Você está na página 1de 10

Mesjid kuno tosora merupakan mesjid yang dibangun sekitar tahun 1621 oleh Syeckh Jamaluddin

Akbar Husain yang diduga oleh penduduk setempat punya hubungan darah dengan Nabi Muhammad
S.A.W
Salah satu peninggalan sejarah dari puluhan peninggalan sejarah lainnya dikabupaten wajo yang
yang masuk dalam cagar budaya menjadi sejarah nasional adalah mesjid kuno yang berada didesa Tosora
Kecamatan Majauleng.
Tosora adalah daerah bekas ibu kota Kabupaten Wajo pada abad 17 dan wilayah ini dikelilingi oleh
8 danau kecil didaerah ini pula terdapat berbagai peninggalan sejarah mulai dari makam raja-raja wajo
sampai dengan gudang bekas penyimpangan amunisi kerajaan.
Konon, mesjid yang memiliki arsitektur berlanggam indonesia asli itu memiliki denah dasar bujur
sangkar tanpa serambi. Kemiripan bangunan mesjid ini merupakan dapat ditemukan pada daerah bekas
ibu kota kerajaan islam seperti Palopo, Gowa, Buton, Banten, Jawa, Sumatra, dan Ternate.
Bangunan Dinding mesjid ini dibuat dari susunan batu-batu sedimen tidak sama dan menggunakan
perekat semacam kapur yang dicampur putih telur dan lokasi ini sering dijadikan sebagai lokasi wisata
sejarah.
Sementara, Dinding dari mesjid ini mengunakan batu sedimen yang hingga kini belum diketahui
tingginya. Atas prakarsa Salewatang Haji Andi Mallanti, telah dibangun dilokasi mesjid kolam untuk air
wudhu. Dengan kedalaman 94 samapi 99 centimeter, kolam air Wudhu ini dibangun pada priode
belakangan.
Kepada penulis, pesiarah mengatakan bahwa mesjid ini sangat membutuhkan perhatian khusus
karena ini merupakan cagar budaya peninggalan sejarah dimana Tosora sebelumnya adalah pusat ibu kota
pada masa penjajahan dan sebelum adanya pemerintah kabupaten, Tosora menjadi pusat kerajaan pada
masa batara dan arung matowa.
Lebih lanjut dirinya menceritakan proses pembuatan mesjid tua sesuai ceritra rakyat pada masa
dulu dimana katanya mesjid tua itu menggunankan campuran putih telur sebagai bahan perekat dan pada
masa itu sekitar dua tahun penduduk tidak bisa kembangkan ternak karena telur ayamnya disumbangkan
untuk pembuatan mesjid.
Dulu sesuai cerita rakyat antara tosora ke paria rumah berjejer rapi dan ketika hujan orang tua kita
dahulu bisa sampai kesekolahnya diparia sekitar puluhan kilo tanpa diguyur hujan meski hanya jalan kaki
pada tahun 1985 ada ada peneliti yang ingin mengetahui kebenarannya puin demi puin diuji samapi dua
bulan baru mereka mendapatkan hasil kebenaran bahan bangunan mesjid, Jelasnya
Terkait dengan keberadaan cagar budaya itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberikan dana
pemeliharaan karena mesjid yang dibangun pada tahun 1621 itu sudah mulai memudar sehingga butuh
perawatan setidaknya diberikan atap sementara dinding mimbar sudah ditumbuhi pepohonan kalau
dicabut dikwatirkan akan merusak keaslian bangunannya.
Selain itu mesjid ini terkadang masih digunakan oleh pendatag khususnya mereka yang datang
dari pulau jawa untuk menggelar pengajian sehingga kami juga harapkan ada perbaikan setidaknya bisa
diberikan lantai karena ketika pengunjung dari jawa ini menggelar pengajian, mereka menggunakan alas
seadanya, Pintanya
Selain itu katanya, jika diberikan lantai maka bisa digunakan sebagai tempat pengajian bagi
pemuka agama.ini dimaksud untuk mengenang pada pendahulu kita apalagi akan sangat bermamfaat jika
dijadikan sebagai pusat perayaan acara keagamaan,
Sejarah mesjid kuno tosora terdapat beberapa makam kuno yang disebut dalam silsila salah satu
diantaranya ada makam cucu Nabi Muhammad yang ke 19.
Salah satu diantaranya adalah makam penghulu para Wali. Dengan mengunakan nisan setengah
bulat, makam setengah bulat ini adalah makam Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang juga
penggagas mesjid kuno tosora itu.
Sementara sesuai dengan keterangan yang didapatkan penulis mengatakan bahwa dalam
silsilanya, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain masih merupakan keturunan Nabi Muhammad
yang ke 19.
Sementara makam kuno lainnya adalah Makam Arung Benteng Lagau dengan mengunakan nisan
tipe merian. Arung Benteng Lagau adalah salah seorang mantan ketua majelis dan makam ini
ditandai dengan dua buah nisan merian.
Disamping ada makam Arung Benteng Lagau, ada nisan tipe pion. Tipe makam ini menyerupai
dengan bantuk pion yang terdiri atas tiga bagian yakni dasar,badan dan kepala.
Sesuai dengan sejarah, bahwa para pengunjung khususnya dari Jawa menggaku jika setelah
dirinya melakukan siarah ke beberapa makam itu, reskinya bertambah dan siarah ke makam itu
bagi sebagian orang seakan dijadikan sebagai rutinitas khusunya pengunjung dari pulau Jawa.
Kepada penulis, Alan salah seorang masyarakat desa tosora menuturkan bahwa pada tiap
tahunnya banyak pengurus pesantren dari pulau jawa yang berkunjung kemakam ini karena
mereka yakini kalau Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang dimakamkan di lokasi mesjid ini
adalah bagian dari keluarga mereka.
Menurutnya, kata Alan Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain adalah penghulu para wali dipulau
jawa termasuk Almarhum Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain berumur lebih tua dari wali songo.
Dan bahkan pengunjung yang datang kemakam ini papar Alan, adalah pengunjung dari berbagai
daerah diluar pulau sulawesi dan meyakini kalau dirinya adalah keturunan dari Syeckh
Jamaluddin Akbar Hussain.
Bahkan menurut keterangan yang kami dapatkan ketika ada pengunjung datang dari jawa,
sebelum keindonesia, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain perna berada di india dan membantu
penduduk india pada suatu peran untuk memenangkan pasukan islam dan pada ujung perang,
Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain menghilang tanpa jejak, Jelasnya
Pantauan penulis saat menelusuri halaman makam, memerlukan perhatian khusus dari
pemerintah terkait pemeliharaan baik pagar maupun beberapa arsitektur lain yang kini tergolong
mempertihatinkan termasuk pagar yang saat ini terlihat mulai rapuh.
Selain itu, beberapa arsitektur lainnya yang ada didalam kawasan mesjid Tua Tosora juga
memerlukan perhatian utamanya anggaran pemeliharaan agar mendapatkan kesan kalau cagar
budaya yang bisa dijadikan sebagai wisata sejara itu masih terawat.

1. Sumur Jodoh
Sumur jodoh adalah sumur yang dipercaya apabila kita mandi atau membasuh muka dengan
air dari sumur itu maka cepat atau lambat akan mendapatkan jodoh. Namun, menurut salah satu
warga disana mengatakan bahwa sebagian warga di tosora tidak atau kurang mempercayai sumur
jodoh ini, hanya orang yang dari luar pulau terutama orang dari pulau Jawa saja yang banyak
datang ke sumur jodoh ini dan meminta untuk mendapatkan jodoh.
2. Geddonge
eddongnge (Gedug Mesiu). Timbul beberapa pendapat tentang nama Geddongnge. Ada
yang mengatakan bahwa Geddongnge adalah sebuah bangunan tempat menyimpan barang-
barang seperti alat-alat perang dan hasil bumi penduduk. Sebagian lagi mengatakan bahwa
bangunan tersbut adalah bank(tempat menyimpang uang).Geddongnge dibangun pada saman
pemerintahan Lasalewangeng To Tenriruwa sekitar tahun 1718 M. Pada saat itu perekonomian
lancar dan awal dicetuskannya pasukan bersenjata. Bahan baku bangunannya masih berasal dari
batu gunung, pasir, dan telur.
3. Benteng
Benteng pertahanan yang dibuat pada masa pemeeintahan, Awal pelaksanaanya setelah diadakan
musyawarahantara arung matoa latentilai dengan penduduk negeri mengenai rencena
penyerangan belanda terhadap tosora. Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan
Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk
aliansi tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo
berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan
oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La
Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani Perjanjian Bungayya. Akibatnya
pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3
bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka
4. Mushallah Tua Menge
Mushollah Tua Menge dibangun sekitar tahun 1621 M. Setelah selesai mesjid Tua Tosora
dibangun. Perjalanan sejarah Islam sejak masuknya hingga sekarang cukup banyak mencatat
kenangan yang tak mudah dilupakan. Dalam sejarah masuknya Islam di Wajo sekitar tahin1610
M. Agama islam berkembang terus sampai sekarang. Mushollah Tua yang dibangun pada tahun
yang sama masa pembangunan mesjidnya Tua Tosora tercatat ada tujuh buah dengan bahan baku
yang sama yaitu batu gunung, pasir, dan telur.
Besarnya animo masyarakat menerima agama Islam tanpa mengalami hambatan. Mereka
menerima kebenaran Islam sesungguhnya. Bangunan Mushollah selalu dimanfaatkan setiap
waktu sholat, mereka berjamaah bersama.
Mushollah Tua Menge ukuran bangunannya lebih kecil dari ukuran bangunan Mesjid Tua.
Fisik bangunan Mushollah Tua ini hanya berukuran 10m x 9,5m. Jarak antara Mesjid Tua dengan
Mushollah kurang lebih 100m dari arah Timur.
5. Makam Lasalewangeng Tenriruwa
makam Lasalewangeng Tenriruwa beliau merupakan arung matoa Wajo ke 30. Beliau pernah
menjadi raja di Limpo atau Negeri Kampiri (arung Kampiri). Lasalewangeng memperkuat
persenjataan Wajo dan memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda kira-kira tahun
1715 sampai 1736.
6. Makam Lataddampare Puangrimaggalatung
Makam Lataddampare Puangrimaggalatung. Disebut dalam lontara bahwa Lataddampare
Puangrimaggalatung adalah seorang ahli pikir dijamannya, dia juga seorang Negarawan, ahli
strategi perang, ahli dibidang pertanian dan ahli hukum.kejujurannya mejalankan pemerintahan
terkenal baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau adalah arung matoa wajo ke 4 yang berhasil
menjadikan wajo sebagai sebuah kerajaan yang besar dan makmur kira-kira tahun 1498 sampai
1528.
7. La Tenrilai Tosengngeng
La Tenrilai Tosengngeng adalah Arung Matowa Wajo ke-23. Ia diangkat menjadi Arung
Matowa setelah menggantikan Arung Matowa La Paremma Torewa Matinroe ri Passiringna kira-
kira tahun 1651-1658.
La Tenrilai Tosengngeng memegang tampuk pemerintahan dari tahun 1658-1670. Beliaulah
yang mendirikan Tosora menjadi Ibukota Kerajaan Wajo yaitu antara tahun1660-1670.
Peristiwa yang sangat penting semasa pemerintahan La Tenrilai Tosengngeng adalah
peperangan yang timbul antara Gowa bersama sekutu-sekutunya disatu pihak dengan Bone
bersama Belanda di lain pihak.
Penyebab kematian Arung Matowa La Tenrilai Tossengngeng karena kecelakaan, yaitu
ketika beliau membakar sumbu meriamnya untuk ditembakkan kepada lawan, beliau lupa
menutup tempat mesiunya, sehingga alat tersebut meledak dan mengena beliau, akhirnya tewas
seketika.
Ada beberapa pendapat mengenai istilah wafatnya Arung Matowa La Tenrilai Tosengngeng.
Ada yang mengatakan Arung Palaiyyengi Musuna (Raja yang meninggalkan peperangannya)
ada juga menggelarnya Djammenga ri alo-laona (yang mati di tempat mesiunya).
Setelah Arung Matowa La Tenrilai Tosengngeng wafat beliau digantikan oleh La Palili
Tomalu Puangna Gella, saudara dari Ranreng Bettengpola
Makam Besse Idalatikka, seorang gadis cantik yang sangat To Palettei, beliau meneruskan
perjuangan melawan Bone dan Belanda.
8. Makam Besse Idalatikka
ramah dan sopan. Konon dia merupakan gadis tercantik di Kerajaan Wajo pada zamannya.
Menurut cerita makam besse idalatikka dibuat dengan memakai kayu di impor dari Malaysia dan
diukir di Kalimantan. Selain itu Makam Besse Idalatikka memang sudah di pesan sebelum 2
bulan kematiannya.
9. Saoraja Mallangga
WAJO merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpinan oleh kerajaan. Berbagai tradisi
kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini, salah satunya adalah pencucian benda
pusakapeninggalan kerajaan.
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana). Salah
satu Saoraja yang dijadikan museum d kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni
Saoraja Mallangga museum simettengpola.
Keberadaan Saoraja ini menjadi bukti sejarah kerajaan Wajo. Tidak sulit untuk menemukan
museum ini. Terletak di Jl Ahmad Yani Kota Sengkang Kabupaten Wajo.
Arsitektur Saoraja Malangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan
bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda.
Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu
Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan
sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusul menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan
oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Keunikan arsitektur bangunan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama bagi para
pendatang yang baru berkunjung ke kota santri.
Ketika FAJAR bertandang ke Museum ini, tanpak pekarangan museum ini cukup asri dan bersih,
dengan balutan cat berwarna coklat, saoraja ini menggunakan lantai dan dinding yang terbuat
dari pilihan.
Staf Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Wajo, Aldi M.P Badja mengatakan dalam
bukunya Wajo dalam perspektif arsitektur, bentuk Saoraja di Kabupaten Wajo umumnya tidak
seperti bangunan Saoraja yang ada di daerah lain. Bangunan ini kata dia memiliki filosofi yang
menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya.
Hal itu katanya dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini,
tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus
selalu terbuka lebar.
"Maknanya, rumah raja ini selalu terbuka untuk siapa saja.
Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya,
hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti," ujarnya.
Saat ini, Saoraja tersebut di huni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu
Sangkuru,79 yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya.
Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa
mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah
arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-
barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional
Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik
tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti
peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.
10. Makam La Maddukkelleng
La Maddukkelleng adalah putera dari arung peneki La Mataesso To Madettia dan We
Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa La salewengeng To Tenrirua.Komplek
makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng yang terletak sekitar 200-an meter arah selatan
Lapangan Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sekaligus
merupakan lokasi pusara Raja Kutai Kertanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji
Muhammad Idris.Di dalam komplek makam yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan
Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut,
keseluruhan terdapat lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng yang
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember
1998.
Bentuk nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng
yang wafat tahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas makam.
Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu ditinggikan, nisannya
menyerupai kelopak daun berukir.
Makam La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang
putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik) berukir. Nisan
dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu berbentuk perisai, dan satunya segi
empat.
Dari Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat
memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang
menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros menuju ke
arah Kabupaten Soppeng.
Berada persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek
makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar 25 meter di
seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab Wajo. Sedangkan di bagian
belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit bangunan perkantoran dan perumahan penduduk.
Pemugaran makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional Bugis
tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa kali berturut
dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil. Kota Sengkang sendiri
dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran wilayah di pesisir Danau Tempe inilah
pusatnya pertenunan sarung sutera di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam riwayat perjuangan Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan dengan
bukti kesejarahan yang kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung Peneki
(ayah) dan We Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai.
Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun 1714.
Mungkin itulah sebabnya Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti
pihak Belanda pada abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka,
juga dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama sekitar 10 tahun
(1726 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja Wajo) di kampung halamannnya
(kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dari tahun 1736 1740.
Sultan Adji Muhammad Idris yang memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 1739
merupakan anak mantu, lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari
Lamaddukkelleng.
Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung
Wajo, Sultan Adji Muhammad Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama
pasukannya untuk membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada awal
tahun 1739.
Belum ditemukan data yang pasti apa penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun
sejarawan Unhas, Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya Kiat-kiat
Kepahlawanan La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang
Belanda dari Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar terbitan Pemkab
Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan penyerangan
terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian wafat serta dimakamkan
di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris yang kemudian tercatat dalam catatan lama di
Sulawesi Selatan dengan gelar Darise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne. Ada
juga catatan yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnya Sultan Adji Muhammad Idris.
Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman yang kini
menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota Sengkang atau
lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, masih
dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan
Nasional Lamaddukkelleng, maka boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris
yang pertama dikebumikan di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan yang
letaknya paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa dari
bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan Adji Muhammad Idris
dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja) Wajo, Lamaddukkelleng masih
hidup.
11. Goa Nippon
Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti sejarah peninggalan tentara Jepang pada perang
dunia II, ada goa yang berbentuk huruf L, I, U dan lainnya. Bagi pengunjung yang ingin
berimajinasi dan bernostalgia untuk mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda
khas peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan goa sejarah ini
sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan pengetahuan baru tentang zaman pendudukan
Jepang di Kabupaten Wajo.
Sejarah Danau Tempe

Danau Tempe terletak di tiga Kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten


Wajo, Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Soppeng. Danau Tempe
dikelilingi oleh tujuh kecamatan yang tersebar di tiga kabupaten diantaranya:
Kecamatan Tempe, Belawa, Tanasitolo dan Sabbangparu di Kabupaten Wajo;
Kecamatan Donri-Donri dan Marioriawa di Kabupaten Soppeng dan Kecamatan
Pancalautang di Kabupaten Sidenreng Rappang.

Danau Tempe di masa lalu digambarkan oleh Pelras (2006) sebagai jalur
pelayaran. Pada saat itu, Danau Tempe menjadi poros dua jalur pelayaran strategis
di Sulawesi Selatan, yaitu jalur yang menghubungkan Selat Makassar dengan Teluk
Bone serta jalur Teluk Bone hingga hulu Sungai Walanae. Jalur pertama yaitu jalur
pelayaran dari Selat Makassar melalui Pare-Pare, Danau Sidenreng, Danau Tempe
dan keluar ke Teluk Bone melalui Sungai Cenranae. Sedangkan jalur kedua yaitu
dari Teluk Bone masuk melalui sungai Cenranae dan terus sampai hulu Sungai
Walanae yang berada di daerah pegunungan Soppeng, Bone dan Maros. Kedua jalur
ini menjadi jalur strategis pada masa itu karena belum adanya jalur darat yang
menghubungkan tempat-tempat tersebut. Catatan sejarah ini diperkuat oleh
adanya bukti fisik berupa jangkar besar yang ditemukan di dasar Danau Tempe.
Jangkar yang tingginya kurang lebih dua meter tersebut sekarang dipajang di depan
museum Saoraja Mallangga di Kota Sengkang. Penemuan tersebut menunjukkan
bahwa kapal yang berlayar di Danau Tempe merupakan kapal-kapal besar sehingga
memberikan gambaran bahwa Danau Tempe di masa lalu merupakan danau yang
cukup dalam untuk dapat dilalui oleh kapal-kapal besar.

Gambar dirujuk dari: http://artmelayu.blogspot.com/

Adanya jalur pelayaran yang cukup besar melalui Danau Tempe pada masa lalu
dapat juga ditelusuri melalui perubahan kondisi geografis Danau Tempe dari masa
ke masa. Ambo Tang Daeng Matteru mengungkapkan empat tahapan perubahan
bentuk fisik dari lokasi di sekitar Danau Tempe. Tahap pertama yaitu pulau Sulawesi
bagian selatan masih terpisah dari pulau Sulawesi oleh selat yang membentang dari
selat Makassar ke Teluk Bone. Kondisi ini diperkirakan berlangsung pada masa
sebelum Masehi. Tahap kedua yaitu ketika terjadi pendangkalan dan penyempitan
pada kedua ujung selat sehingga membentuk sebuah danau besar. Tahap kedua ini
diperkirakan berlangsung pada abad pertama sampai abad ke-16 Masehi. Proses
pendangkalan terus terjadi sehingga terbentuk empat sub danau. Masa ini adalah
tahap ketiga perubahan kondisi geografis yang diperkirakan berlangsung pada abad
ke-17 sampai abad ke-18. Empat sub danau yang terbentuk pada tahap ini yaitu
Danau Alitta, Danau Sidenreng, Danau Tempe dan Danau Lapongpakka. Pada tahap
ini juga terbentuk beberapa danau kecil lainnya, salah satunya adalah danau
Lampulung. Pada tahap ke-4, tepatnya pada abad ke-19 hingga ke-20, Danau Alitta
telah hilang. Danau yang tersisa yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng, Danau
Lapongpakka dan Danau Lampulung. Pada masa ini, jalur yang menghubungkan
Selat Makassar dengan Teluk Bone telah benar-benar terputus. Perubahan kondisi
geografis tersebut di atas digambarkan sbb.:

Perubahan Kondisi Geografis Danau di Sulawesi Selatan

Sumber: diolah dari http://www.belawa.com/

Sejarah perubahan kondisi fisik yang diungkapkan oleh Ambo Tang Daeng Matteru
sebagian besar dapat dikonfirmasi berdasarkan catatan sejarah yang diungkapkan
oleh Christian Pelras. Danau Besar yang terbentuk pada tahap kedua juga
disebutkan dalam buku Manusia Bugis karya Christian Pelras tersebut. Pelras (2006)
menceritakan bahwa pada tahun 1945, seorang asal Portugis bernama Manuel Pinto
menggambarkan Danau Besar tersebut dapat dilalui oleh sebuah kapal layar
Portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya (futsa besar).
Ukuran danau tersebut digambarkan lebarnya lima legua Portugis dan panjangnya
20 legua Portugis (lebarnya sekitar 25 km dan panjangnya 100 km menurut Pelras).
Dalam bahasa Bugis, Danau Besar dinamai Tappareng Karaja yang artinya Danau
Besar, sementara dalam bahasa Makassar Danau Besar tersebut dinamai
Tamparang Labaya yang artinya laut air tawar. Masyarakat Bugis mengartikan
kata tappareng dengan kata danau, sementara masyarakat Makassar
mengertikan kata tamparang dengan kata laut. Terlepas dari perbedaan
pengertian antara suku Bugis dan Makassar, pemberian nama oleh kedua suku yang
berada di sekitar danau tersebut membenarkan keberadaan danau yang sangat
besar di masa lalu. Sedemikian besarnya hingga suku Makassar menyamakannya
dengan Laut.
Tidak banyak informasi sejarah yang menjelaskan mengapa pendangkalan
Danau Besar bisa terjadi. Informasi sejarah pendangkalan Danau Besar yang ada
hanya dimulai pada abad ke-14. Pendangkalan yang menyebabkan perubahan
kondisi geografi Danau Besar dikisahkan oleh Pelras (2006:11) yaitu:

sejak sekitar abad ke-14 Masehi, penebangan hutan secara luas, pembukaan lahan
pertanian secara terus menerus di dataran rendah dan lembah, ditambah
pembukaan atau perluasan lahan perkebunan dan penanaman palawija dengan
sistem tebang bakar atau babat-bakar yang terlalu intensif di perbukitan dan di
pegunungan, telah menyebabkan perbukitan gundul, lembah tandus serta
musnahnya berbagai jenis flora. Hal itu pada gilirannya merupakan penyebab
terjadinya erosi yang parah dan pendangkalan danau serta muara sungai

Pada bagian lain, Pelras (2006: 74) menyebutkan:

Selama berabad-abad aliran lumpur dalam jumlah yang besar yang terbawa arus
sungai Saddang, Walanae, dan Bila mengubah Danau Besar (Tappareng Karaja) di
abad ke-16 itu menjadi tiga danau lebih kecil dan lebih dangkal

Dari informasi sejarah yang diungkapkan oleh Pelras, dapat ditarik kesimpulan
bahwa proses pendangkalan terjadi akibat erosi dan sedimentasi yang disebabkan
oleh aktivitas manusia. Bahkan setelah enam abad kemudian, erosi dan sedimentasi
masih terus berlanjut yang tentu saja disebabkan karena aktivitas yang
menyebabkan erosi dan sedimentasi juga masih terus berlanjut. Jika demikian
halnya, maka Danau Tempe ke depan hanya akan ada dalam teks-teks sejarah.

Você também pode gostar