Você está na página 1de 16

BAB I

PENDAHULUAN

Kelahiran seorang bayi merupakan saat yang membahagikan bagi orang tua, terutama

bayi yang lahir sehat. Bayi yang nantinya tumbuh menjadi anak dewasa melalui proses yang

panjang, dengan tidak mengesampingkan faktor lingkungan keluarga. Terpenuhinya kebutuhan

dasar anak (asah-asih-asuh) oleh keluarga akan memberikan lingkungan yang terbaik bagi anak,

sehingga tumbuh kembang anak menjadi seoptimal mungkin. Tetapi tidak semua bayi lahir

dalam keadaan sehat. Beberapa bayi lahir dengan gangguan pada masa prenatal, natal, dan

pascanatal. Keadaan ini akan memberikan pengaruh bagi tumbuh kembang anak selanjutnya.1,2

Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh tindakan-

tindakan yang dilakukan pada saat persalinan sangat beragam. Trauma akibat tindakan, cara

persalinan atau gangguan kelainan fisiologik persalinan yang sering kita sebut sebagai cedera

atau trauma lahir. Partus yang lama akan menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis.

Kebanyakan cedera lahir ini akan hilang sendiri dengan perawatan yang baik dan adekuat.2

Cedera lahir adalah kelainan bayi baru lahir yang terjadi karena trauma lahir akibat

tindakan, cara persalinan atau gangguan persalinan yang diakibatkan kelainan fisiologis

persalinan. Sebagian besar cedera lahir terjadi selama persalinan lama dan berlarut-larut atau

kesulitan lahir. Cedera lahir dapat terjadi apabila janin besar atau presentasi, atau posisi janin

abnormal.3

Insiden jejas lahir diperkirakan 2-7/1.000 kelahiran hidup. Faktor-faktor predisposisinya

meliputi makrosomia, prematuritas, disproporsi kepala terhadap panggul, distosia, kelahiran

yang lama dan presentasi bokong. Secara keseluruhan 5-8/100.000 bayi meninggal karena

1
trauma lahir. Dan 25/100.000 meninggal karena jejak anoksis, jejas demikian mewakili 2/3

kematian bayi.4

Trauma kepala dan kulit kepala dapat terjadi selama proses persalinan yang biasanya

ringan namun kadang-kadang bisa mengakibatkan cedera yang lebih serius, seperti perdarahan

intrakranial dan hematoma subdural. Tiga jenis cedera perdarahan ekstrakranial yang paling

sering adalah caput succadaneum, perdarahan subgaleal, dan cephal hematoma.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Trauma lahir adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena trauma kelainan

akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan yang diakibatkan oleh kelainan fisiologik

persalinan.6
Trauma persalinan adalah kelainan bayi baru lahir yang terjadi karena trauma lahir akibat

tindakan, cara persalinan atau gangguan persalinan yang diakibatkan kelainan fisiologis

persalinan.3
Trauma lahir adalah trauma pada bayi yang diterima dalam atau karena proses kelahiran.

Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yang

dapat dihindarkan maupun yang tidak dapat dihindarkan, yang didapat bayi pada masa

persalinan dan kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian

medik yang tidak pantas atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun

telah mendapat perawatan kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada

kaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh. Pembatasan trauma lahir tidak

meliputi trauma akibat amniosentesis, transfusi intrauteri, pengambilan contoh darah vena

kulit kepala atau resusitasi.7

B. JENIS TRAUMA LAHIR


1. Trauma Ekstrakranial
i. Caput Succedaneum
Lesi kulit yang paling sering ditemukan adalah caput succedaneum, suatu daerah

jaringan edema dengan batas tidak jelas yang terletak di daerah kulit kepala yang

merupakan bagian terbawah pada kelahiran puncak kepala.3

3
Caput succedaneum adalah pembengkakan difus jaringan lunak kepala yang dapat

melampaui sutura garis tengah. Kelainan ini sebagai akibat sekunder dari tekanan

uterus atau dinding vagina pada kepala bayi sebatas caput. Keadaan ini dapat pula

terjadi pada kelahiran spontan dan biasanya menghilang dalam 2-4 hari setelah lahir. 3

Banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya caput succedanaeum pada bayi baru

lahir, yaitu :3
a. Persalinan lama
Dapat menyebabkan caput succedaneum karena terjadi tekanan pada jalan

lahir yang terlalu lama, menyebabkan pembuluh darah vena tertutup, tekanan

dalam vena kapiler meninggi hingga cairan masuk kedalam cairan longgar

dibawah lingkaran tekanan dan pada tempat terendah.


b. Persalinan dengan ekstrasi vakum
Pada bayi yang dilahirkan vakum yang cukup berat, sering terlihat adanya

caput vakum sebagai edema sirkulasi berbatas dengan sebesar alat penyedot

vakum yang digunakan.

c. His
His cukup kuat, makin kuat his, makin besar caput succedaneum. Tanda dan

gejala yang dapat ditemui pada anak dengan caput succedaneum adalah

sebagai berikut :
Adanya edema dikepala berwarna kemerahan
Pada perabaan teraba lembut dan lunak
Edema melampaui sela-sela tengkorak
Batas yang tidak jelas
Menghilang 2-3 hari tanpa pengobatan

ii. Cephal Hematoma


Cephal hematoma adalah perdarahan sub periosteal akibat kerusakan jaringan

periosteum karena tarikan atau tekanan jalan lahir, dan tidak pernah melampaui batas

sutura garis tengah.3

4
Cephal hematoma mengacu pada pengumpulan darah di atas tulang tengkorak

yang disebabkan oleh perdarahan subperiosteal dan berbatas tegas pada tulang yang

bersangkutan dan tidak melampaui sutura-sutura sekitarnya, sering ditemukan pada

tulang temporal dan parietal. Kelainan dapat terjadi pada persalinan biasa, tetapi lebih

sering pada persalinan lama atau persalinan yang diakhiri dengan alat, seperti ekstraksi

vakum.8
Gejala lanjut yang mungkin terjadi yaitu anemia dan hiperbilirubinemia. Kadang-

kadang disertai dengan fraktur tulang tengkorak di bawahnya atau perdarahan

intrakranial.8
Bila tidak ditemukan gejala lanjut, cephal hematoma tidak memerlukan perawatan

khusus. Kelainan ini dapat menghilang dengan sendirinya setelah 2-12 minggu. Pada

kelainan yang agak luas, penyembuhan kadang-kadang disertai kalsifikasi.8


iii. Perdarahan Subgaleal
Perdarahan subgaleal adalah perdarahan ke dalam kompartemen subgaleal.

Kompartemen seubgaleal adalah ruang potensial yang berisi jaringan ikat tersusun

longgar, terletak di bawah galea aponerosis, suatu selubung tendo yang

menghubungkan otot frontal dan oksipital dan membentuk permukaan dalam kulit

kepala.8

5
2. Trauma Kranial
Tidak umum terjadi karena tulang tengkorak yang masih lunak dan sutura masih

terbuka. Namun hal ini bias terjadi karena penggunaan forsep atau karena proses partus

yang terlalu lama. Karena adanya tekanan yang besar terjadi pada tulang tengkorak.

Kejadian trauma dibagian kranial ini juga biasanya tanpa gejala yang khas.9
i. Fraktur tengkurak linear.
ii. Fraktur karena tekanan.

3. Trauma Intrakranial
i. Epidural
Kejadian ini jarang ditemukan, sekitar 2,2 % dari semua perdarahan intrakranial.8
Akibat trauma kapitis tengkorak (retak). Fraktur yng paling ringan ialah fraktur linear.

Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum),

atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun

fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).8
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran yang menurun secara progresif. Pupil

pada sisi perdarahan pertama-tama sempit, tetapi kemudian menjadi lebar dan tidak

6
bereaksi terhadap penyinaran cahaya. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul

berikutnya, mencerminkan tahap-tahap disfungsi rostrokaudal batng otak. Pada tahap

kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparesis atau serangan

epilepsy fokal.8
Perdarahan epidural lebih sering terjadi pada bayi dimana tingginya <4 kaki dimana

pusat dari gravitasi tubuhnya terdapat pada kepala dan kecenderungan untuk jatuh

dengan kepala terlebih dahulu.8

ii. Subdural
Kelainan terjadi 73 % dari semua kejadian perdarahan intrakranial. Terjadi akibat

tekanan mekanik pada tengkorak yang dapat menimbulkan robekan falks cerebri atau

tentorium cerebella, sehingga terjadi perdarahan. Hal ini biasanya ditemukan pada

persalinan dengan disproporsi sefalopelvik dengan dipaksakan untuk lahir

pervaginam dan lebih sering ditemukan pada bayi aterm daripada bayi premature.

Namun bergantung lagi pada daerah yang terkena.8

iii. Subarachnoid
Kejadian trauma subarachnoid sangat jarang terjadi, hingga angka insidensnya

hanya sekitar 0,1 per 1000 kelahiran.8


Perdarahan ini juga ditemukan pada bayi-bayi prematur dan mempunyai hubungan

erat dengan hipoksia pada saat lahir.8


Bayi dengan perdarahan intrakranial menunjukkan gejala-gejala asfiksia yang sukar

diatasi. Bayi setengah sadar, merintih, pucat, sesak nafas, muntah dan kadang-kadang

kejang. Bayi dapat meninggal atau hidup terus tanpa gejala-gejala lanjut atau dengan

gejala-gejala neurologik yang beraneka ragam, tergantung pada tempat dan luasnya

kerusakan jaringan otak akibat perdarahan.10

7
4. Trauma Saraf
Trauma yang terjadi karena adanya hiperesktensi, traksi, dan peregangan

berlebihan yang terjadi pada saat partus. Adapun trauma lahir pada bagian susunan saraf :
i. Paralisis nervus facialis
Kelainan ini terjadi akibat tekanan perifer pada nervus facialis saat kelahiran. Hal ini

sering tampak pada bayi yang lahir dengan ekstraksi cunam Kelumpuhan perifer ini

bersifat flasid, dan bila kelumpuhan terjadi total, akan mengenai seluruh sisi wajah

termasuk dahi. Kalau bayi menangis, hanya dapat dilihat adanya pergerakan pada sisi

wajah yang tidak mengalami kelumpuhan dan mulut tertarik ke sisi itu. Pada sisi yang

terkena gangguan, dahinya licin, mata tidak dapat ditutup, lipatan nasolabial tidak ada

dan sudut mulut kelihatan jatuh. Kelainan biasanya sembuh dalam beberapa hari

tanpa tindakan-tindakan khusus.11,12

8
ii. Paralisis nervus frenikus
Gangguan ini biasanya terjadi di sebelah kanan dan menyebabkan terjadinya paralisis

diafragma. Kelainan sering ditemukan pada kelahiran sungsang. Kelainan ini

biasanya menyertai paralisis Duchenne Erb dan diafragma yang terkena biasanya

diafragma kanan. Pada paralisis berat bayi dapat memperlihatkan sindroma gangguan

pernafasan dengan dispneu dan sianosis. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan

rntgen foto torak atau fluoroskopi dimana diafragma yang terganggu posisinya lebih

tinggi. Pengobatan biasanya simptomatik. Bayi harus diletakkan pada sisi yang

terkena gangguan dan kalau perlu diberi oksigen. Infeksi paru merupakan komplikasi

yang berat. Penyembuhan biasnya terjadi spontan pada bulan ke-1 sampai ke-3.11

iii. Paralisis plexus brachialis


Kelainan paralisis plexus brachialis dibagi atas,
a. Paralisis Duchenne
Paralisis Duchenne yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh

cabang-cabang C5 dan C6 dari plexus brachialis. Pada keadaan ini ditemukan

kelemahan untuk fleksi, abduksi, serta memutar ke luar disertai hilangnya refleks

biseps dan Moro.11

b. Paralisis Klumpke
Paralisis Klumpke yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh

cabang C8-Th 1 dari plexus brachialis. Disini terdapat kelemahan otot-otot fleksor

pergelangan, sehingga bayi kehilangan refleks mengepal.11


Kelainan ini timbul akibat tarikan yang kuat di daerah leher pada saat lahirnya bayi,

sehingga terjadi kerusakan pada plexus brachialis. Hal ini ditemukan pada persalinan

sungsang apabila dilakukan traksi yang kuat dalam usaha melahirkan kepala bayi.

Pada persalinan presentasi kepala, kelainan dapat terjadi pada janin dengan bahu

lebar.11

9
Penanggulangannya dengan jalan meletakkan lengan atas dalam posisi abduksi 90

dan putaran ke luar. Siku berada dalam fleksi 90 disertai supinasi lengan bawah

dengan ekstensi pergelangan dan telapak tangan menghadap ke depan. Posisi ini

dipertahankan untuk beberapa waktu. Penyembuhan biasanya setelah beberapa hari,

kadang-kadang 3-6 bulan.11

iv. Paralisis pita suara


Kelainan ini mungkin timbul pada setiap persalinan dengan traksi kuat di daerah

leher. Trauma tersebut dapat mengenai cabang ke laring dari nervus vagus, sehingga

terjadi gangguan pita suara (afonia), stridor pada inspirasi, atau sindroma gangguan

pernafasan. Kelainan ini dapat menghilang dengan sendirinya dalam waktu 4-6

minggu dan kadang-kadang diperlukan tindakan trakeotomi pada kasus yang berat.12

v. Kerusakan medulla spinalis


Kelainan ini ditemukan pada kelahiran letak sungsang, presentasi muka atau

presentasi dahi. Hal ini terjadi akibat regangan longitudinal tulang belakang karena

tarikan, hiperfleksi, atau hiperekstensi pada kelahiran. Gejala yang ditemukan

tergantung dari bagian medulla spinalis yang terkena dan dapat memperlihatkan

sindroma gangguan pernafasan, paralisis kedua tungkai, retensio urine, dan lain-lain.

Kerusakan yang ringan kadang-kadang tidak memerlukan tindakan apa-apa, tetapi

pada beberapa keadaan perlu dilakukan tindakan bedah atau bedah saraf.12

5. Trauma Wajah
Kejadian yang diakibatkan adanya kompresi saraf tepi karena adanya intimidasi

dari alat yang digunakan baik itu forsep, ataupun karena proses partus yang lama.11

6. Trauma Tulang

10
Kejadian yang sangat jarang terjadi. Trauma pada tulang paling sering terjadi

akibat trauma mekanik yang didapat saat proses kelahiran ataupun pasca kelahiran.

Kejadian 0,1 per 1000 kelahiran hidup. Adapun fraktur yang dapat terjadi :
i. Fraktur Klavikula
Fraktur ini merupakan jenis yang tersering pada bayi baru lahir, yang mungkin terjadi

apabila terdapat kesulitan mengeluarkan bahu pada persalinan. Hal ini dapat timbul

pada kelahiran presentasi puncak kepala dan pada lengan yang telentang pada

kelahiran sungsang. Gejala yang tampak pada keadaan ini adalah kelemahan lengan

pada sisi yang terkena, krepitasi, ketidakteraturan tulang mungkin dapat diraba,

perubahan warna kulit pada bagian atas yang terkena, krepitasi, ketidakteraturan tulang

mungkin dapat diraba, perubahan warna kulit pada bagian atas yang terkena fraktur

serta menghilangnya refleks moro pada sisi tersebut. Diagnosis dapat ditegakkan

dengan palpasi dan foto rontgent. Penyembuhan sempurna terjadi setelah 7-10 hari

dengan imobilisasi dengan posisi abduksi 60 derajat dan fleksi 90 derajat dari siku

yang terkena.11
ii. Fraktur Humeri
Kelainan ini terjadi pada kesalahan teknik dalam melahirkan lengan pada presentasi

puncak kepala atau letak sungsang dengan lengan membumbung ke atas. Pada keadaan

ini biasanya sisi yang terkena tidak dapat digerakkan dan refleks Moro pada sisi

tersebut menghilang. Prognosis penderita sangat baik dengan dilakukannya imobilisasi

lengan dengan mengikat lengan ke dada, dengan memasang bidai berbentuk segitiga

atau pemasangan dengan menggunakan gips. Akan membaik dalam waktu 2-4

minggu.11
iii. Fraktur Tulang Tengkorak
Kebanyakan fraktur tulang tengkorak terjadi akibat kelahiran pervaginam sebagai

akibat penggunaan cunam atau forceps yang salah, atau dari simpisis pubis,

11
promontorium, atau spina ischiadica ibu pada persalinan dengan diproporsi

sefalopelvik. Yang paling sering adalah fraktur linier yang tidak menimbulkan gejala

dan tidak memerlukan pengobatan, serta fraktur depresi yang biasanya kelihatan

sebagai lekukan pada kalvarium yang mirip lekukan pada bola pingpong. Semua

fraktur ini harus direposisi untuk menghindari cedera korteks akibat tekanan yang

terus-menerus dengan menggunakan anastesi lokal dalam minggu pertama dan segera

setelah kondisi bayinya stabil.12,13


iv. Fraktur Femoris
Kelainan ini jarang terjadi, dan bila ditemukan biasanya disebabkan oleh kesalahan

teknik dalam pertolongan pada presentasi sungsang. Gejala yang tampak pada

penderita adalah pembengkakan paha disertai rasa nyeri bila dilakukan gerakan pasif

pada tungkai. Pengobatan dilakukan dengan melakukan traksi pada kedua tungkai,

walaupun fraktur hanya terjadi unilateral. Penyembuhan sempurna didapat setelah 3-4

minggu pengobatan.12
v. Fraktur dan Dislokasi Tulang Belakang
Kelainan ini jarang ditemukan dan biasanya terjadi jika dilakukan traksi kuat untuk

melahirkan kepala janin pada presentasi sungsang atau untuk melahirkan bahu pada

presentasi kepala. Fraktur atau dislokasi lebih sering pada tulang belakang servikal

bagian bawah dan torakal bagian atas. Tipe lesinya berkisar dari perdarahan setempat

hingga destruksi total medulla spinalis pada satu atau lebih aras (level) cerebral.

Keadaan bayi mungkin buruk sejak kelahirannya, disertai depresi pernafasan, syok dan

hipotermia. Kalau keadaannya parah dapat memburuk dengan cepat sampai

menimbulkan kematian dalam beberapa jam. Pada bayi yang selamat, pengobatan

yang dilakukan bersifat suportif dan sering terdapat cedera permanen.12

7. Trauma Intra abdomen

12
Tidak umum terjadi. Hal ini walaupun terjadi maka terjadi pada kelahiran yang

disertai berbagai faktor resiko yang mempersulit kelahiran. Kelainan ini dapat terjadi

akibat teknik yang salah dalam memegang bayi pada ekstraksi persalinan sungsang.

Gejala yang dapat dilihat ialah adanya tanda-tanda syok, pucat, anemia, dan kelainan

abdomen tanpa tanda-tanda perdarahan yang jelas. Ruptur hepar, lien dan perdarahan

adrenal merupakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan perdarahan ini. Operasi

serta transfusi darah dini dapat memperbaiki prognosis bayi.12

C. ETIOLOGI
Faktor predisposisi
i. Faktor Ibu9
a. Primigravida
b. Disproporsi Sefalopelvik
c. Distosia
d. Partus lama atau Partus Cepat
e. Oligohidroamnion
ii. Faktor Janin9
a. Presentasi abnormal Sungsang atau Presentasi Wajah
b. BBLSR atau Prematuritas
c. Makrosomia
d. Kepala Janin Besar
e. Kelainan Janin

iii. Intervensi Obstetrik9


a. Pemakaian forsep mid-cavity atau ekstraksi vakum
b. Versi dan ekstraksi

D. KAJIAN ISLAM

Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (At-

Tiin : 4)

13
BAB III
KESIMPULAN

Persalinan membutuhkan pengalaman dan keahlian dari seorang klinisi. Selama

persalinan juga dibutuhkan informed consent. Pada orangtua mengenai kemungkinan komplikasi

persalinan yang terjadi pada bayi mereka. Orangtua haruslah juga diberi informasi mengenai

keuntungan dan kerugian persalinan dan harus diberi kesempatan untuk menentukan jenis

persalinan yang mereka inginkan berdasarkan penjelasan berimbang yang diberikan.

Persalinan banyak menyebabkan komplikasi dan trauma lahir yang terjadi pada bayi.

Pengenalan mengenai mekanisme persalinan dan kemungkinan komplikasi yang akan terjadi

selama persalinan akan mengurangi insiden kejadian trauma lahir pada bayi. Penting bagi

seorang klinisi untuk menimbang apakah sebaiknya suatu persalinan diakhiri secara pervaginam

atau langsung perabdominan.

Pengenalan mengenai trauma pada bayi dari persediaan, juga perlu diketahui oleh

seorang obstetrian. Apabila trauma pada bayi segera diketahui maka penanganan selanjutnya

akan lebih cepat dan tepat sehingga morbiditas dan mortalitas bayi dapat ditekan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunatmadja I., Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Bayi Risiko Tinggi, dalam

Temu Muka dan Konsultasi : Deteksi dan Simulasi Dini Bayi Risiko Tinggi, Jakarta, 2000.
2. Demissie K, Rhoad GG, Smulian JC, et al. Operative vaginal delivery and neonatal and

infant adverse outcome: population based retrospective analysis. BMJ 2004; 329:24.
3. Wiknjosastro H., Perlukaan persalinan, dalam Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1997 : 716-722.


4. Patel HI, Moriarty Kp, Brisson PA, Feins NR. Genitourinary injuries in the newborn. J

Pediatr Surg 2001; 36 :235-9.


5. Childclinic. Birth trauma on breech delivery. Available from URL:

http://www.childclinic.net/consultationlog diakses pada tanggal 22 Mei 2015.


6. Schneiderchildrenhospital.org. High-risk newborn. Available from URL:

http://www.schneiderchildrenhospital.org/peds_html_fixed/peds/hrnewborn/ivh.htm diakses

pada tanggal 22 Mei 2015.


7. Rima M et all. Kamus Kedokteran Dorland, Ed. XXXI, EGC, Jakarta, 2010.
8. Hasan R., Alatas H., Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta,

2005 : 1069-1071.
9. Pranoto I., Pertumbuhan dan Perkembangan Intrauterin, Bagian Kebidanan dan Penyakit

Kandungan FK UGM, Yogyakarta, 2006.


10. Rachman M & Dardjad M.T., Segi-segi Praktis Ilmu Kesehatan Anak, Kelompok Minat

Penulisan ilmiah Kedokteran, Jakarta, 2007.


11. Behrman R., Vaughan V., Trauma Lahir, dalam Nelson-Ilmu kesehatan Anak, Ed. XV, EGC,

Jakarta, 2000 : 608 614.


12. Uhing MR. Management of birth injuries. Clin perinatol. 2005; 32:19-38.

15
13. Mukhopadhyay S, Arulkumaran S. Breech delivery. Best Practice and Research Clinical

Obstetrics and Gynecology. 2002; 16:31-42.

16

Você também pode gostar