = 0,1425/
= = 0,01 138 = 1,38 /
0,1425
= = = 0,10326
1,38 /
= 1,7210 103 /
Lag time nilai x saat y = 0
0 = 0,1425 + 0,7567
= 5,31017 = 318,61

VII. Pembahasan

Absorbsi suatu obat melalui saluran pencernaan merupakan proses


penyerapan obat ke dalam tubuh yang paling umum terjadi mengingat banyaknya
obat yang diformulasi sebagai sediaan enteral. Kebanyakan obat mengalami
penyerapan pada daerah usus, faktor anatomi yang bertanggungjawab pada
penyerapan molekul asing baik obat ataupun ntrisi adalah mukosa pada epitel usus.
Permukaan epitel usus berkelok-kelok sehingga memungkinkan memiliki tempat
penyerapan yang besar.
Pengujian secara in vitro absorbs suatu obat dilakukan menggunakan usus
tikus dengan alat tabung Crane Wilson. Tabung ini dirancang untuk simulai
proses absorbs zat asing (misal: obat) dari usus ke dalam cairan serosal.

Gambar Tabung Crane Wilson

Preparasi tabung Crane Wilson dilakukan dengan memasukkan ujung


bawah kanula (pipa B) pada salah satu ujung usus tikus yang sudah diisolasi dan
dibalikkan (lapisan mukosa di luar dan lapisan serosa di dalam) dan bagian luarnya
diikat dengan benang agar tidak jatuh. Bagian bawah usus diikatkan pada bagian
pipa C. Cairan mukosa (dapat fospat pH 7.4) diletakkan pada bagian dalam tabung
(larutan dapar) sedangkan cairan serosal (NaCl 0.9 %) diletakkan dalam usus.

Pada pengujian absorbsi obat melalui usus diperlukan larutan seng sulfat
dan barium hidroksida dan selng sulfat untuk menarik zat aktif dalam sampel.

Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat


kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar
biologik. Dalam mencapai tempat kerja suatu obat di jaringan atau organ, obat
tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada umumnya membran sel
mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid yang
semipermeabel. Kelarutan molekul obat dalam lipid inilah yang merupakan faktor
utama absorbsi obat dalam tubuh.

Metode Uji Vitro adalah metode uji penyerapan obat dilakukan di tubuh,
dapat menggunakan organ terisolasi lainnya. Dalam uji in vitro terdiri dari beberapa
jenis: tes permeasi (uji difusi, metode terbalik usus, serta CaCO -2 monolayer sel),
pengujian disolusi, serta tes disintegrasi.

Studi absorpsi in vitro dimaksudkan untuk memperoleh informasi


tentang mekanisme absorpsi suatu bahan obat, tempat terjadinya absorpsi
yang optimal, permeabilitas membrane saluran pencernaan terhadap berbagai obat,
serta pengaruh berbagai faktor terhadap absorpsi suatu obat.
Usus halus mempunyai karakteristik anatomi dan fisiologi yang lebih
menguntungkan untuk penyerapan obat. Pentingnya permukaan penyerapan pada
usus halus terutama karena banyaknya lipatan-lipatan mukosa yang terutama
banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum (Aiache, et al., 1993). Metode in
vitro pada usus halus mempunyai kekurangan yang disebabkan oleh
ketidakmampuan usus halus untuk mempertahankan strukturnya dalam jangka
waktu yang lama.
Percobaan yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH terhadap
absorbsi asam salisilat di saluran pencernaan secara in vitro. Pengukuran
permeabilitas asam salisilat secara in vitro untuk mengetahui kemampuan asam
salisilat melewati saluran cerna. Usus yang digunakan sebagai membran fisiologi
yang disesuaikan dengan keadaan lambung dengan pemberian cairan mukosal tanpa
pepsin pH 7,5 yang telah dicampur dengan asam salisilat. Obat yang digunakan
akan melewati membran dengan cara difusi pasif.

Difusi yang terjadi merupakan difusi pasif yaitu suatu proses perpindahan
masa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah
tanpa membutuhkan energi. Membran dalam kajian formulasi dan biofarmasi
merupakan suatu fase padat, setengah padat atau cair dengan ukuran tertentu, tidak
larut atau tidak tercampurkan dengan lingkungan sekitarnya dan dipisahkan satu
dengan lainnya, umumnya oleh fase cair. Dalam biofarmasi, membran padat
digunakan sebagai model pendekatan membran biologis. Membran padat juga
digunakan sebagai model untuk mempelajari kompleks atau interaksi antara zat
aktif dan bahan tambahan serta proses pelepasan dan pelarutan. Membran difusi
tiruan ini berfungsi sebagai sawar yang memisahkan sediaan dengan cairan
disekitarnya.

Pada percobaan ini dilakukan penggantian cairan serosal selama 60 menit


dengan selang waktu 15 menit, yang bertujuan untuk tetap menjaga usus berada
dalam kondisi sink. Secara normal dalam tubuh akan terjadi kondisi sink, karena
darah telah mengabsorbsi obat terdistribusi secara merata ke dalam seluruh jaringan
tubuh dan darah pada daerah yang mengabsorbsi obat akan diganti dengan darah
baru yang belum mengaborbsi obat. Transport yang terjadi pada usus ini adalah
secara difusi pasif dari konsentrasi tinggi ke rendah dengan melewati membran
semipermiabel. Dalam percobaan ini maka obat asam salisilat dari cairan mukosa
diabsorbsi ke dalam cairan serosal. Difusi pasif mengalami kesetimbangan bila
jumlah obat yang menembus membran luar sama dengan jumlah obat yang
menembus membran dalam.
Pada umumnya obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Salah satu faktor
pemilihan tempat absorbsi obat yaitu berdasarkan sifat fisika kimia obat. Absorbsi
obat dalam tubuh kebanyakan dalam bentuk tak terion karena obat tak terion lebih
mudah dilewati membran. Pada percobaan ini asam salisilat memiliki sifat asam
lemah, sehingga laju absorpsi obat ditentukan oleh besarnya ionisasi yg dipengaruhi
oleh pKa dan pH medium. Jika obat yang bersifat asam lemah disesuaikan pada dua
tempat pemberian/tempat absorbsi yaitu lambung dan usus akan menunjukkan
bahwa asam lemah dalam bentuk tak terion banyak terdapat di lambung karena sifat
lambung yang asam sehingga obat asam lemah hanya akan terion sedikit atau tidak
akan terion. Di dalam usus, obat asam lemah akan terdapat banyak zat terion
sehingga absorbsi obat asam lemah paling banyak terabsorbsi di lambung. Tetapi,
usus dapat pula mengabsorbsi obat lebih maksimal karena luas permukaannya
yang lebih luas.
Penelitian secara in vitro dilakukan dengan menggunakan metode kantung
usus terbalik untuk menentukan daya absorbsi asam salisilat pada usus halus tikus
dengan perbedaan suasana yang diberikan. Asam salisilat pada pH 7.5 (cairan
intestinal) sebagian besar akan berada dalam bentuk terionisasi atau larut dalam air.
Sedangkan obat untuk berdifusi melalui membran lipid (usus) obat harus berada
dalam bentuk tak terion. Sedangkan asam salisilat pada pH 1.2 (lambung) akan
lebih banyak dalam bentuk molekulnya sehingga obat lebih mudah berdifusi
melalui membran usus sehingga absorbsinya akan menjadi lebih besar.
Setelah semua larutan siap, selanjutnya disiapkan alat untuk uji absorpsi
obat secara in vitro yaitu alat Crane dan Wilson. Kantong usus diisi dengan cairan
serosal yaitu larutan NaCl 0,9% yang berfungsi sebagai larutan yang sesuai dengan
cairan tubuh. Kemudian kantong usus tersebut dipasang di tabung dan dipastikan
harus terendam dengan cairan mucosal yang berisi cairan lambung buatan tanpa
pepsin (pH 1,2) untuk suasana asam, dalam cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH
7,5) untuk suasana basa yang ditambahkan ke dalamnya larutan sampel obat serta
cairan mucosal tanpa larutan sampel obat sebagai control. Cairan mucosal buatan
ini berfungsi sebagai kompartemen saluran pencernaan. Perbedaan suasana larutan
mucosal ini bertujuan untuk membandingkan absorpsi obat dalam pH yang berbeda,
yaitu pH asam dan pH basa sehingga dapat diketahui tempat absorpsi yang optimum
obat sampel yang dalam hal ini adalah asam salisilat. Setelah itu tabung direndam
sebagian dalam air dengan suhu 37 C untuk menyesuaikan dengan suhu tubuh
manusia. Kemudian dilakukan pengambilan cuplikan dari rentang waktu 5, 10, 15,
20, 30, 45 serta 60 menit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kadar obat yang
berhasil terabsorpsi ke dalam larutan serosal pada menit-menit tersebut.

Selanjutnya dilakukan analisis kadar dari masing-masing cuplikan yang


telah diambil pada menit-menit tersebut. Analisis kadar ini dilakukan menggunakan
spektrofotometri uv untuk diketahui konsentrasinya. Sebanyak 1 ml cuplikan
ditambahkan dengan 2 ml larutan seng sulfat 5% dan 2 ml barium hidroksida 0,3 N
yang bertujuan untuk mengekstraksi larutan obat sampel yaitu asam salisilat dari
cuplikan agar tidak mengandung senyawa-senyawa lain yang dapat mengganggu
dalam proses analisis sehingga dapat dipastikan bahwa absorbansi yang terukur
pada alat merupakan absorbansi larutan obat sampel. Untuk memisahkan larutan
obat sampel dalam campuran tersebut, maka dilakukan sentrifugasi sehingga
didapatkan filtrate yang merupakan larutan obat sampel untuk diambil dan
dilakukan analisis menggunakan spektrofotometri uv. Larutan sampel obat ini
kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang maksimum 294 nm untuk
basa dan 303 nm untuk asam yang kemudian dihitung kadarnya dengan memasukan
data absorbansi tersebut ke dalam persamaan kurva baku yang sebelumnya sudah
didapat.

Dalam suasana asam, kadar kontrol yang dihasilkan pada waktu 5, 10, 30,45, dan
60 menit adalah -0,9819, 0,7702, -0,6903, -0.9824 dan -0,5929. Dan kemudian
dapat di hitung Ka dar kontrol adalah -0,048/ menit, Cg adalah 1,38 mg/mL, Pm
adalah -0,048 serta lag time pada kontrol 7,633. Sedangkan dalam sampel asam
kadar yang dihasilkan pada 5, 10, 30,45, dan 60 menit adalah -0,315, -1,232, 1,072,
-8,770 dan -1,235. Dan kemudian dapat di hitung Ka dari sampel adalah -0.1927/
menit, Cg adalah 1,38 mg/mL, Pm adalah -0,1396 serta lag time pada sampel 7.099.

Dalam suasana basa kontrol, didapat Ka dari kontrol adalah -0,0658/ menit, Cg
adalah 1,38 mg/mL, Pm adalah 0,7947 103 / serta lag time pada
kontrol 1.067,96 . Sedangkan dalam sampel asam kadar yang dihasilkan pada
5, 10, 30,45, dan 60 menit adalah 1,17, 1,63, 2,10, 1,57 dan 3,35. Dan kemudian
dapat di hitung Ka dari sampel adalah 0,1425/, Cg adalah 1,38 mg/mL, Pm
adalah 1,7210 103 / serta lag time pada sampel 318,61

VIII. Simpulan

Uji difusi pasif dan persamaan henderson-hasselbach digunakan untuk


menentukan absorpsi obat secara in vitro menggunakan usus tikus. Dari hasil
percobaan didapatkan hasil dalam suasana asam, Ka dari kontrol adalah -0,048/
menit, Cg adalah 1,38 mg/mL, Pm adalah -0,048 serta lag time pada kontrol 7,633.
Sedangkan dalam sampel asam Ka dari sampel adalah -0.1927/ menit, Cg adalah
1,38 mg/mL, Pm adalah -0,1396 serta lag time pada sampel 7.099. Dalam suasana
basa kontrol, didapat Ka dari kontrol adalah -0,0658/ menit, Cg adalah 1,38 mg/mL,
Pm adalah 0,7947 103 / serta lag time pada kontrol 1.067,96 .
Sedangkan Ka dari sampel basa adalah 0,1425/, Cg adalah 1,38 mg/mL, Pm
adalah 1,7210 103 / serta lag time pada sampel 318,61
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M. and J. Devissaguet. 1993. Farmasetika 2: Biofarmasi Terjemahan


Soeratri W Edisi. ke-2, Airlangga University Press, Surabaya, 443-483.
Anne Collins Abrams, RN, MSN. 2005. Clinical Drug Therapy. US.
Wolters Kluwer Health,Lippincott Williams Wilkins.

Ansel, H.C, Allen, L.V.A., dan Popovich, N.G. 1999, Transdermal Drug Delivery

Systems in Ansel, H.C., Allen, L.V.A, and Popovich, N.G., Pharmaceutical


Dosage Forms and Drug Delivery System, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia, pp 263-273.

Batubara, P. L. 2008. Farmakologi Dasar, edisi II. Jakarta:Lembaga Studi dan

Konsultasi Farmakologi.

Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3.Surabaya. Airlangga University Press.

Martin. 1993. Farmasi Fisik Dasar-Dasar Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasetik.

Diterjemahkan oleh Yoshita. UII Press. Yogyakarta.

Shargel, L and yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.

Surabaya.Airlangga University Press.

Shargel, L. dan Yu. (2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi

Kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 449-453.

Sinko. 2011. Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Martin. Diterjemahkan oleh

Djajadisastra.EGC. Jakarta.

Sulaiman, T.N. dan Kuswahyuning, R, 2008, Teknologi dan Formulasi Sediaan

Sedian Semipadat, Pustaka Laboratorium Teknologi Farmasi, Fakultas


Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Syukri. 2002. Biofarmasetika. UII Press. Yogyakarta.


Watson, D.G., 2007. Analisis Farmasi. EGC. Jakarta

Você também pode gostar