Você está na página 1de 25

ANALISIS KEBIJAKAN BPJS

Oleh

HERU MURDIANTO, S.Ked

NPM : 15420146
PROGRAM MEGISTER KESEHATAN
MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MALAHAYATI

2017

BAB 1

PENDAHULUAN

Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya

dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa

bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi

Perserikatan BangsaBangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia (HAM).

Pasal 25 ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup

yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya

termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta

pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur,

menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan

lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar

kekuasaannya.
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke 5

mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD

1945 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No.23/1992 yang kemudian

diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan

bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas

sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang

aman, bermutu dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai

kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.


Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah

bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Usaha ke arah itu

sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa

bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes

(Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri

sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin

dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan

Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Namun demikian, skema-skema tersebut masih terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan

mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.


Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40

tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan

bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional


akan diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), yang

terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang

implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN

dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain:

Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI),

Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dan Peta Jalan

JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).


Mendukung pelaksanaan tersebut, Kementerian Kesehatan memberikan

prioritas kepada jaminan kesehatan dalam reformasi kesehatan. Kementerian

Kesehatan tengah mengupayakan suatu regulasi berupa Peraturan Menteri, yang

akan menjadi payung hukum untuk mengatur antara lain pelayanan kesehatan,

pelayanan kesehatan tingkat pertama, dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat

lanjutan. Peraturan Menteri juga akan mengatur jenis dan plafon harga alat bantu

kesehatan dan pelayanan obat dan bahan medis habis pakai untuk Peserta Jaminan

Kesehatan Nasional.
BAB II

SEJARAH BPJS

Pada tahun 1968, Pemerintah Indonesia mengeluarkan

kebijakan yang secara jelas mengatur pemeliharaan kesehatan

bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI)

beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden

Nomor 230 Tahun 1968. Menteri Kesehatan membentuk Badan

Khusus di lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan

Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), dimana

oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu (Prof. Dr. G.A.

Siwabessy) dinyatakan sebagai cikal-bakal Asuransi Kesehatan

Nasional.

Pada tahun 1984, untuk lebih meningkatkan program

jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dan agar dapat

dikelola secara profesional, Pemerintah menerbitkan Peraturan


Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan

Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun (PNS,

ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1984, status badan

penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum Husada

Bhakti.

Pada tahun 1991, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

69 Tahun 1991, kepesertaan program jaminan pemeliharaan

kesehatan yang dikelola Perum Husada Bhakti ditambah dengan

Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya.

Disamping itu, perusahaan diijinkan memperluas jangkauan

kepesertaannya ke badan usaha dan badan lainnya sebagai

peserta sukarela.

Pada tahun 1992, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

6 Tahun 1992 status Perum diubah menjadi Perusahaan

Perseroan (PT Persero) dengan pertimbangan fleksibilitas

pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah dapat

dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan

manajemen lebih mandiri. Pada tahun 2005, PT. Askes (Persero)

diberi tugas oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI,

sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1241/MENKES/SK/XI/2004 dan Nomor 56/MENKES/SK/I/2005,


sebagai Penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Masyarakat

Miskin (PJKMM/ASKESKIN).

Dasar Penyelenggaraan :

1. UUD 1945

2. UU No. 23/1992 tentang Kesehatan

3. UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1241/MENKES/SK/XI/2004

dan Nomor 56/MENKES/SK/I/2005,

5. Prinsip Penyelenggaraan mengacu pada :

6. Diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia dengan

azas gotong royong sehingga terjadi subsidi silang.

7. Mengacu pada prinsip asuransi kesehatan sosial.

8. Pelayanan kesehatan dengan prinsip managed care

dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

9. Program diselenggarakan dengan prinsip nirlaba.

10. Menjamin adanya protabilitas dan ekuitas dalam pelayanan

kepada peserta.
11. Adanya akuntabilitas dan transparansi yang terjamin

dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian, efisiensi dan

efektifitas.

Mulai tanggal 1 Januari 2014, PT Askes Indonesia (Persero)

berubah nama menjadi BPJS Kesehatan sesuai dengan Undang-

Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.


BAB III

SISTEM PENYELENGGARAAN BPJS

3.1 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJS)

Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan

sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi

kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Terdapat beberapa

jenis Jaminan Sosial, antara lain Jaminan kesehatan, Jaminan

kecelakaan kerja, Jaminan hari tua, Jaminan pensiun, dan

Jaminan kematian. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


Nasional (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk

menyelenggarakan program jaminan sosial.

Dibentuk 2 (dua) BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS

Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan

program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan

menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja,

jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang

selanjutnya disingkat BPJS Kesehatan adalah badan hukum

yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan

Kesehatan. BPJS Kesehatan mulai beroperasi

menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada

tanggal 1 Januari 2014.

3.2 Sistem BPJS

Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan

kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan

kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan


dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang

telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh

pemerintah. Kepesertaan bersifat wajib : untuk mencegah

terjadinya adverse selection atau kepesertaan yang

berdasarkan adanya faktor risiko. Dengan kepesertaan wajib

tidak lagi dilakukan perhitungan risiko perorangan.

Peserta dihimpun dalam satu badan secara nasional

sehingga terjadi subsidi silang yaitu yang membayar premi

kecil dibantu oleh yang membayar premi besar, sehingga

dengan premi yang kecil dapat memperoleh manfaat yang

besar. Dengan begitu, maka manfaat medis yang diterima

peserta tidak dibedakan atas besaran premi yang

dibayarkan. Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada

prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut:

Prinsip Kegotongroyongan

Gotongroyong sesungguhnya sudah menjadi salah satu

prinsip dalam hidup bermasyarakat dan juga merupakan

salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip

gotong royong berarti peserta yang mampu membantu

peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu

yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat
membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan

SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang

bulu. Dengan demikian, melalui prinsip gotong royong

jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia.

Prinsip Nirlaba

Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS) adalah nirlaba bukan untuk mencari

laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah

untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.

Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana

amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di

manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.

Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas,


efisiensi, dan efektivitas.

Prinsip prinsip manajemen ini mendasari seluruh

kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta

dan hasil pengembangannya.

Prinsip Portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk

memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta

sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal

dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip Kepesertaan Bersifat Wajib

Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat

menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun

kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,

penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan

ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan

penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari

pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor

informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga

pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat

mencakup seluruh rakyat.

Prinsip dana Amanat

Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan

dana titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk

dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana

tersebut untuk kesejahteraan peserta.


Prinsip Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial

Dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan

program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

3.3 Syarat-Syarat BPJS

Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing

yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia,

yang telah membayar iuran. Peserta tersebut meliputi:

Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN dengan

rincian sebagai berikut:

a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang

tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.

b. Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak tergolong

fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas:

1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:

a. Pegawai Negeri Sipil;

b. Anggota TNI;
c. Anggota Polri;

d. Pejabat Negara;

e. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;

f. Pegawai Swasta; dan

g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f

yang menerima upah.

2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:

a. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri dan


b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima

upah.
c. Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b,

termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia

paling singkat 6 (enam) bulan.

3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:

a. Investor
b. Pemberi Kerja
c. Penerima Pensiun
d. Veteran
e. Perintis Kemerdekaan
f. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan

huruf e yang mampu membayar Iuran.


4) Penerima pensiun terdiri atas:

a. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun


b. Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak

pensiun
c. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun
d. Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun

sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d

yang mendapat hak pensiun.

Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:

a. Istri atau suami yang sah dari peserta


b. Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari

Peserta, dengan kriteria: tidak atau belum pernah menikah

atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan belum berusia

21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (duapuluh

lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.

Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga

mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.

5) WNI di Luar Negeri

Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar

negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan tersendiri. Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah


uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi

Kerja dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan.

BAB IV

KENDALA DAN KEUNTUNGAN SISTEM

Kelebihan sistem asuransi sosial dibandingkan dengan asuransi komersial

antara lain:

Asuransi Sosial Asuransi Komersial

1. Kepesertaan bersifat wajib 1. Kepesertaan bersifat sukarela

(untuk semua penduduk

Non Profit 2 . Profit

Manfaat komprehensif 3Manfaat sesuai dengan premi yang


dibayarkan.
Pelayanan kesehatan yang dijamin meliputi:

a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan

kesehatan non spesialistik mencakup:

1) Administrasi pelayanan
2) Pelayanan promotif dan preventif
3) Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis
4) Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non

operatif
5) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
6) Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis
7) Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat

pratama dan
8) Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi.

b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan

kesehatan mencakup:

1) Rawat jalan yang meliputi:

a. Administrasi pelayanan
b. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh

dokter spesialis dan subspesialis


c. Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
d. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
e. Pelayanan alat kesehatan implant
f. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan

indikasi medis
g. Rehabilitasi medis
h. Pelayanan darah
i. Pelayanan kedokteran forensik
j. Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan.
2) Rawat inap yang meliputi:

a. Perawatan inap non intensif


b. Perawatan inap di ruang intensif.
c. Pelayanan kesehatan lain ditetapkan oleh Menteri.

Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin

1. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur

sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku.


2. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan

yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali untuk

kasus gawat darurat.


3. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan

kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat

kecelakaan kerja atau hubungan kerja.


4. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri.
5. Pelayanan kesehatan untuk tujuan kosmetik dan/atau estetik.
6. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas (Memperoleh

Keturunan).
7. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi).
8. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat

dan/atau alkohol.
9. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri,

atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.


10. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional,

termasuk akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum

dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan

(Health Technology Assessment/HTA).


11. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikansebagai

percobaan (eksperimen).
12. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu.
13. Perbekalan kesehatan rumah tangga.
14. Pelayanan kesehatan yang sudah dijamin dalam program

kecelakaan lalu lintas sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
15. Pelayanan kesehatan akibat bencana, kejadian luar

biasa/wabah.
16. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan

manfaat jaminan kesehatan yang diberikan.

Selain itu, kendala yang dapat terjadi adalah kurangnya

infrastruktur di daerah, peralatan dan perlengkapan yang masih

belum ada dan terdistribusi di daerah, kurangnya sumber daya

manusia yang siap untuk melakukan pelayanan, universal akses

yang masih menjadi hambatan terbesar, pengetahuan

masyarakat mengenai BPJS, koordinasi pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dan berbagai macam isu yang masih harus

ditangani oleh pemerintah, akademisi, peneliti, pemerhati

kesehatan, kelompok profesi dan lembaga independen lain.


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya

disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk

menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri

dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS

Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk

menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

2. BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas

Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk

Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS

Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBGs.

3. BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas

pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat

15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima

lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan

ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS

Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah


tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang

ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

5.2 Saran

1. Sustainabilitas program atau bahwa program jaminan

sosial harus berkelanjutan selama negara ini ada, oleh

karena itu harus dikelola secara prudent, efisien dengan

tetap mengacu pada budaya pengelolaan korporasi.

2. Kenyataannya 80% penyakit yang ditangani rumah sakit

rujukan di Provinsi adalah penyakit yang seharusnya

ditangani di Puskesmas. Tingkat okupansi tempat tidur

yang tinggi di RS Rujukan Provinsi bukan indikator

kesuksesan suatu Jaminan Kesehatan. Hal ini berdampak

pada beban fiskal daerah yang terlalu tinggi. Oleh

karenanya Pelaksanaan Jaminan Kesehatan membutuhkan

sistem rujukan berjenjang dan terstruktur maka setiap

Provinsi harap segera menyusun peraturan terkait sistem

rujukan.
DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 326 Tahun 2013


Tentang Penyiapan Kegiatan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional.
Mukti, Ali Gufron. Rencana Kebijakan Implementasi Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Kemenkes RI : Surabaya.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan


Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 Tentang


Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang


Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.

Putri P, Novana. 2013. Konsep Pelayanan Primer di Era JKN. Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Dasar Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI : Jakarta.

Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan


Sosial (BPJS).

Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Você também pode gostar