Você está na página 1de 6

Teori Piaget dan Pendidikan Remaja

Teori Piaget sudah ditetapkan secara meluas di bidang pendidikan, meskipun lebih banyak
dikalangan anak-anak di bandingkan kalangan remaja. David Elkind (1976) mengemukakan dua
hal. Pertama, masalah utama pendidikan yaitu komunikasi. Menurut teori Piaget, pikiran remaja
bukanlah lembar kosong. Sebaliknya, remaja sudah memiliki sejumlah gagasan mengenai dunia
fisik dan alami. Kedua, remaja yang secara alamiah adalah makhluk yang serba ingin tahu. Cara
terbaik untuk memelihara motivasi untuk menimba pengetahuan adalah dengan memberi mereka
kesempatan berinteraksi secara spontan dengan lingkungannya.

Baik guru maupun buku pelajaran yang dipakai lebih terfokus pada perkembangan kurikulum
ketimbang pada perkembangan pelajar. Dan bila guru memperhatikan atau menjadi prihatin
mengenai karakteristik perkembangan remaja, perhatian mereka lebih terarah pada dimensi
kepribadian sosial ketimbang dimansi kognitifnya (Cowan, 1978)

Salah satu pendapat utama yang timbul dari penerapan teori Piaget di bidang pendidikan adalah
bahwa cara pengajaran nya terlalu sering berada pada tingkat operasional formal, meski
mayoritas remaja sesungguhnya bukan pemikir operasional formal.

Data yang ada menunjukan bahwa remaja membangun pandangan mengenai dunia nya
berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman, dan para pendidik seharusnya
mempertimbangkan hal ini saat mengembangkan kurikulum untuk remaja ( Burbules dan Linn,
1998. Danner, 1989. Linn, 1987, 1991).

Di Balik Pemikiran Operasional Formal

Perubahan kearah pemikiran mengenai suatu keterampilan khusus (cara berfikir yang dipakai
ahli fisika nuklir atau peneliti medis) tidak lebih dari sekedar bunga-bunga hiasan saja. Menurut
Piaget, ahli fisika nuklir mungkin berfikir dengan cara-cara yang tidak dapat dilakukan oleh
seorang remaja, perbedaan mereka terletak pada isi pikirannya, bukan pada operasi berfikir yang
mereka terapkan pada isi tersebut (Piaget, 1970)
Menurut Gisela Labouvie Vief (1982, 1986) terjadi suatu integrasi baru pada cara berfikir di
masa dewasa awal. Menurutnya, pengalaman masa dewasa menghasilkan batasan-batasan
pragmatis yang menuntut untuk dilakukannya suatu strategi adaptif yang tidak terlalu
mengandalkan analisis logis dalam memecahkan masalah.

Piaget (1967) melihat bahwa cara berfikir operasional formal memiliki beberapa bahaya.

Dengan kemajuan intelegensi formal, kegiatan berfikir memiliki sayap dan


tidaklah mengejutkan bahwa pada awalnya kekuatan tak terduga ini dimanfaatkan
dan sekaligus disalahgunakan. Setiap kemampuan mental baru diawali dengan
melibatkan dunia melalui suatu proses asimilasi egosentris. Egosentrisitas remaja
terwujud dalam keyakinan akan kekuatan pemikiran, seakan-akan dunia harus
menyerah pada skema idealistrik daripada pada sistem realitas.

Kemampuan kognitif manusia sangat kuat di masa dewasa awal, dan juga menunjukan adanya
penyesuaian terhadap berbagai pertimbangan praktis. Sejalan dengan kematangan pemuda
menuju masa dewasa, secara berangsur-angsur mereka menyadari adanya perbedaan pendapat
dan beragam sudut pandang yang dimiliki orang lain, yang menggoyahkan persepsi dualistik
mereka tersebut. Cara berfikir dualistic mereka tersingkirkan oleh cara berfikir ganda, sejalan
dengan meningkatnya pemahaman bahwa pihak yang memiliki otoritas belum tentu dapat
memberi jawaban atas segala hal. Saat pendapat pribadi tersebut di sanggah oleh pendapat lain,
cara berfikir ganda beralih ke cara berfikir relative subordinate dimana pendekatan analitis,
evaluative terhadap pengetahuan dilakukan secara sadar dan aktif.

Cara lain dari pemikiran yang lebih tinggi tingkatannya dari pada operasional formal adalah
kebijaksanaan. Kebijaksanaan (wisdom) adalah pengetahuan pakar mengenai aspek praktis
dalam kehidupan (Baltes & Baltes, in press, Baltes, dll., 1990). Kebijaksanaan lebih dari sekedar
kecerdasan biasa, memusatkan perhatian pada masalah pragmatis kehidupan dan kondisi
manusia.
Sumbangan dan Kritik terhadap Pemikiran Piaget

Dunia memenrima pandangan bahwa anak dan remaja adalah pemikir aktif dan konstruktif yang
melalui interaksi dengan lingkungannya, membentuk perkembangan mereka sendiri. (Flevell,
1992).

Sejumlah aspek operasional formal yang melibatkan penalaran abstrak tidak secara ajeg muncul
di masa remaja awal. Dan orang dewasa pun sering kali berfikir dengan cara yang lebih
irrasional daripada perkiraan Piaget (Siegler, 1991)

Kebanyakan pakar perkembangan masa kini sepakat bahwa perkembangan kognitif tidaklah
dalam bentuk tahapan besar. Neo-Piagetian adalah pakar perkembangan yang sudah
mengembangkan teori Piaget lebih lanjut, mereka yakin bahwa perkembangan kognitif dalam
beberapa hal lebih bersifat spesifik dibandingkan dengan pandangan Piaget (Case, 1987, 1992.
Marini & Case, 1994. Pascual-Leone, 1987). Neo-Piagetian tidak berpendapat bahwa semua
gagasan Piaget sudah tidak berlaku lagi. Namun mereka mengemukakan bahwa pandangan yang
lebih tepat mengenai perkembangan kognitif tidak terlalu mengacu kepada tahapan besar dan
lebih memperhatikan peran strategi, keterampilan, seberapa cepat dan otomatisnya seorang anak
mampu memproses informasi, sifat dasar dari cara berfikir yang khusus untuk tugas tertentu, dan
pentingnya memecah masalah kognitif menjadi langkah-langkah yang lebih kecil dan tepat.

Pakar perkembangan dari Kanada, Robbie Case (1995) mengemukakan bahwa remaja memiliki
semakin banyak sumber kognitif di bandingkan saat mereka masih anak-anak, karena mereka
dapat memproses informasi lebih otomatis, mereka memiliki kapasitas pemrosesan informasi
yang lebih besar, dan mereka lebih mengenal baik serangkaian pengetahuan mengenai hal-hal
tertentu.

Budaya dan pendidikan membawa pengaruh yang lebih kuat terhadap perkembangan.
Perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang
sudah terampil, dan bagaimana keterlibatan dalam lingkungan budaya mempengaruhi
pertumbuhan kognisi.
Sosialisasi Kognitif

Perkembangan kognitif remaja tidak berlangsung terlepas dari lingkungan sosial. Lev Vygotsky
(1896-1934), seorang psikolog Rusia, menyadari akan pentingnya hal tersebut lebih dari
setengah abad yang lalu. Ia menekankan bahwa perkembangan kognitif anak dan remaja dibantu
dengan bimbingan orang lain yang lebih terampil dalam menggunakan peralatan budaya.

Salah satu konsep Vygotsky yang terpenting adalah zone of proximal development (ZPD)
(daerah perkembangan terdekat) yang merujuk pada tugas-tugas yang terlalu sulit diselesaikan
atau dikuasai secara mandiri, tetapi akan dapat dikuasai dibawah bimbingan atau bantuan orang
dewasa atau remaja lain yang lebih mahir. Jadi, batas bawah ZPD adalah tingkat pemecahan
masalah yang dicapai remaja bila menyelesaikan nya secara mandiri. Batas atas nya adalah
tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima remaja dengan bantuan pengajar yang
mahir. Denagn pengajaran yang tepat dan terus menerus serta latihan, remaja akan menguasai
langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas sasaran.

Dalam pendekatan sosialisasi kognitif, pendidikan formal hanyalah sebuah agen budaya yang
menentukan perkembangan kogntif remaja (Keating, 1990), orang tua, teman sebaya, masyarakat
sekitar, dan orientasi teknologi adalah kekuatan lain yang mempengaruhi perkembangan cara
berfikir remaja. Sosialisasi kognitif remaja dapat ditingkatkan dengan mengembangkan
lingkungan yang sacar kognitif memberi rangsangan dan lebih memperhatikan peran faktor
sosial pada perkembangan kognitif.

Pendekatan yang memperhitungkan rasa percaya diri remaja, prestasi yang mereka harapkan, dan
rasa memiliki tujuan tampaknya sama efektifnya dengan atau bahkan lebih efektif di bandingkan
dengan pendekatan kognitif yang lebih sempit dalam membentuk perkembangan kognitif remaja.

Kognisi Sosial

Studi perkembangan kognitif terutama terarah pada kognisi mengenai gejala non-sosial, semi
logika, bilangan, kata-kata, waktu dan semacamnya. Juga tamapk minat yang menggebu
terhadap bagaimana anak-anak dan remaja berfikir tentang dunia sosial mereka (Brunner &
Bornstein, in press. Lapsley, 1990)
Hakikat Kognisi Sosial

Kognisi sosial mengacu pada bagaiman seseorang memandang dan berpikir mengenai dunia
sosial mereka, orang-orang yang mereka amati dan yang berinteraksi dengan mereka, hubungan
dengan orang-orang tersebut, kelompok tempat mereka bergabung, dan bagaimana mereka
berpikir mengenai diri mereka sendiri dan orang lain. Dua sudut pandang teoritis telah
merangsang perkembangan minat terhadap kognisi sosial, pandangan yang berorientasi pada
perkembangan kognitif dan pemrosotan informasi sosial.

Pandangan yang Perkembangan Kognitif

Kohlberg, khususnya, telah mengemukakan peran teori perkembangan kognitif dalam memahami
berbagai fase perkembangan sosial. Kohlberg percaya bahwa kematangan biologis dan
pengalamanan lingkungan berinteraksi untuk menghasilkan tahap cara berpikir seseorang. Dalam
mencapai tahap cara berpikir yang baru, seseorang mampun menyeimbangkan kesan yang dulu
dimilikinya mengenai diri dan dunia nyadengan informasi yang diterimanya saat ini.

Sepanjang jangka waktu yang cukup lama, keseimbangan yang telah dicapai pada perkembangan
kognitif tertentu terganggu karena remaja yang sedang menuju kematangan memperoleh
kemampuan kognitif yang memungkinan mereka untuk melihat adanya inkonsistensi dan ketidak
tepatan dalam cara berfikir mereka. Bila seseorang mampu menyeimbangkan informasi baru
dengan gagasan lama yang sudah dimilikinya, ia sudah mencapai tahap cara berpikir baru.

Abstrak relations (hubungan abstrak) adalah istilah yang dikemukakan Kurt Fischer mengenai
kemampuan remaja untuk mengkoordinasikan dua gagasan abstrak atau lebih, kemampuan ini
sering kali muncul untuk pertama kalinya pada usia antara 14 dan 16 tahun (Fischer, 1980).
Dalam pandangan perkembangan pakar kognitif, masa remaja mencakup perubahan besar dalam
hal cara seseorang berpikir dan menalar mengenai dirinya maupun orang lain.

Pemrosesan Informasi Sosial

Pemrosesan Informasi soaial (social information processing) memusatkan perhatian pada cara
seseorang menggunakan proses kognitifnya, seperti perhatian, persepsi, ingatan, pemikiran,
penalaran, harapan, dan seterusnya, untuk memahami dunia soaial mereka. Pertama, ketika pakar
teori kepribadian Walter Mischel (1973) memperkenalkan teori kognitif belajar sosial, ia
menguraikan sejumlah proses kognitif yang menjembatani pengalaman antara dunia sosial dan
perilaku seseorang. Cara pandang pemrosesan informasi bukanlah cara pandang perkembangan,
jadi dalam pandangan tersebut tidak terdapat gagasan yang menjelaskan bagaimana perbedaan
antara remaja dan anak-anak dalam hal memproses informasi mengenai diri sendiri dan dunia
sosial mereka. Cara pandang pemrosesan informasi menjelaskan proses kognitif yang utama
berkenaan dengan cara seseorang memahami dunia sosialnya.

Você também pode gostar