Você está na página 1de 12

ANALISA RASIONALITAS OBAT UNTUK RESEP POLIFARMASI DI APOTEK

KIMIA FARMA

SUNGAI RAYA DALAM

Dosen Pembimbing Lapangan:

Nisamuddin, S.Si., Apt.

Oleh:

Engelina Ng, S.Farm

Susi Retno Juwita, S.Farm

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2014

I. Latar Belakang

Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan


berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat.
Banyak pilihan obat yang tersedia saat ini sehingga diperlukan pertimbangan yang
cermat dalam pemilihan obat untuk suatu penyakit (Tjay dan Rahardja, 2002).
Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan diantaranya adalah efektivitas,
keamanan, efek samping, interaksi antar obat dan ekonomi. Beberapa hal ini
menjadi dasar dalam pengobatan agar tercapai hasil pengobatan yang efektif dan
efisien.

Prosedur penatalaksanaan seorang pasien dilakukan secara simultan mulai dari


anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Obat
yang diberikan kepada penderita harus dipesankan dengan menggunakan resep.
Resep selain permintaan tertulis kepada apoteker juga merupakan perwujudan akhir
dari kompetensi, pengetahuan, dan keahlian dokter dalam menerapkan
pengetahuannya di bidang farmakologi dan terapi. Resep juga perwujudan
hubungan profesi antara dokter, apoteker dan penderita. Obat yang diberikan
dokter harus sesuai dengan kondisi pasien agar hasil terapi yang diinginkan dapat
tercapai dengan baik.

Resep yang diberikan kepada pasien sebaiknya telah diteliti oleh seorang farmasis
terlebih dahulu sebelum disiapkan dan diberikan obatnya. Peran apoteker dalam
asuhan kefarmasian merupakan tanggung jawab langsung yang berhubungan
dengan pengobatan pasien untuk mencapai hasil yang diinginkan
sekaligus memperbaiki kualitas hidup pasien (Dewi C. A. K., dkk., 2014). Asuhan
kefarmasian melingkupi obat yang diberikan, rute pemberian, dosis, hingga
pemberian informasi serta konseling untuk pasien. Masalah yang sering dijumpai
dalam peresepan yakni pemberian obat lebih dari 5 macam (polifarmasi).
Polifarmasi disamping dapat memperkuat kerja obat (potensiasi) juga dapat
berlawanan (antagonis), mengganggu absorbsi, mempengaruhi distribusi,
metabolisme, dan ekskresi obat yang disebabkan oleh terjadinya interaksi obat,
meningkatkan resiko timbulnya efek samping pengobatan dan biaya pengobatan
yang kurang efisien (Harianto, dkk., 2006).

Mengingat bahwa masalah penulisan resep yang tidak rasional iniselain


memberikan manfaat, namun juga dapat merugikan pasien maka perlu dilakukan
analisa terhadap rasionalitas resep yang diberikan. Peran farmasis amat penting
dalam membantu proses terapi pasien agar rasional dan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.

II. Tinjauan Khusus

II.1 Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter hewan
yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
kepada apoteker untuk menyiapkan, membuat, meracik serta menyerahkan obat
kepada pasien. Dokter gigi diizinkan untuk menulis resep segala jenis obat untuk
pemakaian gigi dan mulut dengan cara injeksi/parenteral atau cara pakai
lainnya. Sedangkan dokter hewan diizinkan untuk menulis resep dari segala macam
obat yang digunakan khusus untuk hewan (Syamsuni, H. A., 2006).

Resep asli tidak boleh diberikan kembali setelah obatnya diambil oleh pasien, hanya
dapat diberikan salinan resepnya (copy resep). Resep asli tersebut harus disimpan
di apotek dan tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain kecuali diminta oleh:

a. Dokter yang menulisnya atau yang merawatnya

b. Pasien yang bersangkutan

c. Pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang ditugaskan untuk memeriksa

d. Yayasan dan lembaga lain yang menanggung biaya pasien

Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe = ambillah. Di belakang
tanda ini biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Umumnya resep ditulis
dalam bahasa latin. Jika tidak jelas atau tidak lengkap, apoteker harus menanyakan
kepada dokter penulis resep tersebut (Syamsuni, H. A., 2006).

Resep yang lengkap memuat hal-hal sebagai berikut (Anief, M.,1990):

a. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi atau dokter hewan

b. Tanggal penulisan resep (inscriptio)

c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocatio)

d. Nama setiap obat dan komposisinya (praescriptio)

e. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signatura)

f. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (subscriptio)
g. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan

h. Tanda seru dan atau paraf dokter untuk resep yang melebihi dosis maksimalnya

II.2 Dosis

II.2.1 Pengertian dosis

Dosis adalah dosis maksimum dewasa untuk pemakaian melalui mulut, injeksi
subkutan dan rektal. Selain dosis maksimum dikenal juga dosis lazim. Dalam FI edisi
III tercantum dosis lazim untuk dewasa dan bayi atau anak yang merupakan takaran
petunjuk yang tidak mengikat.

Dosis atau takaran suatu obat adalah banyaknya suatu obat yang dapat
dipergunakan atau diberikan kepada seseorang penderita untuk obat dalam
maupun obat luar.

II.2.2 Ketentuan umum FI edisi III tentang dosis

a. Dosis maksimum, berlaku untuk pemakaian sekali dan sehari. Penyerahan


obat dengan dosis melebihi dosis maksimum dapat dilakukan dengan:

1. Membubuhkan tanda seru dan paraf dokter penulis resep;

2. Diberi garis bawah nama obat tersebut, dan

3. Banyak obat hendaknya ditulis dengan huruf lengkap.

b. Dosis lazim, merupakan petunjuk yang tidak mengikat tetapi digunakan


sebagai pedoman umum. Misalnya, obat CTM (4 mg per tablet) disebutkan dosis
lazimnya 6-16 mg/hari dan dosis maksimumnya 40 mg/hari. Jika seseorang minum
3x sehari 2 tablet, dosis maksimumnya belum dilampaui, tetapi hal ini dianggap
tidak lazim, karena dengan 3x sehari 1 tablet saja sudah dapat dicapai efek terapi
yang optimum.

II.2.3 Macam-macam dosis

a. Dosis terapi: suatu takaran obat yang diberikan dalam keadaan biasa dan
dapat menyembuhkan penderita.

b. Dosis minimum: suatu takaran obat terkecil yang diberikan yang masih
dapat menyembuhkan dan tidak menimbulkan resistensi pada penderita.

c. Dosis maksimum (DM): suatu takaran obat terbesar yang diberikan yang
masih dapat menyembuhkan dan tidak menimbulkan keracunan pada penderita.

d. Dosis letal: takaran obat yang dalam keadaan biasa dapat menyebabkan
kematian pada penderita.
1. L.D 50: takaran yang menyebabkan kematian pada 50% hewan percobaan.

2. L.D 100: takaran yang menyebabkan kematian pada 100% hewan percobaan.

e. Dosis toksik: suatu takaran obat yang dalam keadaan biasa dapat
menyebabkan keracunan pada penderita.

II.2.4 Dosis maksimum dan perhitungannya

a. Daftar dosis maksimum menurut FI edisi III digunakan untuk orang dewasa
yang berusia 20-60 tahun dengan bobot badan 58-60 kg.

b. Untuk orang lanjut usia dan keadaan fisiknya sudah mulai menurun,
pemberian dosis harus lebih kecil dari dosis maksimum.

1. 60-70 tahun: 4/5 dosis dewasa

2. 70-80 tahun: 3/4 dosis dewasa

3. 80-90 tahun: 2/3 dosis dewasa

4. 90 tahun keatas: dosis dewasa

c. Untuk wanita hamil yang peka terhadap obat-obatan, sebaiknya dosis


diberikan dalam jumlah yang lebih kecil. Bahkan untuk beberapa obat yang dapat
mengakibatkan abortus dan kelainan janin obat ini dilarang untuk wanita hamil juga
wanita menyusui karena obat dapat diserap oleh bayinya melalui ASI.

d. Untuk anak anak dibawah 20 tahun diperlukan perhitungan khusus, karena


respons tubuh anak atau bayi terhadap obat tidak dapat disamakan dengan orang
dewasa.

e. Memilih dan menetapkan dosis memang tidak mudah karena harus


memperhatikan beberapa faktor, yaitu:

1. Penderita: usia, bobot badan, jenis kelamin, luas permukaan tubuh, toleransi,
habituasi, adiksi dan sensitivitas, kondisi penderita.

2. Obat: sifat kimia/fisika obat, sifat farmakokinetikanya (ADME), jenis obat.

3. Penyakit: sifat dan jenis penyakit, kasus penyakit.

II.2.5 Polifarmasi

Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak
sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah polifarmasi telah
mengalami perubahan dan digunakan dalam berbagai hal dan situasi, tetapi arti
dasar dari polifarmasi itu sendiri adalah obat dalam jumlah yang banyak dalam
suatu resep untuk efek terapi yang tidak sesuai (Rambadhe dkk., 2012).
Polifarmasi merupakan salah satu dari permasalahan terkait terapi obat (drugs
therapeutic problems/DTPs). Tujuh penggolongan DTPsdiantaranya: penggunaan
obat yang tidak diperlukan, kebutuhan akan terapi obat tambahan, obat yang tidak
efektif, dosis terapi yang digunakan terlalu rendah, efek obat merugikan, dosis
terapi yang terlalu tinggi, dan ketidakpatuhan pasien (Cipolle, Strand dan Morley,
2004). Hal-hal yang terkait dengan DTPs seharusnya dapat dicegah dan
dikurangi melalui keberadaan apoteker dalam proses terapi pasien. Peran farmasis
dalam terapi diharapkan dapat mewujudkan terapi rasional pada pasien.
Penggunaan obat dikatakan rasional jika penderita mendapat obat-obatansesuai
dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai dengan
kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan pasien
untuk memperoleh obat.

III. Pembahasan

Terdapat 2 resep yang dianalisa kerasionalannya. Resep A adalah resep yang


diberikan untuk pasien rawat inap di rumah sakit yang akan pulang, sedangkan
resep B merupakan resep untuk pasien rawat jalan. Kedua resep tersebut dianggap
polifarmasi karena terdapat lebih dari 5 jenis obat dalam satu resep dan pada salah
satu resep terdapat 2 jenis obat dengan indikasi sama.
Gambar 1. Resep A

Resep A terdapat 9 jenis obat yang diresepkan untuk pasien lanjut usia. Obat
tersebut yakni:

a. Disflatyl tab no. 15 (s 3 dd 1), untuk pencernaan

b. KSR tab no. 15 (s 1 dd 1), suplemen asupan kalium untuk penderita hipertensi

c. Sporetik 100 mg tab no. 15 (s 1 dd 1), antibiotik untuk infeksi saluran


pernapasan

d. Prazotec no. 15 (s 1 dd 1), untuk pencernaan/lambung

e. Astifen no. 15 (s 1 dd 1), sebagai analgetik

f. Cedocard 5 mg no. 30 (s 3 dd 1), untuk jantung

g. Concor 2.5mg no. 15 (s 1 dd 1), untuk jantung

h. Inpepsa syr fl. 1 (s 3 dd 1 C), untuk pencernaan/lambung

i. Cohistan no. 30 (s 3 dd 1), untuk batuk

Resep yang diberikan masih belum lengkap secara administrasi, dimana resep tidak
mencantumkan nama dokter, SIP, serta tanda R/ (invocatio) di setiap jenis obat
yang diresepkan. Hasil skrining secara farmasetis tidak terdapat permasalahan
yang berhubungan dengan farmasetis karena obat yang diresepkan tidak perlu
dilakukan pencampuran ulang. Sedangkan hasil skrining farmakologis tidak terdapat
interaksi obat maupun efek samping merugikan sehingga semua obat dapat
dikonsumsi dengan aman. Akan tetapi bila ditinjau dari segi jumlah obat yang
diresepkan, obat diberikan dalam jumlah yang berlebih sehingga dapat
mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat pada pasien lanjut usia. Selain itu,
banyaknya jumlah obat yang diberikan juga berpengaruh terhadap kondisi ekonomi
pasien. Tingginya biaya obat yang harus dikeluarkan untuk menebus obat akan
menyebabkan pasien kesulitan sehingga obat yang seharusnya ditebus semua dan
diminum teratur agar memberikan hasil terapi yang diinginkan malah tidak
dilakukan.

Obat yang diresepkan ditujukan untuk meringankan dan mengobati setiap gejala
yang dialami pasien. Dalam meresepkan obat dalam proses terapi pasien,
sebaiknya ditentukan terlebih dahulu tujuan terapi yang ingin dicapai. Terdapat 2
jenis tujuan terapi, yakni mengurangi gejala sakit atau mengobati sekaligus
menghilangkan gejala sakit. Meninjau dari jenis obat yang diresepkan, pasien
mengidap penyakit degeneratif yang membutuhkan konsumsi obat secara rutin
untuk meringankan gejala sakitnya. Beberapa obat yang ditujukan untuk
meringankan gejala penyakit degeneratif tersebut adalah cedocard 5 mg, concor
2.5 mg, KSR, dan astifen. Selain memiliki penyakit degeneratif, pasien juga
menderita batuk dan infeksi saluran pernapasan sehingga diberikan sporetik 100
mg dan cohistan. Sedangkan untuk meringankan efek samping obat berupa rasa
kurang nyaman pada saluran pencernaan maka pasien juga diberikan disflatyl,
prazotec, dan inpepsa sirup.

Penelitian Schmader, Hanlon dan Pieper (2004), menyatakan bahwa 5% dari 208
pasien lanjut usia menggunakan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Selain itu, juga diketahui bahwa sepertiga dari pasien menggunakan obat yang
tidak efektif, dan 16% diantaranya merupakan obat yang memiliki efek yang sama
dalam suatu pengobatan. Semakin banyak jumlah obat yang digunakan
dapat menimbulkan efek negatif dari suatu terapi yang disebabkan
adanya DTPs misalnya efek samping obat dan berkurangnya kepatuhan pasien
dalam menggunakan obat (Viktil dkk., 2006). Penggunaan obat dalam jumlah
banyak juga dapat menyebabkan meningkatnya resiko pengobatan tidak tepat
(interaksi obat dan duplikasi terapi), ketidakpatuhan dan efek samping obat (Hajjar,
Hanlon, dan Cafiero, 2007).

Sejumlah perubahan kondisi patofisiologi, sosiologi, dan psikologi akan


terjadi akibat bertambahnya usia. Oleh karena itu, terapi pengobatan pada pasien
usia lanjut secara nyata berbeda dari pasien umumnya. Untuk mengatasi
gejala ringan seperti pusing, sakit kepala, atau sulit tidur dapat dilakukan dengan
terapi non farmakologi. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari solusi terkait
dengan pola hidup atau kondisi lingkungannya.

Solusi untuk kondisi penyakit lain yang lebih serius tentu berbeda dari solusi untuk
gejala sakit ringan. Obat untuk penyakit degeneratif pada pasien lanjut usia perlu
diberikan karena bersifat kronis, sehingga perlu penanganan rutin untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Sedangkan infeksi saluran pernapasan bersifat
akut oleh karena itu perlu penanganan segera untuk pasien lanjut usia. Beberapa
obat untuk pencernaan yang diindikasikan untuk mengurangi efek samping berupa
rasa kurang nyaman di saluran cerna akibat penggunaan obat-obatan tersebut
sebaiknya dapat diminimalisir. Disarankan agar menggunakan salah satu obat untuk
mengatasi efek samping di saluran pencernaan yang paling efisien, sehingga secara
ekonomi pasien lebih hemat sekaligus turut menyederhanakan obat-obatan yang
harus dikonsumsi pasien setiap hari. Jumlah obat yang dikurangi juga turut
meningkatkan kepatuhan minum obat pasien. Untuk meminimalisir efek samping
konsumsi obat pada saluran pencernaan juga dapat dilakukan dengan cara
mengatur waktu konsumsi obat. Obat-obatan yang memiliki efek samping dapat
menimbulkan rasa kurang nyaman di saluran pencernaan sebaiknya diminum
setelah makan.
Polifarmasi tidak hanya ditemukan pada resep dengan sediaan obat jadi, tetapi juga
pada resep obat racikan. Resep B terdiri dari sediaan obat jadi dan obat racikan.
Obat yang diresepkan diantaranya:

a. Buffect forte syr fl. 1 (s 4 dd 1 cth), untuk demam, pusing, nyeri

b. Obat racikan untuk infeksi saluran pernapasan sebanyak 15 kapsul (s 3 dd 1


cap) yang setiap kapsul terdiri dari:

Sanmol 125 mg

Tremenza tab

Iflaz 2 mg

Epexol tab

Codein 8 mg

Thyamicin 250 mg

c. Starmuno syr fl. 1 (s 1 dd 1 cth), untuk menjaga daya tahan tubuh

Hasil analisa menunjukan bahwa resep diberikan untuk pasien anak yang terserang
demam dan infeksi saluran pernapasan. Dapat dilihat bahwa resep tersebut
terdapat 8 jenis obat untuk mengatasi sakit pada pasien.
Gambar 2. Resep B

Hasil skrining administrasi pada resep tersebut menunjukan bahwa resep kurang
lengkap karena tidak mencantumkan tanda tangan dokter penulis resep dan berat
badan serta umur pasien sehingga sulit untuk melakukan skrining kerasionalan
dosis obat. Hasil skrining secara farmasetis menunjukkan bahwa tidak terdapat
permasalahan fisika dan kimia dalam meracik obat yang diminta hingga menjadi
suatu sediaan jadi untuk dikonsumsi pasien, akan tetapi terdapat kesalahan yakni
terdapat antibiotik dalam obat racikan. Pemberian obat racikan oleh dokter kepada
pasien memang menguntungkan karena dosis obat yang diberikan telah
disesuaikan dengan kondisi pasien serta memudahkan pasien dalam mengonsumsi
obat. Akan tetapi dalam hal ini terdapat permasalahan yang penting. Seharusnya
antibiotik tidak boleh dicampur dengan obat racikan. Obat racikan yang
diindikasikan untuk infeksi saluran pernapasan dapat dihentikan pemakaiannya
apabila gejala sakit sudah hilang. Sedangkan pemakaian antibiotik harus sesuai
aturan, yakni penggunaanya minimal selama 5 hari. Adanya antibiotik yang
dicampur bersama dengan obat flu kurang tepat karena hal ini menyangkut tingkat
kepatuhan minum obat pasien yang juga turut berpengaruh terhadap hasil terapi
yang diinginkan. Apabila pasien tidak menghabiskan obat racikan tersebut
dikhawatirkan dapat menimbulkan resistensi akibat pemakaian antibiotik yang
kurang dosisnya. Disarankan sebaiknya antibiotik diberikan terpisah dari obat
racikan. Pasien perlu diberikan informasi obat agar obatnya dikonsumsi secara
teratur sesuai aturan pakai.

Hasil skrining farmakologi menunjukkan tidak ada interaksi antar obat yang
diresepkan, namun terdapat 2 jenis obat dengan indikasi yang sama. Dalam resep
tersebut terdapat 2 jenis analgetik antipiretik, yakni buffect sirup (ibuprofen 200
mg) dan sanmol tablet (parasetamol 500 mg). Keduanya memiliki indikasi yang
sama, yaitu sebagai analgetik antipiretik. Sebaiknya digunakan salah satu sebagai
analgetik antipiretik karenadikhawatirkan akan terjadi efek samping pada saluran
pencernaan yang ditimbulkan dari pemakaian keduanya. Resep yang diberikan
untuk anak sebaiknya mengandung obat dalam jenis dan jumlah yang paling
sedikit. Kondisi patofisiologis anak yang usianya masih muda sebaiknya diberikan
terapi obat dalam jenis dan jumlah yang efisien. Jumlah obat yang minim
diharapkan dapat mewujudkan pengobatan yang rasional, efisien, dan efektif.
Pengobatan dengan jumlah obat yang minim juga diharapkan dapat mengurangi
resiko terjadinya efek samping pada pasien anak dengan kondisi patofisiologis yang
masih muda. Pasien juga perlu diberikan informasi dan edukasi terkait
pengobatannya. Terapi non farmakologi seperti istirahat yang cukup, olahraga
teratur, dan banyak minum air putihdapat dianjurkan untuk menunjang hasil terapi.
IV. Kesimpulan dan Saran

a. Kesimpulan

1. Masih terdapat resep polifarmasi, umumnya dijumpai pada resep untuk pasien
anak dan lanjut usia.

b. Saran

1. Peran farmasis dalam pengobatan pasien perlu ditingkatkan untuk mencegah


efek merugikan dari polifarmasi.

2. Pasien perlu diberikan informasi dan edukasi dari farmasis untukmembantu


mencapai tujuan terapi sesuai yang diinginkannya.

Daftar Pustaka

Anief, M., 1990, Ilmu Meracik Obat, Gajah Mada University Press,Yogyakarta.

BPOM, 2008, Penggunaan Obat pada Usia Lanjut, Info POM, Vol.9, No.5., Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Cipolle, RJ, Strand, LM, Morley, PC 2004, Pharmaceutical Care Practice The
Clinicians Guide, McGraw-Hill, New York.

DepKes RI, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
DepKes RI, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Dewi, C. A. K., dkk., 2014, Drug Therapy Problems pada Pasien yang Menerima
Resep Polifarmasi, Jurnal Farmasi Komunitas, Vol.1, no.1, hal.:17-22.

Hajjar, dkk., 2007, Polypharmacy in Elderly Patients, The American Journal of


Geriatric Pharmacotherapy, 5(4), hal.: 345-351.

Harianto, dkk., 2006, Hubungan Antara Kualifikasi Dokter dengan Kerasionalan


Penulisan Resep Obat Oral Kardiovaskuler Pasien Dewasa Ditinjau dari Sudut
Interaksi Obat, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, no. 2, hal.: 66-77.

Rambadhe, S, dkk., 2012, A Survey on Polypharmacy and Use of Inappropriate


Medications, Toxicol Int., 19(1), hal.: 68-73.

Schmader, K, dkk., 2004, Effects of Geriatric Evaluation and Management on


Adverse Drug Reactions and Suboptimal Prescribing in the Frail Elderly, Am J Med.,
116, hal.: 394-401.

Syamsuni, H. A., 2006, Ilmu Resep, EGC, Jakarta.

Tjay dan Rahardja, 2002, Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek
Sampingnya, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Viktil, KK, dkk., 2006, Polypharmacy as Commonly Defined is an Indicator of Limited


Value in the Assessment of Drug-Related Problems, British Journal of Clinical
Pharmacology, (63)2, hal.: 187-192.

Você também pode gostar