Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh:
RUDDY SUWANDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PELABUHAN
PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM
KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU
Oleh:
RUDDY SUWANDI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ii
Judul Disertasi : Analisis Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan
Kamal Muara dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu
Nama : Ruddy Suwandi
NRP : SPL 995163
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Metujui ,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Anggota Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Sulistiono, M. Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.Sc.
Ruddy Suwandi
NRP: SPL 995163
iv
ABSTRACT
Two fish landing ports which located at different administrative zone and at
the very short distance would give different impact of development program at
each area. Tangerang has a fish landing port named PPI/TPI Dadap at the eastern
area while Jakarta Utara has the PPI/TPI Kamal Muara at the west part. Both
separated only 700 meter. Self autonomy gave also influence on the development
program. To observe the inter-influence of both fish landing port, some analysis
were used eg. fisheries dependent ratio, Shift share, Location Quotient, scalogram,
and stella and visual basic. The result indicated that PPI/TPI Dadap has no
dependent any more on fisheries, on the contrary with PPI/TPI Kamal Muara; the
development program at both local government has not implemented the ICZM
concept. It is recommended that TPI Dadap function is switched from fish
landing place to coastal tourism activity landing base.
v
ABSTRAK
RUDDY SUWANDI. Analisis Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan
Kamal Muara dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.
Dibimbing oleh DANIEL R MONINTJA sebagai Ketua, ROKHMIN DAHURI
dan ERNAN RUSTIADI masing-masing sebagai anggota.
Dua buah pusat aktivitas pendaratan ikan yang berdekatan dan terletak di
dua wilayah administrasi yang berbeda dapat menimbulkan pengaruh yang tidak
sama terhadap program pembangunan di daerah masing-masing. Tangerang
mempunyai PPI/TPI Dadap di wilayah paling timur yang letaknya hanya sekitar
700 m dengan PPI/TPI Kamal Muara di kawasan paling barat dari Pemkot Jakarta
Utara. Era otonomi daerah juga berpengaruh terhadap kebijakan program
pembangunan masing-masing pemerintah daerah. Untuk melihat pengaruh yang
terjadi akibat keberadaan kedua PPI/TPI tersebut, maka digunakan analisis
ketergantungan perikanan, analisis shift share, LQ, skalogram, serta stella dan
visual basic. Kesimpulan penelitian penunjukkan bahwa PPI/TPI Dadap sudah
tidak bergantung lagi pada sumberdaya perikanan, sementara PPI/TPI Kamal
Muara ketergantungannya semakin meningkat; serta program pembangunan yang
dilakukan di kawasan Dadap-Kamal Muara sejauh ini belum sepenuhnya
dilakukan berdasarkan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Direkomendasikan bahwa TPI Dadap difungsikan sebagai pelabuhan yang
mendukung kegiatan wisata pantai dan wisata bahari.
vi
KATA PENGANTAR
Disertasi ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan beberapa pihak,
baik yang terkait langsung maupun yang tidak. Kepada Komisi Pembimbing,
yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dengan anggota Prof. Dr. Ir.
Rokhmin Dahuri dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. penulis mengucapkan
terimakasih atas bimbingan yang diberikannya. Ucapkan terimakasih penulis
sampaikan juga kepada Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ir. Aminuddin, M.Si., Dr. Ir.
AM Azbas Taurusman, M.Si, dan Ir. Arief Budi Purwanto, M.Si., atas
kesediaannya dalam memberikan arah penyusunan model dinamika ekonomi serta
meningkatkan makna sejak rencana penelitiannya ini; kepada Dr. Ir. Setyo Budi
Susilo, M.Sc., atas waktunya dalam melayani diskusi dan berbagai pertanyaan
yang berkaitan dengan seluruh kegiatan penulisan sejak usulan penelitian sampai
draft disertasi ini; kepada Ir. Ita Carolita, M.Si dari LAPAN, atas bantuannya
dalam penyediaan citra satelit LANDSAT untuk kawasan Dadap-Kamal Muara,
kepada Sdr. Ir. MA. Rakhmat Kurnia, M.Si dan Ir. Admo Wibowo, atas
bantuannya dalam konsultasi tentang pemanfaatan program visual basic untuk
pemodelan ketergantungan daerah perikanan dari TPI. Penulis menyampaikan
terimakasih juga kepada Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto atas dorongan
semangat dan kewenangannya dalam memberikan kelonggaran waktu selama
penyelesaian disertasi ini. Bantuan biaya juga penulis peroleh dari Ditjen Dikti
Depdiknas melalui program BPPS dan juga dari PKSPL IPB. Semoga Allah
YME membalas semua kebaikan orang dan lembaga tersebut dengan limpahan
rahmat yang setimpal.
Penulis
vii
RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR ISI
Halaman
1 PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 5
1.3 Tujuan .................................................................................................. 10
1.4 Kerangka Berpikir ................................................................................ 10
ix
3 METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 81
3.1 Waktu Penelitian ....................................................................... 81
3.2 Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian.................................... 81
3.3 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 83
3.4 Metode Penelitian ...................................................................... 83
3.4.1 Pengumpulan Data .................................................................... 83
3.4.2 Analisis Data .............................................................................. 85
3.4.3 Model Analisis ........................................................................... 90
x
5.3.2 Analisis daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan
Dadap-Kamal Muara ................................................................... 209
5.3.3 Analisis model kelimpahan kapal ikan yang dapat
dipindahkan dari PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Muara Angke
ke PPI/TPI Kamal Muara ........................................................... 214
5.4 Skenario pengembangan dan pengelolaan pelabuhan
perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara ...................... 227
5.4.1 Penentuan lokasi pelabuhan perikanan ....................................... 227
5.4.2 Kelayakan teknis pelabuhan perikanan ....................................... 230
5.4.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan .................................. 232
5.5 Analisis Opini Masyarakat tentang Kondisi Perikanan di
Kawasan Dadap-Kamal Muara .............................................................. 226
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Nomor
2.1 Kumpulan konsensus dari panduan ICM ................................................ 28
4.1. Luas dan jumlah desa di Kecamatan Kosambi tahun 2003..................... 102
4.7 Nilai parameter kualitas air di perairan Kronjo dan Tanjung Pasir ........ 115
4.9 Nilai parameter kualitas air di Perairan Dadap hasil uji Kantor MenLH 118
4.10 Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Wilayah Kota Jakarta Utara .............. 123
4.11 Distribusi ikan konsumsi di DKI Jakarta tahun 2005 ............................. 126
4.12 Data jumlah kapal ikan di Kota Jakarta Utara tahun 1992-2003 ............ 127
4.13 Potensi budidaya perikanan darat di Jakarta Utara tahun 2003 .............. 129
xii
4.14 Potensi budidaya kerang hijau di Jakarta Utara tahun 2003 ................... 130
4.15 Data produksi ikan lokal dan ikan luar daerah dari masing-masing
PPI yang ada di Provinsi DKI Jakarta, tahun 2001-2004 ...................... 133
4.22 Data Nilai Produksi TPI Kamal Muara dan DKI Jakarta dari
Tahun 1997 2003 ................................................................................ 147
4.23 Daftar jenis ikan yang didaratkan di TPI Kamal Muara dari
tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002) ................................................ 148
4.24 Volume dan nilai produksi ikan lokal di TPI Kamal Muara
berdasarkan alat tangkap tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002) ........ 149
4.25 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di
lingkungan TPI Kamal Muara tahun 2005 sebelum kenaikan
harga BBM. ............................................................................................ 152
xiii
4.30 Keragaan alat tangkap ikan di Kabupaten Tangerang tahun 2003.......... 159
4.32. Daftar Jenis Ikan yang tertangkap di Pantai Dadap (PPLH, 1997) ......... 164
5.4 Rasio jumlah nelayan terhadap total tenaga kerja (RMt) ....................... 182
5.7 Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan................ 183
5.16 Data penggunaan lahan di kawasan Dadap dan Kamal Muara (m2) ...... 201
xiv
5.17 Status lahan di Kelurahan Kamal Muara antara tahun 1997-2000 ......... 202
5.24 Pergerakan atribut diantara TPI Dadap, TPI Kamal Muara, dan
TPI Muara Angke................................................................................... 217
2.27 Besaran jumlah ikan dan nilai retribusi yang diperkirakan dapat
diperoleh dari operasional 299 unit kapal ikan di TPI Muara
Angke (data diolah dari Tabel 4.10, Tabel 4..11 dan Tabel 4.12). ........ 221
5.29 Aspek kelembagaan pengelola TPI Dadap dan Kamal Muara................ 237
xv
5.32. Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang
Tahun Anggaran 2003 ............................................................................ 243
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Nomor
2.5 Latar belakang, gagasan, dan sejarah kerjasama BKSP Jabotabekjur .... 36
2.8 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Jawa Tengah ................. 58
2.9 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Jawa Timur ..... 58
2.10 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Bali ................. 59
2.13 Kurva penawaran (S) dan permintaan (D) dari lahan ............................. 67
5.1 Profil pertumbuhan PDRB Kabupaten Tangerang 2000 -2002 ................. 189
5.2 Profil pertumbuhan PDRB Kota Jakarta Utara 2000-2003 ........................ 190
xvii
5.4. Grafik LQ untuk Komoditi Unggulan di Kabupaten Tangerang
pada Tahun 2000 2002 ............................................................................ 192
5.7 Citra satelit landsat di lokasi penelitian, tahun 1992-2002. ....................... 200
5.8 Pola distribusi ikan yang berasal dari Kawasan Dadap-Kamal Muara ...... 211
5.11 Causal loop yang diasumsikan dapat terjadi pada proses pindah
kapal ikan dan investasi fasilitas pelabuhan........................................... 224
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Nomor Lampiran:
2 Data PDRB Kabupaten Tangerang dan PDRB Provinsi Banten ............ 274
3 Data PDRB Kota Jakarta Utara, dan Provinsi DKI Jakarta .................... 275
xix
1 PENDAHULUAN
1
Kawasan Dadap-Kamal Muara yang berlokasi di perbatasan Jakarta-
Banten, adalah suatu wilayah yang mempunyai tingkat pembangunan yang relatif
pesat. Posisi tersebut memungkinkan pemerintah daerah untuk memanfaatkan
para pakar ICZM yang banyak terdapat di sekitar JABODETABEK untuk
berperan serta dalam kegiatan pembangunan wilayah pesisir. Keberhasilan atau
kegagalan program pembangunan wilayah pesisir di daerah ini akan dengan cepat
dapat dipublikasikan ke seluruh Indonesia dan bahkan ke seluruh dunia karena
semakin baiknya sistem komunikasi. Hal ini merupakan tantangan bagi para
birokrat di lingkungan pemerintah daerah untuk memanfaatkan para ahli ICZM
tersebut untuk mencapai hasil pembangunan yang optimal.
(2) Adanya lowongan pekerjaan yang dapat diisi oleh warga Tangerang
(khususnya untuk tenaga kerja yang tidak memerlukan keakhlian spesifik);
(3) Adanya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak
bangunan, barang, dan jasa;
2
(4) Adanya keuntungan bagi daerah (baik individu maupun perusahaan) dari
berkembangnya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan secara
umum maupun karyawan perorangan;
(2) Timbulnya dampak negatif sosial budaya masyarakat setempat, baik pada
tingkah laku dan aspek sosialnya penduduk secara umum, maupun aspek
keamanan lingkungannya; serta
Sektor perikanan tidak terlepas dari aspek penataan yang perlu dilakukan
oleh PEMDA DKI Jakarta, karena kawasan perikanan (khususnya tempat
pendaratan ikan, penanganan dan pengolahannya, serta pemasarannya) selalu
dikonotasikan sebagai daerah sumber polusi (khususnya polusi udara, lingkungan
pantai dan perairan) dan pemukiman yang kumuh. Meskipun PEMDA DKI
Jakarta telah berhasil melakukan penataan untuk kawasan perikanan Muara Baru
dan Muara Angke, tetapi kesan kumuh untuk kedua daerah ini tetap saja ada,
karena perkampungan di sekitarnya terimbas kegiatan primer tersebut dan
muncullah konsentrasi-konsentrasi kegiatan ekonomi di luar kawasan
peruntukannya. Hal yang sama juga akan terjadi dengan daerah-daerah perikanan
di kawasan DKI Jakarta lainnya seperti Kamal Muara, Kapuk Muara di sebelah
barat atau Cilincing dan Marunda di sebelah timur.
3
PPI ini merupakan bagian dari upaya untuk menampung kelebihan kapasitas PPI
Muara Angke di sebelah timurnya.
Kondisi PPI/TPI lainnya yang ada di Tangerang ada yang sudah sulit untuk
dikembangkan, seperti misalnya PPI/TPI Cituis yang terletak di tepi sungai dan
dikelilingi oleh pemukiman penduduk, sebagaimana dinyatakan dalam hasil studi
PKSPL IPB (PKSPL IPB 2000). Akses jalan yang sempit juga menyebabkan
tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengembangkan PPI/TPI ini. Jika
dilihat dari aspek investasi dan penghasilan yang akan diperoleh, maka biaya
pengembangan PPI/TPI Dadap akan lebih kecil dibandingkan dengan PPI/TPI
lainnya di kawasan Kabupaten Tangerang dan akan memberikan keuntungan yang
lebih besar. Faktor-faktor yang mendukung PPI/TPI Dadap dapat lebih berhasil
dari PPI/TPI lainnya adalah:
(1) Lokasinya dekat dengan jalan TOL Jakarta Cengkareng, sehingga akses ke
Jakarta, Tangerang, atau daerah lainnya di Jawa Barat dan Banten menjadi
lebih lancar;
(2) Pangkalan Pendaratan Ikan Dadap terletak di muara Kali Perancis yang
mengalirkan air dari daerah genangan kawasan Bandara Sukarno-Hatta
Cengkareng, sehingga kemungkinan terjadinya pendangkalan kolam
pelabuhan sangat lambat sekali;
(3) Kawasan ini merupakan perbatasan dengan wilayah DKI Jakarta yang telah
merencanakan pembangunan suatu Kota Air di Kamal Muara, sehingga
dampak posisif dari pembangunan kota ini dapat dimanfaatkan oleh
kawasan Dadap, khususnya jika ditinjau dari aspek ekonomi.
4
1.2 Perumusan Masalah
Kerusakan lingkungan pesisir, khususnya ekosistem perairan pantai adalah
salah satu isu pokok yang sekarang sedang berkembang di kawasan Dadap-Kamal
Muara. Isu yang lainnya adalah masa depan PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Kamal
Muara yang tidak diketahui secara jelas dan transparan oleh penduduk lokal.
Meskipun menjadi sumber pendapatan bagi nelayan dan pedagang ikan serta
menjadi tempat belanja ikan bagi penduduk sekitarnya, program pengembangan
PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Kamal Muara di masa yang akan datang tidaklah
diketahui oleh masyarakat umum.
5
kecil dan pengolah ikan, tetapi juga terhadap para pemilik restoran seafood yang
sebelumnya tumbuh menjamur di kawasan ini.
Vakumnya kegiatan PPI/TPI Dadap sejak tahun 1997 secara langsung juga
merugikan Pemda Tangerang yang kehilangan sumber dana dari retribusi PPI/TPI
dan kegiatan ekonomi ikutannya. Dengan tidak aktifnya PPI/TPI Dadap ini, maka
sebagian dari nelayan yang biasanya mendaratkan hasil tangkapannya di sini, kini
beralih ke TPI lain yang umumnya berada di kawasan Jakarta Utara, khususnya ke
TPI Kamal Muara yang berjarak 700 m di sebelah timurnya. Namun demikian di
sisi yang lain, seandainya Pemkab Tangerang mempunyai program lain yang
dinilai akan lebih banyak menghasilkan PAD, maka pe-non-aktifan TPI Dadap
tersebut akan menjadi suatu jalan ke arah alternatif yang lebih menguntungkan.
6
Penurunan kualitas lingkungan sosial ini sangat meresahkan masyarakat,
khususnya bagi masyarakat yang masih memiliki rasa idealisme untuk
mendapatkan pendidikan keluarga yang baik. Kondisi ini memicu terjadinya
perusakan 68 rumah liar yang digunakan untuk praktek prostitusi di Dadap
tanggal 20 Oktober 1994, yang dipelopori oleh puluhan Ibu-ibu PKK. Shock
therapy ini hanya bertahan beberapa bulan saja, karena secara perlahan-lahan
tetapi pasti kegiatan prostitusi tersebut tetap berjalan (Anonimous 1996).
Isu lain yang juga bergulir cepat di daerah ini adalah rencana
pembangunan kawasan wisata terpadu Pantai Mutiara. Belum juga dokumen
AMDALnya dibuat, kegiatan reklamasi seluas 300 ha sudah dilakukan sehingga
meresahkan masyarakat dan pemerintah daerah (Anonimous 2004a dan 2005a;
Anonimous 2004b). Berdasarkan Perda RTRW No. 5/1992, No. 3/1996, serta
Perda No 5/2002 tentang Perubahan Atas RTRW, kawasan Dadap diperuntukkan
sebagai daerah pengembangan perikanan dan pariwisata.
7
ditandatangani oleh Bupati Agus Djunara. Apalagi pada saat yang bersamaan
Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga mengeluarkan surat penetapan retribusi
fatwa rencana pengarahan lokasi bernomor 974/330-DTRB/IX/2001 yang
ditandatangani Kepala Dinas Tata Ruang dan Bangunan, Nanang Komara yang
kini menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang. Dalam fatwa tersebut
ditetapkan bahwa dasar hukum pemberian fatwa itu adalah Perda No 8 tahun 1986
jo Perda No 11 tahun 1987 tentang IMB dan Perda No 4 tahun 1994 (Bab IV)
tentang retribusi, jelas sumber tadi. Menurutnya, berdasarkan ketetapan tersebut
pihak pengembang diharuskan membayar retribusi biaya urukan senilai Rp 100
per meter persegi (Sinar Harapan 2004a). Dalam berita tersebut juga disebutkan
bahwa Pemkab Tangerang telah menerima retribusi ratusan juta rupiah dari
pengembang untuk mengeluarkan ijin tersebut. Kemelut yang belum selesai
hingga kini tersebut, meskipun telah dibawa dalam diskusi di tingkat DPRD
(Suara Publik 2004) dan Komisi VII DPR (Anonimous 2005c, Anonimous
2005d), menunjukkan bahwa telah terjadi kekisruhan dalam implementasi Perda
tentang RTRW dan desakan kepentingan beberapa pihak yang berorientasi pada
keuntungan ekonomi sesaat.
8
kedua TPI di Jakarta Utara ini. Kurang baiknya prasarana dan sarana pelabuhan
telah menyebabkan kurang optimalnya penggunaan tenaga buruh di PPI/TPI
Kamal Muara, sementara di PPI/TPI Muara Angke, optimalisasi tenaga buruh
terhambat karena kapal ikan yang sudah melakukan bongkar muatan terhambat
untuk melakukan parkir karena keterbatasan kolam pelabuhan.
9
penduduk lokal dalam perencanaan pembangunan sangatlah vital. Opini
masyarakat harus diakomodasi oleh pemerintah sehingga akan diperoleh prinsip-
prinsip saling mendapat keuntungan (win-win solution) meskipun tidak penuh.
1.3 Tujuan
10
TPI DAN ISU MASALAH EKONOMI & MASALAH FISIK MASALAH SKENARIO SOLUSI
KEBIJAKAN SOSIAL
PPI/TPI MUARA
?
Kekurangan sarana Tenaga buruh
ANGKE Inefisensi
prasarana kurang optimal
Overload
Batas kelurahan
PPI/TPI
KAMAL MUARA
Tidak optimal Alur masuk pelabuhan Tenaga buruh
Aktivitas perikanan
?
dangkal, kapasitas kecil kurang optimal
tidak optimal
PPI/TPI DADAP
TPI tidak aktif
Alur masuk pelabuhan Pengangguran
o Rencana Pembangunan
?
dangkal, kapasitas kecil dan prostitusi
Pelabuhan Kapal Riset
o Rencana Pembangunan Konflik tataruang
Pelabuhan Kapal Kon-
tainer
o Rencana pembangunan
Kawasan Wisata Pantai
Pasir Putih/Mutiara Dadap
Gambar 1.1. Kerangka berfikir pemecahan masalah pengembangan pelabuhan perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara
dalam konteks pengelolaan pesisir terpadu.
11
2 TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat dua istilah yang umum dipakai, yaitu coastal zones dan coastal
area (Scialabba 1998). Bentuk coastal zones lebih dimaksudkan pada definisi
berdasarkan wilayah geografis dimana suatu peraturan pengelolaan diberlakukan.
Sementara itu coastal area lebih luas penggunaannya pada wilayah pesisir yang
belum ditetapkan sebagai wilayah untuk tujuan pengelolaan.
(1) Batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara
arbitrer dari rata-rata pasang tertinggi (mean high tide), dan batas ke arah
laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurisdiksi provinsi;
(2) Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah
pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah
perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan
(regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management).
Wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu)
apabila terdapat kegiatan manusia (kegiatan pembangunan fisik) yang dapat
13
menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya
pesisir. Oleh karena, itu batas wilayah pesisir ke arah darat untuk
kepentingan perencanaan dapat sangat jauh ke arah hulu. Jika suatu
program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah
pengelolaan (wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan), maka wilayah
perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan;
(3) Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah, tergantung
pada isu pengelolaan yang dilakukannya.
14
wilayah sambil memperhitungkan fenomenanya yang dimensi multifaset, baik
ekonomi, sosial, politik, atau lingkungan. Suatu pengertian tentang bagaimana
kota dan wilayah melakukan kegiatan dan fungsinya agar dapat menghasilkan
kontribusi pembuatan kebijakan yang lebih baik, sehingga dapat memperbaiki
kualitas standar hidup penduduk di kota atau wilayah tersebut.
15
Menurut Winoto (1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang
mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi
dan berinteraksi. Berdasarkan hal ini, wilayah dapat didefinisikan, dibatasi, dan
digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut. Dengan
demikian, pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu perencanaan area
geografis tertentu yang akan menguntungkan baik bagi individu nelayan, petani,
masyarakat dan wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan
kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang
dikembangkan.
16
Perumusan suatu virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat kehomogenan masyarakat,
baik dilihat dari pendidikan, etnis (sosial budaya), agama, dan pandangan politis
dari setiap komponen masyarakat ini. Begitu beragamnya faktor yang
mempengaruhi perumusan virtue ini, maka virtue ini baru dapat timbul setelah
terbentuk suatu komunitas masyarakat yang saling mengetahui keinginan masing-
masing sehingga dapat menemukan suatu resultan dari berbagai keinginan atau
ide-ide yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks pengembangan wilayah,
tentu saja harus menemukan resultan virtue tersebut kemudian
mengintegrasikannya ke dalam rencana yang akan diterapkan. Artinya proses
perencanaan itu dapat saja berlangsung timbal balik, rencana induk yang sudah
ada diintegrasikan ke dalam virtue yang sudah terbentuk, atau virtue-virtue yang
ada dalam masyarakat diintegrasikan ke dalam perencanaan. Menurut Winoto
(1998/1999), adanya kaitan antara kegiatan pembangunan dengan sistem nilai
masyarakat dapat dijelaskan sebagi berikut: pembangunan (baik sebagai suatu
proses maupun sebagai suatu cara perwujudan) mengemban tugas kemanusiaan
dan tugas kehidupan. Dengan kata lain, pembangunan haruslah dapat
mengkomodasi berbagai harapan masyarakat, antara lain harapan tentang
kehidupan yang lebih baik, keadilan yang lebih terjamin, rasa memiliki yang kian
meningkat, kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi kemanusiaannya yang
semakin terbuka, ketahanan masyarakat dan bangsa yang semakin kuat, dan
kepercayaan diri sebagai manusia maupun sebagai bangsa yang semakin
meningkat. Harapan-harapan inilah yang menjadikan setiap anggota masyarakat
dan/atau kelompok masyarakat (dengan segala perbedaan latar belakang dan
kepentingannya) perlu senantiasa terlibat dan ikut berproses dalam menentukan
arah serta prioritas pembangunan pada setiap tahapan yang dilakukan.
17
Contoh kasus yang heterogen adalah kelompok masyarakat di kawasan
pesisir, dimana terlibat berbagai jenis kegiatan manusia sesuai dengan bidang
garapannya masing-masing, mulai dari nelayan, pedagang, industriawan, PNS,
dan lain lain. Keragaman mata pencaharian juga mengakibatkan terjadinya
interaksi yang lebih intensif diantara berbagai aktivitas yang dapat menghasilkan
dampak positif dan negatif.
Tentu saja terdapat virtue yang bersifat universal bagi seluruh anggota
masyarakat antar wilayah dan antar waktu. Sebagai contoh, falsafah Bhinneka
Tunggal Ika, yang tercantum dalam pita yang dicengkeram burung garuda,
adalah suatu virtue yang lahir setelah terjadinya pertikaian antar suku, antar
wilayah, antar agama, dan antar kondisi sosial budaya, yang telah berlangsung
sangat lama (sejak mulai tercatatnya sejarah adanya kerajaan-kerajaan di
Indonesia samapi jaman penjajahan Belanda dan Jepang). Virtue ini sangat
disadari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang lebih mencintai
perdamaian untuk melewati kehidupan yang aman dan tenang. Sebenarnya virtue
Bhinneka Tunggal Ika ini dapat dipertahankan untuk melewati periode waktu
yang panjang dalam sejarah, seandainya kebhinnekaan setiap kelompok
masyarakat dan antar wilayah ini dapat diikat dan dipadukan oleh sesuatu yang
saling dibutuhkan mereka, yaitu antara lain: kedamaian dan ketenangan menjalani
kehidupan; jaminan aksesibilitas antar wilayah, baik barang, jasa, dan orang;
jaminan kebebasan mengemukakan pendapat dan menjalankan keyakinannya
masing-masing. Diagram virtue universal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
18
SUKU/
BANGSA
ASPEK ASPEK
AGAMA WILAYAH
SPASIAL
VIRTUE UNIVERSAL
AKSESIBILITAS
BARANG, JASA, ASPEK SOSEK
MANUSIA BUDAYA
POLITIK
&
KEAMANAN
Dari diagram Gambar 2.1 di atas tampak bahwa virtue universal harus
mencakup sebagian atau seluruh kepentingan dari setiap unsur yang membentuk
ekosistem tersebut (suku bangsa; agama; sosial-ekonomi budaya; aksesibilitas
barang, jasa, dan manusia; aspek spasial perwilayahan; serta aspek politik dan
keamanan).
Begitu tali pengikat kebhinnekaan ini dilanggar, baik oleh tetangga sebelah,
kampung sebelah, agama lain, atau bahkan oleh regim pemerintahan yang otoriter,
mulailah virtue itu tidak ditaati lagi, dan barangkali perlu diramu suatu virtue baru
sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Pada saat
ini, aspek kepentingan golongan atas dasar latar belakang politis sangat menonjol,
sebagai alat pemersatu atau pemecah virtue.
19
Aspek wilayah perlu dimasukkan dalam kegiatan perencanaan
pembangunan suatu kawasan adalah karena sebagaimana definisi Winoto
(1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan
merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Artinya,
dibatasi dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut.
Pada intinya, suatu perencanaan pembangunan suatu wilayah haruslah mencakup
individu manusia, masyarakat, sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di
wilayah tersebut (termasuk yang harus dipertimbangkan adalah virtue universal
dan partial dari masyarakatnya).
20
Istilah pengembangan wilayah tentu saja berkaitan erat dengan perencanaan
pembangunan wilayah/daerah. Menurut Idrus et al. (1999), pembangunan
wilayah merupakan kegiatan pembangunan yang perencanaan, pembiayaan,
sampai pada pertanggungjawabannya dilakukan oleh pusat sedangkan
pelaksanaannya dapat melibatkan daerah dimana tempat kegiatan tersebut
dilaksanakan. Pembangunan daerah sendiri berindikasi bahwa kegiatan
pembangunan yang segala sesuatunya dilaksanakan dan dipersiapkan di daerah,
seperti perencanaan, pembiayaan, sampai pada pertanggungjawabannya.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka perencanaan pembangunan
wilayah/daerah dapat diartikan sebagai suatu proses persiapan penyelenggaraan
pembangunan suatu wilayah atau daerah. Sementara itu, Anwar dan Setia Hadi
yang dikutif Idrus et al. (1999) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan
wilayah diartikan sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan
pembangunan di suatu wilayah tertentu yang melibatkan interaksi antara
sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya alam.
21
yang intinya terkait dengan aspek ekologi, ekonomi, dan budaya. Ilustrasi dari
tolok ukur pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Ekologi
1 3
S D
2
Budaya Ekonomi
22
jika dampaknya merugikan unsur-unsur terkait tersebut. Kadang kala, positif dan
negatifnya suatu dampak pengembangan wilayah belum dapat dilihat dalam
jangka waktu yang pendek. Contoh kasus adalah penemuan senyawa freon yang
dapat digunakan sebagai refrigeran (bahan pendingin) dalam mesin-mesin
pembeku dan sebagai bahan penekan pada alat pembentuk aerosol. Baru sekitar
20 tahun kemudian disadari orang bahwa freon ternyata dapat memecahkan
lapisan ozon yang menyelimuti bola bumi dari sinar ultra violet. Contoh-contoh
lain tentu saja masih sangat banyak, antara lain hilangnya keragamanan hayati
karena kegiatan pengembangan wilayah yang tidak didahului studi AMDAL
terlebih dahulu, baik dalam bentuk reklamasi lahan untuk kegiatan industri dan
pemukiman, maupun pengembangan lahan untuk kawasan persawahan.
23
(3) Kestabilan politik dan keamanan dalam negeri;
(4) Koordinasi yang baik;
(5) Top down dan bottom up planning;
(6) Sistem pemantauan dan pengawasan yang terus menerus;
(7) Transparan dan dapat diterima oleh masyarakat.
Untuk melihat apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai atau tidak dalam suatu
kegiatan pembangunan, maka perlu ditentukan berbagai perubahan dari
komponen-komponen tersebut. Tentu saja untuk unsur-unsur yang bersifat
positif, maka perubahan haruslah bergerak ke arah posistif, dan sebaliknya untuk
unsur-unsur yang bersifat negatif maka perubahan haruslah bergerak ke arah
negatif. Sebagai contoh, untuk kesamarataan haruslah semakin baik/banyak,
tetapi untuk kemiskinan semakin sedikit.
24
kimia, dan kondisi iklim. Sementara itu, suatu kawasan pembangunan dianggap
berkelanjutan secara sosial (a socially sustainable area/ecosystem), apabila
kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan)
seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan
berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity); terdapat akuntabilitas
dan partisipasi politik.
25
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,
sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu
(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelajutan.
Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi, yaitu
dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 1996).
26
suatu kesepakatan untuk membuat Panduan ICM, sebagaimana tercantum dalam
Tabel 2.1. Panduan ini memperkuat konsensus tersebut tetapi juga mengakui
bahwa keterpaduan vertika dan horizontal tidak akan berhasil tanpa pembangunan
kapasitas individu sektor untuk mengakomodasi dampak trans-sektoral.
Aspek Ekonomi
o Pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth)
o Efisiensi modal (capital efficiency)
27
Tabel 2.1 Kumpulan konsensus dari panduan ICM
28
Salah satu bentuk dukungan WB untuk program ICZM di Indonesia adalah
terselenggaranya program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and
Management Project), yang dilaksanakan dibawah koordinasi LON-LIPI. Tujuan
dari pelaksanaan proyek ini adalah memandu pendekatan berbasis masyarakat
terhadap perlindungan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu untuk
menciptakan keuntungan dari pemanfaatan yang berkelanjutan. Proyek ini juga
bertujuan untuk penguatan kebijakan dan kapasitas kelembagaan pada tingkat
nasional dalam menolong pengimplementasian konsep ICZM di tingkat lokal
(Hatziolos 1997). Dari pengalaman Bank Dunia menunjukkan bahwa inisiatif
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan supaya berkelanjutan maka negara-
negara yang menerapkan program tersebut haruslah melakukan beberapa hal
berikut:
29
Menurut Pickave et al. (2004), ICZM secara umum dikenal sebagai perangkat
yang paling efektif untuk menggabungkan suatu upaya konservasi dengan
pemanfaatan berkelanjutan suatu sumberdaya pesisir dan lautan dalam suatu
perencanaan wilayah pesisir.
30
Di Indonesia, sebagaimana juga dengan di Eropa, keterpaduan pengelolaan
suatu sumberdaya alam saat ini sedang digiatkan oleh Pemerintah Indonesia sejak
disyahkannya Konvensi Hukum Laut 1982 dan diratifikasi dengan UU No
17/1985, meskipun UU ini baru berlaku sejak tanggal 16 November 1994. Tahun
1993, untuk pertama kalinya masalah pembangunan sumberdaya kelautan
dicantumkan secara resmi dalam GBHN 1993 dalam BAB IV. F. Ekonomi. 13.e
yang mengamanahkan supaya organisasi dan kelembagaan kelautan perlu
dikembangkan agar makin terwujud sistem pengelolaan yang terpadu secara
efektif dan efisien sehingga mampu memberikan pelayanan dan dorongan
berbagai kegiatan ekonomi disektor kelautan (Djalal 2000). Hal ini didasarkan
pada pengalaman bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan pembangunan dinilai
banyak pihak berlangsung tidak sehat dan telah menyebabkan terjadinya
kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, serta dampaknya bagi peningkatan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tidak signifikan.
31
Government-based management
Community-based management
Government centralised Co-management Community
management self-governance and
self-management
Informing
Consultation
Cooperation
Communication
Information exchange
Advisory role
Joint action
Partnership
Community control
Inter-area coordination
Gambar 2.4. Derajat interaksi diantara pemerintah dan komunitas dalam co-
management {Pomeroy dan Berkes (1997); Berkes et al (2001)
dikutip oleh Pomeroy et al. (2004)}
32
Sebagai kesimpulan, Hatziolos (1997) menyatakan bahwa implementasi
konsep ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan
aspek legal dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan
investasi, penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi-
bagi pengalaman pembelajaran.
33
Burak et al. (2004) memberi contoh tentang implementasi konsep ICZM di
Turki yang mengalami keterlambatan karena kegagalan politis dan kelembagaan
yang berkaitan dengan implementasi dari keputusan yang rasional tentang
pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Lebih dari 20 peraturan
perundang-undangan telah diterapkan dan menghasilkan lebih dari 15 lembaga,
yang meghasilkan berbagai keputusan yang bias karena adanya kemajemukan dan
terpecah-belahnya suara saat proses pengambilan keputusan. Terjadinya konflik
sebagai akibat pengembangan ekonomi di wilayah pesisir juga terjadi di Turki dan
memicu terjadinya degradasi sumberdaya alam. Berbagai program yang telah
dikembangan dan menjadi penyebab terjadinya degradasi lingkungan adalah
ekoturisme dan berbagai proyek rumah peristirahatan di kawasan pesisir,
pengembangan marikultur, preservasi dan konservasi sumberdaya alam,
urbanisasi, pengembangan industri, navigasi, dan transportasi sejak tahun 1980-an
(Tuba 2002 dalam Burak et al. 2004).
34
(stakeholders) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan harus sudah siap
dan sigap untuk menghadapinya, sehingga kerugian yang diderita dapat
diantisipasi seminimal mungkin.
Dalam Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965-1985, salah satu pasalnya
menyebutkan bahwa pengembangan pembangunan yang ada di wilayah DKI
Jakarta juga diarahkan ke wilayah BOTABEK dan perlunya kerjasama dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Untuk mendukung kelancaran dilakukannya
integrasi pelaksanaan pembangunan di wilayah BOTABEK, maka Pemerintah
Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1974, jo. Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 tentang Perubahan Batas Wilayah
DKI Jakarta. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang 16 Desa
dari Provinsi Jawa Barat masuk menjadi wilayah Provinsi DKI Jakarta dan 1
Kelurahan yaitu Kelurahan Benda masuk ke wilayah Kota Tangerang.
Penyelesaian lebih lanjut dan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1974 ini diselesaikan oleh Tim Pelaksana Penetapan Batas-batas Wilayah
DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat yang dibentuk dengan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 (Anonimous 2006a).
35
36
Mengingat kerjasama antara Provinsi DKI Jakarta dengan Jawa Barat dianggap
telah mendesak untuk dilaksanakan, maka dengan Keputusan Bersama Gubernur DKI
Jakarta dan Gubernur Jawa Barat No. 6375/A-1/1975 dan 2450/A/K/BKD/75 dibentuk
Badan Persiapan Daerah untuk Pengembangan Metropolitan JABOTABEK. Untuk
melaksanakan kerjasama dimaksud maka keluarlah Keputusan Bersama Gubernur Jawa
Barat dan Gubernur DKI Jakarta No. 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 tentang
Pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK dan Peraturan Bersama
Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor D.IV-320/d/II/76 dan 197.Pem.121/SK/76
tentang Kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
(JABOTABEK) yang disyahkan dengan Keputusan Mendagri Nomor: Pem. 10/34/16-
282 tanggal 26 Agustus 1976 (Anonimous 2006a).
Badan ini diketuai oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dan
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dibantu Kelompok Pembantu
Pimpinan dan Sekretariat Badan yang dipimpin oleh seorang Sekretaris. Status Badan
yang dibentuk oleh Keputusan Bersama ditingkatkan dengan Peraturan Bersama
Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1990
dan 2 Tahun 1990 tentang Perubahan Pertama Peraturan Bersama Provinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 yang
disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1991 tertanggal
13 Nopember 1991. Tugas pokoknya mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan
dan pengendalian pembangunan atas dasar hal wewenang dan kewajiban Pemerintah
Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II serta urusan yang tumbuh dan
berkembang di JABOTABEK. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan status
kelembagaan dan memberikan eselonering untuk menjamin pengembangan karier bagi
pejabat dan staf yang ada di dalamnya, dengan Peraturan Bersama Propinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 8 dan 7 Tahun 1994, telah ditetapkan
Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK, yang
disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 107 Tahun 1994,
sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.6 (Anonimous 2006a).
37
38
Pembentukan organisasi dan tata kerja Badan ini berpedoman kepada
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 1994 tentang Pedoman
Pembentukan Organisasi dan Tata kerja Badan Kerjasama Pembangunan
JABOTABEK. Tugas pokoknya menyusun dan menetapkan rancangan
kebijaksanaan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerjasama
pembangunan di wilayah JABOTABEK (Anonimous 2006a).
39
sudah sangat kompleks. Maka disepakatilah bahwa Eselonering Sekretariat BKSP
JABOTABEK perlu ditingkatkan mengingat Dinas/Instansi yang dikoordinasikan
memiliki eselon yang lebih tinggi (Anonimous 2006a).
40
saling keterkaitan, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan yang memberi
manfaat kepada kesejahteraan masyarakat antara lain mengenai keselarasan,
keserasian dan keseimbangan di dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan dasar
Kesepakatan Bersama tanggal 16 Juni 2005 tersebut, kemudian disusun draft
Peraturan Bersama tentang peningkatan Badan Kerjasama Pembangunan
JABOTABEK (Anonimous 2006a).
Beberapa kali pertemuan dengan Instansi Pusat dan Daerah terkait maka
disepakatilah draft akhir yaitu Peraturan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat, dan Banten, serta Bupati/Walikota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
dan Bupati Cianjur tentang Pembangunan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, dan Cianjur, yang kemudian ditandatangani pada saat pelaksanaan Rapat
Kerja Forum I pada tanggal 14 September 2006 di Hotel Horison Bandung
(Anonimous 2006a).
41
jumlah telur, tingkat penetasan telur menurun, serta tingkat kelulusa hidup anak
ikan pun menjadi sangat terganggu.
42
Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab, yang berlangsung di Cancun dan
menghasilkan Deklarasi Cancun, yang merupakan pusat perhatian dalam
Pertemuan Tingkat Tinggi UNCED di Rio de Janeiro Brazilia pada bulan Juni
1992, yang mendukung penyiapan sebuah Tatalaksana Perikanan yang
Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF).
Konsultasi teknis FAO mengenai Penangkapan Ikan di Laut Lepas yang dilakukan
bulan September 1992 telah merekomendasikan lebih lanjut untuk memperluas
draft tatalaksana tersebut sehingga mencakup kegiatan perikanan tangkap di
samudera.
43
menunjukkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang
memiliki peluang amat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang
efektif dalam membangun Bangsa Indonesia. Atas dasar inilah maka konsep
Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab harus segera dilaksanakan di
Indonesia sebelum terlambat dan sulit untuk diperbaiki kembali.
44
Untuk mencapai misi tersebut, DKP telah membuat beberapa program kerja
sebagaimana disampaikan dalam Lokakarya Refleksi Kebijakan Revitalisasi
Kelautan dan Perikanan, yang diselenggarakan tanggal 15 Januari 2007. Dalam
melaksanakan revitalisasi perikanan, DKP menetapkan beberapa komponen utama
yang dipandang sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi sehingga program
revitalisasi berdampak positip bagi masyarakat. Komponen-komponen tersebut
(Anonimous 2007a) adalah : (1) perlu adanya pemantapan regulasi, baik di tingkat
daerah; (2) perlu adanya kejelasan dukungan pembiayaan, baik pemerintah pusat,
daerah, swasta, dan masyarakat; (3) Perlu adanya perencanaan pemasaran dalam
rangka menjamin kepastian pasar produk atau komoditas yang dihasilkan; dan (4)
perlu adanya kegiatan penyuluhan dan pendampingan dalam rangka diseminasi
teknologi dan informasi.
45
Suatu lokasi di pantai dapat memenuhi persyaratan ini dengan kedalaman air dan
besaran kolam yang cukup untuk ukuran tertentu, sehingga hanya dibutuhkan
adanya suatu dermaga (wharf) tempat ditambatkannya suatu perahu. Pelabuhan
seperti ini disebut pelabuhan alam. Tipe tempat lain yang dibentuk dan
diperuntukan bagi berlabuhnya kapal adalah pelabuhan buatan, dimana alur
masuh dan kolam pelabuhan, dan pemecah gelombang harus dibangun secara
penuh. Diantara kedua tipe pelabuhan ini ada juga yang termasuk pelabuhan semi
alam.
Mengacu pada definisi yang tercantum dalam International Maritime
Dictionary, Murdiyanto (2004) membuat padanan untuk istilah harbour dengan
bandar, yaitu suatu pelabuhan alam yang tidak selalu memiliki fasilitas buatan.
Istilah port dipadankan dengan pelabuhan, dalam arti pelabuhan buatan.
46
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
perikanan.
47
9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan.
Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam
penyelenggaraan pelabuhan perikanan;
48
pelayaran, K3, bea dan cukai, keimigrasian, pengawas perikanan,
kesehatan masyarakat, dan karantina ikan.
49
untuk memandu kapal agar dapat melakukan manuver di dalam areal pelabuhan
dengan lebih mudah an ama; (5) bila dipandang perlu, dapat mendirikan bangunan
penahan gelombang (breakwater) untuk mengurangi pengaruh atau memperkecil
gelombang dan angin badai di jalan masuk dan fasilitas pelabuhan lainnya; (6)
dermaga yang cukup panjang dan luasnya untuk melayani kapal yang berlabuh;
(7) fasilitas yang menyediakan bahan kebutuhan pelayaran seperti BBM, pelumas,
air minum, listrik, sanitasi dan kebersihan, saluran pembuangan sisa kotoran dari
kapal, penanggulangan sampah, dan sistem pemadam kebakaran; (8) bangunan
rumah dan perkantoran yang perlu untuk kelancaran dan pendayagunaan
operasional pelabuhan; (9) area di bagian laut dan darat untuk perluasan atau
pengembangan pelabuhan; (10) jalan raya atau jalan kereta api/lori yang cukup
panjang untuk sistem transportasi dalam areal pelabuhan dan untuk hubungan
dengan daerah lain di luar pelabuhan; (11) halaman tempat parkir yang cukup luas
untuk kendaraan industri atau perorangan di dalam pelabuhan sehingga arus
lalulintas di kompleks pelabuhan dapat berjalan dengan lancar; (12) fasilitas
perbaikan, reparasi dan pemeliharaan kapal seperti dok dan perbengkelan umum
untuk melayani permintaan sewaktu-waktu.
50
mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah
sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang
didaratkan minimum 200 ton per hari atau 73.000 ton per tahun, baik untuk
pemasaran dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan
tipe A ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 60 GT
sebanyak 100 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk
pengembangan seluas 30 ha.
2) Pelabuhan Perikanan Tipe B (atau Pelabuhan Perikanan Nusantara, PPN)
diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan Nusantara yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan
perikanan jarak sedang sampai ke perairan ZEEI, mempunyai perlengkapan
untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan
kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 50 ton per hari
atau 18.250 ton per tahun, hanya untuk pemasaran dalam negeri. Pelabuhan
perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran
sampai 60 GT sebanyak 50 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan
untuk pengembangan seluas 10 ha.
3) Pelabuhan Perikanan Tipe C (atau Pelabuhan Perikanan Pantai, PPP)
diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan
mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan
yang didaratkan minimum 20 ton per hari atau 7.300 ton per tahun, untuk
pemasaran di daerah sekitarnya atau untuk dikumpulkan dan dikirim ke
pelabuhan perikanan yang lebih besar. Pelabuhan perikanan tipe C ini
dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 15 GT sebanyak 25 unit
sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas
seluas 5 ha.
4) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), berskala lebih kecil dari PPP baik ditinjau
dari kapasitas penanganan jumlah produksi ikan maupun fasilitas dasar dan
perlengkapannya. Kapasitas penanganan ikannya sampai dengan 5 ton per
hari, dan dapat menampung kapal berukuran 5 GT sebanyak 15 unit
51
sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas
seluas 1 ha.
52
membantu para nelayan dalam memanfaatkan potensi perairan, baik dalam
manajemen pemberian kredit maupun dalam pemberian subsidi; (4) Belum adanya
jaminan keamanan bagi para nelayan, baik di laut maupun di darat; (5) Masih
belum tersedianya berbagai fasilitas yang memang diperlukan oleh nelayan atau
pedagang di pelabuhan perikanan atau juga rusaknya beberapa fasilitas di
pelabuhan tanpa adanya perbaikan dalam jangka waktu yang lama; (6) Belum
tersedianya prasarana dan sarana transportasi yang baik yang dapat menjamin
mutu ikan sampai ke daerah konsumen; (7) Masih banyak nelayan yang terikat
dengan para tengkulak sehingga terjadi ketergantuangan harga jual hasil
tangkapannya; dan (8) Belum berjalannya fungsi koperasi secara baik sehingga
tidak dirasakan manfaatnya oleh nelayan.
Pada saat suatu kapal tiba di suatu pelabuhan, sudah harus dipertimbangkan
kemungkinan adanya biaya tunggu di pelabuhan. Menurut Dubrocard dan Thoron
(1998), pelayanan bongkar muat kapal merupakan faktor utama dari jasa
pelayanan pelabuhan. Kualitas pelayanan ini diukur dari keterlambatan yang
ditentukan oleh kapasitas pelabuhan dan jumlah permintaan. Suatu pelabuhan
dapat digambarkan sebagai suatu mekanisme transportasi barang-barang yang
berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari laut, dan sebaliknya.
Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu pelayanan kapalnya dan
pelayanan muatannya. Pada saat suatu pelayanan bongkar muat kapal dilakukan,
telah terdapat suatu spesifikasi yang telah disesuaikan dengan kondisi kapal dan
muatannya. Hal ini merupakan hasil analisis dari pengalaman pemberian
pelayanan bongkar muat kapal yang cukup lama.
53
Dalam kasus situasi kapal ikan, Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan
bahwa tidak hanya waktu tunggu yang penting tetapi lebih pada harga ikan yang
dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan yang dibongkar tersebut menambah
jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan, dikhawatirkan akan terjadi penurunan
harga karena kelebihan pasokan di pasar. Namun secara formal, analisis terhadap
situasi ini sangat mirip dengan teori antrian dan kemacetan. Dengan perkataan
lain, kualitas pelayanan diukur dalam dua bentuk gambaran, pada saat kapal
datang di pelabuhan secara acak (dengan kata lain kualitas ditentukan oleh harga
yang diperoleh, dan hal ini pada gilirannya ditentukan oleh proses kedatangan dari
kapal ikan).
54
Menurut Mahyuddin (2007), pengembangan pelabuhan perikanan di
Indonesia semakin menarik bagi investor untuk dijadikan basis dalam
pengembangan industri perikanan. Alasannya yakni: (1) investor semakin sulit
memperoleh tanah yang bebas masalah d luar kawasan pelabuhan sehingga areal
industri perikanan di kawasan pelabuhan semakin diminati; (2) berdasarkan pasal
41 ayat 3 UU No. 31/2004 tentang perikanan, setiap kapal penangkap ikan dan
kapal pengangkut ikan diharuskan untuk mendaratkan ikan tangkapannya di
pelabuhan perikanan; (3) adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan
bahwa kapal-kapal asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan
Indonesia kecuali kapal-kapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil
tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan
di Indonesia; dan (4) semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor
di pelabuhan mulai dari pelayanan prima, sampai kepada murahnya tarif dalam
memanfaatkan fasilitas pelabuhan.
Menurut Adrianto (2007), TPI adalah tempat dimana kesepakatan harga jual
beli ikan tercapai. Namun demikian beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu harga
yang terbentuk tidak mencerminkan supply dan demand yang aktual (quasi-
auction), transparansi antara harga on-farm dan off-farm masih terbatas. Dengan
demikian TPI hanya berfungsi sebagai lembaga ekonomi saja.
55
juga bertambah. Fungsi pemasaran ikan yang terjadi di TPI digambarkan oleh
Adrianto (2007) sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.7
Retail Sales
Traders Consumers
Middle-men
LANDING
Auctions and Bidding
Consignment
Consignees, wholesalers
(larger wholesaler market)
Consignees, wholesalers
(fishers cooperatives/
association)
Middle-men
Buying on consignment
Gambar 2.7 Bagan alir fungsi pemasaran yang terjadi di TPI (Adrianto 2007)
56
2.3.4 Kelembagaan TPI
Untuk dapat beroperasi secara benar dan optimal, maka TPI harus memiliki
lembaga pengelola. Banyak kasus di pelabuhan-pelabuhan perikanan di Pulau
Jawa lembaga pengelola TPI dipegang oleh koperasi nelayan (KUD Mina), ada
yang berhasil dan ada pula yang gagal total sehingga lembaga tersebut tidak
dipercaya lagi. Contoh kasus yang terhitung berhasil adalah di PPI/TPI
Belanakan di Subang yang dikelola oleh KUD Mina Fajar Sidik. Keberhasilan
lembaga pengelola TPI ini telah menjadikannya sebagai acuan dalam
pengembangan Terminal Agribisnis/Sub Terminal Agribisnis (TA/STA) produk-
produk pertanian. KUD Mina Fajar Sidik didirikan tahun 1958 dan mendapat
predikat KUD Mandiri Inti berdasarkan Surat Kakanwil Depkop dan PPK Prop.
Jawa Barat tanggal 24 Desember 1994. Jumlah karyawan KUD 50 orang dengan
keanggotaan penuh (535 orang), calon anggota (155 orang) dan anggota yang
dilayani (3.804 orang), dan uang yang beredar dari hasil transaksi lelang yang
terjadi di TPI setiap hari sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta)
(Anonimous 2006).
Tata cara pelaksanaan lelang di TPI KUD Mina Fajar Sidik dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 13/2006 tanggal 8 Maret 2006
tentang pelaksanaan penyelenggaraan dan retribusi tempat pelelangan ikan dan
berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat no. 10/11 tahun 1998 Jo Prop Jawa Barat
no. 8/9 tahun 2000 pelaksanaan lelang dikenakan ongkos sebesar 8 %.
57
mempunyai variasi yang cukup berbeda, sebagaimana tampak pada Gambar 2.9
dan Gambar 2.10.
TPI
1.25% 3.75%
Gambar 2.8 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Jawa Tengah
(Adrianto 2007)
5%
TPI KUD DISPENDA
BANK
JATIM
ANGGARAN
RUTIN
0,75 %
1,25 %
3%
ANGGARAN
PEMBANGUNAN
PROVINSI
Gambar 2.9 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Jawa Timur
(Adrianto 2007a)
58
Biaya operasional Retribusi BPD Bali
dan tabungan nelayan Provinsi 0.5 %
Wasdalop Bendaharawan
0.5 % Provinsi
Gambar 2.10 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Bali
(Adrianto 2007b)
59
perikanan termasuk dampak yang mungkin timbul dari turunnya kesempatan kerja
dan pendapatan sektor perikanan. Daerah perikanan dalam konteks ini terkait
dengan istilah fisheries dependent region, ketergantungan daerah terhadap
perikanan. Menurut Phillipson (2000), definisi daerah perikanan perlu difokuskan
dalam konteks struktur ekonomi daerah (regional depencies) dimana sektor
perikanan berkontribusi secara sosial dan ekonomi, daripada ketergantungan
perikanan (fisheries dependencies). Ketergantungan daerah jelas berdimensi
regional atau wilayah, sedangkan ketergantungan perikanan memiliki banyak
dimensi, mulai dari individu, rumah tangga, hingga ke komunitas. Sebelumnya
Otterstad et al. (1997b) dalam Symes (2000) menyatakan bahwa ketergantungan
secara ekonomi (economic dependencies) lebih relevan secara langsung terhadap
isu daerah perikanan. Sedangkan variabel sosial memiliki peran dalam
penyediaan indikasi umum dari kesejahteraan sosial (social welfare) dari suatu
daerah.
60
diperhatikan. Pertama, tidak ada sistem data yang langsung dapat dipakai
(straightforward) untuk mengidentifikasi sebuah daerah agar dapat digolongkan
sebagai daerah perikanan. Data statistik nasional misalnya belum menempatkan
informasi tentang angkatan kerja perikanan dalam sebuah bentuk yang standar.
Kedua, masalah level data. Data perikanan saat ini tidak standar antar level
sehingga sering ditemukan ketidaksesuaian data antar level. Secara teoritis,
identifikasi kegiatan perikanan lebih mudah dilakukan di tingkat lokal, sehingga
level ketergantungan (level of dependencies) daerah tersebut mudah ditentukan
walaupun tidak untuk semua kasus. Ketiga, dalam beberapa hal istilah fisheries
dependence dapat menimbulkan kontradiksi. Ketika pengukuran dimaksudkan
untuk mengidentifikasi peren penting dari sektor perikanan di suatu daerah,
namun hasilnya cenderung tidak meyakinkan karena sektor perikanan seringkali
masuk (embedded) ke dalam ekonomi lokal yang kompelks dan beragam
(pluriactive). Dalam konteks ini, maka penerapan indeks batas arbitrer (arbitrary
threshold index), untuk menggolongkan apakah suatu daerah bergantung secara
relatif terhadap sektor perikanan atau tidak, dapat di lakukan.
Menurut Fetter (1977), asal kata rent atau rente berasal dari kata Bahasa
Perancis tua pada abad 12, yang diambil dari Bahasa Latin rendita dan reddita
yang berarti kembali atau hasil panen. Pada abad yang sama pula terjadi
penggunaan kata tersebut dalam Bahasa Inggris, yang nuansa artinya lebih pada
kata penghasilan (revenue atau income). Dari istilah inilah kemudian muncul
definisi rente menurut Alfred Marshall yang banyak digunakan oleh para ekonom,
yaitu pendapatan yang diperoleh dari penggunaan lahan dan pemberian alam
lainnya. Namun demikian, dari nuansa teknis hukum definisi yang lebih sesuai
adalah: kompensasi yang diterima oleh tuan tanah untuk penyewaan tanahnya
(corpus juris).
61
paling signifikan berpengaruh adalah Von Thnen dengan teori lokasinya, Weber
dengan model lokasi industri, Christaller dan Lsch dengan penjelasan tentang
daerah pemasaran dan perencanaan geometrik untuk membentuk kawasan; serta
implementasinya terhadap daerah perkotaan dijelaskan oleh Wingo dan Alonso
(de la Barra 1989). Pendekatan Von Thnen dan Weber sudah dikenal umum
sebagai dua paradigma yang berbeda dimana Von Thunen menggunakan
paradigma land use sementara yang kedua paradigma lokasi (Stahl 1987 dikutip
oleh Parikesit 1996 dalam Parikesit 2005). Von Thnen melihat bahwa lokasi
perdagangan yang penting dan terlibat adalah penurunan biaya output transportasi
dengan cara mendekati lokasi pasar, lawannya adalah peningkatan harga input
lahan (atau barangkali juga buruh) yang terlibat dalam hal pindah lokasi. Lebih
jauh, Von Thnen menyatakan bahwa land rent dirasakan sebagai pendekatan
yang paling tepat sebagai sisa, bahwa land rent bukan suatu lokasi yang
menentukan (kompetitif), tetapi ditetapkan sebagai suatu hasil (Parikesit 1996
dalam Parikesit 2005).
62
Rent/Cost
100
cost of fixed
non-land inputs
50
30
M
20 km distance d
50 km
Untuk lebih mudah mengerti tentang konsep land rent, diagram di bawah ini
menjelaskan tentang kaitan antara besarnya nilai suatu kapital dengan jarak,
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.12.
B-Industry/
A-Retailling commerccial
Distance
City limits
63
Gambar 2.12 bagian 1 (bid rent curve) menggambarkan toleransi dari
aktivitas ekonomi terhadap rent. Dengan menumpang-tindihkan kurva dari semua
aktivitas ekonomi perkotaan tersebut (bagian 2), maka pusat pemanfaatan lahan
dapat dibuat dimana aktivitas bisnis eceran pada lingkaran CBD,
industri/komersial pada lingkaran berikutnya, apartemen di lingkaran berikutnya
dan kemudian perumahan tunggal. Hal ini merupakan representasi suatu ruang
isotropik (isotropic space). Pada kenyataannya, kombinasi antara atribut-atribut
physiographic (tepi perairan, bukit, dan lain lain), sejarah (turisme) dan sosial
(suku bangsa, kriminalitas, persepsi) akan mempengaruhi kurva nilai penawaran
(bid rent curves) (Anonimous 2005). Penggunaan lahan oleh karena itu
didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayar dari fungsi ekonomi yang
berbeda di daerah perkotaan, seperti kawasan pedagang eceran, industri, atau
pemukiman. Lokasi optimal, dimana akses adalah optimal, adalah pusat kegiatan
bisnis. Setiap aktivitas, termasuk daerah pedesaan, berkeinginan untuk
mempunyai aktivitas di sekitar pusat bisnis tersebut.
Pada saat suatu kota berkembang, lahan yang terpencil sekalipun mulai
menunjukkan rente yang jual tinggi khususnya yang memiliki akses yang baik.
Hal ini kemudian menghasilkan tingkat densitas dan produktivitas yang tinggi.
Oleh karenanya, densitas dan rente mempunyai hubungan yang erat (Anonimous
2005). Mubyarto (1979) menambahkan bahwa proses urbanisasi dan
industrialisasi merupakan faktor penting yang mendorong kenaikan sewa dan
harga lahan; selain itu dengan meningkatnya jumlah penduduk maka nilai lahan
64
akan terus naik dan tidak mungkin turun, karena lahan adalah satu-satunya faktor
produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia.
65
Fauzi (2000) menyebutkan bahwa tekanan pembangunan ekonomi yang
dilakukan di negara-negara berkembang khususnya sering menimbulkan dilema
bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk
masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik dan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga
penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang harus dibayar
untuk suatu proses pembangunan ekonomi. Lahan yang dikelola masyarakat
sebagai common property dapat disebut dengan open access. Dalam istilah
ekonomi, lahan tersebut disebut extensive economic margin yang artinya bahwa
pengetrapan tenaga kerja dan kapital per satuan lahan adalah sangat rendah dan
jika lahannya yang open access tersebut diperluas maka economic return-nya juga
sama rendahnya. Menurut Mubyarto (1972), balas jasa (return to land) yang
diterima oleh lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi mempunyai
kedudukan yang paling penting. Pembayaran atas jasa produksi tersebut disebut
sewa lahan (rent). Suparwoko (1989) menjelaskan bahwa sewa lahan secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi, yaitu merupakan
kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari
sumberdaya lahan dapat disebabkan oleh tingkat kesuburannya.
66
tersebut. Penawaran untuk jenis lahan tertentu, seperti lahan komersial, mungkin
dapat ditingkatkan dengan tekanan pasar dan oleh keputusan politik, seperti
perubahan zonasi. Meskipun demikian, penambahan lahan untuk tujuan tertentu
akan lebih mahal dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya (Blair
1991).
Rent
Slahan
Dlahan = VMPL
Kuantitas lahan
Gambar 2.13 Kurva penawaran (S) dan permintaan (D) dari lahan (Blair 1991)
67
dengan produk marjinal dari unit lahan tambahan. Dalam bentuk rumus ditulis
sebagai berikut:
VMPi = Po x MPi
dimana:
Skalogram didasarkan pada analisis skalogram dan untuk yang lebih luas
lagi pada Rasch analisis, keduanya digunakan untuk menilai apakah suatu
kelompok barang dalam keadaan konsisten, dalam arti bahwa kesemuanya
mengukur sesuatu yang sama (Anonimous 1999). Jika semua barang tersebut
mengukur sesuatu yang sama, maka barang-barang tersebut disebut
unidimensional; yang didasarkan pada dimensi tunggal (single dimension).
Biasanya, titik awalnya adalah satu kelompok barang yang salah satunya tertarik
karena percaya bahwa mengukur konstruksi psikologi (inductive reasoning
ability, assertiviness, irritability, ...). Oleh karena itu, barang-barang tersebut
dipertimbangkan sebagai suatu definisi operasional dari satu bangunan psikologis
(psychological construct).
Untuk lebih jelas lagi, Harsono (2001) menyatakan bahwa metode ini
digunakan untuk menentukan peringkat pemukiman atau wilayah dan
kelembagaan atau fasilitas pelayanan, dalam penelitian ini digunakan untuk
menentukan hirarki wilayah. Analisis ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada
68
umumnya semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas
serta jumlah jenis fasilitas pada suatu pusat pelayanan, maka semakin tinggi pula
hirarki dari pusat pelayanan tersebut. Dengan analisis ini maka akan dapat
diidentifikasi: (1) Pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang
berbeda; (2) Penentuan dari fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan
kebutuhan beragam sektor dari penduduk; dan (3) Pengintegrasian atau
pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbeda dan penentuan dari
keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan aksesibilitas dan efisiensi.
(1) Perroux tentang pusat pertumbuhan dan kutub pertumbuhan dalam ruang
ekonomi;
(3) Walter Christaller dan August Losch tentang ukuran, lokasi, distribusi, dan
pengelompokkan kegiatan ekonomi;
(6) Hagerstestrand den Pottier tentang difusi inovasi dalam tata ruang dan
sumbu-sumbu pertumbuhan; dan
(7) Galpin dan Kolb tentang anatomi sosial dari masyarakat pertanian (Roi dan
Patil 1976).
69
(3) Penduduk menggunakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia untuk
kebutuhannya;
(4) Penduduk membentuk pemukiman dalam bentuk rumah, dusun kecil, desa,
dan kota serta memutuskan untuk tingkal bersama selama sumberdaya
mencukupi kebutuhan mereka;
(2) suatu kumpulan materi (bahan) yang saling berinteraksi dan sekelompok
proses yang secara bersama-sama membentuk beberapa kumpulan fungsi;
(3) suatu proses yang kompleks dan saling terkait yang dicirikan oleh
banyaknya hubungan sebab akibat dan timbal balik.
Pada intinya, definisi sistem yang dikemukakan oleh Grant et al. (1997)
tersebut adalah sama dengan para pendahulunya seperti yang telah dikutip oleh
Damai (2003) yang mencakup Forrester (1968), Manessch dan Park (1979) dalam
Eriyatno (1999), OConnor dan McDermott (1997), dan juga Sushil (1993).
70
Model, adalah suatu gambaran miniatur dari suatu realita, yang dibuat
sebagai sarana/alat (tool) untuk memecahkan persoalan (Jorgensen 1988).
Artinya, model merupakan abstraksi dari realitas, yaitu suatu deskripsi formal dari
elemen-elemen penting pada suatu masalah. Ruth dan Hannon (1997)
menambahkan bahwa model merupakan pusat pemahaman kita terhadap alam
dunia, karena melalui model dapat merepresentasikan dan memanipulasi
penomena nyata, kemudian mengeksplorasi hasilnya. Deskripsi tersebut dapat
berupa sesuatu yang bersifat fisik, matematik, atau bahkan kata-kata. Dari
beberapa literatur, Jorgensen (1988) mengelompokan model menjadi:
Model dapat mencerminkan suatu sistem yang tetap ataupun yang berubah
menurut waktu. Sebuah model statis menerangkan suatu hubungan atau
sekelompok hubungan yang tidak berubah menurut waktu. Contoh umum
termasuk model-model regresi yang tidak mempunyai waktu sebagai
sebuah variabel bebas. Sebuah model dinamis menerangkan suatu
hubungan yang bergantung terhadap waktu, contohnya termasuk model-
model simulasi serta model regresi yang memasukan waktu sebagai salah
satu variabel bebasnya.
71
yang tepat untuk proses-proses atau mekanisme yang bekerja di dalam
sistem riil pada setiap kelompoknya. Sasarannya adalah pendugaan
(prediksi) dan bukan penjelasan. Contohnya adalah sebuah model yang
menduga tingkat metabolisme suatu jenis hewan sebagai satu-satunya
fungsi dari ukuran (berat atau panjang) tubuh. Dalam model jenis ini
hanya keluaran metabolisme yang diukur, sedangkan proses metabolisme
yang terjadi di dalam tubuh hewan tersebut tidak digambarkan. Model
mekanistis atau model penjelasan dikembangkan terutama untuk
menggambarkan dinamika internal dari suatu sistem yang dipalajari secara
lebih tepat. Sasarannya adalah diperolehnya penjelasan melalui
penggambaran mekanisme sebab akibat yang mendasari perilaku suatu
sistem. Sebuah model yang mencerminkan tingkat metabolisme hewan
sebagai fungsi dari ukuran tubuh, tingkat aktivitas, suhu lingkungan,
angin, dan lamanya terkena oleh kondisi ambien merupakan sebuah
contoh. Suatu model yang kita lihat sebagai penjelasan pada suatu tingkat
detail mungkin kita lihat sebagai korelatif pada tingkat yang lebih detail
lagi. Sebuah model yang menggambarkan rekruitmen populasi tahunan
sebagai fungsi dari ukuran populasi terlihat sebagai model penjelasan
dibandingkan dengan sebuah model yang menggambarkan rekruitmen
tahunan hanya sebagai suatu konstanta yang ditentukan dengan merata-
ratakan data historis. Namun demikian, model tersebut terlihat sebagai
model korelatif dibandingkan dengan suatu model yang menghitung
rekruitmen berdasarkan tingkat kelahiran individu pada umur tertentu di
dalam populasi yang pada gilirannya didasarkan pada ranking sosial
individu dan status gizi selama musim berkembangbiak.
72
kebutuhan energi suatu individu (Y, kkal/hari) terhadap suhu ambien (X,
o
C), yang ditulis sebagai berikut:
Y = 100 2X
Sebuah model disebut stokastik jika mengandung satu atau lebih variabel
acak. Pendugaan model stokastik dibawah kondisi tertentu tidak selalu
menghasilkan nilai dugaan yang persis sama, karena variabel acak di
dalam model secara potensial dapat memberikan nilai yang berbeda setiap
kali model dipecahkan. Bentuk umum dari model kebutuhan energi
deterministik adalah sebagai berikut:
Y = a-bX
73
menginginkan pembandingan secara statistik dari pendugaan model untuk
berbagai situasi yang berbeda.
Nt = Noert
Dimana:
t = waktu
74
f (Nt, Et) = fungsi kompleks dari ukuran populasi dan kondisi
lingkungan pada waktu t.
1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal,
baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik
dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe.
Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi
dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik
75
3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk
angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada
penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah
persamaan matematis. Contoh dari model matematis adalah persamaan
antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu aliran
transportasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi.
Menurut Fauzi (2000), secara umum yang dikatakan model adalah suatu re-
presentasi dari realitas dunia nyata yang tampil melalui persepsi indera,
sebagaimana dicantumkan dalam Gambar 2.14.
Dunia luar
Pemikir
(thinker)
Model dari
realitas
Gambar 2.14. Model sebagai re-presentasi realitas dunia nyata (Fauzi 2000).
(1) Model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dan dunia berfikir
(thinking) untuk memecahkan masalah;
(2) Masalah (problem) ada yang bersifat thinkable dan ada yang
unthinkable;
Dua katagori model yang paling umum digunakan (Fauzi 2000) yaitu:
76
(1) Bahasa: bahasa adalah suatu model yang terdiri dari urutan (sekuen)
metafor-metafor untuk menyapaikan perasaan, keinginan, dlsb. Kepada
orang lain. Dengan demikian bahasa merupakan suatu sistem penyandian
(encoding) pemikiran-pemikiran.
Salah satu tool yang dapat digunakan untuk menggambarkan model adalah
stella. Secara formal, model konseptual digambarkan dengan diagram kotak dan
panah. Diagram model seperti ini sangat penting perannya untuk
memvisualisasikan gambaran sebenarnya serta dengan memfasilitasi komunikasi
antara berbagai orang yang berbeda yang tertarik dengan sistem khusus (Grant et
al. 1997).
77
Lanjutan Tabel 2.3
78
Lanjutan Tabel 2.3
79
Dari Tabel 2.3 tampak bahwa sebagian besar topik penelitian yang
dilakukan oleh para peneliti terdahulu lebih diarahkan pada analisis pengelolaan
aspek sumberdaya perikanan, lingkungan kawasan pesisir, komunitas di daerah
pesisir, pemerintahan, dan interaksi diantara aspek-aspek tersebut yang dilakukan
di satu kawasan yang secara administratif berada dalam satu pemerintah daerah,
baik satu-satu maupun gabungan dari aspek-aspek tersebut. Sampai saat ini
belum ditemukan analisis yang diarahkan pada pengelolaan sumberdaya yang
berada di bawah pemerintahan daerah yang berbeda, baik di tingkat kabupaten
maupun provinsi.
80
Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN
82
3.3 Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan penelitian yang digunakan terdiri dari alat tulis dan
kuesioner, serta alat bantu untuk merekam wawancara (tape recorder).
Dokumentasi foto diambil secara langsung dan juga menggunakan sumber dari
referensi. Perangkat keras dan perangkat lunak komputer digunakan untuk
menganalisis datanya. penelitian di Kawasan Dadap-Kamal Muara
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survai, untuk
mencari data yang berkaitan dengan data biofisik dan sosial ekonomi, baik yang
ada di lokasi penelitian maupun di instansi dan lembaga-lembaga terkait dengan
permasalahan penelitian.
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer yang
berkaitan dengan TPI Dadap dan dalam kurun waktu 1999 sampai 2003. Data
primer diperoleh melalui kegiatan survey penelitian di lapangan, baik berupa hasil
diskusi dengan para pejabat instansi terkait, wawancara dengan stakeholders
pengelolaan wilayah pesisir di kawasan penelitian tersebut, pengisian kuesioner,
maupun pengambilan data biofisik sebagai pelengkap data sekunder.
(z )
n pq 1 / 2 2
b
dimana:
Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, dan laporan kegiatan dari
setiap instansi yang ada di Kabupaten Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara.
Untuk data sekunder, bilamana dimungkinkan akan diambil data seri dari tahun
1992 sampai 2003, yaitu selang sepuluh tahun dimana saat penonaktivan TPI
Dadap berada hampir di tengah-tengahnya. Data primer dan sekunder yang
dikumpulkan terdiri dari :
(1) Kondisi fisik kawasan yang meliputi bentang alam, batimetri, pasang surut,
salinitas dan turbiditas, arus air laut, input air tawar, dan iklim (curah hujan,
temperatur dan angin), perubahan peruntukan ruang, kesesuaian peruntukan
kawasan pesisir, perubahan jumlah dan jenis ikan yang ditangkap atau
didaratkan, perubahan jumlah dan jenis alat tangkap, dan perubahan kualitas
lingkungan;
(2) Kondisi biologi kawasan pesisir yang terdiri dari, jenis dan penyebaran
sumberdaya perikanan dan sejenisnya;
(3) Kondisi ekonomi masyarakat sekitar kawasan yang terdiri dari: pendapatan
keluarga dan mata pencaharian, serta kegiatan ekonomi dan jasa (khususnya
yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan), persepsi masyarakat
terhadap rencana pembangunan pelabuhan perikanan atau pelabuhan
kontainer; nilai transaksi ikan, alat tangkap, bahan dan peralatan pendukung
operasional penangkapan ikan, pendapatan dan mata pencaharian, kondisi
ekonomi masyarakat (antara lain penghasilan keluarga dan penghasilan
pemerintahan desa dan kecamatan); serta perubahan sosial, yaitu mencakup
perubahan jumlah nelayan dan penduduk secara umum, pertumbuhan dan
84
penyebarannya, kondisi permukiman, pendidikan,perubahan kondisi
pendidikan dan kesehatan penduduk, serta perkembangan fasilitas sosial
lainnya seperti jalan, masjid, penerangan umum, dll.
(4) Kebijakan pengelolaan saat ini dan rencana per sektor dari berbagai aspek
yaitu tata ruang dan tata guna lahan, pemerintahan daerah, kehutanan,
perikanan, pariwisata, perhubungan, pertambangan, kehakiman,
perindustrian, pendidikan dan kebudayaan serta sosial.
Data dan informasi yang telah diperoleh akan dijadikan dasar dalam
melakukan analisis untuk melihat perkembangan peruntukan Kawasan Dadap dan
Kamal Muara sebagai daerah kegiatan perikanan. Data fisik, biologi, dan sosial-
ekonomi dianalisis secara statistik untuk mengetahui potensi-potensi sumberdaya
alam dan kondisi sumberdaya manusia serta kelembagaannya, termasuk peraturan
perundangan yang terkait. Kebijakan pengelolaan saat ini dan rencana per sektor
yang telah ada, dievaluasi untuk mencari formulasi yang terbaik bagi penyusunan
rencana pengelolaan. Penyusunan ini memperhatikan rencana tata ruang wilayah,
yang meliputi daerah alami (natural), daerah pengembangan (development areas),
dan daerah yang terkena dampak pengembangan (impacted areas).
85
Tabel 3.1. Matriks keterkaitan antara tujuan, indikator/parameter, metode analisis, sumber data, dan output
b) Melihat seberapa besar tingkat Perubahan data Ideks Primer Informasi tentang dasar
ketergantungan Kawasan Dadap dan Kamal hasil perikanan ketergantun sekunder pengambilan keputusan perlu
Muara terhadap perikanan dan aspek sosial gan daerah tidaknya dilakukan perubahan
perikanan fungsi pengelolaan TPI Dadap
dan Kamal Muara dimasa depan
86
b) Melihat pemusatan aktivitas ekonomi Sektor-sektor LQ sekunder Informasi tingkat keunggulan
wilayah ekonomi (Location sektor ekonomi di suatu kawasan
Quotient)
c) Melihat distribusi dan hierarki pelayanan Fasilitas dan Skalogram Primer/ Informasi pusat pelayan dan
fasilitas-fasilitas sosial, pelayanan sosial sekunder pengembanghan
3. Mengkaji pemanfaatan lahan dan daya
tampung pelabuhan perikanan di kawasan
Dadap-Kamal Muara berkaitan dengan
kapasitas tampung TPI Muara Angke dimasa
yang akan datang
a) Melihat kesesuaian pemanfaatan lahan peruntukan lahan Deskriptif Sekunder Informasi tingkat penyimpangan
dalam RTRW terhadap RTRW
b) Melihat model kelimpahan kapal ikan yang Kapal ikan dan Stella & Primer Model kelimpahan kapal ikan di
dapat dipindahkan dari TPI Dadap dan TPI sarana dan visual basic sekunder Kamal Muara
Muara Angke ke TPI Kamal Muara prasarana
penangkapan ikan
dan pelabuhan
4. Membuat analisis dan skenario pengembangan Perubahan deskriptif Primer/ Skenario pengelolaan PPI/TPI
dan pengelolaan pelabuhan perikanan dalam aktivitas PPI/TPI sekunder Dadap dan PPI/TPI Kamal Muara
konteks pengelolaan pesisir terpadu Dadap dan Kamal
. Muara
5. Membuat kajian opini masyarakat tentang Hasil kuesioner Survey Pro primer Informasi berbagai pendapat dari
kondisi perikanan di kawasan Dadap-Kamal responden 20 penduduk lokal tentang kondisi
Muara lingkungan dan TPI.
87
Metode analisis data yang digunakan akan dikelompokkan menjadi 4
kelompok, yaitu:
(1) Kelompok analisis data biofisik
(2) Kelompok analisis data sosial ekonomi
(3) Kelompok analisis data pemanfaatan ruang
(4) Kelompok analisis data pengembangan wilayah
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk data fisik
perubahan bentang alam, data kimia fisik untuk daya dukung lingkungan sesuai
dengan baku mutu yang ada, serta untuk melihat beberapa faktor pembatas
(constraint) pengembangan TPI;
88
output yang dihasilkannya; kemudian akan dilanjutkan dengan analisis
konsentrasi dari setiap aspek pemanfaatan tersebut. Metode analisis yang
digunakan adalah:
(1) analisis tipologi (analisis skalogram) untuk melihat distribusi dan hierarki
pelayanan pelabuhan-pelabuhan perikanan di kawasan penelitian
(2) analisis shift share untuk melihat komponen pengembangan wilayah;
(3) analisis location quotient (LQ), digunakan untuk menganalisis pergeseran
pemusatan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di lokasi penelitian
(Kecamatan Penjaringan-Jakarta Utara dan Kecamatan Kosambi-
Kabupaten Tangerang), untuk kurun waktu antara 2000 2002.
(4) stella, digunakan untuk menganalisis model kualitatif kelimpahan jumlah
kapal yang mendarat di TPI Muara Angke dan yang dapat ditampung di
TPI Kamal Muara, selain itu juga untuk melihat skenario jumlah kapal
yang dapat dipindah dari TPI Dadap ke TPI Kamal Muara;
(5) visual basic digunakan untuk membuat model matematik yang
menggambarkan hubungan antara kelengkapan sarana dan prasarana
pelabuhan dengan kondisi sebenarnya.
89
penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah; 2) khusus untuk
fasilitas yang menandakan jarak harus dibuat inversnya; 3) semua nilai fasilitas
dirasiokan terhadap luas di setiap wilayah sehingga diperoleh sebaran fasilitas di
wilayah tersebut; 4) semua nilai haris distandarisasikan dulu sehingga nilai
tersebut memiliki satuan yang sama; 5) menjumlahkan seluruh fasilitas secara
horizontal untuk menentukan indeks perkembangan suatu wilayah; 6) mencari
kapasitas pelayanan fasilitas tersebut terhadap jumlah penduduk yang ada dengan
cara mengalikan indeks perkembangan di setiap wilayah dengan jumlah
penduduk; serta 7) menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal
sehingga diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh unit wilayah,
selain itu ditentukan juga rata-rata unit fasilitas tersebut (average), standar deviasi
(st-dev), total terisi (countif, sehingga fasilitas yang bernilai nol tidak akan
dihitung), bobot (rasio antara total terisi dengan jumlah desa), nilai maksimum
(max) dan nilai minimum (min).
I ij I i min
Dimana: I ' ij =
SD i
90
i = 1, 2, 3,......, n
j = 1, 2, 3,......, m
91
berdampingan tersebut, sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi
kondisi mikro dikedua Desa tersebut.
Model matematis dari analisis shift share tersebut adalah sebagai berikut:
YTt ij YT0 ij = Yij =Yij (Ra1) +Yij (Ri Ra) +Yij (ri Ri)
Dimana:
m = jumlah wilayah studi = 2
n = jumlah sektor ekonomi
Yij = perubahan dalam output sektor ke-i pada wilayah ke-j;
YToij = output dari sektor ke-i pada wilayah ke-j pada tahun dasar analisis;
YTtij = output dari sektor ke-i pada wilayah ke-j pada tahun akhir analisis;
YToi = YToij = PDRB atau tenaga kerja dari sektor ke-i pada tahun dasar
analisis;
YTti = YTtij = PDRB atau tenaga kerja dari sektor ke-i pada tahun akhir
analisis;
YTo.. = YToij = PDRB atau tenaga kerja pada tahun dasar analisis;
YTt.. = YTtij = PDRB atau tenaga kerja pada tahun akhir analisis;
ri = YTtij/YToij;
Ri = YTti/YToi;
Ra = YTt../YTo..;
(rj 1) = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja pada sektor i
kawasan j;
(Ra 1) = Pkij = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja yang
disebabkan oleh komponen pertumbuhan di Kabupaten
Tangerang/Kota Jakarta Utara;
(Ri Ra) = Pwij = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja yang
disebabkan oleh komponen pertumbuhan di Kawasan Dadap dan
Kamal Muara (proporsional);
92
(ri Ri) = Pmij = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja yang
disebabkan oleh komponen pertumbuhan kompetitif di kabupaten
Tangerang/Kota Jakarta Utara;
ei
et
LQ = m
i
Si
m
i
St
Dimana:
ei = jumlah pendapatan sektor ke-i pada Kabupaten Tangerang/Kota
Jakarta Utara
et = jumlah pendapatan total di Kabupaten Tangerang/Kota Jakarta
Utara
Si = jumlah pendapatan sektor ke-i daerah Kabupaten Tangerang/Kota
Jakarta Utara dari sektor ke-i
St = jumlah pendapatan total Kabupaten Tangerang/Kota Jakarta Utara
dari sektor ke-i (i = 1, 2, 3, ......m)
Koefisien konsentrasi
Si
= ( NS ) (
i
)
i
Ni
Dimana:
= kuosien lokasi/koefisien konsentratsi
93
Si = jumlah PDRB sektor ke-i pada wilayah Kabupaten Tangerang/Kota
Jakarta Utara;
Ni = jumlah PDRB total di wilayah Kabupaten Tangerang/Kota Jakarta
Utara
(1) Rasio jumlah nelayan dan atau petani ikan terhadap total penduduk
(RNt)
RNt = Pt ti
N
Dimana:
Nti = jumlah pelaku perikanan primer dari sektor ke-i pada
tahun-t untuk wilayah desa;
Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah
kabupaten/kota;
94
n = jumlah sektor dalam perikanan.
(2) Rasio jumlah nelayan dan atau petani ikan terhadap total tenaga
kerja (RMt)
RMt = TKt ti
N
RPIt = PI ti
PI
tj
PIti = jumlah produksi perikanan dari sektor ke-i pada tahun-t
untuk wilayah desa;
PItj = jumlah produksi perikanan dari sektor ke-i pada tahun-t
untuk wilayah kabupaten/kota
n = jumlah sektor dalam perikanan
RKt =KIti
JK
ti
JKti = jumlah kapal ikan dari sektor ke-i pada tahun-t untuk
wilayah desa;
KIti = jumlah kapal perikanan dari sektor ke-i pada tahun-t untuk
wilayah kabupaten/kota
n = jumlah sektor dalam perikanan
(5) Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan
(RTKPt)
RTKP t = TK ti
TKP
tm
95
TKPti = jumlah tenaga kerja pengolahan hasil perikanan dari
sektor ke-i pada tahun-t untuk wilayah desa;
TKtm = jumlah total tenaga kerja sektor ke-i pada tahun-t untuk
wilayah kabupaten/kota
n = jumlah sektor dalam perikanan
KPI =
( PDBP t / PDBT i )
ti n
RKK t = Pt ti
KK
KKti = jumlah kesempatan kerja dari sektor ke-i dari sektor ke-i
pada tahun-t untuk wilayah desa;
Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah
kabupaten/kota
n = jumlah sektor dalam ekonomi
RIti = Pt
KKti
96
n = jumlah sektor dalam industri = 3 (sektor primer, sekunder,
dan tersier).
(6) Analisis Stella dan visual basic untuk model kelimpahan kapal ikan
Stella adalah salah satu tipe software yang dapat digunakan untuk
membuat model dinamika dari suatu kondisi dilapangan yang
diprediksikan untuk masa yang akan datang. Seluk beluk yang berkaitan
dengan Stella dalam disertasi ini diambil dari Ford (1999) dengan
menggunakan software Stella versi 7.
Dimana:
Y = fasilitas sarana/prasarana
X = total bobot kapal
i = 1, 2, 3, ....., n = faktor jenis fasilitas yang berubah
Asumsi yang ditetapkan adalah bahwa setiap perubahan yang terjadi pada
jumlah kapal akan berdampak terhadap perubahan jenis fasilitas secara linier.
97
4 KEADAAN DAERAH PENELITIAN
99
Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Tangerang
(Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001), di kawasan pantura direncanakan akan
dikembangkan beberapa kawasan wisata, yaitu di Pulau Cangkir (Kecamatan
Kronjo), Tanjung Kait Kecamatan Sukajadi, Tanjung Burung dan Tanjung Pasir
(Kecamatan Teluk Naga), Arukan/Muara (Kecamatan Kosambi), Salembaran Jati
dan Dadap (Kecamatan Kosambi). Kawasan-kawasan wisata tersebut secara
terpadu akan dialokasikan untuk 3 kegiatan utama, yaitu kawasan perumahan,
kawasan wisata, dan kawasan campuran wisata dan perumahan. Objek wisata
andalan di Kecamatan Kosambi adalah Pantai Dadap, dimana aktivitas yang
direncanakan adalah:
(1) wisata keluarga:
1) waterfront, meliputi dermaga nelayan, tempat pelelangan ikan, pasar
ikan, dan pasar sayur
2) daerah komersial, meliputi restoran, penginapan, play ground dan
tempat olah raga terbuka, taman-taman, serta tempat parkir.
(2) Wisata lahan pertanian dan tambak
(3) Pembenahan kegiatan-kegiatan hiburan
(4) Pembukaan gerbang tol Jakarta-Cengkareng ke arah Dadap
(5) Perbaikan jalur jalan
(6) Pengadaan air bersih
(7) Pengadaan jaringan infrastruktur
Disamping rencana-rencana sektor pariwisata tersebut di atas, kebijakan
sektor perhubungan (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001) adalah:
(1) Pembangunan fasilitas pergudangan di Kecamatan Kosambi dan pelabuhan
peti kemas di sekitar muara Kali Perancis;
(2) Membangun dermaga wisata bahari di kawasan wisata Tanjung Pasir.
Sektor perikanan dan kelautan juga mempunyai beberapa rencana di
kawasan pantura tersebut, yakni:
(1) Relokasi kawasan pertambakan dari Kecamatan Kosambi, Teluk Naga,
dan Paku Haji, ke Kecamatan Mauk dan Kronjo;
(2) Membangun TPI dan pelabuhan nelayan di muara Kali Perancis.
100
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai tahun 2004, hanya
sedikit fasilitas pelabuhan dan TPI yang secara permanen dibangun di muara Kali
Perancis. Artinya, TPI Dadap sebenarnya sudah tidak berfungsi lagi, baik
sebagai tempat pelelangan ikan maupun tempat pendaratan ikan. Kadang-kadang
ada para nelayan atau pedagang ikan yang berjualan di TPI Dadap tersebut, yang
menawarkan dagangannya kepada para pengunjung restoran seafood yang
terdapat di sekitar TPI tersebut.
101
Tabel 4.1. Luas dan jumlah desa di Kecamatan Kosambi tahun 2003.
Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa data luas desa relatif tidak seragam
antara tahun 1999 dan 2002. Tidak konsistennya data luasan desa ini
kemungkinan disebabkan oleh tidak akuratnya pengukuran lahan yang dilakukan
dan karena terjadinya erosi dan atau reklamasi pantai.
Sebagai wilayah yang cukup dekat dengan Teluk Naga, yang merupakan
pusat pertumbuhan di bagian utara Kabupaten Tangerang sebagaimana
102
ditentukan dalam rencana struktur tata ruang (Rustiadi et al. 2002), wilayah
Teluk Dadap mempunyai potensi pengembangan yang cukup besar, baik dilihat
dari letak strategisnya di pesisir utara yang berbatasan langsung dengan Wilayah
Kota Jakarta Utara, maupun ketersediaan prasarana dan sarana pembangunan
yang sudah tersedia. Prasarana dan sarana transportasi sangat memadai untuk
mencapai jalan tol arah Jakarta Bandara Sukarno Hatta. Dengan demikian aspek
dukungan terhadap pengembangan ekonomi wilayah sangatlah besar.
Kawasan Kamal Muara terletak berbatasan dengan Desa Dadap yang ada
di sebelah baratnya. Kelurahan Kamal Muara yang mempunyai luas wilayah
sebesar 1.053 ha meliputi 3 Rukun Warga dan 19 Rukun Tetangga. Bentang
alam kawasan Kamal Muara ini relatif sama dengan kawasan Dadap, karena
menghadap ke Teluk Jakarta dan mempunyai kondisi perairan yang sama.
103
terpilihnya Kamal Muara sebagai juara pertama lomba siskamling tingkat Polda
Metro Jaya pada tahun 2005.
Sebagai wilayah paling barat dari DKI Jakarta, Kamal Muara ikut
mengalami dampak pembangunan yang cukup besar. Reklamasi pantai Indah
Kapuk yang sudah keluar acuannya lewat Keppres 52/95 dan sedang berjalan
juga berpengaruh pada masyarakat sekitarnya, khususnya nelayan yang tinggal di
sana. Informasi yang dikumpulkan oleh IMC (2006) menunjukkan bahwa
nelayan tidak sepenuhnya dilibatkan oleh PT Kapuk Naga Indah (KNI).
Meskipun sosialisasi program reklamasi telah dilakukan, tetapi masyarakat
menilai waktu pemberitahuannya sangat singkat. Informasi yang diterima
nelayan menyebutkan bahwa akan dilakukan reklamasi pantai di areal tempat
usaha nelayan. Istilah KNI adalah akan menggusur bagan-bagan ikan, bagan
tempat budi-daya kerang hijau, dan sero-sero yang menjadi mata pencaharian
masyarakat. Implementasi dari sosialisasi tersebut dilakukan oleh Sudintantrib
Jakut yang melakukan pembongkaran 105 unit sarana usaha nelayan tersebut
dengan ganti rugi sebesar 1,5 juta rupiah per unit dan hanya dibayarkan kepada
95 orang nelayan. Alasan yang disodorkan oleh Sudintantrib adalah melanggar
Perda no 11 dan no 6.
104
sumber pokok; layanan perusahaan daerah air minum (PDAM), sumur bor yang
diusahakan penduduk lokal, dan air sungai. Dari segi kualitas, air dari ketiga
sumber ini tidak layak diminum dan hanya dimanfaatkan untuk aktivitas mandi,
cuci, dan kakus (MCK). Apalagi sejak tahun 1980-an, air Sungai Kamal pun tak
lagi layak untuk dipakai untuk MCK, karena limbah kegiatan industri yang
berdekatan dengan pemukiman penduduk memperburuk kualitas air yang
sebelumnya telah tercemar sampah rumah tangga. Kondisi ini mengharuskan
setiap keluarga untuk membeli air kalengan untuk air minum, setiap hari minimal
sepikul air yang terdiri dari dua kaleng seharga Rp 3.000 atau minimal Rp 90.000
setiap bulannya. Saat ini, lebih dari separuh jumlah penduduk Kamal Muara
menggantungkan pasokan air bersih dari penjaja air pikulan untuk memenuhi
kebutuhan air minum. Sisanya, berlangganan layanan air dari PDAM dari
Perusahaan Air Minum (PAM) yang kualitas airnya kerap tak layak konsumsi.
Untuk kebutuhan MCK, pilihan sumber air bersih bisa ditambah sumur-sumur
bor yang diusahakan oleh warga setempat.
105
budidaya air payau (9,12 ha); bangunan Pangkalan Pendaratan Ikan serta fasilitas
penunjangnya (5 ha), yang terdiri dari tempat pelelangan ikan, gedung pasar
grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios, gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh
para pengusaha perikanan, kios pujaseri, tempat pengepakan ikan, , dll; areal
docking kapal (1,35 ha), lahan kosong (6,7 ha), pasar, bank, dan bioskop (1 ha),
serta terminal (2,57 ha) dan lapangan sepak bola (1 ha) (Disnakkanlut 2006).
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa secara fungsional PP/PPI
Muara Angke yang berstatus sebagai pangkalan ikan daerah telah memiliki
fasilitas setara dengan pelabuhan perikanan nusantara. Hal ini tidak hanya
ditinjau dari fasilitas yang tersedia tetapi juga dari jumlah produksi hasil
perikanan dan kelautan yang didaratkan dan dipasarkan.
Pada tahun 1994 penduduk Desa Dadap berjumlah 6.287 jiwa dan terdiri
dari 3.174 laki-laki dan 3.113 perempuan. Adapun jumlah rumah tangganya
adalah 1.174 rumah tangga. Tahun 1999, jumlah penduduk ini meningkat drastis
sampai 14.442 jiwa, yang merupakan jumlah penduduk desa tertinggi di
Kecamatan Kosambi jika dibandingkan dengan desa-desa yang lain (Dinas Tata
Ruang dan Bangunan 2001). Tahun 2003, jumlah penduduk Desa Dadap
bertambah menjadi 19.870 jiwa, dengan komposisi 9.798 laki-laki dan 10.072
perempuan serta 5.411 rumah tangga (Anonimous 2004).
Dengan luas desa sebesar 401,473 ha dan jumlah penduduk 6.287 jiwa,
tahun 1994 Desa Dadap tergolong mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang
cukup tinggi, yaitu 1.568 jiwa/km2, tahun 1999 kepadatannya mencapai 3.597
jiwa/km2, sedangkan tahun 2003 sebesar 1.857 jiwa/km2. Perubahan tingkat
kepadatan penduduk ini disebabkan oleh adanya beberapa kompleks pemukiman
baru dan berkembangnya kompleks pergudangan. Adapun keadaan jumlah
penduduk laki-laki dan perempuannya berimbang dengan nilai seks ratio 1,02
tahun 1994 dan menjadi 0,97 tahun 2003.
106
Jumlah penduduk di Kelurahan Kamal Muara tahun 2003 adalah 5.980
jiwa (April 2007, jumlah penduduk sudah mencapai 6.794 jiwa, dengan
komposisi 3.560 laki-laki dan 3.234 perempuan), dengan kepadatan penduduk
568 jiwa/km2. Jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk rata-rata di
Kecamatan Penjaringan yang mencapai 7.974 jiwa/km2, maka Kelurahan Kamal
Muara merupakan kelurahan dengan kepadatan penduduk terendah. Kelurahan
yang kepadatannya tertinggi adalah Kelurahan Pajagalan dan Kelurahan
Penjaringan, dengan kepadatan penduduk masing-masing mencapai 17.505
jiwa/km2 dan 14.121 jiwa/km2.
Luas Kepadatan
No. Kelurahan Jumlah KK Rasio Sex
(km2) Penduduk
1. Kamal Muara 10,53 5.980 1.574 568 107
2. Kapuk Muara 10,06 14.518 4.315 1.444 108
3. Pejagalan 3,23 56.574 14.807 17.505 103
4. Pluit 7,71 43.597 14.898 5.653 110
5. Penjaringan 3,95 55.839 14.321 14.121 93
Kec. Penjaringan 35,49 176.508 49.915 7.974 102
Sumber: BPS Jakut (2004a); data diolah.
107
Dari Tabel 4.2 tampak bahwa meskipun luas Kelurahan Kamal Muara
paling besar jika dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lainnya di
Kecamatan Penjaringan, tetapi jumlah dan kepadatan penduduknya adalah yang
paling kecil. Hal ini terjadi karena masih banyaknya lahan-lahan yang kosong
terdapat di kelurahan ini, baik berupa tambak maupun lahan pertanian.
Tabel 4.3. Jumlah penduduk, kepala keluarga, rukun warga (RW) dan rukun
tetangga di Penjaringan 2003
Jumlah
No. Kelurahan KK RW RT
Penduduk
1. Kamal Muara 5.980 1.574 3 21
2. Kapuk Muara 14.518 4.315 7 66
3. Pejagalan 56.574 14.807 18 226
4. Pluit 43.597 14.898 18 221
5. Penjaringan 55.839 14.321 17 237
Kec. Penjaringan 176.508 49.915 63 771
108
Tabel 4.4 Jumlah kepala keluarga menurut jenis kegiatan di Kecamatan
Penjaringan tahun 2003
Kamal Kec.
No. Jenis Kegiatan % %
Muara (KK) Penjaringan
1. Pertanian 701 44,54 902 1,81
2. Industri 204 12,96 18.142 36,35
3. Bangunan 95 6,04 6.842 13,71
4. Perdagangan 165 10,48 7.400 14,83
5. Transportasi dan 4.980
Komunikasi 87 5,53 9,98
6. Keuangan dan
Perbankan 0 - 1.422 2,85
7. Pemerintahan 52 3,30 2.886 5,78
8. Jasa 83 5,27 2.400 4,81
9. Lainnya 187 11,88 4.941 9,90
Jumlah 1.574 49.915
Sumber: BPS Jakut (2004a) data diolah.
Kelurahan/Kecamatan
No. Jenis Kegiatan
Kamal Kapuk Peja Penja- Kec. Penja
Pluit
Muara Muara galan ringan ringan
1. Pertanian 701 201 0 0 0 902
2. Industri 204 2.145 6.294 3.338 6.161 18.142
3. Bangunan 95 681 984 2.988 2.094 6.842
4. Perdagangan 165 854 1.959 2.216 2.206 7.400
5. Trans-Kom 87 149 2.253 1.757 734 4.980
6. Keuangan/Perbankan 0 7 394 792 229 1.422
7. Pemerintahan 52 53 1.773 314 694 2.886
8. Jasa 83 162 417 187 1.551 2.400
9. Lainnya 187 63 733 3.306 652 4.941
Jumlah 1.574 4.315 14.807 14.898 14.321 49.915
Sumber: BPS Jakut (2004a)
109
4.2.2 Lingkungan perairan
Kondisi perairan di Pantai Dadap dan Kamal Muara ini dipastikan sama
persis karena mempunyai posisi lintang yang berdekatan dan terletak pada satu
garis pantai yang relatif lurus terhadap Laut Jawa, serta mengalami pengaruh
pasang surut dan gelombang yang sama. Kawasan pesisir Kecamatan Kosambi
(sebagaimana juga kawasan pantura lainnya) mempunyai dasar perairan
berlumpur dan berpasir. Material dasar perairan tersusun dari lumpur, lempung,
lanau dan pasir (PKSPL 2004). Kedalaman laut di pesisir Kecamatan Kosambi
menurut hasil survey Dishidros tahun 1999 sekitar 4 m sampai jarak sekitar 1.750
m, bertambah menjadi 5 m sampai jarak sekitar 2.250 m, kemudian 6 m sampai
jarak sekitar 3.000 m, 7 m sampai jarak sekitar 3.500 m, serta mencapai
kedalaman 10 m sampai jarak sekitar 4.000 m (diolah dari BAPPEDA Tangerang
2002).
Posisi Pantai Dadap dan Kamal Muara yang terletak pada koordinat
sekitar 6o 15 BT, terbuka lebar ke arah timur laut menghadap Teluk Jakarta.
Karena kawasan Pantai Dadap dan Kamal Muara terdapat di Teluk Jakarta yang
berhadapan dengan Laut Jawa, maka dilihat dari keadaan batimetrinya, perairan
di sekitar kawasan tersebut dapat dikatakan dangkal dan landai. Kedalaman
perairan ini mulai dari 0,5 m sampai 10 m hingga jarak sekitar 1,8 km dari darat.
Dari kondisi seperti ini, komponen-komponen oseanografi seperti suhu, salinitas,
kerapatan, maupun arus di lapisan permukaan laut diduga tidak jauh berbeda
dengan yang di lapisan bawahnya (kecuali di daerah muara sungai). Pengukuran
komponen oseanografi dilapangan yang dilakukan bulan Februari 1995 dan
Oktober 2004 oleh PKSPL IPB (2004) mendukung dugaan tersebut.
Proses gerakan massa air suatu perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan
geografis dari wilayah perairannya. Dengan memperhatikan keadaan
geografis kawasan Muara Dadap, kita dapat menduga bahwa pola arus di
perairan ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Pola pasut di perairan
110
ini ditentukan oleh pola pasut dari perairan yang lebih besar yaitu Laut
Jawa. Pasut dari Laut Jawa itu sendiri pun bukan disebabkan oleh gaya
pembangkit pasang astronomis (bulan dan matahari) melainkan oleh
rambatan pasut dari Lautan Pasifik yang memasuki Laut Jawa melalui
Laut Cina Selatan dan Selat Makasar (Pariwono 1985).
Dengan asumsi bahwa kondisi pasut di Muara Dadap dan Kamal Muara
mirip dengan kondisi pasut di Tanjung Priok, maka perubahan yang
terjadi di Tanjung Priok akan dialami pula oleh daerah Muara Dadap.
Hasil pengukuran menunjukan bahwa kisaran pasut di Tanjung Priok
adalah sekitar 1,0 m pada waktu pasang purnama, dan sekitar 0,3 m pada
waktu pasang perbani. Pasang purnama adalah pasang tertinggi (dan
surut terandah) yang dialami oleh suatu perairan, terjadi pada bulan
purnama atau bulan mati. Kebalikan pasang purnama adalah pasang
perbani, dimana kisaran pasutnya paling rendah, yang terjadi pada waktu
bulan sabit (perempat pertama dan perempat ke tiga). Pada kondisi
pasang purnama dan pasang perbani pada saat matahari berada dibelahan
bumi utara (bulan Juni), dan dibelahan bumi selatan (bulan Desember).
Membandingkan kedua pasut pada kedua bulan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kisaran pasut terbesar di Tanjung Priok terjadi pada
saat kedudukan matahari berada dibelahan bumi selatan, yaitu antara
bulan Oktober hingga Februari. Keadaan ini baik berlaku pada waktu
pasang purnama maupun ketika pasang perbani. Pengaruh utama yang
111
ditimbulkannya pada kecepatan arus di Perairan Teluk Jakarta. Arus
pasut di perairan ini akan relatif lebih deras ketika matahari berada pada
belahan bumi selatan dibanding ketika berada dibelahan bumi utara.
Dari data pasut tersebut dapat diprakirakan kisaran perubahan tinggi muka
laut (sea level) dari perairan di kawasan Dadap. Besarnya perubahan
tinggi muka laut di perairan yang dimaksud disajikan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Kisaran tinggi muka laut di Pantai Dadap berdasarkan data
pasut Tanjung Priok.
Hasil prakiraan sebagaimana tertera pada Tabel 4.6 hanya didasarkan atas
5 komponen pasut, yaitu M2, S2, K1, O1, dan P1, yang terdapat pada
DISHIDROS-AL (1995). Dari Tabel 4.6 tersebut dapat diketahui kisaran
tinggi muka laut maksimum yang disebabkan oleh pasut mencapai 1,12
m, dan kisaran pasut reratanya mencapai 0,96 m.
112
Februari). Sebaliknya, dalam periode musim Timur (Juni-Agustus) arus
musim mengalir secara dominan kearah barat. Kecepatan arus Musim
berkisar antara 20 sampai 40 cm/detik (PKSPL IPB 2004). Pasang surut
yang terjadi ini berasal dari Samudera Hindia yang merambat masuk
melalui perairan Selat Sunda. Sehingga secara umum arus yang
ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak kearah utara dalam
kondisi pasang, dan sebaliknya kearah selatan dalam kondisi surut.
Pengaruh kedalaman perairan lokal dan morfologi pantai dapat
memodifikasi arus tersebut.
(2) Sedimentasi
Untuk perairan Pantai Dadap dan Kamal Muara, sedimen dapat berasal
dari berbagai sumber, yaitu dari Kali Perancis (secara umum disebut juga
Sungai/Kali Dadap) dan Kali Kamal yang membawa partikel-partikel
sedimen dari hulu sungai, dari daratan yang terbawa oleh limpasan air
masuk ke dalam sungai, dan dari perairan pantai disekitar Dadap dan
Kamal Muara. Karena letak kawasan Dadap dan Kamal Muara berada di
pantai dan dekat muara sungai, maka sumber sedimen diduga berasal dari
laut dan dari sungai, yang mengalirkan hasil erosi di daratan.
113
dengan fluktuasi muka air yang beragam. Artinya, tinggi rendahnya
muka air Kali Kamal ditentukan oleh curah hujan yang terjadi di kawasan
DAS-nya. Jika Kali Perancis hanya merupakan tempat mengalirnya air
hujan yang tertampung oleh kawasan Bandara Sukarno-Hatta, maka
kawasan DAS Kali Kamal jauh lebih luas lagi, sehingga konsentrasi
sedimen yang terbawa sepanjang musim hujan menjadi lebih besar.
Namun demikian, data besarnya tingkat sedimentasi yang terjadi di
kawasan Kamal Muara ini belum ada.
114
dan 0,013 mg/l; kadmium 0,006 dan 0,005 mg/l; tembaga 0,044 dan 0,035; serta
krom total < 0,01 dan 0,001 mg/l (PKSPL IPB 2004).
Tabel 4.7. Nilai parameter kualitas air di perairan Kronjo dan Tanjung
Pasir.
NO PARAMETER SATUAN Lokasi sampling Maksimum
Kronjo T. Pasir BM **)
I.F I S I K A :
o
1 Suhu *) C 29 29 -
2 Kecerahan *) meter 2,5 1,2
3 Kekeruhan NTU 2,5 7,6 -
4 TSS mg/l 5 11 < 80
II.K I M I A :
O
1 Salinitas *) /oo 31,5 31,5 < 0,03
2 pH *) - 7,0 7,0
3 Oksigen Terlarut *) mg/l 11,5 14,5
4 COD mg/l 48,90 65,20 < 80
5 BOD5 mg/l 9,1 13,5
6 Amonia (NH3+NH4) mg/l 1,336 1,336 <1
7 Nitrit (NO2 - N) mg/l 0,002 0,002 Nihil
8 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,050 0,078 -
9 Minyak dan Lemak mg/l <0,01 <0,01 0,20
10 Ortho Phosphat mg/l 0,003 0,005 -
11 Raksa (Hg) mg/l <0,001 <0,001 0,002
12 Timah hitam (Pb) mg/l 0,008 0,013 -
13 Kadmium (Cd) mg/l 0,006 0,005 -
14 Tembaga (Cu) mg/l 0,044 0,035 < 1,0
15 Krom Total (Cr) mg/l <0,01 <0,001 -
16 Sulfida (H2S) mg/l <0,01 <0,01 -
17 Fenol mg/l 0,006 0,005 -
BIOLOGI :
1 Klorofil-a g/l 7,178 13,950 -
115
Tanjung Pasir (COD= 65,20 mg/l dan BOD5 > 13,5 mg/l), sedangkan di
Kronjo (COD= 48,90 mg/l dan BOD5 > 9,1 mg/l).
116
B3 (bahan berat berbahaya dan beracun) dalam dua tahun terakhir ini.
Harian Sinar Harapan (Kamis 24 Juni 2004) memuat berita bahwa hal ini
dikonfirmasikan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kabupaten
Tangerang, Deden Sugandhi disela-sela acara mutasi sejumlah pejabat di
lingkungan Pemerintah kabupaten (Pemkab) Tangerang, indikasi
pencemaran limbah B3 di Pantai Dadap tersebut diakibatkan oleh adanya
pengurukan pantai yang dilakukan PT Parung Harapan dan Koperasi Pasir
Putih sebagai pengembang proyek reklamasi pantai Dadap. Hasil
penelitian Setyobudiandi (2004) menunjukkan bahwa kondisi perairan
Teluk Jakarta sudah tercemar logam berat, baik di perairan maupun yang
terkandung pada kerang hijau, sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Kandungan logam berat di perairan Teluk Jakarta dan daging
kerang hijau antara tahun 2000-2001
117
Berdasarkan hasil uji laboratrium dinas Lingkungan Hidup (LH) di
perairan tersebut pada bulan Mei 2004 lalu yang menyebutkan ada empat
zat berbahaya yang mengotori Pantai Dadap. Keempat zat tersebut adalah
amonia bebas (NH3-N), kadmium (Cd), nitrat (NO3-N) dan timbal (Pb).
Dari hasil uji laboratrium nomor 045/lab-DLH/V/2004 tersebut parameter
kualitas air dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Nilai parameter kualitas air di perairan Dadap hasil uji Kantor
MenLH tahun 2004.
NO PARAMETER SATUAN KADAR Maksimum
Minimal maksimal BM **)
Amonia
1 (NH3+NH4) mg/l 1,8 3,5 < 0,3
2 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,4 1,2 0,008
0,023
3 Timah hitam (Pb) mg/l 0,005 0,093* 0,008
0,010
4 Kadmium (Cd) mg/l 0,004 0,054* 0,001
118
sangat tinggi. Hal ini dapat diamati dari berbagai berita di media massa, mulai
dari aktivitas perencanaan pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya,
Pelabuhan Peti Kemas atau Kapal Barang, dan kawasan Wisata Mutiara Dadap.
Dinamika perencanaan yang tinggi ini sangat dipengaruhi oleh munculnya Orde
Otonomi Daerah yang telah terjadi dan melahirkan konsep desentralisasi sistem
pemerintahan.
Berdasarkan perjanjian kerjasama antara BPP Teknologi dan Perum
Angkasa Pura II yang tertuang dalam surat No SWT 07/HK.90/APH-1993 dan
No. 345/DB- PKA/BPPT/XII/93, BBP Teknologi telah menyewa sebidang tanah
seluas 6,5 hektar di pantai Muara Dadap, Desa Dadap, Kecamatan Kosambi
Kabupaten Tangerang. Tanah tersebut diperuntukkan sebagai Dermaga Sandar
Kapal Riset BPPT Baruna Jaya, yang awalnya berupa tanah kosong dan tidak
berpenduduk. Menurut berita Media Indonesia, sejak tahun anggaran 1994/95,
BPPT sudah mengaspal dan mengembangkan site plan dan pemagaran di lokasi
tanah kosong tadi. Atas dasar itu, BPPT meminta agar pihak yang
berkepentingan di kawasan itu mengetahui bahwa pembangunan dermaga sandar
Armada Kapal Riset BPPT Baruna Jaya akan dilaksanakan pada tanah kosong
yang sudah dipagar sejak 1994 (IN/EKON: MI - N-250 Kejar Sertifikasi,
apakabar@clark.net, Rabu 29 Mei 1996 - 17:15:00).
Tahun 1996, BPPT menjadi Panitia Indonesia Air Show (IAS) yang
sempat menimbulkan issu akan menggusur tanah rakyat di Desa Gili-Dadap,
Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari 800 KK nelayan
(Republika Online 1996). Issu ini ternyata tidak benar karena pelaksanaan
pergelaran dirgantara IAS 96 itu terletak di lokasi pelabuhan udara Soekarno-
Hatta pada kuadran II (sebelah terminal II-internasional).
119
Dari berbagai berita di media massa dapat disimak bahwa proses
reklamasi yang sedang dilakukan ternyata menuai berbagai protes dari beberapa
kelompok masyarakat dan LSM {antara lain Banten Environmental Watch
(BEW), dan (PIELS)}, yang akhirnya direspon oleh anggota DPR dan DPRD
setempat. Polemik terus berlanjut dan menyangkut Pemda DKI Jakarta yang
tampaknya juga mempunyai kepentingan dengan kegiatan pembangunan. Salah
satu berita yang dimuat berbunyi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang
tidak akan pernah dapat melakukan penutupan lokasi reklamasi Pantai Dadap,
Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, yang kini dilakukan. Pasalnya, lembaga ini
diduga telah menerima retribusi pengurukan pantai yang jumlahnya mencapai
ratusan juta rupiah. Menurut sumber di Tangerang, dugaaan telah dibayarkan
retribusi pengurukan pantai oleh para pengembang reklamasi Pantai Dadap
tersebut tertuang jelas dengan adanya Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi dengan
nomor 655.2/330-DTRB/IX/2001 tertanggal 26 September 2001 yang
ditandatangani oleh Bupati Tangerang yang kala itu masih dijabat oleh Agus
Djunara. Dengan keluarnya fatwa Bupati tersebut secara otomatis si pengembang
berani untuk melakukan reklamasi Pantai Dadap karena sudah ada lampu hijau.
Apalagi pada saat yang bersamaan Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga
mengeluarkan surat penetapan retribusi fatwa rencana pengarahan lokasi
bernomor 974/330-DTRB/IX/2001 yang ditandatangani Kepala Dinas Tata
Ruang dan Bangunan, Nanang Komara yang kini menjabat Sekretaris Daerah
Kabupaten Tangerang (Sinar Harapan 2004b).
Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan
Pemda Tangerang Didin Samsudin menyatakan, kawasan pantai yang akan
direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR). Dalam perubahan tata ruang tersebut pemerintah berencana
menjadikan pesisir pantai utara sebagai kawasan wisata terpadu (SUARA
PEMBARUAN DAILY 2004b). Perubahan RUTR tersebut tertuang dalam
Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, yang
merupakan implementasi Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang
Perubahan Tata Ruang Nasional. Berdasarkan peraturan itu, sekitar 20 km dari
120
50 km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi
hingga pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas
pantai yang akan direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu sepanjang 10
km garis pantai dari laut dan satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektare.
121
Dalam rangka mewujudkan pembangunan Kota Air Kamal Muara, Pemda
DKI melakukan reklamasi pantai di daerah Kamal Muara. Aktivitas reklamasi
yang telah dilakukan pengembang di wilayah DKI Jakarta akan menciptakan
sebuah daerah baru seluas 2.700 hektar. Secara legal, Keputusan Presiden No 52
Tahun 1995 menetapkan, kawasan Pantai Utara Jakarta itu akan direklamasi.
Reklamasi meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai
utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut, sampai garis yang menghubungkan
titik-titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter. Itu artinya,
garis pantai akan maju sekitar 1,5 kilometer ke utara. (Kompas Online 1997).
122
Tabel 4.10 Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Wilayah Kota Jakarta Utara
2. Muara Angke UPT Pengelolaan 500 kapal dengan Tempat Pelelangan dan Kantor: 1.420 m2 Kelurahan
Kawasan Pelabuhan ukuran 10 s/d 80 GT Kolam pelabuhan: 63.993 m2 Pluit
Perikanan dan Dermaga beton 176 m2 Kecamatan
Pangkalan Pendaratan Tanggul pemecah gelombang: 2.250 m2 Penjaringan
Ikan Tempat pengepakan ikan: 33 unit
Tempat pengecer Ikan:341 m2
Kios/gudang/kantor: 40 unit
Gudang alat-alat perikanan: 5 unit
Pos penjagaan: 1 unit
Kios ikan bakar: 24 unit
Gedung workshop: 1 unit
Waserda TA: 1 unit
123
Lanjutan Tabel 4.10
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
3. Kamal Muara Walikota Jakarta Utara 10 s/d 15 motor Kantor pelelangan ikan:75 m2 Kelurahan
tempel (ukuran: Gedung pelelangan ikan (TPI): 200 m2 Kamal Muara
dibawah 10 GT) (jumlah lapak 40 unit diisi oleh 40 Kecamatan
pedagang) Penjaringan
Gedung pengecer ikan: 75 m2
Dermaga kayu sepanjang 50 m2
Kolam pelabuhan: 30 m2
4. Kali Baru Walikota Jakarta Utara 10 s/d 15 motor Luas lahan: 2.084 m2 Kelurahan
tempel (ukuran: Kantor: 40 m2 Kali Baru
dibawah 10 GT) Gedung Pelelangan: 200 m2 (jumlah Kecamatan
lapak 82 unit diisi oleh 31 pedagang) Cilincing
Tempat Penjualan Ikan: 1.400 m2
Dermaga: 35 m2
5. Cilincing Walikota Jakarta Utara 10 s/d 15 motor Luas lahan: 1.100 m2 Kelurahan
tempel (ukuran: Gedung Pelelangan+kantor: 500 m2 Cilincing
dibawah 10 GT) Dermaga: 200 m2 Kecamatan
Cilincing
Sumber: SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 4.022/1999
Keterangan: penyelenggara Pelelangan Ikan di:
TPI Muara Baru : Koperasi Mina Baruna dan Koperasi Muara Makmur
TPI Muara Angke : Koperasi Mina Jaya
TPI Kamal Muara : Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara
TPI Kali Baru : Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara
TPI Cilincing : Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara
124
Dari Tabel 4.10 tampak bahwa terdapat tiga TPI di Kecamatan
Penjaringan (masing-masing satu TPI di Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan
Pluit, dan Kelurahan Penjaringan) dan dua lainnya di Kecamatan Cilincing. Jika
diukur lewat laut, jarak antara TPI Kamal Muara dengan TPI Muara Angke
sekitar 6 km (lewat darat jaraknya dua kali lipat sekitar 12 km), TPI Muara
Angke ke TPI Muara Baru sekitar 3,6 km, TPI Muara Baru ke TPI Kali Baru
sekitar 13 km, dan TPI Kali Baru ke TPI Cilincing sekitar 2,4 km
Jarak antara TPI Dadap dengan TPI Kamal Muara sekitar 700 m jika
ditempuh lewat laut dan sekitar 4 km jika ditempuh lewat darat. Jarak yang
begitu dekat jika dilihat dari laut telah menyebabkan kurang efisiennya
penggunaan TPI tersebut dan terjadinya pemborosan fasilitas (prasarana dan
sarana pelabuhan)..
Pada saat ini, meskipun telah dilakukan klasifikasi kapasitas tambat labuh
dari setiap TPI yang ada di kawasan Jakarta Utara, tetapi tetap saja telah terjadi
antrian yang cukup signifikan. Di PPSJ Muara Baru, pada saat musim ikan,
antrian bongkar muat palka ikan dapat mencapai 10 jam, sedangkan di PPI Muara
Angke lama waktu antrian mencapai 7 jam. Kasus terjadinya antrian ini antara
lain disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
(1) jumlah kapal ikan yang berlabuh melebihi kapasitas tambat, sehingga
beberapa kapal harus menunggu di luar kolam pelabuhan;
(2) proses bongkar hasil tangkapan yang memerlukan waktu lebih lama untuk
kapal ikan yang membawa hasil tangkapan lebih banyak (tidak ada
keseragaman);
(3) proses muat perbekalan juga memerlukan waktu yang berbeda-beda
sesuai dengan ukuran kapal dan lama waktu penangkapan ikan di laut;
(4) kecepatan proses lelang sangat tergantung pada kelancaran proses
bongkar muat, keberadaan para pembeli, dan kondisi pasar ikan
(konsumen).
125
kapal yang berlabuh tidak hanya yang ber-KTP Jakarta tetapi juga dari daerah-
daerah lainnya. Kebijakan menerima kapal dari luar daerah ini secara ekonomi
memang dapat menambah nilai retribusi dan meningkatkan volume aktivitas
ekonomi di sekitar TPI tersebut, tetapi jika berlebihan akan juga menjadi tidak
efisien karena waktu (dan otomatis kesempatan untuk berusaha) menjadi hilang.
Limpahan antrian kapal ikan yang berlabuh di TPI Muara Angke dan TPI
Muara Baru tersebut tidak secara otomatis dapat ditampung oleh TPI-TPI
disebelahnya (baik di barat maupun di timurnya). Hal ini disebabkan oleh
fasilitas yang tersedia belum memadai. Dengan demikian, untuk menyelesaikan
masalah tersebut antara lain adalah:
(1) membangun dan atau melengkapi fasilitas bongkar muat untuk kapal ikan
dan sarana transportasi darat yang terlibat dalam sistem TPI tersebut;
(2) membangun dan atau meningkatkan kapasitas dan kualitas prasarana dari
TPI ke lokasi pasar, baik untuk pemasaran ikan maupun untuk pembelian
perbekalan lainnya;
(3) melakukan pengelolaan terpadu diantara penaggungjawab operasional
TPI-TPI tersebut sehingga setiap akan timbul masalah di setiap TPI
tersebut dapat langsung diantisipasi sebelumnya;
(4) menerapkan penegakkan hukum secara tegas, adil, dan transparan.
126
Asal ikan laut segar yang didatangkan ke Jakarta berasal dari daerah
perikanan (fishing ground) di sekitarnya. Menurut Disnakkanlut (2005), daerah
perikanan tersebut adalah perairan-perairan Bangka Belitung, Sumatera, Selat
Karimata, Laut Jawa, Kalimantan Barat, Kepulauan Natuna, Teluk Jakarta dan
Karawang, serta Karimun Jawa.
Data jumlah kapal ikan di Kota Jakarta Utara dari tahun 1992 sampai
2001 dicantumkan dalam Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Data jumlah kapal ikan di Kota Jakarta Utara tahun 1992-2003
Jenis/tahun 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02*) 03*)
Perahu layar 230 230 354 350 219 195 309 1210 852 450 142 111
- Kecil 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
- Sedang 174 167 231 221 90 90 143 560 394 208
- Besar 56 63 123 129 129 105 166 650 458 242
Motor
998 879 989 1.640 1.650 1.215 659 1.325 791 791 526 567
Tempel
Kapal Motor 1.338 1.542 1.686 1.730 1.745 2.121 2.108 1.639 2.095 2.724 2.123 2.246
-0-5 GT 263 238 278 278 277 833 839 246 466 523 85 97
- 5-10 GT 210 226 223 203 203 375 366 413 585 602 510 538
- 10-20 GT 181 122 284 317 315 189 182 400 544 544 501 538
- 20-30 GT 125 231 124 131 139 201 170 292 253 363 344 376
- >50 GT 490 655 707 731 741 453 477 249 214 647 683 697
Total kapal 2.566 2.651 3.029 3.720 3.614 3.531 3.076 4.174 3.738 3.965 5.357 2.924
Sumber: Disnakkanlut (2002) dan *) Disnakkanlut (2004)
Dari Tabel 4.12 tampak bahwa perubahan jumlah kapal tampak nyata dari
tahun 1998-1999, terjadi kenaikan mencolok untuk jenis perahu layar (hampir
400 %) sedangkan untuk kapal dengan motor tempel mencapai 200 %. Untuk
jenis kapal motor, kondisi sebaliknya terjadi dimana pada periode yang sama
telah terjadi penurunan jumlah dari 2.108 menjadi 2.639 unit. Kemungkinan
perubahan ini dipicu oleh terjadinya perubahan nilai mata uang rupiah terhadap
nilai US$ yang menyebabkan terjadinya gejolak ekonomi dan sosial.
127
Sumberdaya ikan yang dihasilkan oleh Kota Jakarta Utara tidak hanya
berasal dari kegiatan penangkapan ikan di laut, tetapi juga berasal dari aktivitas
budidaya (baik budidaya ikan maupun jenis kerang-kerangan). Data potensi
budidaya perikanan darat dan potensi budidaya kerang hijau di wilayah Jakarta
Utara dicantumkan dalam Tabel 4.13 dan Tabel 4.14.
Dari Tabel 4.13 tampak bahwa perikanan budidaya air tawar di wilayah
Jakarta Utara didominasi oleh tambak di Kecamatan Penjaringan dan Cilincing
serta perikanan di perairan umum yaitu di danau dan situ; kolam hanya seluas 2,7
ha. Jumlah petani ikan sebanyak 168 orang petani tambak dan 65 orang petani
ikan di danau. Jumlah petani ikan ini meningkat hampir mencapai 400 %. Luas
lahan budidaya bertambah dari 193 ha tahun 2002 menjadi 250,7 ha, dengan
tingkat produksi total 170,78 ton.
128
Tabel 4.13. Potensi budidaya perikanan darat di Jakarta Utara tahun 2003.
No. Kecamatan Potensi Budidaya Danau Ikan Konsumsi Ikan Hias
Luas Petani Produksi Kolam Petani Produksi Petani Produksi Bak/AQ
(ha) (orang) (kg) (m2) (orang) (kg) (orang) (ekor) (unit)
1. Penjaringan 27.000 11 6.000 7 15.000 60
Tambak 75 40 11.000
Situ Teluk Gong 2 - -
Situ Penjaringan 25 - -
Situ PIK 7 - -
Situ Mega Mall Pluit 1 - -
2. Cilincing 4.000 61 3.700 1 4.000 150
Tambak 81,7 128 140.380
3. Tanjung Priok 2.000 63 8.300 30 42.000 128
D. Papanggo 25 60 5.000
D. Sunter Podomoro 30 5 -
4. Kelapa Gading 1.500 49 2.500 9 22.000 60
D. Kodamar 2 - -
5. Pademangan 5.500 13 2.300 2 4.000 28
Situ Pademangan 1 13 14.400
6. Koja 3.000 25 3.000 4 2.025 13
Situ Rawa Badak 1 - -
Jumlah 250,7 246 170.780 43.000 222 25.800 53 89.025 439
2002 193 62 - 40.413 136 19.810 84 632.615 303
2001 193 62 - 40.413 136 18.611 84 626.050 302
Sumber: BPS (2004)
129
Tabel 4.14. Potensi budidaya kerang hijau di Jakarta Utara tahun 2003
No. Lokasi budidaya Bagan tancap Jumlah petani Penyerapan Produksi (ton)
tenaga kerja
Rakit Luas (m2)
1. Kelurahan Kamal Muara 530 102.817 404 678 74.160
2. Kelurahan Cilincing 241 4.452 210 1.213 51.500
Jumlah 771 107.269 614 1.891 125.660
2002 735 102.161 603 1.855 122.000
2001 735 102.161 603 1.855 122.000
Sumber: BPS (2004)
130
Untuk mencukupi kebutuhan ikan konsumsi tersebut, Pemerintah DKI
Jakarta, khususnya Pemkot Jakarta Utara telah menetapkan berbagai kebijakan
pembangunan perikanan, sebagaimana tercantum dalam Perda 3 Tahun 2001,
tugas pokok Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta
adalah menyelenggarakan penyusunan, perencanaan, perumusan kebijakan,
pelaksanaan dan pengendalian di bidang peternakan, perikanan dan kelautan.
Adapun visinya adalah mewujudkan masyarakat sejahtera melalui pengelolaan
sumberdaya peternakan, perikanan dan kelautan yang berwawasan lingkungan
secara berkelanjutan; sehingga misi yang diembannya meliputi:
(1) Mencukupi kebutuhan pangan hewani bagi warga DKI Jakarta;
(2) Melindungi masyarakat dari bahaya penyakit yang
ditimbulkan/bersumber dari hewan/ternak,
(3) Meningkatkan derajat warga ibukota melalui peningkatan kesehatan;
(4) Memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
(5) Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang produktif;
(6) Mengembangkan kelembagaan dan peraturan perundangan;
(7) Pengendalian/pengawasan eksploitasi dan eksplorasi serta penataan
pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan;
(8) Konservasi, rehabilitasi, pelestarian dan perlindungan sumberdaya
perikanan dan kelautan.
131
(3) Mendorong penganekaragaman pengolahan hasil peternakan, perikanan
dan kelautan yang laku di pasar modern (supermarket) dan ekspor;
132
Sementara itu, jumlah ikan luar daerah yang didaratkan di TPI Muara
Angke paling banyak terjadi tahun 2003 sebesar 4.047 ton.
Tabel 4.15.Data produksi ikan lokal dan ikan luar daerah dari masing-
masing PPI yang ada di Provinsi DKI Jakarta,
tahun 2001-2004
No. JENIS PRODUKSI JUMLAH PRODUKSI (kg)/TAHUN
2001 2002 2003 2004
I Tempat Pelelangan Ikan
A Ikan lokal TPI Muara 7.724.796 8.472.920 8.162.744 8.109.187
Angke
B Ikan tuna TPI Muara Baru 4.857.485 3.183.343 2.702.357 2.666.077
C Ikan tradisional TPI Muara 5.422.511 5.456.493 5.786.243 5.245.488
Baru
Untuk TPI Muara Baru terdapat data yang paling menarik, yaitu terjadi
penurunan jumlah ikan tuna dari tahun ke tahun, yakni 4.857 ton, 3.183
ton, 2.702 ton, dan 2.666 ton dari tahun 2001 sampai 2004. Sementara
itu, data ikan lain (ikan tradisional selain tuna) menunjukkan jumlah yang
relatif stabil pada 5000-an ton. Data lain yang juga menarik dari TPI
Muara Baru adalah menurunnya jumlah ikan luar daerah yang didaratkan
di sini, yaitu dari jumlah fantastis mencapai 25.828 ton tahun 2001, turun
menjadi 18.866 ton setahun kemudian, lalu turun drastis pada angka 2.322
ton dan 2.133 ton tahun 2003 dan 2004. Jika disandingkan dengan angka
data ekspor produk perikanan yang sangat melonjak dari tahun 2003
sebesar 16.967 ton menjadi 29.007 ton tahun 2004, maka terjadinya
133
penurunan jumlah ikan daerah yang datang ke TPI Muara Baru tersebut
kemungkinan disebabkan oleh dilakukannya penanganan sebelum ekspor
di daerah-daerah sehingga produk tersebut hanya tercatat sebagai barang
ekspor di PPS Muara Baru.
134
Dari Tabel 4.16 tampak bahwa nilai retribusi yang diperoleh TPI Muara
Angke adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan yang diperoleh
dari TPI lainnya, dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001,
nilai retribusi ini mencapai 1,2 milyar rupiah lebih (sekitar 76,74 % dari
total retribusi perikanan), dan secara lambat meningkat menjadi 1,66
milyar rupiah tahun 2004 (sekitar 65,15 %). Turunnya persentase nilai
retribusi tersebut tahun 2004 karena terjadinya peningkatan nilai retribusi
ikan ekspor dari TPI Muara Baru.
Tabel 4.17 dan Tabel 4.18 menunjukkan bahwa antara tahun 2002-2004
terjadi sedikit perubahan jumlah kapal yang berlabuh di TPI Muara
Angke, yaitu dari 4.859, 4.842, dan 4.934. Sebagian besar dari kapal
yang mendarat berukuran kurang dari 30 GT dan jenis kapal angkut (ojek)
yang melayani transportasi dari Jakarta ke Kepulauan Seribu. Kelompok
kapal penangkap ikan yang paling banyak ternyata adalah kapal dengan
alat tangkap purse seine dan gill net.
135
Tabel 4.17. Rekapitulasi data frekwensi tambat labuh kapal yang masuk di PPI Muara Angke Jakarta Utara tahun 2002-2004
TAHUN JML GT ALAT TANGKAP PENGGUNAAN SPI YG SPI
KAPAL ES BALOK MATI LD
< 30 >30 AK BA BB GN JC FN JT LP MA PS PC
2002 4.859 3.830 1.029 1.597 350 - 722 107 255 122 101 - 683 - 934.380 610 175 234
2003 4.842 4.069 773 1.761 622 614 516 288 16 196 91 - 831 - 836.612 579 175 -
2004 4.934 3.884 1.027 1.407 803 560 485 553 3 103 23 5 982 6 847.293 109 34 8
Sumber: Disnakkanlut (2005)
Catatan:AK = kapal angkutan; BA = bouke ami (liftnet cumi); BB = bubu; GN = gill net; JC = jaring cantrang; FN = fish net; JT = jaring tangsi;
LP = lampara; MA = muro ami; PS = purse seine; PC = pancing.
Tabel 4.18. Rekapitulasi data tambat labuh kapal yang masuk di Pelabuhan Perikanan Muara Angke tahun 2005
no BULAN JML GT ALAT TANGKAP PENGGUNAAN SPI YG SPI
KAPAL ES BALOK MATI LD
<30 >30 AK BA BB FN GN JC JM JT JN PG LP LB PC PS MA <30 >30
1 Januari 344 282 62 110 31 36 - 28 32 21 4 - 1 4 1 1 75 - 60.600 24 8 -
2 Pebruari 390 337 53 125 32 38 - 35 34 18 3 - - 6 - - 98 1 65.700 24 8 -
3 Maret 454 372 82 132 68 39 - 30 28 39 4 2 - 9 - 1 101 1 80.550 37 16 1
4 April 442 379 63 134 72 33 - 35 29 41 9 3 - 8 - 1 76 1 81.700 49 11 41
5 Mei 496 101 395 171 83 41 - 38 29 47 3 - - 15 2 - 65 2 91.700 46 23 21
6 Juni 476 369 107 148 88 40 - 43 18 62 3 - - 8 - - 65 1 89.050 49 32 25
7 Juli 491 388 103 142 88 38 - 34 24 49 6 - 12 9 - 1 83 5 89.750 30 62 17
8 Agustus 468 350 118 115 100 31 1 41 30 51 2 - - - 2 - 94 1 89.400 28 18 28
9 September 468 366 102 112 108 45 - 30 29 53 2 - - 1 2 2 84 - 92.645 29 15 39
10 Oktober 480 389 91 103 98 36 - 44 31 75 3 - - 1 1 - 88 - 20.450 52 26 -
Jumlah 4.509 3.333 1.176 1.292 768 377 1 358 284 456 39 5 13 61 8 6 829 12 761.545 368 216 174
Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005)
Catatan:AK = kapal angkutan; BA = bouke ami (lift net cumi); BB = bubu; FN = fish net; GN = gill net; JC = jaring cantrang; JM = jaring cumi;
JT = jaring tangsi; JN = jaring nilon; PG = payang; LP = lampara;LB = lion bung (gillnet cucut) ; PC = pancing; PS = purse seine; MA = muro
ami
136
Penggunaan es balok untuk kegiatan perikanan mengalami peningkatan
antara bulan Januari sampai September, dari 60 ribu balok menjadi 90
ribu lebih. Tetapi pada bulan Oktober mengalami penurunan drastis
sampai pada jumlah 20.450 balok saja. Terjadinya hal ini dipastikan
karena kenaikan bahan bakar minyak, sehingga biaya operasional
penangkapan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hasil tangkap
yang diperoleh. Perubahan besarnya biaya operasional kapal penangkap
ikan sebelum dan setelah kenaikan harga BBM dicantumkan dalam Tabel
4.19 dan Tabel 4.20. Sebagai akibat dari kenaikan harga BBM tersebut,
maka sekitar 50,6 % dari kapal ikan yang berlabuh di Muara Angke tidak
dapat beroperasi, karena besarnya biaya operasional sudah melebihi
perkiraan hasil tangkapan.
Besarnya overload dari TPI Muara Angke ini disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
137
Tabel 4.19. Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 1.600
menjadi Rp 2.150.
138
Tabel 4.20. Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 2.150
menjadi Rp 4.300
139
Tidak seimbangnya antara kapasitas tampung kolam pelabuhan dengan
jumlah kapal yang berlabuh, telah menimbulkan berbagai permasalahan,
antara lain:
Rendahnya biaya tambat kapal sesuai dengan Perda No. 3/1999 juga
menjadi penyebab kapal nelayan tersebut untuk tetap berlabuh. Hal ini
akan mengakibatkan terjadinya penumpukkan kapal di kolam pelabuhan,
dan menghalangi kapal yang akan melakukan bongkar muat.
140
Tabel 4.21. Ketersediaan dan kebutuhan sarana dan prasarana penanganan dan pengolahan hasil perikanan
KETERSEDIAAN KEBUTUHAN
PRASARANA JUMLAH KAPASITAS PRODUKSI PRASARANA JUMLAH KAPASITAS
TERPASANG (unit)
A Pabrik es 1 unit 6.000 balok 3.000 A Pabrik es 1 7.000-8.000
balok/hari balok
Pasokan es kop putri salju 2.500-3.000
balok/hari
Pasokan es kop KPNDP 1.200-2.000
balok/hari
B Cool room/chill room 1 unit 150 ton 150 ton B Cool room/chill room 5 750 ton
C Cold storage 1 unit 1.000 ton 400 ton C Cold storage 1 1.000 ton
D Cool box 1.000 unit 100 ton 100 ton D Cool box 2.000 200 ton
3 3 3
E Air bersih 2.122 2.122 m /bln 2.122 m /bln E Air bersih 3.395 m /bln 5.000 m3/bln
m3/bln
F Sentra pengolahan 1 lokasi 208 unit 30-40 ton F Sentra pengolahan 250 unit 50 ton
tradisional (UKM) tradisional (UKM)
G Sarana/peralatan 7 unit 5 ton 3,5 ton/hari G Sarana/peralatan 7 unit 5 ton
pengolahan pengolahan
H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari 10,5 ton/hari H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari
I Kontainer 12 unit 288 ton 250 ton I Kontainer 18 unit 432 ton
Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005).
141
Dari Tabel 4.21 tampak bahwa kekurangan pasokan fasilitas terdiri dari air
bersih, es, ruang pendingin, cold storage, cool box, sentra pengolahan
tradisional, gudang garam, dan kontainer. Beberapa dari fasilitas yang
kurang tersebut dapat dengan mudah dipenuhi (seperti cool box, kontainer,
dll) dengan cara membelinya. Namun demikian, jika dikaitkan dengan
penempatannya maka hal ini menjadi tidak mudah, karena adanya faktor-
faktor pembatas di bagian hulunya, seperti ketersediaan lahan dan
keterbatasan sarana penunjang (antara lain air, listrik, bahan bakar, dll).
Pemenuhan kekurangan fasilitas tersebut pada gilirannya akan
menimbulkan masalah ekonomi dan sosial yang cukup rumit.
Muara Kali Kamal, saat ini berfungsi sebagai tempat pendaratan ikan
(TPI). Meskipun sudah dilakukan pembenahan, namun kesan
semrawutnya penataan bangunan dan aktivitasnya masih terasa. Pemda
DKI melalui BPR Pantura dan PT Pembangunan Pantura sudah
melaksanakan studi untuk penyusunan Master Plan Penataan DAS Kali
Kamal-Kamal Muara. Tujuan studi tersebut adalah untuk mengkonkritkan
pembangunan DAS Kali Kamal sebagai salah satu jalan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan dan juga meningkatkan
produktivitas nelayan melalui pengembangan usaha, sarana dan prasarana
TPI, sarana promosi dan pemasaran hasil-hasil perikanan serta
pembangunan perumahan dan fasilitasnya (BPRP 2001). Tujuan yang
142
lainnya dari studi ini adalah: 1) terbangunnya salah satu kawasan nelayan
sebagai asset produksi pengembangan terpadu Jakarta Utara; 2)
tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas dan lingkungan yang
memadai; 3) terbangunnya suatu kawasan komersil yang dapat mendukung
adanya perkampungan/pemukiman nelayan yang lengkap dengan
fasilitasnya; dan 4) penambahan sarana rekreasi sebagai asset wisata
Jakarta.
143
Isu dan permasalahan yang berkembang berkaitan dengan bidang
perikanan di lokasi penelitian hampir merata juga dialami oleh kawasan
lainnya di pantura. Masalah yang teridentifikasi antara lain: produksi hasil
tangkap, harga ikan, kelembagaan, dan penurunan produktivitas usaha
budidaya. Ketersediaan sarana khusus perikanan memang masih belum
lengkap seperti: pabrik es dan Depot BBM, tetapi karena lokasinya sangat
dekat dengan sumber prasarana yang diperlukan tersebut maka masalah ini
dapat cepat diatasi.
(1) Pemasaran
144
(1) Adanya kapal ikan yang parkir untuk mengisi bahan perbekalan
meskipun ikan yang mereka tangkap sebelumnya telah didaratkan
di TPI lain; hal ini agak mengganggu kegiatan bongkar-muat hasil
tangkapan kapal-kapal ikan lainnya;
(3) Banjir hampir setiap saat terjadi pada saat air laut pasang;
145
Litasari (2002) juga menyebutkan bahwa produksi kerang hijau tahun
2000 mencapai 10.000 ton, dan hanya merupakan 50 % dari produksi
tahun 1999. penurunan jumlah produksi ini disebabkan oleh bertambah
rusaknya kualitas perairan pantai sehingga menyebabkan pertumbuhan
kerang lebih lambat, yang tadinya dapat dipanen setelah 6-7 bulan, tetapi
tahun 2002 sudah memerlukan waktu pemeliharaan antara 8-11 bulan.
Produksi per rakit juga menurun dari 15-20 ton menjadi sekitar 10 ton saja.
Hasil samping dari budidaya kerang hijau dan bagan adalah ikut
terpanennya oyster. Meskipun jumlahnya sedikit, tetapi daging oyster ini
berharga sampai Rp 15.000 per kg. Sedangkan hasil samping nelayan
kerang darah adalah kerang kapak-kapak (Pina sp), dengan harga jual Rp.
17.000 per kg.
Jumlah ikan yang berhasil didaratkan di TPI Kamal Muara pada tahun
2002 adalah sebesar 529.550 kg atau senilai Rp. 776.245.000. Jumlah ini
sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan data tahun sebelumnya yang
mencapai nilai Rp 889.910.000, meskipun tetap menunjukkan
kecenderungan terjadinya peningkatan jika dilihat dari produksi tahun
1997.
Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan yang beroperasi dari TPI
Kamal Muara adalah gill net, jaring payang, sero, jaring tembang, dan
pancing. Sedangkan untuk aktivitas budidaya ikan, sarana produksi yang
tersedia berupa tambak (untuk bandeng) serta bambu dan tambang tami
untuk budidaya kerang hijau. Data selengkapnya dari volume dan nilai
produksi ikan lokal di TPI Kamal Muara berdasarkan alat tangkap
dicantumkan dalam Tabel 4.22.
146
Tabel 4.22. Data nilai produksi TPI Kamal Muara dan DKI Jakarta
dari Tahun 1997 2003 (dalam Rp 1.000.000)
Nilai % Nilai % Proporsi
Tahun Produksi TPI Kenaikan/ Produksi Kenaikan/ Nilai
Kamal Muara Penurunan DKI Jakarta Penurunan Produksi
1997 113,840 58.427,363 0,19
1998 129,626 13,87 64.555,867 10,49 0,20
1999 160,600 23,89 123.692,176 91,60 0,13
2000 488,636 204,26 94.188,509 -23,85 0,52
2001 889,910 82,12 70.024,728 -25,65 1,27
2002 776,245 -12,77 ta -
Rata-rata 62,27 - 13,15 0,46
Sumber: BPS (2004a); Disnakanlut (2002); data diolah.
147
Tabel 4.23. Daftar jenis ikan yang didaratkan di TPI Kamal Muara dari tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002)
148
Tabel 4.24. Volume dan nilai produksi ikan lokal di TPI Kamal Muara berdasarkan alat tangkap tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002)
1 Empang 50.460 31.869 50.570 36.782 43.460 53.570 95.180 211.995 355.690 544.695
4 Jaring tembang 34.800 6.964 19.300 3.896 15.950 3.794 6.800 2.040 - -
6 Payang 61.050 18.840 63.800 22.046 58.800 24.938 55.940 92.815 44.250 62.925
Jumlah 257.100 113.840 299.720 129.626 256.080 160.600 285.200 488.639 548.060 889.910
149
Perahu/kapal yang dioperasikan di wilayah perairan Kamal Muara ini
secara umum dapat dikelompokan ke dalam 3 golongan, yaitu : ukuran
besar (> 10 GT) 1.076 buah; ukuran sedang (5 10 GT) sebanyak 21
buah; dan tidak terdapat perahu dengan ukuran kecil (kurang dari 5 GT
tanpa motor atau motor < 10 PK dengan dimensi 7 x 2,80 m2).
150
ikan tradisional berlangsung setiap hari, baik ikan yang di-es
maupun yang tidak;
(3) Warung/restoran ikan: banyak dilakukan oleh penduduk disekitar
pintu masuk perkampungan nelayan Kamal Muara yang langsung
berbatasan dengan Kali Kamal;
(4) Pemuatan perbekalan penangkapan ikan disuplai oleh unit
perbekalan nelayan, yang menyediakan sarana penangkapan ikan
dan kebutuhan hidup sehari-hari.
(5) Kegiatan perbankan, baik pemerintah maupun swasta.
(6) Kegiatan perkoperasian, yang terdiri dari koperasi konsumsi,
koperasi produksi dan koperasi serba usaha.
(7) Kegiatan industri, dari yang berskala besar hingga industri yang
berskala kecil atau rumah tangga.
151
Kelurahan Pluit (3 buah) dan Kelurahan Kapuk Muara dan Pejagalan
masing-masing 1 buah. Data selengkapnya dari potensi ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja di sekitar TPI Kamal Muara dicantumkan dalam
Tabel 4.25.
Tabel 4.25 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per
hari di lingkungan TPI Kamal Muara tahun 2005 sebelum
kenaikan harga BBM.
No JENIS JUMLAH NILAI JUMLAH KET.
KEGIATAN/ BURUH/ SATUAN TRANSAKSI
PELAYANAN UNIT TRANSAKSI HARIAN
HARIAN
1 Transaksi TPI 35 6.750.000
Anak buah peserta 20 35.000 700.000
lelang
2 Bahan bakar 10 ton 16.500.000 1.650/lt
Buruh 10 35.000 350.000
3 Es balok 500 balok 600.000 12.000/blk
4 Kegiatan tambat 15 50.000 Perda No
labuh 3/99
5 Buruh dilingkungan 15 25.000 375.000
TPI
6 Kuli gerobak 10 15.000 150.000
pengasin
7 Kuli gerobak lelang 10 25.000 250.000
8 Buruh Pedagang K5 25 15.000 375.000
produk ikan
9 Buruh 6 unit 12 20.000 240.000
pengepakan
10 Workshop 4 25.000 100.000
11 Buruh Kios alat 2 15.000 30.000
perikanan (2 unit)
12 Buruh pedagang 5 15.000 75.000
otak-otak
13 Buruh depot es 3 20.000 60.000
14 Upah ABK
Gillnet (56) 336 35.000 35.840.000
Purse seine (27) 270 27.000 7.290.000
Jaring rampus (42) 210 30.000 6.300.000
Jaring nilon (35) 105 30.000 3.150.000
Payang (11) 132 35.000 4.620.000
Pancing (28) 84 30.000 2.520.000
Bagan (530) 1.590 20.000 31.800.000
Kerang Hijau 3.000 17.000 51.000.000
(1.000)
Jumlah 168.425.000
Sumber: diolah dari BPS (2004) dan dan data primer
152
Jumlah perusahan industri sebagai salah satu penunjang sarana
perekonomian masyarakat, banyak terdapat di Kamal Muara. Tercatat ada
65 buah industri besar, 100 buah industri sedang, dan 12 buah industri
kecil. Jika dilihat dari persentasenya terhadap Kecamatan Penjaringan,
maka sebarannya mencapai 43,62 % industri besar, 23,53 % industri
sedang dan 12,77 % industri kecil di Kelurahan Kamal Muara.
153
Produksi ikan yang dihasilkan Kabupaten Tangerang tidak hanya berasal
dari laut, tetapi juga beberapa ekosistem lainnya, seperti rawa, situ, dan sungai.
Potensi areal penangkapan ikan di Kabupaten Tangerang dicantumkan dalam
Tabel 4.26.
154
Bab4- 155
2. Kemeri:
- Lontar 21 21 0 338,30 111,50 235,30 111,50 103,00 0,00
- Karanganyar 16 16 0 96,29 78,10 96,29 78,10 0,00 0,00
- Patra Manggala 22 22 0 92,25 57,80 72,25 57,80 20,00 0,00
Subtotal 59 59 0 526,84 247,40 403,84 247,40 123,00 0,00
3. Mauk:
- Mauk Barat 43 40 3 115,72 70,29 85,72 64,29 30,00 6,00
- Ketapang 31 30 1 143,30 100,34 122,30 97,84 21,00 2,50
- Marga Mulya 19 19 0 78,58 18,64 23,30 18,64 55,28 0,00
- Tj. Anom 12 8 4 13,50 12,30 0,00 0,00 13,50 12,30
Subtotal 105 97 8 351,10 201,57 231,32 180,77 119,78 20,80
155
Bab4- 156
4. Sukadiri:
- Karang Serang 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00
Subtotal 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00
5. Pakuhaji:
- Suryabahari 1 1 0,00 18,20 18,20 18,20 18,20 0,00 0,00
- Sukawali 22 22 0,00 119,20 119,20 120,40 119,20 43,20 0,00
- Kramat 34 34 0,00 117,50 117,50 117,50 117,50 0,00 0,00
- Kohod 15 15 0,00 274,60 70,85 256,60 70,85 18,00 0,00
Subtotal 72 72 0,00 573,90 325,75 512,70 325,75 61,20 0,00
6. Teluknaga: :
- Tj Burung 39 39 0 196,15 157,00 196,15 157,00 0,00 0,00
- Tj Pasir 17 17 0 291,41 7,46 195,30 7,46 96,11 0,00
- Lemo 17 17 0 228,50 135,30 228,50 135,30 0,00 0,00
- Muara 25 24 1 259,14 104,50 238,64 103,50 20,50 1,00
Subtotal 98 97 1 975,20 404,26 858,59 403,26 116,61 1,00
7. Kosambi:
- Selembaran Jaya 0 0 0 467,50 0,00 315,00 0,00 152,50 0,00
- Selembaran Jati 30 30 0 120,90 120,00 120,90 120,00 0 0,00
- Kosambi Barat 39 39 0 146,50 142,40 146,50 142,40 0 0,00
- Kosambi Timur 2 2 0 66,99 15,00 66,99 15,00 0 0,00
- Dadap 0 0 0 49,00 0,00 30,00 0,00 19,00 0,00
Subtotal 71 71 0 850,89 277,40 679,39 277,40 171,50 0,00
TOTAL 637 594 43 4.600,53 2.477,38 3.826,04 2.329,08 774,49 148,30
Sumber : TPI Dadap (1996) dan Diskanlut Tangerang (2003)
156
Tabel 4.28. Keragaan tempat pelelangan ikan dan institusi penanggungjawab
operasionalnya.
No. NAMA TEMPAT PENANGGUNGJAWAB
PELELANGAN IKAN
1. PPI Kronjo di Kecamatan Kronjo Dinas Perikanan dan Kelautan
2. TPI Benyawakan di Kecamatan Kemiri Dinas Perikanan dan Kelautan
3. TPI Ketapang di Kecamatan Mauk Dinas Perikanan dan Kelautan
4. TPI Karang Serang di Kecamatan Koperasi Perikanan Laut
Sukadiri Bahari
5. PPI Cituis di Kecamatan Teluknaga KUD Mina Samudera
6. PPI Tanjung Pasir di Kecamatan Teluk KUD Mina Dharma
naga
7. TPI Dadap di Kecamatan Kosambi KUD Mina Bahari
Sumber: Diskanlut Kabupaten Tangerang (2003)
Pada tahun 2000, data produksi ikan hasil tangkap Kabupaten Tangerang
mencapai 16.895 ton. Produksi tahun berikutnya meningkat sedikit menjadi
17.725,70 ton dan turun lagi tahun 2002 pada jumlah 16.834,25 ton dan tahun
2003 mencapai 15.731 ton. Untuk produksi ikan hasil perairan umum, data
menunjukkan jumlah 130, 123, 165,30, dan 142 ton dari tahun 2000 sampai 2003.
Hasil tangkapan dari perairan umum didominasi oleh jenis ikan tawes. Data
perkembangan produksi ikan di Kabupaten Tangerang selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 4.29.
157
Tabel 4.29. Perkembangan produksi ikan hasil tangkap di laut dan perairan
umum di Kabupaten Tangerang.
Pada tahun 2002, data produksi dan nilai jual ikan laut Kabupaten
Tangerang mencapai 16.834,25 ton (Rp 156.977,35 juta), sedangkan untuk
produksi perikanan darat mencapai 7.294,54 ton (Rp 133.226,62 juta) dari
tambak, 2.130,40 ton (Rp 19.626,60 juta) dari kolam, 10,56 ton (Rp 77.400 juta)
dari sawah (minapadi), dan 388,90 ton (Rp 3.676 juta) yang berasal dari perairan
umum dan jaring apung. Produksi ikan tersebut dihasilkan oleh sekitar 1.672
rumah tangga nelayan laut, 921 nelayan di perairan umum, 823 nelayan tambak,
dan 2.325 petani ikan di kolam., serta 9 orang petani ikan jaring apung.
158
Tabel 4.30. Keragaan alat tangkap ikan di Kabupaten Tangerang tahun 2003
Kestabilan harga jual ikan hasil tangkap adalah suatu hal yang diidamkan
oleh para nelayan. Tetapi fluktuasi hasil tangkap dan kualitas ikan yang
diperolehnya menyebabkan terjadinya fluktuasi harga jual. Sering kali para
nelayan bahkan tidak dapat menutupi biaya operasi penangkapan yang berjumlah
antara Rp 200.000 500.000/trip. Bukan suatu hal yang aneh jika terdapat peran
dominan dari juragan yang juga bertindak sebagai penyedia kebutuhan sehari-hari
159
dari nelayan dan keluarganya. Faktor ini pula yang menyebabkan rendahnya nilai
jual dari ikan hasil tangkapan nelayan.
160
43,3 %). Perahu/kapal yang dioperasikan di wilayah perairan Dadap ini secara
umum dapat dikelompokan ke dalam 3 golongan, yaitu : ukuran besar (7 20 GT)
6 buah; ukuran sedang (5 7 GT) sebanyak 227 buah; ukuran kecil, (kurang dari 5
GT tanpa motor atau motor < 10 PK 7 x 2 80 m3) sebanyak 55 buah.
Tabel 4.31. Data umum PPI Dadap Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang
tahun 2003
No. DATA UMUM IDENTITAS
1. Kampung Dadap
2. Desa Dadap
3. Kecamatan Kosambi
4. Jarak ke: Jalan raya 0,40 km
Ibukota kabupaten 20 km
Ibukota provinsi 180 km
5. Lahan: Luas lahan 1.000
Status lahan TN
Kemungkinan pengembangan 2.000
Status lahan pengembangan TN
6. Sungai: Lebar 45 m
panjang 3.000 m
7. Klasifikasi D
8. Pengelolaan PPI Dinas
9. Armada: perahu layar (tanpa motor) 74 unit
motor tempel 1.740 unit
inboard 89 unit
10. Alat tangkap: pancing 88 unit
jaring insang 142 unit
jaring kantong 39 unit
perangkap 20 unit
11. Nelayan: RTP 227 orang
RTBP 1.124 orang
Bakul 71 orang
12. Pengolah: Pindang -
Ikan asin 12 orang
lainnya 4 orang
13. Produksi per tahun 1.128 ton
14. Raman (Rp 000/tahun) 1.692.000
Sumber: Diskan Tangerang (2002) dan Diskanlut Banten (2003)
161
Dari Tabel 4.31 di atas tampak bahwa terdapat perbedaan informasi
diantara berbagai sumber data, meskipun itu berasal dari Dinas Perikanan dan
Kelautan. Contohnya tentang lembaga yang mengelola TPI/PPI Dadap, dimana
dalam Tabel 4.31 disebutkan dikelola oleh Dinas (Perikanan), tetapi kenyataannya
sampai sebelum vakum dikelola oleh KUD Mina Bahari sebagaimana tercantum
dalam Tabel 4.28.
Alat pancing yang banyak dioperasikan adalah pancing rawe dan pancing
ular. Sebagian besar dari nelayan pancing rawe ini merupakan pendatang dari
162
Eretan Indramayu. Dengan jumlah ABK antara 4 8 orang, nelayan pancing
rawe ini melakukan penangkapan ikan di perairan Tanjung Pandang Belitung.
Lama operasi penangkapan berkisar antara 2 4 minggu, yang memerlukan biaya
operasi sekitar 1 juta rupiah. Untuk penanganan ikan hasil tangkap setiap kapal
pancing rawe ini membawa 50 batang es balok. Seperti halnya dengan nelayan
lain, nelayan pancing juga terjerat bakul dalam pelaksanaan operasi penangkapan
dan pemasaran hasil tangkapannya. Penentuan harga jual ikan merupakan hak
bakulnya.
Kerang darah dan kerang menyon (Anadara sp) dipanen nelayan dengan
cara digaruk dan diselami. Menurut seorang pemilik perahu dan juga sebagai
bakul, jumlah armada perahu yang melakukan kegiatan pemanenan kerang ini
dapat mencapai 250 buah pada musim panen (bulan Mei Oktober). Jumlah ini
jauh diatas data resmi yang ada di TPI. Dengan jumlah ABK antara 4 8 orang,
pada musim panen satu perahu dapat menghasilkan 84 karung sehari. Padahal
pada musim paceklik hanya berkisar antara 4 5 karung. Harga jual kerang darah
per ember (kapasitas 10 liter) berkisar antara 3 4 ribu rupiah. Satu karung berisi
antara 5 6 ember (tergantung dari ukuran karungnya). Observasi lapangan
menunjukan bahwa selektivitas ukuran kerang tidak dilakukan oleh nelayan, tetapi
sesuai dengan alat garuk yang digunakannya.
Nelayan kerang hijau rata-rata mempunyai 200 batang bambu (yang dililit
dengan tambang goni atau pita waring) sebagai sarana tempat menempelnya
kerang hijau. Satu batang bambu (yang harganya Rp. 10.000) memerlukan 3 kg
tambang (Rp. 1.000/kg). Setelah bambu yang dililit tambang tersebut ditancapkan
di dasar laut (pada kedalaman 3 7 m), diantara batang-batang bambu tersebut
juga direntangkan tambang, yang berfungsi selain sebagai penguat juga
merupakan tempat menempelnya kerang hijau.
163
setiap kelompok nelayan (terdapat 50 kelompok nelayan yang beranggotakan
antara 3 5 orang) dapat memperoleh 23 karung per hari, sedangkan pada musim
ujung hanya berkisar antara 4 5 karung. Harga jual kerang hijau ditingkat
nelayan hanya Rp 13.000 per ember (volume sekitar 10 liter). Pada saat panen
bambu dicabut untuk dibersihkan dari teritip dan jenis kerang yang menempel
lainnya. Tambang yang melilitnya praktis harus diganti.
Ikan-ikan yang hidup dan tertangkap di sekitar perairan pesisir Dadap dan
sekitarnya (Teluk Jakarta) dapat diketahui antara lain dengan mengindentifikasi
ikan yang tertangkap oleh nelayan dan didaratkan di TPI Mina Bahari Desa
Dadap. Ikan-ikan tersebut meliputi ikan yang bernilai ekonomis penting seperti
kakap (Lates sp), kembung (Rastrelliger sp), tenggiri (Scomberomerus sp), dan
selar (Caranx sp). Pada daerah yang memiliki terumbu karang tertangkap pula
ikan beronang (Siganus sp), ekor kuning (Caesio sp) dan kerapu (Epinephelus sp).
Jenis-jenis ikan yang tertangkap di pantai Dadap secara lengkap disajikan pada
Tabel 4.32.
Tabel 4.32. Daftar jenis ikan yang tertangkap di Pantai Dadap (PPLH, 1997)
164
konsumsi segar). Harga jual ikan asin ini berkisar antara Rp. 1000 15.000 per
kg di Pasar Kamal. Observasi lapangan menujukan bahwa kualitas ikan asin di
desa Dadap jauh lebih bagus dari daerah perikanan lainnya di sekitar utara Pulau
Jawa.
Penyebaran alat tangkap yang bersifat statis ini, mulai dari pantai hingga
kedalaman perairan sekitar 7 meter. Kedalaman tersebut dicapai pada jarak
sekitar 1,5 2,5 km dari pantai. Melihat kepadatan alat tangkap yang demikian
rapat pada lokasi dimana kapal harus berolah gerak sebebas mungkin, maka
pengaturan penempatan alat tangkap yang bersifat tetap ini harus benar-benar
mengacu kepada alur pelayaran agar tidak terjadi benturan kepentingan antara
nelayan dengan kapal-kapal yang keluar masuk pelabuhan terutama pada malam
hari.
165
diakukannya penon-aktifan aktivitas TPI, maka terjadi pengurangan aktivitas
ekonomi yang dicirikan dengan berkurangnya restoran seafood menjadi tinggal 3
buah. Data dampak penutupan TPI terhadap aktivitas ekonomi secara tertulis
belum dapat diperoleh.
Tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di Desa Dadap terletak di tepi
sungai (muara Kali Perancis). Lokasinya yang sekarang merupakan lokasi baru
setelah pindah dari lokasi awalnya yang berada dekat KUD Mina Bahari.
Pindahnya lokasi tersebut disebabkan oleh pembuatan sodetan Kali Dadap yang
baru. Lokasi yang baru cenderung lebih tenang perairannya karena berada di tepi
sungai dan agak ke hulu. Tahun 1997, dilakukan renovasi TPI Dadap, tahun 2004
kondisinya relatif masih dapat dimanfaatkan meskipun diperlukan beberapa
perbaikan. Beberapa kerusakan yang terjadi lebih banyak disebabkan kurang
efektifnya penggunaan TPI tersebut. Lantai tempat ikan dilelang berlantai
keramik putih. Selain itu juga terdapat sebuah kantor dimana kepala TPI dan
manajer TPI berkantor mengelola TPI.
Hasil tangkapan berupa udang dan kerang ditimbang di TPI tetapi tidak
dilakukan oleh petugas TPI, sedangkan kerang (kerang hijau dan kerang darah)
didaratkan di sepanjang Kali Perancis bagian barat langsung disetorkan ke para
juragan.
166
Para bakul mempunyai peran yang amat besar karena mereka membuat
suatu kondisi dimana para nelayan selalu terikat kepada mereka. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa para bakul ini menjamin hidup nelayan dan keluarganya
dengan syarat seluruh hasil tangkapan di setor ke bakul. Bila musim paceklik atau
nelayan tidak membawa hasil tangkapan (empty hauling) maka nelayan boleh
berhutang kepada bakul yang pembayarannya dapat dilakukan kemudian. Uang
jaminan hidup nelayan dan keluarganya pun dihitung sebagai hutang. Demikian
pula bila nelayan ingin melakukan perbaikan atau pembelian alat/kapal baru. Para
bakul umumnya memberikan pinjaman yang merupakan utang dan harus dibayar
secara cicilan. Dengan demikian sepanjang hidupnya para nelayan Dadap ini
terus terkait dengan hutang yang sulit dibayar. Kegiatan lelang biasanya
dilakukan bila ada nelayan pendatang dari daerah lain seperti Tanjung Pasir atau
Kamal. Tetapi itu pun tidak dilakukan oleh petugas TPI melainkan oleh para
bakul. Retribusi yang diberikan tidak tentu jumlahnya.
167
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas perikanan yang dilakukan di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal
Muara sedikit banyak berhubungan dengan kondisi perairan yang tercemar
tersebut. Untuk aktivitas pencucian perahu, alat tangkap, tempat pelelangan, dan
alat bantu lainnya selalu berkaitan dengan penggunaan air, baik air laut maupun
air sungai. Kontaminasi dari media air ini akhirnya akan sampai juga pada ikan
dan akhirnya ke konsumen.
169
perairannya. Dengan memperhatikan keadaan geografis kawasan Muara Dadap,
kita dapat menduga bahwa pola arus di perairan ini sangat dipengaruhi oleh
pasang surut. Pola pasut di perairan ini ditentukan oleh pola pasut dari perairan
yang lebih besar yaitu Laut Jawa. Pasut dari Laut Jawa itu sendiri pun bukan
disebabkan oleh gaya pembangkit pasang astronomis (bulan dan matahari)
melainkan oleh rambatan pasut dari Lautan Pasifik yang memasuki Laut Jawa
melalui Laut Cina Selatan dan Selat Makasar (Pariwono 1985).
Dengan asumsi bahwa kondisi pasut di Muara Dadap dan Kamal Muara
mirip dengan kondisi pasut di Tanjung Priok, maka perubahan yang terjadi di
Tanjung Priok akan dialami pula oleh daerah Muara Dadap. Hasil pengukuran
menunjukan bahwa kisaran pasut di Tanjung Priok adalah sekitar 1,0 m pada
waktu pasang purnama, dan sekitar 0,3 m pada waktu pasang perbani. Pasang
purnama adalah pasang tertinggi (dan surut terandah) yang dialami oleh suatu
perairan, terjadi pada bulan purnama atau bulan mati. Kebalikan pasang purnama
adalah pasang perbani, dimana kisaran pasutnya paling rendah, yang terjadi pada
waktu bulan sabit (perempat pertama dan perempat ke tiga). Pada kondisi pasang
purnama dan pasang perbani pada saat matahari berada dibelahan bumi utara
170
(bulan Juni), dan dibelahan bumi selatan (bulan Desember). Membandingkan
kedua pasut pada kedua bulan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kisaran pasut
terbesar di Tanjung Priok terjadi pada saat kedudukan matahari berada dibelahan
bumi selatan, yaitu antara bulan Oktober hingga Februari. Keadaan ini baik
berlaku pada waktu pasang purnama maupun ketika pasang perbani. Pengaruh
utama yang ditimbulkannya pada kecepatan arus di Perairan Teluk Jakarta. Arus
pasut di perairan ini akan relatif lebih deras ketika matahari berada pada belahan
bumi selatan dibanding ketika berada dibelahan bumi utara.
Proses reklamasi yang dilakukan di Pantai Dadap dan akan dilakukan juga di
pesisir Jakarta Utara dipastikan akan menimbulkan beberapa dampak positif dan
negatif. Dampak positifnya, sebagaimana direncanakan oleh para pengembang
dan juga pemerintah, untuk Pemda Tangerang dan masyarakat Dadap antara lain:
(1) Pembangunan fasilitas umum, seperti prasarana dan sarana transportasi dan
komunikasi;
(2) Penciptaan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja;
(3) Pendapatan pemerintah
Untuk Pemkot dan masyarakat Jakarta Utara dampak positif dari kegiatan
reklamasi yang akan dilakukan adalah:
(1) pembangunan kegiatan industri;
(2) fasilitas kegiatan pariwisata;
(3) perkantoran
(4) pusat bisnis;
(5) sarana transportasi; dan
(6) perumahan penduduk untuk 750. 000 1,9 juta jiwa.
Dalam setiap kegiatan pembangunan, para perencana hampir selalu lebih
menonjolkan berbagai target positif yang akan dapat dicapai dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya dampak negatif. Meskipun dampak positif yang akan
dicapai tersebut ternyata tidak atau hanya sedikit dinikmati oleh masyarakat di
sekitar proyek tersebut. Hal ini masuk akal karena tanpa dampak positif, mustahil
suatu program pembangunan dapat dibiayai. Hanya saja, cukup banyak program
pembangunan yang sekarang dilakukan lebih mengarah pada keuntungan ekonomi
semata, artinya dampak positif hanya bagi segelintir orang dan untuk jangka
171
pendek, tanpa memperhitungkan dampak negatif yang akan datang dalam jangka
panjang.
Reklamasi Pantai Dadap sudah menunjukkan beberapa dampak negatifnya
sebelum dampak positifnya diperoleh. Sebagaimana dapat diikuti dari berbagai
media massa (lihat Bab 4), dampak negatif yang sudah dirasakan penduduk sekitar
lokasi reklamasi adalah:
(1) terjadinya pendangkalan saluran Kali Perancis sehingga mengganggu
lalulintas perahu nelayan;
(2) kematian beberapa ekosistem mangrove
(3) peningkatan kontaminasi logam berat di perairan
(4) kerusakan prasarana transportasi selama proses pengurukan berlangsung
(kerusakan jalan karena kendaraan-kendaraan berat.
Dampak positif memang sudah diperoleh Pemda dari retribusi pengurukan
yang sudah dilakukan, meskipun tidak sebanding jika dibandingkan dengan
kerugian yang ditimbulkannya. Reklamasi yang sudah dilakukan sejak tahun
2002 dan kemudian menjadi masalah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu:
(1) Perencanaan tidak dilakukan secara terbuka kepada semua stakeholders;
(2) Kurang sosialisasi sehingga banyak stakeholders yang mendapat informasi
yang kurang tepat;
(3) Tidak dilakukan kajian analisis dampak lingkungan terlebih dahulu;
(4) Kurang melibatkan tenaga kerja lokal sejak awal pelaksanaan proyek.
(5) Aktivitas proyek..tidak diintegrasikan dengan kepentingan penduduk lokal.
Menurut Koordinator Himpunan Nelayan Dadap Mbing, warga Desa Dadap,
Kosambi, Kabupaten Tangerang, belum mengetahui ada proyek pengurukan laut
besa-besaran di Pantai Mutiara Dadap. Mereka bahkan tak peduli aktivitas
reklamasi kawasan untuk wisata bertaraf internasional tersebut. Menurut warga,
proyek reklamasi silakan saja. Asal, warga disediakan infrastruktur seperti tempat
pelelangan ikan, pengerukan Kali Perancis, serta perbaikan jalan. "Kami tak
peduli. yang penting bagi kami para nelayan bisa tetap melaut. Kampung Giri
Baru merupakan perkampungan nelayan yang dibangun 1975. Umar Bahrudin,
Ketua RW O2, Kampung Gili Baru, Desa Dadap, mengatakan, warga dari dulu
172
hanya ingin bekerja dengan didukung sarana prasarana yang memadai. Kepala
Desa Dadap Dames Taufik mengklaim, tidak ada masalah dengan warganya
terhadap reklamasi pantai itu. Menurut Dames, informasi kerusakan lingkungan
dan penolakan warga yang berkembang selama ini dikendalikan orang luar Dadap.
(Tempo Interaktif 2005b).
Menurut Charles (1992), bidang perikanan merupakan suatu sistem yang
sangat komplek dan dinamik, dimana terjadi interaksi diantara sumberdaya-
sumberdaya alam, manusia, dan kelembagaan; dan terdapat kecenderungan yang
mengherankan bahwa konflik yang seringkali terjadi sudah dianggap sebagai
sesuatu hal yang lumrah. Konflik yang terjadi umumnya disebabkan oleh
kelangkaan sumberdaya ikan, sistem bagi hasil diantara nelayan dengan pengolah,
serta konflik pengelolaan diantara nelayan dengan pemerintah. Konflik juga
umum terjadi dengan bidang diluar perikanan, seperti kehutanan, turisme, dan
pertambangan di lautan.
Setiap permasalahan tentu ada solusinya. Menurut Widjajanto (2004),
resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan
untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses
penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik.
Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama,
konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer,
namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki
suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang
spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula.
Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel
tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial
harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat
berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal
jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang
relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif
jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang
langgeng. Dirangkum dari berbagai sumber, Widjajanto (2004) menuliskan
bahwa terdapat 4 tahap resolusi konflik, yaitu: 1) Tahap I: de-eskalasi konflik; 2)
173
Tahap II: intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik; 3) Tahap III: problem-
solving approach; dan 4) Tahap IV: peace-building.
Dalam kasus konflik yang terjadi di kawasan Dadap, skala yang terjadi
masih sangatlah kecil karena tidak sampai melibatkan intervensi militer.
Sehingga, tampaknya resolusi yang dapat dilakukan adalah dengan komunikasi
yang baik, transparansi di antara kedua belah pihak, dan berbasis saling
menguntungkan. Widjajanto (2001) dalam Widjajanto (2004) mengusulkan
perlunya dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang
melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi
konflik Widjajanto (2004) mengutip beberapa referensi menyebutkan bahwa
aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental
Organisations (NGOs) (Aall 1996), mediator internasional (Zartman dan Touval
1996), atau institusi keagamaan (Sampson 1997 dan Lederach 1997).
Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan
yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan
disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di
tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik
menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah
berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan
identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di
suatu komunitas (Widjajanto 2004).
Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk menengahi konflik
kepentingan diantara Pemerintah, pengembang, dan penduduk ini adalah:
(1) Jika untuk menghasilkan satu meter persegi luasan tanah siap pakai hasil
reklamasi diperlukan rata-rata 12,3 meter kubik, maka untuk melakukan
reklamasi sekitar 1.000 hektar sebagaimana direncanakan dalam PerDa No 5
Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, dimana berdasarkan
peraturan itu, sekitar 20 km dari 50 km total panjang pantai di Kabupaten
Tangerang atau dari Dadap Kosambi hingga pantai Tanjung Kait,
Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas pantai yang akan
direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu seluas 10 km dari laut dan
satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektar. Untuk menimbun seluas
174
200 hektar saja, material yang dibutuhkan adalah 12,3 x 200 x 10.000 =
24.600.000 meter kubik. Sebagian dari kebutuhan material ini dapat diambil
dari dasar perairan Kali Perancis maupun Kali Kamal Muara, yang
merupakan jalur lalu lintas perahu nelayan.
(2) Pengerukan jalur lalulintas perahu nelayan di Kali Perancis sampai ke laut
yang berkedalaman sekitar 4 m, yaitu sampai sejauh 1.750 m dari garis
pantai. Jika diasumsikan kedalaman rata-rata Kali Perancis saat ini hanya
sekitar 50 cm, maka dengan lebar sungai sebesar 45 m dan panjang sungai
sampai ke laut yang berkedalam 4 m ada sekitar 2.000 m, maka jumlah
lumpur yang harus dikeruk adalah sebanyak 3,50 x 2.000 x 45 m3 = 315.000
m3. Artinya, hanya dengan memenuhi 1,28 % dari kebutuhan material
urukan maka masalah pendangkalan jalur lalu lintas perahu nelayan di Kali
Perancis sudah dapat ditanggulangi.
Konflik yang terjadi sebagai akibat dari rencana pembangunan Kota Air
Kamal Muara tidaklah seramai yang terjadi di Dadap, karena masih dalam fase
awal dimana hasil studi amdal dan masalah legal aspek dipertanyakan oleh
berbagai pihak. Mengacu pada pendapat Chua (2006) yang menyatakan bahwa
aktivitas manusia adalah faktor ke tiga yang mempengaruhi keterpaduan dan
kesehatan wilayah pesisir, dimana faktor pertama dan keduanya adalah daratan
dan perairan, maka untuk memecahkan konflik pengelolaan sumberdaya pesisir di
kawasan Dadap-Kamal Muara, faktor manusia harus berperan secara aktif untuk
mencari solusi pemecahannya. Chua (2006) menambahkan bahwa di suatu
kawasan pesisir yang tidak terdapat komunitas manusia, proses alami dapat
menjaga kondisi wilayah tersebut tetap pristine. Untuk menanggulangi konflik di
kawasan Dadap pada tahap ini, beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk
mencari solusi masalah tersebut antara lain:
175
(1) Semua diskusi dan perdebatan tentang aktivitas reklamasi Pantura harus
diwakili oleh semua stakeholders, tidak hanya dilakukan diantara para
pemerhati lingkungan, Pemda, dan Pemerintah Pusat;
(2) Perhatian dan pertimbangan terhadap pelestarian sumberdaya lingkungan
(plasma nutfah atau biodiversiti) harus juga memperhatikan keuntungan
yang perlu digali dan diperoleh untuk kepentingan masyarakat lokal yang
akan terkena dampaknya;
(3) Setiap perencanaan dan aktivitas yang akan dilakukan di lokasi proyek
(untuk setiap tahapan pelaksanaan proyek, mulai dari land clearing sampai
berjalannya aktivitas di lokasi tersebut setelah proyek fisik selesai), harus
dijelaskan kepada semua stakeholders, sehingga mereka akan menyadari
peran apa yang akan diambilnya.
Tabel 5.1 Skenario solusi konflik reklamasi pesisir Dadap dan peran antar para
stakeholders
STAKEHOLDERS PERAN
PEMDA (1) Melaksanakan pertemuan diantara stakeholders untuk
mencari solusi masalah pengurukan pesisir Dadap
TANGERANG
(2) Memandu diskusi diantara wakil-wakil stakeholders tentang
manfaat proyek pembangunan kawasan Wisata Mutiara
Dadap serta kaitannya dengan kegiatan reklamasi yang
sedang dilakukan dan untung ruginya jika proyek diteruskan
atau dihentikan
(3) Mengumumkan secara terbuka rencana pembangunan
kawasan wisata Pantai Mutiara Dadap, dan melaksanakan
sosialisasi dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal
(4) Menetapkan kepada pengembang untuk mengambil bahan
urukan dari Kali Perancis dan sepanjang jalur pelayaran
perahu nelayan
(5) Menetapkan kepada pengembang untuk menggunakan tenaga
lokal dalam berbagai bidang
PENGEMBANG (1) Menjelaskan kepada Pemda, nelayan, dan penduduk setempat
tentang proyek reklamasi yang sedang dilaksanakan serta
beberapa peran dan keuntungan yang dapat diambil oleh
penduduk setempat, baik saat persiapan dan pelaksanaan
proyek maupun setelah berjalannya aktivitas
(2) Mendahulukan penggunaan tenaga kerja lokal dalam proses
reklamasi kawasan pesisir Dadap
176
Lanjutan Tabel 5.1
STAKEHOLDERS PERAN
(3) Melakukan pengerukan Kali Perancis dan jalur pelayaran
perahu nelayan sebagai material urukan pesisir Dadap
(4) Membangun dinding penahan longsor di sepanjang Kali
Perancis yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perahu dan
tempat bersandarnya perahu nelayan
177
yang akan digunakan untuk mereklamasi pantai utara (Pantura) seluas 2.700
hektar sepanjang 32 km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi. Selain
memerlukan biaya transportasi yang sangat besar, pengambilan material urukan
tersebut tentu saja akan mempengaruhi ekosistim tempat material tersebut diambil.
Contoh paling nyata adalah Pulau Nipah di Batam, yang nyaris tenggelam akibat
pengerukan pasir laut oleh pengusaha untuk mereklamasi kawasan pesisir
Singapura. Reklamasi bandara Sukarno Hatta yang menggunakan pasir laut dari
perairan Indramayu, dampaknya berupa abrasi yang tidak terelakkan di pesisir
sepanjang Eretan, bahkan kini telah mendekati jalan raya Pantura. Lainnya, kasus
reklamasi Pantai Indah Kapuk, Jakarta, yang telah terbukti mendatangkan banjir
bagi penduduk setempat, apalagi jika pengurukan tersebut berskala besar.
STAKEHOLDERS PERAN
PEMKOT (1) Melaksanakan pertemuan diantara stakeholders untuk mencari
JAKARTA UTARA solusi masalah rencana reklamasi pantura yang dikaitkan
dengan program pembangunan DKI sebagai ibu kota negara;
178
Lanjutan Tabel 5.2
STAKEHOLDERS PERAN
PENGEMBANG
(1) Menjelaskan kepada Pemda, nelayan, dan penduduk setempat
tentang proyek reklamasi yang sedang dilaksanakan serta
beberapa peran dan keuntungan yang dapat diambil oleh
penduduk setempat, baik saat persiapan dan pelaksanaan
proyek maupun setelah berjalannya aktivitas
(2) Mendahulukan penggunaan tenaga kerja lokal dalam proses
reklamasi kawasan pesisir Kamal Muara
(3) Melakukan pengerukan Kali Kamal dan jalur pelayaran
perahu nelayan sebagai material urukan pesisir pantura
(4) Membangun dinding penahan longsor di sepanjang Kali
Kamal yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perahu dan
tempat bersandarnya perahu nelayan
NELAYAN (1) Membantu pemda dan pengembang untuk melakukan
pengerukan dasar Kali Kamal dan jalur pelayaran perahu
nelayan dimana lumpur hasil kerukan digunakan untuk
mereklamasi perairan pesisir.
(2) Dengan bertambah dalamnya Kali Kamal maka aktivititas
perikanan dapat dilakukan tanpa terganggu lagi
(3) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam program
pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi
PENDUDUK LAIN (1) Melakukan koordinasi dan identifikasi kapasitas sumberdaya
manusia lokal yang dapat berperan-serta, baik dalam kegiatan
proyek reklamasi pantura maupun setelah program
pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi
tersebut berjalan.
(2) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas
program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah
reklamasi
Menurut analisis Nurhayati (2003), Pemda DKI Jakarta tidak pernah menilai
ongkos kerusakan ekosistem, seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang,
ikan, dan ekosistem laut yang akan hilang dan terusir dari kawasan ini. Selain itu,
hilangnya mata pencarian ribuan pembudidaya ikan yang memanfaatkan Teluk
Jakarta selama ini, tidak pernah menjadi bahan pertimbangan. Pemda DKI tidak
pernah mengkaji secara mendalam aspek sosial dari penggusuran secara besar-
besaran terhadap penduduk setempat yang selama ini menjadi bagian dari sebuah
lingkungan dan turut menjaga dan melestarikannya, tetapi diusir yang belum jelas
mau dikemanakan dan akan bekerja apa nantinya. Sedangkan keahlian mayoritas
di kawasan itu adalah budidaya dan menangkap ikan.
179
Chua (2006) menjelaskan bahwa solusi untuk permasalahan yang komplek
di kawasan pesisir memerlukan suatu paradigma yang bergeser dari pendekatan
konvensional yang sekarang dilakukan ke suatu perencanaan yang cukup matang,
berorientasi ke masa depan, didasarkan pada paradigma pengelolaan yang objektif
yang mengintegrasikan antara kebijakan, peraturan perundang-undangan,
mekanisme implementasi, didukung pengetahuan ilmiah, pendanaan, dan
kapasitas pemberdayaan. Namun demikian, terdapat juga beberapa faktor
penghambat yang terus menerus yang menahan laju keberhasilan. Pertama,
terlalu banyak pihak yang terlibat dalam memperebutkan sumberdaya yang
terbatas sehingga memunculkan konflik multidimensi. Kedua, adanya
ketidakpastian (uncertainty) karena adanya kapasitas daya dukung lingkungan.
Sampai saat ini para ahli ilmu pengetahuan belum dapat menyediakan metoda
yang dapat diandalkan untuk menghitung atau memperkirakan daya dukung
lingkungan suatu ekosistem. Ketiga, pengelolaan sumberdaya alam gagal untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan populasi dan ekonomi yang cepat di wilayah
pesisir. Seringkali, pengelolaan sumberdaya alam cenderung terbatas untuk
menanggulangi krisis pengelolaan secara khusus. Keempat, tidak terdapat institusi
yang dapat dijadikan home-base untuk ICZM, artinya tidak ada lembaga yang
khusus dibentuk untuk menjalankan program ICZM. Kelima, banyak bantuan
dana luar negeri tidak digunakan secara efektif karena buruknya koordinasi
diantara lembaga-lembaga terkait.
Kebijakan pembangunan pemerintah daerah di Indonesia rata-rata lebih
didominasi oleh kepentingan politik jika dibandingkan dengan pertimbangan
ilmiah atau untuk kepentingan umum. Sebagai contoh, landasan hukum dari
proyek reklamasi Pantura sangat kontroversial, proyek ini tidak ada dalam
peraturan daerah tentang RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) 1960 - 1985
maupun RUTR 1985 - 2005. Tetapi tiba-tiba saja lahir Keppres No. 52 tahun
1995 tentang Reklamasi Pantura. Hal yang janggal ini justru dijadikan dalih oleh
Pemprov DKI untuk melakukan pelanggaran. Dalam Peraturan Daerah No. 6
tahun 1999 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010 muncul ketentuan
tentang reklamasi pantura. Selain itu, Keppres No. 52 sangat tidak visibel dan
tidak mengakomodir kepentingan ekologi dan sosial. Oleh karena itu, maka
180
dalam rangka konsolidasi di tingkatan LSM peduli lingkungan termasuk WALHI
Jakarta dan LP3ES pada 3 April 2003 lalu, forum sepakat untuk mengadakan
gugatan judicial review terhadap Keppres tersebut, bila diperlukan (Nurhayati
2003).
Ketidaksetujuan terhadap proyek reklamasi pantura juga ada di kalangan
birokrasi. Ali Sadikin mantan Gubernur DKI Jakarta, Emil Salim mantan Menteri
Lingkungan Hidup menentang keras proyek ini. Bahkan, terakhir Menteri LH
Nabiel Makarim, mengecam proyek ini dengan mengeluarkan SK Menteri No. 14
tahun 2003 untuk mencabut Keppres tentang Reklamasi Pantai Pantura Jakarta
dan diganti dengan Keppres pembatalan Reklamasi Pantai Pantura; dan yang
paling hangat pada tanggal 5 Mei 2003 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan
Rokhmin Dahuri baru-baru ini, Rokhmin Dahuri mendukung Nabiel Makarim soal
reklamasi (Nurhayati 2003).
Dipandang dari aspek konservasi sumberdaya perairan yang berbentuk flora
atau fauna bawah air, upaya reklamasi yang dilakukan oleh para pengembang
(juga di kawasan pesisir lainnya) sangat merugikan karena apa yang hidup di dasar
perairan belum seluruhnya sudah teridentifikasi. Dengan demikian, sumberdaya
plasma nutfah yang sangat berragam tersebut akan menjadi punah karena
dilakukannya penimbunan dasar perairan.
181
5.1.2 Analisis tingkat ketergantungan kawasan Dadap dan Kamal Muara
terhadap perikanan
Tabel 5.3 Rasio jumlah nelayan terhadap total penduduk (RNt) RNt = Pt ti
N
Tabel 5.4 Rasio jumlah nelayan terhadap total tenaga kerja (RMt) RMt = TKt
ti N
tj
TAHUN RPIt Dadap/Tangerang RPIt Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 3.407.844/11.619.400 = 0,293289154 256.080/95.508.195 = 0,002681
2000 3.634.528/16.896.000 = 0,215111742 285.200/57.809.547 = 0,004933
2001 4.266.704/17.725.900 = 0,240704505 548.060/48.698.102 = 0,011250
2002 3.983.649/16.854.250 = 0,236358722 539.500/56.473.208 = 0,009553
2003 3.309.000/16.834.000 = 0,196566531 529.550/58.665.878 = 0,009063
RPIt 0,236406086 0,007496
182
Tabel 5.6 Rasio jumlah kapal ikan (RKt) RKt = KI ti
JK
ti
Tabel 5.7. Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan (RTKPt)
RTKPt = TK ti
TKP
tm
TAHUN RTKPt Dadap/Tangerang RTKPt Kamal Muara/Jakarta
Utara
1999 22/1.254431 = 0,0000175378 30/552.635 = 0,0000542854
2000 19/1.316.230 = 0,0000145322 30/557.595 = 0,0000538025
2001 18/1.426.628 = 0,0000126172 27/567127 = 0,0000476084
2002 16/1.528.212 = 0,0000469752 27/574.866 = 0,0000469675
2003 16/1.592.997 = 0,0000439112 25/584.893 = 0,0000427429
RTKP 0,00027114 0,000050319
Tabel 5.8 Rasio kontribusi sektor perikanan wilayah desa terhadap wilayah
KPI ti =
( PDBP t / PDBT i )
kabupaten/kota (KPIti) n
183
Tabel 5.9 Rasio kesempatan kerja sektor perikanan wilayah desa terhadap total
RKK t = Pt ti
KK
jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota (KPIti)
Tabel 5.10 Rasio industri sektor perikanan wilayah desa terhadap jumlah
penduduk wilayah kabupaten/kota (RI ) RI = ti
KK
ti ti Pt
184
Dengan menggunakan multicriteria evaluation of alternatives maka
dihasilkan perhitungan sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.12.
Tabel 5.12 Hasil modifikasi dari input data rataan variabel ketergantungan
daerah penangkapan.
Analisis multi kriteria dengan pemberian bobot antara 0-1 terhadap setiap
variabel tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan daerah perikanan dari Desa
Dadap lebih kecil dari pada Kelurahan Kamal Muara dengan nilai 0,30769 dan
0,69231. Sementara itu, lebih banyak variabel yang berpengaruh terhadap Kamal
185
Muara (yaitu RN, RM, RK, RKK, dan RI) jika dibandingkan dengan Dadap (RPI
dan RTKP).
Dengan cara yang sama dilakukan analisis data per tahun. Hasil analisis
data menunjukkan bahwa dari tahun 1999 sampai 2003, nilai ketergantungan
kedua daerah tersebut menunjukkan adanya perubahan, sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 5.14.
Dari Tabel 5.14 terlihat bahwa nilai ketergantungan perikanan dari Desa
Dadap berubah semakin kecil jika dibandingkan dengan Kelurahan Kamal Muara.
Pada tahun 1999 dan 2000, nilai ketergantungan perikanan Desa Dadap sebesar
0,46154 sedangkan Kelurahan Kamal Muara sebesar 0,53846. Menurut Briguglio
(1995) dalam Symes (2000), besaran nilai ini termasuk tipe ketergantungan
sedang. Pada tahun 2001 dan 2002, status ketergantungan perikanan Desa Dadap
bertambah kecil sedangkan sebaliknya Kelurahan Kamal Muara semakin besar
(dengan tipe ketergantungan sedang). Baru pada tahun 2003, sementara
ketergantungan Desa Dadap terhadap perikanan semakin kecil, maka
ketergantungan perikanan Kelurahan Kamal Muara semakin besar dan termasuk
kelompok besar.
186
bersih; densitas populasi, tingkat perceraian dan perkawinan}, perumahan {indeks
pembangunan rumah baru; tingkat penghunian (jumlah rata-rata orang yang
tinggal dalam setiap ruangan); indeks keramah-tamahan (amenity) (rata-rata
jumlah mobil, jumlah rumah tangga tanpa kebutuan dasar); indeks kepemilikan
(proporsi antara rumah milik yang ditempati, disewakan, dll); kesehatan {harapan
hidup, tingkat kematian bayi, indeks pemeliharaan kesehatan (rata-rata jumlah
rumahsakit, dokter gigi, dokter, dan jumlah tempat tidur di rumah sakit per
populasi penduduk); serta pendidikan {tingkat pendidikan (jumlah dan katagori
pendidikan pada berbagai kualifikasi). Meskipun indeks ketergantungan
perikanan dan indeks ketergantungan ekonomi diberi bobot yang lebih besar
karena mempunyai relevansi langsung terhadap ketergantungan regional,
meskipun masih dapat menjadi bahan perdebatan. Sulitnya mendapatkan data
yang akurat menyebabkan indeks sosial-demografis ini tidak dapat dilakukan.
187
5.2.1 Komposisi pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah
Dalam penelitian ini, analisis shift share digunakan untuk memahami pola
perkembangan aktivitas perekonomian yang paling kompetitif sekaligus paling
dinamis di wilayah penelitian. Informasi ini diperlukan untuk kebutuhan
membangun Model Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara
dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir.
Nilai setiap komponen tersebut berkisar dari negatif hingga tak hingga
sampai dengan positif tak hingga. Nilai differential share yang positif di suatu
unit analisis pada aktivitas tertentu menunjukkan bahwa aktivitas tersebut
kompetitif untuk di unit tersebut. Sebaliknya, jika negatif berarti aktivitas tersebut
tidak kompetitif jika dijadikan sebagai pilihan aktivitas. Profil pertumbuhan
PDRB Kabupaten Tangerang periode 2000 -2002 dicantumkan pada Gambar 5.1.
188
Kabupaten Tangerang terletak pada Kwadran I, yang berarti sektor-sektor tersebut
pertumbuhannya cepat (PP.j=0). Demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-
sektor tersebut cukup baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya
(PPW.j=0). Hal ini juga menunjukkan bahwa pergeseran bersih bernilai positif
(PB.j=0) yang berarti Kab. Tangerang merupakan wilayah progresif.
1.00
PB.j=0
0.50
IV I
PP 0.00
-1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00
III -0.50 II
-1.00
PPW
Hasil analisis shift share untuk Kota Jakarta Utara menunjukkan bahwa nilai
pertumbuhannya adalah sebesar -9,93 %, dengan komponen pertumbuhan
proporsional (PP.j) sebesar -0,51 dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah
(PPW.j) sebesar -0,38. Dengan mengekspresikan persen perubahan komponen
pertumbuhan proporsional (PP.j) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW.j) pada
sumbu PP (sebagai absis) dan PPW (sebagai ordinat) sebagaimana dapat dilihat
pada Gambar 5.2.
Dari Gambar 5.2 tampak ternyata Kota Jakarta Utara terletak pada Kwadran
III, yang berarti sektor-sektor tersebut pertumbuhannya lambat (PP.j=0) dan juga
189
daya saing wilayah untuk sektor-sektor pertumbuhannya lambat apabila
dibandingkan dengan wilayah lainnya (PPW.j=0). Hal ini juga menunjukkan
bahwa pergeseran bersih bernilai negatif (PB.j=0) yang berarti Kota Jakarta Utara
merupakan wilayah lamban.
1.00
PB.j=0
0.50
IV I
P 0.00
1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00
III -0.50 II
-1.00
PPW
190
apabila nilai LQ lebih besar dari 1, maka berdasarkan hasil analisis ditentukan
bahwa daerah tersebut menjadi pusat aktivitas. Indeks LQ yang lebih besar dari 1
juga mengindikasikan terjadinya aktivitas yang sangat intensif dan melebihi rata-
rata wilayah lain. Banyak penduduk dari wilayah lain yang memanfaatkan
fasilitas penunjang aktivitas ataupun melakukan aktivitas sektor tersebut di
wilayah yang bersangkutan.. Sementara apabila nilai LQ sama dengan 1, maka
diartikan bahwa sub wilayah tersebut mempunyai pangsa aktivitas setara atau
sama dengan pangsa lokal.
Nilai LQ
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
-
1 2 3 4 5 6 7 8 9
191
1.80
1
1.60
2
1.40
3
1.20
4
1.00
5
0.80
6
0.60
7
0.40
8
0.20
9
-
Nilai LQ2000 Nilai LQ2001 Nilai LQ 2002
Perhitungan nilai LQ secara berturut dari tahun 2000 hingga tahun 2002
terhadap lapangan usaha (komoditi) unggulan di Kabupaten Tangerang
menunjukkan adanya kecenderungan tidak terjadi perubahan yang berarti (relatif
stabil), baik untuk sektor listrik, gas dan air; keuangan, persewaan dan jasa;
industri pengolahan; maupun untuk sektor pertanian, termasuk perikanan. Dapat
dikatakan bahwa peningkatan sektor unggulan untuk meningkatkan nilai LQ
nampaknya harus ada input dari luar daerah untuk merangsang pertumbuhan
masing-masing sektor di daerah ini.
192
LQ 2003
3.00
2.44
2.50
2.00
1.69
1.42
1.50 LQ 2003
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8
Keterangan:
1. Pertanian; 2. Industri Pengolahan; 3. Listrik, Gas dan Air; 4. Bangunan; 5. Perdagangan,
Hotel dan Restauran; 6. Pengangkutan dan Komunikasi; 7. Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan; 8. Jasa-jasa.
Gambar 5.5. Grafik LQ sesaat untuk komoditi unggulan di Kota Jakarta Utara
pada Tahun 2003
3.00
1
2.50 2
2.00 3
4
1.50
5
1.00 6
7
0.50
8
-
Nilai LQ 2000 Nilai LQ 2001 Nilai LQ 2002 Nilai LQ 2003
Keterangan:
1. Pertanian; 2. Industri Pengolahan; 3. Listrik/Gas/Air; 4. Bangunan; 5. Perdagangan/Hotel dan
Restauran; 6. Pengangkutan/Komunikasi; 7. Keuangan/PersewaanJasa Perusahaan; 8. Jasa-jasa.
Gambar 5.6. Grafik LQ untuk komoditi unggulan di Kota Jakarta Utara pada
Tahun 2000 2003
193
5.2.3 Distribusi dan hierarki pelayanan fasilitas sosial
Jumlah tipe fasilitas yang terdapat di Desa Dadap adalah 18, hal ini
menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Kecamatan
Kosambi (yang jumlah total tipe fasilitasnya sebanyak 111 buah), maka Desa
Dadap merupakan desa yang paling maju. Namun demikian, untuk Kelurahan
Kamal Muara (dengan jumlah tipe fasilitas 19 buah) jika dibandingkan dengan
kelurahan-kelurahan lainnya di Kecamatan Penjaringan (yang jumlah total tipe
fasilitasnya sebanyak 148 buah), maka Kelurahan Kamal Muara merupakan
kawasan yang paling kurang maju. Dari keseluruhan gambaran tersebut dapat
diamati bahwa pergerakan kemajuan pembangunan di tingkat desa dan kelurahan
di kawasan Dadap-Kamal Muara bergerak mengarah ke pusat aktivitas di Ibu Kota
Jakarta. Kondisi ini memang akan memicu terjadinya migrasi tenaga kerja dari
tempat yang kurang ke tempat yang banyak fasilitasnya.
194
Tabel 5.15 Hierarki wilayah Kecamatan Kosambi dan Penjaringan berdasarkan
analisis skalogram
Jumlah Tipe Jumlah Unit Peringkat
Fasilitas Fasilitas
Kosambi
Dadap 18 64 1
Kosambi Timur 15 32 2
Salembaran Jaya 12 39 3
Rawa Burung 11 42 4
Rawa Rengas 10 45 5
Cengklong 10 32 6
Belimbing 10 26 7
Jati Mulya 9 28 8
Kosambi Barat 8 17 9
Salembaran Jati 8 17 10
Jumlah Tipe 111
Jumlah Unit 342
Penjaringan
Pejagalan 37 339 1
Pluit 34 164 2
Penjaringan 31 205 3
Kapuk Muara 27 92 4
Kamal Muara 19 45 5
Jumlah Tipe 148
Jumlah Unit 845
195
5.3 Analisis pemanfaatan lahan dan daya tampung pelabuhan perikanan di
kawasan Dadap-Kamal Muara
Pengembangan suatu pelabuhan perikanan harus mempertimbangkan
kondisi lahan yang tersedia di kawasan tersebut. Sebagai daerah yang terletak di
perbatasan kabupaten/kota dan provinsi, kawasan Dadap-Kamal Muara
mempunyai tingkat perubahan pemanfaatan lahan yang sangat pesat.
Tahun 1996, BPPT menjadi Panitia Indonesia Air Show (IAS) yang sempat
menimbulkan issu akan menggusur tanah rakyat di Desa Gili-Dadap, Kecamatan
Kosambi, Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari 800 KK nelayan (Republika
Online 1996). Issu ini ternyata tidak benar karena pelaksanaan pergelaran
196
dirgantara IAS 96 itu terletak di lokasi pelabuhan udara Soekarno-Hatta pada
kuadran II (sebelah terminal II-internasional).
Dari berbagai berita di media massa dapat disimak bahwa proses reklamasi
yang sedang dilakukan ternyata menuai berbagai protes dari beberapa kelompok
masyarakat dan LSM {antara lain Banten Environmental Watch (BEW), dan
(PIELS)}, yang akhirnya direspon oleh anggota DPR dan DPRD setempat.
Polemik terus berlanjut dan menyangkut Pemda DKI Jakarta yang tampaknya juga
mempunyai kepentingan dengan kegiatan pembangunan. Salah satu berita yang
dimuat berbunyi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang tidak akan pernah
dapat melakukan penutupan lokasi reklamasi Pantai Dadap, Desa Dadap,
Kecamatan Kosambi, yang kini dilakukan. Pasalnya, lembaga ini diduga telah
menerima retribusi pengurukan pantai yang jumlahnya mencapai ratusan juta
rupiah. Menurut sumber di Tangerang, dugaaan telah dibayarkan retribusi
pengurukan pantai oleh para pengembang reklamasi Pantai Dadap tersebut
tertuang jelas dengan adanya Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi dengan nomor
655.2/330-DTRB/IX/2001 tertanggal 26 September 2001 yang ditandatangani
oleh Bupati Tangerang yang kala itu masih dijabat oleh Agus Djunara. Dengan
keluarnya fatwa Bupati tersebut secara otomatis si pengembang berani untuk
melakukan reklamasi Pantai Dadap karena sudah ada lampu hijau. Apalagi pada
saat yang bersamaan Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga mengeluarkan surat
penetapan retribusi fatwa rencana pengarahan lokasi bernomor 974/330-
DTRB/IX/2001 yang ditandatangani Kepala Dinas Tata Ruang dan Bangunan,
Nanang Komara yang kini menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang
(Sinar Harapan 2004b).
197
Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan
Pemda Tangerang Didin Samsudin menyatakan, kawasan pantai yang akan
direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR). Dalam perubahan tata ruang tersebut pemerintah berencana
menjadikan pesisir pantai utara sebagai kawasan wisata terpadu (SUARA
PEMBARUAN DAILY 2004b). Perubahan RUTR tersebut tertuang dalam
Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, yang
merupakan implementasi Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang
Perubahan Tata Ruang Nasional. Berdasarkan peraturan itu, sekitar 20 km dari 50
km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi hingga
pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas pantai
yang akan direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu sepanjang 10 km
garis pantai dari laut dan satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektare.
198
tanah merasa bahwa dulu mereka terbujuk menjual lahannya kepada para investor
untuk dibuat gudang, dengan harapan bahwa kelak ia dan anak-anaknya dapat ikut
bekerja di kawasan pergudangan itu. Namun demikian kenyataannya pemilik
gudang lebih memilih tenaga kerja dari luar Dadap yang dinilai lebih mempunyai
kompetensi daripada tenaga kerja setempat (Tempo interaktif 2005c). Saat ini,
ratusan gudang kini sudah berdiri memenuhi 40 persen lahan di desa seluas 401
hektar itu. Sisa lahan masih akan terus berkurang karena sampai saat ini
pembangunan gudang baru masih terus berlangsung.
Selama kurun waktu 10 tahun (dari tahun 1992 sampai 2002), telah terjadi
perubahan pemanfaatan lahan di kawasan Dadap-Kamal Muara, sebagai mana
ditunjukkan citra satelit pada Gambar 5.7. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan lahan di kawasan Dadap Kamal Muara mengalami perubahan yang
cukup drastis. Di wilayah Desa Dadap, perubahan terjadi pada luasan sawah yang
menyusut sampai hanya tersisa 18,52 %, tubuh air tinggal 42,85 %, lahan terbuka
tinggal 66,67 %, dan kebun campuran tersisa 32,34 %. Sementara itu, untuk
wilayah urban mengalami perubahan mencolok sebesar 200 %, dari 120,59 ha
menjadi 242,80 ha, sedangkan di Kamal Muara hanya terjadi peningkatan sedikit
dari 442,31 ha menjadi 479,95 ha dalam jangka waktu yang sama yaitu 10 tahun.
Secara rinci perubahan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.16.
199
Citra satelit Landsat 92 Citra satelit Landsat 2002
Hasil klasifikasi Land Use Thn 1992 Hasil klasifikasi Land Use Thn 2002
(Sumber : Landsat 1992) (Sumber : Landsat 2002)
200
Tabel 5.16 Data penggunaan lahan di kawasan Dadap dan Kamal Muara dari
antara tahun 1992-2002 (m2)
No VARIABEL DADAP KAMAL MUARA
1992 2002 1992 2002
1. Tambak 357.611,3 376.432,9 5.665.316,3 5.175.953,5
Perubahan + 5,30 % - 8,64 %
2. Sawah 621.114,4 37.643,3 658.757,7 301.146,4
Perubahan - 94,00 % - 54,29 %
3. Tubuh air 131.751,5 56.464,9 150.573,2 357.611,3
Perubahan - 57,00 % + 137,50 %
4. Lahan terbuka 282.324,7 188.216,5 18.821,6 37.643,3
Perubahan - 33 % + 100, 00 %
5. Urban 1.204.585,5 2.427.992,7 4.423.087,5 4.799.520,5
Perubahan + 101,56 % + 8,5 %
6. Kebun campuran 508.184,5 18.821,7 508.184,5 150.573,2
Perubahan - 96 % - 70,37 %
7. Rumput/semak 0 0 18.821,6 621.114,4
Perubahan 0% + 3.200 %
8. Hutan 0 0 0 18.821,6
Perubahan 0% > + 18.821,6 %
Keterangan: tubuh air adalah perairan di wilayah daratan (danau, sungai, rawa, genangan, dll.
Khusus untuk rawa, jika berasosiasi dengan yang lain dapat dipisah, seperti rawa
gambut, rawa bakau, dll.).
Awalnya, luas tanah daratnya sebesar 105 ha sedang sisanya berupa sawah
seluas 453 ha dan rawa/empang seluas 495 ha. Kelurahan Kamal Muara memiliki
lahan dengan status milik negara, lahan milik adat, dan sebagian dari lahan
tersebut dikuasai oleh swasta (PT Mandara Permai) dan BPL Pluit.
Perubahan status hak kepemilikan lahan di Kelurahan Kamal Muara terjadi
antar tahun 1999 sampai dengan 2000 (BPS Jakut 2000). Status hak milik tahun
1998 tercatat seluas 547,60 ha dan turun drastis menjadi 287 ha tahun 1999. Hal
ini disebabkan belum adanya sertifikat pada tanah seluas 584 ha, seluas 9,90 ha
201
(tahun 1998 mencapai 505,40 ha), dan yang berstatus hak pakai (HP) seluas 8 ha
(sebelumnya tidak tercatat. Data selengkapnya tentang status lahan di Kelurahan
Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.17.
Tabel 5.17 Status lahan di Kelurahan Kamal Muara antara tahun 1997-2000
STATUS LAHAN TAHUN SENSUS
1997 1998 1999 2000
Hak milik 547,60 547,60 287,00 287,00
HGB 505,40 505,40 9,90 9,90
HP 0,00 0,00 8,00 8,00
Belum bersertifikat 0,00 0,00 584,00 584,00
Jumlah 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00
Sumber: BPS Jakut (2001)
Peruntukan lahan di Kelurahan Kamal Muara secara garis besar terdiri dari
pruntukan perumahan, industri, kantor dan gudang, taman, pertanian, lahan tidur,
dan lain-lain. Data selengkapnya tercantum dalam Tabel 5.18.
Dari Tabel 5.18 tampak bahwa perubahan yang cukup mencolok adalah
pada lahan pertanian yang turun sangat drastis pada tahun 1997 sampai tercatat
tidak ada sisanya selama tiga tahun berturut-turut. Tahun 2000 lahan pertanian
baru tercatat lagti seluas 73,71 ha. Perubahan lahan pertanian ini dapat
diidentifikasi sebagian digunakan untuk lahan perumahan, industri, kantor/gudang,
202
dan peruntukan lainnya. Data perubahan jumlah bangunan di Kelurahan Kamal
Muara tercantum dalam Tabel 5.19.
Dari Tabel 5.19 tampak bahwa pertambahan bangunan permanen dan semi
permanen terjadi secara nyata dari tahun 1997, dari 140 unit tahun 1995 menjadi
254, kemudian menjadi 425 tahun 1999. Untuk bangunan semi permanen,
perubahan terbesar terjadi dari tahun 1997 (286 unit) menjadi 481 unit pada tahun
1998, dan menjadi 593 tahun 1999 serta tidak mengalami perubahan sampai tahun
2001. Untuk bangunan darurat, dari tahun 1994 mengalami penurunan dari 305
unit menjadi 280 unit tahun 1995, dan tinggal 141 unit tahun 1997. Kemudian
naik lagi tahun 1999 sampai mencapai 237 unit. Ada dua kemungkinan yang
dapat ditafsirkan dari perubahan jumlah bangunan darurat tersebut, yang pertama
berkaitan dengan kegiatan pembangunan yang harus mendirikan bangunan darurat
untuk para buruh dan peralatan; yang kedua adanya komunitas gelandangan dan
pengemis yang membangunan tempat tinggal darurat.
203
Tabel 5.20. Distribusi hutan mangrove di wilayah Jakarta
Dari Tabel 5.21 tampak bahwa persentase luas tanah yang digunakan
untuk sektor pertanian di Kelurahan Kamal Muara adalah yang paling tinggi.
Namun demikian, lahan ini sebenarnya sebagian besar digunakan untuk aktivitas
perikanan, baik untuk aktivitas pra dan pasca penangkapan ikan maupun budidaya
ikan air tawar, karena sektor pertanian masih mencakup perikanan.
204
Sebagaimana tampak dari hasil citra satelit yang diambil tahun 1992 dan
2002 dan tercantum pada Gambar 5.7, telah terjadi perubahan yang sangat
siginifikan dari tataguna lahan di kawasan penelitian. Hal ini juga ditunjukkan
oleh hasil analisis terhadap citra satelit ini yang memperlihatkan bahwa selama
jangka waktu sepuluh tahun (dari 1992-2002) terjadi peningkatan mencolok dari
luasan wilayah urban pemukiman (lihat Tabel 5.16). Hal tersebut menunjukkan
bahwa selama kurun waktu sepuluh tahun, perubahan yang paling signifikan
terjadi di kawasan Dadap-Kamal Muara adalah peningkatan wilayah urban di
Dadap sebesar 101,56 %, pertambahan luasan semak dan tanah terlantar sebesar
3.200 %. Konversi lahan yang juga signifikan adalah terbentuknya kawasan hutan
yang merupakan ekses dari dibangunnya perumahan real estate Pondok Indah
Kapuk, yang pengembangannya dilanjutkan sampai ke kawasan Muara Kamal.
Aktivitas reklamasi (penimbunan kawasan pantai) yang dilakukan pada saat
pembangunan kawasan real estate ini kemudian dihijaukan dengan tanaman
mangrove yang sekaligus juga membuat fasilitas marina, tempat mendaratnya
kapal-kapal pesiar (yacht).
Sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas
Tata Ruang dan Bangunan Pemda Tangerang Didin Samsudin, kawasan pantai
yang akan direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR) tersebut yang tertuang dalam Peraturan Daerah No 5
Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah (Suara Pembaharuan Daily
2004a). Sehingga sudah jelas bahwa penetapan kawasan pesisir sepanjang 20 km
dari 50 km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi
hingga pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji adalah untuk kawasan wisata
dengan aktivitas reklamasi yang akan dilakukan sepanjang 10 km dan satu km dari
garis pantai atau sekitar 1.000 hektare. Alasan dilakukannya revisi RUTR tersebut
karena terjadinya perubahan fungsi lahan secara besar-besaran di kawasan tersebut
akibat eksploitasi lahan untuk tambak dan abrasi pantai, hal ini didasarkan foto
udara tahun 2002, dimana kawasan tersebut sudah rusak dan sulit untuk
dipulihkan kembali karena kerusakannya sudah sejauh 600 meter dari bibir pantai.
Akibat abrasinya, lahan di kawasan tersebut tidak lagi produktif dan penataan
ulang lahan dalam bentuk penanggulangan abrasi sia-sia. "Lahan di sana sudah
205
tidak bisa diperbaiki lagi kecuali dengan reklamasi karena lahan yang terkena
abrasi sudah mencapai puluhan ribu hektar," katanya.
Konflik rencana reklamasi yang akan dilakukan Penda DKI belum terlalu
parah terjadi di tingkat grassroot, tetapi masih ditataran para politisi dan
pemerhati lingkungan, sebagaimana disampaikan dalam Sub-bab 5.1 di atas.
Langkah yang sama perlu juga dilakukan oleh Pemkot Jakarta Utara, yaitu
membuka rencana reklamasi Pantura tersebut secara luas, untuk dilakukan kajian
secara ilmiah oleh berbagai fihak yang bersifat netral. Cukup banyak kebijakan
yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta yang semula dianggap kontroversial dan
mendapat tentangan dari berbagai pihak tetapi kemudian dianggap suatu
keberhasilan setelah hasil positif dicapainya; sebagai contoh adalah Program
Pemagaran Kawasan Monumen Nasional. Setelah menunjukkan hasil yang baik,
maka banyak pihak secara tidak langsung mengucapkan terimakasih kepada
206
Pemda DKI, karena Monas yang ada sekarang tampak lebih rindang, lebih bersih,
indah dan menyenangkan untuk dikunjungi.
Mengacu pada Perda Khusus Ibukota Jakarta No. 6 Tahun 1999, dalam Pola
Peruntukan Lahan, pemanfaatan ruang kawasan Pantura Jakarta, Kamal Muara
termasuk Sub-kawasan barat yang terdiri dari Kecamatan Penjaringan dan
Pademangan yang direncanakan akan menampung penduduk sebesar 737.300 jiwa
dengan kepadatan sekitar 112 jiwa/ha pada tahun 2010. Jika dilihat jumlah
penduduk Kecamatan Penjaringan tahun 2003 yang tingkat kepadatannya
mencapai 7.974 orang per km2 (atau sebesar 79,74 orang per ha), maka dapat
diduga sebelum tahun 2010 target 112 jiwa tersebut sudah akan tercapai.
(2) Pantai Baru: melalui pengembangan reklamasi yang terpisah secara fisik
dari pantai lama dengan kegiatan utama jasa dan perdagangan berskala
internasional, perumahan, pelabuhan serta pariwisata.
207
Mengingat sudah jelas tertera dalam RUTR dan revisinya, maka setiap
aktivitas pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan Pantura DKI Jakarta,
sudah saatnya dilakukan secara terbuka dan transparan serta dengan jangka waktu
sosialisasi yang cukup. Sehingga keberhasilan setiap program pembangunan di
DKI Jakarta dengan semua kendala yang dihadapinya dapat menjadi contoh bagi
daerah lain.
(2) Reklamasi meliputi bagian perairan laut yang diukur dari garis pantai
Utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut sehingga mencakup garis
yang menghubungkan titik titik terluar dengan kedalaman laut 8 meter.
Panjang garis pantai Utara Jakarta adalah 32 km.
208
(7) Mengembangkan lahan baru untuk kegiatan bisnis, industri, pemukiman
dan rekreasi.
209
Kondisi PPI/TPI Kamal Muara jauh lebih baik jika dibandingkan dengan
TPI Dadap. Bagaimanapun, di PPI/TPI Kamal Muara sudah terdapat
darmaga dan kolam pelabuhan, serta tempat bongkar muat ikan yang akan
dilelang, sementara di TPI Dadap belum ada, meskipun bangunan koperasi
masih berdiri dan bagian depan yang diperuntukan bagi kegiatan lelang
masih tetap tidak digunakan karena perahu yang berlabuh jauh jaraknya.
Di TPI Kamal Muara, lelang tetap berlangsung mulai jam 04 pagi sampai
jam tujuh atau delapan, tergantung jumlah ikan yang didaratkan. Sebagian
besar ikan diborong oleh para pedagang besar yang membawa mobil sebagai
alat angkut, sementara pedagang kecil mengangkut ikan dengan
menggunakan beca, sepeda, atau gerobak dorong. Pedagang besar memasok
kebutuhan supermarket atau untuk dikirim ke Muara Angke.
210
elit (mal) di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pasar Jakarta
selalu terbuka untuk ikan-ikan yang didaratkan di kawasan tersebut. Dari
keseluruhan ikan yang didaratkan di kawasan Dadap-Kamal Muara, hanya
sekitar 20 % yang masuk ke Pasar Kabupaten Tangerang.
5% 5%
70 %
65 % 15 %
Pasar
10 % Kabupaten 10 %
Tangerang
Gambar 5.8 Pola distribusi ikan yang berasal dari kawasan Dadap-
Kamal Muara
211
nelayan harus membeli lewat tangan kedua (baik eceran maupun pemasok)
dengan harga yang lebih mahal dari harga resmi di SPBU (berbeda antara
Rp 400 Rp 600 per liter solar). Dengan demikian, beban operasional
nelayan menjadi lebih besar. Jalan keluar yang dilakukan sebagian nelayan
adalah melakukan pengoplosan bahan bakar minyak tanah dengan oli,
dengan perbandingan satu liter oli mesin untuk 70 liter minyak tanah.
Penggunaan bahan bakar yang tidak sesuai dengan kebutuhannya ini tentu
saja akan berakibat negatif pada daya tahan mesin; serta juga pada
keselamatan operasional penangkapan secara keseluruhan.
Tabel 5.22 Daftar fasilitas logistik kegiatan perikanan disekitar TPI Dadap
dan Kamal Muara
TINGKAT JARAK DARI (m)
No FASILITAS KETERSEDIAAN TPI TPI KAMAL
DADAP MUARA
1 Air bersih Cukup 1 1
2 BBM Cukup 1 1
3 Toko peralatan Cukup 50 25
penangkapan ikan
4 Depo es Cukup 50 25
5 Toko bahan makanan Cukup 10 10
6 Bengkel mesin kapal Tidak ada - -
7 Montir mesin kapal Cukup 1 1
8 Dok kapal/perahu Cukup
9 Pasar umum Cukup 1.000 2.500
10 Penjual ikan Cukup 25 10
Dari Tabel 5.22 tersebut diperoleh kenyataan bahwa setiap faktor input yang
berpengaruh pada kegiatan penangkapan ikan di sekitar perairan Pulau Jawa
tersedia dengan cukup dan mudah diupayakan pada saat diperlukan. Namun
demikian, masalah sebenarnya adalah kurangnya hasil tangkapan yang
diperoleh jika dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan untuk operasi
penangkapan. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal:
kawasan perairan pantai utara sudah mengalami keadaan tangkap lebih
(overfishing), sehingga kelompok ikan sudah ditemukan;
212
kondisi perairan tepi di pantai utara Pulau Jawa umumnya sudah
tercemar, sehingga kelompok ikan akan menjauh untuk mencari
habitat yang baru yang sesuai dengan persyaratan hidupnya;
semakin menjauhnya gerombolan ikan dari kawasan pesisir
mengakibatkan diperlukannya biaya operasional penangkapan yang
lebih besar, karena harus mencari sumberdaya ikan ke tempat yang
lebih jauh dan dalam jangka waktu yang l.ebih lama
Dari kondisi jalan (termasuk kualitas jalan, lebar, tingkat kemacetan) dan
sarana transportasi dapat disimpulkan bahwa akses transportasi tidak ada
masalah dari dan ke TPI Dadap dan TPI Kamal Muara. Jika ada barang dan
permintaan, maka dukungan transportasi mudah disediakan. Meskipun
demikian, banyaknya kendaraan truk yang berukuran besar dengan muatan
yang berat serta kualitas jalan yang kurang baik telah menyebabkan kondisi
menjadi cepat mengalami kerusakan.
Salah satu isu yang sekarang sedang berkembang di lokasi adalah dirasa
perlu adanya trotoir di ruas Jalan Perancis dan ruas Jalan Dadap-Kamal ke
arah Kosambi, agar orang dapat berjalan dengan tenang. Trotoir sudah
213
dibangun di ruas Jalan Dadap-Kamal ke arah timur, meskipun cukup banyak
dipenuhi oleh para pedagang kaki lima.
5.3.3 Analisis model kelimpahan kapal ikan yang dapat dipindahkan dari
PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Muara Angke ke PPI/TPI Kamal
Muara
Salah satu parameter yang dijadikan ukuran pada suatu pelabuhan perikanan
adalah kapasitasnya, baik menyangkut berapa jumlah kapal yang dapat berlabuh,
jumlah kapal yang dapat ditangani untuk dibongkar muatannya per satuan waktu
(per jam, per hari, atau per minggu), dan juga jumlah kapal yang dapat dipasok
dengan kebutuhan bahan dan alat yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan.
Di PPI/TPI Dadap, kapal ikan tidak dapat berlabuh di tepi sungai dekat TPI.
Selain karena TPI sudah tidak beroperasi lagi, juga pendangkalan sungai
telah menyebabkan kapal tidak dapat mendekati daratan tempat TPI Dadap
berada.
Kapal ikan dapat berlabuh di sepanjang tepi sungai dengan syarat kedalaman
alurnya dapat dilalui kapal tersebut. Namun demikian, pada saat sekarang
ini, sedimentasi di muara sungai telah menyebabkan terjadinya
pendangkalan sehingga kapal yang dapat memasuki alur sungai menjadi
terbatas, kecuali jika sedang terjadi pasang naikair laut. Hal ini juga
menyebabkan kapal ikan lebih suka untuk berlabuh di tepi pantai, untuk
mencegahnya terjebak dan terdampar di dalam sungai sehingga tidak dapat
keluar.
Kondisi di PPI/TPI Kamal Muara jauh lebih baik. Jalur masuk ke kolam
pelabuhan secara rutin (1 kali per tahun sampai tahun 2005) dikeruk untuk
mengangkat lumpur yang mengendap di dasarnya. Namun demikian, kolam
pelabuhan juga banyak digunakan oleh kapal ikan untuk docking, baik
karena kerusakan mesin maupun perbaikan body, sehingga kapasitas
tampung kolam pelabuhannya berkurang.
Faktor lain yang juga berkaitan dengan kapasitas pelabuhan adalah jalan
masuknya. Untuk PPI/TPI Dadap, dua jalur jalan mengapit Kali Perancis,
214
sehingga pada dasarnya bongkar muat barang dapat dilakukan dari kedua
tepi sungai. Kapal-kapal ikan yang mendaratkan hasil tangkapannya di Kali
Perancis sebagian besar merupakan kapal pengangkut kerang hijau.
Di PPI/TPI Kamal Muara, hanya satu sisi tepi sungai yang dapat dilalui
kendaraan. Jadi pada waktu ada kendaraan yang sedang melakukan bongkar
muat barang, maka arus lalulintas sedikit terganggu karena lebar jalan hanya
sebesar 6 meter. Panjang jalan di tepi kolam pelabuhan yang dapat
digunakan untuk melakukan bongkar muat sepanjang 250 meter. Dengan
demikian, pada saat proses bongkar muat hasil tangkap atau bekal operasi
penangkapan ikan, hanya satu sisi jalan juga yang dapat digunakan. Untuk
meningkatkan kapasitas bongkar muat barang dari dan ke kapal ikan,
diperlukan pengadaan fasilitas yang lebih banyak dan baik. Fasilitas-
fasilitas tersebut antara lain:
pipa air bersih dengan banyak kran sehingga satu waktu yang sama
dapat memenuhi kebutuhan kapal sekaligus;
es balok dengan kualitas yang cukup;
SPBU (sistempenyaluran bahan bakar umum) tersedia khusus untuk
kapal ikan, sehingga harga bahan bakar tidak lebih tinggi dari patokan
harga eceran;
Unit perbaikan body dan mesin kapal serta alat tangkap, diperlukan
khusus di areal tertentu agar tidak sembarang kapal dapat melakukan
perbaikan di kolam pelabuhan;
Fasilitas pengerukan alur masuk dan kolam pelabuhan, dengan
tersedianya prasarana ini kondisi kedalaman pelabuhan dapat dijaga
secara rutin;
Fasilitas istirahat bagi awak kapal yang memadai, sehingga setiap
operasi penangkapan dapat dipersiapkan sebaik mungkin untuk
menjamin keberhasilan penangkapan secara optimum.
215
harus ditata ulang. Tanpa memperhitungkan jumlah kapal yang tidak dapat
beroperasi karena kenaikan harga bahan bakar, maka untuk mencapai
efisiensi penanganan kapal oleh TPI Muara Angke, dengan asumsi deviasi
sebesar 5 %, maka jumlah kapal yang harus dialihkan adalah {315 (5 % x
315)} = 299 unit (angka dibulatkan). Untuk mengalihkan kapal tersebut ke
TPI Kamal Muara, maka harus dilakukan rehabilitasi fasilitas pelabuhan,
sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.23.
Tabel 5.23 Daftar fasilitas yang perlu dikembangkan di TPI Kamal Muara untuk
menampung kelebihan kapasitas TPI Muara Angke
KEBUTUHAN
PRASARANA JUMLAH KAPASITAS
A Pabrik es 1 unit 7.000-8.000 balok
B Cool room/chill room 5 unit 750 ton
C Cold storage 1 unit 1.000 ton
D Cool box 2.000 200 ton
3
E Air bersih 3.395 m /bln 5.000 m3/bln
F Sentra pengolahan tradisional (UKM) 250 unit 50 ton
G Sarana/peralatan pengolahan 7 unit 5 ton
H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari
I Kontainer 18 unit 432 ton
Untuk membuat model pergerakan kapal ikan dari TPI Muara Angke dan
TPI Dadap ke TPI Kamal Muara, dibuat suatu matrik pergerakan atribut dari ke
tiga TPI yang terlibat dalam sistem dicantumkan pada Tabel 5.24. Dari Tabel 5.24
tampak bahwa jika kelebihan kapasitas kapal ikan dari TPI Muara Angke dapat
216
dialihkan ke TPI Kamal Muara, maka bilamana pengalihan itu dilaksanakan,
diperlukan pembangunan TPI Kamal Muara dan TPI Dadap untuk pengadaan
fasilitas-fasilitas tersebut. Penurunan jumlah kapal yang berlabuh di TPI Muara
Angke diduga akan membawa dampak sebagai berikut:
(1) Penurunan jumlah hasil retribusi lelang;
(2) Penurunan jumlah pendapatan dari ongkos sandar kapal di kolam
pelabuhan;
(3) Penurunan volume perdagangan sarana dan prasarana penangkapan ikan,
seperti bahan bakar, es, air PAM, dan perbekalan ransum.
Tabel 5.24. Pergerakan atribut TPI Dadap, TPI Kamal Muara, dan TPI Muara
Angke
ATRIBUT TPI MUARA TPI KAMAL TPI DADAP
ANGKE MUARA
(1) Tersedia
1) Kapal ikan
2) Nelayan
3) Bahan bakar
4) Es
5) Cold storage
6) Komplek pengolahan
7) Bengkel/dok
8) toko peralatan tangkap
9) kebersihan lingkungan
10) keamanan/ketertiban
11) Retribusi
12) Land rent
13) Lowongan kerja
14) Pengerukan Kolam
pelabuhan dan alurnya
15) Restoran seafood
(2) Perencanaan
1) Taman Wisata Pasir
Putih Mutiara Dadap
2) Kapal Baruna Jaya
3) GOR Kamal Muara
4) Water front city
5) Pelabuhan peti kemas
Keterangan: = keluar/pindah
= dibangun
= mengalami kenaikan
217
Untuk membandingkan kondisi awal dan kondisi prediksi TPI Kamal
Muara setelah terjadinya pemindahan kapal ikan yang berlebihan, maka dibuat
suatu nilai konversi dari variabel-variabel yang terkait dengan pengembangan
suatu pelabuhan perikanan. Nilai konversi dari variabel tersebut dapat dilihat pada
Tabel 5.25.
Tabel 5.25 Nilai konversi variabel sarana dan prasarana pelabuhan perikanan
di Kamal Muara (kapasitas pelabuhan untuk sebanyak 500 unit
kapal berukuran 50 GT (perubahan dari total bobot kapal 2.310 GT
ke 25.000 GT)1)
218
kapal yang berlabuh di TPI Kamal Muara sebanyak 1.076 buah dengan ukuran > 10 GT
dan 21 unit dengan ukuran 5-10 GT. Diasumsikan bahwa ke 1.076 kapal mempunyai
GT rata-rata sebesar 20 GT dan yang 21 unit sebesar 7,5 GT, maka GT total semua
kapal yang berlabuh di TPI Kamal Muara adalah sebesar 2.310 GT (angka dibulatkan).
2) panjang darmaga = d = {n.L + (n-1) 15,0 + 50,0} m; lebar = 2 B + (30,0 ~ 40,0) m;
dimana n = jumlah kapal yang akan ditampung di darmaga, L = panjang kapal, dan B =
lebar (Murdiyanto, 2002); panjang Kali Kamal yang dapat dimanfaatkan untuk darmaga
sepanjang 400 m, jadi lebar kolam pelabuhan sebesar {(2 x 6) + 40} m = 52 m, atau jika
menghitung panjang kapal maka lebar kolam pelabuhan minimal dua kali panjang kapal,
yaitu sebesar 56 m.
3) = 8-10 kali lebar kapal (Murdiyanto, 2002)
4) = panjang Kali Kamal yang diasumsikan dapat dikembangkan menjadi tempat darmaga
bongkar
5) = menurut Murdiyanto (2002) kedalaman kolam pelabuhan sebesar {jarak lunas kapal dari
dasar kolam (0,8 ~ 1,0) + tinggi draft kapal (2 m) + beda pasang tertinggi dan terendah
(1,16-0,4)+ jarak antara dek kapal dengan lantai darmaga (0,5 ~ 1,5)} m = (1,0 + 2 +
1,12 + 1,5) m = 4,62 m, dibulatkan 5 m
6) = kebutuhan air bersih setiap kapal dengan 30 orang ABK untuk beroperasi selama 20 hari
per trip adalah (20 x 30 x 5 liter) = 3 m3, untuk kebutuhan penanganan ikan di tempat
pelelangan 100 liter per ton ikan.
Jumlah kapal yang pergi melaut sebanyak 50 %, dengan volume hasil tangkap per
kapal sebanyak 10 ton ikan. Jadi kebutuhan air per bulan = (50 % x 500 x 13) m3=
3.250 m3
7) = jumlah BBM per trip 4.000 liter per kapal, jadi untuk 250 kapal per bulan = 1 jt liter
8) = kebutuhan oli rata-rata per kapal per trip = 35 liter, jadi untuk 250 kapal per bulan =
8.750 liter
9) = menurut Murdiyanto (2002), luas gedung pelelangan diperhitungkan berdasarkan rumus
S = NP/R; dimana S = luas gedung pelelangan; N = jumlah produksi per hari {(250 x
10) ton/25 hari} = 100 ton; P = faktor daya tampung ruang terhadap produksi, rata-rata
sebesar (11 ton/m2); = rasio antara ruang lelang dan gedung pelelangan (0,4); R =
frekuensi pelangan per hari (2 kali per hari). Sehingga luas gedung pelelangan yang
diperlukan seluas 1.375 m2
10) = ruang perbaikan alat penangkapan ikan, diasumsikan sebesar ruang pelelangan, yaitu
1.375 m2
11) = ruang bengkel (workshop) dan dockyard diperhitungkan berdasarkan pada laporan
Kurniawati (2005) bahwa kapal purse seine rata-rata melakukan docking sebanyak 2,28
kali setahun selama masing-masing 5,82 hari. Dengan jumlah kapal yang ditampung
sebanyak 500 kapal, maka jumlah dock yang diperlukan mengikuti rumus Nnl/t, dimana
N = jumlah kapal; n = frekuensi perbaikan per hari; l = lama hari docking; dan t = lama
hari kerja per tahun, diasumsikan 300 hari kerja. Jadi jumlah dock yang perlu dibangun
harus mempunyai kapasitas untuk 22,12 unit kapal, dibulatkan sebanyak 22. Dengan
asumsi dimensi kapal sebagaimana tercantum dalam point 1) di atas, ditambah jarak
antara kapal yang didocking sebesar 2 m, maka luas keseluruhan dock sekitar 5.400
m2.
12) = jumlah es balok yang digunakan dalam satu trip diasumsikan sebanyak 500 balok (@ 40
kg)
219
13) = diasumsikan 50 % dari ikan hasil tangkap bermutu baik dan perlu disimpan di cold
storage, sehingga kapasitas cold storage yang tersedia harus sebesar = 50 % x 250
kapal x 10 ton = 1.250 ton.
Rumus perhitungan GT kapal berdasarkan Kepmen DKP No 10/2003
GT = (a + b)0,353; dimana a = volume ruang tertutup di bawah dek; b = volume
ruang tertutup di atas dek).
Model matematika dari hubungan antara jumlah kapal yang dipindah dari
TPI Muara Angke ke TPI Kamal Muara dengan pembangunan (ketersediaan)
fasilitas pelabuhan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
Yi = ki .X
Dimana:
Tabel 5.26 Model perubahan jumlah kapal yang pindah dan fasilitas pelabuhan
yang perlu ditingkatkan
220
Lanjutan Tabel 5.26
2.500 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000
6. Frekuensi keruk 1,01 1,12 1,34 1,56 1,78 2
(perth)
7. Volume keruk 803,8 11.38 32.53 53.69 74.845, 96.00
(m3) 8 1,23 5,92 0,61 31 0
8. Air bersih6)/bulan 1.018, 1.266, 1.762, 2.258, 2.754,1 3.250
(m3) 841 75 56 37 9
9. BBM7) per 305,8 382,9 537,2 691,49 845,75 1.000
bulan(ton) 6 9 4
10. Oli per bulan8) 0,87 1,74 3,49 5,25 7,00 8,75
(ton)
11. R. pelelangan9) 85,89 229,1 515,5 882,0 1.088,5 1.375
(m2) 2 9 6 3
12. Ruang perbaikan 71,01 215,9 505,6 795,4 1.085,2 1.375
alat tangkap 0 7 5 3
ikan10) (m2)
13. Dok/bengkelan11) 144,3 728,3 1.896, 3.064, 4.232, 5.400
(m2) 8 4 25 17 09
14. Es balok)12) 15.92 28.04 52.28 76.52 100.7 125.0
/bulan) 1,11 0,99 0,74 0,49 60,24 00
15. Cold storage13) 10,47 148,1 423,6 699,1 974,5 1.250
(ton) 9 5 0 5
16. R.penanganan14)( 85,89 229,1 515,5 802,0 1.088, 1.375
m2) 2 9 6 53
17. R pengolahan14) 85,89 229,1 515,5 802,0 1.088, 1.375
(m2) 2 9 6 53
Tabel 5.27 Besaran jumlah ikan dan nilai retribusi yang diperkirakan dapat
diperoleh dari operasional 299 unit kapal ikan di TPI Muara Angke
(data diolah dari Tabel 4.10, Tabel 4..11 dan Tabel 4.12).
PARAMETER 2002 2003 2004
1 Total produksi ikan lokal 8.472.920 8.162.744 8.109.187
2. Nilai retribusi lelang dari total 1.235.685,14 1.615.307,18 1.693.584,92
produksi ikan lokal (x Rp 1.000)
3. Jumlah kapal ikan yang tambat 3.262 3.081 3.527
labuh
4. Nilai rata-rata retribusi per kapal 378.812 524.280 480.177
ikan
5. Perkiraan nilai retribusi dari 299 108.340.232 149.944.080 137.330.622
kapal ikan
221
Dari Tabel 5.27 di atas dapat dilihat bahwa untuk jumlah kapal ikan
sebanyak 286 unit, diperkirakan akan dihasilkan nilai retribusi sebesar Rp 137,33
juta rupiah per tahun untuk tahun 2004. Nilai retribusi bulanannya berarti sebesar
Rp 11,44 juta. Secara teoritis, nilai retribusi ini tidak akan hilang dari kas
keuangan daerah Kota Jakarta Utara, karena perpindahan tempat pendaratan kapal
dari TPI Muara Angke ke TPI Kamal Muara masih ada dalam suatu wilayah
administrasi. Tetapi dampak ikutan dari proses pembangunan TPI Kamal Muara
dan pemindahan kelebihan kapasitas tampung TPI Muara Angke tersebut dapat
memancing kegiatan ekonomi yang lebih besar.
Prediksi perubahan jumlah kapal di TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara,
dan TPI Dadap menggunakan Stella dapat dilihat pada Gambar 5.9.
1: kplTPI Muara A 2: TPI Dadap 3: TPI Kamal Muara 4: kplpindahdrMA 5: jmlkpl pindahDd
1: 45000
2: 1954
3: 30000 2
4: 20000
5: 400 1 3
5 3
2
3
1: 30000
2: 1204 3
5
3: 15000 2
4: 10000
5: 250
1 5
4 2
1
3
5 2
1: 15000 1
2: 454 4 4 4 4 5
1
3: 0
4: 0
5: 100
2006.00 2007.00 2008.00 2009.00 2010.00 2011.00
Page 1 Years 10:19 AM Sat, Apr 29, 2006
Gambar 5.9 Kurva laju perubahan keseimbangan jumlah kapal di TPI Muara
Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi
TPI Kamal Muara
Dari Gambar 5.9 tampak bahwa perubahan jumlah kapal di TPI Muara
Angke akan terjadi secara drastis dalam kurun waktu satu tahun pertama, dari
jumlah 815 sekarang ini sampai kembali ke kapasitas awal yang direncanakan
sebanyak 500 kapal. Jika dijadwalkan pemindahan kelebihan kapal ikan tersebut
berlangsung selama lima tahun, maka pada tahun pertama dapat dipindah
sebanyak 2942 GT, dan secara tetap dapat dipindah sebanyak ini pada tahun-tahun
222
berikutnya. Bentuk kurva pindah kapal dan kapal yang tersisa mempunyai bentuk
yang relatif sama. Hanya saja pada tahun pertama tersebut, pemindahan kapal
sebenarnya dapat dilakukan tuntas, hanya saja tergantung pada peningkatan
prasarana dan sarana pelabuhan sesuai dengan yang direncanakan. Sementara itu,
pola perubahan jumlah kapal yang dipindahkan dari TPI Dadap dan jumlah yang
tersisa bentuknya sama.
223
Salah satu causal loop dari model ini yang diprediksikan dapat terbentuk
dicantumkan dalam Gambar 5.11.
+
+ PPI/TPI PEMDA
+ KAMAL MUARA DKI
+
+ + + +
+
PROGRAM PPI/TPI PPI/TPI PEMBANGUNAN
WISATA DADAP MUARA FASILITAS PPI/TPI
BAHARI ANGKE
Gambar 5.11 Causal loop yang diasumsikan dapat terjadi pada proses pindah
kapal ikan dan investasi fasilitas pelabuhan
224
5) Peningkatan aktivitas wisata bahari di Dadap yang melibatkan nelayan
pemandu, secara otomatis akan menyebabkan timbulnya efek ganda, baik
yang berkaitan langsung dengan kegiatan wisata bahari tersebut, seperti:
penyediaan umpan, peralatan pancing, maupun yang tidak langsung seperti
souvenir, sarana parkir, keamanan, rumah makan, dll.
Jumlah kapal ikan di TPI Kamal Muara meningkat secara tajam setelah
tahun pertama. Hal ini terjadi karena adanya kapal yang masuk dari TPI Muara
Angke dan TPI Dadap. Bentuk kurva yang menaiki tajam sampai akhir tahun
kedua diduga karena jumlah unit kapal sebenarnya lebih banyak dari yang tercatat.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya proses penyesuaian diri antara jumlah kala
dengan ketersediaan fasilitas yang tersedia. Artinya persiapan pengembangan
fasilitas di TPI Kamal Muara memang memerlukan waktu yang cukup lama
sebelum siap untuk menampung kapal-kapal pindahan tersebut.
225
(3) Melakukan peremajaan kapal ikan yang sudah tidak layak lagi untuk
digunakan, dengan berlakunya persyaratan ukuran kapal sebesar 50 GT.
(4) Mengembangan fasilitas pelabuhan TPI Kamal Muara sesuai dengan
kapasitas yang direncanakan.
(5) Membentuk suatu lembaga pengelolaan terpadu diantara Dinas Teknis
terkait di Kabupaten Tangerang dan di Kota Jakarta Utara.
Tabel 5.28. Data pola perubahan keseimbangan jumlah kapal (dalam GT) di TPI
Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario
optimasi TPI Kamal Muara dari tahun 2006-2011
Tahun Jml kapal di TPI Jml kapal Jml Kpl Jml kpl Kplp indah
Dadap di TPI TPI Muara pindah dari dr TPI MA
Kamal Angke TPI Dadap
Muara
226
Hal ini mungkin terjadi karena adanya perkembangan yang tidak linier dari
pembangunan fasilitas, baik yang diperlukan oleh TPI Kamal Muara, maupun
fasilitas pengembangan yang dilakukan di TPI Dadap.
227
yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan,
dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar.
Pelabuhan Perikanan Dadap dan Kamal Muara, jika dilihat dari bentuk fisik
dan tataletaknya bukanlah suatu pelabuhan yang ideal yang sejak awal secara
resmi direncanakan untuk dibuka oleh pemerintah (meskipun kemudian beberapa
fasilitas pendukung dibangun di sekitarnya). Karena kondisi muara sungai di
kedua daerah tersebut relatif dangkal dan laju sedimentasi cukup besar. Fungsi
pelabuhan ini berkembang lebih disebabkan oleh kebutuhan terhadap suatu tempat
bersandarnya kapal-kapal ikan yang memerlukan tempat berlindung dari ombak
dan angin.
Menurut Guckian (1974), suatu lokasi akan memerlukan pembangunan
fasilitas pelabuhan jika:
1) Ada kegiatan peluncuran kapal/perahu ke suatu perairan;
2) Ada proses gerakan kapal melalui suatu alur yang dangkal yang berbahaya,
seperti pantai berkarang, arus kencang, bars, surf, dll;
3) Diperlukan suatu prasarana penambatan (berthage) dan berlabuh
(anchorage) kapal/perahu yang aman untuk terapung (afloat);
4) Diperlukan suatu penanganan ikan hasil tangkap, baik dari perahu ke darat
maupun ke kapal/perahu lainnya.
5) Ada kegiatan perbaikan perahu dan suplai kebutuhan awak kapal, seperti
peralatan tangkap, bahan bakar, air, es, dan bahan lainnya;
6) Ada kegiatan penanganan dan pengolahan ikan di pantai;
7) Ada kegiatan pemeliharaan dan perbaikan kapal/perahu di dermaga/
pelabuhan, atau di pantai.
Guckian (1974) menambahkan bahwa pembangunan fasilitas di suatu
pelabuhan harus ditentukan pada dua faktor, yaitu: ukuran dan tipe kapal yang
akan digunakan; dan aktivitas khusus yang memerlukan pelayanan khusus pula.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam suatu pembangunan
pelabuhan, keterlibatan arsitek kelautan, teknik sipil, master penangkapan,
spesialis industri perikanan, ahli ekonomi, dan sosiologi.
Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), suatu kapal ikan yang berlabuh di
sebuah pelabuhan sudah harus mempunyai pertimbangan tentang adanya biaya
228
tunggu. Mereka mempertimbangkan waktu pelayanan bongkar muat menjadi
penentu utama kualitas pelayanan pelabuhan yang disediakan. Kualitas pelayanan
ini diukur dengan keterlambatannya (the delay), yang ditentukan oleh kapasitas
pelabuhan dan permintaan untuk mendapatkan pelayanan pelabuhan tersebut.
Untuk kasus TPI Dadap dan TPI Kamal Muara, pelayanan yang dilakukan
oleh pelabuhan sebenarnya hampir tidak ada. Hal ini tampak karena setiap kapal
ikan melakukan bongkar muat sendiri, baik untuk ikan hasil penangkapannya,
maupun untuk pemuatan ransum dan keperluan operasi penangkapan. Untuk
kegiatan servis mesin dan kapal juga dilakukan oleh awak kapal sendiri, tidak
mengandalkan bengkel khusus, kecuali jika terjadi kerusakan mesin yang relatif
parah sehingga memerlukan montir yang lebih akhli. Oleh karena itu, belum
diperlukan sistem analisis khusus untuk membahas teori antrian di TPI Kamal
Muara.
Menurut Kramadibrata (2002) dan Murdiyanto (2002), kelengkapan
fasilitas dalam suatu pelabuhan perikanan haruslah mencakup dua unsur utama,
yaitu:
(1) Fasilitas pokok (basic facilities), yang mencakup:
a. fasilitas perlindungan (protective facilities), berfungsi untuk
melindungi kapal dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
kondisi oseanografis seperti gelombang, arus, pasang, aliran pasir,
erosi, luapan air di muara sungai, dsb. Fasilitas ini dapat berupa
breakwater, groin, tembok laut, atau bangunan maritim lainnya;
b. fasilitas tambat (mooring facilities), digunakan untuk kapal
bertambat, bongkar muat ikan, berlabuh, dan saat menganggur (idle
berthing). Fasilitas ini dapat berupa dermaga pendaratan, mooring
quays, bollards piers, dan slipways;
c. fasilitas perairan pelabuhan (water side facilities), berguna untuk
pintu masuk pelabuhan dan manuver kapal di areal pelabuhan dan
untuk kapal berlabuh (anchorage). Fasilitas dapat berbentuk alur
atau kanal pelayaran atau kolam pelabuhan.
(2) Fasilitas fungsional terdiri dari berbagai fasilitas yang berfungsi untuk
melayani berbagai kebutuhan lainnya di areal pelabuhan tersebut, seperti
229
bantuan navigasi, layanan transportasi, layanan suplai kebutuhan bahan
bakar minyak dan pelumas, tempat penanganan dan pengolahan ikan,
fisilitas darat untuk perbaikan jaring, perbengkelan untuk perbaikan dan
pemeliharaan kapal, layanan kebutuhan air bersih dan perbekalan melaut
(makanan, sarana penangkapan, dsb), instalasi pengolahan limbah dan
saluran pembuangannya, layanan komunikasi, layanan kesejahteraan sosial
bagi nelayan dan umum, dlsb.
Secara teknis, PPI/TPI Dadap sudah kurang layak lagi untuk dijadikan
pangkalan pendaratan ikan, mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Kelautan
230
dan Perikanan No. PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan
Perikanan (DKP 2006) dan Lubis (2002) tentang fungsi pelabuhan perikanan,
yaitu dalam hal berikut:
1) Tidak lengkapnya fasilitas-fasilitas yang ada di PPI/TPI Dadap, baik fasilitas
pokok, yang meliputi: (1) pelindung seperti breakwater, revetment, dan
groin; (2) tempat tambat seperti dermaga dan jetty; (3) perairan seperti
kolam, dan alur pelayaran; (4) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-
gorong, jembatan; dan (5) lahan pelabuhan perikanan.; fasilitas fungsional
yang terdiri dari: (1) tempat pelelangan ikan sebagai tempat pemasaran hasil
perikanan (tidak difungsikan lagi); (2) tidak ada sistem navigasi pelayaran
dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar,
dan menara pengawas; (3) kurangnya suplai air bersih, es, listrik; (4)
pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel
dan tempat perbaikan jaring dilakukan oleh dan ditempat nelayan sendiri;
(5) tempat penanganan dan pengolahan hasil perikanan tidak tersedia,
demikian juga laboratorium pembinaan mutu; (6) tidak berfungsinya
perkantoran untuk administrasi pelabuhan; (7) belum tersedianya alat
transportasi ikan dan bahan perbekalan penangkapan; serta (8) belum adanya
TPA (tempat pengolahan limbah) seperti instalasi pengolah air limbah
(IPAL).
2) Tidak tersedianya fasilitas penunjang, seperti: (1) balai pertemuan nelayan;
(2) tempat pengelolaan pelabuhan, seperti mess operator, pos jaga, dan pos
pelayanan terpadu; (3) fasilitas sosial dan umum, seperti tempat peribadatan,
dan MCK; (4) kios IPTEK; serta (5) tempat penyelenggaraan tugas
pemerintahan seperti keselamatan pelayaran, K3, bea dan cukai,
keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina
ikan.
231
Untuk kasus PPI/TPI Kamal Muara, kondisinya jauh lebih baik. Di sini
hampir semua fungsi pelabuhan dan tempat pelelangan ikan masih berfungsi
meskipun belum sempurna. Sebagai contoh:
3) Fasilitas penunjang belum lengkap, seperti: (1) kios IPTEK; serta (2) tempat
penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan pelayaran,
keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina
ikan.
232
badan. Bilamana perlu dapat dilakukan revisi, sehingga pada suatu sisi yurisdiksi
yang tumpang tindih atau yang berselisih dapat diminimumkan, dan pada sisi lain
tidak ada isu penting yang tidak ditangani oleh suatu badan yang
bertanggungjawab. Oleh karena itu, sebagaimana dicantumkan dalam
Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for
Responsible Fisheries, CCRF), sebuah mekanisme kelembagaan bagi
pengelolaan pesisir terpadu akan menjamin hal berikut: pertama, ditetapkan
tanggungjawab secara sektoral yang tepat; kedua, ditetapkan tatanan-tatanan
pengkoordinasian/pengintegrasian yang tepat; dan ketiga, badan-badan pada
semua tingkat tetap terus diberi informasi menyangkut kebijakan kawasan pesisir
untuk menjamin pertalian dalam pelaksanaan kebijakan (FAO 1996).
233
alternatif kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang sifatnya tidak
merusak lingkungan; dan untuk menurunkan polusi perairan Teluk Jakarta oleh
pestisida dan pupuk maka kita akan memperkenalkan dan membimbing petani
yang berada di hulu (di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, terletak sekitar 70
hingga 90 km dari pantai) untuk melakukan praktek pertanian berwawasan
lingkungan.
234
statusnya, dukungan politik dan pendanaan) agar dapat menjalankan tugas dan
fungsi dengan baik.
Selain persoalan-persoalan di atas, beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya keterlambatan fungsi BKSP Jabodetabekjur adalah:
1) Hasil rapat koordinasi diantara anggota di dalam BKSP Jabodetabekjur
masih memerlukan waktu pembahasan di daerah masing-masing, kecepatan
proses pembahasan tersebut juga tidak sama.
2) Setelah adanya era otonomi daerah ini, birokrasi pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan pemerintah daerah lain harus melalui proses
pembahasan di kalangan DPRD.
3) Masih adanya perbedaan persepsi dikalangan tokoh-tokoh masyarakat
tentang konsep Jakarta Megapolitan.
Khusus untuk poin 3 di atas, beberapa tokoh masyarakat Jawa Barat berbeda
pendapat tentang konsep pembentukan Jakarta Megapolitan. Sengketa dan
rencana "pencaplokan" wilayah Jawa Barat oleh DKI Jakarta ternyata bukan
terjadi saat ini saja. Menurut Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H {mantan
Sekretaris Eksekutif Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta Bogor Tangerang
Bekasi (Jabotabek)}, wacana seperti itu sudah pernah dilontarkan DKI Jakarta
sejak 1974, saat Gubernur DKI dipegang Ali Sadikin. Namun ide tersebut
ditentang keras Gubernur Jawa Barat saat itu, Solihin G.P. (Anonimous 2006b).
235
kota, maka sebenarnya Jakarta tidak cocok sebagai ibu kota RI. Siapa bilang ibu
kota negara harus besar? Menurut Tjetje sebagaimana dikutif dari PIKIRAN
RAKYAT, beberapa negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Australia, yang
menunjukkan bahwa tak selamanya ibu kota negara adalah kota besar. "Ibu kota
negara seharusnya berada di tempat yang tenang sebagai tempat berpikir untuk
para negarawan. Bukan penuh hiruk pikuk. Konsep ibu kota yang seharusnya
tenang dan hening itu, bahkan telah dikemukakan Presiden RI Soekarno tahun
1950-1960. Menurut Tjetje, saat itu Soekarno pernah mengusulkan kota
Palangkaraya Kalimantan Tengah sebagai ibu kota RI, bukan Jakarta (Anonimous
2006b).
Selama ini, lembaga resmi yang ditunjuk oleh Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Tangerang untuk mengelola kegiatan perikanan di PPI/TPI
Dadap adalah KUD Mina Bahari. Namun demikian, setelah meninggalnya ketua
KUD tersebut tahun 1997, informasi dari nelayan menyebutkan bahwa TPI Dadap
tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelelangan ikan. Sama sekali tidak ada
236
aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, gedung TPI juga menunjukkan sebagai
tempat yang sudah lama tidak dihuni.
Untuk mengaktifkan kembali pengelolaan PPI/TPI Dadap sesuai dengan
aktivitas yang direkomendasikan, maka lembaga pengelolanya haruslah berupa
kantor bersama, dimana terdapat wakil-wakil dari instansi-instansi yang berkaitan
dengan aktivitas tersebut. Aktivitas-aktivitas tersebut meliputi:perikanan yang
mengarah pada wisata (sport fishing), perhubungan, penelitian, perdagangan, dan
pariwisata. Untuk PPI/TPI Kamal Muara, setelah dilakukan rehabilitasi sesuai
dengan kapasitas yang akan diembannya, maka pengelolaannya diharapan
dipegang oleh UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan
Pendaratan Ikan, sebagaimana yang sekarang berlaku di TPI Muara Baru dan TPI
Muara Angke. Hal ini perlu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan efisiensi
dan koordinasi secara profesional diantara pelabuhan-pelabuhan perikanan besar
yang ada di DKI Jakarta. Rekomendasi kelembagaan pengelola TPI di Dadap dan
Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.29.
Tabel 5.29 Aspek kelembagaan pengelola TPI Dadap dan Kamal Muara
237
Dalam bentuk diagram, kelembagaan yang diusulkan untuk dibentuk dalam
rangka pengelolaan kawasan Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam
Gambar 5.12.
LIPI/BPPT
KANTOR
BERSAMA
Catatan:
1 = Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten
2 = Bupati/Walikota
3 = Sekretaris
4 = Sekretariat
5 = SUB BAGIAN TATA RUANG & PERTANAHAN
6 = BAGIAN PEREKONOMIAN
7 = BAGIAN PEMERINTAHAN DAN KESRA
8 = BAGIAN UMUM
9 = SUB BAGIAN PERMUKIMAN, SARANA & PRASARANA
10 = SUB BAGIAN SUMBER DAYA AIR, KEBERSIHAN & LINGKUNGAN HIDUP
11 = SUB BAGIAN TRANSPORTASI & PERHUBUNGAN
12 = SUB BAGIAN AGRIBISNIS, KOPERASI & USAHA KECIL MENENGAH
13 = SUB BAGIAN INDUSTRI, PERDAGANGAN, PERTAMBANGAN & INVESTASI
14 = SUB BAGIAN KEPENDUDUKAN, KETENTRAMAN & KETERTIBAN
15 = SUB BAGIAN KESEHATAN & PENDIDIKAN
16 = SUB BAGIAN SOSIAL & TENAGA KERJA
17 = SUB BAGIAN
18 = PROGRAM DAN KEUANGAN
19 = SUB BAGIAN RUMAH TANGGA & PERLENGKAPAN
20 = SUB BAGIAN TATA USAHA & KEPEGAWAIAN
238
Lembaga khusus ini (disebut Kantor Bersama) berfungsi untuk
mengakomodasikan dan mengkoordinasikan semua kepentingan dari setiap
institusi yang berkaitan dengan kedua PPI/TPI tersebut. Keberadaan BKSP
Jabodetabekjur dapat lebih mempercepat terlaksananya pengelolaan wilayah
Dadap-Kamal Muara secara terpadu, mengingat sudah lengkapnya bagian-bagian
dalam BKSP yang dapat mengakomodasi setiap kegiatan yang akan direncanakan
dan yang sudah dilakukan di kawasan tersebut.
Tugas Kantor bersama ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Menterjemahkan semua kebijakan yang ditetapkan oleh Pemda Kabupaten
Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara melalui dinas-dinas teknis terkait;
(2) Menjalankan program kerja di kedua PPI/TPI tersebut;
(3) Melaporkan semua perkembangan yang terjadi selama tahun anggaran
yang sudah lewat kepada atasan-atasannya, dengan tembusan kepada
Bupati Tangeran dan Walikota Jakarta Utara;
(4) Ikut secara aktif dalam diskusi pleno yang diselenggarakan oleh semua
instansi terkait dari kedua pemerintah daerah tersebut, untuk
mengklarifikasikan semua perencanaan dan pelaksanaan program yang
sudah berjalan serta untuk penyusunan dan perbaikan program selanjutnya;
Dalam pengelolaan kawasan pesisir, salah satu dari fungsi kelembagaan dan
hukum yang paling penting adalah memastikan adanya suatu mekanisme untuk
penyelesaian sengketa. Berhubung sumber daya pesisir semakin langka. Perlu di
pertimbangkan bagaimana menyelesaikan tuntutan yang bersaing diantara sektor-
sektor, baik yang ada di masa kini maupun masa depan (FAO 1996).
239
5.5 Analisis Opini Masyarakat tentang Kondisi Perikanan di Kawasan
Dadap-Kamal Muara
Dari Tabel 5.30 tampak bahwa sebagian besar responden adalah berstatus
nelayan jaring rampus dan jaring kampung dengan rata-rata panjang 10 m per pis
240
dan jumlah jaring per unit sebanyak 10 pis (lembar). Bahan jaring adalah snar
nilon, dimana frekuensi perbaikan yang dilakukan bervariasi antara harian sampai
per enam bulanan, tergantung pada tingkat kerusakan dan frekuensi
penggunaannya. Tenaga kerja yang memperbaiki jaring umumnya dilakukan oleh
ABK sendiri, atau tenaga khusus yang diupah untuk pekerjaan tersebut. Upah
perbaikan jaring juga bervariasi tergantung tingkat kerusakan yang dialami.
Kapal yang digunakan nelayan untuk pergi melaut semuanya terbuat dari
kayu, dengan dimensi antara 6-10 m, lebar antara 1,6-1,7 m, dan tinggi antara 0,5-
0,8 m. Bobot ditaksir antara 100-200 kg. Pemeliharaan dan perbaikan kapal
dilakukan rata-rata setiap tahun dua kali.
Mesin penggerak yang digunakan umumnya buatan Cina merek Dongfeng
yang berbahan bakar solar dan bensin serta buatan Jepang merek Honda, dengan
tenaga berkekuatan antara 5-21 hp dan berbahan bakar bensin. Perbaikan mesin
dilakukan antara setiap dua bulan sampai satu tahun sekali, tergantung pada merek
mesin kapal yang digunakan. Secara umum, mesin buatan cina memerlukan
perawatan mesin yang lebih sering dibandingkan dengan mesin buatan Jepang.
Operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan yang menjadi
responden penelitian ini umumnya hanya di sekitar perairan Kepulauan Seribu,
khususnya di sekitar Pulau Bidadari, Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa, dan
Pulau Bokor, atau ke areal dimana perjalanan antara 2 sampai 8 jam dari TPI,
tergantung kekuatan motor penggerak perahunya. Biaya yang dikeluarkan oleh
nelayan setiap kali melakukan penangkapan ikan dapat dilihat dari Tabel 5.31.
Tabel 5.31. Rangkuman biaya operasi penangkapan ikan per trip di kawasan
Dadap-Kamal Muara berdasarkan responden nelayan tahun 2004
241
Rata-rata biaya operasional per kapal ikan 386.250
Nelayan yang beroperasi pulang hari tersebut ada yang berangkat mulai
jam 02 dini hari, kemudian ada yang berangkat jam 04 subuh (63,3 %), kemudian
ada juga yang berangkat jam 07 atau jam 08 pagi. Sebagian besar nelayan
tersebut pulang melaut sekitar jam 17 (73,3 %), sebagian lagi ada yang sudah
pulang jam 11 pagi. Kegiatan penangkapan ikan umunya dilakukan sebanyak 20
kali per bulan. Sebagian besar nelayan berpendapat bahwa musim ikan puncaknya
terjadi antara bulan Juli sampai Oktober, musim biasa dari Februari sampai Juni,
dan bulan-bulan sisanya merupakan musim paceklik.
Selama aktivitas penangkapan, nelayan Dadap-Kamal Muara seringkali
bertemu dengan nelayan lain yang umumnya berasal dari Indramayu. Alat
tangkap yang digunakan para nelayan Indramayu tersebut juga berupa (baik jaring
cincing, gill-net, maupun jaering udang) dan pancing.
Sebagian besar nelayan responden melakukan pendaratan perahunya di
Muara Angke (66,7 %) dan Kamal Muara (63,3 %). Hanya dua responden yang
kadang-kadang mendaratkan ikannya di Muara Baru. Alasan nelayan untuk
mendaratkan ikannya di Muara Angke dan muara Baru disebabkan oleh layaknya
TPI Dadap untuk tempat pendaratan ikan, karena selain fasilitas yang kurang
memadai juga karena pendangkalan alur sungai.
Nelayan ternyata juga kadang-kadang menjual ikannya di tengah laut (73,3
%). Ada beberapa alasan yang dikemukakan nelayan, antara lain: pemilik kapal
tidak mengetahui (70,0 %), harga jual lebih baik (66,7 %). Selain menjual sendiri,
nelayan kadang-kadang juga mnitipkannya pada sesama nelayan di tengah laut
untuk dijualkan (66,7 %).
Kebijakan Pemda Kabupaten Tangerang melalui RTRW Kabupaten
Tangerang tahun 2000 menetapkan bahwa areal pertambakan yang ada di
Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan Paku Haji akan direlokasi ke Kecamatan
Mauk dan Kecamatan Kronjo. Namun demikian, tahun 2000 tersebut dalam
perencanaannya juga menyatakan bahwa di muara Kali Perancis akan dibangun
TPI. Namun demikian dengan keluarnya Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002
tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, maka prioritas pembangunan kawasan
Dadap tidak lagi ditujukan untuk mengembangkan perikanan tetapi sudah pada
242
persiapan pengembangan kawasan wisata. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah
program yang direncanakan dan dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan
yang hanya sedikit sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.32.
Tabel 5.32. Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang Tahun
Anggaran 2003.
243
Penduduk berpendapat bahwa pemecahan masalah lingkungan dapat
dilakukan dengan cara pengerukan sungai (92,9 %) dan pembenahan lingkungan
(14,3 %). Pembenahan lingkungan dilaksanakan secara konkrit dengan perbaikan
lingkungan (50,0 %), penataan lingkungan perumahan (28,6 %), dan beberapa
aktivitas lainnya (21,4 %) seperti penyuluhan, penataan lingkungan oleh Pemda,
serta kerja sama pemerintah dan masyarakat. Sementara itu, untuk mengatasi
masalah kerawanan sosial, penduduk mengusulkan untuk menghilangkan
minuman keras (40,0 %), menghilangkan WTS (40,0 %), keamanan terpadu (40,0
%); dan melaksanakan siskamling terpadu (20,0 %). Cara mengatasi
permasalahan keamanan lingkungan yang rawan diusulkan dengan cara tindakan
pemberantasan pelacuran dan perjudian (57,1 %), alih profesi (50,0 %), serta
tindakan lainnya seperti pendekatan sosial dan keagamaan, serta memberantas
perdagangan minuman keras (21,4 %). Untuk mengatasi permasalahan
transportasi hasil perikanan yang terganggu penduduk mengusulkan secara bulat
bahwa alat angkutan harus merapat ke TPI (100,0 %).
Nelayan yang tinggal di sekitar TPI Dadap dan Kamal Muara tidak hanya
apatis menghadapi kesulitan hidup sehari-hari yang dihadapinya, tetapi juga
berharap adanya peningkatan taraf hidup nelayan (60 %). Sebagian kecil dari
mereka (6,7 %) menginginkan adanya upaya untuk meningkatkan taraf hidupnya,
tanpa merinci apa bagaimana peningkatan taraf hidup itu dapat terjadi. Namun
demikian, beberapa upaya perbaikan yang diduga dapat meningkatkan taraf hidup
nelayan dan keluarganya menurut mereka adalah:
(1) TPI/PPI tidak jauh dari AUP, ada harapan bahwa mahasiswa dapat lebih
berperan aktif dalam menanggulangi permasalahan dalam kehidupan
nelayan sehari-hari;
(2) TPI/PPI diatur sesuai dengan kondisi wilayahnya masing-masing, untuk
kawasan Dadap dan Kamal Muara diharapkan adanya koordinasi dari
Dinas Perikanan setempat untuk melakukan distribusi bongkar muat kapal
dari TPI yang padat ke yang kosong, sehingga kegiatan ekonomi primer
dan sekunder dapat tetap berjalan; .
(3) Adanya kesinambungan generasi nelayan, masih terdapat keinginan
sebagian besar nelayan untuk menjadikan anak yang mereka miliki ikut
244
menjadi nelayan dan membantu menopang kehidupan sehari-hari yang
semakin sulit ini;
(4) Pemusnahan alat tangkap trawl, kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa para nelayan tradisional masih harus berebut ikan dengan lawan
yang tidak sepadan, sehingga semakin terpuruk karena lingkungan
perairan yang buruk menyebabkan kelompok ikan semakin jauh dari
pantai ditambah kemampuan armada perikanan dan modal yang terbatas;
(5) Menindaklanjuti aspirasi nelayan, dari pengalaman ternyata banyak sekali
aspirasi nelayan yang tidak ditindaklanjuti tanpa alasan yang jelas;
(6) Pengerukan Kali Perancis dan Kali Kamal sudah diajukan nelayan
beberapa tahun yang lalu, dan sejak itu sudah menjadi aspirasi nelayan
namun tidak ada program pengerukan yang tuntas.
Keberadaan TPI Dadap dan Kamal Muara yang relatif berdekatan tersebut
juga mengundang komentar responden. Sebanyak 71,4 % tetap menginginkan
adanya pemisahan kedua TPI/PPI sesuai UU. Hanya sebanyak 14,3 %
menyatakan bahwa hal tersebut tergantung masing-masing wilayah, mau digabung
atau mau tetap dipisah. Sebanyak 14,3 % lainnya memberikan beberapa pendapat
yaitu: 1) setiap keputusan yang berkaitan dengan TPI sebaiknya melibatkan
nelayan dan penduduk lokal; 2) prospek TPI masih bagus tetapi perlu
menggunakan tenaga profesional; 3) sungai sudah tidak layak, sering banjir saat
pasang atau hujan, sehingga perahu tidak bisa mendarat.
Responden juga berpendapat bahwa kedua TPI yang berdekatan tersebut
sangat merugikan (100 %), dengan alasan tidak sesuai UU OTDA (78,6 %);
menimbukan dampak sosial (71,4 %); dan menyatakan perlu adanya otonomi
masing-masing wilayah. 14,3 %. Sementara itu berkaitan dengan isu bahwa di
kawasan Dadap akan dibangun pelabuhan peti kemas, maka seluruh responden
(100 %) berpendapat bahwa lebih baik menggabungkan kedua TPI (Dadap dan
Kamal Muara menjadi satu Pelabuhan Perikanan Terpadu (PPI) untuk wilayah
Jakarta-Tangerang, sehingga limpahan kepadatan antrian kapal untuk bongkar
muat yang terjadi di TPI Muara Angke dapat dipindahkan ke Kamal Muara.
Sebagian dari responden juga ada yang tetap bersikukuh untuk menggunakan TPI
Dadap sebagai tempat berlabuh. Responden juga berpendapat bahwa ada
245
kemungkinan terjadinya kecemburuan sosial diantara kedua komunitas nelayan
yang bertetangga tersebut (85,7 %).
Sebagai upaya untuk ikut urun rembuk dalam rangka memperbaiki taraf
hidupnya, nelayan dan penduduk lainnya memberikan beberapa saran,
sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.33.
246
Lanjutan Tabel 5.33
247
Dari Tabel 5.33 tampak bahwa sebagian besar nelayan (66,7-70,0 % %)
berkeinginan agar Pemerintah membangun fasilitas pengadaan BBM, perbaikan
kapal (dock), pabrik es dan cold storage di sekitar TPI, tentu saja dengan harga
yang terjangkau., selain itu ada aktivitas rutin pengerukan alur Kali Kamal dan
Kali Perancis. Hal lain yang menjadi perhatian masyarakat adalah adanya
keterpaduan pengelolaan TPI Dadap dan Kamal Muara, antara Dinas Perikanan,
KUD, dan syahbandar.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan masyarakat nelayan di kawasan
tempat tinggalnya tersebut, masyarakat menyatakan berbagai pendapatnya yang
ditujukan kepada Pemda Kabupaten Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara serta
Pemda Provinsi Banten dan DKI Jakarta, sebagaimana tercantum dalam Tabel
5.34.
248
Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa semua responden setuju
masalah paling besar yang mereka hadapi di kawasan Dadap Kamal Muara
adalah: polusi lingkungan, kekumuhan lingkungan pemukiman, dan dampak sosial
dari kekumuhan (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.).
Timbulnya masalah tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) Tidak jalannya fungsi pemerintah dalam pelayanan kepada masyarakat
yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan fisik dan sosial
(2) Belum sempurnanya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan dan
ketertiban lingkungan fisik dan sosial
(3) Kurangnya prasarana dan sarana pembersihan dan ketertiban lingkungan
(4) Adanya aktivitas proyek yang mempersulit upaya pembersihan dan
ketertiban lingkungan
249
menyatakan bahwa seluruhnya (100 %) pernah mendengar tentang rencana
pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya. Namun demikian, ternyata
informasi tersebut tidak ada kelanjutannya
Berkaitan dengan rencana Pemda Kabupaten Tangerang untuk
pembangunan Pelabuhan Peti Kemas di bekas TPI Dadap, sebagian besar
responden menyatakan tidak setuju (92,9 %), dan hanya 7,1 % yang menyatakan
setuju. Alasan penolakan yang dismpaikan responden adalah: 1) masih adanya
nelayan yang tinggal di areal TPI (92,9 %); 2) kalau TPI sudah tidak layak
dipindahkan ke sebelah barat sungai (71,4 %). Pendapat yang lainnya menyatakan
setuju (14,3 %) adalah menyetujuinya dengan alasan dapat memajukan Desa
Dadap, meskipun kalauTPI dipindah harus dengan kesepakatan KUD dan
nelayan). Jika seandainya Pelabuhan Peti Kemas Dadap itu tetap dibangun, maka
pendapat responden adalah: 1) seluruhnya (100,0 %) bersepakat untuk tetap
tinggal di tempat sekarang, baik tetap pada pekerjaan sekarang atau akan mencari
kerja lain. Namun demikian, sebagian kecil (38,5 %) dari responden tersebut juga
menyatakan akan pindah ke tempat lain agar tetap dapat menekuni pekerjaan yang
sekarang, yaitu di lokasi tempat akan dibangun TPI.
250
(4) Didasarkan pada informasi yang akurat dan dapat diakses serta informasi
ekosistem yang dapat dimengerti.
251
(1) Tercapainya efisiensi waktu pengadaan bahan baku (baik berupa peralatan
untuk kegiatan penangkapan dan budidaya ikan, maupun untuk kegiatan
pasca panen);
(2) Tercapainya efisiensi pemasaran bahan baku dan produk yang dihasilkan
oleh kegiatan industri pasca panen;
(5) Karena kawasan industri perikanan terpadu ini dapat dibangun terpisah
dari kawasan pemukiman penduduk sekitarnya, maka keamanan
lingkungan lebih mudah untuk ditanggulangi, baik secara swakarsa
maupun dengan memanfaatkan tenaga keamanan resmi (pihak kepolisian).
252
(3) Pasca panen, yang mencakup unit-unit penanganan dan pengolahan ikan,
pabrik es, cold storage, perbekalan {alat penanganan dan pengolahan,
bahan bakar, bahan tambahan makanan, perbengkelan (bengkel mesin
pengolahan), berbagai peralatan pembantu, dll.}, laboratorium analisis
mutu bahan baku dan produk yang dihasilkan;
(4) Budidaya, yang mencakup unit-unit pembenihan (hatchery), pembesaran,
pakan, instalasi pengatur air (kelimpahan dan kualitas), laboratorium
analisis penyakit ikan dan baku mutu air, dll.;
(5) Perkantoran, yang mencakup unit-unit pemasaran, promosi, keamanan,
kesyahbandaran, dll.
(6) Prasarana dan sarana transportasi;
(7) Prasarana dan sarana tenaga listrik dan air serta BBM;
(8) Masyarakat sekitar, sebagai sumber tenaga kerja baik bagi kegiatan
penangkapan, budidaya, dan pasca panen serta pemasaran.
253
Sebagaimana tercantum dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Kabupaten Tangerang (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001), penetapan Dadap
sebagai daerah wisata yang mencakup aktivitas:
(1) wisata keluarga:
1) waterfront, meliputi dermaga nelayan, tempat pelelangan ikan, pasar
ikan, dan pasar sayur
2) daerah komersial, meliputi restoran, penginapan, play ground dan
tempat olah raga terbuka, taman-taman, serta tempat parkir.
(2) Wisata lahan pertanian dan tambak
(3) Pembenahan kegiatan-kegiatan hiburan
(4) Pembukaan gerbang tol Jakarta-Cengkareng ke arah Dadap
(5) Perbaikan jalur jalan
(6) Pengadaan air bersih
(7) Pengadaan jaringan infrastruktur
Disamping rencana-rencana sektor pariwisata tersebut di atas, kebijakan
sektor perhubungan (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001) adalah:
(1) Pembangunan fasilitas pergudangan di Kecamatan Kosambi dan pelabuhan
peti kemas di sekitar muara Kali Perancis;
(2) Membangun Dermaga Wisata Bahari di kawasan Wisata Tanjung Pasir.
Sektor perikanan dan kelautan juga mempunyai beberapa rencana di kawasan
pantura tersebut, yakni:
(1) Relokasi kawasan pertambakan dari Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan
Paku Haji, ke Kecamatan Mauk dan Kronjo;
(2) Membangun TPI dan pelabuhan nelayan di muara Kali Perancis.
254
perikanan yang berlangsung di TPI Dadap perlu dipindahkan ke TPI Kamal
Muara. Alasan utama pemindahan aktivitas perikanan ini adalah:
(1) Jarak kedua TPI ini terlalu dekat, yaitu hanya 700 m lewat laut;
(2) TPI Dadap sudah tidak aktif lagi sejak Ketua KUD Mina Bahari meninggal
tahun 1997;
(3) Kali Perancis sudah sangat dangkal sehingga kapal ikan hanya dapat
masuk pada saat laut pasang;
(4) Adanya rencana pembangunan kawasan wisata Pantai Mutiara, darmaga
Kapal Riset Baruna Jaya, kapal pesiar (yacht), dan kapal peti kemas;
(5) Alih fungsi TPI Dadap menjadi pelabuhan yang mengkoordinasikan kapal
penelitian Baruna Jaya, kapal peti kemas, kapal pesiar, kapal angkutan ke
dan dari Kepulauan Seribu, serta perahu-perahu nelayan yang berubah
fungsi menjadi perahu untuk wisata air.
Tabel 5.27. Daftar fasilitas pelabuhan yang perlu dibangun di TPI Dadap dan TPI
Kamal Muara setelah rencana penataan.
255
No FASILITAS & DIMENSI TPI Dadap TPI Kamal Muara
1 Kapasitas awal - 15 motor tempel
2. Beban sekarang (jumlah < 5 GT = 55 unit > 10 GT = 1.097
unit kapal) 5-7 GT = 227 unit 5-10 GT= 21 unit
7-20 = 6 unit
3. Kapasitas yang Dapat menampung Kapal 500 kapal ikan
direncanakan Riset Baruna Jaya (300 dengan rata-rata
GT), kapal peti kemas, bobot 50 GT.
dan kapal pesiar
4. Pengerukan kolam kedalaman minimal 7 m kedalaman
pelabuhan dan jalur minimal 5 m
pelayaran
5. Pembangunan darmaga 176 m2 176 m2
sandar
Pembangunan kolam 24.000 m2 24.000 m2
pelabuhan
6. Tempat pelelangan ikan - 1.375 m2
7. Tempat penanganan ikan - 1.375 m2
8. Tempat pengecer/pengolah - 340 m2
ikan
9. Pembangunan pabrik es - 1 unit, kap, 4.000
balok per 24 jam
10. Pembangunan cold storage - 1 unit, kap. 1.250
ton
11. Pembangunan SPBU 1 unit, kap. 40 ton per 1 unit, kap. 40 ton
hari per hari
12. Bengkel/dok 1 unit 5.400 m2
13. Gudang alat perikanan 1 unit 5 unit
14. Pujaseri 24 unit 24 unit
15. Pos jaga 2 unit 1 unit
256
2) Moral pegawai yang lebih mengedapankan kepentingan pribadi dan
kelompoknya dibandingkan dengan hasil akhir yang harus dicapai dari
kegiatan tersebut. Hal ini mengakibatkan kualitas pekerjaan yang dilakukan
sangat rendah, karena mengharapkan kegiatan yang sama diwaktu yang akan
datang;
3) Sanksi hukum yang belum benar-benar ditegakkan secara adil dan merata
(tidak melakukan tebang pilih). Hal ini terjadi karena juga aparat hukum
dan aparat keamanan belum benar-benar bekerja bersih;
4) Keteladanan pimpinan yang berkaitan dengan hidup jujur, sederhana, dan
bersih, masih belum umum dan kurang diekspose oleh media massa.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, beberapa hal dapat
dilakukan antara lain:
1) Menaikan gaji pegawai sampai pada tingkat dimana pegawai pada semua
tingkatan tidak lagi memikirkan untuk mencari tambahan penghasilan untuk
mencukupi kebutuhan primer (termasuk biaya pemeliharaan kesehatan dan
pendidikan anak);
2) Setiap pekerjaan dan tugas yang dilakukan di kantor adalah suatu kewajiban
bagi pegawai tersebut dan tidak akan mendapatkan tambahan penghasilan.
Dia bertanggungjawab terhadap aspek adminstrasi dan kualitas pekerjaan
tersebut.
3) Penghargaan pemerintah kepada pegawai harus didasarkan pada kejujuran
dan prestasi kerja yang berlandaskan kelestarian lingkungan, tidak hanya
didasarkan pada nilai uang semata;
4) Pemerintah harus menerapkan sanksi hukum secara adil dan merata.
257
1. Perikanan Instalasi air bersih Pembangunan
pabrik es fasilitas PPI Kamal
mesin penghancur es Muara
coldstorage perumahan nelayan
memfungsikan gudang untuk bengkel mesin dan
produk-produk perikanan dock
mengganti fungsi TPI Dadap tempat perbaikan alat
menjadi pelabuhan wisata tangkap
pantai dan laut rumah sakit
pengerukan dasar Kali pengerukan dasar
Perancis secara reguler Kali Kamal secara
Melakukan penataan lokasi reguler
budidaya kerang hijau
258
Lanjutan Tabel 5.28
No AKTIVITAS PEMDA PEMKOT
KAB. TANGERANG JAKARTA UTARA
2. Wisata laut Pendidikan pemandu wisata Penyiapan objek
menyediakan perahu untuk wisata laut
kegiatan wisata sarana keselamatan
rumah makan & restoran wisata laut
seafood menyiapkan objek
wisma/hotel untuk wisatawan wisata mangrove,
toko peralatan wisata laut
3. Prasarana Galangan kapal kayu dan fiber Toko peralatan tangkap,
dan Sarana glass, SPBU khusus
penangkapan
4. Kawasan melakukan koordinasi Menyiapkan kawasan
konservasi dengan kecamatan lain yang mangrove sebagai
memiliki kawasan konservasi daerah konservasi
yang memungkinkan untuk memelihara areal-
menjadi objek wisata alam: areal konservasi laut
Pulau Cangkir (Kec. Kronjo),
Tanjung Kait Kec. Sukajadi,
Tanjung Burung dan Tanjung
Pasir (Kec. Teluk Naga),
Arukan/Muara dan
Salembaran Jati (Kec.
Kosambi).
259
5.3.4 Aspek ekonomi-sosial kawasan pesisir Dadap-Kamal Muara
Tabel 4.22 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per
hari di lingkungan TPI Muara Angke tahun 2005 sebelum
kenaikan harga BBM (Disnakkanlut 2005).
No JENIS JUMLAH NILAI JUMLAH KET.
KEGIATAN/ BURUH/ TRANSAKSI TRANSAKSI
PELAYANAN UNIT HARIAN HARIAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Transaksi TPI 70 orang - 250.000.000
Anak buah 60 35.000 2.100.000
peserta lelang
2 Bahan bakar 112 ton 198.000.000 1.650/lt
Buruh 31 56.989 1.766.667
3 Es balok 8.000 balok 96.000.000 12.000/blk
4 Kegiatan tambat 18 100.000 Perda No
labuh 3/99
5 Tryas (tryaze, 600 unit 300.000
penyortiran))
6 Buruh
dilingkungan TPI
Buruh kuning 34 25.000 850.000
Buruh biru 32 25.000 800.000
260
Lanjutan Tabel 4.22
261
Lanjutan Tabel 4.22
Dari Tabel 4.22 tersebut tampak bahwa total nilai transaksi harian di TPI
Muara Angke dapat mencapai Rp 904.975.258. Jumlah transaksi ini
menjadi jauh mengecil pada saat terjadinya kenaikan bahan bakar sampai
dua kali dalam tahun 2005 ini, yaitu harga solar dari Rp 1.650 naik
menjadi Rp 2.300 pada bulan April, kemudian pada bulan Oktober naik
kembali menjadi Rp 4.300.
262
Data potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di
lingkungan TPI Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM dicantumkan
dalam Tabel 4.33
Tabel 4.33 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di
lingkungan TPI Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM.
Ditinjau dari aspek land rent, nilai lahan di daerah penelitian berubah dari
tahun ke tahun, sesuai dengan perkembangan. Data perubahan harga lahan di
sekitar Kawasan Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.2.1.2.1.
JARAK DARI Harga lahan per meter di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal
PUSAT Muara
KEGIATAN
97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
1.
263
2
JARAK DARI Harga kontrakan rumah/toko per meter di sekitar TPI Dadap dan
PUSAT TPI Kamal Muara
KEGIATAN
97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
1.
VMPi = Po x MPi
dimana:
As the rent - bid curve represents the willingness for the urban inhabitant to con
264
Cross sectional land value data along the corridor were collected for each 100
meters resulting 107 x 5 set data to create three-dimensional equation as
formulated in the equation (3) above. The research collected market price data
from respective land use since the current tax-object sales value (NJOP: Nilai Jual
Obyek Pajak), can hardly be used to represent land value. The data collection has
a specific challenge, particularly in Padang, for identifying market price for land
belong to the ethnic clan, instead of individual (Ulayat Land: indigenous land
ownership belong to the traditional clan/family - often not transferable and
saleable).
The data were collected and categorized into two groups, namely: (1) land located
at developed corridors, and (2) land located at the proposed (under-developed)
corridor. When the data were plotted graphically, they were sparsely distributed.
For both aggregate and disaggregate analysis, a rent-bid curve can be obtained.
Figure 5 below demonstrates the aggregate rent - bid curve for developed and
underdeveloped land along corridor. Similar graph was produced for cross
sectional land value. The equations for the land value are as follows:
The aggregate analysis shows that the equation for both under-developed and
developed corridor yield satisfactory R2.
Figure 5 Rent - bid Curve for the City of Padang along the Corridor
possible to estimate the change in the land value. Assuming the influence with is
500 meters, and the road corridor is calculated between 3+000 and 20+000, the
calculation of land benefit along proposed road corridor yields a total benefit of
Rp 526,454,333,231 for the whole corridor. Three-dimensional graphs for with
and without project case are shown in Figure 6. It is important to note that the
above land development benefit is "one-off" benefit. It means that the benefit
could only be exploited only at one time, or spread over the period of analysis.
Estimating the rent - bid curve and utilizing equations (4) and (5) above, it is now
265
Internalization of land benefit into project appraisal will further enrich the current
road investment externalities besides environment and safety.
Using the proposed method, the development benefit in the case of Padang urban
road project produces Rp 526.454 billion worth of land value change. Significant
increase in the land value from road investment as shown in the case of Padang
shows that this renewed and replicable methodology encourages creative public -
private partnership for urban road infrastructure for many other Indonesian cities.
Future research should be directed to integrate the diminishing impacts of road
investment along corridor width using discrete parcel instead of a continuous
function. The integration will pave a new way for dynamic modelling of
measuring development benefit to be share in more equal manner by private land
developers.
de la Barra, Tomas. 1989. Integrated Land Use and Transport Modelling:
Decision Chains and Hierarchies. Great Britain: Cambridge University Press
Banister, David. 1995. Private Sector Investment in Roads: The Rhetoric and the
Reality, in David Banister (ed) Transport and Urban Development. London: Spon
Heggie, Ian and J. Vickers.1998. Commercial Management and Financing of
Roads. WB Technical Paper 409. Washington
Parikesit, D. 1996. Interdependence between Accessibility of Transport
Infrastructures and Location Choice and Its Effects on Energy Consumption,
Unpublished Doctoral Dissertation.Vienna: TU Wien _________ 1998a.
Development of Land Use Transport Model Using Constant Travel Time Budget
Principles. Hong Kong: Conference Proceeding: 3rd inter- national
Conference of Hong Kong Society for Transportation Studies
__________ 1998b. Urban Facilities And Transportation Interaction: A Case
Study Of Vienna, Austria, Teknisia Journal, Vol. II No. 6. pp. 26-34
__________ 2000, Development of Algorithm for Tri-proportional Approach in Urban Location
Choice, FSTPT Journal Vol 2 No 1 June 2000 pp. 2332
266
maka kondisi awal dapat dilihat dari hasil penggabungan data Tabel 4.27, Tabel
4.31 dan Tabel 4.39. sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.27 dan Tabel 5.28.
267
Tabel 5.27 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di lingkungan TPI Muara Angke, Kamal Muara, dan
Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM.
No JENIS KEGIATAN/ JUMLAH BURUH/ UNIT NILAI SATUAN TRANSAKSI JUMLAH TRANSAKSI PER HARI KET.
PELAYANAN PER HARI (x Rp 1.000)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
MA KM D MA KM D MA KM D
1 Transaksi TPI 70 0 - 35 - 250.000 6.750 -
orang
Anak buah peserta 60 20 0 35.000 30.000 - 2.100 700 -
lelang
2 Bahan bakar 112 ton 10 ton 5 ton 198.000 16.500 8.250 Rp 1.650/lt
Buruh 31 10 2 56.989 35.000 25.000 1.766,67 350 50
3 Es balok (balok) - - - 8.000 500 200 96.000 600 240 Rp
12.000/blk
4 Kegiatan tambat - - - 18 25 - 100 50 - Perda No
labuh 3/99
5 Tryas (tryaze, - - - 600 unit 300 - -
penyortiran))
6 Buruh dilingkungan 15 - 25.000 375 -
TPI
Buruh kuning 34 - 25.000 850 - -
Buruh biru 32 - 25.000 800 - -
Buruh merah 10 - 20.000 200 - -
Buruh hijau 9 - 15.000 135 - -
- - -
7 Kuli gerobak 40 10 15.000 15.000 600 150 -
pengasin
8 Kuli gerobak lelang 83 10 30.000 20.000 2.490 200 -
9 Puja seri 24 unit - 3 - -
Buruh 144 - 12 10.000 10.000 1.440 - 120
Lanjutan Tabel 5.27
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
10 Pedagang K5 85 25 pedagang - -
produk perikanan
Buruh 79 25 2 15.000 15.000 15.000 1.185 375 30
11 Pedagang grosir 276 - - - - -
Buruh 828 - 25.000 - 20.700 - -
12 Unit pengepakan 30 unit 6 unit - - - - -
Buruh 90 12 - 25.000 20.000 - 2.250 240 -
13 Workshop 10 unit 2 - - -
Buruh 109 4 - 22.500 15.000 - 2.452,5 60 -
14 Kios alat perikanan 38 unit 2 - - -
Buruh 38 2 - 20.000 15.000 - 760 30 -
15 Kios gudang/kantor 16 unit - - - -
Buruh - - - -
16 Mirasih 1 unit - - - -
Buruh 20 - - 16.667 333,33 - -
17 Pedagang otak-otak 22 unit 5 - - -
Buruh 20 5 - 15.000 15.000 - 1.080 75 -
18 Cold storage I unit - - - - Kisaran gaji:
Buruh 53 - - 38.333 2.031,67 - - 0,8-1,5
juta/bl
19 Pabrik es 1 unit - - - Kisaran gaji:
Buruh 44 - - 40.000 1.760 - 0,8-4 juta/bl
20 PHPT 203 unit - - - -
Buruh 1.000 - - 30.000 30.000 -
21 Koperasi putri salju - - - -
Agen depot es 30 unit - - - -
Buruh depot es 240 3 2 40.000 20.000 15.000 9.600 60 30
269
Lanjutan Tabel 5.27
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
Buruh pikul pjg 60 - 50.000 - 3.000 - -
Buruh pikul pdk 85 - 50.000 - 4.250 - -
Buruh kantor 20 - 83.333 - 1.666,67 - -
Jml buruh pikul 55 - 25.000 - 1.375 - -
angkutan
Mobil putri salju 12 unit - - - -
Buruh 24 - 40.000 - 960 - -
22 Upah ABK - - -
Jaring cumi 369 - - 32.000 - 11.808 - -
Bouke ami 1.039 - - 32.000 - 33.248 - -
Bubu 822 - 80 35.000 - 20.000 28.770 - -
Angkutan 844 - - 35.000 - 29.540 - -
Gillnet 1.024 336 142 35.000 35.000 35.000 35.840 11.760 -
Purse seine 2.525 270 390 27.000 27.000 27.000 68.175 7.290 -
Jaring cantrang 411 - - 30.000 - - 12.330 - -
Jaring rampus 35 210 - 30.000 30.000 - 1.050. 6.300 -
Jaring nilon 18 105 - 30.000 30.000 - 540 4.150 -
Jaring tangsi 96 - - 30.000 - - 2.880 - -
Lampara 53 - - 30.000 - - 1.590 - -
Payang 174 132 - 35.000 35.000 - 6.090 4.620 -
Pancing 48 84 264 30.000 30.000 20.000 1.440 2.520 5.280
Muro ami 58 - - 40.000 - - 2.320 - -
Bagan - 1.590 - - 20.000 - - 31.800 -
Kerang hijau - 3.000 150 - 17.000 17.000 - 51.000 2.550
270
Tabel 5.28 Potensi ekonomi investasi alat tangkap di lingkungan TPI Muara
Angke, Kamal Muara, dan Dadap tahun 2005
Tabel 5.29 Prediksi pola investasi yang dapat berkembang di lingkungan TPI
Muara Angke, Kamal Muara, dan Dadap
No BIDANG INVESTASI POLA PERUBAHAN INVESTASI
MA KM D
1 Penangkapan ikan
2 Kapal angkutan ikan -
3 Sentra pengolahan ikan -
4. Pabrik es -
5. Cold storage/cool room/cool box -
6. Dock/perbengkelan
7. BBM/pelumas
8. Grosir alat penangkapan -
9. Pujaseri/rumah makan
10. Pembangunan pelabuhan
11. Air bersih
12. Objek wisata pantai - -
13. Pemandu wisata air -
14. Pemandu wisata ilmiah - -
15. Kapal angkutan penumpang - -
16. Operator kendaraan wisata air - -
17. Klinik kesehatan
18. Souvenir - -
19 Jasa telekomunikasi
20. Jasa penginapan/perhotelan - -
21. Jasa kebersihan lingkungan
22. Jasa keamanan
22. Kontainer
23. Gudang garam
24. Gedung perkantoran/bisnis -
Jumlah variabel 12 ; 17
6 18 1
272
Dari Tabel 5.29 tampak bahwa terdapat 12 variabel investasi yang
diduga tidak akan berubah keberadaannya di TPI Muara Angke meskipun
dilakukannya pemindahan sejumlah kapal ikan dari sini ke TPI Kamal Muara.
Sesuai dengan data dari Disnakanlut (2005), terdapat enam variabel investasi yang
masih perlu ditingkatkan kapasiatasnya di Muara Angke, yaitu: sentra pengolahan,
pabrik es, cold storage/cool room/cool box, kontainer dan gudang garam. Untuk
TPI Kamal Muara, terdapat 18 variabel investasi yang perlu dibangun, sedangkan
di TPI Dadap terdapat satu variabel yang harus dikurangi, yaitu unit armada
perikanan yang sebagian besar perlu dipindahkan ke TPI Kamal Muara. Di TPI
Dadap juga tersedia kesempatan untuk melakukan investasi di 17 bidang, baik
yang berkaitan dengan operasional kapal yang terdiri dari kapal peti kemas, kapal
riset Baruna Jaya, kapal pesiar, dan kapal nelayan untuk pemandu wisata, maupun
yang berkaitan dengan aktivitas wisata pantai yang berpusat di Pantai Pasir Putih
Mutiara Dadap.
Responsible fisheries
LATAR BELAKANG
1. Sejak dahulu kala. Penangkapan ikan menjadi sumber utama pangan untuk manusia dan
penyedia kesempatan kerja serta memberi manfaat ekonomi bagi mereka yang terlibat dalam
kegiatan ini. Akan tetapi, dengan meningkatnya pengetahuan dan dinamisnya pembangunan
273
perikanan , didasari bahwa sumber daya akuatik, meskipun bisa diperbarui, bukanlah tidak terbatas
dan karena itu perlu dikelola secara baik, bila kontribusinya terhadap gizi, ekonomi dan
kesejahtraan masyarakat dari penduduk dunia yang terus bertambah ingin di pertahankan.
2. Adopsi konvensi PBB mengenai Hukum Laut tahun 1982 memberikan kerangka baru
bagi pengelolaan sumber daya laut yang lebih baik. Rezim hukum baru menyangkut samudra telah
memberi Negara-Negara hak dan tanggungjawab bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
perikanan di dalam ZEE mereka yang meliputi sekitar 90% dari perikanan laut dunia.
3. Dalam tahun-tahun belakang ini, perikanan dunia telah menjadi sebuah sektor industri
pangan yang berkembang secara dinamis, dan Negara-Negara pantai sudah berusaha keras
mengambil keuntungan dari peluang baru yang mereka peroleh dengan menanamkan modal dalam
armada penangkapan dan pabrik pengolahan modern sebagai tanggapan atas permintaan
internasional yang meningkat akan ikan dan produk perikanan. Bagaimanapun, tampak jelas bahwa
banyak sumber daya perikanan tidak dapat menopang peningkatan pengusahaan yang sering tidak
terkendali.
274
6. Sesi ke 102 FAO Council, diadakan November 1992, telah membahas perluasan uraian
dari Tatalaksana tsb, merekomondasikan agar memberikan prioritas pada isu laut lepas dan
meminta agar usulan untuk Tatalaksana itu disajikan pada 1993 dari Komite FAO tentang
Perikanan.
7. Sesi ke 20 COFI, yang diadakan pada Maret 1993, telah menguji secara umum kerangka
dan isi yang diusulkan untuk Tatalaksana tsb, termasuk perluasan uraian petunjuk, dan
mengesahkan sebuah kerangka waktu untuk penguraian lebih lanjut Tatalaksana tsb. COFI juga
meminta FAO untuk menyiapkan, atas dasar pelacakan cepat, sebagai bagian dari Tatalaksana,
usulan untuk mencegah pembendaraan-ulang kapal penangkapan ikan yang mempengaruhi
langkah konservasi dan pengelolaan di laut lepas. Upaya ini telah membuahkan hasil dalam
Konperensi FAO, pada Sesi ke 27 bulan November 1993, mengadopsi Perjanjian untuk
Memajukan kepatuhan dengan Langkah-langkah konservasi dari Pengelolaan Internasional oleh
Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas, yang menurut revolusi Konperensi FAO 15/93,
merupakan bagian integral dari Iatalaksana.
10. Tatalaksana terdiri atas lima artikel pengantar; Sikap dan Ruang Lingkup; Sasaran-
sasaran; Hubungan dengan perangkat Internasional Lainnya; Pelaksanaan, Pemantauan dan
Pemutakhiran; serta Kebutuhan Khusus Negara Berkembang. Artikel pendahuluan ini diikuti oleh
sebuah artikel tetang asa Hukum yang mendahului enam artikel tematik mengenai; Pengelolaan
Perikanan, Operasi Penangkapan Ikan, Pembangunan Akuakultur, Integrasi Perikanan ke dalam
Pengelolaan Kawasan Pesisir, Praktek Pasca-panen dan Perdagangan, serta Penelitian Perikanan.
Seperti sudah dikemukakan. Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan Langkah-langkah
Pengelolaan dan konservasi Internasional oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas merupakan
bagian integral dari Tatalaksana.
275
11. Tatalaksana ini bersifat sukarela. Akan tetapi, bagian tertentu dari Tatalaksana didasarkan
pada aturan yang relevan dari hukum internasional, seperti yang tercermin tercermin dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 10 Desember 1982. Tatalaksana juga memuat ketentuan yang
mungkin atau sudah diberi efek mengikat dengan memakai perangkat hukum dan perundangan
lainnya antara Pihak-pihak, seperti Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan langkah
konservasi dan Pengelolaan oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas.
12. Sesi ke 28 dari Konperensi dalam Resolusi 4/95 telah mengadopsi Tatalaksana untuk
Periakan yang Bertanggungjawab, pada 31 Oktober 1995. Resolusi yang sama meminta FAO
antara lain untuk menguraikan petunjuk teknis yang tepat untuk mendukung pelaksanaan dari
Tatalaksana bekerjasama bekerjasama dengan para anggota dan organisasi relevan yang
berkepentingan.
14. Kerangka kebijakan dasar yang di dalamnya dibahas pengelolaan kawasan pesisir adalah
satu kebijakan dasar mengenai pembangunan yang secara ekologi lestari. Kerangka ini menetapkan
kisaraan kebijakan yang akan dipertimbangkan secara ekologi lestari; masalah pengelolaan adalah
bagaimana mengambil keputusan diantara kebijakan-kebijakan itu, dengan memperhatikan kondisi
lokal, termasuk pertimbangan sosial ekonomi.
15. Masalah mendasar pengelolaan kawasan pesisir adalah salah satunya pengalokasian
sumberdaya. Sumberdaya pesisir menjadi semakin langka disebabkan oleh gabungan
pembangunan ekonomi dan meningkatnya penduduk dikawasan pesisir. Seperti lazimnya dengan
sumber daya lainnya, kelangkaan sumber daya pesisir menuntut agar dibuat pilihan-pilihan
diantara pemanfaatan yang berlainan. Pengelolaan kawasan pesisir meliputi penetapan suatu
kerangka yang di dalamnya dibuat pilihan-pilihan dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan agar
dilaksanakan.
17. Jika mungkin, valuasi terhadap pilihan pembangunan yang beragam dan atau konservasi
(isu dari valuasi ditunjuk lebih lanjut dalam 10.2.2 di bawah) memberikan suatu dasar yang kuat
bagi perumusan kebijakan.
18. Dalam pengelolaan pesisir terpadu (PPT) perlu suatu pendekatan holistik. Dalam
pengelolaan sumber daya pesisir, harus dilakukan kehati-hatian untuk menghindari pendekatan
sektoral sempit yang tidak sesuai. Misalnya, perikanan artisanal mungkin sangat sulit
mengelolanya kecuali jika ada pembangunan ekonomi di darat yang menciptakan alternatif
276
kesempatan kerja. Banyak bidang lainnya yang membutuhkan suatu pendekatan terrkoordinasi
pada pengambilan keputusan.
19. Untruk mendapatkan jenis pendekatan ini, dibutuhkan sebuah kerangka kelembagaan
yang menyediakan pertalian yang tepat di antara otoritas nasional, regional dan lokal. Sebuah
spektrum pendekatan telah diadopsi oleh negara-negara untuk menyediakan kerangka tsb. Pada
awal dari spektrum, sebuah badan yang ada mungkin diberi mandat untuk mengawali perencanaan
pesisir lintas sektor akan tetapi tanpa tambahan tanggungjawab atau kekuasaan. Walaupun
pendekatan ini bisa menghasilkan suatu permulaan dari perencanaan pesisir lintas sektor,
kelihatannya cenderung jarang yang efektif dalam jangka panjang. Lebih lanjut sepanjang
spektrum, beberapa negara dapat mengadopsi suatu pendekatan dimana berbagai badan-badan
berlainan yang terlibat dalam pengelolaan pesisir tetap memiliki semua tanggungjawab mereka
akan tetapi mengkoordinasikan perencanaan dan kegiatan mereka melalui suatu badan pusat;
mandat-mandat dari badan-badan tsb bervariasi sangat luas. Akhirnya,negara-negara dapat
mengadopsi sebuah pendekatan yang benar-benar tepadu yang di dalamnya banyak tanggungjawab
atas perencanaan dan pengalokasian sumberdaya dilakukan oleh sebuah lembaga terpadu; lembaga
yang demikian bisa berupa sebuah organisasi yang ada yang dilengkapi dengan kekuasaan yang
ditinggalkan untuk menengahi ataupun secara alternatif sebuah lembaga yang baru sama sekali.
277
itu memiliki kesamaan latar belakang sosial, politik, ekonomi
dan budaya.
Mengingat sifat multiguna kawasan pesisir, Negara harus memastikan bahwa
wakil sektor perikanan dan komunitas penangkapan dimintakan pendapat dalam
proses pengambilan keputusan dan dilibatkan dalam kegiatan lainnya yang
berkaitan dengan perencanaan pengelolaan dan pembangunan kawasan pesisir.
(Pasal 10.1.2)
278
diadopsi bagi sektor perikanan akan semakin efektif
mewakili kepentinganperikanan.
279
Kotak 1 : Beberapa dampak terhadap perikanan yang diakibatkan oleh kegiatan
sektor lai
Pencemaran: Hal ini dapat berasal dari sumber berbasiskan lahan daratan, contohnya limbah industri dan
pertanian yang di buang ke sungai dan di hanyutkan ke kawasan pesisir, larian pestisida dan pupuk ke
dalam sungai, dan pembuangan kotoran melalui air, atau sumber yang berbasiskan lautan, misalnya
tumpahan minyak dan buangan samudera limbah beracun ke laut. Beberapa pencemaran dapat
meningkatkan produktivitas kawasan pesisir akan tetapi sangat sering berakibat pada penurunan
produktivitas. Dalam kasus yang gawat bisa bisa terjadi risiko terhadap kesehatan manusia, misalnya
melalui konsentrasi limbah beracun pada keterangan. Menurunnya produktivitas akan merugikan kesehatan
keuangan sektor perikanan. Sektor perikanan sendiri bisa memberikan kontribusi terhadap pencemaran
pesisir, misalnya melalui pencemaran minyak dari kapal penangkapan ikan, limbah cair dari pabrik
pengolahan ikan dan oleh sistem akuakultur inetnsif yang berakibat pada pengkayaan bahan organik dan
hara di dasar laut dan dalam kolam air. Betapapun, umumnya sektor perikanan lebih sebagai penderita
dibandingkan penyebab pencemaran.
Penurunan kualitas habitat: Hal ini dapat terjadi secara langsung, misalnya, sebagai akibat dari
pembabatanhutan mangrove untuk berbagai kegiatan, pengambilan karang, atau secara tidak langsung,
umpamanya, oleh pengendapan sedimentasi di dasar pdang lamun dan tumbu yang disebabkan larian tanah
yang berkaitan dengan misalnya, penggundulan hutan atau praktek tataguna lahan yang buruk. Seperti
halnya pencemaran, penurunan kualitas habitat akan mempengaruhi sektor perikanan itu sendiri, misalnya,
penangkapan dengan bahan peledak atau bahan kimia beracun, serta pembabatan hutan mangrove dan
pemakaian bahan kimia pengembangan akuakultur.
Sengketa Tataruang: Hal ini bisa terjadi jika perikanan dan akuakultur pantai mempunyai hak properti yang
tidak terjamin secara berangsur-angsur terdesak dari kawasan tradisionalnya oleh pengembangan wilayah
oesisir lainnya (khususnya perluasan perkotaan dan pengembangan pariwisata).
280
yang paling penting, otoritas perikanan harus
dimasukkan ke dalam proses perencanaan pengelolaan
terpadu kawasan pesisir.
281
menetapkan pemanfaatan yang mungkin
menyangkut sumber daya pesisir dan mengatur
akses ke sumber daya tersebut dengan
memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktek
turun temurun sejauh serasi dengan
pembangunan yang berkelanjutan. (pasal
10.1.3)
282
berbasis hak menyeluruh menyangkut pengembangan
sumber daya pesisir.
284
dalam satu negara sekalipun. Solusi terbaik akan
tergantung seluruhnya pada keadaan sifat alami dari
sumber daya, tatanan kelembagaan. kini maupun
historis. sasaran. dan seterusnya. Lebih lanjut. solusi
terbaik bisa berubah sepanjang waktu. Oleh karena itu,
pemerintah perlu memperjelas mengenai apa yang
sedang diupayakan untuk dicapai dan menguji suatu
kemungkinan solusi sebelum memutuskan mengenai
pilihan yang terbaik: juga perlu agar tetap fleksibel.
Sehingga sanggup menanggapi keadaan yang berubah.
286
dengan para pemanfaat lainnya dari lingkungan
marin. (Artikel
10.1.4)
287
40. Sengketa antar-sektor secara khas lebih sulit
menyelesaikannya dibandingkan dengan perselisihan
intra-sektor. sekalipun solusinya mungkin serupa.
Otoritas-otoritas perikanan harus mewakili kepentingan
dari sektor perikanan dalam negosiasi-negosiasi dengan
lain-lain badan-badan untuk memastikan bahwa sektor-
sektor lainnya menghormati kepentingan para nelayan
dan pembudi daya ikan. Jika diperlukan. otoritas
perikanan dan nelayan harus mempunyai kemungkinan
untuk memiliki sumber daya yang diatur dengan
peraturan perundang-undangan untuk melindungi
kepentingan mereka.
288
pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan
secara tegas seberapa jauh kecenderungan terjadi
interaksi dengan kegiatan perikanan atau sektor lain.
Jika hal itu dipandang potensial atau aktual penting.
Maka interaksi tersebut harus dipertimbangkan di dalam
rencana. dan harus diambil tindakan untuk menangani
sengketa potensial.
289
2. Langkah-langkah Kebijakan (Pasal 10.2)
PEMBAHASAN UMUM
Salah satu pelabuhan perikanan yang telah dikembangkan secara maju dan
termasuk pelabuhan yang mencakup aspek eko
With so many places to stay on offer in Port Douglas, the selection process can become a
daunting process. Below we have hand picked a few reputable accommodation places to
recommend during your stay.
Below are a few suggestions to suit varying budgets from motel style
accommodation to boutique apartments. These properties are situated in the hub of
Port Douglas close to shopping, the beach, restaurants and the marina. They also
have brilliant on-site management who provide excellent service and will ensure
your stay is a memorable one. They also love their outdoors and fishing!
Please contact us for the best available rates.
290
5.1 Analisis Permasalahan Umum
5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan
5.2.1 aspek pengembangan wilayah:
5.2.1.1 LQ
5.2.1.2 shift share
5.2.1.3 skalogram
5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara
5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi)
5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal
Muara
5.2.2.3 Pasokan Ikan
5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan
5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan
5.2.2.6 akses transportasi
5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan
5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap
5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke
5.3 Manajemen kawasan pelabuhan
5.3.1 tata ruang
5.3.2 prasarana dan sarana
5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan
5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara
Beberapa sasaran yang hendak dicapai dari implementasi kebijakan revitalisasi perikanan,
setidaknya meliputi beberapa aspek, diantaranya :
Terjadinya peningkatan investasi yang signifikan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan
pertumbuhan
Tercapainya peningkatan pendapatan nelayan melalui kegiatan industri terpadu dan penciptaan
pasar (domestik dan pasar ekspor)
Terlaksananya pemberdayaan masyarakat nelayan sehingga mampu memposisikan diri sebagai
pelaku ekonomi yang unggul
Terwujudnya pelestarian lingkungan (ekologi terpelihara secara berkelanjutan) sehingga mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
Terlaksananya pengembangan jasa kelautan dan non pariwisata untuk menunjang pembangunan
sektor kelautan
291
- Sub Bagian Sumber Daya Air, Kebersihan dan Lingkungan Hidup.
Penataan Ruang
292
Kawasan lindung, daerah resapan air, sungai, situ, galian C, hutan
dan penghijauan,
293
Kependudukan, Ketentraman & Ketertiban
294
(dua milyar rupiah) dan untuk sarana prasarana kesehatan sebesar
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
12/10/2006
Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR
sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan sarana prasarana pendidikan dan
kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta. Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana bantuan keuangan dari
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan sarana prasarana
pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung Balai Kota
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana
bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan
sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung
Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hari ini dilaksanakan acara
penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada
295
Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk
peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di
Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Hari ini dilaksanakan
acara penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar
untuk peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan
di Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
http://bkspjabodetabekjur.jakarta.go.id/berita/index.php?id=1
13/09/2006
02/10/2006
296
dilaksanakan 2 (dua) kali dalam setahun. Rpat forum ini suatu forum bertemuanya
Gubernur, Bupati dan Walikota dalam hal ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta,
Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten dan Bupati/Walikota BODETABEKJUR.
Dalam forum ini dibahas mengenai evaluasi seluruh kegiatan yang sudah dan
sedang dilaksanakan sekaligus perencanaan kegiatan pada tahun anggaran
berikutnya. Pelaksanaan Rapat Forum Kerja BKSP JABODETABEKJUR di Hotel
Horison Bandung, sekaligus penandatanganan Kesepakatan Bersama dan
Peraturan Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota JABODETABEKJUR. Secara
rinci adalah penandatangan :
297
"PEMANTAPAN RANCANGAN KEPPRES PENATAAN RUANG
JABOTABEK "
http://www.pu.go.id/Ditjen_ruang/Tarunews/taru0908011.html
Tanggal 27 Juni 2001 yang lalu telah diadakan kegiatan Ekspose Rancangan
Keppres Penataan Ruang Kawasan Jabotabek yang dipimpin oleh Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah. Tujuan diadakannya kegiatan sosialisasi ini
adalah untuk mendapatkan tanggapan, masukan dan saran terhadap
penyempurnaan RaKeppres tersebut yang melibatkan instansi pusat dan instansi
daerah (Pemda, Bappeda, DPRD), perguruan tinggi, LSM, dan asosiasi-asosiasi
profesi. Penyempurnaan oleh tim kecil dilakukan pada tanggal 3-4 Agusutus 2001
berdasarkan masukan dan tanggapan yang diperoleh dari ekspose tersebut. Tim
Kecil ini terdiri dari Sekretariat Tim Teknis BKTRN, BKSP Jabotabek, wakil-
wakil dari masing-masing pemda serta instansi-instansi pusat terkait.
Sebagai tindak lanjut kegiatan ekspose tersebut, pada tanggal 9 Agustus 2001
Direktorat Jenderal Penataan Ruang selaku Sekretariat Tim Teknis BKTRN
bekerja sama dengan BKSP Jabotabek memfasilitasi pemantapan Rancangan
Keppres Jabotabek hasil penyempurnaan tim kecil. Acara pemantapan RaKeppres
tanggal 9 Agustus tersebut dipimpin oleh Ketua Pokja 1 BKTRN dan juga
melibatkan instansi pusat, instansi daerah (Pemda, Bappeda, DPRD), perguruan
tinggi, LSM, dan asosiasi profesi.
298
Seluruh unsur yang dilibatkan menyatakan bahwa Rancangan Keppres Jabotabek
diperlukan sebagai pedoman atau wadah hukum pengaturan bersama dalam
rangka koordinasi pembangunan wilayah Jabotabek. Namun menurut floor masih
perlu penyempurnaan substansi dan peta seperti misalnya : perlunya memuat
ketentuan tentang kewenangan pemerintah pusat dan masing-masing daerah,
sharing/dukungan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan Keppres tersebut menjadi jelas, perlunya pengaturan sistem
pariwisata dan sistem komunikasi antar daerah, pengendalian banjir, dan lain-lain.
Tata Ruang
09-08-2001
299
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/22/0902.htm
Isu Jakarta sebagai megapolitan bukanlah hal baru. Gubernur DKI Ali Sadikin
pertama kali melontarkan gagasan Jakarta sebagai kota metropolitan. Waktu itu
pun Ali Sadikin harus berhadapan dengan Gubernur Jawa Barat Solihin GP. Jalan
keluar pemerintah pusat pada waktu itu adalah membentuk wilayah Jabotabek
melalui kerja sama pembangunan Jabotabek antara Jabar dan DKI. Kemudian
dibentuk Badan Kerja sama Pembangunan (BKSP) Jabotabek sebagai upaya
mendukung perkembangan Jakarta ibu kota negara. Namun, sebelumnya sudah
ada apa yang disebut Sekertariat Jabar-DKI, sebagai ajang dialog dan sinkronisasi
pembangunan di kedua daerah itu. Namun badan kerja sama tersebut tidak
fungsional, bahkan keberadaannya sekarang tidak terdengar lagi.
300
pusat yang banyak merugikan daerah itu sendiri. Jabar harus rela dijadikan daerah
"penyangga", istilah keren-nya buffer zone, yang sesungguhnya tidak lebih dari
"keranjang sampahnya" ibu kota negara. Dari situlah awal marginalisasi daerah
Jabar, dengan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang subur begitu cepat di daerah
utara menjadi wilayah industri. Karena tidak ditata dengan baik, maka akibatnya
terasa sekarang pada penyediaan stok pangan nasional dan kerusakan lingkungan -
padahal semangatnya adalah "Jabar sebagai lumbung padi nasional".
Di sekitar Jabotabek, alih fungsi hutan, lahan sawah dan pertanian lahan kering
terus berlangsung. Lahan ini dijadikan kawasan permukiman dari yang sederhana
hingga super modern dilengkapi sarana rekreasi, pendidikan, pembelanjaan dan
sarana sosial lainnya. Kondisi menambah risiko banjir dan kerusakan lingkungan
karena terganggunya stabilitas ekosistem baik di sekitar Jakarta maupun di seluruh
kawasan Jabotabek itu.
Namun, terlepas dari masalah sosial dan lingkungan tersebut, DKI dan Jabar kini
menghadapi dilema. Pertumbuhan kedua daerah itu demikian cepat, karena
perkembangan penduduk, meningkatnya sarana transportasi dan komunikasi
antarkota dan antardaerah serta kota-desa yang berdampak terhadap meningkatnya
intensitas migrasi antar kota dan daerah serta urbanisasi dari desa ke kota.
Celakanya daerah tujuan utama para migran dan urbanis itu tetap saja Jakarta dan
sekitarnya. Berlaku pepatah usang "ada gula ada semut."
Selain itu, konsentrasi pembangunan di DKI sebagai ibu kota negara, barangkali
masih diwarnai kuatnya pandangan tradisional masyarakat bahwa ibu kota negara
identik dengan negara itu sendiri. Kehebatan sebuah ibu kota negara adalah
manifestasi dari kehebatan negara itu sendiri. Logika awam yang terbangun adalah
bahwa Jakarta miniatur Indonesia. Maka keberadaan Jakarta sebagai ibu kota
negara tidak terelakkan lagi perlu mendapat dukungan semua pihak. Dalam
memahami logika sebab-akibat itu, diharapkan semua pihak berpikir jernih, kritis,
perspektif dan cerdas, tidak kuuleun alias memble.
301
Dilema lain, intensitas pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan
berorientasi ke Jawa. Maka tidak heran pula apabila Jawa tetap saja menjadi
daerah tujuan utama migran dan urbanis dari daerah dan desa di sekitarnya.
Berlimpah-ruahnya sebagian besar penduduk Indonesia di Jawa (70 %)
menjadikan Jawa sebuah kota pulau, megapolis. Berjubelnya manusia Indonesia di
kota-kota di Jawa memberatkan pemerintah kota, karena yang muncul adalah
kemiskinan dengan kampung kumuhnya yang berakibat terhadap degradasi
lingkungan dan munculnya budaya kekerasan.
Oleh karena itu isu megapolitan Gubernur DKI Sutiyoso sesungguhnya dapat
dijadikan momentum yang baik, sebagai peluang untuk menangani kesemrawutan
pembangunan di Jabar-DKI (karena Banten mungkin lebih senang bergabung
dengan DKI). Selama ini daerah hanya peduli kepada dirinya masing-masing, atau
egoisme daerah.
Banyak hal yang dapat dikerjakan bersama tanpa harus saling mengganggu
wilayah administratif masing-masing. Jabar dan DKI bisa memelihara aliran
Sungai Ciliwung dari hulu ke hilir antara Kabupaten Bogor - DKI untuk
menangkal "banjir kiriman" di Jakarta. Ciliwung dapat dikembangkan menjadi
alternatif angkutan barang melalui sungai Bogor - DKI. Selain itu, kedua daerah
juga bisa mengelola sampah secara terpadu untuk kesehatan penduduk dan
kebersihan lingkungan, mengupayakan suplai air bersih dari Jatiluhur atau daerah
lain di Jawa Barat ke Jakarta; pembangunan sistem transportasi murah Jabotabek -
DKI, sampai kepada urusan kartu penduduk dan pajak kendaraan sehubungan
dengan mobilitas penduduk yang begitu tinggi antara Jabotabekjur - Jakarta.
302
mencari solusi mendesak, maka dituntut pula sikap tanggap pemerintah pusat,
presiden atau mendagri untuk tidak membiarkan masing-masing daerah mencari
upaya masing-masing yang cenderung mempertahankan kepentingannya masing-
masing.
Pergeseran paradigma
Hal inilah yang merupakan masalah satu sumber konflik yang terjadi di berbagai
daerah sekarang. Di mana masih kentalnya kesenjangan antara gagasan perubahan
dengan praktik pemerintahan di lapangan, sebagaimana tampak dari pernyataan
303
dan tanggapan reaksi atas isu megapolitannya Gubernur DKI Sutiyoso. Hakikat
pelayanan itu yang utama adalah kesejahteraan dan keadilan bagi semua, yang
tidak lagi berorientasi pada batas-batas administratif daerah, borderless. Dalam
kasus Jabar - DKI, agaknya dialog adalah salah satu instrumen yang harus
dikedepankan. Oleh karena itu, cara terbaik untuk membangun keadilan dan
kesejahteraan bagi semua di kedua daerah tersebut adalah membina pengertian
dan kerja sama, bukan saling meniadakan, (trade off). Kedua pemerintah duduk
bersama, menyusun program dan anggaran bersama serta melaksanakan bersama-
sama dengan melibatkan seluruh stakeholders agar kedua daerah itu tetap eksis
menyangga kelangsungan hidup umat manusia.***
304
| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |
http://www.csiwisepractices.org/?read=73
Bahasa Indonesia
305
(2) integrate coastal quality improvement as one of the local government's
programmes, establishing an enabling policy environment and a system to
monitor, analyse, and disseminate the results of field activities; and
(3) develop private sector awareness (industrial zone and resort managers) in
environmental development.
DISCUSSION
306
with an emphasis on local community participation, and more efficient and
sustainable use of coastal resources.
Activities with society (local community): Training for locally-based groups on:
(1) integrated conservation and development of coastal regions and small islands
and (2) social empowerment through development of their own potentiality by
improvement of working techniques, skill development in management,
entrepreneurship to expand livelihood options; and women's participation in
economic and environmental development.
Activities with the private sector: Training in industrial zones for resort area
managers on sustainable human development and the dangers of pollution for the
environment.
307
Jabotabek development is not specifically defined; and (4) there is a lack of
operational guidelines for Jabotabek plan implementation. BKSP has no tools to
coordinate and integrate interregional and intersectional development programmes
in the JMA. Having identified the BKSP's weaknesses, it is obvious that the
function and role of this agency needs to be strengthened by giving it a clear
status, political and financial support from central and local governments (DKI
Jakarta and West Java Provinces).
308
issues, as measured by (a) the number of environmental coastal newsletters
produced, (b) the number of coastal management seminars held annually, and
other publications and exhibitions.
REGIONAL DIMENSION: The project design is based on the perception that the
Jakarta Bay and Kepulauan Seribu is ecologically part of the Jakarta Metropolitan
Area and on the assumption that environmental degradation in this area is caused
by environmental governance.
309
EVALUATION: The success achieved in the overall strategic objective will be
measured by: (1) improvement of environmental quality in the Jakarta
Metropolitan Area, particularly the seawater quality in Jakarta Bay; (2) the
number of local communities actively participating in environmental planning,
implementation and management; (3) the number of NGOs strengthened to
promote improved coastal Jakarta Metropolitan Area environmental quality; and
(4) the number of partnerships among the local governments, the private sector,
and communities for locals and regional environmental impact planning and
monitoring that have been strengthened.
******************************************************************
*********************************
DESKRIPSI. Berdasarkan hasil evaluasi proyek pilot Teluk Jakarta setelah tiga
tahun pelaksanaan, UNESCO-CSI berkesimpulan bahwa perlu peningkatan dan
pengembangan pilot proyek tersebut. Dalam rangka itu sebuah proyek sedang
dirumuskan, "Environmental governance and wise practices for tropical coastal
mega-cities: Sustainable human development of the Jakarta Metropolitan Area".
Proyek ini akan berfungsebagi sebuah forum koordinasi dari proyek-proyek yang
berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan
Jakarta, garis begar kegiatan adalah sebagai berikut: (1) Menggalakkan partisipasi
masyarakat dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan mendorong
partisipasi masyarakat dan LSM dalam pembangunan masyarakat berkelanjutan;
(2) Mengintegrasikan kegiatan peningkatan kualitas kawasan pesisir sebagai salah
satu bagian dari program permbangunan pemerintah (pusat dan daerah),
merumuskan kebijaksanaan lingkungan hidup dan system pemantauan, analisis
and desiminasi hasil lapangan; dan (3) Meningkatkan kesadaran sektor swasta
(para pengelola kawasan pariwisata dan kawasan industri) akan pentingnya arti
dari pelertarian lingkungan hidup. Program kegiatan disusun berdasarkan analisa
310
ruang dari permasalahan, misalnya : untuk mengurangi tekanan masyarakat
terhadap sumberdaya pesisir yang disebabkan oleh tata cara penangkapan ikan
yang tidak berwawasan lingkungan (pemakaian bom ataupun racun) maka kita
akan cari alternatif kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang sifatnya
tidak merusak lingkungan; dan untuk menurunkan polusi perairan Teluk Jakarta
oleh pestisida dan pupuk maka kita akan memperkenalkan dan membimbing
petani yang berada di hulu (di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, terletak sekitar
70 hingga 90 km dari pantai) untuk melakukan praktek pertanian berwawasan
lingkungan.
311
- Pemerintah daerah. Pelatihan dan bantuan teknik dalam pengelolaan lingkungan
hidup akan diberikan kepada staf Pemda.
312
KEBERLANJUTAN. Proyek ini bermaksud untuk berkontribusi dalam pelestarian
lingkungan hidup agar tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Pada
akhir 5 tahun pelaksanaan proyek, 2000-2005, diharapkan sistem yang sudah
dibangun akan tetap berjalan secara mandiri meskipun bantuan teknik dari
UNESCO sudah dihentikan.
313
DESENTRALISASI. Program-program pembangunan di Jabotabek sebagian
besar adalah proyek Pemerintah Pusat, dimana peranan masyarakat dan Pemda
sangat terbatas. Proyek ini menggalakan usaha desentralisasi perencanaan,
penyusunan program, dan realisasi pembangunan. Peranan BKSP dan Pemda
perlu diperkuat unutuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan tingkat hidup
dari masyarakat setempat.
314
A regional approach to environmental quality management / Jakarta-Indonesia
(+Bahasa Indonesia)
Yoslan Nur
Bay Management
Ian Dutton
Assessing the way society views natural resources / Indonesia and Russia
| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |
315
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Kondisi lingkungan pesisir dan perairan di kawasan Dadap-Kamal Muara
dalam keadaan belum baik. Berdasarkan hasil analisis ketergantungan
daerah perikanan sampai tahun 2003, PPI/TPI Dadap sudah tidak dapat lagi
dipertahankan sebagai tempat pendaratan dan pelelangan ikan, sedangkan
TPI Kamal Muara masih mempunyai ketergantungan yang cukup besar.
(2) Hasil analisis shift share menunjukkan bahwa Kabupaten Tangerang
merupakan wilayah progresif dimana pergeseran bersih bernilai positif,
sedangkan Kota Jakarta Utara merupakan wilayah lamban dimana
pergeseran bersih bernilai negatif. Analisis LQ menunjukkan bahwa
komoditi perikanan di Kabupaten Tangerang dan Kota Jakarta Utara masih
merupakan sektor unggulan. Di Kecamatan Penjaringan, pusat pelayan atau
pusat pengembangan wilayah utama bukan terletak di Kamal Muara tetapi di
Kelurahan Pejagalan dan Kelurahan Pluit, sedangkan untuk Kecamatan
Kosambi, Dadap merupakan pusat pelayanan atau pusat pengembangan,
dengan total jumlah fasilitas mencapai 18 tipe fasilitas
(3) Pemanfaatan lahan di masing-masing kawasan sejauh ini masih perlu
dikoordinasikan secara terpadu, baik secara horizontal (yang menyangkut
masyarakat sekitarnya) maupun vertikal (yang berkaitan dengan pemerintah
pusat dan instansi lainnya), dengan tetap mewadahi aspirasi masyarakat lokal
untuk menghindari terjadinya konflik sosial. Daya tampung PPI/TPI Kamal
Muara dapat ditingkatkan untuk menampung limpahan kapal dari PPI Muara
Angke dan PPI Dadap.
(4) Dimasa yang akan datang, PPI/TPI Dadap lebih baik untuk difungsikan
sebagai pelabuhan yang mendukung aktivitas wisata bahari, sedangkan
PPI/TPI Kamal Muara tetap berfungsi di sektor perikanan sebagaimana
semula. Program pembangunan yang dilakukan di Kawasan Dadap-Kamal
Muara sejauh ini belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan konsep
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
(5) Opini masyarakat menunjukkan adanya kekhawatiran tentang kondisi
lingkungan pantai dan perairan serta menuntut kepastian program masa
depan sektor perikanan
6.2 Saran
(1) Direkomendasikan bahwa pengembangan selanjutnya untuk TPI Dadap
diharapkan agar diarahkan untuk menjadi suatu pelabuhan terpadu, yang
dapat menangani kegiatan perikanan olah raga (sport fishing), kegiatan kapal
penelitian Baruna Jaya, dan aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan
pariwisata pantai (baik layaran, maupun transportasi ke objek-objek wisata
yang akan dikembangkan.
(2) Untuk TPI Kamal Muara, direkomendasikan untuk dikembangkan sampai
mempunyai kapasitas sama dengan kapasitas TPI Muara Angke, yaitu
sebesar 500 unit kapal ikan dengan bobot rata-rata 50 GT.
(3) Pemindahan kapal ikan, baik dari TPI Dadap (sebanyak 1.500 GT) maupun
dari TPI Muara Angke (sebanyak 1.495 GT), dapat dilakukan secara
bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan pembangunan fasilitas
pelabuhan di kedua TPI tersebut.
(4) Konsep pembangunan kawasan pesisir terpadu benar-benar harus diterapkan
di kawasan perbatasan ini, dengan mengedepankan prinsip saling mendapat
keuntungan (win-win solution). Tidak perlu dikembangkan suatu kegiatan
yang sama di kedua kawasan perbatasan tersebut tetapi yang lebih baik
adalah kegiatan yang saling mendukung dan saling mengisi.
(5) Beberapa kegiatan pembangunan yang direkomendasikan untuk
dikerjasamakan diantara Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda Kabupaten
Tangerang antara lain:
a. Sektor Perikanan:
Pemda Kabupaten Tangerang
Instalasi air bersih, pabrik es, mesin penghancur es, cold storage,
memfungsikan gudang untuk produk-produk perikanan, mengganti
fungsi TPI Dadap menjadi pelabuhan wisata pantai dan laut,
255
pengerukan dasar Kali Perancis secara reguler, Melakukan
penataan lokasi budidaya kerang hijau
Pemkot Jakarta Utara
Pembangunan fasilitas PPI Kamal Muara, perumahan nelayan,
bengkel mesin dan dock, tempat perbaikan alat tangkap, rumah
sakit, pengerukan dasar Kali Kamal secara reguler,
b. Wisata laut
Pemda Kabupaten Tangerang
Pendidikan pemandu wisata, menyediakan perahu untuk kegiatan
wisata, rumah makan & restoran seafood, wisma/hotel untuk
wisatawan, toko peralatan wisata laut
Pemkot Jakarta Utara
Penyiapan objek wisata laut, sarana keselamatan wisata laut,
menyiapkan objek wisata mangrove,
c. Prasarana dan Sarana penangkapan
Pemda Kabupaten Tangerang
Galangan kapal kayu dan fiber glass
Pemkot Jakarta Utara
Toko peralatan tangkap, SPBU khusus
d. Kawasan konservasi
Pemda Kabupaten Tangerang
melakukan koordinasi dengan kecamatan lain yang memiliki
kawasan konservasi yang memungkinkan untuk menjadi objek
wisata alam: Pulau Cangkir (Kec. Kronjo), Tanjung Kait Kec.
Sukajadi, Tanjung Burung dan Tanjung Pasir (Kec. Teluk Naga),
Arukan/Muara dan Salembaran Jati (Kec. Kosambi)
Pemkot Jakarta Utara
Menyiapkan kawasan mangrove sebagai daerah konservasi,
memelihara areal-areal konservasi laut
256
DAFTAR PUSTAKA
Alam MF, Omar IH, Squires D.. 2002. Sustainable fisheries development in the
tropics: trawlers and licence limitation in Malaysia. Applied Economics
(34) 325-337
[Anonimous]. 2005b. Warga Dadap Tak Peduli Ada Reklamasi Pantai. Tempo
Interaktif. 23 Februari 2005.
258
[Anonimous]. 2006b. Megapolitan Jangan Mencaplok. PIKIRAN RAKYAT
Selasa 7 Pebruari 2006 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/
022006/07/0910.htm
[Anonimous]. 2006c. Fishing Port Douglas. Booklet online. http://www.
fishing port douglas. com.au/
Atmaja SB. 2002. Dinamika Perikanan Purseseine di Laut Jawa dan sekitarnya.
Thesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
259
[BAPPEDA Tangerang] Badan Perencanan Pembangunan Daerah Kabupaten
Tangerang. 2002. Peta Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya (2011).
[BPRP] Badan Pelaksana Reklamasi Pantura DKI Jakarta, 2001. Studi Kelayakan
Pembangunan Tempat Pendaratan Ikan dan Restoran Nelayan Tradisional
Kawasan DAS Kali Kamal Wilayah Jakarta Utara.
[BPS Jakut] Badan Pusat Statistik Kodya Jakarta Utara.. 2001. Penduduk Jakarta
Utara 2000.
[BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2003. Tinjauan Ekonomi Regional
DKI Jakarta dan Pulau Jawa-Bali tahun 2001-2002.
[BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2004. Jakarta Utara Dalam Angka
2003.
[BPS Jakut] Badan Pusat Statistik Kotamadya Jakarta Utara. 2004a Kecamatan
Penjaringan Dalam Angka 2003.
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Sinopsis. PKSPL IPB, Bogor.
Beatley T., Brower DJ., Schwab A.. 1999. An Introduction to Coastal Zone
Management. Inland Press, Washington DC.
Blair JP. 1991. Urban and Regional Economics. Irwins Inc. 585 pp.
260
Environmental Management for the Seass of East Asia (PEMSEA).
Quezon City, Philippines.
CV Indo Buwana, 2000. Peta Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Skala 1:70.000. CV Indo Buwana, Jakarta.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, dan Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Lautan secara Terpadu. PT Pradya Paramita. Jakarta.
Damai AA. 2003.Pendekatan Sistem untuk Penataan Ruang Wilayah Pesisir Kota
Bandar Lampung. Thesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Damar A. 2004. Kematian Masal Ikan di Teluk Jakarta: antara Limbah Industri
dan Eutrofikasi . PKSPL IPB, Bogor.
Dinas Tata Ruang dan Bangunan. 2001. Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai
Utara Tahap I Kabupaten Tangerang. Dinas Tata Ruang dan Bangunan,
Tangerang.
261
[Disnakkanlut] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Pemda DKI Jakarta.
2005. Kumpulan data perikanan DKI Jakarta. : UPT Pengelola Kawasan
Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005)
Ellsworth JP, Hildebrand LP, Glover EA. 1997. Canadas Atlantic Coastal
Action Program: A community-based approach to collective governance.
Ocean & Coastal Management. Vol 36 Nos 1-3, pp 121-142.
262
Fauzi A. 2000b. Panduan Pelatihan Pemodelan Optimasi. Institute of Fisheries
Economic and Community Development IPB, Bogor.
Fetter FA. 1977. Capital, Interest, and Rent: Essays in the Theory of
Distribution. Editor. Murray N. Rothbard. Kansas City: Sheed Andrews
and McMeel, Inc.,
Fujita M, Krugman P.. 2004. The economic geography: past, present, and future.
Reg. Sci. 83, 139-164 (2004).
Grant WE, Pedersen EK,. Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resources
Management: System Analysis and Simulation. John Wiley and Sons, Inc.
New York.
Hall CAS, Day JW. 1976. Ecosystem Modelling in Theory and Practice: an
introduction with case histories. A Willey-Interscience Publication. John
Wiley & Sons, New York.
Hatziolos ME. 1997. A World Bank Framework for ICZM with Special
emphasis on Africa. Ocean & Coastal Management Vol. 37 No. 3, pp
281-294, 1997
Hufschmidt MM, James DE, Meister AD, Bower BT,. Dixon JA. 1983.
environment, Natural Systems, and Development. An economic valuation
guide. The Johns Hopkins University Press. Baltimore.
263
Husein, AS. 1997. konflik Pertanahan: Dimensi Keadilan dan Kepentingan
Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
[IMC] Information Media Center. 2006. Nasib nelayan Kamal Muara dan
reklamasi PANTURA. Dikirim oleh : Jakarta IMC Editorial Group -
Jakarta IMC pada tanggal : 06-09-2006, 17:38 jakarta / lingkungan hidup /
news repo
264
Mahdi MR. 2005. Pengembangan Perikanan Oukat Cincin di Lampulo Kota
Banda Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Thesis. Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor.
McClave JT, Benson PG. 1988. Statistics. Forth Edition. Dellen Publishing
Company, San Francisco.
Muhartono R. 2004. Alternatif Pola Bagi Hasil Nelayan Gillnet di Muara Baru
Jakarta Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi
Perikanan Kelautan FPIK IPB, Bogor.
Northam RM. 1975. Urban Geography. Oregon State University, John Wiley
&nSon, Inc. USA.
265
oleh Slamet Daroyni. Buletin Walhi, 6 Mei 2003.
http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/pela_patura_maslh_060503/#top
[ODL] Open Distance Learning. 1999. What is the scalogram used for? ,
http://www.mathpsyc.uni-bonn.de/doc/Maris/ node4. html.
Pickave AH, Gilbert C, Breton F. 2004. An indicator set to measure the progress
in the implementation of integrated coastal management in Europe. Ocean
& Coastal Management 47 (449-462)
[PKSPL IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian
Bogor. 2000. pengembangan Pelabuhan Perikanan di Pantai Utara Pulau
Jawa serta Sistem Data Informasi. Kerjasama antara PKSPL IPB dengan
Ditjen Perikanan Departemen Perikanan.
[PPLH IPB] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor. 1997.
Laporan AMDAL Pelabuhan Kapal Riset Barauna Jaya. PPLH IPB.
Bogor.
266
Scialabba N (ed). 1998. Integrated Coastal Area Management and Agriculture,
Forestry and Fisheries. FAO Guidelines. Environment and Natural
Resources Service, FAO, Rome. 256p
Silver C. 2003. Do the donors have it right? Decentralization and changing local
governance in Indonesia. Ann. Reg. Sci. (2003) 37: 421-434.
Sinar Harapan, 17 Juni 2004. Sejumlah instansi saling tuding, Reklamasi Pantai
Dadap liar.
Sinar Harapan. 24 Juni 2004a. Akibat reklamasi liar, Pantai Dadap dicemari
limbah B3.
Subagjo S et al. 2005. Seratus Tahun Lembaga Penelitian Bidang Ilmu Kelautan
LIPI 1905-2005. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
267
[Sudinkan] Suku Dinas Perikanan Jakarta Utara. 1996. Laporan Tahunan
1995/1996. Suku Dinas Perikanan Kotamadya Jakarta Utara.
Surya N. 2004. Analisis Permintaan Solar oleh Unit Penangkapan Ikan di PPI
Muara Angke Jakarta Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Bisnis dan
Ekonomi Perikanan Kelautan FPIK IPB, Bogor.
[TPI] Tempat Pelelangan Ikan Dadap. 1996. Laporan Proses Pelelangan di TPI
Dadap. Tangerang.
Wong PP. 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia: relevance and
lessons for coastal zone management. Ocean & Coastal Management Vol.
38 (1998) 89-109.
268
Lampiran 1. Hasil analisis ketergantungan daerah perikanan dengan menggunakan WSA program
Data 1999
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,00053 0,00106 0,293289 0,317582 1,75E-05 3,90E-06 1,20E-06 3,99E-07
Kamal Mua 0,000654 0,001091 0,002681 0,316967 5,43E-05 1,01E-06 2,71E-06 9,05E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000
Data 2000
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000505 0,00101 0,215112 0,321111 1,45E-05 3,86E-06 7,60E-07 3,80E-07
Kamal Mua 0,000643 0,001286 0,004933 0,316691 5,38E-05 2,98E-06 2,69E-06 8,97E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000
Data 2001
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000468 0,000936 0,240705 0,317181 1,26E-05 2,99E-06 6,96E+00 3,49E-07
Kamal Mua 0,000632 0,001264 0,01125 0,317101 4,76E-05 4,86E-06 2,64E-06 8,82E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000
Data 2002
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000442 0,000884 0,236259 0,316832 4,7E-05 2,43E-06 6,54E-07 3,27E-07
Kamal Mua 0,000622 0,001244 0,009553 0,317505 4,7E-05 4,09E-06 2,61E-06 8,7E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000
2 8
Lanjutan Lampiran 1.
Data 2003
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000424 0,000848 0,196567 0,151343 4,39E-05 2,08E-06 6,28E-07 3,14E-07
Kamal Mua 0,000611 0,001222 0,009063 0,317419 5,03E-05 4,41E-06 2,56E-07 8,55E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000