Você está na página 1de 354

ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PELABUHAN

PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM


KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

Oleh:
RUDDY SUWANDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PELABUHAN
PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM
KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

Oleh:
RUDDY SUWANDI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

ii
Judul Disertasi : Analisis Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan
Kamal Muara dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu
Nama : Ruddy Suwandi
NRP : SPL 995163
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Metujui ,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja


Ketua

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Dekan Sekolah Pascasarjana


Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M. Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.Sc.

Tanggal Ujian 16 Juli 2007 Tanggal Lulus..............................................


iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Analisis


Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara dan Dadap dalam
Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, adalah karya saya sendiri dan
belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya tulis yang diterbitkan
maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2007

Ruddy Suwandi
NRP: SPL 995163

iv
ABSTRACT

RUDDY SUWANDI. Development Analysis of Kamal Muara Dadap Fishing


Port Area in the Context of Integrated Coastal Zone Management. Supervised by
DANIEL R MONINTJA as the chairman, ROKHMIN DAHURI and ERNAN
RUSTIADI as the members.

Two fish landing ports which located at different administrative zone and at
the very short distance would give different impact of development program at
each area. Tangerang has a fish landing port named PPI/TPI Dadap at the eastern
area while Jakarta Utara has the PPI/TPI Kamal Muara at the west part. Both
separated only 700 meter. Self autonomy gave also influence on the development
program. To observe the inter-influence of both fish landing port, some analysis
were used eg. fisheries dependent ratio, Shift share, Location Quotient, scalogram,
and stella and visual basic. The result indicated that PPI/TPI Dadap has no
dependent any more on fisheries, on the contrary with PPI/TPI Kamal Muara; the
development program at both local government has not implemented the ICZM
concept. It is recommended that TPI Dadap function is switched from fish
landing place to coastal tourism activity landing base.

Key word: ICZM, self autonomy, and fisheries dependent regions

v
ABSTRAK
RUDDY SUWANDI. Analisis Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan
Kamal Muara dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.
Dibimbing oleh DANIEL R MONINTJA sebagai Ketua, ROKHMIN DAHURI
dan ERNAN RUSTIADI masing-masing sebagai anggota.

Dua buah pusat aktivitas pendaratan ikan yang berdekatan dan terletak di
dua wilayah administrasi yang berbeda dapat menimbulkan pengaruh yang tidak
sama terhadap program pembangunan di daerah masing-masing. Tangerang
mempunyai PPI/TPI Dadap di wilayah paling timur yang letaknya hanya sekitar
700 m dengan PPI/TPI Kamal Muara di kawasan paling barat dari Pemkot Jakarta
Utara. Era otonomi daerah juga berpengaruh terhadap kebijakan program
pembangunan masing-masing pemerintah daerah. Untuk melihat pengaruh yang
terjadi akibat keberadaan kedua PPI/TPI tersebut, maka digunakan analisis
ketergantungan perikanan, analisis shift share, LQ, skalogram, serta stella dan
visual basic. Kesimpulan penelitian penunjukkan bahwa PPI/TPI Dadap sudah
tidak bergantung lagi pada sumberdaya perikanan, sementara PPI/TPI Kamal
Muara ketergantungannya semakin meningkat; serta program pembangunan yang
dilakukan di kawasan Dadap-Kamal Muara sejauh ini belum sepenuhnya
dilakukan berdasarkan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Direkomendasikan bahwa TPI Dadap difungsikan sebagai pelabuhan yang
mendukung kegiatan wisata pantai dan wisata bahari.

Kata kunci: pengelolaan wilayah pesisir terpadu, otonomi daerah, dan


ketergantungan daerah perikanan

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas


kanrunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini, yang merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan program doktor (S3) pada PS SPL SPs IPB.

Disertasi ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan beberapa pihak,
baik yang terkait langsung maupun yang tidak. Kepada Komisi Pembimbing,
yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dengan anggota Prof. Dr. Ir.
Rokhmin Dahuri dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. penulis mengucapkan
terimakasih atas bimbingan yang diberikannya. Ucapkan terimakasih penulis
sampaikan juga kepada Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ir. Aminuddin, M.Si., Dr. Ir.
AM Azbas Taurusman, M.Si, dan Ir. Arief Budi Purwanto, M.Si., atas
kesediaannya dalam memberikan arah penyusunan model dinamika ekonomi serta
meningkatkan makna sejak rencana penelitiannya ini; kepada Dr. Ir. Setyo Budi
Susilo, M.Sc., atas waktunya dalam melayani diskusi dan berbagai pertanyaan
yang berkaitan dengan seluruh kegiatan penulisan sejak usulan penelitian sampai
draft disertasi ini; kepada Ir. Ita Carolita, M.Si dari LAPAN, atas bantuannya
dalam penyediaan citra satelit LANDSAT untuk kawasan Dadap-Kamal Muara,
kepada Sdr. Ir. MA. Rakhmat Kurnia, M.Si dan Ir. Admo Wibowo, atas
bantuannya dalam konsultasi tentang pemanfaatan program visual basic untuk
pemodelan ketergantungan daerah perikanan dari TPI. Penulis menyampaikan
terimakasih juga kepada Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto atas dorongan
semangat dan kewenangannya dalam memberikan kelonggaran waktu selama
penyelesaian disertasi ini. Bantuan biaya juga penulis peroleh dari Ditjen Dikti
Depdiknas melalui program BPPS dan juga dari PKSPL IPB. Semoga Allah
YME membalas semua kebaikan orang dan lembaga tersebut dengan limpahan
rahmat yang setimpal.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini jauh dari sempurna.


Namun demikian, semoga ada manfaatnya bagi yang menggunakannya.

Bogor, September 2007

Penulis

vii
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 11 Mei 1958, sebagai anak


ke empat dari 13 bersaudara dari pasangan Suwanda (almarhum) dan Onah
Mariyam. Masa kecil sampai menempuh pendidikan di SLA penulis habiskan di
Garut Jawa Barat.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik dan Manajemen


Penangkapan, Fakultas Perikanan IPB, lulus tahun 1981. Pada tahun 1984,
penulis diterima pada program S-2 Program Studi Ilmu Pangan PPs IPB, yang
dapat diselesaikan oleh penulis pada tahun 1990. Dari tahun 1991 sampai 1993,
penulis menempuh program S-2 lagi di School of Food and Environmental
Studies Humberside University di England. Pada tahun 1999, penulis diterima
untuk program S-3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Sekolah Pascasarjana IPB.

Sejak tahun 1981 sampai sekarang, penulis menjadi staf pengajar


Departemen Teknologi Hasil Perairan - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB. Selain itu, penulis aktif sebagai staf peneliti pada Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan IPB, sejak didirikannya tahun 1996 sampai sekarang. Pada
lembaga ini, penulis banyak terlibat dalam kegiatan pelatihan untuk topik-topik
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu (Integrated Coastal
Zone Planning and Management, ICZPM) dan juga yang berkaitan dengan
penanganan dan pengolahan pasca panen hasil perikanan.

Penulis melakukan penelitian tentang perkembangan aktivitas perikanan di


Kawasan Dadap-Kamal Muara, dan menuangkannya dalam disertasi yang
berjudul Analisis Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara
dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Penelitian
yang dimulai tahun 2002 ini baru dapat diselesaikan dalam bentuk disertasi tahun
2007.

viii
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

RIWAYAT HIDUP............................................................................................. vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv

1 PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 5
1.3 Tujuan .................................................................................................. 10
1.4 Kerangka Berpikir ................................................................................ 10

2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 12


2.1 Wilayah Pesisir .................................................................................... 12
2.2.1 Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Secara Terpadu 14
2.2.2 Pengembangan wilayah......................................................... 14
2.2.3 Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu .......................... 24
2.2.4 Pengelolaan wilayah Jakarta dan sekitarnya secara terpadu . 35
2.3 Pengelolaan Perikanan Terpadu dan Berkelanjutan ............................. 41
2.3.1 Kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia........................... 44
2.3.2 Pelabuhan perikanan ................................................................... 45
2.3.3 Tempat pelelangan ikan .............................................................. 55
2.3.4 Kelembagaan TPI ........................................................................ 57
2.4 Analisis Perkembangan Aktivitas Pembangunan.................................... 59
2.4.1 Ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region) . 59
2.4.2 Land rent, social rent, dan environmental rent........................... 61
2.4.3 Metode skalogram ....................................................................... 68
2.4.4 Model sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan ......... 70
2.5 Beberapa Hasil Penelitian yang Terkait dengan Pengelolaan
Wilayah Pesisir, Perikanan, dan Pelabuhan ........................................ 77

ix
3 METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 81
3.1 Waktu Penelitian ....................................................................... 81
3.2 Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian.................................... 81
3.3 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 83
3.4 Metode Penelitian ...................................................................... 83
3.4.1 Pengumpulan Data .................................................................... 83
3.4.2 Analisis Data .............................................................................. 85
3.4.3 Model Analisis ........................................................................... 90

4 KEADAAN DAERAH PENELITIAN .................................... 98


4.1 Keadaan Umum....................................................................................... 98
4.2 Kondisi Lingkungan ................................................................................ 101
4.2.1 Penduduk dan mata pencaharian ................................................. 106
4.2.2 Lingkungan perairan ................................................................... 110
4.3 Kondisi Pemanfaatan Lahan ................................................................... 118
4.4 Kondisi Perikanan ................................................................................... 122
4.4.1 Keragaan perikanan Kota Jakarta Utara...................................... 122
4.4.2 Keragaan perikanan Kabupaten Tangerang ................................ 153
4.4.3 Keragaan perikanan kawasan Dadap-Kamal Muara ................... 160

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 168


5.1 Analisis Kondisi Lingkungan Kawasan Dadap-Kamal
Muara, pemanfaatan dan ketergantungan daerah perikanan
dari TPI Dadap dan TPI Kamal Muara .................................................. 168
5.1.1 Kondisi Lingkungan Kawasan Dadap-Kamal Muara ................. 168
5.1.2 Analisis tingkat ketergantungan Kawasan Dadap dan
Kamal Muara terhadap perikanan .............................................. 174
5.2 Analisis Struktur Komposisi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah,
Pemusatan Aktivitas serta Distribusi dan Hierarki Pelayanan
Fasilitas Sosial........................................................................................ 187
5.2.1 Komposisi pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah ........... 188
5.2.2 Pemusatan aktivitas ekonomi wilayah ........................................ 190
5.2.3 Distribusi dan hierarki pelayanan fasilitas sosial ........................ 194
5.3 Analisis pemanfaatan lahan dan daya tampung pelabuhan
perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara .......................................... 196
5.3.1 Pemanfaatan lahan di kawasan Dadap-Kamal Muara ................. 196

x
5.3.2 Analisis daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan
Dadap-Kamal Muara ................................................................... 209
5.3.3 Analisis model kelimpahan kapal ikan yang dapat
dipindahkan dari PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Muara Angke
ke PPI/TPI Kamal Muara ........................................................... 214
5.4 Skenario pengembangan dan pengelolaan pelabuhan
perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara ...................... 227
5.4.1 Penentuan lokasi pelabuhan perikanan ....................................... 227
5.4.2 Kelayakan teknis pelabuhan perikanan ....................................... 230
5.4.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan .................................. 232
5.5 Analisis Opini Masyarakat tentang Kondisi Perikanan di
Kawasan Dadap-Kamal Muara .............................................................. 226

6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 255


6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 255
6.2 Saran........................................................................................................ 255

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... ........ 257

xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Nomor
2.1 Kumpulan konsensus dari panduan ICM ................................................ 28

2.2 Derajat dan nama istilah dalam co-management .................................... 31

2.2. Daftar thesis/disertasi yang berkaitan dengan pengelolaan


wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan di Indonesia ........................ 70

2.3 Daftar thesis/disertasi yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah


pesisir, perikanan, dan pelabuhan di Indonesia....................................... 77

3.1 Matriks keterkaitan antara tujuan, indikator/parameter,


metode analisis, sumber data, dan output ............................................... 87

4.1. Luas dan jumlah desa di Kecamatan Kosambi tahun 2003..................... 102

4.2. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk


di Kecamatan Penjaringan tahun 2003 .................................................... 107

4.3. Jumlah Penduduk, Kepala Keluarga, Rukun Warga (RW)


dan Rukun Tetangga di Penjaringan 2003 ............................................. 108

4.4 Jumlah kepala keluarga menurut jenis kegiatan di Kecamatan


Penjaringan tahun 2003 ........................................................................... 109

4.5 Jumlah Kepala Keluarga Menurut Jenis Kegiatan di


Penjaringan tahun 2003 ........................................................................... 109

4.6. Kisaran tinggi muka laut di Pantai Dadap berdasarkan data


Pasut Tanjung Priok ................................................................................ 112

4.7 Nilai parameter kualitas air di perairan Kronjo dan Tanjung Pasir ........ 115

4.8 Kandungan logam berat di perairan Teluk Jakarta dan daging


kerang hijau antara tahun 2000-2001 ......................................................... 117

4.9 Nilai parameter kualitas air di Perairan Dadap hasil uji Kantor MenLH 118

4.10 Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Wilayah Kota Jakarta Utara .............. 123

4.11 Distribusi ikan konsumsi di DKI Jakarta tahun 2005 ............................. 126

4.12 Data jumlah kapal ikan di Kota Jakarta Utara tahun 1992-2003 ............ 127

4.13 Potensi budidaya perikanan darat di Jakarta Utara tahun 2003 .............. 129

xii
4.14 Potensi budidaya kerang hijau di Jakarta Utara tahun 2003 ................... 130

4.15 Data produksi ikan lokal dan ikan luar daerah dari masing-masing
PPI yang ada di Provinsi DKI Jakarta, tahun 2001-2004 ...................... 133

4.16 Rekapitulasi retribusi pemakaian tempat pelelangan ikan lokal


dan ikan luar daerah dari masing-masing PPI yang ada di
Provinsi DKI Jakarta, tahun 2001-2004 .................................................. 134

4.17 Rekapitulasi data frekwensi tambat labuh kapal yang masuk


di PPI Muara Angke Jakarta Utara tahun 2002-2004 ............................ 136

4.18 Rekapitulasi data tambat labuh kapal yang masuk di Pelabuhan


Perikanan Muara Angke tahun 2005 ...................................................... 136

4.19 Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan


ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 1.600 menjadi
Rp 2.150 ................................................................................................. 138

4.20 Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan


ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 2.150 menjadi
Rp 4.300 ................................................................................................. 139

4.21 Ketersediaan dan kebutuhan sarana dan prasarana penanganan dan


pengolahan hasil perikanan ..................................................................... 141

4.22 Data Nilai Produksi TPI Kamal Muara dan DKI Jakarta dari
Tahun 1997 2003 ................................................................................ 147

4.23 Daftar jenis ikan yang didaratkan di TPI Kamal Muara dari
tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002) ................................................ 148

4.24 Volume dan nilai produksi ikan lokal di TPI Kamal Muara
berdasarkan alat tangkap tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002) ........ 149

4.25 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di
lingkungan TPI Kamal Muara tahun 2005 sebelum kenaikan
harga BBM. ............................................................................................ 152

4.26 Potensi Areal Penangkapan di Kabupaten Tangerang ............................ 154

4.27 Produksi Potensi Pertambakan Kabupaten Tangerang tahun 2004......... 155

4.28 Keragaan Tempat Pelelangan Ikan dan Institusi


Penanggungjawab Operasionalnya. ....................................................... 157

4.29 Perkembangan produksi ikan hasil tangkap di laut dan perairan


umum di Kabupaten Tangerang. ............................................................ 158

xiii
4.30 Keragaan alat tangkap ikan di Kabupaten Tangerang tahun 2003.......... 159

4.31 Data umum PPI Dadap Kecamatan Kosambi Kabupaten


Tangerang tahun 2003 ............................................................................. 161

4.32. Daftar Jenis Ikan yang tertangkap di Pantai Dadap (PPLH, 1997) ......... 164

5.1 Skenario solusi konflik reklamasi pesisir Dadap dan peran


diantara para stakeholders ...................................................................... 176

5.2 Skenario solusi konflik rencana reklamasi pantura................................. 178

5.3 Rasio jumlah nelayan terhadap total penduduk(RNt).............................. 182

5.4 Rasio jumlah nelayan terhadap total tenaga kerja (RMt) ....................... 182

5.5 Rasio jumlah hasil tangkapan ikan ......................................................... 182

5.6 Rasio jumlah kapal ikan (RKt) .............................................................. 183

5.7 Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan................ 183

5.8 Rasio kontribusi sektor perikanan wilayah desa terhadap


wilayah kabupaten/kota (KPIti) .............................................................. 183

5.9 Rasio kesempatan kerja sektor perikanan wilayah desa terhadap


total jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota (KPIti) ................... 184

5.10 Rasio industri sektor perikanan wilayah desa terhadap jumlah


penduduk wilayah kabupaten/kota (RIti) .............................................. 184

5.11 Hasil rataan variabel ketergantungan daerah penangkapan. ................... 184

5.12 Hasil modifikasi dari input data rataan variabel ketergantungan


daerah penangkapan. .............................................................................. 185

5.13 Hasil normalisasi data berbagai variable ketergantungan perikanan


daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003. ....................... 185

5.14 Hasil analisis data tahunan berbagai variable ketergantungan


perikanan daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003........ 186

5.15 Hirarki wilayah Kecamatan Kosambi dan Penjaringan berdasarkan


analisis skalogram .................................................................................. 195

5.16 Data penggunaan lahan di kawasan Dadap dan Kamal Muara (m2) ...... 201

xiv
5.17 Status lahan di Kelurahan Kamal Muara antara tahun 1997-2000 ......... 202

5.18. Data peruntukan lahan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan


Penjaringan dari tahun 1995-2000 (ha) .................................................. 202

5.19. Data perubahan jumlah bangunan di Kelurahan Kamal Muara


Kecamatan Penjaringan dari tahun 1993-2001 (unit) ............................ 203

5.20 Distribusi hutan mangrove di wilayah Jakarta ........................................ 204

5.21 Persentase penggunaan tanah di Kecamatan Penjaringan


Tahun 2003 ............................................................................................ 204

5.22 Daftar fasilitas logistik kegiatan perikanan disekitar TPI Dadap


dan Kamal Muara ................................................................................... 212

5.23 Daftar fasilitas yang perlu dikembangkan di TPI Kamal Muara


untuk menampung kelebihan kapasitas TPI Muara Angke ................... 216

5.24 Pergerakan atribut diantara TPI Dadap, TPI Kamal Muara, dan
TPI Muara Angke................................................................................... 217

5.25 Nilai konversi variabel sarana dan prasarana pelabuhan


perikanan di Kamal Muara (kapasitas pelabuhan untuk sebanyak
500 unit kapal berukuran 50 GT (perubahan dari total bobot kapal
2.310 GT ke 25.000 GT)1) ......................................................................... 218

5.26 Model perubahan jumlah kapal yang pindah dan fasilitas


pelabuhan yang perlu ditingkatkan ........................................................ 220

2.27 Besaran jumlah ikan dan nilai retribusi yang diperkirakan dapat
diperoleh dari operasional 299 unit kapal ikan di TPI Muara
Angke (data diolah dari Tabel 4.10, Tabel 4..11 dan Tabel 4.12). ........ 221

2.28 Data pola perubahan keseimbangan jumlah kapal (dalam GT) di


TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam
skenario optimasi TPI Kamal Muara dari tahun 2006-2011 .................. 226

5.29 Aspek kelembagaan pengelola TPI Dadap dan Kamal Muara................ 237

5.30 Rangkuman kondisi sarana perikanan di kawasan Dadap-


Kamal Muara berdasarkan responden nelayan ....................................... 240

5.31 Rangkuman biaya operasi penangkapan ikan per trip di kawasan


Dadap-Kamal Muara berdasarkan responden nelayan tahun 2004 .......... 241

xv
5.32. Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang
Tahun Anggaran 2003 ............................................................................ 243

5.33. Rangkuman saran penduduk responden nelayan berkaitan


dengan aktivitas perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara. ............. 246

5.34 Pendapat masyarakat lokal tentang masalah perikanan .......................... 248

xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Nomor

1.1 Kerangka berfikir pemecahan masalah pengembangan pelabuhan


perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara dalam
konteks pengelolaan pesisir terpadu........................................................ 11

2.1 Dasar pemikiran terbentuknya virtue universal ...................................... 19

2.2 Indikator pembangunan berkelanjutan ................................................... 22

2.3 Hubungan antara berbagai komponen dalam kegiatan


pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ................... 27

2.4. Derajat interaksi diantara pemerintah dan komunitas dalam


co-management ...................................................................................... 32

2.5 Latar belakang, gagasan, dan sejarah kerjasama BKSP Jabotabekjur .... 36

2.6 Bagan Sekretariat BKSP Jabotabekjur sesuai


PERMENDAGRI No. 6/2006 ................................................................ 38

2.7 Bagan alir fungsi pemasaran yang terjadi di TPI .................................... 56

2.8 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Jawa Tengah ................. 58

2.9 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Jawa Timur ..... 58

2.10 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Bali ................. 59

2.11 Model Von Thunen tentang land-rent ..................................................... 63

2.12 Konsep land rent ..................................................................................... 63

2.13 Kurva penawaran (S) dan permintaan (D) dari lahan ............................. 67

2.14 Model sebagai re-presentasi realitas dunia nyata .................................... 76

3.1 Peta lokasi penelitian ................................................................................. 82

5.1 Profil pertumbuhan PDRB Kabupaten Tangerang 2000 -2002 ................. 189

5.2 Profil pertumbuhan PDRB Kota Jakarta Utara 2000-2003 ........................ 190

5.3 Grafik LQ Sesaat untuk Komoditi Unggulan di Kabupaten


Tangerang pada Tahun 2003 ...................................................................... 191

xvii
5.4. Grafik LQ untuk Komoditi Unggulan di Kabupaten Tangerang
pada Tahun 2000 2002 ............................................................................ 192

5.5. Grafik LQ Sesaat untuk Komoditi Unggulan di Kota Jakarta


Utara pada Tahun 2003 ............................................................................. 193

5.6. Grafik LQ untuk Komoditi Unggulan di Kota Jakarta Utara


pada Tahun 2000 2003 ........................................................................... 193

5.7 Citra satelit landsat di lokasi penelitian, tahun 1992-2002. ....................... 200

5.8 Pola distribusi ikan yang berasal dari Kawasan Dadap-Kamal Muara ...... 211

5.9 Kurva laju perubahan keseimbangan jumlah kapal di TPI Muara


Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi
TPI Kamal Muara...................................................................................... 222

5.10 Model kualitatif perpindahan sebagian armada penangkapan


ikan ke TPI Kamal Muara ...................................................................... 223

5.11 Causal loop yang diasumsikan dapat terjadi pada proses pindah
kapal ikan dan investasi fasilitas pelabuhan........................................... 224

5.12 Diagram hierarki pengelolaan kawasan Dadap-Kamal Muara ............... 238

xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Nomor Lampiran:

1 Hasil analisis ketergantungan perikanan dengan menggunakan WSA


program ............................................................................................. 269

2 Data PDRB Kabupaten Tangerang dan PDRB Provinsi Banten ............ 274

3 Data PDRB Kota Jakarta Utara, dan Provinsi DKI Jakarta .................... 275

4 Analisis skalogram fasilitas sosial di Kecamatan Penjaringan,


Jakarta Utara ........................................................................................... 276
5 Analisis skalogram fasilitas sosial di Kecamatan Kosambi,
Kabupaten Tangerang ............................................................................. 279
6 Persamaan dalam model dinamik Stella untuk perubahan kapasitas
kapal di PPI/TPI Muara Angke, PPI/TPI Kamal Muara, dan
PPI/TPI Dadap ....................................................................................... 281
7 Hasil pengolahan data komunitas lokal dengan survey pro .................... 283
8 Hasil pengolahan data nelayan lokal dengan survey pro ........................ 289

xix
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sesuai dengan harapan-harapan yang dilontarkan oleh berbagai pihak


tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, maka
berbagai masukan yang dapat dijadikan bahan untuk membuat peraturan turunan
dari UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah dan No. 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sangat
diperlukan. Mengingat masalah otonomi yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan mempunyai dimensi yang berbeda dengan
pengelolaan wilayah dan sumberdaya daratan (terrestrial), maka yang sangat
mendesak untuk dilakukan secara konkrit oleh daerah adalah mengidentifikasi
semua potensi sumberdaya (baik yang dapat pulih maupun tidak dapat pulih)
pesisir dan lautan yang dimiliki oleh daerah masing-masing, dalam rangka
membuat rencana pengelolaan dan pengembangan kawasan ini. Semakin dini
suatu daerah mengetahui secara akurat potensi sumberdaya ini, semakin besar
pula peluangnya untuk melakukan pengelolaan secara terpadu, baik dalam
koordinasi dan pelaksanaan program pembangunan di lingkungan Pemerintah
Daerah (PEMDA) yang bersangkutan maupun dengan PEMDA yang berbatasan
wilayahnya. Pengelolaan secara terpadu diyakini dapat menjamin pembangunan
berkelanjutan di wilayah pesisir.

Sumberdaya manusia adalah faktor utama yang menentukan keberhasilan


suatu program pembangunan. Untuk kegiatan pembangunan di wilayah pesisir,
maka stakeholders yang terkait dengan hal tersebut haruslah mengerti betul
tentang apa dan bagaimana konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
(integrated coastal zone management, ICZM). Tidak perlu semua stakeholders
tersebut mengerti ICZM secara mendalam, tetapi kerelaan untuk saling mengerti
tentang adanya masalah bersama dan kemudahan untuk melakukan koordinasi
yang efektif sangatlah besar pengaruhnya pada keberhasilan pelaksanaan program
pembangunan.

1
Kawasan Dadap-Kamal Muara yang berlokasi di perbatasan Jakarta-
Banten, adalah suatu wilayah yang mempunyai tingkat pembangunan yang relatif
pesat. Posisi tersebut memungkinkan pemerintah daerah untuk memanfaatkan
para pakar ICZM yang banyak terdapat di sekitar JABODETABEK untuk
berperan serta dalam kegiatan pembangunan wilayah pesisir. Keberhasilan atau
kegagalan program pembangunan wilayah pesisir di daerah ini akan dengan cepat
dapat dipublikasikan ke seluruh Indonesia dan bahkan ke seluruh dunia karena
semakin baiknya sistem komunikasi. Hal ini merupakan tantangan bagi para
birokrat di lingkungan pemerintah daerah untuk memanfaatkan para ahli ICZM
tersebut untuk mencapai hasil pembangunan yang optimal.

Berkaitan dengan program otoda ini, maka PEMDA Kabupaten Tangerang


diharapkan lebih jeli untuk menangkap setiap peluang pengembangan sumberdaya
pesisir dan lautannya. Hal ini berkaitan dengan semakin padatnya penduduk DKI
Jakarta serta semakin banyaknya aspek yang harus ditata oleh PEMDA DKI
Jakarta untuk menjaga statusnya sebagai ibukota negara, bukan sebagai sebuah
metropolitan yang dikelilingi oleh perkampungan terbesar di dunia.

Kabupaten Tangerang adalah salah satu kawasan penyangga (buffer) setiap


gerak pembangunan yang dilakukan oleh DKI Jakarta, khususnya di kawasan
Jakarta Utara. Dampak dari kegiatan pembangunan yang dilakukan di kawasan
Ibu Kota Negara tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Dampak positifnya
antara lain:

(1) Berkembangnya investasi di berbagai bidang yang terlalu mahal biayanya


jika dikembangkan di kawasan DKI, khususnya bidang industri,
pemukiman, dan jasa;

(2) Adanya lowongan pekerjaan yang dapat diisi oleh warga Tangerang
(khususnya untuk tenaga kerja yang tidak memerlukan keakhlian spesifik);

(3) Adanya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak
bangunan, barang, dan jasa;

2
(4) Adanya keuntungan bagi daerah (baik individu maupun perusahaan) dari
berkembangnya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan secara
umum maupun karyawan perorangan;

(5) Terbukanya peluang pemasaran hasil perikanan.

Setiap aktivitas pembangunan, bagaimanapun kecilnya mempunyai


kemungkinan menimbulkan dampak negatif. Beberapa dampak negatif yang
timbul akibat berkembangkan kawasan Tangerang yang berbatasan dengan DKI
Jakarta antara lain:

(1) Terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan yang berasal dari kegiatan


industri dan pemukiman yang tidak ramah lingkungan;

(2) Timbulnya dampak negatif sosial budaya masyarakat setempat, baik pada
tingkah laku dan aspek sosialnya penduduk secara umum, maupun aspek
keamanan lingkungannya; serta

(3) Terjadinya perubahan ekosistem dalam suatu kawasan, khususnya kawasan


pesisir.

Sektor perikanan tidak terlepas dari aspek penataan yang perlu dilakukan
oleh PEMDA DKI Jakarta, karena kawasan perikanan (khususnya tempat
pendaratan ikan, penanganan dan pengolahannya, serta pemasarannya) selalu
dikonotasikan sebagai daerah sumber polusi (khususnya polusi udara, lingkungan
pantai dan perairan) dan pemukiman yang kumuh. Meskipun PEMDA DKI
Jakarta telah berhasil melakukan penataan untuk kawasan perikanan Muara Baru
dan Muara Angke, tetapi kesan kumuh untuk kedua daerah ini tetap saja ada,
karena perkampungan di sekitarnya terimbas kegiatan primer tersebut dan
muncullah konsentrasi-konsentrasi kegiatan ekonomi di luar kawasan
peruntukannya. Hal yang sama juga akan terjadi dengan daerah-daerah perikanan
di kawasan DKI Jakarta lainnya seperti Kamal Muara, Kapuk Muara di sebelah
barat atau Cilincing dan Marunda di sebelah timur.

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kamal Muara, merupakan PPI yang


terletak paling barat di wilayah DKI Jakarta. Peningkatan kapasitas pendaratan

3
PPI ini merupakan bagian dari upaya untuk menampung kelebihan kapasitas PPI
Muara Angke di sebelah timurnya.

Tangerang mempunyai beberapa konsentrasi kegiatan perikanan, yaitu di


PPI/TPI Kronjo, PPI/TPI Banyawakan, PPI/TPI Ketapang, PPI/TPI Cituis,
PPI/TPI Tanjung Pasir, dan PPI/TPI Dadap. Sejak direncanakan untuk
dibangunnya Pelabuhan Kapal Baruna Jaya tahun 1997, maka kondisi PPI Dadap
ini semakin ramai, baik bagi kegiatan pendaratan ikan, tempat perbaikan,
pemberangkatan, dan berlabuhnya kapal pesiar yacht untuk kegiatan mancing dan
wisata di kawasan Kepulauan Seribu, maupun aktivitas pemasarannya melalui
restoran seafood. Tidak semua PPI/TPI yang ada di Kabupaten Tangerang
mempunyai tingkat aktivitas yang optimal.

Kondisi PPI/TPI lainnya yang ada di Tangerang ada yang sudah sulit untuk
dikembangkan, seperti misalnya PPI/TPI Cituis yang terletak di tepi sungai dan
dikelilingi oleh pemukiman penduduk, sebagaimana dinyatakan dalam hasil studi
PKSPL IPB (PKSPL IPB 2000). Akses jalan yang sempit juga menyebabkan
tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengembangkan PPI/TPI ini. Jika
dilihat dari aspek investasi dan penghasilan yang akan diperoleh, maka biaya
pengembangan PPI/TPI Dadap akan lebih kecil dibandingkan dengan PPI/TPI
lainnya di kawasan Kabupaten Tangerang dan akan memberikan keuntungan yang
lebih besar. Faktor-faktor yang mendukung PPI/TPI Dadap dapat lebih berhasil
dari PPI/TPI lainnya adalah:
(1) Lokasinya dekat dengan jalan TOL Jakarta Cengkareng, sehingga akses ke
Jakarta, Tangerang, atau daerah lainnya di Jawa Barat dan Banten menjadi
lebih lancar;
(2) Pangkalan Pendaratan Ikan Dadap terletak di muara Kali Perancis yang
mengalirkan air dari daerah genangan kawasan Bandara Sukarno-Hatta
Cengkareng, sehingga kemungkinan terjadinya pendangkalan kolam
pelabuhan sangat lambat sekali;
(3) Kawasan ini merupakan perbatasan dengan wilayah DKI Jakarta yang telah
merencanakan pembangunan suatu Kota Air di Kamal Muara, sehingga
dampak posisif dari pembangunan kota ini dapat dimanfaatkan oleh
kawasan Dadap, khususnya jika ditinjau dari aspek ekonomi.

4
1.2 Perumusan Masalah
Kerusakan lingkungan pesisir, khususnya ekosistem perairan pantai adalah
salah satu isu pokok yang sekarang sedang berkembang di kawasan Dadap-Kamal
Muara. Isu yang lainnya adalah masa depan PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Kamal
Muara yang tidak diketahui secara jelas dan transparan oleh penduduk lokal.
Meskipun menjadi sumber pendapatan bagi nelayan dan pedagang ikan serta
menjadi tempat belanja ikan bagi penduduk sekitarnya, program pengembangan
PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Kamal Muara di masa yang akan datang tidaklah
diketahui oleh masyarakat umum.

Kerusakan ekosistem perairan ditunjukkan dengan rendahnya nilai kualitas


air di pesisir utara Jakarta dan Tangerang. Dari penampakan warna air, sampai
jarak sekitar 500 m dari garis pantai warna air sudah hitam dengan bau khas
senyawa sulfida. Tingkat polusi air juga sudah tinggi yang telah menyebabkan
terjadinya beberapa kali kasus matinya ribuan ekor ikan, dan tingginya kandungan
logam berat pada benthos dan kerang hijau (Perna viridis L.). Kejadian bulan
Mei 2004 dimana ribuan ekor ikan mati di perairan pesisir Jakarta sudah
menunjukkan bagaimana buruknya kondisi kualitas airnya.

Kondisi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan program


pembangunan yang direncanakan haruslah dikomunikasikan dengan sangat
cermat dan terpadu. Bilamana perlu dapat dilakukan suatu kajian yang cukup
mendalam untuk mencari jawaban apakah program yang direncanakan pemerintah
dapat memberikan keuntungan kepada semua stakeholders, atau hanya
menguntungkan segelintir orang saja. Kajian juga dapat memberikan jawaban
apakah suatu program pembangunan masih layak untuk diteruskan padahal
dukungan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia tidak ada.

Sebagai akibat adanya berbagai kepentingan dalam pengembangan


kawasan Dadap, maka terjadinya penurunan fungsi PPI/TPI Dadap sebagai pusat
kegiatan perikanan tangkap di kawasan paling timur Kabupaten Tangerang ini
adalah suatu hal yang wajar dan dapat dimengerti. Namun demikian, hal ini telah
membawa dampak negatif, tidak hanya bagi nelayan tangkap dan para pedagang

5
kecil dan pengolah ikan, tetapi juga terhadap para pemilik restoran seafood yang
sebelumnya tumbuh menjamur di kawasan ini.

Vakumnya kegiatan PPI/TPI Dadap sejak tahun 1997 secara langsung juga
merugikan Pemda Tangerang yang kehilangan sumber dana dari retribusi PPI/TPI
dan kegiatan ekonomi ikutannya. Dengan tidak aktifnya PPI/TPI Dadap ini, maka
sebagian dari nelayan yang biasanya mendaratkan hasil tangkapannya di sini, kini
beralih ke TPI lain yang umumnya berada di kawasan Jakarta Utara, khususnya ke
TPI Kamal Muara yang berjarak 700 m di sebelah timurnya. Namun demikian di
sisi yang lain, seandainya Pemkab Tangerang mempunyai program lain yang
dinilai akan lebih banyak menghasilkan PAD, maka pe-non-aktifan TPI Dadap
tersebut akan menjadi suatu jalan ke arah alternatif yang lebih menguntungkan.

Di Kelurahan Dadap, sejak lama sudah ada rencana pembangunan


Pelabuhan Kapal Penelitian Baruna Jaya yang tidak jelas kelanjutannya,
pembangunan kawasan wisata Pantai Mutiara Dadap, serta pembangunan
Pelabuhan Peti Kemas. Di Kamal Muara, rencana pembangunan Kota Air Kamal
Muara secara perlahan tapi pasti tetap bergulir. Semua program tersebut seolah-
olah menggantung di langit dan sewaktu-waktu dapat turun untuk dilaksanakan.
Padahal masyarakat yang akan terkena dampaknya perlu mengetahui secara dini,
apa yang akan terjadi dan apa akibatnya bagi penduduk. Mungkinkah masyarakat
mendapat keuntungan langsung, atau keuntungan tidak langsung yang masih
memungkinkan mereka untuk tetap tinggal di tempat tinggalnya sekarang.

Perkembangan kegiatan ekonomi di kawasan Dadap ini ternyata juga diikuti


oleh maraknya aktivitas prostitusi, yang merupakan salah satu dampak negatif
dari kegiatan pembangunan ini. Keresahan masyarakat akhirnya memuncak pada
tanggal 14/08/1997, dimana areal prostitusi tersebut akhirnya dibakar massa.
Dampak lanjutan dari kerusuhan tersebut adalah berkurangnya restoran seafood
karena konsumen yang berkunjung ke kawasan ini merasa jengah. Berkurangnya
volume pemasaran ikan kemudian menyebabkan pendaratan ikan di PPI/TPI pun
jauh berkurang. Data jumlah hasil retribusi kegiatan lelang di PPI/TPI Dadap
tahun 1994 sebesar 18,3 juta rupiah, namun sejak tahun 2000 nilai ini belum
pernah tercapai lagi (Diskankab Tangerang 2003).

6
Penurunan kualitas lingkungan sosial ini sangat meresahkan masyarakat,
khususnya bagi masyarakat yang masih memiliki rasa idealisme untuk
mendapatkan pendidikan keluarga yang baik. Kondisi ini memicu terjadinya
perusakan 68 rumah liar yang digunakan untuk praktek prostitusi di Dadap
tanggal 20 Oktober 1994, yang dipelopori oleh puluhan Ibu-ibu PKK. Shock
therapy ini hanya bertahan beberapa bulan saja, karena secara perlahan-lahan
tetapi pasti kegiatan prostitusi tersebut tetap berjalan (Anonimous 1996).

Menurut McCann (2001), semua fenomena ekonomi selalu memerlukan


tempat (ruang) geografis, baik dalam bentuk tempat perdagangan barang (pasar),
ataupun tempat jasa perdagangan itu dilakukan (seperti perkantoran). Sehingga,
performa dari lokasi ini sangat menentukan pula keberhasilan proses jual beli,
termasuk jasa perdagangan yang tidak melibatkan secara langsung barang yang
diperjual belikan. Kondisi ini menyebabkan tingginya permintaan terhadap lahan
sehingga harganya pun menjadi sangat tinggi, sehingga keberadaannya menjadi
langka. Menurut Rustiadi et al. (2003), kelangkaan ini tidak hanya dilihat dari
aspek fisik (ketersediaannya terbatas), tetapi juga oleh kendala-kendala
kelembagaan (institutional) seperti kepemilikan, dalam kaitannya dengan hak-hak
(property right) atas tanah yang dapat menjadi suatu kendala dalam
pemanfaatannya.

Isu lain yang juga bergulir cepat di daerah ini adalah rencana
pembangunan kawasan wisata terpadu Pantai Mutiara. Belum juga dokumen
AMDALnya dibuat, kegiatan reklamasi seluas 300 ha sudah dilakukan sehingga
meresahkan masyarakat dan pemerintah daerah (Anonimous 2004a dan 2005a;
Anonimous 2004b). Berdasarkan Perda RTRW No. 5/1992, No. 3/1996, serta
Perda No 5/2002 tentang Perubahan Atas RTRW, kawasan Dadap diperuntukkan
sebagai daerah pengembangan perikanan dan pariwisata.

Konflik yang terjadi di kawasan Dadap tersebut cukup komplek.


Kompleksitas masalah ini disebabkan sudah terdapatnya aspek legal yang
mengijinkan dilakukannya reklamasi oleh para pengembang. Legalitas yang
membolehkan dilakukannya reklamasi ini berupa Fatwa Rencana Pengarahan
Lokasi dengan No. 655.2/330-DTRB/IX/2001 tertanggal 26 September 2001 yang

7
ditandatangani oleh Bupati Agus Djunara. Apalagi pada saat yang bersamaan
Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga mengeluarkan surat penetapan retribusi
fatwa rencana pengarahan lokasi bernomor 974/330-DTRB/IX/2001 yang
ditandatangani Kepala Dinas Tata Ruang dan Bangunan, Nanang Komara yang
kini menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang. Dalam fatwa tersebut
ditetapkan bahwa dasar hukum pemberian fatwa itu adalah Perda No 8 tahun 1986
jo Perda No 11 tahun 1987 tentang IMB dan Perda No 4 tahun 1994 (Bab IV)
tentang retribusi, jelas sumber tadi. Menurutnya, berdasarkan ketetapan tersebut
pihak pengembang diharuskan membayar retribusi biaya urukan senilai Rp 100
per meter persegi (Sinar Harapan 2004a). Dalam berita tersebut juga disebutkan
bahwa Pemkab Tangerang telah menerima retribusi ratusan juta rupiah dari
pengembang untuk mengeluarkan ijin tersebut. Kemelut yang belum selesai
hingga kini tersebut, meskipun telah dibawa dalam diskusi di tingkat DPRD
(Suara Publik 2004) dan Komisi VII DPR (Anonimous 2005c, Anonimous
2005d), menunjukkan bahwa telah terjadi kekisruhan dalam implementasi Perda
tentang RTRW dan desakan kepentingan beberapa pihak yang berorientasi pada
keuntungan ekonomi sesaat.

Perpindahan tempat pendaratan ikan dari nelayan-nelayan tersebut secara


ekonomi akan sangat merugikan masyarakat wilayah Dadap khususnya dan
Kabupaten Tangerang umumnya. Sebaliknya, peningkatan jumlah nelayan yang
mendaratkan hasil tangkapannya di wilayah Jakarta Utara tidak hanya
menyebabkan peningkatan pendapatan karena terjadinya peningkatan volume
kegiatan perikanan, tetapi juga menimbulkan dampak sosial yang cukup besar
bagi Kota Metropolitan Jakarta, seperti munculnya daerah-daerah kumuh di
sekitar pelabuhan perikanan dan meningkatnya masa tunggu (waiting time) di
pelabuhan. Meningkatnya masa tunggu bongkar muat di suatu pelabuhan ini
secara ekonomi sangat merugikan nelayan khususnya dan juga merugikan
pemerintah secara umum.

Hilangnya kegiatan perikanan di PPI/TPI Dadap serta peningkatan yang


drastis pula di PPI/TPI Kamal Muara dan PPI/TPI Muara Angke telah
menyebabkan terjadinya kelebihan kapasitas penanganan pelabuhan (overload) di

8
kedua TPI di Jakarta Utara ini. Kurang baiknya prasarana dan sarana pelabuhan
telah menyebabkan kurang optimalnya penggunaan tenaga buruh di PPI/TPI
Kamal Muara, sementara di PPI/TPI Muara Angke, optimalisasi tenaga buruh
terhambat karena kapal ikan yang sudah melakukan bongkar muatan terhambat
untuk melakukan parkir karena keterbatasan kolam pelabuhan.

Sebagai kawasan yang terletak di perbatasan antara dua daerah tingkat


kabupaten/kota dan dua provinsi, yaitu Kabupaten Tangerang Provinsi Banten dan
Kota Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta, potensi kawasan Dadap dan Kamal
Muara tersebut dapat berpeluang untuk menyumbangkan sesuatu yang bersifat
positif bagi kedua belah pihak atau bersifat negatif bagi salah satu atau keduanya.
Suatu kegiatan pembangunan di kawasan tersebut yang direncanakan dan
dilaksanakan secara terpadu oleh kedua daerah tingkat kabupaten/kota tersebut
akan secara pasti memberikan keuntungan bagi keduanya. Tetapi jika hal tersebut
dilakukan secara kedaerahan atau bahkan sektoral, besar kemungkinan akan
terjadi beberapa hal berikut:
(1) Masing-masing daerah mendapat keuntungan, tetapi persaingan jenis usaha
tidak dapat dikontrol dan akan saling menjatuhkan salah satu pihak;
(2) Salah satu daerah akan mendapat keuntungan besar tetapi daerah lainnya
mendapat keuntungan sekedarnya;
(3) Salah satu daerah mendapat keuntungan tetapi daerah lainnya mendapat
kerugian, baik dilihat dari aspek sumberdaya manusia, biofisik, sosial
ekonomi, maupun lingkungan.
(4) Kedua daerah mendapat kerugian, karena beberapa kegiatan yang saling
bertentangan di suatu kawasan yang sama akan menimbulkan dampak
negatif.

Kawasan Dadap dihuni oleh berbagai komunitas masyarakat yang


mempunyai aktivitas primer yang berbeda-beda. Masyarakat sekitar Dadap dan
Kamal Muara terdiri dari nelayan, petani, penduduk yang terlibat dengan kegiatan
lain seperti perdagangan dan jasa, serta juga terdapatnya beberapa lokasi
pemukiman penduduk (yang umumnya bukan penduduk asli kawasan
Dadap/Muara Kamal atau para pendatang). Dalam konsep ICZM, peran

9
penduduk lokal dalam perencanaan pembangunan sangatlah vital. Opini
masyarakat harus diakomodasi oleh pemerintah sehingga akan diperoleh prinsip-
prinsip saling mendapat keuntungan (win-win solution) meskipun tidak penuh.

1.3 Tujuan

Penelitian yang berjudul ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN


PELABUHAN PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM
KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU ini bertujuan
untuk:

1) Mengkaji kondisi lingkungan, pemanfaatan dan ketergantungan daerah


perikanan dari TPI Dadap dan TPI Kamal Muara sesuai dengan
perkembangan kegiatan pembangunan daerah di kawasan tersebut.

2) Menganalisis struktur komposisi pertumbuhan ekonomi wilayah dan


pemusatan aktivitas serta hierarki aktivitas pelayanan.

3) Mengkaji pemanfaatan lahan dan daya tampung pelabuhan perikanan di


kawasan Dadap-Kamal Muara berkaitan dengan kapasitas tampung TPI
Muara Angke di masa yang akan datang

4) Membuat analisis dan skenario pengembangan dan pengelolaan pelabuhan


perikanan dalam konteks pengelolaan pesisir terpadu.

5) Membuat kajian opini masyarakat tentang kondisi perikanan di kawasan


Dadap-Kamal Muara

1.4 Kerangka Berpikir

Dari kerangka permasalahan yang ada di lapangan, maka kerangka pikir


penelitian yang perlu dilakukan dapat diuraikan sebagaimana tercantum dalam
Gambar 1.1.

10
TPI DAN ISU MASALAH EKONOMI & MASALAH FISIK MASALAH SKENARIO SOLUSI
KEBIJAKAN SOSIAL
PPI/TPI MUARA

?
Kekurangan sarana Tenaga buruh
ANGKE Inefisensi
prasarana kurang optimal
Overload

Batas kelurahan
PPI/TPI
KAMAL MUARA
Tidak optimal Alur masuk pelabuhan Tenaga buruh
Aktivitas perikanan

?
dangkal, kapasitas kecil kurang optimal
tidak optimal

Kota Air Kamal Muara

Gelanggang olah raga


Batas kabupaten dan batas provinsi

PPI/TPI DADAP
TPI tidak aktif
Alur masuk pelabuhan Pengangguran
o Rencana Pembangunan

?
dangkal, kapasitas kecil dan prostitusi
Pelabuhan Kapal Riset
o Rencana Pembangunan Konflik tataruang
Pelabuhan Kapal Kon-
tainer
o Rencana pembangunan
Kawasan Wisata Pantai
Pasir Putih/Mutiara Dadap

Gambar 1.1. Kerangka berfikir pemecahan masalah pengembangan pelabuhan perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara
dalam konteks pengelolaan pesisir terpadu.

11
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau


transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau besar di tengah daratan
(Scialabba 1998). Wilayah pesisir mempunyai fungsi, bentuk, dan dinamika yang
beragam, serta tidak dibatasi oleh batas spasial yang ketat. Sementara itu Chua
(2006) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai bagian daratan yang berada di
sepanjang garis pantai dan berbatasan dengan air laut. Oleh karena itu wilayah
pesisir adalah suatu kawasan tempat terjadinya interaksi antara daratan dan
perairan. Sebagai akibatnya, secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan alam
baik yang berasal dari daratan maupun dari laut. Pengaruh daratan antara lain
aliran air tawar dan sedimen ke pesisir yang mengakibatkan terbentuknya delta,
wetlands dan mudflats. Sebaliknya, pasang surut dan arus laut mendorong air asin
jauh masuk ke wilayah daratan. Kekuatan alam lainnya yang juga berlangsung di
wilayah pesisir dan berpengaruh nyata adalah angin, suhu, badai, dan curah hujan.
Interaksi antara proses-proses fisika, kimia, dan biologi di wilayah peralihan
tersebut menciptakan sistem sumberdaya yang menghasilkan barang dan jasa yang
unik dan kondusif untuk kehidupan manusia. Chua (2006) juga menjelaskan
bahwa aktivitas manusia adalah faktor ke tiga yang mempengaruhi keterpaduan
dan kesehatan wilayah pesisir. Di suatu kawasan pesisir yang tidak terdapat
komunitas manusia, proses alami dapat menjaga kondisi wilayah tersebut tetap
pristine.

Terdapat dua istilah yang umum dipakai, yaitu coastal zones dan coastal
area (Scialabba 1998). Bentuk coastal zones lebih dimaksudkan pada definisi
berdasarkan wilayah geografis dimana suatu peraturan pengelolaan diberlakukan.
Sementara itu coastal area lebih luas penggunaannya pada wilayah pesisir yang
belum ditetapkan sebagai wilayah untuk tujuan pengelolaan.

Secara geografis, wilayah pesisir memiliki suatu keunikan tertentu, dalam


arti bahwa di tempat ini dapat dibangun pelabuhan dan berbagai fasilitas
penunjangnya sehingga dapat menangkap setiap peluang keuntungan dari
kegiatan-kegiatan ekonomi yang terjadi, baik kegiatan ekonomi primer maupun
sekunder. Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), tingginya nilai ekonomi suatu
kawasan pesisir juga disebabkan oleh daya tariknya yang besar untuk kegiatan
wisata. Wilayah pesisir secara biologis juga merupakan tempat yang mempunyai
produktivitas paling tinggi dan paling kaya dengan berbagai habitat. Selain itu,
sejalan dengan berlangsungnya jaman, kawasan pesisir merupakan suatu tempat
yang dapat bertahan terhadap berbagai pengaruh peristiwa alam, seperti badai
angin dan gelombang pada skala yang bervariasi. Chua (2006) menyebutkan
bahwa lebih dari setengah penduduk dunia hidup di kawasan yang lebarnya 100
km sepanjang garis pantai. Angka ini kemungkinan akan meningkat lagi menjadi
75 % penduduk dunia akan hidup di kawasan pesisir pada tahun 2020.

Menurut kesepakatan umum, definisi wilayah pesisir adalah suatu wilayah


peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline),
maka wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu: batas sejajar
garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai
(crossshore) (Dahuri et al. 1996). Akan tetapi penetapan batas-batas suatu
wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada
kesepakatan, artinya batas wilayah pesisir dapat saja berbeda antara satu dengan
negara yang lain. Hal ini dapat difahami karena adanya perbedaan kondisi
lingkungan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sistem pemerintahan.

Sorensen dan Mc Creary (1990) sebagaimana yang dikutip Dahuri et al.


(1996) mengkompilasi beberapa definisi wilayah pesisir dengan kesimpulan:

(1) Batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara
arbitrer dari rata-rata pasang tertinggi (mean high tide), dan batas ke arah
laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurisdiksi provinsi;

(2) Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah
pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah
perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan
(regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management).
Wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu)
apabila terdapat kegiatan manusia (kegiatan pembangunan fisik) yang dapat

13
menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya
pesisir. Oleh karena, itu batas wilayah pesisir ke arah darat untuk
kepentingan perencanaan dapat sangat jauh ke arah hulu. Jika suatu
program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah
pengelolaan (wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan), maka wilayah
perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan;

(3) Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah, tergantung
pada isu pengelolaan yang dilakukannya.

2.2 Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara


Terpadu

Mengadopsi definisi regional science dari Mayhew (1997 dalam Rustiadi et


al. 2003), pengembangan wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu aktivitas
pembangunan yang menganalisis secara interdisiplin yang mengkhususkan pada
integrasi analisis-analisis fenomena sosial dan ekonomi wilayah, mencakup aspek-
aspek perubahan, antisipasi (peramalan) perubahan-perubahan hingga
perencanaan pembangunan di masa yang akan datang dengan penekanan pada
pendekatan kuantitatif. Sementara itu, pengelolaan wilayah pesisir terpadu
didefinisikan oleh European Commission (EC 1999) sebagai berikut: ICZM has
been defined as a dynamic, continuous and iterative process designed to promote
sustainable management of coastal zone. ICZM seeks, over the long-term to
balance the benefits from economic development and human uses of the coastal
zone, the benefits from protecting, preserving and restoring coastal zones, the
benefits from minimising loss of human life and property, and the benefits from
public access to and enjoyment of coastal zone, all within the limits set by natural
dynamics and carrying capacity.

2.2.1 Pengembangan wilayah

Menurut McCann dan Shefer (2004), pengetahuan kewilayahan berkaitan


dengan analisis penomena perkotaan dan kedaerahan (urban dan regional).
Tujuannya adalah untuk mengenal lebih baik struktur dan fungsi suatu kota atau

14
wilayah sambil memperhitungkan fenomenanya yang dimensi multifaset, baik
ekonomi, sosial, politik, atau lingkungan. Suatu pengertian tentang bagaimana
kota dan wilayah melakukan kegiatan dan fungsinya agar dapat menghasilkan
kontribusi pembuatan kebijakan yang lebih baik, sehingga dapat memperbaiki
kualitas standar hidup penduduk di kota atau wilayah tersebut.

Peran dari infrastruktur publik dalam pengembangan wilayah sangatlah


komplek sekali karena melibatkan pengadaan barang milik publik, keberadaan
generasi eksternal, pembuatan keputusan politik, dan lamanya masa berlalu (The
role of public infrastructure in regional development is a highly complex issue
involving aspects of public good provision, the generation of externalities,
political decision-making, and long time-periods), sebagaimana dinyatakan oleh
Lynde dan Richmond (1992) serta Gramlich (1994) dalam McCann dan Shefer
(2004), infrastruktur modal milik masyarakat dapat berperan penting dalam
melengkapi proses produktivitas sektor swasta regional. Hal ini disebabkan oleh
karena infrastruktur menunjukan berbagai karakter barang publik dimana jasa dari
modal milik umum didistribusikan secara bebas kepada para produser swasta.
Oleh karena itu, karena produk marjinal dari jasa-jasa tersebut biasanya bersifat
positif, maka harus dipertimbangkan sebagai suatu komponen integral dari
kumpulan fungsi produksi regional.

Menurut Rustiadi et al. (2003), di Indonesia terdapat berbagai konsep


nomenklatur kewilayahan, seperti wilayah, kawasan, daerah, regional,
area, ruang, dan beberapa istilah sejenis, banyak dipergunakan dalam
berbagai konteks permasalahan yang sering saling dapat dipertukarkan
pengertiannya dan walaupun masing-masing memiliki penekanan pemahaman
yang berbeda-beda. Secara yuridis sebagaimana tercantum dalam Undang-undang
No. 24/92 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis berserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Sedangkan pengertian dari kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama
ditekankan pada pengertian lindung dan budidaya. Sementara itu, pengertian
daerah tidak dijelaskan secara eksplisit dalam UU 24/92 tersebut, namun
umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.

15
Menurut Winoto (1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang
mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi
dan berinteraksi. Berdasarkan hal ini, wilayah dapat didefinisikan, dibatasi, dan
digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut. Dengan
demikian, pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu perencanaan area
geografis tertentu yang akan menguntungkan baik bagi individu nelayan, petani,
masyarakat dan wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan
kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang
dikembangkan.

Hoover dan Giarratani (1985) mengelompokkan wilayah ke dalam dua


bentuk, yaitu wilayah homogen dan wilayah fungsional. Wilayah homogen
dibatasi oleh keseragaman atau kesamaan ciri yang dimilikinya, sementara
wilayah fungsional didasarkan pada interaksi yang terjadi dalam suatu wilayah,
khususnya dilihat dari keterkaitan aspek ekonomi. Untuk lebih tepat lagi, Winoto
(1999/2000) juga menyatakan bahwa pengembangan wilayah dapat dilihat dari
berbagai aspek, yaitu berdasarkan aspek fungsional, aspek kehomogenan, dan
aspek administrasi. Aspek fungsional meliputi tempat pemusatan penduduk,
pemusatan pasar, pemusatan pelayanan, pusat industri dan perdagangan, dan pusat
inovasi. Bentuk spesifik dari wilayah fungsional ini disebut wilayah nodal,
dimana dapat dianggap sebagai suatu sel dengan satu inti dan dikelilingi oleh
plasma. Dalam kenyataan sehari-hari, nodal ini dapat diibaratkan sebagai kota,
yang dikelilingi oleh wilayah pedesaan; dimana seluruh pusat kegiatan dan
pelayanan terdapat di dalamnya dan didukung oleh wilayah pedesaan yang
merupakan daerah pemasok bahan-bahan mentah, tenaga kerja, tempat pemasaran
produk-produk yang dihasilkan di kota, dan sebagai tempat penyeimbang
ekologis.

Keberhasilan suatu program pengembangan wilayah (lebih spesifik lagi


yang berkaitan dengan ekonomi wilayah dan perdesaan), juga sangat dipengaruhi
oleh virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat. Virtue ini bisa
didefinisikan dari berbagai sudut pandang karena sifatnya yang normatif.

16
Perumusan suatu virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat kehomogenan masyarakat,
baik dilihat dari pendidikan, etnis (sosial budaya), agama, dan pandangan politis
dari setiap komponen masyarakat ini. Begitu beragamnya faktor yang
mempengaruhi perumusan virtue ini, maka virtue ini baru dapat timbul setelah
terbentuk suatu komunitas masyarakat yang saling mengetahui keinginan masing-
masing sehingga dapat menemukan suatu resultan dari berbagai keinginan atau
ide-ide yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks pengembangan wilayah,
tentu saja harus menemukan resultan virtue tersebut kemudian
mengintegrasikannya ke dalam rencana yang akan diterapkan. Artinya proses
perencanaan itu dapat saja berlangsung timbal balik, rencana induk yang sudah
ada diintegrasikan ke dalam virtue yang sudah terbentuk, atau virtue-virtue yang
ada dalam masyarakat diintegrasikan ke dalam perencanaan. Menurut Winoto
(1998/1999), adanya kaitan antara kegiatan pembangunan dengan sistem nilai
masyarakat dapat dijelaskan sebagi berikut: pembangunan (baik sebagai suatu
proses maupun sebagai suatu cara perwujudan) mengemban tugas kemanusiaan
dan tugas kehidupan. Dengan kata lain, pembangunan haruslah dapat
mengkomodasi berbagai harapan masyarakat, antara lain harapan tentang
kehidupan yang lebih baik, keadilan yang lebih terjamin, rasa memiliki yang kian
meningkat, kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi kemanusiaannya yang
semakin terbuka, ketahanan masyarakat dan bangsa yang semakin kuat, dan
kepercayaan diri sebagai manusia maupun sebagai bangsa yang semakin
meningkat. Harapan-harapan inilah yang menjadikan setiap anggota masyarakat
dan/atau kelompok masyarakat (dengan segala perbedaan latar belakang dan
kepentingannya) perlu senantiasa terlibat dan ikut berproses dalam menentukan
arah serta prioritas pembangunan pada setiap tahapan yang dilakukan.

Untuk suatu masyarakat yang homogen (contoh kasus ekstrim adalah


masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya), kemungkinan virtue
yang ada dalam masyarakat berlaku umum. Namun demikian, virtue ini sangatlah
kaku dan tidak kenal kompromi, sehingga suatu perencanaan pengembangan
wilayah yang mencakup kawasan seperti ini haruslah menyesuaikan diri dengan
virtue yang berkembang dimasyarakat.

17
Contoh kasus yang heterogen adalah kelompok masyarakat di kawasan
pesisir, dimana terlibat berbagai jenis kegiatan manusia sesuai dengan bidang
garapannya masing-masing, mulai dari nelayan, pedagang, industriawan, PNS,
dan lain lain. Keragaman mata pencaharian juga mengakibatkan terjadinya
interaksi yang lebih intensif diantara berbagai aktivitas yang dapat menghasilkan
dampak positif dan negatif.

Menurut Winoto (1998/1999), tidak pernah ada kesepakatan virtue siapakah


yang harus dijadikan dasar dalam mengimplementasikan prioritas pelaksanaan
pembangunan; selain itu juga tidak ada jaminan bahwa keadilan akan terwujud
bila salah satu virtue masyarakat atau kelompok masyarakat dipilih atau
dipaksakan sebagai dasar penentuan prioritas pembangunan. Namun demikian,
berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu dimana program pembangunan lebih
banyak ditetapkan dari atas (top-down), maka virtue universal masyarakat
diharapkan akan lebih banyak tertampung dalam program pembangunan yang
disusun secara bottom up.

Tentu saja terdapat virtue yang bersifat universal bagi seluruh anggota
masyarakat antar wilayah dan antar waktu. Sebagai contoh, falsafah Bhinneka
Tunggal Ika, yang tercantum dalam pita yang dicengkeram burung garuda,
adalah suatu virtue yang lahir setelah terjadinya pertikaian antar suku, antar
wilayah, antar agama, dan antar kondisi sosial budaya, yang telah berlangsung
sangat lama (sejak mulai tercatatnya sejarah adanya kerajaan-kerajaan di
Indonesia samapi jaman penjajahan Belanda dan Jepang). Virtue ini sangat
disadari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang lebih mencintai
perdamaian untuk melewati kehidupan yang aman dan tenang. Sebenarnya virtue
Bhinneka Tunggal Ika ini dapat dipertahankan untuk melewati periode waktu
yang panjang dalam sejarah, seandainya kebhinnekaan setiap kelompok
masyarakat dan antar wilayah ini dapat diikat dan dipadukan oleh sesuatu yang
saling dibutuhkan mereka, yaitu antara lain: kedamaian dan ketenangan menjalani
kehidupan; jaminan aksesibilitas antar wilayah, baik barang, jasa, dan orang;
jaminan kebebasan mengemukakan pendapat dan menjalankan keyakinannya
masing-masing. Diagram virtue universal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.

18
SUKU/
BANGSA

ASPEK ASPEK
AGAMA WILAYAH
SPASIAL

VIRTUE UNIVERSAL

AKSESIBILITAS
BARANG, JASA, ASPEK SOSEK
MANUSIA BUDAYA

POLITIK
&
KEAMANAN

Gambar 2.1. Dasar pemikiran terbentuknya virtue universal

Dari diagram Gambar 2.1 di atas tampak bahwa virtue universal harus
mencakup sebagian atau seluruh kepentingan dari setiap unsur yang membentuk
ekosistem tersebut (suku bangsa; agama; sosial-ekonomi budaya; aksesibilitas
barang, jasa, dan manusia; aspek spasial perwilayahan; serta aspek politik dan
keamanan).

Begitu tali pengikat kebhinnekaan ini dilanggar, baik oleh tetangga sebelah,
kampung sebelah, agama lain, atau bahkan oleh regim pemerintahan yang otoriter,
mulailah virtue itu tidak ditaati lagi, dan barangkali perlu diramu suatu virtue baru
sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Pada saat
ini, aspek kepentingan golongan atas dasar latar belakang politis sangat menonjol,
sebagai alat pemersatu atau pemecah virtue.

19
Aspek wilayah perlu dimasukkan dalam kegiatan perencanaan
pembangunan suatu kawasan adalah karena sebagaimana definisi Winoto
(1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan
merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Artinya,
dibatasi dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut.
Pada intinya, suatu perencanaan pembangunan suatu wilayah haruslah mencakup
individu manusia, masyarakat, sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di
wilayah tersebut (termasuk yang harus dipertimbangkan adalah virtue universal
dan partial dari masyarakatnya).

Di dalam setiap upaya pengembangan wilayah, harus menjadi persyaratan


adanya konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan
telah digunakan oleh the World Commision on Environment and Development
pada tahun 1987. Istilah ini akan mendapat pengertian yang berbeda dari setiap
orang yang mempunyai keahlian berbeda pula. Menurut Serageldin (1994),
seorang sosiologis akan memandang setiap persoalan pembangunan dari kacamata
manusia sebagai aktor kunci, dimana bentuk organisasi sosial yang ada sangat
krusial dalam mencari solusi apakah suatu kegiatan pembangunan dapat dilakukan
secara berkelanjutan atau tidak. Kurangnya perhatian terhadap faktor-faktor
sosial ini telah menyebabkan suatu proses pembangunan dalam bahaya dari
kurang efektifnya proyek yang dilakukan. Sementara itu disebutkannya pula
bahwa dari aspek ekonomi, suatu kegiatan berkelanjutan haruslah mencari
semaksimal mungkin keuntungan untuk kesejahteraan manusia diantara kendala-
kendala modal yang tersedia serta teknologi yang digunakan. Pandangan seorang
ekologis berbeda pula, yaitu menekankan pada penyelamatan subsistem ekologi
yang terpadu ditinjau sebagai kritisi untuk keseluruhan stabilitas ekosistem global.
Sebagian berargumentasi pada penyelamatan seluruh ekosistem, meskipun
sebagian kecil yang berpandangan kurang ekstrim juga bertujuan pada
pemeliharaan dan adaptasi sistem penyangga kehidupan alami. Faktor-faktor
yang diperhitungkan adalah fisik, bukan uang, dan disiplin yang berlaku pada
biologi, geologi, kimia, dan umumnya pengetahuan alam.

20
Istilah pengembangan wilayah tentu saja berkaitan erat dengan perencanaan
pembangunan wilayah/daerah. Menurut Idrus et al. (1999), pembangunan
wilayah merupakan kegiatan pembangunan yang perencanaan, pembiayaan,
sampai pada pertanggungjawabannya dilakukan oleh pusat sedangkan
pelaksanaannya dapat melibatkan daerah dimana tempat kegiatan tersebut
dilaksanakan. Pembangunan daerah sendiri berindikasi bahwa kegiatan
pembangunan yang segala sesuatunya dilaksanakan dan dipersiapkan di daerah,
seperti perencanaan, pembiayaan, sampai pada pertanggungjawabannya.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka perencanaan pembangunan
wilayah/daerah dapat diartikan sebagai suatu proses persiapan penyelenggaraan
pembangunan suatu wilayah atau daerah. Sementara itu, Anwar dan Setia Hadi
yang dikutif Idrus et al. (1999) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan
wilayah diartikan sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan
pembangunan di suatu wilayah tertentu yang melibatkan interaksi antara
sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya alam.

Menurut Hoover dan Giarratani (1985), perkembangan suatu wilayah dapat


dilihat pada aspek pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan per
kapita, dan perubahan struktur ekonomi. Nasution (1990) menambahkan bahwa
mengukur perkembangan suatu wilayah adalah relatif sulit, tetapi beberapa pakar
perencanaan dan pengembangan wilayah telah menyepakati beberapa tolok ukur
penilaian suatu kegiatan pembangunan, yaitu dilihat dari aspek: (1) pertumbuhan
ekonomi; (2) distribusi pendapatan; (3) tingkat kemiskinan; (4) persentase
pengangguran; serta (5) kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumberdaya
alam.

Menurut Rustiadi et al. (2003), setiap perencanaan pembangunan wilayah


memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk
mengukur tingkat pengembangan wilayahnya. Secara praktikan, pemahaman
filosofis demikian sukar diterapkan sehingga perlu dicarikan berbagai tolok ukur
yang multidimensional. Oleh karena itu, munculnya permasalahan-permasalahan
tersebut memaksa pakar 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur yang hanya
berdasarkan pada GNP semata, tetapi harus juga disertai beberapa tolok ukur lain

21
yang intinya terkait dengan aspek ekologi, ekonomi, dan budaya. Ilustrasi dari
tolok ukur pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Ekologi

1 3
S D
2

Budaya Ekonomi

Gambar 2.2. Indikator pembangunan berkelanjutan (Rustiadi et al. 2003)


Keterangan:

(1) Bagian 1: culture-ecology interface: didefinisikan bahwa pembangunan


merupakan fungsi yang terintegratif dari nilai-nilai budaya yang menyatu
terhadap ekosistem. Indikator yang termasuk dalam ukuran perubahan
etika lingkungan, komitmen untuk menjaga keseimbangan political-
cultural dan eco-tourism;

(2) Bagian 2: culture-economy interface: menggambarkan fungsi tujuan di


dalam termin nilai-nilai non market dan keputusan untuk menjaga
konservasi lingkungan untuk tujuan budaya. Nilai-nilai kultural ekonomi
lebih tinggi, demikian juga refleksinya terhadap politik, institusi, dan
struktur hukum;

(3) Bagian 3: Economy-ecology interface: menggambarkan fusngsi tujuan di


dalam termin dari nilai-nilai ekonomi dan cost benefit analysis. Indikator
dari pembangunan berkelanjutan diukur dari cadangan konservasi alam
dan ekonomi capital yang ditunjukkan oleh produksi (keinginan) flow of
environmental dan ekonomi yang baik serta pelayanan untuk generasi saat
ini dan yang akan datang. Misalnya kesuburan tanah, keragaman budaya,
dan ekosistem kesehatan sebagai indikator kualitas lingkungan.

Untuk mengukur pengembangan suatu wilayah, maka beberapa indikator


dapat digunakan sebagai penakar positif tidaknya dampak suatu program
pembangunan wilayah. Dinilai positif jika indikator-indikator tersebut
menguntungkan, khususnya bagi individu nelayan, petani, masyarakat dan
wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan kemampuan sumberdaya
alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang dikembangkan. Dinilai negatif

22
jika dampaknya merugikan unsur-unsur terkait tersebut. Kadang kala, positif dan
negatifnya suatu dampak pengembangan wilayah belum dapat dilihat dalam
jangka waktu yang pendek. Contoh kasus adalah penemuan senyawa freon yang
dapat digunakan sebagai refrigeran (bahan pendingin) dalam mesin-mesin
pembeku dan sebagai bahan penekan pada alat pembentuk aerosol. Baru sekitar
20 tahun kemudian disadari orang bahwa freon ternyata dapat memecahkan
lapisan ozon yang menyelimuti bola bumi dari sinar ultra violet. Contoh-contoh
lain tentu saja masih sangat banyak, antara lain hilangnya keragamanan hayati
karena kegiatan pengembangan wilayah yang tidak didahului studi AMDAL
terlebih dahulu, baik dalam bentuk reklamasi lahan untuk kegiatan industri dan
pemukiman, maupun pengembangan lahan untuk kawasan persawahan.

Dengan demikian, pada dasarnya indikator-indikator umum keberhasilan


atau ketidakberhasilan suatu program pengembangan wilayah dapat dinilai secara
ekonomi, sosial, dan ekologi. Sebagaimana yang diuraikan oleh Serageldin
(1994), bahwa tujuan ekonomi dari pembangunan yang lestari lingkungan adalah:
pertumbuhan (growth), kesamarataan (equity), dan efisiensi (efficiency); tujuan
sosialnya adalah: pemberdayaan (empowerment), partisipasi (participation),
mobilitas sosial (social mobility); keeratan sosial (social cohesion), identitas
budaya (cultural identity), dan pengembangan kelembagaan (institutional
development); serta tujuan ekologinya adalah: keterpaduan ekosistem (ecosystem
integrity), daya dukung (carrying capacity), keanekaragaman hayati
(biodiversity), dan isu global. Menurut Serageldin (1994) juga bahwa seorang
ekonom akan melihat pembangunan yang lestari lingkungan itu agak berbeda,
yaitu tujuan ekonominya adalah: pertumbuhan dan efisiensi; tujuan sosialnya
kesamarataan dan pengurangan kemiskinan; sedangkan tujuan ekologinya adalah
pengelolaan sumberdaya alam.

Menurut Idrus et al. (1999), keberhasilan perencanaan pembangunan sangat


tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Di beberapa
negara, perencanaan pembangunan dapat berhasil dengan baik antara lain
ditentukan oleh beberapa hal seperti:
(1) Dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya;
(2) Realistis, sesuai dengan kemampuan sumberdaya alam dan dana;

23
(3) Kestabilan politik dan keamanan dalam negeri;
(4) Koordinasi yang baik;
(5) Top down dan bottom up planning;
(6) Sistem pemantauan dan pengawasan yang terus menerus;
(7) Transparan dan dapat diterima oleh masyarakat.

Untuk melihat apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai atau tidak dalam suatu
kegiatan pembangunan, maka perlu ditentukan berbagai perubahan dari
komponen-komponen tersebut. Tentu saja untuk unsur-unsur yang bersifat
positif, maka perubahan haruslah bergerak ke arah posistif, dan sebaliknya untuk
unsur-unsur yang bersifat negatif maka perubahan haruslah bergerak ke arah
negatif. Sebagai contoh, untuk kesamarataan haruslah semakin baik/banyak,
tetapi untuk kemiskinan semakin sedikit.

2.2.2 Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

Menurut Dahuri (2003), pengelolaan suatu kawasan secara berkelanjutan


mencakup 3 aspek, yaitu aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Suatu kawasan
pembangunan secara ekonomis dianggap berkelanjutan (an economically
sustainable area/ecosystem) jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang
dan jasa (good and services) secara berkesinambungan (on continuing basis),
memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali
(a manageable level), dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar
sektor (extreme sectoral imbalances) yang dapat mengakibatkan kehancuran
produksi sektor primer, sekunder, atau tersier. Sedangkan suatu kawasan
pembangunan secara ekologis dianggap berkelanjutan (an ecologically
sustainable area/ecosystem) manakala berbasis (ketersediaan stok) sumberdaya
alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap
sumberdaya dapat diperbaharui (renewable resources), tidak terjadi pembuangan
limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan
kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (non-
renewable resources) yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan
substitusinya secara memadai. Dalam konteks ini termasuk pula pemeliharaan
keanekaragaman hayati (biodiversity), stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeo-

24
kimia, dan kondisi iklim. Sementara itu, suatu kawasan pembangunan dianggap
berkelanjutan secara sosial (a socially sustainable area/ecosystem), apabila
kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan)
seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan
berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity); terdapat akuntabilitas
dan partisipasi politik.

Chua (2006) menyatakan bahwa upaya pengelolaan pesisir terpadu dimulai


tahun 1965 dengan pembentukan Komisi Pengembangan dan Konservasi Teluk
San Francisco (San Francisco Bay Conservation and Development Commission).
Tahun 1972, Amerika Serikat mengeluarkan Undang-undang Pengelolaan Pesisir
Terpadu, sebuah monumen legislasi yang memberi semangat negara bagian-
negara bagian lainnya di kawasan pesisir untuk melakukan hal yang sama. Tahun
1978, Konferensi Wilayah Pesisir diselenggarakan untuk pertama kalinya di San
Francisco.

Berbagai konsep pengelolaan terpadu telah dikemukakan oleh berbagai


kalangan dan para ahli. Konsep yang secara umum berarti pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services)
yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyeluruh
(comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan
sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap
kegiatan pemanfaatannya; guna mencapai pembangunan yang optimal dan
berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis
dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi
masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan
dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan
McCreary 1990; IPCC 1994). Lebih jelas Chua (2006) menyebutkan bahwa
tujuan dari konsep pengelolaan pesisir terpadu adalah meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan pesisir dalam bentuk kemampuan suatu kawasan untuk
pemanfaatan sumberdaya pesisirnya yang berkelanjutan serta dapat memberikan
jasa yang dihasilkan dari ekosistem di kawasan tersebut.

25
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,
sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu
(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelajutan.
Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi, yaitu
dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 1996).

Menurut Ellsworth et al. (1997), konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu


ini sudah dilaksanakan cukup lama. Di Kanada sejak tahun 1960-an telah terjadi
perubahan paradigma pembangunan dimana keterlibatan masyarakat lebih banyak
dari sebelumnya. Antara lain dimulai dengan upaya untuk mempengaruhi
formulasi politik tingkat tertinggi melalui berbagai aktivitas masyarakat seperti
program bersih pantai yang dimotori oleh kelompok-kelompok advokasi
lingkungan. Setelah itu, aktivitas dengar pendapat menjadi sering dilakukan pada
saat suatu program pembangunan akan dibuat.

Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini sudah menjadi kebijakan


global yang didukung oleh lembaga keuangan internasional, sebagaimana
dinyatakan oleh Hatziolos (1997) bahwa tahun 1993, Bank Dunia (World Bank=
WB) secara formal mendukung program Integrated Coastal Zone Management
(ICZM) yang terbentuk atas kreasi Tim Biru (sekelompok ahli lingkungan di
Departemen Lingkungan WB). Target utama dari dukungan ini adalah untuk: 1)
mengintervensi pelatihan dan kreasi kesadaran lingkungan; 2) penanaman modal;
dan 3) partnership. Kemudian WB melakukan pengumpulan informasi,
menganalisis, dan mensosialisasikan konsep ICZM dikalangan staf dan para
nasabahnya tentang apa bedanya dengan konsep tradisional, pendekatan sektoral
terhadap pengelolaa lingkungan, dan dukungan WB yang tersedia dan paling
efektif dalam mempromosikan ICZM. Hasil dari aktivitas ini adalah dukungan
WB terhadap pelaksanaan Agenda 21 di Rio de Janeiro, dalam bentuk sponsor
pada kegiatan seminar, lokakarya, dan konferensi, serta dilanjutkan dengan
lokakarya pelatihan yang diorganisasikan di berbagai negara di Afrika, Asia,
Timur Tengah, dan Karibia. Berdasarkan pada perbandingan di antara konsep
ICZM dengan implementasinya serta konsep ICAM (Integrated Coastal Area
Management) dan implementasinya, maka Scialabba (1998) mengembangkan

26
suatu kesepakatan untuk membuat Panduan ICM, sebagaimana tercantum dalam
Tabel 2.1. Panduan ini memperkuat konsensus tersebut tetapi juga mengakui
bahwa keterpaduan vertika dan horizontal tidak akan berhasil tanpa pembangunan
kapasitas individu sektor untuk mengakomodasi dampak trans-sektoral.

Menurut Chua (2006), di Indonesia terdapat satu ekosistem besar kelautan


(large marine ecosystem, LME), yang meliputi luas area sebesar 400.000 km2,
kedalaman rata-rata 2.935 m dan kedalaman maksimal di atas 6.500 m (Palung
Jawa, serta produktivitas primernya antara 150-300 gC/cm2/tahun). Pada LME ini
terdapat 500 spesies koral pembangun terumbu, 2.500 spesies ikan, 47 spesies
mangrove, dan 13 spesies rumput laut. Tingginya aktivitas ekonomi di LME ini
ditunjukkan dengan isu yang berkembang, yaitu kegiatan penangkapan ikan yang
merusak lingkungan, modifikasi habitat dan pemukiman, serta eksploitasi
sumberdaya hayati yang tidak berkelanjutan.

Hubungan antara komponen-komponen dalam kegiatan pembangunan


berkelanjutan menurut Hatziolos (1997) dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Aspek Ekonomi
o Pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth)
o Efisiensi modal (capital efficiency)

Aspek Sosial: Aspek Ekologi

o Kesamaan hak (Equity) o Keterpaduan ekosistem


o Mobilitas sosial (Social (Ecosystem integrity)
mobility) o Keragaman sumberdaya alam
o Partisapasi (Participation) (Natural resources biodiversity)
o Pemberdayaan (Empowerment) o Kapasitas daya dukung
lingkungan (Carrying capacity

Gambar 2.3. Hubungan antara berbagai komponen dalam kegiatan pembangunan


berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (Hatziolos 1997)

27
Tabel 2.1 Kumpulan konsensus dari panduan ICM

Tujuan ICM Untuk memandu kegiatan pembangunan di wilayah pesisi yang


secara ekologis berkelanjutan
Prinsip ICM didasarkan pada prinsip-prinsip Pertemuan Puncak Rio de
Janeiro dengan tekanan khusus pada prinsip kesamaan antar
generasi, prinsip tindakan pencegahan, dan prinsip denda bagi
pencemar. ICM secara alami adalah holistik dan interdisiplin,
khususnya yang beraitan dengan ilmu pengetahuan dan kebijakan
Fungsi ICM memperkuat dan mengharmoniskan sektor-sektor yang
terkait dalam pengelolaan kawasan pesisir. ICM memelihara dan
melindungi biodiversiti dan produktivitas ekosistem pesisir serta
mempertahankan nilai-nilai keaslian/indigenous (amenity values).
ICM mempromosikan pembangunan ekonomi rasional dan
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan
serta memfasilitasi resolusi konflik yang terjadi di kawasan
pesisir
Keterpaduan Suatu program ICM mencakup seluruh wilayah hulu dan hilir,
Spatial dimana pemanfaatannya akan menghasilkan dampak pada
sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir serta ke perairan
yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak sampai ke
wilayah daratan di kawasan pesisir tersebut. Program ICM juga
mencakup seluruh wilayah perairan yang berada di dalam zona
ekonomi ekslusif, dimana pemerintah pusat memiliki
tanggungjawab untuk mengurus dibawah kewenangan Konvensi
Hukum Laut {(the Law of the Sea Convention dan the United
Nations Conference on Environment and Development
(UNCED)}.
Keterpaduan Upaya penanggulangan fragmentasi sektoral dan antar
Horizontal pemerintahan yang terjadi sekarang ini dalam pengelolaan
dan vertical wilayah pesisirmerupakan tujuan utama dari ICM. Mekanisme
kelembagaan untuk mencapai koordinasi yang efektif diantara
berbagai sektor yang aktif di wilayah pesisir serta diantara
berbagai tingkatan pemerintahan di wilayah pesisir adalah
merupakan dasar terhadap penguatan dan rasionalisasi proses
pengelolaan pesisir. Dari berbagai opsi/pilihan yang tersedia,
mekanisme koordinasi dan harmonisasi harus dibuat agar sesuai
dengan kekhususan setiap pemerintahan.
Penggunaan Dengan adanya kondisi yang komplek dan ketidakpastian yang
ilmu terdapat di kawasan pesisir, maka ICM harus dibangun
pengetahuan berdasarkan pengetahuan (alam dan sosial) yang tersedia. Teknik-
teknik seperti prakiraan resiko, valuasi ekonomi, prakiraan
kerentanan, akuntansi sumberdaya, benefit-cost analysis, dan
monitoring berdasarkan outcome harus dibangun ke dalam proses
ICM seperlunya.
Source: Cicin-Sain, Knecht and Fisk (1995) dalam Scialabba (1998).

28
Salah satu bentuk dukungan WB untuk program ICZM di Indonesia adalah
terselenggaranya program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and
Management Project), yang dilaksanakan dibawah koordinasi LON-LIPI. Tujuan
dari pelaksanaan proyek ini adalah memandu pendekatan berbasis masyarakat
terhadap perlindungan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu untuk
menciptakan keuntungan dari pemanfaatan yang berkelanjutan. Proyek ini juga
bertujuan untuk penguatan kebijakan dan kapasitas kelembagaan pada tingkat
nasional dalam menolong pengimplementasian konsep ICZM di tingkat lokal
(Hatziolos 1997). Dari pengalaman Bank Dunia menunjukkan bahwa inisiatif
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan supaya berkelanjutan maka negara-
negara yang menerapkan program tersebut haruslah melakukan beberapa hal
berikut:

(1) Keterpaduan dengan perencanaan pembangunan yang lebih besar, baik


pada tingkat nasional maupun regional;

(2) Mempunyai dukungan kelembagaan, peraturan perundang-undangan, dan


keuangan serta terhubung dengan sektor swasta;

(3) Mempunyai dukungan dari mayoritas komunitas lokal;

(4) Melaksanakan program pemantauan dan evaluasi (monitoring dan


evaluation);

(5) Melakukan koordinasi yang efektif diantara stakeholders.

Sebagai kesimpulan, Hatziolos (1997) menyatakan bahwa implementasi konsep


ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan aspek legal
dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan investasi,
penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi-bagi
pengalaman pembelajaran.

Cicin-Sain dan Knecht (1998) menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah


pesisir secara terpadu bertujuan untuk mewujudkan pembangunan wilayah pesisir
dan laut yang berkelanjutan, mengurangi kerusakan daerah pantai dan kerusakan
sumberdaya alam lainnya serta juga mengelolaan proses-proses ekologi, sistem
kehidupan pendukungnya dan kelimpahan biota di daerah pesisir dan laut.

29
Menurut Pickave et al. (2004), ICZM secara umum dikenal sebagai perangkat
yang paling efektif untuk menggabungkan suatu upaya konservasi dengan
pemanfaatan berkelanjutan suatu sumberdaya pesisir dan lautan dalam suatu
perencanaan wilayah pesisir.

Sejak tahun 1996, negara-negara Eropa telah mengembangkan berbagai


program pengelolaan wilayah pesisir yang bertujuan untuk mencapai suatu
pengembangan berkelanjutan di seluruh pesisir Eropa. Tiga direktorat jenderal
(Direktorat Jenderal Lingkungan, Direktorat Jenderal Pengembangan Wilayah,
dan Direktorat Jenderal Perikanan) telah bekerjasama dalam suatu proyek yang
bertujuan untuk menguji model kerjasama pengelolaan wilayah pesisir terpadu
dan untuk menstimulasi suatu diskusi terbuka diantara berbagai stakeholders yang
terlibat dalam perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan wilayah pesisir. Hasil dari
proyek ini akan dijadikan bahan bagi lembaga-lembaga di lingkungan Uni Eropa
untuk berdialog dengan para stakeholders. Dari program ini kemudian diproduksi
dua dokumen penting ICZM, yang pertama adalah strategi Eropa tentang
implementasi ICZM di seluruh negara-negara pantai Eropa; dokumen kedua
adalah Rekomendasi Pengelolaan Kawasan Pesisir, yang sekarang telah diadopsi
dan diimplementasikan dan didasarkan pada tiga prinsip penting, yaitu pendekatan
ekosistem, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan adaptif. Kewajiban lanjutan
bagi setiap negara tersebut adalah melakukan inventarisasi sumberdaya alamnya
serta menganalisis siapa pelaku utama dari pengelolaan wilayah pesisir di
negaranya serta aspek hukum dan kelembagaan yang mempengaruhinya.

Berdasarkan kegiatan kerjasama pengelolaan pesisir terpadu tersebut maka


penyusunan strategi pembangunan nasional untuk mengimplementasikan ICZM.
Salah satu strategi yang harus dimasukan adalah sistem yang memadai untuk
mengumpulkan dan menyediakan informasi dalam format yang sesuai dan
kompatibel bagi seluruh tingkatan para pembuat keputusan, mulai dari tingkat
pusat (nasional), regional, dan lokal. Untuk tingkat Eropa, pertemuan baru
diselenggarakan pada bulan Oktober 2002 di Brussel, dimana ditentukan sebuah
kelompok kerja yang mengurusi masalah data dan indikator (WG-ID = Working
Group Data and Indicator).

30
Di Indonesia, sebagaimana juga dengan di Eropa, keterpaduan pengelolaan
suatu sumberdaya alam saat ini sedang digiatkan oleh Pemerintah Indonesia sejak
disyahkannya Konvensi Hukum Laut 1982 dan diratifikasi dengan UU No
17/1985, meskipun UU ini baru berlaku sejak tanggal 16 November 1994. Tahun
1993, untuk pertama kalinya masalah pembangunan sumberdaya kelautan
dicantumkan secara resmi dalam GBHN 1993 dalam BAB IV. F. Ekonomi. 13.e
yang mengamanahkan supaya organisasi dan kelembagaan kelautan perlu
dikembangkan agar makin terwujud sistem pengelolaan yang terpadu secara
efektif dan efisien sehingga mampu memberikan pelayanan dan dorongan
berbagai kegiatan ekonomi disektor kelautan (Djalal 2000). Hal ini didasarkan
pada pengalaman bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan pembangunan dinilai
banyak pihak berlangsung tidak sehat dan telah menyebabkan terjadinya
kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, serta dampaknya bagi peningkatan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tidak signifikan.

Dalam pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu, terdapat 3 (tiga)


derajat keterlibatan stakeholder yang saat ini diterapkan di lapangan, sebagaimana
dikemukakan oleh Pomeroy et al. (2004). Ketiga derajat dan nama untuk Co-
management, yaituconsultative co-management, collaborative or cooperative
co-management, and delegated co-management. Pomeroy et al. (2004) juga
mengutip Pomeroy dan Berkes (1997) serta Berkes et al. (2001) yang
membedakan derajat peran dalam co-management di antara pemerintah dan
komunitas sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.4.

Tabel 2.2 Derajat dan nama istilah dalam co-management

Consultative Collaborative Delegated


Government co-management co-management co-management People have
has the most Government Government and Government lets most control
control interacts often the stakeholders formally organised
but makes all work closely and users/stakeholders
decisions share decisions make decisions
Sumber: Pomeroy dan Berkes (1997); Berkes et al. (2001) dikutip oleh Pomeroy
et al. (2004)}.

31
Government-based management

Community-based management
Government centralised Co-management Community
management self-governance and
self-management
Informing
Consultation
Cooperation
Communication
Information exchange
Advisory role
Joint action
Partnership
Community control
Inter-area coordination

Gambar 2.4. Derajat interaksi diantara pemerintah dan komunitas dalam co-
management {Pomeroy dan Berkes (1997); Berkes et al (2001)
dikutip oleh Pomeroy et al. (2004)}

Aspek positif dari suatu CBM menurut Carter (1996) adalah:


(1) Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya
alam;
(2) Mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang
spesifik;
(3) Mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis;
(4) Responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan
lokal;
(5) Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang
ada;
(6) Mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta
(7) Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.

32
Sebagai kesimpulan, Hatziolos (1997) menyatakan bahwa implementasi
konsep ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan
aspek legal dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan
investasi, penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi-
bagi pengalaman pembelajaran.

Dalam implementasi ICZM, pelaksanaan program tidak selalu berjalan


mulus. Tingkat keberhasilannya tergantung pada seberapa besar integrasi setiap
komponen stakeholders dan fasilitas yang tersedia. Konflik yang sering terjadi
diantara para stakeholders disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1)
perencanaan tidak disosialisasikan ke semua stakeholder, sehingga tidak semua
aspirasi yang berkembang di mayarakat dapat diakomodasi; (2) pembagian peran
dalam pelaksanaan program tidak sesuai dengan hasil kesepakatan saat
perencanaan; (3) adanya intervensi pihak luar untuk mengatur pelaksanaan
implementasi program, dengan berbagai tekanan yang hanya diketahui oleh
beberapa orang tertentu; serta (4) sumberdaya manusia dan perangkat sosial yang
ada belum memadai.

Pengalaman Thailand dalam pelaksanaan ICZM menunjukkan bahwa untuk


mencapai kesuksesan dalam implementasi ICZM diperlukan partisipasi lima
sektor, yaitu: komunitas lokal, kewenangan pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat, para ilmuwan, dan investor (Sudara 1999). LSM harus memegang
peranan penting dalam penyediaan kesempatan bagi seluruh sektor untuk
berkomunikasi. Setiap sektor harus mempunyai kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya dan bertukar fikiran dengan sektor lainnya. Setiap
keputusan yang akan diambil berkaitan dengan kawasan pesisir dimana mereka
telibat didalamnya harus diambil berdasarkan keinginan bersama. Peran para
ilmuwan dan akademisi dalam hal ini adalah manakala semua permasalahan dan
kepentingan sudah dapat diidentifikasi, maka kemudian dengan keahlian mereka
dilakukan formulasi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Perencanaan
tersebut harus mencakup semua kepentingan setiap sektor yang telah
dikemukakan sebagaimana juga dengan ukuran mitigasi untuk implementasinya.
Penerapan sistem co-management harus menghasilkan kepuasan bersama dan
keberlanjutan pengelolaan.

33
Burak et al. (2004) memberi contoh tentang implementasi konsep ICZM di
Turki yang mengalami keterlambatan karena kegagalan politis dan kelembagaan
yang berkaitan dengan implementasi dari keputusan yang rasional tentang
pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Lebih dari 20 peraturan
perundang-undangan telah diterapkan dan menghasilkan lebih dari 15 lembaga,
yang meghasilkan berbagai keputusan yang bias karena adanya kemajemukan dan
terpecah-belahnya suara saat proses pengambilan keputusan. Terjadinya konflik
sebagai akibat pengembangan ekonomi di wilayah pesisir juga terjadi di Turki dan
memicu terjadinya degradasi sumberdaya alam. Berbagai program yang telah
dikembangan dan menjadi penyebab terjadinya degradasi lingkungan adalah
ekoturisme dan berbagai proyek rumah peristirahatan di kawasan pesisir,
pengembangan marikultur, preservasi dan konservasi sumberdaya alam,
urbanisasi, pengembangan industri, navigasi, dan transportasi sejak tahun 1980-an
(Tuba 2002 dalam Burak et al. 2004).

Salah satu contoh implementasi ICZM yang paling berhasil di Kawasan


Asia Tenggara adalah dalam bidang wisata bahari. Menurut Wong (1998),
berdasarkan distribusinya, maka wisata bahari di Kawasan Asia Tenggara
didominasi oleh Indonesia dan Philippina karena kekayaan pulau dan garis
pantainya. Kelompok wisata bahari tersebut terdiri dari wisata bahari yang
berstatus merintis (pioneer), sudah bangkit, dan sudah mapan. Wisata bahari
yang berstatus mapan diantaranya Bali, Penang, Phataya dan Phuket. Berstatus
bangkit diantaranya Lombok di Indonesia; Rayong, Hua Hin dan Ko Samui di
Thailand; Langkawi, Kuantan, Tioman dan Kota Kinabalu di Malaysia; dan Cebu
di Philipina. Sedanglan yang berstatus merintis antara lain Biak, Manado, Ujung
Pandang, Flores, Kepulauan Seribu, Lampung, Bintan, Bangka Belitung, dan Nias
di Indonesia; Pangkhot di Malaysia; Krabi di Thailand; serta Boracai, Palaman,
dan Samal di Philipina.

Di Indonesia, setelah terjadinya bencana tsunami di Wilayah Aceh dan Nias


tahun 2004, semakin terasa betapa konsep ICZM itu belum dipahami secara
merata di seluruh daerah dan perlu segera diimplementasikan. Kejadian bencana
tsunami tersebut masih mungkin terulang kembali di daerah pesisir wilayah
Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan semua komponen yang terkait

34
(stakeholders) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan harus sudah siap
dan sigap untuk menghadapinya, sehingga kerugian yang diderita dapat
diantisipasi seminimal mungkin.

2.2.3 Pengelolaan wilayah Jakarta dan sekitarnya secara terpadu

Sebagai Daerah Khusus Ibukota, Jakarta seharusnya menjadi contoh dalam


upaya meningkatkan keserasian dan keterpaduan pembangunan serta pemecahan
masalah bersama di wilayah JABOTABEK. Upaya kearah keterpaduan
pelaksanaan pembangunan di wilayah DKI Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya
telah mulai dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Pemerintah DKI Jakarta. Hal
ini dibuktikan dengan dibuatnya Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965-1985.
Secara rinci, flowchart yang menguraikan kejadian terbentuknya Badan Kerja
Sama Pembangunan JABODETABEKJUR (meliputi latar belakang, gagasan
awal, dan sejarah) dicantumkan dalam Gambar 2.5.

Dalam Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965-1985, salah satu pasalnya
menyebutkan bahwa pengembangan pembangunan yang ada di wilayah DKI
Jakarta juga diarahkan ke wilayah BOTABEK dan perlunya kerjasama dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Untuk mendukung kelancaran dilakukannya
integrasi pelaksanaan pembangunan di wilayah BOTABEK, maka Pemerintah
Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1974, jo. Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 tentang Perubahan Batas Wilayah
DKI Jakarta. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang 16 Desa
dari Provinsi Jawa Barat masuk menjadi wilayah Provinsi DKI Jakarta dan 1
Kelurahan yaitu Kelurahan Benda masuk ke wilayah Kota Tangerang.
Penyelesaian lebih lanjut dan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1974 ini diselesaikan oleh Tim Pelaksana Penetapan Batas-batas Wilayah
DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat yang dibentuk dengan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 (Anonimous 2006a).

35
36
Mengingat kerjasama antara Provinsi DKI Jakarta dengan Jawa Barat dianggap
telah mendesak untuk dilaksanakan, maka dengan Keputusan Bersama Gubernur DKI
Jakarta dan Gubernur Jawa Barat No. 6375/A-1/1975 dan 2450/A/K/BKD/75 dibentuk
Badan Persiapan Daerah untuk Pengembangan Metropolitan JABOTABEK. Untuk
melaksanakan kerjasama dimaksud maka keluarlah Keputusan Bersama Gubernur Jawa
Barat dan Gubernur DKI Jakarta No. 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 tentang
Pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK dan Peraturan Bersama
Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor D.IV-320/d/II/76 dan 197.Pem.121/SK/76
tentang Kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
(JABOTABEK) yang disyahkan dengan Keputusan Mendagri Nomor: Pem. 10/34/16-
282 tanggal 26 Agustus 1976 (Anonimous 2006a).

Badan ini diketuai oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dan
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dibantu Kelompok Pembantu
Pimpinan dan Sekretariat Badan yang dipimpin oleh seorang Sekretaris. Status Badan
yang dibentuk oleh Keputusan Bersama ditingkatkan dengan Peraturan Bersama
Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1990
dan 2 Tahun 1990 tentang Perubahan Pertama Peraturan Bersama Provinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 yang
disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1991 tertanggal
13 Nopember 1991. Tugas pokoknya mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan
dan pengendalian pembangunan atas dasar hal wewenang dan kewajiban Pemerintah
Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II serta urusan yang tumbuh dan
berkembang di JABOTABEK. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan status
kelembagaan dan memberikan eselonering untuk menjamin pengembangan karier bagi
pejabat dan staf yang ada di dalamnya, dengan Peraturan Bersama Propinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 8 dan 7 Tahun 1994, telah ditetapkan
Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK, yang
disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 107 Tahun 1994,
sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.6 (Anonimous 2006a).

37
38
Pembentukan organisasi dan tata kerja Badan ini berpedoman kepada
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 1994 tentang Pedoman
Pembentukan Organisasi dan Tata kerja Badan Kerjasama Pembangunan
JABOTABEK. Tugas pokoknya menyusun dan menetapkan rancangan
kebijaksanaan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerjasama
pembangunan di wilayah JABOTABEK (Anonimous 2006a).

Sekretariat dipimpin oleh Kepala Sekretariat dan diberikan Eselonering


IIIA. Sekretariat berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua Forum.
Tugas pokok Sekretariat adalah menyiapkan bahan penyusunan dan penetapan
rancangan meliputi koordinasi analisis perencanaan, analisis pelaksanaan, analisis
evaluasi penyusunan program dan laporan serta memberikan layanan teknis
administratif kepada Forum Kerjasama. Dengan keluarnya Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II
Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, maka Kotamadya DT II Depok
yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor dan
wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta menjadi
bagian dalam kerjasama regional ini. Selanjutnya dengan terbitnya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 87, pada Rapat
Kerja Forum Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK yang
diselenggarakan pada tanggal 2 Maret 2000, ditandatangani Kesepakatan Bersama
Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, serta Bupati/Walikota Bogor,
Tangerang, Bekasi, dan Depok tentang Tindak Lanjut dan Peningkatan Kerjasama
Antar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor, Pemerintah Kabupaten
Tangerang, Pemerintah Kota Tangerang, Pemerintah Kabupaten Bekasi,
pemerintah Kota Bekasi (JABOTABEK), dan Pemerintah Kota Depok
(Anonimous 2006a).

Setelah ditandatanganinya Kesepakatan Bersama tentang Peningkatan


Kerjasama, Sekretariat BKSP JABOTABEK bersama-sama dengan unsur terkait
dari Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bekerja sama membahas upaya
peningkatan lembaga kerjasama ini, mengingat permasalahan di JABODETABEK

39
sudah sangat kompleks. Maka disepakatilah bahwa Eselonering Sekretariat BKSP
JABOTABEK perlu ditingkatkan mengingat Dinas/Instansi yang dikoordinasikan
memiliki eselon yang lebih tinggi (Anonimous 2006a).

Dengan terbentuknya Provinsi Banten berdasarkan Undang-undang


Nomor 23 Tahun 2000 dan posisi strategis Kabupaten Cianjur pada kawasan
penanganan tata ruang, konservasi dan penyeimbang pembangunan di daerah
Puncak sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, dipandang perlu untuk mengikutsertakan Provinsi Banten dan
Kabupaten Cianjur. Keikutsertaaan Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam Badan
Kerjasama dituangkan dalam Keputusan Bupati Cianjur Nomor 065/Kep.296-
Pem/2002 tentang Keikutsertaan Pemerintah Daerah dalam Badan Kerjasama
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK). Maka disusun
rancangan Keputusan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Jawa
Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok, Bupati
Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi dan Bupati
Cianjur tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (JABODETABEKJUR) di mana dalam
rancangan tersebut Badan sebagai wadah kerjasama antar Daerah, merupakan
lembaga koordinasi yang mewakili kepentingan Pemerintah Daerah yang
dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Forum dan disetarakan dengan Eselon II b (Anonimous 2006a).

Sebagai payung dalam pelaksanaan kerjasama antar Daerah


JABODETABEKJUR maka pada tanggal 16 Juni 2005 yang difasilitasi oleh
Menteri Dalam Negeri telah ditandatangani Kesepakatan Bersama Gubernur
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Bupati/Walikota Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, dan Cianjur tentang Kerjasama Antar Pemerintah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Kabupaten/Kota
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur . Salah satu isinya menegaskan
untuk melanjutkan dan meningkatkan kerjasama pembangunan antar daerah di
wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, dan Kabupaten Cianjur dengan ruang lingkup
kerjasama meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom yang

40
saling keterkaitan, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan yang memberi
manfaat kepada kesejahteraan masyarakat antara lain mengenai keselarasan,
keserasian dan keseimbangan di dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan dasar
Kesepakatan Bersama tanggal 16 Juni 2005 tersebut, kemudian disusun draft
Peraturan Bersama tentang peningkatan Badan Kerjasama Pembangunan
JABOTABEK (Anonimous 2006a).

Beberapa kali pertemuan dengan Instansi Pusat dan Daerah terkait maka
disepakatilah draft akhir yaitu Peraturan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat, dan Banten, serta Bupati/Walikota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
dan Bupati Cianjur tentang Pembangunan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, dan Cianjur, yang kemudian ditandatangani pada saat pelaksanaan Rapat
Kerja Forum I pada tanggal 14 September 2006 di Hotel Horison Bandung
(Anonimous 2006a).

2.3 Pengelolaan Perikanan Terpadu dan Berkelanjutan

Kegiatan perikanan laut, dimanapun dilaksanakan, sangat tergantung pada


sumberdaya yang terdapat di suatu kawasan pesisir. Kegiatan perikanan tangkap
yang dilakukan di wilayah laut dangkal (laut teritorial), sangat dipengaruhi
kegiatan pengelolaan sumberdaya di daratan dan di kawasan pesisir. Sebagai
contoh, pengelolaan lahan pertanian yang kurang baik di daerah hulu akan
memberikan dampak negatif terhadap kualitas perairan di kawasan pesisir yang
menjadi muara daerah aliran sungai yang melalui kawasan pertanian tersebut.
Penurunan kualitas perairan ini otomatis akan mempengaruhi kehidupan
sumberdaya ikan secara keseluruhan, yang dimulai dari rantai makanan tingkat
primer (plankton) sampai ke sumberdaya ikan karnivora dengan ukuran yang
besar. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam di daratan dan kawasan
pesisir tidak hanya mempengaruhi kegiatan perikanan di kawasan laut dangkal
saja tetapi juga mempengaruhi kegiatan perikanan lepas pantai (samudera), hal ini
baru dilihat dari aspek rantai makanannya saja. Aspek lain yang juga sangat
dipengaruhi oleh penurunan kualitas air adalah perkembangbiakan ikan menjadi
sangat terganggu. Ikan menjadi tidak subur, yang ditunjukkan oleh penurunan

41
jumlah telur, tingkat penetasan telur menurun, serta tingkat kelulusa hidup anak
ikan pun menjadi sangat terganggu.

Kebanyakan perikanan tangkap berbasiskan pada stok ikan pantai;


perikanan tangkap lainnya mengusahakan stok ikan lepas pantai yang sebagian
fase kehidupannya di perairan pantai, umpamanya di daerah asuhan atau daerah
tempat mencari makan. Stok ikan juga mengandalkan produktivitas primer di
kawasan pesisir sebagai bagian penting dari rantai makanannya. Akuakultur
pantai juga sangat tergantung pada kawasan pesisir dalam hal kebutuhan ruang
dan sumberdaya (FAO 1996).

Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang diselenggarakan tahun 1992,


memberikan suatu panduan baru yang lebih baik bagi pengelolaan sumberdaya
laut. Rezim Hukum Laut ini memberikan hak dan tanggung jawab kepada negara-
negara pantai untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan di dalam zona ekonomi eksklusif setiap negara yang meliputi sekitar 90
% dari kegiatan perikanan dunia.

Berkembangnya kegiatan perikanan di seluruh dunia yang merupakan


dampak dari meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan-proteinnya,
telah menimbulkan berbagai kondisi tangkap lebih di beberapa kawasan perairan
pantai, serta terjadinya perselisihan diantara beberapa negara yang berkaitan
dengan kegiatan perikanan. Kejadian-kejadian seperti ini oleh PBB telah direspon
dengan dilakukannya serangkaian konperensi internasional yang berkaitan dengan
kegiatan penangkapan ikan, sebagaimana diuraikan secara lengkap dalam
Integration of Fisheries into Coastal Area Management (FAO 1996). Dimulai
dengan pertemuan Komite FAO untuk perikanan (COFI) pada bulan Maret 1991,
yang merekomendasikan bahwa sudah mendesak diperlukanya pendekatan-
pendekatan baru dalam pengelolaan perikanan, yang meliputi aspek konservasi
dan lingkungan serta petimbangan aspek sosial ekonomi. Disini FAO telah
meminta dikembangkannya suatu konsep perikanan yang bertanggungjawab dan
menguraikan sebuah tatalaksana untuk membantu dalam perkembangan
penerapannya. Pada bulan Mei 1992, Pemerintah Meksiko bekerjasama dengan
FAO telah mengorganisasikan sebuah konferensi internasional mengenai

42
Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab, yang berlangsung di Cancun dan
menghasilkan Deklarasi Cancun, yang merupakan pusat perhatian dalam
Pertemuan Tingkat Tinggi UNCED di Rio de Janeiro Brazilia pada bulan Juni
1992, yang mendukung penyiapan sebuah Tatalaksana Perikanan yang
Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF).
Konsultasi teknis FAO mengenai Penangkapan Ikan di Laut Lepas yang dilakukan
bulan September 1992 telah merekomendasikan lebih lanjut untuk memperluas
draft tatalaksana tersebut sehingga mencakup kegiatan perikanan tangkap di
samudera.

Proses penyusunan Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab terus


berlangsung melalui berbagai pertemuan internasional yang dimotori oleh
berbagai badan dunia dibawah PBB. Isi dari dokumen Tatalaksana Perikanan
yang Bertanggungjawab tersebut terdiri atas lima artikel pengantar, yaitu: Sifat
dan Ruang Lingkup; Sasaran-sasaran; Hubungan dengan perangkat internasional
lainnya; Pelaksanaan, Pemantauan, dan Pemutakhiran; serta Kebutuhan Khusus
Negara Berkembang. Artikel pendahuluan ini diikuti oleh sebuah artikel tentang
asas umum yang mendahului enam artikel tematik mengenai: Pengelolaan
Perikanan; Operasi Penangkapan Ikan; Pembangunan Akuakultur; Integrasi
Perikanan kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir; Praktek Pasca-panen dan
Perdagangan; serta Penelitian Perikanan. Perjanjian untuk Memajukan Kepatuhan
terhadap Langkah-langkah Pengelolaan dan Konservasi Internasional oleh Kapal
Penangkap Ikan di laut lepas, merupakan bagian integral dari Tatalaksana
Perikanan yang Bertanggungjawab ini (FAO 1996).
Konsep keberlanjutan pengelolaan perikanan lebih ditekankan pada
pertimbangan bio-ekonomi. Dengan kata lain, pengelolaan perikanan telah
dianggap sebagai penjaminan pertanggungan jawab dari eksploitasi sumberdaya
yang efisien secara ekonomi dan ekologi (Owens 1994 dalam Kasimis dan Petrou
2000).

Menurut Dahuri (2003), karakteristik geografi Indonesia serta struktur dan


tipologi ekosistemnya yang didominasi oleh lautan telah menjadikan bangsa
Indonesia sebagai mega-biodiversity terbesar di dunia, yang merupakan justifikasi
bahwa Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia. Fakta ini

43
menunjukkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang
memiliki peluang amat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang
efektif dalam membangun Bangsa Indonesia. Atas dasar inilah maka konsep
Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab harus segera dilaksanakan di
Indonesia sebelum terlambat dan sulit untuk diperbaiki kembali.

2.3.1 Kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia

Mengingat luasnya kawasan perairan (potensi perairan tawar sebesar 24,53


juta ha dan laut sebesar 5,8 juta km2, Dahuri 2003), Indonesia sudah sepantasnya
memiliki suatu kebijakan pengelolaan perikanan yang baik. Meskipun sejak awal
berdirinya Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau, tetapi
kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu belum memprioritaskan sumberdaya
perikanan dan kelautan sebagai penggerak pembangunan bangsa. Hal ini baru
direalisasikan melalui Keppres No.355/M/1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004
tentang pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) yang kemudian
namanya diubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP)
berdasarkan Keppres No. 145/1999, serta menjadi Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) melalui Keppres No. 165/2000 (Anonimous 2003a).
Untuk mewujudkan semua harapan tersebut di atas, DKP menyusun visi
pembangunan kelautan (Anonimous 2007a), yaitu: "Pengelolaan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan yang lestari dan bertanggung jawab bagi kesatuan dan
kesejahteraan anak bangsa". Sedangkan misinya adalah:
2) Peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan
masyarakat pesisir lainnya.
3) Peningkatan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi.
4) Pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan
perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan.
5) Peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan
konsumsi ikan.
6) Peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya
bahari bangsa Indonesia.

44
Untuk mencapai misi tersebut, DKP telah membuat beberapa program kerja
sebagaimana disampaikan dalam Lokakarya Refleksi Kebijakan Revitalisasi
Kelautan dan Perikanan, yang diselenggarakan tanggal 15 Januari 2007. Dalam
melaksanakan revitalisasi perikanan, DKP menetapkan beberapa komponen utama
yang dipandang sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi sehingga program
revitalisasi berdampak positip bagi masyarakat. Komponen-komponen tersebut
(Anonimous 2007a) adalah : (1) perlu adanya pemantapan regulasi, baik di tingkat
daerah; (2) perlu adanya kejelasan dukungan pembiayaan, baik pemerintah pusat,
daerah, swasta, dan masyarakat; (3) Perlu adanya perencanaan pemasaran dalam
rangka menjamin kepastian pasar produk atau komoditas yang dihasilkan; dan (4)
perlu adanya kegiatan penyuluhan dan pendampingan dalam rangka diseminasi
teknologi dan informasi.

Pelaksanaan program revitalisasi akan lebih berdayaguna dan berhasil guna


bilamana komponen-komponen utama atau komponen esensial ditunjang oleh
komponen-komponen berikut: (1) perlu ada rencana komprehensif serta rencana
pengembangan komoditas atau produk di tingkat pusat dan daerah; (2) perlu
adanya kawasan yang jelas sebagai kawasan basis (contohnya pelabuhan
perikanan), kawasan usaha, serta kawasan pengembangan; (3) perlu melibatkan
swasta dalam program revitalisasi mengingat bahwa pemerintah memiliki
kemampuan yang kapasitas yang terbatas; (4) perlu ditunjang oleh industri
pendukung misalnya galangan kapal, dok, pakan, benih, baik dalam bentuk unit
usaha terpisah atau terpadu; (5) perlu dikembangkan industri pengolahan hasil
yang secara terus menerus menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi
pelaku ekonomi; (6) perlu dilaksanakan riset secara terus menerus dalam rangka
menghasilkan teknologi dan informasi baru bagi peningkatan efisiensi usaha; dan
(7) perlu pengembangan sumberdaya manusia terutama pada sektor swasta
melalui pendidikan dan pelatihan (Anonomous 2007a).

2.3.2 Pelabuhan perikanan

Menurut Kramadibrata (2002), pelabuhan adalah tempat berlabuhnya kapal-


kapal yang diharapkan merupakan suatu tempat yang terlindung dari gangguan
laut, sehingga bongkar muat dapat dilaksakan untuk menjamin keamanan barang.

45
Suatu lokasi di pantai dapat memenuhi persyaratan ini dengan kedalaman air dan
besaran kolam yang cukup untuk ukuran tertentu, sehingga hanya dibutuhkan
adanya suatu dermaga (wharf) tempat ditambatkannya suatu perahu. Pelabuhan
seperti ini disebut pelabuhan alam. Tipe tempat lain yang dibentuk dan
diperuntukan bagi berlabuhnya kapal adalah pelabuhan buatan, dimana alur
masuh dan kolam pelabuhan, dan pemecah gelombang harus dibangun secara
penuh. Diantara kedua tipe pelabuhan ini ada juga yang termasuk pelabuhan semi
alam.
Mengacu pada definisi yang tercantum dalam International Maritime
Dictionary, Murdiyanto (2004) membuat padanan untuk istilah harbour dengan
bandar, yaitu suatu pelabuhan alam yang tidak selalu memiliki fasilitas buatan.
Istilah port dipadankan dengan pelabuhan, dalam arti pelabuhan buatan.

Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa suatu pelabuhan dapat


digambarkan sebagai suatu tempat dimana berlangsung mekanisme transportasi
barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari
laut, dan sebaliknya. Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu
pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pelayanan yang diberikan oleh
pelabuhan didasarkan pada hasil dari pengalaman dalam jangka waktu yang lama.

Dalam kaitannya dengan kapal ikan, terjadinya antrian akan sangat


mempengaruhi nilai dari muatannya tersebut, terkait dengan proses lelang
(Dubrocard dan Thoron 1998). Hal ini tidak hanya waktu tunggu yang penting
tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan
yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan,
dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar.

Kramadibrata (2002) membuat definisi pelabuhan dilihat dari subsistem


angkutan, yaitu pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi
kelancaran angkutan muatan laut dan darat. Menurut UU No 31/2004 tentang
perikanan, definisi pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan
dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintah dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai
tempat kapal perikanan bersandar berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang

46
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
perikanan.

Untuk mengatur pelaksanaan UU No. 31/2004 tentang perikanan tersebut,


telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan (DKP
2006), yang mengatur beberapa hal berikut:

1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan


mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya
dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP),
rencana umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan
prasarana wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan;

2) Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional;

3) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang


dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta;

4) Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun


pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan
secara nasional dan peraturan pelaksanaannya;

5) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study,


investigation, detail design, construction, operation dan maintenance
(SIDCOM);

6) Selain pemerintah, pihak swasta dapat membangun dan


mengoperasionalkan pelabuhan perikanan;

7) Klasifikasi pelabuhan perikanan dibagi ke dalam 4 kelas, yakni Pelabuhan


Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN),
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI);

8) Setiap pembangunan pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu


memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Lokasi
pembangunan pelabuhan perikanan ditetapkan oleh bupati/walikota
setempat;

47
9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan.
Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam
penyelenggaraan pelabuhan perikanan;

10) Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan:

a. Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan


di suatu pelabuhan yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan
kelancaran kapal baik sewaktu berlayar ke luar masuk pelabuhan
maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok meliputi: (1)
pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin; (2) tempat tambat
seperti dermaga dan jetty; (3) perairan seperti kolam, dan alur
pelayaran; (4) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong,
jembatan; dan (5) lahan pelabuhan perikanan.

b. Fasilitas fungsional, yaitu fasilitas yang berfungsi untuk meningkatkan


nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di
pelabuhan, yang terdiri dari: (1) tempat pelelangan ikan sebagai
tempat pemasaran hasil perikanan; (2) navigasi pelayaran dan
komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar,
dan menara pengawas; (3) suplai air bersih, es, listrik; (4)
pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway,
bengkel dan tempat perbaikan jaring; (5) penanganan dan pengolahan
hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan
mutu; (6) perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan; (7)
transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; serta (8) pengolahan
limbah seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL).

c. Fasilitas penunjang, adalah fasilitas yang secara tidak langsung


meningkatkan peranan pelabuhan, yaitu: (1) pembinaan nelayan,
seperti balai pertemuan nelayan,; (2) pengelolaan pelabuhan, seperti
mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu; (3) sosial dan
umum, seperti tempat peribadatan, dan MCK; (4) kios IPTEK; serta
(5) penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan

48
pelayaran, K3, bea dan cukai, keimigrasian, pengawas perikanan,
kesehatan masyarakat, dan karantina ikan.

Menurut Lubis (2002), fungsi pelabuhan perikanan dapat dikelompokan


menjadi dua, yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas.
Berdasarkan pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan adalah:

1) Fungsi maritim, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat


(terjadinya) kontak bagi nelayan dan/atau pemilik kapal, antara laut dan
daratan melalui penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga;
2) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat
awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan
melakukan transaksi pelelangan ikam;
3) Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan
mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan.
Dari pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan menurut Lubis (2202) adalah:
1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan
lebih ditekankan sebagai (tempat) pemusatan sarana dan kegiatan
pendaratan dan pembongkaran hasil tangkapan di laut;
2) Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina
peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari
kerugian pasca tangkap;
3) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat
untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapatka
harga yang layak bagi nelayan maupun pedagang.

Berbeda dengan Lubis (2002), Murdiyanto (2004) membagi fungsi


pelabuhan menjadi 2, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum
merupakan fungsi yang juga dimiliki oleh tipe pelabuhan yang lainnya (pelabuhan
umum, pelabuhan niaga), yang meliputi: (1) jalan (alur) masuk pelabuhan dengan
kedalaman air yang cukup; (2) pintu atau gerbang pelabuhan dan saluran navigasi
yang cukup aman dan dalam; (3) kedalaman dan luas kolam air yang cukup serta
terlindung dari gelombang dan arus yang kuat untuk keperluan kegiatan kapal di
dalam pelabuhan; (4) bantuan peralatan navigasi baik visual maupun elektronis

49
untuk memandu kapal agar dapat melakukan manuver di dalam areal pelabuhan
dengan lebih mudah an ama; (5) bila dipandang perlu, dapat mendirikan bangunan
penahan gelombang (breakwater) untuk mengurangi pengaruh atau memperkecil
gelombang dan angin badai di jalan masuk dan fasilitas pelabuhan lainnya; (6)
dermaga yang cukup panjang dan luasnya untuk melayani kapal yang berlabuh;
(7) fasilitas yang menyediakan bahan kebutuhan pelayaran seperti BBM, pelumas,
air minum, listrik, sanitasi dan kebersihan, saluran pembuangan sisa kotoran dari
kapal, penanggulangan sampah, dan sistem pemadam kebakaran; (8) bangunan
rumah dan perkantoran yang perlu untuk kelancaran dan pendayagunaan
operasional pelabuhan; (9) area di bagian laut dan darat untuk perluasan atau
pengembangan pelabuhan; (10) jalan raya atau jalan kereta api/lori yang cukup
panjang untuk sistem transportasi dalam areal pelabuhan dan untuk hubungan
dengan daerah lain di luar pelabuhan; (11) halaman tempat parkir yang cukup luas
untuk kendaraan industri atau perorangan di dalam pelabuhan sehingga arus
lalulintas di kompleks pelabuhan dapat berjalan dengan lancar; (12) fasilitas
perbaikan, reparasi dan pemeliharaan kapal seperti dok dan perbengkelan umum
untuk melayani permintaan sewaktu-waktu.

Fungsi khusus dari pelabuhan perikanan menurut Murdiyanto (2004)


diturunkan dari karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk
(highly perishable). Sifat ini menhendaki pelayanan khusus berupa perlakuan
penanganan, pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan yang
tepat. Fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi fungsi khusus pelabuhan
perikanan ini adalah: (1) fasilitas pelelangan ikan yang cukup luas dan dekat
dengan tempat pendaratan; (2) fasilitas pengolahan ikan seperti tempat
pengepakan, pengemasan, dan cold storage; (3) pabrik es; dan (4) fasilitas
penyediaan sarana produksi penangkapan ikan.

Murdiyanto (2004) menjelaskan bahwa klasifikasi pelabuhan didasarkan


pada cakupan peruntukannya, yakni:
1) Pelabuhan Perikanan Tipe A (atau Pelabuhan Perikanan Samudera, PPS)
diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan samudera yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan
perikanan jarak jauh sampai ke perairan ZEEI dan perairan internasional,

50
mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah
sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang
didaratkan minimum 200 ton per hari atau 73.000 ton per tahun, baik untuk
pemasaran dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan
tipe A ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 60 GT
sebanyak 100 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk
pengembangan seluas 30 ha.
2) Pelabuhan Perikanan Tipe B (atau Pelabuhan Perikanan Nusantara, PPN)
diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan Nusantara yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan
perikanan jarak sedang sampai ke perairan ZEEI, mempunyai perlengkapan
untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan
kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 50 ton per hari
atau 18.250 ton per tahun, hanya untuk pemasaran dalam negeri. Pelabuhan
perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran
sampai 60 GT sebanyak 50 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan
untuk pengembangan seluas 10 ha.
3) Pelabuhan Perikanan Tipe C (atau Pelabuhan Perikanan Pantai, PPP)
diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan
mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan
yang didaratkan minimum 20 ton per hari atau 7.300 ton per tahun, untuk
pemasaran di daerah sekitarnya atau untuk dikumpulkan dan dikirim ke
pelabuhan perikanan yang lebih besar. Pelabuhan perikanan tipe C ini
dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 15 GT sebanyak 25 unit
sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas
seluas 5 ha.
4) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), berskala lebih kecil dari PPP baik ditinjau
dari kapasitas penanganan jumlah produksi ikan maupun fasilitas dasar dan
perlengkapannya. Kapasitas penanganan ikannya sampai dengan 5 ton per
hari, dan dapat menampung kapal berukuran 5 GT sebanyak 15 unit

51
sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas
seluas 1 ha.

Di Indonesia, penentuan awal terbentuknya suatu kawasan menjadi daerah


perikanan pada mulanya kemungkinan besar ditentukan hanya oleh adanya
aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, baik itu berupa kegiatan penangkapan,
budidaya, pengolahan, maupun pemasaran, baik kegiatan sendiri-sendiri maupun
bersamaan. Oleh karena itu, kemungkinan besar tidak memperhitungkan berbagai
variabel yang diperlukan bagi suatu perencanaan pengembangan daerah perikanan
secara ilmiah, baik dilihat dari sumberdaya ikan, prasarana dan sarana
penangkapan dan pendaratan ikan, serta potensi pasarnya. Oleh karena itu, tidak
semua pusat-pusat pendaratan ikan yang ada di Indonesia mempunyai prospek
pengembangan yang menggembirakan bilamana diteliti secara mendalam dan
ilmiah.

Menurut Lubis (2003), salah satu alasan perlunya dibangun pelabuhan


perikanan di suatu daerah adalah berkembangnya kegiatan perikanan laut di
daerah tersebut. Disamping itu, alasan lain yang juga mendukung adalah:

1) Semakin meningkatnya kebiasaan penduduk untuk makan ikan;

2) Masih besarnya potensi sumberdaya ikan yang ada di perairan;

3) Semakin meningkatnya (kegiatan) industri perikanan;

4) Adanya (dukungan) politik dalam rangka pengawasan perairan; serta

5) Semakin meningkatnya pendapatan penduduk per kapita.

Lubis (2003) juga berpendapat bahwa sebagian besar pelabuhan perikanan


di Indonesia belum berfungsi optimal (70 %) dan umumnya belum dilengkapi
fasilitas modern. Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hal tersebut, antara lain: (1) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia
(SDM) pengelola dan pelaku; (2) Masih belum sadarnya para pelaku (nelayan,
pedagang, pengolah) dalam memanfaatkan pelabuhan perikanan dengan sebaik-
baiknya sebagai tempat pendaratan, pemasaran, maupun pembinaan mutu hasil
tangkapannya; (3) Masih belum adanya kemauan dari pemerintah sendiri untuk

52
membantu para nelayan dalam memanfaatkan potensi perairan, baik dalam
manajemen pemberian kredit maupun dalam pemberian subsidi; (4) Belum adanya
jaminan keamanan bagi para nelayan, baik di laut maupun di darat; (5) Masih
belum tersedianya berbagai fasilitas yang memang diperlukan oleh nelayan atau
pedagang di pelabuhan perikanan atau juga rusaknya beberapa fasilitas di
pelabuhan tanpa adanya perbaikan dalam jangka waktu yang lama; (6) Belum
tersedianya prasarana dan sarana transportasi yang baik yang dapat menjamin
mutu ikan sampai ke daerah konsumen; (7) Masih banyak nelayan yang terikat
dengan para tengkulak sehingga terjadi ketergantuangan harga jual hasil
tangkapannya; dan (8) Belum berjalannya fungsi koperasi secara baik sehingga
tidak dirasakan manfaatnya oleh nelayan.

Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), suatu pelabuhan perikanan dapat


dipertimbangkan sebagai suatu tempat dimana terjadi mekanisme perpindahan
barang yang berasal dari daratan ke arah laut dan sebaliknya. Aktivitas yang
dilakukan dalam suatu pelabuhan secara jelas dapat dibagi 2, yaitu pelayanan
kapal, dan pelayanan muatan yang akan dibawa atau dibongkarnya. Pengelolaan
suatu pelabuhan tergantung pada apa yang dimilikinya (kapasitasnya) dan apa
yang diminta oleh para pelanggannya. Kasus terjadinya keterlambatan bongkar
muat suatu kapal adalah menunjukkan bagaimana keadaan kualitas pelayanan
pelabuhan tersebut.

Pada saat suatu kapal tiba di suatu pelabuhan, sudah harus dipertimbangkan
kemungkinan adanya biaya tunggu di pelabuhan. Menurut Dubrocard dan Thoron
(1998), pelayanan bongkar muat kapal merupakan faktor utama dari jasa
pelayanan pelabuhan. Kualitas pelayanan ini diukur dari keterlambatan yang
ditentukan oleh kapasitas pelabuhan dan jumlah permintaan. Suatu pelabuhan
dapat digambarkan sebagai suatu mekanisme transportasi barang-barang yang
berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari laut, dan sebaliknya.
Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu pelayanan kapalnya dan
pelayanan muatannya. Pada saat suatu pelayanan bongkar muat kapal dilakukan,
telah terdapat suatu spesifikasi yang telah disesuaikan dengan kondisi kapal dan
muatannya. Hal ini merupakan hasil analisis dari pengalaman pemberian
pelayanan bongkar muat kapal yang cukup lama.

53
Dalam kasus situasi kapal ikan, Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan
bahwa tidak hanya waktu tunggu yang penting tetapi lebih pada harga ikan yang
dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan yang dibongkar tersebut menambah
jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan, dikhawatirkan akan terjadi penurunan
harga karena kelebihan pasokan di pasar. Namun secara formal, analisis terhadap
situasi ini sangat mirip dengan teori antrian dan kemacetan. Dengan perkataan
lain, kualitas pelayanan diukur dalam dua bentuk gambaran, pada saat kapal
datang di pelabuhan secara acak (dengan kata lain kualitas ditentukan oleh harga
yang diperoleh, dan hal ini pada gilirannya ditentukan oleh proses kedatangan dari
kapal ikan).

Mengutip Lubis (1989) dan Vigarie (1979), Lubis (2003) menyatakan


bahwa terdapat tiga komponen yang harus mendasari analisis geografi dalam
merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan. Ketiga komponen tersebut
terdiri dari foreland, fishing port, dan hinterland, yang dalam Bahasa Perancis
ketiganya disebut tryptique portuaire. Jika ketiga komponen tersebut dikelola
dengan baik, maka pengembangan pelabuhan perikanan terpadu dapat dicapai.
Menurut Kramadibrata (2002), para perencana dan perancang pelabuhan harus
mengarahkan pemikirannya pada fungsi pelabuhan, yaitu sebagian dari fungsi
angkutan yang mampu melaksanakan tugasnya, bukan hanya dimasa sekarang
tetapi juga mampu berperan di masa mendatang.

Perkembangan terakhir dari pengelolaan pelabuhan perikanan yang


berkelanjutan adalah dimasukannya aspek eco-port, artinya pelabuhan dikeloka
sedemikian rupa sehingga masyarakat sekitar pelabuhan dan para pemanfaat
lainnya dapat menggunakan pelabuhan tersebut sebagai tempat yang nyaman
untuk berwisata. Salah satu pelabuhan perikanan yang sudah menerapkan sistem
pengelolaan seperti ini adalah Port Douglas di Darwin-Australia
http://www.fishingportdouglas.com.au/). Di pelabuhan ini, hampir semua
kegiatan wisata air dapat dilakukan dan dikelola secara professional, mulai dengan
fasilitas akomodasi (hotel berbintang 4,5 dan motel) sampai ke fasilitas sport
fishing (mancing di laut). Di Indonesia, tampaknya belum sampai ke taraf
komersial, meskipun kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat juga sudah biasa
dilakukan dan dihadapi oleh pengelola pelabuhan.

54
Menurut Mahyuddin (2007), pengembangan pelabuhan perikanan di
Indonesia semakin menarik bagi investor untuk dijadikan basis dalam
pengembangan industri perikanan. Alasannya yakni: (1) investor semakin sulit
memperoleh tanah yang bebas masalah d luar kawasan pelabuhan sehingga areal
industri perikanan di kawasan pelabuhan semakin diminati; (2) berdasarkan pasal
41 ayat 3 UU No. 31/2004 tentang perikanan, setiap kapal penangkap ikan dan
kapal pengangkut ikan diharuskan untuk mendaratkan ikan tangkapannya di
pelabuhan perikanan; (3) adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan
bahwa kapal-kapal asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan
Indonesia kecuali kapal-kapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil
tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan
di Indonesia; dan (4) semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor
di pelabuhan mulai dari pelayanan prima, sampai kepada murahnya tarif dalam
memanfaatkan fasilitas pelabuhan.

2.3.3 Tempat pelelangan ikan

Salah satu sarana yang sebaiknya terdapat di pelabuhan perikanan adalah


tersedianya tempat pelelangan ikan (TPI). Tempat ini merupakan areal dimana
nelayan, juragan kapal, tengkulak, dan pembeli dan penjual ikan bertransaksi dan
diawasi oleh petugas TPI. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang
Pelabuhan Perikanan, tempat pelelangan ikan adalah salah satu fasilitas fungsional
yang dapat meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat
menunjang aktivitas di pelabuhan (DKP 2006).

Menurut Adrianto (2007), TPI adalah tempat dimana kesepakatan harga jual
beli ikan tercapai. Namun demikian beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu harga
yang terbentuk tidak mencerminkan supply dan demand yang aktual (quasi-
auction), transparansi antara harga on-farm dan off-farm masih terbatas. Dengan
demikian TPI hanya berfungsi sebagai lembaga ekonomi saja.

Tempat pelelangan ikan juga merupakan fasilitas fungsional yang sangat


vital dalam rangka mengoptimalkan fungsi pemasaran ikan. Pada gilirannya, jika
fungsi pemasaran berhasil maka pendapatan dari jasa pelabuhan perikanan akan

55
juga bertambah. Fungsi pemasaran ikan yang terjadi di TPI digambarkan oleh
Adrianto (2007) sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.7

Retail Sales
Traders Consumers

FISHERS Fix price transaction

Middle-men
LANDING
Auctions and Bidding
Consignment
Consignees, wholesalers
(larger wholesaler market)
Consignees, wholesalers
(fishers cooperatives/
association)

Auctions and Bidding

Middle-men
Buying on consignment

Gambar 2.7 Bagan alir fungsi pemasaran yang terjadi di TPI (Adrianto 2007)

Dari Gambar 2.7 tampak bahwa aktivitas ekonomi (pemasaran) di TPI


dimulai dari proses pendaratan ikan yang dilakukan oleh nelayan, kemudian
terjadi proses lelang pertama diantara tengkulak/pedagang besar A (wholesaler,
baik dari kelompok nelayan atau koperasi) dengan pedagang perantara A (middle
man). Proses pelelangan kedua terjadi antara tengkulak/pedagang besar B dengan
pedagang perantara B. Proses pemasaran kemudian terjadi secara eceran di antara
pedagang perantara B dengan pedagang eceran yang langsung menjual ikannya
kepada konsumen. Pembayaran kontan terjadi pada saat transaksi antara
pedagang perantara dengan pedagang eceran serta antara pedagang eceran dengan
konsumen. Sedangkan transaksi pada waktu lelang dibayar berdasarkan komisi
penjualan. Jika kepercayaan sudah ter jadi diantara tengkulak/pedagang besar
dengan pedagang perantara dan juga sampai ke pedagang pengecer, pembayaran
kadang-kadang dilakukan hari berikutnya.

56
2.3.4 Kelembagaan TPI

Untuk dapat beroperasi secara benar dan optimal, maka TPI harus memiliki
lembaga pengelola. Banyak kasus di pelabuhan-pelabuhan perikanan di Pulau
Jawa lembaga pengelola TPI dipegang oleh koperasi nelayan (KUD Mina), ada
yang berhasil dan ada pula yang gagal total sehingga lembaga tersebut tidak
dipercaya lagi. Contoh kasus yang terhitung berhasil adalah di PPI/TPI
Belanakan di Subang yang dikelola oleh KUD Mina Fajar Sidik. Keberhasilan
lembaga pengelola TPI ini telah menjadikannya sebagai acuan dalam
pengembangan Terminal Agribisnis/Sub Terminal Agribisnis (TA/STA) produk-
produk pertanian. KUD Mina Fajar Sidik didirikan tahun 1958 dan mendapat
predikat KUD Mandiri Inti berdasarkan Surat Kakanwil Depkop dan PPK Prop.
Jawa Barat tanggal 24 Desember 1994. Jumlah karyawan KUD 50 orang dengan
keanggotaan penuh (535 orang), calon anggota (155 orang) dan anggota yang
dilayani (3.804 orang), dan uang yang beredar dari hasil transaksi lelang yang
terjadi di TPI setiap hari sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta)
(Anonimous 2006).

Tata cara pelaksanaan lelang di TPI KUD Mina Fajar Sidik dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 13/2006 tanggal 8 Maret 2006
tentang pelaksanaan penyelenggaraan dan retribusi tempat pelelangan ikan dan
berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat no. 10/11 tahun 1998 Jo Prop Jawa Barat
no. 8/9 tahun 2000 pelaksanaan lelang dikenakan ongkos sebesar 8 %.

Adrianto (2007) mengidentifikasi aliran fungsional yang terjadi di TPI di


Jawa Tengah, sebagaimana tampak dalam Gambar 2.8. Dari Gambar 2.8 tampak
besaran distribusi dana retribusi, dimana 1,25 % diberikan ke Kas Provinsi
(Pemda Provinsi 0,85 % dan Pemda Kabupaten/kota) dan 3,75 % disampaikan ke
PUSKUD (yang digunakan untuk dana sosial, pengembangan PUSKUD,
tabungan nelayan, asuransi nelayan, tabungan bakul, dana paceklik,
pengembangan KUD, lelang, dan perawatan TPI). Jika besaran retribusi sebesar 8
%, maka biaya pengelolaan TPI sebesar 3 % dari seluruh transaksi pelelangan.
Distribusi dana retribusi pelelangan yang dilakukan di Jawa Timur dan Bali

57
mempunyai variasi yang cukup berbeda, sebagaimana tampak pada Gambar 2.9
dan Gambar 2.10.

TPI
1.25% 3.75%

Kas Provinsi Pusat KUD

Dana Tabungan Asuransi Dana Lelang


Pemda Pemda Sosial Nelayan Nelayan Paceklik
0.50% 1.0%
Provinsi Kab/Kota 0.50% 0.20% 0.50%
0.85% 0.40%
Pengembangan Tabungan Pengembangan
Puskud Bakul KUD
0.20% 0.25%
0.45%
Pengembangan 0.15%
TPI
Perawatan TPI

Provinsi Jawa Tengah

Gambar 2.8 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Jawa Tengah
(Adrianto 2007)

5%
TPI KUD DISPENDA

BANK
JATIM

ANGGARAN
RUTIN

0,75 %
1,25 %
3%
ANGGARAN
PEMBANGUNAN
PROVINSI

DINAS KAB/KOTA TPI/KUD


PENGELOLA

Gambar 2.9 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Jawa Timur
(Adrianto 2007a)

58
Biaya operasional Retribusi BPD Bali
dan tabungan nelayan Provinsi 0.5 %

TPI KUD Bendaharawan Retribusi BPD Kabupaten/


Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Kota
Kabupaten/Kota 0.5 %

Pungutan Paceklik/ Bendaharawan


Sosial Kecelakaan Khusus Perikanan
1% Provinsi

Wasdalop Bendaharawan
0.5 % Provinsi

Provinsi Bali (SK Gubernur No 190/1986)

Gambar 2.10 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Bali
(Adrianto 2007b)

2.4 Analisis Perkembangan Aktivitas Pembangunan

Setiap aktivitas pembangunan di suatu kawasan dapat diamati tingkat


keberhasilannya dengan berbagai tools. Dalam penelitian ini, tools yang
digunakan adalah: ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region);
land rent, yang meliputi economic rent, social rent, dan environmentlan rent,
yang masing-masing dalam istilah Indonesia disebut rente lahan yang mencakup
rente ekonomi, rente sosial, dan rente lingkungan.

2.4.1 Ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region)

Untuk melihat prospek pengembangan suatu daerah perikanan, konsep yang


dikembangkan oleh Symes (2000) tentang daerah yang bergantung pada kegiatan
perikanan (daerah perikanan = fisheries dependent regions) sangat bermanfaat
bagi aktivitas pengelolaan. Daerah perikanan ini merupakan barometer bagi
keberhasilan suatu kebijakan perikanan.di suatu kawasan.
Menurut Symes (2000), definisi pokok dari daerah perikanan adalah untuk
mengidentifikasi daerah-daerah yang memiliki tingkat resiko tinggi, baik dalam
konteks sumberdaya maupun kebijakan, terhadap turunnya intensitas kegiatan

59
perikanan termasuk dampak yang mungkin timbul dari turunnya kesempatan kerja
dan pendapatan sektor perikanan. Daerah perikanan dalam konteks ini terkait
dengan istilah fisheries dependent region, ketergantungan daerah terhadap
perikanan. Menurut Phillipson (2000), definisi daerah perikanan perlu difokuskan
dalam konteks struktur ekonomi daerah (regional depencies) dimana sektor
perikanan berkontribusi secara sosial dan ekonomi, daripada ketergantungan
perikanan (fisheries dependencies). Ketergantungan daerah jelas berdimensi
regional atau wilayah, sedangkan ketergantungan perikanan memiliki banyak
dimensi, mulai dari individu, rumah tangga, hingga ke komunitas. Sebelumnya
Otterstad et al. (1997b) dalam Symes (2000) menyatakan bahwa ketergantungan
secara ekonomi (economic dependencies) lebih relevan secara langsung terhadap
isu daerah perikanan. Sedangkan variabel sosial memiliki peran dalam
penyediaan indikasi umum dari kesejahteraan sosial (social welfare) dari suatu
daerah.

Untuk mengklasifikasi apakah suatu daerah termasuk dalam suatu daerah


perikanan atau bukan, menurut Phillipson (2000) terdapat tiga sistem indikator
yang dapat digunakan, yaitu:

1) Indikator ketergantungan perikanan (fisheries dependence indices) yang


mencakup 3 komponen utama, yakni: a) Indikator ketenagakerjaan
perikanan (kontribusi tenaga kerja perikanan dalam total struktur
ketenagakerjaan daerah); b) indikator absolut aktivitas perikanan
(indikator yang terkait langsung dengan menurunnya kinerja sektor
perikanan); dan c) indikator tingkat signifikasi ekonomi dari sektor
perikanan terhadap ekonomi daerah.

2) Indikator ketergantungan ekonomi (economic dependence indices) yang


meliputi indikator ketenagakerjaan wilayah, indikator ekonomi wilayah
dan industri.

3) Indikator sosial demografis yang mencakup indikator kependudukan,


kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Penentuan daerah perikanan di Indonesia mempunyai beberapa hambatan.


Menurut Adrianto (2004), paling tidak terdapat 3 persoalan (obstacles) yang perlu

60
diperhatikan. Pertama, tidak ada sistem data yang langsung dapat dipakai
(straightforward) untuk mengidentifikasi sebuah daerah agar dapat digolongkan
sebagai daerah perikanan. Data statistik nasional misalnya belum menempatkan
informasi tentang angkatan kerja perikanan dalam sebuah bentuk yang standar.
Kedua, masalah level data. Data perikanan saat ini tidak standar antar level
sehingga sering ditemukan ketidaksesuaian data antar level. Secara teoritis,
identifikasi kegiatan perikanan lebih mudah dilakukan di tingkat lokal, sehingga
level ketergantungan (level of dependencies) daerah tersebut mudah ditentukan
walaupun tidak untuk semua kasus. Ketiga, dalam beberapa hal istilah fisheries
dependence dapat menimbulkan kontradiksi. Ketika pengukuran dimaksudkan
untuk mengidentifikasi peren penting dari sektor perikanan di suatu daerah,
namun hasilnya cenderung tidak meyakinkan karena sektor perikanan seringkali
masuk (embedded) ke dalam ekonomi lokal yang kompelks dan beragam
(pluriactive). Dalam konteks ini, maka penerapan indeks batas arbitrer (arbitrary
threshold index), untuk menggolongkan apakah suatu daerah bergantung secara
relatif terhadap sektor perikanan atau tidak, dapat di lakukan.

2.4.2 Land rent, social rent, dan environmental rent

Menurut Fetter (1977), asal kata rent atau rente berasal dari kata Bahasa
Perancis tua pada abad 12, yang diambil dari Bahasa Latin rendita dan reddita
yang berarti kembali atau hasil panen. Pada abad yang sama pula terjadi
penggunaan kata tersebut dalam Bahasa Inggris, yang nuansa artinya lebih pada
kata penghasilan (revenue atau income). Dari istilah inilah kemudian muncul
definisi rente menurut Alfred Marshall yang banyak digunakan oleh para ekonom,
yaitu pendapatan yang diperoleh dari penggunaan lahan dan pemberian alam
lainnya. Namun demikian, dari nuansa teknis hukum definisi yang lebih sesuai
adalah: kompensasi yang diterima oleh tuan tanah untuk penyewaan tanahnya
(corpus juris).

Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa definisi rent ternyata


berkembang terus sejalan dengan kemajuan jaman dan berbagai aktivitas yang
dilakukan di suatu kawasan. Parikesit (2005) menyatakan bahwa teori awal dari
penggunaan lahan berawal dari teori mikro ekonomi. Di antara para ahli, yang

61
paling signifikan berpengaruh adalah Von Thnen dengan teori lokasinya, Weber
dengan model lokasi industri, Christaller dan Lsch dengan penjelasan tentang
daerah pemasaran dan perencanaan geometrik untuk membentuk kawasan; serta
implementasinya terhadap daerah perkotaan dijelaskan oleh Wingo dan Alonso
(de la Barra 1989). Pendekatan Von Thnen dan Weber sudah dikenal umum
sebagai dua paradigma yang berbeda dimana Von Thunen menggunakan
paradigma land use sementara yang kedua paradigma lokasi (Stahl 1987 dikutip
oleh Parikesit 1996 dalam Parikesit 2005). Von Thnen melihat bahwa lokasi
perdagangan yang penting dan terlibat adalah penurunan biaya output transportasi
dengan cara mendekati lokasi pasar, lawannya adalah peningkatan harga input
lahan (atau barangkali juga buruh) yang terlibat dalam hal pindah lokasi. Lebih
jauh, Von Thnen menyatakan bahwa land rent dirasakan sebagai pendekatan
yang paling tepat sebagai sisa, bahwa land rent bukan suatu lokasi yang
menentukan (kompetitif), tetapi ditetapkan sebagai suatu hasil (Parikesit 1996
dalam Parikesit 2005).

Menurut Rothbard (1997), Fetter merupakan ekonom pertama yang


menjelaskan tingkat bunga berdasarkan waktu. Setiap faktor produksi
memperoleh inkamnya sesuai dengan produk marginalnya, dan setiap rente yang
akan datang didiskon, atau dikapitalisasi untuk mendapatkan nilainya sekarang
sesuai dengan semua tingkat sosial berdasarkan waktu. Hal ini berarti bahwa
suatu perusahaan yang membeli mesin hanya akan membayar nilai saat ini untuk
nilai pendapatan yang diharapkan datang di masa yang akan datang, diskon oleh
tingkat sosial yang berdasarkan waktu; dan pada saat pemodal menyewa pekerja
atau menyewa lahan, dia akan membayar saat ini, bukan suatu faktor produk
marginal, tetapi diskon dari produk mariginal yang diharapkan dimasa yang akan
datang berasal dari tingkat sosial yang berdasarkan waktu.
Menurut Petrucci (2003), dalam suatu ekonomi tertutup non-altruistik,
dimana lahan dianggap sebagai suatu input dan juga sebagai asset, serta lahan dan
pekerja merupakan suplai yang tidak elastis, suatu pajak atas land rent
dihubungkan dengan stok modal dan output per orang yang lebih tinggi dalam
kondisi yang stabil. Hasil ini ditemukan oleh Feldstein tahun 1977. Model Von
Thunen tentang land-rent dapat dilihat pada Gambar 2.11.

62
Rent/Cost
100

cost of fixed
non-land inputs

50

30

M
20 km distance d
50 km

Gambar 2.11 Model Von Thunen tentang land-rent (Petrucci 2003)

Untuk lebih mudah mengerti tentang konsep land rent, diagram di bawah ini
menjelaskan tentang kaitan antara besarnya nilai suatu kapital dengan jarak,
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.12.

1 - Bid rent curve 2 Overlay of bid rent curve


Rent

B-Industry/
A-Retailling commerccial

Distance
City limits

C. Apartements D. Single houses

Gambar 2.12 Konsep land rent (Anonimous 2005)

63
Gambar 2.12 bagian 1 (bid rent curve) menggambarkan toleransi dari
aktivitas ekonomi terhadap rent. Dengan menumpang-tindihkan kurva dari semua
aktivitas ekonomi perkotaan tersebut (bagian 2), maka pusat pemanfaatan lahan
dapat dibuat dimana aktivitas bisnis eceran pada lingkaran CBD,
industri/komersial pada lingkaran berikutnya, apartemen di lingkaran berikutnya
dan kemudian perumahan tunggal. Hal ini merupakan representasi suatu ruang
isotropik (isotropic space). Pada kenyataannya, kombinasi antara atribut-atribut
physiographic (tepi perairan, bukit, dan lain lain), sejarah (turisme) dan sosial
(suku bangsa, kriminalitas, persepsi) akan mempengaruhi kurva nilai penawaran
(bid rent curves) (Anonimous 2005). Penggunaan lahan oleh karena itu
didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayar dari fungsi ekonomi yang
berbeda di daerah perkotaan, seperti kawasan pedagang eceran, industri, atau
pemukiman. Lokasi optimal, dimana akses adalah optimal, adalah pusat kegiatan
bisnis. Setiap aktivitas, termasuk daerah pedesaan, berkeinginan untuk
mempunyai aktivitas di sekitar pusat bisnis tersebut.

Di bidang ekonomi (khususnya aktivitas produksi), lahan adalah faktor


produksi yang sangat penting disamping faktor manusia dan modal (Mubyarto
1979; Northam 1975). Di bidang non ekonomi, lahan memiliki makna struktur
penguasaan dan pemilikan. Lahan merupakan tempat dimana terjadi pelbagai
kegiatan dengan berbagai manfaat yang akan menentukan tingkat harga dan
kompetisi, terutama di daerah perkotaan dimana lahan merupakan input lokal
yang langka dan apabila terjadi kapitalisasi dari manfaat nilai lahan yang
kepemilikannya diberikan melalui hibah, maka dipastikan tidak akan cukup untuk
memperbaiki pengelolaan sumberdaya alamnya (Turner 1993; Husein 1997).

Pada saat suatu kota berkembang, lahan yang terpencil sekalipun mulai
menunjukkan rente yang jual tinggi khususnya yang memiliki akses yang baik.
Hal ini kemudian menghasilkan tingkat densitas dan produktivitas yang tinggi.
Oleh karenanya, densitas dan rente mempunyai hubungan yang erat (Anonimous
2005). Mubyarto (1979) menambahkan bahwa proses urbanisasi dan
industrialisasi merupakan faktor penting yang mendorong kenaikan sewa dan
harga lahan; selain itu dengan meningkatnya jumlah penduduk maka nilai lahan

64
akan terus naik dan tidak mungkin turun, karena lahan adalah satu-satunya faktor
produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia.

Penurunan nilai lahan di suatu kawasan masih mungkin terjadi disebabkan


oleh beberapa faktor, yaitu: (1) terjadinya suatu bencana alam yang menimpa
kawasan tersebut; (2) terjadi bencana dari suatu industri, contohnya kebocoran
instalasi nuklir di Siberia; (3) kawasan tersebut menjadi tidak aman, baik karena
faktor manusia (perselisihan atau peperangan) maupun wabah penyakit yang
berlangsung lama. Penurunan nilai lahan ini dapat berlangsung lama atau
sebentar.

Menurut Husein (1997), penentuan harga lahan di Indonesia dalam banyak


kasus dilakukan setelah ada usulan untuk pembebasan lahan dari si pemohon atau
pengguna. Sebelum itu hampir tidak diketahui dengan pasti seberapa besar nilai
tambah di daerah tersebut, meskipun seandainya harga tanah dapat dimonitor di
tiap daerah. Penentuan harga lahan yang terburu-buru dan parsial, per daerah,
serta belum mantapnya kerjasama secara sinergis (misalnya antara Dinas Pajak
Bumi dan Bangunan dengan instansi pengatur dan pengguna lain seperti BPN,
DEPTAN, dan DEPDAGRI) membuat harga lahansecara riil dan potensial belum
dapat ditentukan dengan tepat. Salah satu penyebab utama ketidakmampuan
berkoordinasi tersebut adalah karena nilai lahan yang sangat spekulatif dan
subyektif yang mengandung unsur-unsur sosial-psikologis yang sangat dalam dan
sulit dihitung.

Suparwoko (1994) menjelaskan bahwa lahan merupakan sumberdaya yang


dapat diperbaharui, dalam arti bahwa lahan tersebut dapat ditingkatkan
kesuburannya. Pemanfaatan lahan untuk berbagai macam penggunaan bertujuan
untuk menghasilkan barang-barang (atau jasa) kebutuhan manusia yang terus
meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Untuk tujuan tersebut seringkali pemanfaatan lahan tidak rasional dan kurang
bijaksana dalam jangka pendek, sehingga kurang mempertimbangkan kelestarian
sumberdaya lahan tersebut. Akibat pemanfaatan yang tidak rasional tersebut,
lahan mengalami penurunan persediaan dan manusia semakin tergantung pada
sumberdaya lahan yang rendah kualitasnya.

65
Fauzi (2000) menyebutkan bahwa tekanan pembangunan ekonomi yang
dilakukan di negara-negara berkembang khususnya sering menimbulkan dilema
bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk
masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik dan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga
penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang harus dibayar
untuk suatu proses pembangunan ekonomi. Lahan yang dikelola masyarakat
sebagai common property dapat disebut dengan open access. Dalam istilah
ekonomi, lahan tersebut disebut extensive economic margin yang artinya bahwa
pengetrapan tenaga kerja dan kapital per satuan lahan adalah sangat rendah dan
jika lahannya yang open access tersebut diperluas maka economic return-nya juga
sama rendahnya. Menurut Mubyarto (1972), balas jasa (return to land) yang
diterima oleh lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi mempunyai
kedudukan yang paling penting. Pembayaran atas jasa produksi tersebut disebut
sewa lahan (rent). Suparwoko (1989) menjelaskan bahwa sewa lahan secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi, yaitu merupakan
kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari
sumberdaya lahan dapat disebabkan oleh tingkat kesuburannya.

Blair (1991) menyatakan bahwa rent merupakan keuntungan bagi lahan.


Pengertian rent dan lahan berbeda dari definisi ekonomi. Lahan merupakan faktor
alam dari produksi dan oleh karena itu suplai lahan tidak dipengaruhi oleh harga.
Kuantitas lahan tidak dapat ditingkatkan sebagai respon dari harga yang
meningkat atau menurun karena menurunnya harga. Lahan meliputi juga bahan
bakar, sinar matahari, hujan, dan semua faktor produksi sumberdaya alam. Para
ahli ekonomi sangat berhati-hati dalam membedakan antara lahan dan property.
Property terdiri dari lahan dan bangunan. Rent merupakan keuntungan bagi lahan
dan ditentukan oleh hubungan antara supply dan demand terhadap lahan
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.13.

Peningkatan harga lahan (rent) tidak diikuti dengan meningkatnya


penawaran. Dengan kata lain, lahan merupakan suplai tetap, sehingga perubahan
dalam permintaan akan mempengaruhi rent dan bukan kuantitas (K) dari lahan

66
tersebut. Penawaran untuk jenis lahan tertentu, seperti lahan komersial, mungkin
dapat ditingkatkan dengan tekanan pasar dan oleh keputusan politik, seperti
perubahan zonasi. Meskipun demikian, penambahan lahan untuk tujuan tertentu
akan lebih mahal dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya (Blair
1991).

Rent
Slahan

Dlahan = VMPL

Kuantitas lahan

Gambar 2.13 Kurva penawaran (S) dan permintaan (D) dari lahan (Blair 1991)

Permintaan lahan didasarkan atas kontribusi lahan terhadap keuntungan.


Produk marjinal suatu unit lahan ekstra (MPi) merupakan output yang dihasilkan
dari penggunaan suatu unit lahan ekstra dalam suatu proses produksi. Jika suatu
pabrik menjual outputnya dalam suatu pasar yang kompetitif, maka akan
menerima suatu harga yang konstan dari setiap unit ekstra yang dijual. Pertanian
atau pabrik tidak akan mampu membayar lebih untuk penambahan lahan
dibandingkan dengan nilai dari atribut output yang meningkat dari lahan tersebut.
Mereka akan membayar sekecil mungkin untuk lahan ekstra. Jika terdapat
kompetisi diantara produser, maka mereka akan menawar satu sama lain hingga
rent lahan sama dengan kontribusi lahan terhadap keuntungan pabrik. Ketika
suatu pabrik berjualan dalam suatu pasar yang kompetitif, harga produk tidak
dipengaruhi oleh output dari pabrik. Dalam kasus ini, permintaan terhadap lahan
sama dengan nilai dari produk marjinal, VMP. Jika semua input non lahan tetap
konstan, nilai dari produk marjinal dapat dinyatakan sebagai harga output dikali

67
dengan produk marjinal dari unit lahan tambahan. Dalam bentuk rumus ditulis
sebagai berikut:

VMPi = Po x MPi

dimana:

VMPi = nilai produk marjinal dari unit lahan ke-I

Po = net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan

MPi = produk marjinal dari unit lahan ke-I

Fungsi VMP menyatakan kuantitas dari penggunaan lahan dalam produksi


yang meningkat karena produk marjinal dari lahan turun seperti yang dinyatakan
pada hukum penurunan produktivitas marjinal. Ketika VMP lebih besar
dibandingkan dengan market rent untuk suatu unit lahan, pabrik akan
menggunakan lebih banyak lahan yang mengakibatkan pada penurunannya MP
dan VMP. Nilai VMP akan menurun hingga sama dengan rental rate.

2.4.3 Metode skalogram

Skalogram didasarkan pada analisis skalogram dan untuk yang lebih luas
lagi pada Rasch analisis, keduanya digunakan untuk menilai apakah suatu
kelompok barang dalam keadaan konsisten, dalam arti bahwa kesemuanya
mengukur sesuatu yang sama (Anonimous 1999). Jika semua barang tersebut
mengukur sesuatu yang sama, maka barang-barang tersebut disebut
unidimensional; yang didasarkan pada dimensi tunggal (single dimension).
Biasanya, titik awalnya adalah satu kelompok barang yang salah satunya tertarik
karena percaya bahwa mengukur konstruksi psikologi (inductive reasoning
ability, assertiviness, irritability, ...). Oleh karena itu, barang-barang tersebut
dipertimbangkan sebagai suatu definisi operasional dari satu bangunan psikologis
(psychological construct).

Untuk lebih jelas lagi, Harsono (2001) menyatakan bahwa metode ini
digunakan untuk menentukan peringkat pemukiman atau wilayah dan
kelembagaan atau fasilitas pelayanan, dalam penelitian ini digunakan untuk
menentukan hirarki wilayah. Analisis ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada

68
umumnya semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas
serta jumlah jenis fasilitas pada suatu pusat pelayanan, maka semakin tinggi pula
hirarki dari pusat pelayanan tersebut. Dengan analisis ini maka akan dapat
diidentifikasi: (1) Pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang
berbeda; (2) Penentuan dari fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan
kebutuhan beragam sektor dari penduduk; dan (3) Pengintegrasian atau
pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbeda dan penentuan dari
keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan aksesibilitas dan efisiensi.

Menurut Budiharsono (2001), konsep pusat pelayanan berawal dari teori


yang dikembangkan oleh:

(1) Perroux tentang pusat pertumbuhan dan kutub pertumbuhan dalam ruang
ekonomi;

(2) Boudeville tentang kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan dalam


dimensi geografis;

(3) Walter Christaller dan August Losch tentang ukuran, lokasi, distribusi, dan
pengelompokkan kegiatan ekonomi;

(4) Gunnar Myrdal tentang spread-backwash effects pertumbuhan ekonomi


dalam tata ruang;

(5) Hirschman tentang trickling down dan polarization effects suatu


pertumbuhan ekonomi;

(6) Hagerstestrand den Pottier tentang difusi inovasi dalam tata ruang dan
sumbu-sumbu pertumbuhan; dan

(7) Galpin dan Kolb tentang anatomi sosial dari masyarakat pertanian (Roi dan
Patil 1976).

Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa konsep pusat pelayanan


mempunyai beberapa asumsi, yaitu:

(1) Penduduk didistribusikan pada berbagai ukuran pemukiman;

(2) Penduduk mempunyai kebutuhan biofisik sama baiknya dengan kebutuhan


sosial ekonomi;

69
(3) Penduduk menggunakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia untuk
kebutuhannya;

(4) Penduduk membentuk pemukiman dalam bentuk rumah, dusun kecil, desa,
dan kota serta memutuskan untuk tingkal bersama selama sumberdaya
mencukupi kebutuhan mereka;

(5) Penduduk menggunakan sumberdaya untuk kebutuhan dasar yang dibatasi


atau keinginan yang terbatas;

(6) Penduduk berpindah ke tempat lain (migrasi) untuk mencari barang-barang-


dan jasa yang tidak mereka dapati di pemukiman mereka.

2.4.4 Model sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan

Menurut Grant et al. (1997), definisi sistem adalah:

(1) suatu kumpulan komponen fisik yang terorganisir yang saling


berhubungan dan dicirikan oleh suatu kesatuan fungsi dan terbatas;

(2) suatu kumpulan materi (bahan) yang saling berinteraksi dan sekelompok
proses yang secara bersama-sama membentuk beberapa kumpulan fungsi;

(3) suatu proses yang kompleks dan saling terkait yang dicirikan oleh
banyaknya hubungan sebab akibat dan timbal balik.

Pada intinya, definisi sistem yang dikemukakan oleh Grant et al. (1997)
tersebut adalah sama dengan para pendahulunya seperti yang telah dikutip oleh
Damai (2003) yang mencakup Forrester (1968), Manessch dan Park (1979) dalam
Eriyatno (1999), OConnor dan McDermott (1997), dan juga Sushil (1993).

Sedangkan analisis sistem dapat didefinisikan secara lebih langsung sebagai


penerapan dari metoda ilmiah terhadap pemecahan yang mencakup sistem yang
kompleks (Grant et al. 1997). Hal ini merupakan suatu teori dan teknik untuk
mempelajari, menerangkan, dan pendugaan-pendugaan tentang sistem yang
kompleks, yang sering dicirikan oleh penggunaan prosedur matematika dan
statistika lanjutan serta oleh penggunaan komputer.

70
Model, adalah suatu gambaran miniatur dari suatu realita, yang dibuat
sebagai sarana/alat (tool) untuk memecahkan persoalan (Jorgensen 1988).
Artinya, model merupakan abstraksi dari realitas, yaitu suatu deskripsi formal dari
elemen-elemen penting pada suatu masalah. Ruth dan Hannon (1997)
menambahkan bahwa model merupakan pusat pemahaman kita terhadap alam
dunia, karena melalui model dapat merepresentasikan dan memanipulasi
penomena nyata, kemudian mengeksplorasi hasilnya. Deskripsi tersebut dapat
berupa sesuatu yang bersifat fisik, matematik, atau bahkan kata-kata. Dari
beberapa literatur, Jorgensen (1988) mengelompokan model menjadi:

(1) Model fisik dan model abstrak

Model fisik umumnya merupakan replika fisik berukuran miniatur dari


obyek yang sedang dipelajari, contohnya antara lain maket bangunan. Hal
ini dimaksudkan untuk membantu para peneliti dalam memvisualisasikan
apa yang dipelajari tersebut. Tentu saja model fisik pun masih merupakan
abstraksi dari realitas jika dikaitkan denga definisi awal mengenai sebuah
model. Model abstrak menggunakan simbol-simbol dari alat fisik untuk
menggambarkan sistem yang sedang dipelajari. Salah satu contoh model
abstrak adalah model matematis yang ditulis dalam bahasa matematika.

(2) Model dinamis dan model statis

Model dapat mencerminkan suatu sistem yang tetap ataupun yang berubah
menurut waktu. Sebuah model statis menerangkan suatu hubungan atau
sekelompok hubungan yang tidak berubah menurut waktu. Contoh umum
termasuk model-model regresi yang tidak mempunyai waktu sebagai
sebuah variabel bebas. Sebuah model dinamis menerangkan suatu
hubungan yang bergantung terhadap waktu, contohnya termasuk model-
model simulasi serta model regresi yang memasukan waktu sebagai salah
satu variabel bebasnya.

(3) Model empiris (korelatif) dan model mekanistis (penjelasan).


Model empiris atau korelatif dikembangkan terutama untuk menerangkan
atau meringkas sekelompok hubungan tanpa menghiraukan gambaran

71
yang tepat untuk proses-proses atau mekanisme yang bekerja di dalam
sistem riil pada setiap kelompoknya. Sasarannya adalah pendugaan
(prediksi) dan bukan penjelasan. Contohnya adalah sebuah model yang
menduga tingkat metabolisme suatu jenis hewan sebagai satu-satunya
fungsi dari ukuran (berat atau panjang) tubuh. Dalam model jenis ini
hanya keluaran metabolisme yang diukur, sedangkan proses metabolisme
yang terjadi di dalam tubuh hewan tersebut tidak digambarkan. Model
mekanistis atau model penjelasan dikembangkan terutama untuk
menggambarkan dinamika internal dari suatu sistem yang dipalajari secara
lebih tepat. Sasarannya adalah diperolehnya penjelasan melalui
penggambaran mekanisme sebab akibat yang mendasari perilaku suatu
sistem. Sebuah model yang mencerminkan tingkat metabolisme hewan
sebagai fungsi dari ukuran tubuh, tingkat aktivitas, suhu lingkungan,
angin, dan lamanya terkena oleh kondisi ambien merupakan sebuah
contoh. Suatu model yang kita lihat sebagai penjelasan pada suatu tingkat
detail mungkin kita lihat sebagai korelatif pada tingkat yang lebih detail
lagi. Sebuah model yang menggambarkan rekruitmen populasi tahunan
sebagai fungsi dari ukuran populasi terlihat sebagai model penjelasan
dibandingkan dengan sebuah model yang menggambarkan rekruitmen
tahunan hanya sebagai suatu konstanta yang ditentukan dengan merata-
ratakan data historis. Namun demikian, model tersebut terlihat sebagai
model korelatif dibandingkan dengan suatu model yang menghitung
rekruitmen berdasarkan tingkat kelahiran individu pada umur tertentu di
dalam populasi yang pada gilirannya didasarkan pada ranking sosial
individu dan status gizi selama musim berkembangbiak.

(4) Model deterministik dan model stokastik

Sebuah model disebut deterministik jika tidak mengandung variabel acak.


Pendugaan model deterministik dibawah suatu kondisi khusus selalu persis
sama hasilnya. Contoh model deterministik antara lain adalah suatu model
sederhana yang dikembangkan untuk menggambarkan hubungan antara

72
kebutuhan energi suatu individu (Y, kkal/hari) terhadap suhu ambien (X,
o
C), yang ditulis sebagai berikut:

Y = 100 2X

Sebuah model disebut stokastik jika mengandung satu atau lebih variabel
acak. Pendugaan model stokastik dibawah kondisi tertentu tidak selalu
menghasilkan nilai dugaan yang persis sama, karena variabel acak di
dalam model secara potensial dapat memberikan nilai yang berbeda setiap
kali model dipecahkan. Bentuk umum dari model kebutuhan energi
deterministik adalah sebagai berikut:

Y = a-bX

Dimana a dan b adalah konstanta. Model tersebut dapat diubah menjadi


sebuah model stokastik dengan menggambarkan a atau b sebagai variabel
acak. Andaikata b dinyatakan sebagai variabel acak yang mempunyai nilai
2,0 atau 2,5 dengan probabilitas yang sama, maka setiap dilakukan
penghitungan pendugaan, harus dipilih secara acak suatu nilai untuk b dari
distribusi nilai b yang ditentukan.
Pemilihan model mana yang akan digunakan, apakah model deterministik
atau stokastik tergantung pada tujuan khusus pembuatan model tersebut.
Model deterministik umumnya lebih mudah untuk dibuat karena hanya
memerlukan estimasi dari nilai-nilai konstanta; sedangkan model stokastik
memerlukan persyaratan suatu distribusi lengkap dari variabel acak.
Model deterministik juga lebih mudah digunakan karena pendugaan pada
situasi yang diberikan hanya perlu dibuat sekali (karena selalu sama),
sementara pada pendugaan model stokastik perlu dilakukan pengulangan
secukupnya untuk memperoleh respon rata-rata dari situasi yang diberikan.
Selain itu, model stokastik juga digunakan pada pekerjaan yang
memerlukan penggambaran keragaman secara eksplisit (baik keragaman
yang terkait dengan pendugaan parameter sistem ataupun keragaman yang
melekat pada sistem itu sendiri); serta juga pada pekerjaan yang

73
menginginkan pembandingan secara statistik dari pendugaan model untuk
berbagai situasi yang berbeda.

(5) Model simulasi dan model analitik

Model-model yang dapat diselesaikan secara matematis dalam bentuk


yang tertutup disebut model analitik. Model regresi, model teori baku
(sebaran) statistik, dan beberapa model persamaan diferensial sederhana
adalah merupakan contoh model analitik.. untuk model seperti itu, satu
penyelesaian umum dapat diperoleh yang berlaku untuk semua situasi
dimana model tersebut mewakili. Suatu model analitik sederhana tentang
tingkat pertumbuhan populasi dalam lingkungan yang tidak terbatas
(tingkat pertumbuhan eksponensial) dapat digambarkan sebagai berikut:

Nt = Noert

Dimana:

Nt = ukuran populasi pada waktu t

No = ukuran populasi awal

r = tingkat intrinsik dari penambahan populasi

t = waktu

model-model yang tidak mempunyai penyelesaian analitik umum harus


dipecahkan secara numerik dengan menggunakan satu perhitungan khusus
untuk setiap kondisi tertentu. Inilah yang disebut sebagai model simulasi,
sebagaimana yang digambarkan dalam adalah model-model ekologis.
Sebagai contoh, suatu model yang menggambarkan dinamika populasi
karena pengaruh ketergantungan densitas, hubungan kompetisi, yang pada
gilirannya dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan, dapat
disimpulkan dengan menggunakan rumus umum berikut:

Nt+1 = f (Nt, Et)


Dimana:
Nt+1 = ukuran populasi pada waktu t + 1

74
f (Nt, Et) = fungsi kompleks dari ukuran populasi dan kondisi
lingkungan pada waktu t.

Secara filosofis, pemilihan antara model simulasi dan analitik melibatkan


keputusan apakah kita mengorbankan realitas ekologi untuk memperoleh
suatu model analitik atau mengorbankan kekuatan matematis untuk
memasukkannya kedalam realitas ekologi yang lebih tinggi. Dari sudut
aplikasi praktis, pertimbangan ini kurang menarik dan dipengaruhi
terutama oleh tujuan dari pembuatan model tersebut. Jika tingkat
ketelitian dimana sistem yang dipelajari untuk memenuhi tujuan tertentu
memungkinkan digunakannya suatu model analitik, maka memang
seharusnya digunakan model analitik. Tetapi jika tingkat ketelitian yang
mencukupi terlalu kompleks untuk dapat disajikan dalam bentuk analitik,
maka kita harus menggunakan model simulasi. Dalam hampir semua
kasus manajemen sumberdaya alam dan lingkungan, penggambaran
dengan model analitik tidak akan cukup, oleh karenanya perlu digunakan
suatu model simuasi.

Menurut Eriyatno (1999), model dapat dikategorikan menurut jenis,


dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya. Dengan
menggunakan istilah-istilah yang senada, suatu model dikelompokkannya menjadi
tiga, yaitu:

1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal,
baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik
dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe.
Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi
dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik

2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi


analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang
dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan
situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva
distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses.

75
3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk
angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada
penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah
persamaan matematis. Contoh dari model matematis adalah persamaan
antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu aliran
transportasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi.

Menurut Fauzi (2000), secara umum yang dikatakan model adalah suatu re-
presentasi dari realitas dunia nyata yang tampil melalui persepsi indera,
sebagaimana dicantumkan dalam Gambar 2.14.

tampil melalui persepsi indera (sense)

Dunia luar
Pemikir
(thinker)

Model dari
realitas

Penampilan kembali realitas sebagai hasil dari proses berfikir

Gambar 2.14. Model sebagai re-presentasi realitas dunia nyata (Fauzi 2000).

Secara ringkas, Fauzi (2000) menyatakan bahwa prinsip-prinsip model dan


pemodelan adalah:

(1) Model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dan dunia berfikir
(thinking) untuk memecahkan masalah;

(2) Masalah (problem) ada yang bersifat thinkable dan ada yang
unthinkable;

(3) Pemodelan (modelling) adalah berfikir (thinking) mengikuti sekuen logis;

Berfikir merupakan suatu hal yang harus dipelajari.

Dua katagori model yang paling umum digunakan (Fauzi 2000) yaitu:

76
(1) Bahasa: bahasa adalah suatu model yang terdiri dari urutan (sekuen)
metafor-metafor untuk menyapaikan perasaan, keinginan, dlsb. Kepada
orang lain. Dengan demikian bahasa merupakan suatu sistem penyandian
(encoding) pemikiran-pemikiran.

(2) Agama: agama juga merupakan model untuk pertanyaan-pertanyaan,


misalnya kenapa kita hidup, mengapa kita hidup, dlsb.

Dengan demikian permodelan merupakan proses menyerap,


memformulasikan, memproses, dan menampilkan kembali. Hasil dari proses
berstruktur ini kita sebut sebagai model.

Salah satu tool yang dapat digunakan untuk menggambarkan model adalah
stella. Secara formal, model konseptual digambarkan dengan diagram kotak dan
panah. Diagram model seperti ini sangat penting perannya untuk
memvisualisasikan gambaran sebenarnya serta dengan memfasilitasi komunikasi
antara berbagai orang yang berbeda yang tertarik dengan sistem khusus (Grant et
al. 1997).

2.5 Beberapa Hasil Penelitian yang Terkait dengan Pengelolaan Wilayah


Pesisir, Perikanan, dan Pelabuhan.

Hasil-hasil penelitian yang berupa thesis dan disertasi yang berkaitan


dengan pengelolaan wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan, ternyata belum
begitu banyak. Dalam Tabel 2.3 dicantumkan judul thesis dan disertasi yang
dapat diperoleh sejauh ini.

Tabel 2.3. Daftar thesis/disertasi yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah


pesisir, perikanan, dan pelabuhan di Indonesia
No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI
1 Yose Rizal Anwar Thesis/ PS SPL
Kajian Pengembangan Kegiatan Perikanan 2002 Sekolah
dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Pascasarjana IPB
dan Lautan Secara Terpadu di Kabupaten
Sukabumi-Jawa Barat
2 Siti Kamarijah Thesis/ PS TKL
Analisis Dampak Pengembangan Pelabuhan 2003 Sekolah
Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Pascasarjana IPB
terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
Pesisir.

77
Lanjutan Tabel 2.3

No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI


3 Urip Triyono Thesis/ PS PSL
Pengembangan Koperasi Desa Pantai untuk 2003 Sekolah
Menunjang Pembangunan Wilayah Pesisir Pascasarjana IPB
Secara Berkelanjutan
4 Eggi Sudjana Disertasi/ PS PSL
Analisis Ekonomi Politik dan Hukum 2004 Sekolah
Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Pascasarjana IPB
Batam dalam Rangka Pembangunan
Berkelanjutan
5 Endang Suparti Thesis/ PS SPL
Tingkat Partisipasi Masyarakat Pengolah 2004 Sekolah
dalam Pengelolaan Lingkungan Sentra Pascasarjana IPB
Pengolahan Hasil Perikanan (Kasus di PHPT
Muara Angke).
6 Frans Asisi Simon Thesis/ PS SPL
Analisis Manfaat Pelabuhan Perikanan 2004 Sekolah
Nusantara Tanjungpandan terhadap Pascasarjana IPB
Masyarakat Pesisir Kecamatan
Tanjungpandan
7 Hery Edy Disertasi/ PS SPL
Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat 2004 Sekolah
Pesisir Malalui Perbankan Mikro Pascasarjana IPB
8 Irwan A Thesis/ PS PSL
Strategi Pengelolaan Kualitas Perairan 2004 Sekolah
Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara Pascasarjana IPB
9 Sandra Dina Juliana Lintang Thesis/ PS SPL
Analisis Pemanfaatan Pesisir dalam Rangka 2004 Sekolah
Pengembangan Wilayah Berbasis Pelabuhan Pascasarjana IPB
(Studi Kasus Pengembangan Pelabuhan
Bitung)
10 Asbar Laga thesis/ 2005 PS TKL
Analisis Sistem Pengelolaan Pelabuhan Sekolah
Perikanan (Studi Kasus: Pangkalan Pascasarjana IPB
Pendaratan Ikan Paotere Makassar)
11 Bambang Sasongko Thesis/ Sekolah
Pengembangan Organisasi Pengelolaan 2005 Pascasarjana ITB
Pengembangan Kawasan Bahari Terpadu
(KBT) Kabupaten Rembang
12 Helmi Yusuf Disertasi/ PS PSL
Pengaruh Pembangunan Pelabuhan Perikanan 2005 Sekolah
terhadap Kualitas Air dan Persepsi Kondisi Pascasarjana IPB
Sosial Ekonomi Masyarakat
13 Idil Ardi Disertasi/ PS TKL
Analisis Sistem Pelabuhan Perikanan di 2005 Sekolah
Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Pascasarjana IPB
Barat

78
Lanjutan Tabel 2.3

No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI


14 Rofiko Disertasi/ PS SPL
Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang 2005 Sekolah
Pesisir Teluk Kelabat Kawasan Utara Pulau Pascasarjana IPB
Bangka Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung
15 Soebagio Disertasi/ PS SPL
Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang 2005 Sekolah
Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Pascasarjana IPB
Meningkatkan Pendapatan Masyarakat
Melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan
Pariwisata
16 Hengky Disertasi/ PS PSL
Penerapan Konsep Ekowisata untuk 2006 Sekolah
Meningkatkan Daya Saing Pariwisata Pesisir Pascasarjana IPB
di Kabupaten Pandeglang Banten.
17 Sofyan Disertasi/ PS SPL
Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan untuk 2006 Sekolah
Pengembangan Ekonomi Sumberdaya dan Pascasarjana IPB
Regional Pesisir: Suatu Analisis Model
Hybrid
18 Syarifah Wirdah Thesis/ PS PSL
Analisis Kebijakan Pengelolaan Lingkungan 2006 Sekolah
Pelabuhan Sunda Kelapa DKI Jakarta Pascasarjana IPB
19 Bustami Mahyuddin. Disertasi/ PS TKL
Pola Pengembangan Perikanan dengan 2007 Sekolah
Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Pascasarjana IPB
Perikanan Nusantara Palabuhanratu.
20 Dhona Arianti Thesis/ PS PSL
Strategi Kebijakan Pengelolaan Kualitas Air 2007 Sekolah
di Pelabuhan Muara Angke Jakarta Utara Pascasarjana IPB
21 Farida Hanim Thesis/ PS PSL
Analisis Kebijakan Pemanfaatan Pelabuhan 2007 Sekolah
dalam Kerangka Pengelolaan Lingkungan di Pascasarjana IPB
PPS Nizam Zachman Jakarta Provinsi DKI
Jakarta
No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI
22 Slamet Subari Disertasi/2 PS PWD
Optimalisasi Penggunaan Lahan untuk 007 Sekolah
Pengembangan Ekonomi dan Koservasi Pascasarjana IPB
Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir
Kabupaten Sidoarjo-Jawa Timur.
23 Suaedi Disertasi/2 PS PWD
Rancang Bangun Kebijakan Pembangunan 007 Sekolah
Wilayah Pesisir Berkelanjutan Secara Pascasarjana IPB
Partisipatif di Kabupaten Subang

79
Dari Tabel 2.3 tampak bahwa sebagian besar topik penelitian yang
dilakukan oleh para peneliti terdahulu lebih diarahkan pada analisis pengelolaan
aspek sumberdaya perikanan, lingkungan kawasan pesisir, komunitas di daerah
pesisir, pemerintahan, dan interaksi diantara aspek-aspek tersebut yang dilakukan
di satu kawasan yang secara administratif berada dalam satu pemerintah daerah,
baik satu-satu maupun gabungan dari aspek-aspek tersebut. Sampai saat ini
belum ditemukan analisis yang diarahkan pada pengelolaan sumberdaya yang
berada di bawah pemerintahan daerah yang berbeda, baik di tingkat kabupaten
maupun provinsi.

80
Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan Penelitian ini dimulai sejak pertengahan tahun 2002 sampai


pertengahan semester genap 2005. Data tambahan diambil sampai pertengahan
tahun 2007.

Lokasi penelitian mencakup Kawasan Dadap-Kamal Muara yang


merupakan daerah perbatasan diantara Kecamatan Kosambi Kabupaten
Tangerang dengan Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta
Utara. Selain itu, cakupan penelitian juga diperluas sampai ke TPI Muara Angke
untuk melihat aspek kelimpahan kapal-kapal yang mendarat di TPI ini yang
memungkinkan untuk dialihkan.

3.2 Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian

Kawasan pengembangan yang menjadi sasaran penelitian ini adalah satu


kesatuan ekosistem yang terdiri dari:

(1) Kawasan Teluk Dadap di Kabupaten Tangerang dan Kamal Muara di


Wilayah Kota Jakarta Utara;

(2) Kawasan administrasi Pemerintahan Kecamatan Kosambi di Kabupaten


Tangerang dan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.

(3) Kebijakan-kebijakan dalam bidang perikanan yang dikeluarkan baik oleh


tingkat propinsi maupun Kabupaten yang berkaitan dengan kedua daerah
tersebut.

Secara administratif, Kawasan Teluk Dadap ini tercakup ke dalam


Kecamatan Kosambi di Kabupaten Tangerang dan Kecamatan Penjaringan di
Kota Jakarta Utara, sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

82
3.3 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan penelitian yang digunakan terdiri dari alat tulis dan
kuesioner, serta alat bantu untuk merekam wawancara (tape recorder).
Dokumentasi foto diambil secara langsung dan juga menggunakan sumber dari
referensi. Perangkat keras dan perangkat lunak komputer digunakan untuk
menganalisis datanya. penelitian di Kawasan Dadap-Kamal Muara

3.4 Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survai, untuk
mencari data yang berkaitan dengan data biofisik dan sosial ekonomi, baik yang
ada di lokasi penelitian maupun di instansi dan lembaga-lembaga terkait dengan
permasalahan penelitian.

3.4.1 Pengumpulan data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer yang
berkaitan dengan TPI Dadap dan dalam kurun waktu 1999 sampai 2003. Data
primer diperoleh melalui kegiatan survey penelitian di lapangan, baik berupa hasil
diskusi dengan para pejabat instansi terkait, wawancara dengan stakeholders
pengelolaan wilayah pesisir di kawasan penelitian tersebut, pengisian kuesioner,
maupun pengambilan data biofisik sebagai pelengkap data sekunder.

Metode pengambilan contoh dilakukan secara acak per kelompok


masyarakat yang terkait dengan kegiatan perikanan, yaitu: nelayan tangkap,
nelayan budidaya kerang hijau, pengolah ikan, pedagang alat penangkapan,
pedagang ikan, pedagang eceran bahan bakar, pedagang eceran es, pengelola
PPI/TPI, dan komunitas lokal. Jumlah sampel responden yang diambil
berdasarkan rumus yang dikutip dari Nawawi (2001) berikut ini

(z )
n pq 1 / 2 2
b
dimana:

n = jumlah sampel minimum

p = proporsi populasi persentase kelompok pertama

q = proporsi sisa di dalam populasi (1,00 p)

z1/2 = derajat koefisien konfidensi pada 95 %

b = persentase perkiraan kemungkinan membuat kekeliruan dalam menentukan


ukuran sampel

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, dan laporan kegiatan dari
setiap instansi yang ada di Kabupaten Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara.
Untuk data sekunder, bilamana dimungkinkan akan diambil data seri dari tahun
1992 sampai 2003, yaitu selang sepuluh tahun dimana saat penonaktivan TPI
Dadap berada hampir di tengah-tengahnya. Data primer dan sekunder yang
dikumpulkan terdiri dari :

(1) Kondisi fisik kawasan yang meliputi bentang alam, batimetri, pasang surut,
salinitas dan turbiditas, arus air laut, input air tawar, dan iklim (curah hujan,
temperatur dan angin), perubahan peruntukan ruang, kesesuaian peruntukan
kawasan pesisir, perubahan jumlah dan jenis ikan yang ditangkap atau
didaratkan, perubahan jumlah dan jenis alat tangkap, dan perubahan kualitas
lingkungan;

(2) Kondisi biologi kawasan pesisir yang terdiri dari, jenis dan penyebaran
sumberdaya perikanan dan sejenisnya;

(3) Kondisi ekonomi masyarakat sekitar kawasan yang terdiri dari: pendapatan
keluarga dan mata pencaharian, serta kegiatan ekonomi dan jasa (khususnya
yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan), persepsi masyarakat
terhadap rencana pembangunan pelabuhan perikanan atau pelabuhan
kontainer; nilai transaksi ikan, alat tangkap, bahan dan peralatan pendukung
operasional penangkapan ikan, pendapatan dan mata pencaharian, kondisi
ekonomi masyarakat (antara lain penghasilan keluarga dan penghasilan
pemerintahan desa dan kecamatan); serta perubahan sosial, yaitu mencakup
perubahan jumlah nelayan dan penduduk secara umum, pertumbuhan dan

84
penyebarannya, kondisi permukiman, pendidikan,perubahan kondisi
pendidikan dan kesehatan penduduk, serta perkembangan fasilitas sosial
lainnya seperti jalan, masjid, penerangan umum, dll.

(4) Kebijakan pengelolaan saat ini dan rencana per sektor dari berbagai aspek
yaitu tata ruang dan tata guna lahan, pemerintahan daerah, kehutanan,
perikanan, pariwisata, perhubungan, pertambangan, kehakiman,
perindustrian, pendidikan dan kebudayaan serta sosial.

Keterkaitan diantara jenis-jenis data yang akan dikumpulkan dalam


pelaksanaan penelitian ini diperlukan untuk memperoleh suatu dasar berpijak
yang kuat dalam pengambilan kesimpulan yang sah dari hasil penelitian yang
diperoleh, untuk menjawab hipotesis yang diajukan. Keterkaitan tujuan
pengambilan jenis-jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dilihat
pada bagan alir Tabel 3.1.

3.4.2 Analisis data

Data dan informasi yang telah diperoleh akan dijadikan dasar dalam
melakukan analisis untuk melihat perkembangan peruntukan Kawasan Dadap dan
Kamal Muara sebagai daerah kegiatan perikanan. Data fisik, biologi, dan sosial-
ekonomi dianalisis secara statistik untuk mengetahui potensi-potensi sumberdaya
alam dan kondisi sumberdaya manusia serta kelembagaannya, termasuk peraturan
perundangan yang terkait. Kebijakan pengelolaan saat ini dan rencana per sektor
yang telah ada, dievaluasi untuk mencari formulasi yang terbaik bagi penyusunan
rencana pengelolaan. Penyusunan ini memperhatikan rencana tata ruang wilayah,
yang meliputi daerah alami (natural), daerah pengembangan (development areas),
dan daerah yang terkena dampak pengembangan (impacted areas).

85
Tabel 3.1. Matriks keterkaitan antara tujuan, indikator/parameter, metode analisis, sumber data, dan output

No. TUJUAN INDIKATOR/ ANALISIS SUMBER OUTPUT


PARAMETER DATA
1. Mengkaji kondisi lingkungan, pemanfaatan
dan ketergantungan daerah perikanan dari TPI
Dadap dan TPI Kamal Muara sesuai dengan
perkembangan kegiatan pembangunan daerah
di kawasan tersebut
a) Melihat perubahan komponen biofisik Kondisi biofisik Deskriptif Primer/ Informasi kondisi pengelolaan
lingkungan sekunder sumberdaya alam dan lingkungan

b) Melihat seberapa besar tingkat Perubahan data Ideks Primer Informasi tentang dasar
ketergantungan Kawasan Dadap dan Kamal hasil perikanan ketergantun sekunder pengambilan keputusan perlu
Muara terhadap perikanan dan aspek sosial gan daerah tidaknya dilakukan perubahan
perikanan fungsi pengelolaan TPI Dadap
dan Kamal Muara dimasa depan

2. Menganalisis struktur komposisi pertumbuhan


ekonomi wilayah dan pemusatan aktivitas serta
hierarki aktivitas pelayanan;
a) Melihat komposisi pertumbuhan sektor- PDRB Shift share sekunder Informasi tentang tingkat
sektor ekonomi wilayah pertumbuhan ekonomi wilayah

86
b) Melihat pemusatan aktivitas ekonomi Sektor-sektor LQ sekunder Informasi tingkat keunggulan
wilayah ekonomi (Location sektor ekonomi di suatu kawasan
Quotient)

c) Melihat distribusi dan hierarki pelayanan Fasilitas dan Skalogram Primer/ Informasi pusat pelayan dan
fasilitas-fasilitas sosial, pelayanan sosial sekunder pengembanghan
3. Mengkaji pemanfaatan lahan dan daya
tampung pelabuhan perikanan di kawasan
Dadap-Kamal Muara berkaitan dengan
kapasitas tampung TPI Muara Angke dimasa
yang akan datang
a) Melihat kesesuaian pemanfaatan lahan peruntukan lahan Deskriptif Sekunder Informasi tingkat penyimpangan
dalam RTRW terhadap RTRW

b) Melihat model kelimpahan kapal ikan yang Kapal ikan dan Stella & Primer Model kelimpahan kapal ikan di
dapat dipindahkan dari TPI Dadap dan TPI sarana dan visual basic sekunder Kamal Muara
Muara Angke ke TPI Kamal Muara prasarana
penangkapan ikan
dan pelabuhan
4. Membuat analisis dan skenario pengembangan Perubahan deskriptif Primer/ Skenario pengelolaan PPI/TPI
dan pengelolaan pelabuhan perikanan dalam aktivitas PPI/TPI sekunder Dadap dan PPI/TPI Kamal Muara
konteks pengelolaan pesisir terpadu Dadap dan Kamal
. Muara
5. Membuat kajian opini masyarakat tentang Hasil kuesioner Survey Pro primer Informasi berbagai pendapat dari
kondisi perikanan di kawasan Dadap-Kamal responden 20 penduduk lokal tentang kondisi
Muara lingkungan dan TPI.

87
Metode analisis data yang digunakan akan dikelompokkan menjadi 4
kelompok, yaitu:
(1) Kelompok analisis data biofisik
(2) Kelompok analisis data sosial ekonomi
(3) Kelompok analisis data pemanfaatan ruang
(4) Kelompok analisis data pengembangan wilayah

Kelompok analisis data biofisik bertujuan untuk melihat:

(1) Perubahan pemanfaatan lahan;


(2) Kesesuaian peruntukan kawasan pesisir;
(3) perubahan jumlah dan jenis ikan yang ditangkap atau didaratkan;
(4) perubahan jumlah dan jenis alat tangkap;
(5) perubahan kualitas lingkungan;

Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk data fisik
perubahan bentang alam, data kimia fisik untuk daya dukung lingkungan sesuai
dengan baku mutu yang ada, serta untuk melihat beberapa faktor pembatas
(constraint) pengembangan TPI;

Kelompok analisis data sosial ekonomi dimaksudkan untuk melihat:


(1) perubahan ekonomi, yaitu mencakup perubahan nilai transaksi yang
berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan;
(2) perubahan sosial, yaitu mencakup perubahan jumlah nelayan dan
penduduk secara umum, potensi sosial bagi pengembangan suatu
pelabuhan perikanan (persepsi umum dari komunitas penduduk di
kawasan penelitian).
(3) Perubahan hirarkhi wilayah diantara kedua kawasan tersebut dilihat
selama periode 5 tahun.

Metode analisis yang digunakan adalah analisis hirarkhi wilayah dengan


menggunakan metode skalogram.

Kelompok analisis data pemanfaatan ruang dimaksudkan untuk melihat


bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya lahan di kawasan penelitian dan jenis

88
output yang dihasilkannya; kemudian akan dilanjutkan dengan analisis
konsentrasi dari setiap aspek pemanfaatan tersebut. Metode analisis yang
digunakan adalah:

(1) analisis shift share untuk melihat pergeseran penggunaan ruang;


(2) analisis dekriptif terhadap citra satelit

Kelompok analisis data pengembangan wilayah dimaksudkan untuk


melihat bagaimana pola distribusi pendapatan wilayah, keterkaitan pendapatan
suatu wilayah dengan sumberdaya perikanan yang terdapat di kawasan penelitian,
serta antar sektor ekonomi. Metode analisis yang digunakan adalah:

(1) analisis tipologi (analisis skalogram) untuk melihat distribusi dan hierarki
pelayanan pelabuhan-pelabuhan perikanan di kawasan penelitian
(2) analisis shift share untuk melihat komponen pengembangan wilayah;
(3) analisis location quotient (LQ), digunakan untuk menganalisis pergeseran
pemusatan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di lokasi penelitian
(Kecamatan Penjaringan-Jakarta Utara dan Kecamatan Kosambi-
Kabupaten Tangerang), untuk kurun waktu antara 2000 2002.
(4) stella, digunakan untuk menganalisis model kualitatif kelimpahan jumlah
kapal yang mendarat di TPI Muara Angke dan yang dapat ditampung di
TPI Kamal Muara, selain itu juga untuk melihat skenario jumlah kapal
yang dapat dipindah dari TPI Dadap ke TPI Kamal Muara;
(5) visual basic digunakan untuk membuat model matematik yang
menggambarkan hubungan antara kelengkapan sarana dan prasarana
pelabuhan dengan kondisi sebenarnya.

3.4.3 Model analisis

(1) Analisis skalogram

Menurut Rustiadi et al. (2003), analisis skalogram digunakan untuk


menentukan hirarkhi wilayah. Caranya adalah seluruh fasilitas umum yang
dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel. Tahapan
dalam penyusunan analisis skalogram adalah: 1) menyusun fasilitas sesuai dengan

89
penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah; 2) khusus untuk
fasilitas yang menandakan jarak harus dibuat inversnya; 3) semua nilai fasilitas
dirasiokan terhadap luas di setiap wilayah sehingga diperoleh sebaran fasilitas di
wilayah tersebut; 4) semua nilai haris distandarisasikan dulu sehingga nilai
tersebut memiliki satuan yang sama; 5) menjumlahkan seluruh fasilitas secara
horizontal untuk menentukan indeks perkembangan suatu wilayah; 6) mencari
kapasitas pelayanan fasilitas tersebut terhadap jumlah penduduk yang ada dengan
cara mengalikan indeks perkembangan di setiap wilayah dengan jumlah
penduduk; serta 7) menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal
sehingga diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh unit wilayah,
selain itu ditentukan juga rata-rata unit fasilitas tersebut (average), standar deviasi
(st-dev), total terisi (countif, sehingga fasilitas yang bernilai nol tidak akan
dihitung), bobot (rasio antara total terisi dengan jumlah desa), nilai maksimum
(max) dan nilai minimum (min).

Model untuk menentukan nilai Indeks Perkembangan suatu wilayah/pusat


pelayan:
mn
IP j =
ij
I ' ij

I ij I i min
Dimana: I ' ij =
SD i

IPj : Indeks Perkembangan wilayah ke-j

Iij : Nilai (skor) indeks perkembangan ke-i wilayah ke-j


Iij : Nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkoreksi (terstandarisasi) wilayah
ke-j

Ii min = Nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkecil (minimum)


SDi = standar deviasi indeks perkembangan ke-i
= Untuk menentukan nilai Kapasitas Pelayanan (KPj) adalah
KPj = IPj x Pj
KPj = Kapasitas Pelayanan untuk wilayah ke-j
IPj = Indeks Perkembangan wilayah untuk wilayah ke-j
Pj = Jumlah Penduduk wilayah ke-j

90
i = 1, 2, 3,......, n
j = 1, 2, 3,......, m

(2) Analisis shift share

Prinsip analisis dilakukan dengan dekomposisi indeks pertumbuhan.


Teknik ini dikembangkan dengan mendasarkan adanya 3 komponen
pertumbuhan dinamika yang mempengaruhi laju pertumbuhan suatu
aktivitas. Ketiga komponen tersebut dikenal dengan:

(1) Komponen regional share: mengidentifikasi peran dinamika


keseluruhan wilayah analisis, untuk mengetahui pentingnya
pengaruh dinamika seluruh wilayah penelitian terhadap setiap unit
analisis.

(2) Komponen propotional share: mengidentifikasi aktivitas, sektor atau


jenis penggunaan yang mana yang berpengaruh penting dan seberapa
penting dalam mempengaruhi dinamika setiap kabupaten/kota.

(3) Komponen differential share: mengidentifikasi lebih spesifik lagi


untuk dapat menunjukkan seberapa penting pengaruh dari sektor
tertentu di setiap kabupaten/kota tertentu dalam mempengaruhi laju
pertumbuhan aktivitas.

Model analisis shift share dapat digambarkan sebagai berikut:

Kawasan Dadap dan Kamal Muara adalah dua kawasan yang


berdampingan tetapi berada di dua wilayah administratif yang berbeda.
Pada tatanan lokal dan mikro, besar kemungkinan terdapat suatu kegiatan
ekonomi yang berbasis sumberdaya pesisir, yang saling menguntungkan
kedua unsur setempat (antara lain penduduk, pemerintahan tingkat desa,
dll.). Tetapi pada tingkat yang lebih tinggi (kecamatan atau kabupaten),
situasinya diduga agak berbeda sehubungan dengan terdapatnya beberapa
program pembangunan yang berinduk pada Pemda masing-masing.
Apapun kegiatan pembangunan yang dilakukan di kedua kawasan yang

91
berdampingan tersebut, sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi
kondisi mikro dikedua Desa tersebut.

Model matematis dari analisis shift share tersebut adalah sebagai berikut:

Yij = Pkij + Pwij + Pmij

YTt ij YT0 ij = Yij =Yij (Ra1) +Yij (Ri Ra) +Yij (ri Ri)
Dimana:
m = jumlah wilayah studi = 2
n = jumlah sektor ekonomi
Yij = perubahan dalam output sektor ke-i pada wilayah ke-j;
YToij = output dari sektor ke-i pada wilayah ke-j pada tahun dasar analisis;
YTtij = output dari sektor ke-i pada wilayah ke-j pada tahun akhir analisis;
YToi = YToij = PDRB atau tenaga kerja dari sektor ke-i pada tahun dasar
analisis;
YTti = YTtij = PDRB atau tenaga kerja dari sektor ke-i pada tahun akhir
analisis;
YTo.. = YToij = PDRB atau tenaga kerja pada tahun dasar analisis;
YTt.. = YTtij = PDRB atau tenaga kerja pada tahun akhir analisis;
ri = YTtij/YToij;
Ri = YTti/YToi;
Ra = YTt../YTo..;
(rj 1) = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja pada sektor i
kawasan j;
(Ra 1) = Pkij = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja yang
disebabkan oleh komponen pertumbuhan di Kabupaten
Tangerang/Kota Jakarta Utara;
(Ri Ra) = Pwij = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja yang
disebabkan oleh komponen pertumbuhan di Kawasan Dadap dan
Kamal Muara (proporsional);

92
(ri Ri) = Pmij = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja yang
disebabkan oleh komponen pertumbuhan kompetitif di kabupaten
Tangerang/Kota Jakarta Utara;

(3) Kuosien Lokasi (LQ)

Metode Location Quotient (LQ) atau kuosien lokasi merupakan


perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat
wilayah terhadap pendapatan (tenaga kerja) total wilayah dengan pangsa relatif
pendapatan (tenaga kerja) sektor ke i pada tingkat nasional terhadap pendapatan
(tenaga kerja) nasional (Budiharsono 2001). Hal tersebut secara matematis dapat
dinyatakan sebagai berikut:

ei
et
LQ = m


i
Si
m

i
St

Dimana:
ei = jumlah pendapatan sektor ke-i pada Kabupaten Tangerang/Kota
Jakarta Utara
et = jumlah pendapatan total di Kabupaten Tangerang/Kota Jakarta
Utara
Si = jumlah pendapatan sektor ke-i daerah Kabupaten Tangerang/Kota
Jakarta Utara dari sektor ke-i
St = jumlah pendapatan total Kabupaten Tangerang/Kota Jakarta Utara
dari sektor ke-i (i = 1, 2, 3, ......m)

Koefisien konsentrasi

Si
= ( NS ) (
i
)
i
Ni

Dimana:
= kuosien lokasi/koefisien konsentratsi

93
Si = jumlah PDRB sektor ke-i pada wilayah Kabupaten Tangerang/Kota
Jakarta Utara;
Ni = jumlah PDRB total di wilayah Kabupaten Tangerang/Kota Jakarta
Utara

(4) Analisis ketergantungan daerah perikanan

Menurut Phillipson (2000) dalam Adrianto (2004) kriteria daerah


perikanan ini terdiri dari tiga sistem indikator, yaitu:

(1) Indikator ketergantungan perikanan (fisheries dependence indices)


yang mencakup tiga komponen utama: (a) indikator
ketenagakerjaan (kontribusi tenaga kerja perikanan dalam total
struktur ketenagakerjaan); (b) indikator absolut aktivitas perikanan
(yang terkait langsung dengan menurunnya kinerja sektor
perikanan); dan (c) indikator tingkat signifikasi ekonomi dari
sektor perikanan terhadap ekonomi daerah

(2) Indikator ketergantungan ekonomi (economic dependence indices)


yang meliputi indikator ketenagakerjaan wilayah, indikator
ekonomi wilayah dan industri;

(3) Indikator sosial demografis yang mencakup indikator


kependudukan, kesehatan, pendidikan, dll.

Dalam bentuk rumus matematika, variabel ketergantungan daerah


perikanan oleh Kasimis dan Petrou (2000) indikator-indikatornya
digambarkan sebagai berikut:

(1) Rasio jumlah nelayan dan atau petani ikan terhadap total penduduk
(RNt)

RNt = Pt ti
N

Dimana:
Nti = jumlah pelaku perikanan primer dari sektor ke-i pada
tahun-t untuk wilayah desa;
Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah
kabupaten/kota;

94
n = jumlah sektor dalam perikanan.

(2) Rasio jumlah nelayan dan atau petani ikan terhadap total tenaga
kerja (RMt)

RMt = TKt ti
N

Nti = jumlah pelaku perikanan primer dari sektor ke-i pada


tahun-t untuk wilayah desa;
Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah
kabupaten/kota
n = jumlah sektor dalam perikanan

(3) Rasio jumlah hasil tangkapan ikan (RPIt)

RPIt = PI ti
PI

tj
PIti = jumlah produksi perikanan dari sektor ke-i pada tahun-t
untuk wilayah desa;
PItj = jumlah produksi perikanan dari sektor ke-i pada tahun-t
untuk wilayah kabupaten/kota
n = jumlah sektor dalam perikanan

(4) Rasio jumlah kapal ikan (RKt)

RKt =KIti
JK

ti
JKti = jumlah kapal ikan dari sektor ke-i pada tahun-t untuk
wilayah desa;
KIti = jumlah kapal perikanan dari sektor ke-i pada tahun-t untuk
wilayah kabupaten/kota
n = jumlah sektor dalam perikanan
(5) Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan
(RTKPt)

RTKP t = TK ti
TKP
tm

95
TKPti = jumlah tenaga kerja pengolahan hasil perikanan dari
sektor ke-i pada tahun-t untuk wilayah desa;
TKtm = jumlah total tenaga kerja sektor ke-i pada tahun-t untuk
wilayah kabupaten/kota
n = jumlah sektor dalam perikanan

(6) Rasio kontribusi sektor perikanan wilayah desa terhadap wilayah


kabupaten/kota (KPIti)

KPI =
( PDBP t / PDBT i )
ti n

PDBPt = produk domestik bruto perikanan pada tahun-t untuk


wilayah desa;
PDBt = total produk domestik bruto perikanan pada tahun-t
untuk wilayah kabupaten/kota;
n = jumlah sektor dalam ekonomi
Sementara itu, untuk variabel ketergantungan ekonomi rumus
matematika dari indikator-indikatornya (Kasimis dan Petrou, 2000)
sebagai berikut:

(7) Rasio kesempatan kerja terhadap total jumlah penduduk (RKKt)

RKK t = Pt ti
KK

KKti = jumlah kesempatan kerja dari sektor ke-i dari sektor ke-i
pada tahun-t untuk wilayah desa;
Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah
kabupaten/kota
n = jumlah sektor dalam ekonomi

(8) Rasio kesempatan kerja dalam industri terhadap total jumlah


penduduk (RIti)

RIti = Pt
KKti

KKti = jumlah kesempatan kerja dari sektor ke-i pada tahun-t


untuk wilayah desa;
Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah
kabupaten/kota

96
n = jumlah sektor dalam industri = 3 (sektor primer, sekunder,
dan tersier).

(5) Analisis pendapat responden masyarakat lokal

Survey dilakukan untuk mendapatkan data pendapat masyarakat yang


berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perikanan. Dengan
menggunakan kuesioner sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1,
pendapat masyarakat diambil dari berbagai kelompok mata pencaharian,
yaitu: nelayan penangkap dan budidaya, pengolahan ikan, pedagang ikan,
pedagang bahan bakar, pengelola pelabuhan, dan komunitas lokal. Data
dianalisis dengan menggunakan Survey Pro 20.

(6) Analisis Stella dan visual basic untuk model kelimpahan kapal ikan

Stella adalah salah satu tipe software yang dapat digunakan untuk
membuat model dinamika dari suatu kondisi dilapangan yang
diprediksikan untuk masa yang akan datang. Seluk beluk yang berkaitan
dengan Stella dalam disertasi ini diambil dari Ford (1999) dengan
menggunakan software Stella versi 7.

Untuk membangun model matematik yang dibuat untuk menggambarkan


kelimpaha kapal ikan dengan kelengkapan sarana/prasarana pelabuhan
digunakan rumus Y i = ki X + b

Dimana:
Y = fasilitas sarana/prasarana
X = total bobot kapal
i = 1, 2, 3, ....., n = faktor jenis fasilitas yang berubah
Asumsi yang ditetapkan adalah bahwa setiap perubahan yang terjadi pada
jumlah kapal akan berdampak terhadap perubahan jenis fasilitas secara linier.

97
4 KEADAAN DAERAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum

Kabupaten Tangerang terletak pada posisi 106o20 sampai 106o43 BT


dan diantara 6o00 sampai 6o22 LS. Posisi geografi Kabupaten Tangerang yang
persis berbatasan dengan DKI Jakarta telah menyebabkannya menjadi daerah
penyangga, sebagaimana juga dengan Kota Tangerang, Kota Depok, Kabupaten
Bogor, dan Kabupaten Bekasi. Besarnya pengaruh perkembangan DKI Jakarta
terhadap Tangerang ditunjukkan dengan cukup pesatnya perkembangan ekonomi
Tangerang, baik dicirikan oleh pertumbuhan berbagai jenis investasi maupun
dampak sosialnya (antara lain pertambahan penduduk). Jakarta sebagai suatu
kawasan pusat kegiatan pemerintahan dan bisnis utama di Indonesia tidak mampu
lagi menampung dinamika perkembangan penduduk DKI dan kegiatannya,
termasuk mengakomodasi arus investasi, khususnya sektor industri manufaktur.
Hal ini mengakibatkan tumbuhnya migrasi pekerja industri, baik yang bekerja di
wilayah DKI Jakarta maupun di Tangerang.
Wilayah kabupaten ini secara administratif terbagi menjadi 26 kecamatan
dan 328 desa. Dari 26 kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Tangerang,
hanya 7 kecamatan yang mempunyai wilayah pesisir dan lautan, yaitu terdiri dari
Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, Paku Haji, Sukadiri, Mauk, Kemiri, dan
Kecamatan Kronjo.
Luas wilayah Kabupaten Tangerang adalah 1.110,38 km2. Jika dilihat
dari jumlah penduduk yang ada di kawasan pesisir, maka wilayah pesisir
Kabupaten Tangerang memiliki 541.076 jiwa atau sebesar 16,20 % dari total
penduduk Kabupaten Tangerang, atau sebesar 7, 25 % dari total penduduk
Provinsi Banten. Jumlah penduduk pesisir Tangerang pada tahun 2002 ini
merupakan hasil estimasi berdasarkan prakiraan penduduk Kabupaten Tangerang
pada Laporan Revisi RTRW Kabupaten Tangerang (BAPPEDA 2001). Namun
demikian, hasil pengolahan PKSPL IPB terhadap data kependudukan
(BAPPEDA 2004) menunjukkan bahwa dinamika jumlah penduduk Kabupaten
Tangerang telah meningkat sebanyak 463,51 % dari tahun 1961 (643.647 jiwa)
sampai tahun 2002 (3.185.994 jiwa) (PKSPL IPB 2004)
Tahun 2002, Kecamatan Kosambi berpenduduk 103.701 jiwa, dan nomor
dua penduduk kecamatan pesisir terbanyak setelah Teluk Naga, yaitu sebanyak
109.157 jiwa (BAPPEDA 2004). Jumlah ini meningkat jika dibandingkan
dengan data tahun 1999, yaitu 75.921 jiwa tinggal di Kecamatan Kosambi
(kenaikan 36,59 %), dan 94.140 jiwa tinggal di Kecamatan Teluk Naga (kenaikan
15,95 %). Dengan demikian, kenaikan populasi penduduk di Kecamatan
Kosambi hampir mencapai 2,3 kali lipat dibandingkan dengan populasi penduduk
di Kecamatan Teluk Naga.
Salah satu kawasan yang sangat dinamik di Kecamatan Kosambi adalah
Desa Dadap. Tingginya dinamika yang terjadi di desa ini disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu:
(1) Berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta Utara yaitu dengan Kelurahan
Kamal Muara;
(2) Dekat dengan jalur tol bandara;
(3) Terdapat pangkalan pendaratan ikan (PPI) Dadap;
(4) Muara Kali Perancis merupakan tempat berlabuhnya beberapa kapal
pesiar (yacht);
(5) Terdapatnya areal pergudangan dengan segala aktivitas bongkar
muatnya;
(6) Sumberdaya manusia untuk pekerjaan yang tidak spesifik tersedia
cukup banyak.
Menurut informasi, pemukiman Dadap di lokasi tanah Perum Angkasa
Pura (PAP) dan Pemda ini mulai tumbuh sekitar awal 1976. Para nelayan yang
tergusur dari Muara Karang berpindah ke sini. Mereka mulai memadatkan tanah
dan membangun rumah-rumah sederhana di tepi Kali Perancis, mulai dari tepi
laut sampai ke darat sekitar dua kilometer. Lambat laun, tumbuhlah sebuah
kampung, lengkap dengan masjid, gereja, madrasah, dan kantor KUD. Bahkan,
di kampung ini akhirnya dibentuk RT dan RW. Warga juga membayar Pajak
Bumi Bangunan, meski sejak 1991 berhenti (Republika Online 1996).

99
Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Tangerang
(Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001), di kawasan pantura direncanakan akan
dikembangkan beberapa kawasan wisata, yaitu di Pulau Cangkir (Kecamatan
Kronjo), Tanjung Kait Kecamatan Sukajadi, Tanjung Burung dan Tanjung Pasir
(Kecamatan Teluk Naga), Arukan/Muara (Kecamatan Kosambi), Salembaran Jati
dan Dadap (Kecamatan Kosambi). Kawasan-kawasan wisata tersebut secara
terpadu akan dialokasikan untuk 3 kegiatan utama, yaitu kawasan perumahan,
kawasan wisata, dan kawasan campuran wisata dan perumahan. Objek wisata
andalan di Kecamatan Kosambi adalah Pantai Dadap, dimana aktivitas yang
direncanakan adalah:
(1) wisata keluarga:
1) waterfront, meliputi dermaga nelayan, tempat pelelangan ikan, pasar
ikan, dan pasar sayur
2) daerah komersial, meliputi restoran, penginapan, play ground dan
tempat olah raga terbuka, taman-taman, serta tempat parkir.
(2) Wisata lahan pertanian dan tambak
(3) Pembenahan kegiatan-kegiatan hiburan
(4) Pembukaan gerbang tol Jakarta-Cengkareng ke arah Dadap
(5) Perbaikan jalur jalan
(6) Pengadaan air bersih
(7) Pengadaan jaringan infrastruktur
Disamping rencana-rencana sektor pariwisata tersebut di atas, kebijakan
sektor perhubungan (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001) adalah:
(1) Pembangunan fasilitas pergudangan di Kecamatan Kosambi dan pelabuhan
peti kemas di sekitar muara Kali Perancis;
(2) Membangun dermaga wisata bahari di kawasan wisata Tanjung Pasir.
Sektor perikanan dan kelautan juga mempunyai beberapa rencana di
kawasan pantura tersebut, yakni:
(1) Relokasi kawasan pertambakan dari Kecamatan Kosambi, Teluk Naga,
dan Paku Haji, ke Kecamatan Mauk dan Kronjo;
(2) Membangun TPI dan pelabuhan nelayan di muara Kali Perancis.

100
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai tahun 2004, hanya
sedikit fasilitas pelabuhan dan TPI yang secara permanen dibangun di muara Kali
Perancis. Artinya, TPI Dadap sebenarnya sudah tidak berfungsi lagi, baik
sebagai tempat pelelangan ikan maupun tempat pendaratan ikan. Kadang-kadang
ada para nelayan atau pedagang ikan yang berjualan di TPI Dadap tersebut, yang
menawarkan dagangannya kepada para pengunjung restoran seafood yang
terdapat di sekitar TPI tersebut.

Perkembangan kegiatan pembangunan di Desa Dadap yang semakin


pesat telah mendorong dilakukannya pembangunan fasilitas pemukiman bagi
penduduk. Terdapat dua komplek perumahan yang sudah dibangun, yaitu Villa
Taman Bandara dan Christer Griya Lestari. Sampai saat ini, kedua komplek
perumahan tersebut belum sepenuhnya berpenghuni, meskipun sudah lebih dari
lima tahun dibangun.

Salah satu tanda sedang berkembangnya kegiatan ekonomi di Dadap


ditunjukkan oleh pesatnya pembangunan komplek pergudangan. Terdapat 3
perusahaan pengelola pergudangan, yaitu PT Parung Harapan, PT Mutiara
Kosambi, dan PT Marina Dadap, dimana total jumlah gudang sekitar 400 unit.
Komplek pergudangangan ini dibangun di atas areal persawahan, yang tingkat
produktivitasnya satu tahun sekali panen. Berkembangnya areal pergudangan
menyebabkan tingginya frekwensi kendaraan berat yang melalui Wilayah Dadap,
akibat kondisi kualitas jalan yang tidak sesuai dengan beban yang diterimanya,
maka terjadi kerusakan jalan yang cukup parah.

4.2 Kondisi Lingkungan

Kawasan Teluk Dadap terletak di sebelah utara Kabupaten Tangerang


bagian timur, yang mencakup wilayah Desa Dadap. Desa Dadap ini mempunyai
luas wilayah 401,473 ha yang terdiri dari 5 dusun, 7 RW dan 28 RT. Luas
wilayah dan jumlah desa yang termasuk Kecamatan Kosambi dicantumkan dalam
Tabel 4.1.

101
Tabel 4.1. Luas dan jumlah desa di Kecamatan Kosambi tahun 2003.

No. Nama Desa Luas Wilayah (km2)


1999* 2002**
1 Rawa Rengas 1,206 1,26
2 Rawa Burung 1,309 1,25
3 Belimbing 2,531 4,06
4 Jati Mulya 1,720 1,93
5 Dadap 4,015 4,86
6 Kosambi Timur 2,882 2,97
7 Kosambi Barat 2,866 2,97
8 Cengklong 1,888 1,88
9 Selembaran Jati 4,300 3,18
10 Selembaran Jaya 6,963 6,49
Jumlah 29,678 30,85
Sumber : *) = Dinas Tata Ruang dan Bangunan (2001)
**)= Laporan Tahunan Kecamatan Kosambi Bulan Desember 2003.

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa data luas desa relatif tidak seragam
antara tahun 1999 dan 2002. Tidak konsistennya data luasan desa ini
kemungkinan disebabkan oleh tidak akuratnya pengukuran lahan yang dilakukan
dan karena terjadinya erosi dan atau reklamasi pantai.

Wilayah Desa Dadap berbatasan dengan:


(1) Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa
(2) Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan Kelurahan Kamal Muara
Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara
(3) Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kosambi Timur Kabupaten
Tangerang dan Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta
Utara
(4) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Jatimulya, Desa Kosambi Barat
dan Desa Kosambi Timur Kabupaten Tangerang.

Sebagai wilayah yang cukup dekat dengan Teluk Naga, yang merupakan
pusat pertumbuhan di bagian utara Kabupaten Tangerang sebagaimana

102
ditentukan dalam rencana struktur tata ruang (Rustiadi et al. 2002), wilayah
Teluk Dadap mempunyai potensi pengembangan yang cukup besar, baik dilihat
dari letak strategisnya di pesisir utara yang berbatasan langsung dengan Wilayah
Kota Jakarta Utara, maupun ketersediaan prasarana dan sarana pembangunan
yang sudah tersedia. Prasarana dan sarana transportasi sangat memadai untuk
mencapai jalan tol arah Jakarta Bandara Sukarno Hatta. Dengan demikian aspek
dukungan terhadap pengembangan ekonomi wilayah sangatlah besar.

Kawasan Kamal Muara terletak berbatasan dengan Desa Dadap yang ada
di sebelah baratnya. Kelurahan Kamal Muara yang mempunyai luas wilayah
sebesar 1.053 ha meliputi 3 Rukun Warga dan 19 Rukun Tetangga. Bentang
alam kawasan Kamal Muara ini relatif sama dengan kawasan Dadap, karena
menghadap ke Teluk Jakarta dan mempunyai kondisi perairan yang sama.

Wilayah Kamal Muara berbatasan dengan:


(1) Sebelah utara dengan Teluk Jakarta;
(2) Sebelah timur dengan Kelurahan Kapuk Muara, Kali Cengkareng Drain;
(3) Sebelah Selatan dengan Jalan Kapuk Kamal yang mengarah ke timur
berbatasan dengan Kelurahan Kamal, Tegal Alur, Cengkareng Timur, dan
Kelurahan Kapuk Kota Jakarta Barat;
(4) Sebelah Barat dengan Desa Dadap Kecamatan Kosambi Kabupaten
Tangerang.

Menurut penduduk, pemukiman di kawasan Kamal Muara sendiri sudah


ada sejak tahun 1953, saat kawasan ini masih hutan. Penduduk awalnya bertani
sawah, baru kemudian menjadi nelayan.

Kekompakan masyarakat di Kamal Muara terbilang tinggi, khususnya


aspek sosial kemasyarakatan. Contoh yang paling terlihat dewasa ini, kepedulian
warga Kamal Muara dalam bergotong royong, diantaranya kalau ada yang
meninggal tanpa disuruh langsung memberikan bantuan, mulai dari memandikan
jenazah sampai dikuburkan termasuk dengan melakukan tahlilan. Partisipasi
warga dalam menjaga keamanan sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan

103
terpilihnya Kamal Muara sebagai juara pertama lomba siskamling tingkat Polda
Metro Jaya pada tahun 2005.

Sebagai wilayah paling barat dari DKI Jakarta, Kamal Muara ikut
mengalami dampak pembangunan yang cukup besar. Reklamasi pantai Indah
Kapuk yang sudah keluar acuannya lewat Keppres 52/95 dan sedang berjalan
juga berpengaruh pada masyarakat sekitarnya, khususnya nelayan yang tinggal di
sana. Informasi yang dikumpulkan oleh IMC (2006) menunjukkan bahwa
nelayan tidak sepenuhnya dilibatkan oleh PT Kapuk Naga Indah (KNI).
Meskipun sosialisasi program reklamasi telah dilakukan, tetapi masyarakat
menilai waktu pemberitahuannya sangat singkat. Informasi yang diterima
nelayan menyebutkan bahwa akan dilakukan reklamasi pantai di areal tempat
usaha nelayan. Istilah KNI adalah akan menggusur bagan-bagan ikan, bagan
tempat budi-daya kerang hijau, dan sero-sero yang menjadi mata pencaharian
masyarakat. Implementasi dari sosialisasi tersebut dilakukan oleh Sudintantrib
Jakut yang melakukan pembongkaran 105 unit sarana usaha nelayan tersebut
dengan ganti rugi sebesar 1,5 juta rupiah per unit dan hanya dibayarkan kepada
95 orang nelayan. Alasan yang disodorkan oleh Sudintantrib adalah melanggar
Perda no 11 dan no 6.

Tidak adanya transparansi dalam perencanaan propgram pasca reklamasi


tersebut menyebabkan terjadinya kegelisahan masyarakat sekitar Kamal Muara,
khususnya para nelayan yang terancam kehilangan mata pencahariannya.
Padahal jumlah nelayan di RW IV ini mencapai 90 %, sisanya juga tergantung
pada aktivitas perikanan (jumlah penduduk Kelurahan Kamal Muara sebanyak
1.821 kepala keluarga yang terbagi kedalam 4 RW) (Anonimous 2007). Dampak
ikutan dari kegiatan reklamasi ini tentu saja akan dialami oleh keluarga nelayan,
produksi ikan turun, pendapatan daerah turun, konsumen mengalami kesulitan
untuk mendapatkan ikan, dll.

Masalah penting yang dihadapi oleh penduduk di Kamal Muara adalah


kesulitan air bersih (Anonimous 2006). Di kelurahan nelayan yang kini dihuni
oleh sekurangnya 6000 jiwa, secara turun temurun air bersih diperoleh dari tiga

104
sumber pokok; layanan perusahaan daerah air minum (PDAM), sumur bor yang
diusahakan penduduk lokal, dan air sungai. Dari segi kualitas, air dari ketiga
sumber ini tidak layak diminum dan hanya dimanfaatkan untuk aktivitas mandi,
cuci, dan kakus (MCK). Apalagi sejak tahun 1980-an, air Sungai Kamal pun tak
lagi layak untuk dipakai untuk MCK, karena limbah kegiatan industri yang
berdekatan dengan pemukiman penduduk memperburuk kualitas air yang
sebelumnya telah tercemar sampah rumah tangga. Kondisi ini mengharuskan
setiap keluarga untuk membeli air kalengan untuk air minum, setiap hari minimal
sepikul air yang terdiri dari dua kaleng seharga Rp 3.000 atau minimal Rp 90.000
setiap bulannya. Saat ini, lebih dari separuh jumlah penduduk Kamal Muara
menggantungkan pasokan air bersih dari penjaja air pikulan untuk memenuhi
kebutuhan air minum. Sisanya, berlangganan layanan air dari PDAM dari
Perusahaan Air Minum (PAM) yang kualitas airnya kerap tak layak konsumsi.
Untuk kebutuhan MCK, pilihan sumber air bersih bisa ditambah sumur-sumur
bor yang diusahakan oleh warga setempat.

Menurut analisis UPC (2005), Kamal Muara yang merupakan tempat


pindahan dari penduduk yang terkena gusuran untuk jalan tol ke bandara
Soekarno Hatta yang terjadi tahun 1996, direncanakan masuk ke Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu. Sesuai dengan master plan-nya, Kamal Muara
akan dijadikan sebagai pusat Pemerintahan Administratif Kepulauan Seribu,
artinya kampung ini cepat atau lambat pasti akan tergusur.

Di kawasan Kamal Muara terdapat Hutan Wisata Kamal Muara, dengan


perkiraan luas sekitar 99,82 hektar (Distanhut 2007). Kawasan mangrove ini
terletak di sebelah timur TPI Kamal Muara, yang berada di kawasan pesisir
Kecamatan Penjaringan. Luasan areal hutan mangrove diperkirakan 19,2 ha yang
membentuk greenbelt selebar 4 m sepanjang 4 km. Tinggi tegakan sekitar 4 m.
Di sebelah timur Kamal Muara terletak Pelabuhan Perikanan dan
Pangkalan Pendaratan Ikan (PP/PPI) Muara Angke. Secara administratif
kawasan ini termasuk Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan, dimana juga
terdapat TPI Kamal Muara.. Total luas kawasan Muara Angke mencapai 65 ha,
yang terdistribusi menjadi: perumahan nelayan (21,26 ha); tambak uji coba

105
budidaya air payau (9,12 ha); bangunan Pangkalan Pendaratan Ikan serta fasilitas
penunjangnya (5 ha), yang terdiri dari tempat pelelangan ikan, gedung pasar
grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios, gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh
para pengusaha perikanan, kios pujaseri, tempat pengepakan ikan, , dll; areal
docking kapal (1,35 ha), lahan kosong (6,7 ha), pasar, bank, dan bioskop (1 ha),
serta terminal (2,57 ha) dan lapangan sepak bola (1 ha) (Disnakkanlut 2006).
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa secara fungsional PP/PPI
Muara Angke yang berstatus sebagai pangkalan ikan daerah telah memiliki
fasilitas setara dengan pelabuhan perikanan nusantara. Hal ini tidak hanya
ditinjau dari fasilitas yang tersedia tetapi juga dari jumlah produksi hasil
perikanan dan kelautan yang didaratkan dan dipasarkan.

4.2.1 Penduduk dan Mata Pencaharian

Pada tahun 1994 penduduk Desa Dadap berjumlah 6.287 jiwa dan terdiri
dari 3.174 laki-laki dan 3.113 perempuan. Adapun jumlah rumah tangganya
adalah 1.174 rumah tangga. Tahun 1999, jumlah penduduk ini meningkat drastis
sampai 14.442 jiwa, yang merupakan jumlah penduduk desa tertinggi di
Kecamatan Kosambi jika dibandingkan dengan desa-desa yang lain (Dinas Tata
Ruang dan Bangunan 2001). Tahun 2003, jumlah penduduk Desa Dadap
bertambah menjadi 19.870 jiwa, dengan komposisi 9.798 laki-laki dan 10.072
perempuan serta 5.411 rumah tangga (Anonimous 2004).

Dengan luas desa sebesar 401,473 ha dan jumlah penduduk 6.287 jiwa,
tahun 1994 Desa Dadap tergolong mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang
cukup tinggi, yaitu 1.568 jiwa/km2, tahun 1999 kepadatannya mencapai 3.597
jiwa/km2, sedangkan tahun 2003 sebesar 1.857 jiwa/km2. Perubahan tingkat
kepadatan penduduk ini disebabkan oleh adanya beberapa kompleks pemukiman
baru dan berkembangnya kompleks pergudangan. Adapun keadaan jumlah
penduduk laki-laki dan perempuannya berimbang dengan nilai seks ratio 1,02
tahun 1994 dan menjadi 0,97 tahun 2003.

106
Jumlah penduduk di Kelurahan Kamal Muara tahun 2003 adalah 5.980
jiwa (April 2007, jumlah penduduk sudah mencapai 6.794 jiwa, dengan
komposisi 3.560 laki-laki dan 3.234 perempuan), dengan kepadatan penduduk
568 jiwa/km2. Jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk rata-rata di
Kecamatan Penjaringan yang mencapai 7.974 jiwa/km2, maka Kelurahan Kamal
Muara merupakan kelurahan dengan kepadatan penduduk terendah. Kelurahan
yang kepadatannya tertinggi adalah Kelurahan Pajagalan dan Kelurahan
Penjaringan, dengan kepadatan penduduk masing-masing mencapai 17.505
jiwa/km2 dan 14.121 jiwa/km2.

Jumlah KK yang tercatat di Kamal Muara berdasarkan Penjaringan Dalam


Angka (2003) juga terendah, hanya 1.574 KK (April 2007 jumlah KK tercatat
sebanyak 1.821) dari 49.915 KK yang berdomisili di Kecamatan Penjaringan.
Jumlah KK yang terbanyak berada di Kelurahan Pluit (14,898 KK), Kelurahan
Pejagalan (14.807 KK) dan Kelurahan Penjaringan (14.321 KK).

Nilai sex rasio penduduk Kecamatan Penjaringan pada umumnya


seimbang, dengan kisaran antara 93 110, dengan rata-rata sex rasio sebesar 102.
Di tingkat Kelurahan Kamal Muara, nilai seks rasio mencapai 107, artinya
terdapat 107 wanita untuk setiap 100 orang pria. Data selengkapnya mengenai
luas wilayah, jumlah pendudukan, jumlah kepala keluarga, kepadatan penduduk
dan sex rasio dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di


Kecamatan Penjaringan tahun 2003

Luas Kepadatan
No. Kelurahan Jumlah KK Rasio Sex
(km2) Penduduk
1. Kamal Muara 10,53 5.980 1.574 568 107
2. Kapuk Muara 10,06 14.518 4.315 1.444 108
3. Pejagalan 3,23 56.574 14.807 17.505 103
4. Pluit 7,71 43.597 14.898 5.653 110
5. Penjaringan 3,95 55.839 14.321 14.121 93
Kec. Penjaringan 35,49 176.508 49.915 7.974 102
Sumber: BPS Jakut (2004a); data diolah.

107
Dari Tabel 4.2 tampak bahwa meskipun luas Kelurahan Kamal Muara
paling besar jika dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lainnya di
Kecamatan Penjaringan, tetapi jumlah dan kepadatan penduduknya adalah yang
paling kecil. Hal ini terjadi karena masih banyaknya lahan-lahan yang kosong
terdapat di kelurahan ini, baik berupa tambak maupun lahan pertanian.

Kondisi kependudukan untuk setiap kelurahan di Kecamatan Penjaringan


tahun 2003 dicantumkan dalam Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Jumlah penduduk, kepala keluarga, rukun warga (RW) dan rukun
tetangga di Penjaringan 2003

Jumlah
No. Kelurahan KK RW RT
Penduduk
1. Kamal Muara 5.980 1.574 3 21
2. Kapuk Muara 14.518 4.315 7 66
3. Pejagalan 56.574 14.807 18 226
4. Pluit 43.597 14.898 18 221
5. Penjaringan 55.839 14.321 17 237
Kec. Penjaringan 176.508 49.915 63 771

Berdasarkan jenis kegiatan (mata pencaharian) yang ditekuni oleh


penduduk di Kamal Muara dan Kecamatan Penjaringan, sebanyak 44,54 %
kepala keluarga (701 KK) menekuni kegiatan pertanian, 12,96 % (204 KK)
menekuni industri, dan 10,48 % (165 KK) menekuni kegiatan perdagangan.
Sisanya menekuni kegiatan usaha bangunan, transportasi dan komunikasi, jasa,
serta usaha lainnya. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Usaha yang ditekuni penduduk Kamal Muara tersebut berbeda dengan


usaha yang ditekuni pada umumnya di Kecamatan Penjaringan, dimana sebagian
besar kepala keluarga di kecamatan ini menekuni bidang industri, yakni sebanyak
36,35 % (18.142 KK), perdagangan sebanyak 14,83 % (7.400 KK) dan bangunan
sebesar 13,71 % (6.842 KK). Penduduk yang menekuni usaha pertanian di
Kecamatan Penjaringan hanya sebagian kecil saja, yakni 1,81 % (902 KK).

108
Tabel 4.4 Jumlah kepala keluarga menurut jenis kegiatan di Kecamatan
Penjaringan tahun 2003

Kamal Kec.
No. Jenis Kegiatan % %
Muara (KK) Penjaringan
1. Pertanian 701 44,54 902 1,81
2. Industri 204 12,96 18.142 36,35
3. Bangunan 95 6,04 6.842 13,71
4. Perdagangan 165 10,48 7.400 14,83
5. Transportasi dan 4.980
Komunikasi 87 5,53 9,98
6. Keuangan dan
Perbankan 0 - 1.422 2,85
7. Pemerintahan 52 3,30 2.886 5,78
8. Jasa 83 5,27 2.400 4,81
9. Lainnya 187 11,88 4.941 9,90
Jumlah 1.574 49.915
Sumber: BPS Jakut (2004a) data diolah.

Dengan demikian, sebagian besar penduduk yang menekuni bidang


pertanian (dalam hal ini perikanan) terkonsentrasi pada wilayah Kamal Muara,
yang jika dipersentasekan mencapai 77,72 %. Data jumlah kepala keluarga dan
jenis kegiatan matapencaharian penduduk di Kecamatan Penjaringan dapat dilihat
pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Jumlah Kepala Keluarga Menurut Jenis Kegiatan di Penjaringan


tahun 2003

Kelurahan/Kecamatan
No. Jenis Kegiatan
Kamal Kapuk Peja Penja- Kec. Penja
Pluit
Muara Muara galan ringan ringan
1. Pertanian 701 201 0 0 0 902
2. Industri 204 2.145 6.294 3.338 6.161 18.142
3. Bangunan 95 681 984 2.988 2.094 6.842
4. Perdagangan 165 854 1.959 2.216 2.206 7.400
5. Trans-Kom 87 149 2.253 1.757 734 4.980
6. Keuangan/Perbankan 0 7 394 792 229 1.422
7. Pemerintahan 52 53 1.773 314 694 2.886
8. Jasa 83 162 417 187 1.551 2.400
9. Lainnya 187 63 733 3.306 652 4.941
Jumlah 1.574 4.315 14.807 14.898 14.321 49.915
Sumber: BPS Jakut (2004a)

109
4.2.2 Lingkungan perairan

Kondisi perairan di Pantai Dadap dan Kamal Muara ini dipastikan sama
persis karena mempunyai posisi lintang yang berdekatan dan terletak pada satu
garis pantai yang relatif lurus terhadap Laut Jawa, serta mengalami pengaruh
pasang surut dan gelombang yang sama. Kawasan pesisir Kecamatan Kosambi
(sebagaimana juga kawasan pantura lainnya) mempunyai dasar perairan
berlumpur dan berpasir. Material dasar perairan tersusun dari lumpur, lempung,
lanau dan pasir (PKSPL 2004). Kedalaman laut di pesisir Kecamatan Kosambi
menurut hasil survey Dishidros tahun 1999 sekitar 4 m sampai jarak sekitar 1.750
m, bertambah menjadi 5 m sampai jarak sekitar 2.250 m, kemudian 6 m sampai
jarak sekitar 3.000 m, 7 m sampai jarak sekitar 3.500 m, serta mencapai
kedalaman 10 m sampai jarak sekitar 4.000 m (diolah dari BAPPEDA Tangerang
2002).

Posisi Pantai Dadap dan Kamal Muara yang terletak pada koordinat
sekitar 6o 15 BT, terbuka lebar ke arah timur laut menghadap Teluk Jakarta.
Karena kawasan Pantai Dadap dan Kamal Muara terdapat di Teluk Jakarta yang
berhadapan dengan Laut Jawa, maka dilihat dari keadaan batimetrinya, perairan
di sekitar kawasan tersebut dapat dikatakan dangkal dan landai. Kedalaman
perairan ini mulai dari 0,5 m sampai 10 m hingga jarak sekitar 1,8 km dari darat.
Dari kondisi seperti ini, komponen-komponen oseanografi seperti suhu, salinitas,
kerapatan, maupun arus di lapisan permukaan laut diduga tidak jauh berbeda
dengan yang di lapisan bawahnya (kecuali di daerah muara sungai). Pengukuran
komponen oseanografi dilapangan yang dilakukan bulan Februari 1995 dan
Oktober 2004 oleh PKSPL IPB (2004) mendukung dugaan tersebut.

(1) Pasang surut

Proses gerakan massa air suatu perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan
geografis dari wilayah perairannya. Dengan memperhatikan keadaan
geografis kawasan Muara Dadap, kita dapat menduga bahwa pola arus di
perairan ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Pola pasut di perairan

110
ini ditentukan oleh pola pasut dari perairan yang lebih besar yaitu Laut
Jawa. Pasut dari Laut Jawa itu sendiri pun bukan disebabkan oleh gaya
pembangkit pasang astronomis (bulan dan matahari) melainkan oleh
rambatan pasut dari Lautan Pasifik yang memasuki Laut Jawa melalui
Laut Cina Selatan dan Selat Makasar (Pariwono 1985).

Kondisi perairan setempat, seperti perubahan batimetri atau morfologi


pantai akan mengubah tipe pasut yang ada ke tipe lainnya. Tipe pasut
suatu perairan ditentukan oleh jumlah air pasang dan air surut yang terjadi
per hari. Jika perairan tersebut mengalami satu kali pasang dan satu kali
surut per hari, maka daerah tersebut bertipe pasang tunggal. Sedangkan
jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari, maka
pasutnya bertipe pasut ganda. Tipe pasut lainnya merupakan peralihan
antara tipe tunggal dan tipe ganda, yang disebut tipe pasut campuran.

Dengan asumsi bahwa kondisi pasut di Muara Dadap dan Kamal Muara
mirip dengan kondisi pasut di Tanjung Priok, maka perubahan yang
terjadi di Tanjung Priok akan dialami pula oleh daerah Muara Dadap.
Hasil pengukuran menunjukan bahwa kisaran pasut di Tanjung Priok
adalah sekitar 1,0 m pada waktu pasang purnama, dan sekitar 0,3 m pada
waktu pasang perbani. Pasang purnama adalah pasang tertinggi (dan
surut terandah) yang dialami oleh suatu perairan, terjadi pada bulan
purnama atau bulan mati. Kebalikan pasang purnama adalah pasang
perbani, dimana kisaran pasutnya paling rendah, yang terjadi pada waktu
bulan sabit (perempat pertama dan perempat ke tiga). Pada kondisi
pasang purnama dan pasang perbani pada saat matahari berada dibelahan
bumi utara (bulan Juni), dan dibelahan bumi selatan (bulan Desember).
Membandingkan kedua pasut pada kedua bulan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kisaran pasut terbesar di Tanjung Priok terjadi pada
saat kedudukan matahari berada dibelahan bumi selatan, yaitu antara
bulan Oktober hingga Februari. Keadaan ini baik berlaku pada waktu
pasang purnama maupun ketika pasang perbani. Pengaruh utama yang

111
ditimbulkannya pada kecepatan arus di Perairan Teluk Jakarta. Arus
pasut di perairan ini akan relatif lebih deras ketika matahari berada pada
belahan bumi selatan dibanding ketika berada dibelahan bumi utara.

Dari data pasut tersebut dapat diprakirakan kisaran perubahan tinggi muka
laut (sea level) dari perairan di kawasan Dadap. Besarnya perubahan
tinggi muka laut di perairan yang dimaksud disajikan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Kisaran tinggi muka laut di Pantai Dadap berdasarkan data
pasut Tanjung Priok.

No. Kisaran Muka Laut Notasi Tinggi


(cm)
1. Tinggi muka laut pada air pasang HHWL 116
tertinggi
2. Tinggi muka laut pada air pasang MHWL 108
teratas
3. Tinggi muka laut teratas HMSL 60
4. Tinggi muka laut pada air surut teratas MLWL 12
5. Tinggi muka laut pada air surut LLWL 4
terendah
Sumber: Dishidros (1995) dalam PPLH (1997).

Hasil prakiraan sebagaimana tertera pada Tabel 4.6 hanya didasarkan atas
5 komponen pasut, yaitu M2, S2, K1, O1, dan P1, yang terdapat pada
DISHIDROS-AL (1995). Dari Tabel 4.6 tersebut dapat diketahui kisaran
tinggi muka laut maksimum yang disebabkan oleh pasut mencapai 1,12
m, dan kisaran pasut reratanya mencapai 0,96 m.

Pergerakan massa air secara mendatar (arus) di suatu perairan terbentuk


karena beberapa faktor, seperti oleh seretan angin, pasang surut, dan
perbedaan densitas air laut. Di wilayah perairan Banten, termasuk juga
Teluk Dadap dan Kamal Muara, arus laut utamanya terjadi karena
pengaruh angin Muson dan pasang surut. Mengingat wilayah utara
Banten berada dalam sumbu utama angin Muson, arus musim yang
terbentuk mengalir kearah timur selama periode musim Barat (Desember-

112
Februari). Sebaliknya, dalam periode musim Timur (Juni-Agustus) arus
musim mengalir secara dominan kearah barat. Kecepatan arus Musim
berkisar antara 20 sampai 40 cm/detik (PKSPL IPB 2004). Pasang surut
yang terjadi ini berasal dari Samudera Hindia yang merambat masuk
melalui perairan Selat Sunda. Sehingga secara umum arus yang
ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak kearah utara dalam
kondisi pasang, dan sebaliknya kearah selatan dalam kondisi surut.
Pengaruh kedalaman perairan lokal dan morfologi pantai dapat
memodifikasi arus tersebut.

(2) Sedimentasi

Sedimentasi adalah proses pengendapan partikel sedimen. Proses


pengendapan partikel tersebut ditentukan oleh ukuran partikel dan
kecepatan aliran dari fluida yang mengangkutnya. Jika kecepatan fluida
tersebut lebih kecil dari nilai ambang tertentu, yang dikenal sebagai
kecepatan pengendapan (settling velocity), maka partikel sedimen tersebut
akan mengendap ke dasar fluida. Keadaan sebaliknya akan terjadi bila
kecepatan fluida lebih besar dari nilai ambang tersebut. Sedimen yang
dimaksudkan disini adalah partikel-partikel padat yang diendapkan di
dasar media fluida. Umumnya media fluida yang dimaksud adalah air.

Untuk perairan Pantai Dadap dan Kamal Muara, sedimen dapat berasal
dari berbagai sumber, yaitu dari Kali Perancis (secara umum disebut juga
Sungai/Kali Dadap) dan Kali Kamal yang membawa partikel-partikel
sedimen dari hulu sungai, dari daratan yang terbawa oleh limpasan air
masuk ke dalam sungai, dan dari perairan pantai disekitar Dadap dan
Kamal Muara. Karena letak kawasan Dadap dan Kamal Muara berada di
pantai dan dekat muara sungai, maka sumber sedimen diduga berasal dari
laut dan dari sungai, yang mengalirkan hasil erosi di daratan.

Berbeda dengan kawasan Dadap, kawasan Kamal Muara dialiri sebuah


sungai, yaitu Kali Kamal, yang mempunyai kawasan DAS lebih luas

113
dengan fluktuasi muka air yang beragam. Artinya, tinggi rendahnya
muka air Kali Kamal ditentukan oleh curah hujan yang terjadi di kawasan
DAS-nya. Jika Kali Perancis hanya merupakan tempat mengalirnya air
hujan yang tertampung oleh kawasan Bandara Sukarno-Hatta, maka
kawasan DAS Kali Kamal jauh lebih luas lagi, sehingga konsentrasi
sedimen yang terbawa sepanjang musim hujan menjadi lebih besar.
Namun demikian, data besarnya tingkat sedimentasi yang terjadi di
kawasan Kamal Muara ini belum ada.

(3) Kualitas perairan

Sebagaimana dua wilayah yang berdekatan, maka kondisi kualitas


perairan Teluk Dadap dan Kamal Muara adalah relatif sama. Hasil
penelitian PKSPL (2004) menunjukkan bahwa nilai-nilai parameter
kualitas air dari sampel yang diambil di perairan Pantai Kronjo dan
Tanjung Pasir menunjukkan bahwa untuk parameter fisika, kadar total
padatan terlarut (total suspended solid = TSS) sebesar 5 dan 10 mg/l,
masih jauh dari kadar baku mutu maksimum yang ditetapkan menurut
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep.02/
MENKLH/I/1988, sebesar 80 mg/l. Dari data TSS dan tingkat kekeruhan
di kedua lokasi tersebut (2,5 di Kronjo dan 7,6 NTU di Tanjung Pasir)
menunjukkan bahwa di Tanjung Pasir terdapat aktivitas yang lebih tinggi
yang mengakibatkan terjadinya kekeruhan perairan, seperti penambangan
pasir, sedimen yang terbawa aliran sungai, dan tingkat abrasi. Data
parameter kualitas air lainnya dapat dilihat dalam Tabel 4.7.

Kadar nitrogen anorganik terlarut (dissolved inorganic nitrogen = DIN)


dan ortofosfat dalam perairan menunjukkan tingkat yang cukup tinggi. Di
Kronjo dan Tanjung Pasir, nilai DIN-nya (yang ditunjukkan oleh kadar amonia)
sama sebesar 1,336 mg/l sementara nilai ortofosfatnya 0,003 mg/l di Kronjo dan
0,005 mg/l di Tanjung Pasir. Sementara itu parameter senyawa logam terdeteksi
masih dibawah baku mutu air, yaitu untuk raksa < 0,001 mg/l; timah hitam 0,008

114
dan 0,013 mg/l; kadmium 0,006 dan 0,005 mg/l; tembaga 0,044 dan 0,035; serta
krom total < 0,01 dan 0,001 mg/l (PKSPL IPB 2004).

Tabel 4.7. Nilai parameter kualitas air di perairan Kronjo dan Tanjung
Pasir.
NO PARAMETER SATUAN Lokasi sampling Maksimum
Kronjo T. Pasir BM **)
I.F I S I K A :
o
1 Suhu *) C 29 29 -
2 Kecerahan *) meter 2,5 1,2
3 Kekeruhan NTU 2,5 7,6 -
4 TSS mg/l 5 11 < 80

II.K I M I A :
O
1 Salinitas *) /oo 31,5 31,5 < 0,03
2 pH *) - 7,0 7,0
3 Oksigen Terlarut *) mg/l 11,5 14,5
4 COD mg/l 48,90 65,20 < 80
5 BOD5 mg/l 9,1 13,5
6 Amonia (NH3+NH4) mg/l 1,336 1,336 <1
7 Nitrit (NO2 - N) mg/l 0,002 0,002 Nihil
8 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,050 0,078 -
9 Minyak dan Lemak mg/l <0,01 <0,01 0,20
10 Ortho Phosphat mg/l 0,003 0,005 -
11 Raksa (Hg) mg/l <0,001 <0,001 0,002
12 Timah hitam (Pb) mg/l 0,008 0,013 -
13 Kadmium (Cd) mg/l 0,006 0,005 -
14 Tembaga (Cu) mg/l 0,044 0,035 < 1,0
15 Krom Total (Cr) mg/l <0,01 <0,001 -
16 Sulfida (H2S) mg/l <0,01 <0,01 -
17 Fenol mg/l 0,006 0,005 -

BIOLOGI :
1 Klorofil-a g/l 7,178 13,950 -

Sumber: PKSPL IPB (2004)


Catatan: BM = Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya Perikanan menurut Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep.02/MENKLH/I/1988.

Parameter COD (chemical oxigen demand) dan BOD (biological oxigen


demand) adalah suatu angka yang menunjukkan seberapa besar kadar
oksigen yang dibutuhkan untuk melakukan perombakan bahan organik
secara kimiawi dan biologis yang sulit terurai di perairan. Hasil
penelitian PKSPL IPB menunjukkan data yang tertinggi terdapat di

115
Tanjung Pasir (COD= 65,20 mg/l dan BOD5 > 13,5 mg/l), sedangkan di
Kronjo (COD= 48,90 mg/l dan BOD5 > 9,1 mg/l).

Biomasa fitoplankton merupakan indikator tingkat kesuburan suatu


perairan. Semakin tinggi biomasa fitoplankton mengindikasikan bahwa
perairan tersebut mempunyai kadar nutrien yang tinggi (tingkat
kesuburannya tinggi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomasa
fitoplanton di perairan sekitar Kronjo mencapai 7,178 g/l dan di Tanjung
Pasir 13,95 g/l. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa
distribusi nilai klorofil-a ini terkait erat dengan komposisi jenis dan
kelimpahan sel fitoplankton. Dari hasil perbandingan tersebut, nampak
bahwa terdapat korelasi yang erat antara kelimpahan dan klorofil-a, yaitu
lokasi yang memiliki nilai kelimpahan yang tinggi juga memiliki nilai
biomasa yang tinggi pula. Kelompok utama pendukung populasi
fitoplankton di lokasi tersebut adalah dari kelompok diatom yaitu dari
genus Leptocylindrus, Stephanopyxis dan Chaetoceros (PKSPL IPB
2004).
Damar (2003) menyatakan bahwa kondisi perairan di Pantura tergolong
subur mengingat banyaknya sungai yang bermuara di sana dan membawa
bahan organik; kondisi ini menyebabkan terjadinya blooming (peledakan)
populasi fitoplankton. Akibat dari pencemaran bahan organik ini akan
menimbulkan eutrofikasi perairan. Beberapa dampak yang dapat terjadi
antara lain blooming algae dan perubahan bau perairan. Jika dilihat dari
warna perairan yang hampir hitam dan baunya yang cukup menyengat,
maka kondisi perairan di kawasan Dadap dan Kamal Muara sudah dapat
dipastikan dalam kondisi tercemar bahan organik. Akibat langsung dari
tingginya tingkat pencemaran ini secara otomatis akan dirasakan oleh
biota perairan yang hidup dalam ekosistem tersebut.

Salah satu penyebab bertambahnya tingkat pencemaran perairan kawasan


Dadap-Kamal Muara adalah dari proses reklamasi lahan di sekitar Dadap.
Sebagai akibat dilakukannya reklamasi untuk pengembangan Pantai
Wisata Mutiara, ada indikasi terjadinya peningkatan pencemaran limbah

116
B3 (bahan berat berbahaya dan beracun) dalam dua tahun terakhir ini.
Harian Sinar Harapan (Kamis 24 Juni 2004) memuat berita bahwa hal ini
dikonfirmasikan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kabupaten
Tangerang, Deden Sugandhi disela-sela acara mutasi sejumlah pejabat di
lingkungan Pemerintah kabupaten (Pemkab) Tangerang, indikasi
pencemaran limbah B3 di Pantai Dadap tersebut diakibatkan oleh adanya
pengurukan pantai yang dilakukan PT Parung Harapan dan Koperasi Pasir
Putih sebagai pengembang proyek reklamasi pantai Dadap. Hasil
penelitian Setyobudiandi (2004) menunjukkan bahwa kondisi perairan
Teluk Jakarta sudah tercemar logam berat, baik di perairan maupun yang
terkandung pada kerang hijau, sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Kandungan logam berat di perairan Teluk Jakarta dan daging
kerang hijau antara tahun 2000-2001

No JENIS KADAR RATA-RATA DI


LOGAM
PERAIRAN KERANG BAKU
(mg/l) HIJAU (ppm) MUTU
1. Cd 0,0165 (+ 0,0057) 0,71-1,39 2 ppm1)
2. Cu 0,0052 (+ 0,005) - 30 ppm1)
3. Zn 0,0316 (+ 0,049) 7,23-10,74
4. Pb - 4,617-8,511 2 ppm2)
5. Hg 0,0288 (+0,0273) - 0,5 ppm3)
Sumber: Setyobudiandi (2004)
Catatan:
1)
= dikutip Setyobudiandi (2004) dari the Australian Health & Medical
Research Council)
2)
= dikutip Setyobudiandi (2004) dari WHO
3)
= dikutip Setyobudiandi (2004) dari FAO

Dari hasil penelitian tersebut Setyobudiandi (2004) menyarankan bahwa


jumlah konsumsi kerang hijau per hari harus dibatasi berdasarkan
ukurannya, yaitu yang panjangnya 5 cm sebanyak 40 ekor, 7 cm sebanyak
9 ekor, 8 cm sebanyak 4 ekor, dan yang berukuran 9 cm hanya 2 ekor per
hari. Hal ini menunjukkan terjadinya akumulasi logam berat sesuai
dengan semakin besarnya ukuran atau semakin tuanya umur kerang
tersebut.

117
Berdasarkan hasil uji laboratrium dinas Lingkungan Hidup (LH) di
perairan tersebut pada bulan Mei 2004 lalu yang menyebutkan ada empat
zat berbahaya yang mengotori Pantai Dadap. Keempat zat tersebut adalah
amonia bebas (NH3-N), kadmium (Cd), nitrat (NO3-N) dan timbal (Pb).
Dari hasil uji laboratrium nomor 045/lab-DLH/V/2004 tersebut parameter
kualitas air dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Nilai parameter kualitas air di perairan Dadap hasil uji Kantor
MenLH tahun 2004.
NO PARAMETER SATUAN KADAR Maksimum
Minimal maksimal BM **)
Amonia
1 (NH3+NH4) mg/l 1,8 3,5 < 0,3
2 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,4 1,2 0,008
0,023
3 Timah hitam (Pb) mg/l 0,005 0,093* 0,008
0,010
4 Kadmium (Cd) mg/l 0,004 0,054* 0,001

Sumber: Sinar Harapan (2004a)


*) hasil analisis laboratorium (Damar 2004)
Catatan: BM = Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya Perikanan menurut Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. Kep.51/MENLH/I/2004.

Berdasarkan data hasil analisis kualitas perairan tersebut sebagaimana


tercantum dalam Tabel 4.7 dan Tabel 4.9 maka tingkat pencemaran yang
terjadi di Pantai Dadap relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan
perairan disekitar Kronjo dan Tanjung Pasir. Khusus untuk kadar timbal
dan kadmium, hasil analisis laboratorium PKSPL IPB menunjukkan nilai
yang lebih tinggi lagi pada saat terjadinya kematian ikan bulan Mei 2004
yang lalu (Damar 2004). Kadar amonia yang terkandung di perairan juga
sudah jauh diatas nilai baku mutu yang diperbolehkan, sehingga dalam
kondisi ini amonia sudah merupakan racun bagi mahluk hidup di sana.

4.3 Kondisi Pemanfaatan Lahan

Sebagai kawasan yang terletak di perbatasan antara Pemkot Jakarta Utara


dan Kabupaten Tangerang, dinamika perencanaan pembangunan di kawasan ini

118
sangat tinggi. Hal ini dapat diamati dari berbagai berita di media massa, mulai
dari aktivitas perencanaan pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya,
Pelabuhan Peti Kemas atau Kapal Barang, dan kawasan Wisata Mutiara Dadap.
Dinamika perencanaan yang tinggi ini sangat dipengaruhi oleh munculnya Orde
Otonomi Daerah yang telah terjadi dan melahirkan konsep desentralisasi sistem
pemerintahan.
Berdasarkan perjanjian kerjasama antara BPP Teknologi dan Perum
Angkasa Pura II yang tertuang dalam surat No SWT 07/HK.90/APH-1993 dan
No. 345/DB- PKA/BPPT/XII/93, BBP Teknologi telah menyewa sebidang tanah
seluas 6,5 hektar di pantai Muara Dadap, Desa Dadap, Kecamatan Kosambi
Kabupaten Tangerang. Tanah tersebut diperuntukkan sebagai Dermaga Sandar
Kapal Riset BPPT Baruna Jaya, yang awalnya berupa tanah kosong dan tidak
berpenduduk. Menurut berita Media Indonesia, sejak tahun anggaran 1994/95,
BPPT sudah mengaspal dan mengembangkan site plan dan pemagaran di lokasi
tanah kosong tadi. Atas dasar itu, BPPT meminta agar pihak yang
berkepentingan di kawasan itu mengetahui bahwa pembangunan dermaga sandar
Armada Kapal Riset BPPT Baruna Jaya akan dilaksanakan pada tanah kosong
yang sudah dipagar sejak 1994 (IN/EKON: MI - N-250 Kejar Sertifikasi,
apakabar@clark.net, Rabu 29 Mei 1996 - 17:15:00).

Tahun 1996, BPPT menjadi Panitia Indonesia Air Show (IAS) yang
sempat menimbulkan issu akan menggusur tanah rakyat di Desa Gili-Dadap,
Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari 800 KK nelayan
(Republika Online 1996). Issu ini ternyata tidak benar karena pelaksanaan
pergelaran dirgantara IAS 96 itu terletak di lokasi pelabuhan udara Soekarno-
Hatta pada kuadran II (sebelah terminal II-internasional).

Konflik pemanfaatan ruang di kawasan Dadap terus berlanjut dengan


dilakukannya reklamasi (pengurukan) kawasan pesisir dimana awalnya
Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya akan dibangun. Menurut juru bicara
pengembang (Tubagus Dudy Chumaidi) yang dikutip media massa menyebutkan
bahwa kawasan Dadap dipilih karena wilayah itu berpotensi untuk dikembangkan
sebagai kawasan wisata terpadu (Suara Pembaharuan Daily 2004).

119
Dari berbagai berita di media massa dapat disimak bahwa proses
reklamasi yang sedang dilakukan ternyata menuai berbagai protes dari beberapa
kelompok masyarakat dan LSM {antara lain Banten Environmental Watch
(BEW), dan (PIELS)}, yang akhirnya direspon oleh anggota DPR dan DPRD
setempat. Polemik terus berlanjut dan menyangkut Pemda DKI Jakarta yang
tampaknya juga mempunyai kepentingan dengan kegiatan pembangunan. Salah
satu berita yang dimuat berbunyi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang
tidak akan pernah dapat melakukan penutupan lokasi reklamasi Pantai Dadap,
Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, yang kini dilakukan. Pasalnya, lembaga ini
diduga telah menerima retribusi pengurukan pantai yang jumlahnya mencapai
ratusan juta rupiah. Menurut sumber di Tangerang, dugaaan telah dibayarkan
retribusi pengurukan pantai oleh para pengembang reklamasi Pantai Dadap
tersebut tertuang jelas dengan adanya Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi dengan
nomor 655.2/330-DTRB/IX/2001 tertanggal 26 September 2001 yang
ditandatangani oleh Bupati Tangerang yang kala itu masih dijabat oleh Agus
Djunara. Dengan keluarnya fatwa Bupati tersebut secara otomatis si pengembang
berani untuk melakukan reklamasi Pantai Dadap karena sudah ada lampu hijau.
Apalagi pada saat yang bersamaan Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga
mengeluarkan surat penetapan retribusi fatwa rencana pengarahan lokasi
bernomor 974/330-DTRB/IX/2001 yang ditandatangani Kepala Dinas Tata
Ruang dan Bangunan, Nanang Komara yang kini menjabat Sekretaris Daerah
Kabupaten Tangerang (Sinar Harapan 2004b).
Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan
Pemda Tangerang Didin Samsudin menyatakan, kawasan pantai yang akan
direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR). Dalam perubahan tata ruang tersebut pemerintah berencana
menjadikan pesisir pantai utara sebagai kawasan wisata terpadu (SUARA
PEMBARUAN DAILY 2004b). Perubahan RUTR tersebut tertuang dalam
Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, yang
merupakan implementasi Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang
Perubahan Tata Ruang Nasional. Berdasarkan peraturan itu, sekitar 20 km dari

120
50 km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi
hingga pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas
pantai yang akan direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu sepanjang 10
km garis pantai dari laut dan satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektare.

Kemelut pemanfaatan lahan yang terjadi di Desa Dadap tidak seluruhnya


dimengerti oleh penduduk desa, yang terkena dampak hanyalah sebagian kecil
penduduk yang memang tinggal disekitar kawasan pengembangan. Menurut
informasi berbagai harian ibukota, warga Desa Dadap, Kosambi, Kabupaten
Tangerang, belum mengatahui ada proyek pengurukan laut besar-besaran di
Pantai Mutiara Dadap. Mereka bahkan tak peduli aktivitas reklamasi kawasan
untuk wisata bertaraf internasional tersebut. Menurut warga, proyek reklamasi
silakan saja, asal warga disediakan infrastruktur seperti tempat pelelangan ikan,
pengurukan Kali Perancis, serta perbaikan jalan. "Kami tak peduli. Yang penting
bagi kami para nelayan bisa tetap melaut (Tempo Interaktif 2005b).

Berbagai kepentingan ternyata banyak yang bermain dalam masalah


proyek tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Desa Dadap Dames Taufik
yang mengklaim bahwa tidak ada masalah dengan warganya terhadap reklamasi
pantai itu. Menurut Dames, informasi kerusakan lingkungan dan penolakan
warga yang berkembang selama ini dikendalikan orang luar Dadap (SUARA
PEMBARUAN DAILY 2004a)..

Kasus pemanfaatan lahan yang juga mencuat di kawasan Dadap-Kamal


Muara adalah untuk pembangunan kawasan pergudangan. Mantan para pemilik
tanah merasa bahwa dulu mereka terbujuk menjual lahannya kepada para investor
untuk dibuat gudang, dengan harapan bahwa kelak ia dan anak-anaknya dapat
ikut bekerja di kawasan pergudangan itu. Namun demikian kenyataannya
pemilik gudang lebih memilih tenaga kerja dari luar Dadap yang dinilai lebih
mempunyai kompetensi daripada tenaga kerja setempat (Tempo interaktif 2005c).
Saat ini, ratusan gudang kini sudah berdiri memenuhi 40 % lahan di desa seluas
401 hektar itu. Sisa lahan masih akan terus berkurang karena sampai saat ini
pembangunan gudang baru masih terus berlangsung.

121
Dalam rangka mewujudkan pembangunan Kota Air Kamal Muara, Pemda
DKI melakukan reklamasi pantai di daerah Kamal Muara. Aktivitas reklamasi
yang telah dilakukan pengembang di wilayah DKI Jakarta akan menciptakan
sebuah daerah baru seluas 2.700 hektar. Secara legal, Keputusan Presiden No 52
Tahun 1995 menetapkan, kawasan Pantai Utara Jakarta itu akan direklamasi.
Reklamasi meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai
utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut, sampai garis yang menghubungkan
titik-titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter. Itu artinya,
garis pantai akan maju sekitar 1,5 kilometer ke utara. (Kompas Online 1997).

4.4 Kondisi Perikanan

Kondisi perikanan di kawasan Dadap Kamal Muara secara geografis


relatif sama, yaitu berada di pesisir dengan kondisi perairan pantai yang sama.
Meskipun demikian, secara fisik kondisi pelabuhan perikanannya cukup berbeda
jauh dan terbagi secara jelas diantara yang ada di wilayah Pemkot Jakarta Utara
dengan yang ada di Kabupaten Tangerang.

4.4.1 Keragaan perikanan Kota Jakarta Utara


Sebagai bagian dari program pengembangan perikanan di kawasan
Jakarta Utara, pemerintah setempat telah membangun berbagai prasara dan sarana
pendaratan ikan. Seluruh aktivitas kapal perikanan yang ada di wilayah Jakarta
Utara dilayani oleh beberapa pelabuhan perikanan yang tersebar disepanjang
pantai utara, mulai dari TPI Kamal Muara di sebelah barat sampai ke TPI
Cilincing di sebelah timur. Kapasitas setiap pelabuhan tidak sama, tergantung
pada program pemerintah daerah tentang lokasi pusat kegiatan perikanan yang
akan dikembangkan. Sesuai dengan kapasitas yang direncanakan, maka fasilitas
yang dimiliki setiap pelabuhan juga disesuaikan; meskipun pada kenyataan ada
beberapa pelabuhan yang selalu tidak dapat mengejar kecukupan fasilitasnya jika
dibandingkan dengan beban yang harus ditanggungnya. Klasifikasi semua TPI di
Wilayah Kota Jakarta Utara dicantumkan dalam Tabel 4.10.

122
Tabel 4.10 Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Wilayah Kota Jakarta Utara

No. TEMPAT KOORDINATOR KAPASITAS FASILITAS LOKASI


PENDARATAN IKAN ADMINISTRATIF TAMBAT LABUH
(TPI) DAN OPERASIONAL

(1) (2) (3) (4) (5) (6)


1. Muara Baru UPT Pengelolaan Darmaga Barat: 40 Penataan Gelombang Barat 760 m2, timur Kelurahan
Kawasan Pelabuhan s/d 80 kapal ukuran 290 m2 Penjaringan
Perikanan dan > 30 GT Kolam pelabuhan seluas 10 ha Kecamatan
Pangkalan Pendaratan Darmaga Timur: 80 Kawasan Industri dan Perkantoran Penjaringan
Ikan kapal (ukuran: > 80 Dermaga lebar 6 m panjang 475 m dan
GT) kedalaman 4,5 m

2. Muara Angke UPT Pengelolaan 500 kapal dengan Tempat Pelelangan dan Kantor: 1.420 m2 Kelurahan
Kawasan Pelabuhan ukuran 10 s/d 80 GT Kolam pelabuhan: 63.993 m2 Pluit
Perikanan dan Dermaga beton 176 m2 Kecamatan
Pangkalan Pendaratan Tanggul pemecah gelombang: 2.250 m2 Penjaringan
Ikan Tempat pengepakan ikan: 33 unit
Tempat pengecer Ikan:341 m2
Kios/gudang/kantor: 40 unit
Gudang alat-alat perikanan: 5 unit
Pos penjagaan: 1 unit
Kios ikan bakar: 24 unit
Gedung workshop: 1 unit
Waserda TA: 1 unit

123
Lanjutan Tabel 4.10
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
3. Kamal Muara Walikota Jakarta Utara 10 s/d 15 motor Kantor pelelangan ikan:75 m2 Kelurahan
tempel (ukuran: Gedung pelelangan ikan (TPI): 200 m2 Kamal Muara
dibawah 10 GT) (jumlah lapak 40 unit diisi oleh 40 Kecamatan
pedagang) Penjaringan
Gedung pengecer ikan: 75 m2
Dermaga kayu sepanjang 50 m2
Kolam pelabuhan: 30 m2

4. Kali Baru Walikota Jakarta Utara 10 s/d 15 motor Luas lahan: 2.084 m2 Kelurahan
tempel (ukuran: Kantor: 40 m2 Kali Baru
dibawah 10 GT) Gedung Pelelangan: 200 m2 (jumlah Kecamatan
lapak 82 unit diisi oleh 31 pedagang) Cilincing
Tempat Penjualan Ikan: 1.400 m2
Dermaga: 35 m2

5. Cilincing Walikota Jakarta Utara 10 s/d 15 motor Luas lahan: 1.100 m2 Kelurahan
tempel (ukuran: Gedung Pelelangan+kantor: 500 m2 Cilincing
dibawah 10 GT) Dermaga: 200 m2 Kecamatan
Cilincing
Sumber: SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 4.022/1999
Keterangan: penyelenggara Pelelangan Ikan di:
TPI Muara Baru : Koperasi Mina Baruna dan Koperasi Muara Makmur
TPI Muara Angke : Koperasi Mina Jaya
TPI Kamal Muara : Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara
TPI Kali Baru : Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara
TPI Cilincing : Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara

124
Dari Tabel 4.10 tampak bahwa terdapat tiga TPI di Kecamatan
Penjaringan (masing-masing satu TPI di Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan
Pluit, dan Kelurahan Penjaringan) dan dua lainnya di Kecamatan Cilincing. Jika
diukur lewat laut, jarak antara TPI Kamal Muara dengan TPI Muara Angke
sekitar 6 km (lewat darat jaraknya dua kali lipat sekitar 12 km), TPI Muara
Angke ke TPI Muara Baru sekitar 3,6 km, TPI Muara Baru ke TPI Kali Baru
sekitar 13 km, dan TPI Kali Baru ke TPI Cilincing sekitar 2,4 km
Jarak antara TPI Dadap dengan TPI Kamal Muara sekitar 700 m jika
ditempuh lewat laut dan sekitar 4 km jika ditempuh lewat darat. Jarak yang
begitu dekat jika dilihat dari laut telah menyebabkan kurang efisiennya
penggunaan TPI tersebut dan terjadinya pemborosan fasilitas (prasarana dan
sarana pelabuhan)..
Pada saat ini, meskipun telah dilakukan klasifikasi kapasitas tambat labuh
dari setiap TPI yang ada di kawasan Jakarta Utara, tetapi tetap saja telah terjadi
antrian yang cukup signifikan. Di PPSJ Muara Baru, pada saat musim ikan,
antrian bongkar muat palka ikan dapat mencapai 10 jam, sedangkan di PPI Muara
Angke lama waktu antrian mencapai 7 jam. Kasus terjadinya antrian ini antara
lain disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
(1) jumlah kapal ikan yang berlabuh melebihi kapasitas tambat, sehingga
beberapa kapal harus menunggu di luar kolam pelabuhan;
(2) proses bongkar hasil tangkapan yang memerlukan waktu lebih lama untuk
kapal ikan yang membawa hasil tangkapan lebih banyak (tidak ada
keseragaman);
(3) proses muat perbekalan juga memerlukan waktu yang berbeda-beda
sesuai dengan ukuran kapal dan lama waktu penangkapan ikan di laut;
(4) kecepatan proses lelang sangat tergantung pada kelancaran proses
bongkar muat, keberadaan para pembeli, dan kondisi pasar ikan
(konsumen).

Besarnya minat pemilik kapal ikan atau nakhodanya untuk mendaratkan


hasil tangkapannya di TPI Muara Angke dan Muara Baru antara lain disebabkan
oleh fasilitas bongkar muat dan harga jual ikan yang diperolehnya. Sehingga

125
kapal yang berlabuh tidak hanya yang ber-KTP Jakarta tetapi juga dari daerah-
daerah lainnya. Kebijakan menerima kapal dari luar daerah ini secara ekonomi
memang dapat menambah nilai retribusi dan meningkatkan volume aktivitas
ekonomi di sekitar TPI tersebut, tetapi jika berlebihan akan juga menjadi tidak
efisien karena waktu (dan otomatis kesempatan untuk berusaha) menjadi hilang.

Limpahan antrian kapal ikan yang berlabuh di TPI Muara Angke dan TPI
Muara Baru tersebut tidak secara otomatis dapat ditampung oleh TPI-TPI
disebelahnya (baik di barat maupun di timurnya). Hal ini disebabkan oleh
fasilitas yang tersedia belum memadai. Dengan demikian, untuk menyelesaikan
masalah tersebut antara lain adalah:

(1) membangun dan atau melengkapi fasilitas bongkar muat untuk kapal ikan
dan sarana transportasi darat yang terlibat dalam sistem TPI tersebut;
(2) membangun dan atau meningkatkan kapasitas dan kualitas prasarana dari
TPI ke lokasi pasar, baik untuk pemasaran ikan maupun untuk pembelian
perbekalan lainnya;
(3) melakukan pengelolaan terpadu diantara penaggungjawab operasional
TPI-TPI tersebut sehingga setiap akan timbul masalah di setiap TPI
tersebut dapat langsung diantisipasi sebelumnya;
(4) menerapkan penegakkan hukum secara tegas, adil, dan transparan.

Kebutuhan ikan konsumsi di Provinsi DKI Jakarta dengan asumsi jumlah


penduduk sekitar 9,5 juta jiwa, dan besarnya tingkat konsumsi sebanyak 22,3
kg/kapita/tahun adalah sebesar 580 ton per hari (Disnakkanlut 2005). Jumlah
kebutuhan tersebut dipenuhi oleh ikan lokal dan dari luar daerah, dengan proporsi
masing-masing dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11. Distribusi ikan konsumsi di DKI Jakarta tahun 2005.


No. ASAL IKAN JUMLAH PERSENTASE
1 Ikan laut segar lokal 188,26 ton 32,46 %
2 Ikan laut segar luar daerah 159,74 ton 27,54 %
3 Ikan tawar 116 ton 20 %
4 Ikan asin/olahan 58 ton 10 %
5 Ikan kaleng 58 ton 10 %
Sumber: data diolah dari Disnakkanlut (2005)

126
Asal ikan laut segar yang didatangkan ke Jakarta berasal dari daerah
perikanan (fishing ground) di sekitarnya. Menurut Disnakkanlut (2005), daerah
perikanan tersebut adalah perairan-perairan Bangka Belitung, Sumatera, Selat
Karimata, Laut Jawa, Kalimantan Barat, Kepulauan Natuna, Teluk Jakarta dan
Karawang, serta Karimun Jawa.

Data jumlah kapal ikan di Kota Jakarta Utara dari tahun 1992 sampai
2001 dicantumkan dalam Tabel 4.12.

Tabel 4.12. Data jumlah kapal ikan di Kota Jakarta Utara tahun 1992-2003
Jenis/tahun 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02*) 03*)
Perahu layar 230 230 354 350 219 195 309 1210 852 450 142 111
- Kecil 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
- Sedang 174 167 231 221 90 90 143 560 394 208
- Besar 56 63 123 129 129 105 166 650 458 242

Motor
998 879 989 1.640 1.650 1.215 659 1.325 791 791 526 567
Tempel

Kapal Motor 1.338 1.542 1.686 1.730 1.745 2.121 2.108 1.639 2.095 2.724 2.123 2.246
-0-5 GT 263 238 278 278 277 833 839 246 466 523 85 97
- 5-10 GT 210 226 223 203 203 375 366 413 585 602 510 538
- 10-20 GT 181 122 284 317 315 189 182 400 544 544 501 538
- 20-30 GT 125 231 124 131 139 201 170 292 253 363 344 376
- >50 GT 490 655 707 731 741 453 477 249 214 647 683 697
Total kapal 2.566 2.651 3.029 3.720 3.614 3.531 3.076 4.174 3.738 3.965 5.357 2.924
Sumber: Disnakkanlut (2002) dan *) Disnakkanlut (2004)

Dari Tabel 4.12 tampak bahwa perubahan jumlah kapal tampak nyata dari
tahun 1998-1999, terjadi kenaikan mencolok untuk jenis perahu layar (hampir
400 %) sedangkan untuk kapal dengan motor tempel mencapai 200 %. Untuk
jenis kapal motor, kondisi sebaliknya terjadi dimana pada periode yang sama
telah terjadi penurunan jumlah dari 2.108 menjadi 2.639 unit. Kemungkinan
perubahan ini dipicu oleh terjadinya perubahan nilai mata uang rupiah terhadap
nilai US$ yang menyebabkan terjadinya gejolak ekonomi dan sosial.

127
Sumberdaya ikan yang dihasilkan oleh Kota Jakarta Utara tidak hanya
berasal dari kegiatan penangkapan ikan di laut, tetapi juga berasal dari aktivitas
budidaya (baik budidaya ikan maupun jenis kerang-kerangan). Data potensi
budidaya perikanan darat dan potensi budidaya kerang hijau di wilayah Jakarta
Utara dicantumkan dalam Tabel 4.13 dan Tabel 4.14.

Dari Tabel 4.13 tampak bahwa perikanan budidaya air tawar di wilayah
Jakarta Utara didominasi oleh tambak di Kecamatan Penjaringan dan Cilincing
serta perikanan di perairan umum yaitu di danau dan situ; kolam hanya seluas 2,7
ha. Jumlah petani ikan sebanyak 168 orang petani tambak dan 65 orang petani
ikan di danau. Jumlah petani ikan ini meningkat hampir mencapai 400 %. Luas
lahan budidaya bertambah dari 193 ha tahun 2002 menjadi 250,7 ha, dengan
tingkat produksi total 170,78 ton.

Aktivitas budidaya ikan jenis lain yang juga menguntungkan adalah


budidaya ikan hias. Meskipun jumlah petani ikan hias hanya 7 orang, tetapi
jumlah produksi tahun 2003 mencapai 89.025 ekor. Jumlah ini jauh menurun
jika dibandingkan produksi tahun sebelumnya yang mencapai 632.615 ekor. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh semakin ketatnya isu lingkungan terhadap ikan
hias yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan.

Aktivitas budidaya laut yang sangat dominan adalah budidaya kerang


hijau. Sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.14, budidaya kerang hijau paling
banyak dilakukan oleh 404 orang nelayan Kamal Muara, yang mengelola 530
rakit dengan luas areal 102.817 m2. Nelayan Cilincing juga mengembangkan
kegiatan yang sama dengan jumlah petani 210 orang dan jumlah rakit 241 serta
mencakup luasan 4.452 m2. Meskipun jumlah unit budidaya kerang hijau di
Kamal Muara lebih banyak dua kali lipat, tetapi jumlah tenaga kerja yang dapat
diserap oleh aktivitas budidaya ini ternyata lebih banyak di Cilincing (1.213
orang) daripada di Kamal Muara (678 orang).

128
Tabel 4.13. Potensi budidaya perikanan darat di Jakarta Utara tahun 2003.
No. Kecamatan Potensi Budidaya Danau Ikan Konsumsi Ikan Hias
Luas Petani Produksi Kolam Petani Produksi Petani Produksi Bak/AQ
(ha) (orang) (kg) (m2) (orang) (kg) (orang) (ekor) (unit)
1. Penjaringan 27.000 11 6.000 7 15.000 60
Tambak 75 40 11.000
Situ Teluk Gong 2 - -
Situ Penjaringan 25 - -
Situ PIK 7 - -
Situ Mega Mall Pluit 1 - -
2. Cilincing 4.000 61 3.700 1 4.000 150
Tambak 81,7 128 140.380
3. Tanjung Priok 2.000 63 8.300 30 42.000 128
D. Papanggo 25 60 5.000
D. Sunter Podomoro 30 5 -
4. Kelapa Gading 1.500 49 2.500 9 22.000 60
D. Kodamar 2 - -
5. Pademangan 5.500 13 2.300 2 4.000 28
Situ Pademangan 1 13 14.400
6. Koja 3.000 25 3.000 4 2.025 13
Situ Rawa Badak 1 - -
Jumlah 250,7 246 170.780 43.000 222 25.800 53 89.025 439
2002 193 62 - 40.413 136 19.810 84 632.615 303
2001 193 62 - 40.413 136 18.611 84 626.050 302
Sumber: BPS (2004)

129
Tabel 4.14. Potensi budidaya kerang hijau di Jakarta Utara tahun 2003

No. Lokasi budidaya Bagan tancap Jumlah petani Penyerapan Produksi (ton)
tenaga kerja
Rakit Luas (m2)
1. Kelurahan Kamal Muara 530 102.817 404 678 74.160
2. Kelurahan Cilincing 241 4.452 210 1.213 51.500
Jumlah 771 107.269 614 1.891 125.660
2002 735 102.161 603 1.855 122.000
2001 735 102.161 603 1.855 122.000
Sumber: BPS (2004)

130
Untuk mencukupi kebutuhan ikan konsumsi tersebut, Pemerintah DKI
Jakarta, khususnya Pemkot Jakarta Utara telah menetapkan berbagai kebijakan
pembangunan perikanan, sebagaimana tercantum dalam Perda 3 Tahun 2001,
tugas pokok Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta
adalah menyelenggarakan penyusunan, perencanaan, perumusan kebijakan,
pelaksanaan dan pengendalian di bidang peternakan, perikanan dan kelautan.
Adapun visinya adalah mewujudkan masyarakat sejahtera melalui pengelolaan
sumberdaya peternakan, perikanan dan kelautan yang berwawasan lingkungan
secara berkelanjutan; sehingga misi yang diembannya meliputi:
(1) Mencukupi kebutuhan pangan hewani bagi warga DKI Jakarta;
(2) Melindungi masyarakat dari bahaya penyakit yang
ditimbulkan/bersumber dari hewan/ternak,
(3) Meningkatkan derajat warga ibukota melalui peningkatan kesehatan;
(4) Memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
(5) Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang produktif;
(6) Mengembangkan kelembagaan dan peraturan perundangan;
(7) Pengendalian/pengawasan eksploitasi dan eksplorasi serta penataan
pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan;
(8) Konservasi, rehabilitasi, pelestarian dan perlindungan sumberdaya
perikanan dan kelautan.

Untuk mencapai misi yang diembannya tersebut, Dinas Peternakan,


Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta telah menyusun kebijakan
strategik, sebagaimana tercantum di bawah ini:

(1) Mewujudkan kegiatan peternakan, perikanan dan kelutan sebagai salah


satu motor penggerak usaha skala kecil masyarakat yang dapat menyerap
banyak tenaga kerja;

(2) Menggugah kesadaran masyarakat untuk melindungi dan merehabilitasi


ekosistem perairan laut, sungai dan situ agar dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan usaha budidaya ikan;

131
(3) Mendorong penganekaragaman pengolahan hasil peternakan, perikanan
dan kelautan yang laku di pasar modern (supermarket) dan ekspor;

(4) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan, perikanan dan


kelautan untuk usaha, pengolahan dan pemasaran;

(5) Menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi berkembangnya usaha


peternakan, perikanan dan kelautan, antara lain: jaminan keamanan,
kepastian usaha ekspor;

(6) Meningkatkan pengawasan, pengendalian dan merehabilitasi ekosistem


habitat pesisir dan laut.

Dari kebijakan-kebijakan strategik tersebut ditetapkan tujuan


pembangunan peternakan, perikanan dan kelautan di Provinsi DKI Jakarta, yaitu:
sebagai bagian dari Provinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Utara menetapkan
program pengembangan perikanannya terpusat di TPI Muara Angke.

(1) TPI Muara Angke

Muara Angke adalah tempat pendaratan ikan kedua paling besar di


wilayah Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara, setelah Muara Baru.
Muara Angke ternyata tidak hanya diperuntukan bagi kapal yang berbasis
di Jakarta, tetapi juga banyak kapal yang berasal dari luar daerah yang
mendaratkan hasil tangkapannya di sini. Untuk jenis ikan yang ditangkap
dari wilayah penangkapan di perairan Laut Jawa dan sekitarnya oleh kapal
yang berlabuh di Muara Angke disebut ikan lokal, sedangkan ikan yang
ditangkap di luar kawasan tersebut oleh kapal yang tidak berbasis di
pelabuhan Muara Angke disebut ikan luar daerah dan kapalnya disebut
kapal andon. Besarnya jumlah ikan yang didaratkan di TPI Muara Angke
dapat dilihat pada Tabel 4.15. Dari Tabel 4.15 tampak bahwa jumlah ikan
lokal yang didaratkan di TPI Muara Angke tahun 2001 mencapai 7.725
ton, dan terus meningkat tahun 2002 menjadi 8.472 ton, tahun 2003 turun
sedikit menjadi 8.163 ton, dan tahun 2004 mencapai jumlah 8.109 ton.

132
Sementara itu, jumlah ikan luar daerah yang didaratkan di TPI Muara
Angke paling banyak terjadi tahun 2003 sebesar 4.047 ton.

Tabel 4.15.Data produksi ikan lokal dan ikan luar daerah dari masing-
masing PPI yang ada di Provinsi DKI Jakarta,
tahun 2001-2004
No. JENIS PRODUKSI JUMLAH PRODUKSI (kg)/TAHUN
2001 2002 2003 2004
I Tempat Pelelangan Ikan
A Ikan lokal TPI Muara 7.724.796 8.472.920 8.162.744 8.109.187
Angke
B Ikan tuna TPI Muara Baru 4.857.485 3.183.343 2.702.357 2.666.077
C Ikan tradisional TPI Muara 5.422.511 5.456.493 5.786.243 5.245.488
Baru

II Ikan Olahan Sunda Kelapa 279.464

III Ikan Luar Daerah


A Ikan daerah Muara Angke 3.358.074 3.135.787 4.047.280 3.670.598
B Ikan daerah Muara Baru 25.828.263 18.866.183 2.321.882 2.132.634
C Ikan daerah Pasar Ikan 1.083.562 1.024.724 763.725 743.490
D Ikan daerah Kamal Muara 548.060 539.500 529.550 577.370
E Ikan daerah Kali Baru 326.715
F Ikan daerah Cilincing 422.690

IV Data ekspor jenis produk 17.313.077 16.575.504 16.967.343 29.007.368


TPI Muara Baru
Jumlah Total 66.135.828 57.254.454 41.281.124 53.181.081
Sumber: Disnakkanlut (2005)

Untuk TPI Muara Baru terdapat data yang paling menarik, yaitu terjadi
penurunan jumlah ikan tuna dari tahun ke tahun, yakni 4.857 ton, 3.183
ton, 2.702 ton, dan 2.666 ton dari tahun 2001 sampai 2004. Sementara
itu, data ikan lain (ikan tradisional selain tuna) menunjukkan jumlah yang
relatif stabil pada 5000-an ton. Data lain yang juga menarik dari TPI
Muara Baru adalah menurunnya jumlah ikan luar daerah yang didaratkan
di sini, yaitu dari jumlah fantastis mencapai 25.828 ton tahun 2001, turun
menjadi 18.866 ton setahun kemudian, lalu turun drastis pada angka 2.322
ton dan 2.133 ton tahun 2003 dan 2004. Jika disandingkan dengan angka
data ekspor produk perikanan yang sangat melonjak dari tahun 2003
sebesar 16.967 ton menjadi 29.007 ton tahun 2004, maka terjadinya

133
penurunan jumlah ikan daerah yang datang ke TPI Muara Baru tersebut
kemungkinan disebabkan oleh dilakukannya penanganan sebelum ekspor
di daerah-daerah sehingga produk tersebut hanya tercatat sebagai barang
ekspor di PPS Muara Baru.

Ditinjau dari nilai retribusi yang diperoleh dari aktivitas penjualan


ikan tersebut, TPI Muara Angke memperoleh jumlah yang jauh lebih
besar jika dibandingkan dengan TPI lainnya di DKI Jakarta. Data
selengkapnya dicantumkan dalam Tabel 4.16.

Tabel 4.16. Rekapitulasi retribusi pemakaian tempat pelelangan ikan


lokal dan ikan luar daerah dari masing-masing PPI yang
ada di Provinsi DKI Jakarta, tahun 2001-2004
No JENIS PRODUKSI RETRIBUSI/TAHUN (x Rp 1.000)
2001 2002 2003 2004
I Tempat Pelelangan Ikan
A Ikan lokal TPI Muara 1.235,7 1.550,3 1.615.307 1.659.646
Angke
B Ikan tuna TPI Muara - 396.830 325.758 394.086
Baru
C Ikan tradisional TPI 223.351 291.212 309.277 280.957
Muara Baru

II Ikan Olahan 1.584


Sunda Kelapa

III Ikan Luar Daerah


A Ikan daerah Muara 106.104 99.125 98.145 83.290
Angke
B Ikan daerah Muara - 20.527 63.654 63.007
Baru
C Ikan daerah Pasar Ikan 1.084 1.025 764 743
D Ikan daerah Kamal 548 540 530 577
Muara
E Ikan daerah Kali Baru 327
F Ikan daerah Cilincing 423

IV Data ekspor jenis 17.313 16.576 16.967 29.007


produk TPI Muara Baru
Jumlah Total 1.610.311 2.398.934 2.447.814 2.547.587
Sumber: Disnakkanlut (2005)

134
Dari Tabel 4.16 tampak bahwa nilai retribusi yang diperoleh TPI Muara
Angke adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan yang diperoleh
dari TPI lainnya, dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001,
nilai retribusi ini mencapai 1,2 milyar rupiah lebih (sekitar 76,74 % dari
total retribusi perikanan), dan secara lambat meningkat menjadi 1,66
milyar rupiah tahun 2004 (sekitar 65,15 %). Turunnya persentase nilai
retribusi tersebut tahun 2004 karena terjadinya peningkatan nilai retribusi
ikan ekspor dari TPI Muara Baru.

Frekwensi pendaratan kapal di TPI Muara Angke semakin hari semakin


tinggi. Menurut informasi lisan dari Kepala UPT Muara Angke, saat ini
(27 Desember 2005) terdapat 815 unit kapal yang berlabuh di kolam
pelabuhan TPI Muara Angke, padahal kapasitas tampungnya hanya 500
kapal. Rekapitulasi data frekwensi tambat labuh kapal yang masuk di PPI
Muara Angke Jakarta Utara tahun 2002-2004 dicantumkan dalam Tabel
4.17, sedangkan data frekwensi tambat labuh selama tahun 2005
dicantumkan dalam Tabel 4.18.

Tabel 4.17 dan Tabel 4.18 menunjukkan bahwa antara tahun 2002-2004
terjadi sedikit perubahan jumlah kapal yang berlabuh di TPI Muara
Angke, yaitu dari 4.859, 4.842, dan 4.934. Sebagian besar dari kapal
yang mendarat berukuran kurang dari 30 GT dan jenis kapal angkut (ojek)
yang melayani transportasi dari Jakarta ke Kepulauan Seribu. Kelompok
kapal penangkap ikan yang paling banyak ternyata adalah kapal dengan
alat tangkap purse seine dan gill net.

Selama bulan Januari sampai dengan bulan Oktober 2005, sebagaimana


tampak pada Tabel 4.17, dari jumlah kapal yang mendarat dan berukuran
lebih besar cenderung mengalami kenaikan, dari 63 sampai lebih dari 100
unit. Untuk kapal ikan yang berlabuh di TPI Muara Angke, yang
menggunakan jenis alat tangkap bouke ami dan jaring cumi juga
mengalami peningkatan.

135
Tabel 4.17. Rekapitulasi data frekwensi tambat labuh kapal yang masuk di PPI Muara Angke Jakarta Utara tahun 2002-2004
TAHUN JML GT ALAT TANGKAP PENGGUNAAN SPI YG SPI
KAPAL ES BALOK MATI LD
< 30 >30 AK BA BB GN JC FN JT LP MA PS PC
2002 4.859 3.830 1.029 1.597 350 - 722 107 255 122 101 - 683 - 934.380 610 175 234
2003 4.842 4.069 773 1.761 622 614 516 288 16 196 91 - 831 - 836.612 579 175 -
2004 4.934 3.884 1.027 1.407 803 560 485 553 3 103 23 5 982 6 847.293 109 34 8
Sumber: Disnakkanlut (2005)
Catatan:AK = kapal angkutan; BA = bouke ami (liftnet cumi); BB = bubu; GN = gill net; JC = jaring cantrang; FN = fish net; JT = jaring tangsi;
LP = lampara; MA = muro ami; PS = purse seine; PC = pancing.

Tabel 4.18. Rekapitulasi data tambat labuh kapal yang masuk di Pelabuhan Perikanan Muara Angke tahun 2005
no BULAN JML GT ALAT TANGKAP PENGGUNAAN SPI YG SPI
KAPAL ES BALOK MATI LD
<30 >30 AK BA BB FN GN JC JM JT JN PG LP LB PC PS MA <30 >30
1 Januari 344 282 62 110 31 36 - 28 32 21 4 - 1 4 1 1 75 - 60.600 24 8 -
2 Pebruari 390 337 53 125 32 38 - 35 34 18 3 - - 6 - - 98 1 65.700 24 8 -
3 Maret 454 372 82 132 68 39 - 30 28 39 4 2 - 9 - 1 101 1 80.550 37 16 1
4 April 442 379 63 134 72 33 - 35 29 41 9 3 - 8 - 1 76 1 81.700 49 11 41
5 Mei 496 101 395 171 83 41 - 38 29 47 3 - - 15 2 - 65 2 91.700 46 23 21
6 Juni 476 369 107 148 88 40 - 43 18 62 3 - - 8 - - 65 1 89.050 49 32 25
7 Juli 491 388 103 142 88 38 - 34 24 49 6 - 12 9 - 1 83 5 89.750 30 62 17
8 Agustus 468 350 118 115 100 31 1 41 30 51 2 - - - 2 - 94 1 89.400 28 18 28
9 September 468 366 102 112 108 45 - 30 29 53 2 - - 1 2 2 84 - 92.645 29 15 39
10 Oktober 480 389 91 103 98 36 - 44 31 75 3 - - 1 1 - 88 - 20.450 52 26 -
Jumlah 4.509 3.333 1.176 1.292 768 377 1 358 284 456 39 5 13 61 8 6 829 12 761.545 368 216 174
Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005)
Catatan:AK = kapal angkutan; BA = bouke ami (lift net cumi); BB = bubu; FN = fish net; GN = gill net; JC = jaring cantrang; JM = jaring cumi;
JT = jaring tangsi; JN = jaring nilon; PG = payang; LP = lampara;LB = lion bung (gillnet cucut) ; PC = pancing; PS = purse seine; MA = muro
ami

136
Penggunaan es balok untuk kegiatan perikanan mengalami peningkatan
antara bulan Januari sampai September, dari 60 ribu balok menjadi 90
ribu lebih. Tetapi pada bulan Oktober mengalami penurunan drastis
sampai pada jumlah 20.450 balok saja. Terjadinya hal ini dipastikan
karena kenaikan bahan bakar minyak, sehingga biaya operasional
penangkapan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hasil tangkap
yang diperoleh. Perubahan besarnya biaya operasional kapal penangkap
ikan sebelum dan setelah kenaikan harga BBM dicantumkan dalam Tabel
4.19 dan Tabel 4.20. Sebagai akibat dari kenaikan harga BBM tersebut,
maka sekitar 50,6 % dari kapal ikan yang berlabuh di Muara Angke tidak
dapat beroperasi, karena besarnya biaya operasional sudah melebihi
perkiraan hasil tangkapan.

Besarnya overload dari TPI Muara Angke ini disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:

(1) Lengkapnya fasilitas bongkar muat pelabuhan;


(2) Proses pelayanan administrasi bongkar muat berlangsung sangat
singkat (15-20 menit) sedangkan proses sortir dan bongkat muatan
sekitar satu jam.
(3) Mudahnya dilakukan proses pemasaran ikan;
(4) Fasilitas pendukung operasional penangkapan tersedia secara
lengkap.
(5) Semakin besarnya biaya operasional penangkapan sebagai akibat
naiknya BBM.
(6) Rendahnya biaya tambat kapal perhari, sesuai dengan Perda No.
3/1999 (dimana biaya tambat untuk kapal perhari sampai dengan 5
GT = Rp 300, antara 5-10 GT = Rp 1.000, antara 10-20 GT = Rp
2.000, dan > 20 GT = Rp 4.000);
(7) Tidak adanya batasan jangka waktu kapal boleh bersandar di
kolam pelabuhan.

137
Tabel 4.19. Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 1.600
menjadi Rp 2.150.

No ALAT TANGKAP LAMA UKURAN KEBUTUHAN BIAYA BIAYA % KENAIKAN


TRIP KAPAL BBM EKSPLOITASI SBLM EKSPLOITASI STLH
NAIK BBM NAIK BBM
(hari) (GT) (liter)
1 Payang 4 6 500-600 1.500.000 1.900.000 27
2 Jaring cumi 15 6 4.000 13.000.000 15.300.000 18
3 Gillnet 20 29 10.000 22.000.000 27.000.000 23
4 Jaring cumi 60 43 20.000 38.000.000 48.000.000 26
5 Jaring tangsi 60 15 5.000 15.250.000 17.500.000 15
6 Purse seine 10 < 30 5.000 14.500.000 17.000.000 17
7 Fish net 30 29 15.000 28.990.000 37.000.000 28
8 Fish net 45 29 20.000 39.360.000 49.500.000 26
9 Purse seine cakalang 7 88 4.000 14.600.000 16.900.000 16
10 Bubu 20 26 3.000 8.790.000 10.550.000 20
11 Angkutan 7 24 1.300 11.185.000 12.780.000 14
Sumber: Disnakkanlut (2005)

138
Tabel 4.20. Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 2.150
menjadi Rp 4.300

No ALAT LAMA UKURAN BIAYA OPERASIONAL BIAYA HASIL BIAYA


TANGKAP TRIP KAPAL OPERASIONAL PER OPERASIONAL
(hari) (GT) SDH NAIK BBM TRIP SBLM NAIK
(x Rp 000) (juta) BBM (x Rp 000)
BBM (Lt) Es (balok) Oli dll Ransum Gaji ABK Premi
Harga (x Harga (x x Rp x Rp x Rp nakhoda x
Rp 1000) Rp 1000) 1000 1000 1000 Rp 1000
1 Payang 4 6 200 20 60 350 600 - 2.110 2-2,5 1.670
860 240
2 Jaring cumi 20 < 30 7.000 400 4.000 3.000 4.400 6.000 50.900 20-40 35.000
30.100 3400
3 Jaring cumi 20 > 30 9.000 400 6.000 3.000 5.200 6.000 62.300 25-50 42.000
38.700 3.400
4 Bouke ami 50 > 30 23.000 - 12.000 6.000 13.000 11.250 141.150 50- 89.050
98.900 100
5 Purse seine 15 > 30 8.500 700 4.675 5.000 18.000 - 70.175 25-40 50.470
cakalang 36.550 5.950
6 Purse seine 10 < 30 4.000 250 2.000 4.000 16.000 - 41.325 20-50 31.525
ckl/kembung 17.200 2.125
7 Gillnet pari 60 </>30 9.000 500 5.000 6.000 13.320 4.500 71.770 25-40 50.470
38.700 4.250
8 Gillnet tongkol 25 </>30 6.000 350 3.500 3.500 10.000 - 45.775 15-30 32.075
25.800 2.975
9 Bubu 25 < 30 6.000 300 3.500 3.000 3.700 - 38.550 20-30 24.850
25.800 2.550
10 Bubu 40 > 30 8.000 400 4.500 5.000 7.400 - 54.700 20-40 31.100
34.400 3.400
11 Tuna long line 81 < 100 32.400 - 72.100 7.500 24.440 5.425 304.837 200- 201.017
195.372 230
12 Perahu harian 1 < 10 150/645 5/60 - 150 480 - 1.335 1-1,5 1.005
Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005)

139
Tidak seimbangnya antara kapasitas tampung kolam pelabuhan dengan
jumlah kapal yang berlabuh, telah menimbulkan berbagai permasalahan,
antara lain:

(1) Kebutuhan bahan perbekalan untuk operasional kapal ikan


meningkat;

(2) Upaya pemeliharaan fasilitas pelabuhan dan TPI menjadi lebih


berat;

(3) Upaya pemeliharaan kebersihan lingkungan harus ditingkatkan;

(4) Memungkinkan terjadinya praktek kolusi dalam proses bongkar


muat, karena setiap kapal yang terdapat dalam antrian
menginginkan ditangani lebih cepat dan lebih dulu;

(5) Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan tingginya persentase


kapal yang tidak dapat beroperasi, sehingga menimbulkan dampak
sosial bagi buruh nelayan dan buruh yang bekerja di pelabuhan.

Rendahnya biaya tambat kapal sesuai dengan Perda No. 3/1999 juga
menjadi penyebab kapal nelayan tersebut untuk tetap berlabuh. Hal ini
akan mengakibatkan terjadinya penumpukkan kapal di kolam pelabuhan,
dan menghalangi kapal yang akan melakukan bongkar muat.

Overload-nya TPI Muara Angke menimbulkan terjadinya pasokan kurang


untuk bahan-bahan kebutuhan operasional kapal ikan, yang terdiri dari es,
air tawar bersih, sarana pengolahan, boks ikan, gudang garam, gudang
dingin untuk menyimpan ikan hasil tangkapan, gudang pembeku,
kontainer, dll. Secara rinci, ketersediaan dan kebutuhan prasarana/sarana
penanganan dan pengolahan hasil perikanan di Muara Angke
dicantumkan dalam Tabel 4.21.

140
Tabel 4.21. Ketersediaan dan kebutuhan sarana dan prasarana penanganan dan pengolahan hasil perikanan
KETERSEDIAAN KEBUTUHAN
PRASARANA JUMLAH KAPASITAS PRODUKSI PRASARANA JUMLAH KAPASITAS
TERPASANG (unit)
A Pabrik es 1 unit 6.000 balok 3.000 A Pabrik es 1 7.000-8.000
balok/hari balok
Pasokan es kop putri salju 2.500-3.000
balok/hari
Pasokan es kop KPNDP 1.200-2.000
balok/hari
B Cool room/chill room 1 unit 150 ton 150 ton B Cool room/chill room 5 750 ton
C Cold storage 1 unit 1.000 ton 400 ton C Cold storage 1 1.000 ton
D Cool box 1.000 unit 100 ton 100 ton D Cool box 2.000 200 ton
3 3 3
E Air bersih 2.122 2.122 m /bln 2.122 m /bln E Air bersih 3.395 m /bln 5.000 m3/bln
m3/bln
F Sentra pengolahan 1 lokasi 208 unit 30-40 ton F Sentra pengolahan 250 unit 50 ton
tradisional (UKM) tradisional (UKM)
G Sarana/peralatan 7 unit 5 ton 3,5 ton/hari G Sarana/peralatan 7 unit 5 ton
pengolahan pengolahan
H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari 10,5 ton/hari H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari
I Kontainer 12 unit 288 ton 250 ton I Kontainer 18 unit 432 ton
Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005).

141
Dari Tabel 4.21 tampak bahwa kekurangan pasokan fasilitas terdiri dari air
bersih, es, ruang pendingin, cold storage, cool box, sentra pengolahan
tradisional, gudang garam, dan kontainer. Beberapa dari fasilitas yang
kurang tersebut dapat dengan mudah dipenuhi (seperti cool box, kontainer,
dll) dengan cara membelinya. Namun demikian, jika dikaitkan dengan
penempatannya maka hal ini menjadi tidak mudah, karena adanya faktor-
faktor pembatas di bagian hulunya, seperti ketersediaan lahan dan
keterbatasan sarana penunjang (antara lain air, listrik, bahan bakar, dll).
Pemenuhan kekurangan fasilitas tersebut pada gilirannya akan
menimbulkan masalah ekonomi dan sosial yang cukup rumit.

(2) TPI Kamal Muara

Globalisasi telah membawa dampak yang cukup besar ke seluruh dunia,


antara lain juga ke Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Untuk menghadapi era ini, Jakarta mempersiapkan diri untuk menjadi kota
unggulan yang mampu bersaing dengan kota-kota besar lainnya di
kawasan Asia Pasifik. Salah satu kawasan yang mendapat prioritas untuk
dibenahi adalah kawasan Pantura Jakarta, yang direncanakan sebagai
water front city.

Muara Kali Kamal, saat ini berfungsi sebagai tempat pendaratan ikan
(TPI). Meskipun sudah dilakukan pembenahan, namun kesan
semrawutnya penataan bangunan dan aktivitasnya masih terasa. Pemda
DKI melalui BPR Pantura dan PT Pembangunan Pantura sudah
melaksanakan studi untuk penyusunan Master Plan Penataan DAS Kali
Kamal-Kamal Muara. Tujuan studi tersebut adalah untuk mengkonkritkan
pembangunan DAS Kali Kamal sebagai salah satu jalan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan dan juga meningkatkan
produktivitas nelayan melalui pengembangan usaha, sarana dan prasarana
TPI, sarana promosi dan pemasaran hasil-hasil perikanan serta
pembangunan perumahan dan fasilitasnya (BPRP 2001). Tujuan yang

142
lainnya dari studi ini adalah: 1) terbangunnya salah satu kawasan nelayan
sebagai asset produksi pengembangan terpadu Jakarta Utara; 2)
tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas dan lingkungan yang
memadai; 3) terbangunnya suatu kawasan komersil yang dapat mendukung
adanya perkampungan/pemukiman nelayan yang lengkap dengan
fasilitasnya; dan 4) penambahan sarana rekreasi sebagai asset wisata
Jakarta.

Adapun sasaran studi ini adalah disamping terjadinya peningkatan


pendapatan dan produktivitas nelayan, adalah untuk menciptakan suatu
kawasan komunitas sosial terpadu dengan pengembangan usaha, yaitu
dapat dibangun fasilitas multi purpose/public facility berupa fasilitas
yang ada kaitannya dengan aktivitas perikanan dan kegiatan penunjang,
antara lain pendaratan ikan (fishing port), pengawetan dan pengasapan
ikan, kolam pembiakan, pasar pelelangan ikan, serta rumah makan laut
(seafood restaurant).

Dari informasi di atas tampak bahwa program pembangunan yang


direncanakan oleh Pemda DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Utara, belum
memasukan kawasan Dadap sebagai bagian dari unsur yang harus
dipertimbangkan, baik keberadaan nelayannya maupun ketidak-
berfungsian dari TPI Dadap tersebut. Ketidakterpaduan program
pembangunan di wilayah perbatasan seperti ini merupakan salah satu
faktor yang kemungkinan dapat memberi pengaruh negatif terhadap
pengelolaan program-program pembangunan di kemudian hari.

Berbagai rencana pembangunan kawasan Kamal Muara telah dilakukan


oleh Pemkot Jakarta Utara, mulai dengan rencana pembangunan tempat
pendaratan ikan dan restoran tradisional kawasan DAS Kali Kamal sampai
Rencana Pembangunan Kota Air Kamal Muara. Kedua rencana
pembangunan tersebut telah diwujudkan sampai tahap studi kelayakan;
meskipun pembangunan fisiknya belum dimulai.

143
Isu dan permasalahan yang berkembang berkaitan dengan bidang
perikanan di lokasi penelitian hampir merata juga dialami oleh kawasan
lainnya di pantura. Masalah yang teridentifikasi antara lain: produksi hasil
tangkap, harga ikan, kelembagaan, dan penurunan produktivitas usaha
budidaya. Ketersediaan sarana khusus perikanan memang masih belum
lengkap seperti: pabrik es dan Depot BBM, tetapi karena lokasinya sangat
dekat dengan sumber prasarana yang diperlukan tersebut maka masalah ini
dapat cepat diatasi.

Kondisi perikanan di kawasan Kamal Muara berpusat di TPI Kamal


Muara, dimana terdapat beberapa kegiatan yang meliputi aspek:

(1) Pemasaran

Kegiatan pemasaran ikan bertujuan untuk menjaga stabilitas harga


agar tercapai keuntungan optimal bagi nelayan dan kepuasan bagi
para konsumen, baik konsumen langsung maupun tidak langsung.

(2) Pembinaan mutu

Berbagai usaha untuk melakukan peningkatan mutu ikan yang


didaratkan sudah dilakukan oleh pemerintah daerah melalui
kegiatan penyediaan sarana dan prasarana pelelangan sehingga
ikan yang dipasarkan mempunyai kualitas yang masih baik.
Sebagaimana di TPT-TPI lainnya, masalah krusial yang sering
dijumpai adalah penyediaan air bersih, es, dan kebersihan
lingkungan.

(3) Penarikan retribusi

Pada setiap kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan sumberdaya


perikanan dikenakan biaya retribusi.

Beberapa permasalahan yang sedang terjadi saat ini di kawasan Kamal


Muara antara lain:

144
(1) Adanya kapal ikan yang parkir untuk mengisi bahan perbekalan
meskipun ikan yang mereka tangkap sebelumnya telah didaratkan
di TPI lain; hal ini agak mengganggu kegiatan bongkar-muat hasil
tangkapan kapal-kapal ikan lainnya;

(2) Instalasi limbah tidak berfungsi sebagaimana mestinya;

(3) Banjir hampir setiap saat terjadi pada saat air laut pasang;

Jumlah nelayan yang resmi tercatat berdasarkan data dari Dinas


Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta tahun 2003 di wilayah
Kecamatan Penjaringan sebagian besar merupakan nelayan pendatang
(8.100 orang atau 74,67 %) dan hanya sebagian kecil (2.748 orang atau
25,33 %) merupakan nelayan menetap. Sebagian besar dari nelayan
pendatang (87,62 %) merupakan nelayan pekerja dan hanya sebagian kecil
(12,38 %) yang merupakan nelayan pemilik. Sedangkan untuk nelayan
menetap, proporsinya kurang lebih sama antara nelayan pemilik dan
nelayan pekerja, dengan persentase masing-masing 47,71 % nelayan
pemilik dan sisanya 52,29 % merupakan nelayan pekerja. Secara
keseluruhan, total nelayan yang ada di Kecamatan Penjaringan adalah
10.848 nelayan, sedangkan di Jakarta Utara adalah sebanyak 17.341
nelayan. Ini berarti sebanyak 62,56 % nelayan yang beroperasi di wilayah
Jakarta Utara terkonsentrasi di Kecamatan Penjaringan.

Hasil penelitian Litasari (2002) menunjukkan bahwa jumlah nelayan di


Kelurahan Kamal Muara adalah 10.350 orang, pembudidaya kerang hijau
397 orang, dan para pengolah dan pedagang sebanyak 1.615 orang. Dari
397 orang pembudidaya kerang hijau ini, terdapat sekitar 1.000 unit rakit,
yang jika dilihat dari daratan pun akan tampak seolah-olah pesisir Kamal
Muara seperti dipagari oleh pagar-pagar bambu. Data terakhir
menunjukkan bahwa pada bulan April 2007, tercatat hanya ada 636
nelayan (Anonimous 2007). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
perikanan sudah mulai menurun, baik karena domisili nelayan yang
berubah ataupun karena terjadinya perubahan pola mata pencaharian dari
nelayan ke jenis usaha lain.

145
Litasari (2002) juga menyebutkan bahwa produksi kerang hijau tahun
2000 mencapai 10.000 ton, dan hanya merupakan 50 % dari produksi
tahun 1999. penurunan jumlah produksi ini disebabkan oleh bertambah
rusaknya kualitas perairan pantai sehingga menyebabkan pertumbuhan
kerang lebih lambat, yang tadinya dapat dipanen setelah 6-7 bulan, tetapi
tahun 2002 sudah memerlukan waktu pemeliharaan antara 8-11 bulan.
Produksi per rakit juga menurun dari 15-20 ton menjadi sekitar 10 ton saja.

Pendapatan rata-rata pembudidaya kerang hijau di Kelurahan Kamal


Muara sekitar Rp 4.500.000 per rakit per musim. Kerang hijau rebusan
laku terjual seharga Rp 6.000 per kg (Litasari 2002).

Hasil samping dari budidaya kerang hijau dan bagan adalah ikut
terpanennya oyster. Meskipun jumlahnya sedikit, tetapi daging oyster ini
berharga sampai Rp 15.000 per kg. Sedangkan hasil samping nelayan
kerang darah adalah kerang kapak-kapak (Pina sp), dengan harga jual Rp.
17.000 per kg.

Jumlah ikan yang berhasil didaratkan di TPI Kamal Muara pada tahun
2002 adalah sebesar 529.550 kg atau senilai Rp. 776.245.000. Jumlah ini
sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan data tahun sebelumnya yang
mencapai nilai Rp 889.910.000, meskipun tetap menunjukkan
kecenderungan terjadinya peningkatan jika dilihat dari produksi tahun
1997.

Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan yang beroperasi dari TPI
Kamal Muara adalah gill net, jaring payang, sero, jaring tembang, dan
pancing. Sedangkan untuk aktivitas budidaya ikan, sarana produksi yang
tersedia berupa tambak (untuk bandeng) serta bambu dan tambang tami
untuk budidaya kerang hijau. Data selengkapnya dari volume dan nilai
produksi ikan lokal di TPI Kamal Muara berdasarkan alat tangkap
dicantumkan dalam Tabel 4.22.

146
Tabel 4.22. Data nilai produksi TPI Kamal Muara dan DKI Jakarta
dari Tahun 1997 2003 (dalam Rp 1.000.000)
Nilai % Nilai % Proporsi
Tahun Produksi TPI Kenaikan/ Produksi Kenaikan/ Nilai
Kamal Muara Penurunan DKI Jakarta Penurunan Produksi
1997 113,840 58.427,363 0,19
1998 129,626 13,87 64.555,867 10,49 0,20
1999 160,600 23,89 123.692,176 91,60 0,13
2000 488,636 204,26 94.188,509 -23,85 0,52
2001 889,910 82,12 70.024,728 -25,65 1,27
2002 776,245 -12,77 ta -
Rata-rata 62,27 - 13,15 0,46
Sumber: BPS (2004a); Disnakanlut (2002); data diolah.

Dari data yang dikumpulkan antara tahun 1997 2002 menunjukan


kenaikan volume dan nilai produksi rata-rata sebesar 62,27 %/tahun di TPI
Kamal Muara. Rata-rata kenaikan volume/nilai ikan ini lebih besar
dibandingkan dengan rata-rata kenaikan volume dan nilai ikan untuk DKI
Jakarta, yakni hanya sebesar 13,15 %. Namun demikian, volume atau nilai
ikan tersebut hanya sedikit saja sumbangannya (0,46 %) terhadap total
nilai produksi ikan untuk wilayah DKI Jakarta. Rincian nilai produksi
ikan dari Tahun 1997 2002 dicantumkan dalam Tabel 4.23.

Ikan yang berhasil ditangkap diantaranya ikan bawal hitam, belanak,


baronang, cendro, cumi-cumi, ekor kuning, kakap merah, kembung, kue,
layang, layur, manyung, dan ikan pari. Alat tangkap yang digunakan
berupa gill net, jaring payang, ataupun pancing. Selain itu diproduksi juga
ikan bandeng dan mujair, yang merupakan hasil tambak. Data
selengkapnya dari volume dan nilai produksi ikan lokal di TPI Kamal
Muara berdasarkan jenis dicantumkan dalam Tabel 4.24.

Hasil pengamatan terakhir tahun 2007 menunjukkan bahwa jenis ikan


yang dipasarkan di TPI Kamal Muara tidak hanya terbatas pada ikan-ikan
laut dan tambak saja. Beberapa jenis ikan tawar yang dibudidayakan di
karamba jaring apung di waduk-waduk juga ikut dipasarkan.

147
Tabel 4.23. Daftar jenis ikan yang didaratkan di TPI Kamal Muara dari tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002)

No. Nama Lokal 1997 1998 1999 2000 2001


Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000)
1 Bandeng 17.310 12.737 20.920 17.440 16.860 24.010 61.700 131.475 255.590 363.625
2 Bawal hitam 1.990 1.682 100 134 150 192 - - - -
3 Belanak - - 100 164 - - - - - -
4 Beronang - - 600 604 - - - - - -
5 Campur 20.770 4.293 12.530 2.654 63.210 17.762 36.300 11.646 - -
6 Cendro 1.650 1.350 1.880 1.156 - -- - - - -
7 Cumi-cumi 6.160 6.530 1.430 2.050 220 324 760 3.220 - -
8 Ekor kuning - - - - - - - - - -
9 Japuh - - 670 364 - - - - - -
10 Kakap merah - - - - - - 2.900 10.250 20.540 37.900
11 Kembung 21.900 16.554 9.560 7.458 10.660 13.904 13.390 38.978 24.540 45.325
12 Kuwe 10.940 8.436 13.360 11.212 8.610 10.810 6.980 19.568 16.330 40.775
13 Layur 610 280 510 280 1.450 1.106 - - - -
14 Manyung 14.710 7.032 9.430 5.946 6.880 7.992 2.280 6.378 740 1.400
15 Mujair 11.530 4.348 10.820 4.308 10.150 7.190 4.700 5.280 12.170 13.490
16 Pari 2.270 1.112 2.010 1.224 1.700 1.316 950 1.632 - -
17 Rebon - - - - 4.520 4.018 4.390 4.900 - -
18 Selar 61.050 18.840 63.800 22.046 58.800 24.938 73.810 100.660 84.690 121.665
19 Talang-talang 8.770 4.372 9.380 6.202 6.380 7.450 1.300 4.086 - -
20 Tembang 51.850 10.668 121.440 30.070 44.750 11.926 14.660 5.328 - -
21 Teri 7.470 3.460 1.620 896 5.290 5.292 3.650 4.238 - -
22 Tonglol - - - - - - 24.560 55.800 28.940 57.400
23 Udang 16.120 12.146 19.560 15.418 16.450 22.370 28.780 75.240 87.930 167.580

148
Tabel 4.24. Volume dan nilai produksi ikan lokal di TPI Kamal Muara berdasarkan alat tangkap tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002)

No. Nama Lokal 1997 1998 1999 2000 2001


Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000)

1 Empang 50.460 31.869 50.570 36.782 43.460 53.570 95.180 211.995 355.690 544.695

2 Gill net - - - - - - 12.870 27.530 49.590 93.050

3 Jaring rampus - - - - - - 610 1.954 - -

4 Jaring tembang 34.800 6.964 19.300 3.896 15.950 3.794 6.800 2.040 - -

5 Pancing 28.070 32.520 98.530 189.240

6 Payang 61.050 18.840 63.800 22.046 58.800 24.938 55.940 92.815 44.250 62.925

7 Sero 110.790 56.167 166.050 66.902 137.870 78.298 85.730 119.785 - -

Jumlah 257.100 113.840 299.720 129.626 256.080 160.600 285.200 488.639 548.060 889.910

149
Perahu/kapal yang dioperasikan di wilayah perairan Kamal Muara ini
secara umum dapat dikelompokan ke dalam 3 golongan, yaitu : ukuran
besar (> 10 GT) 1.076 buah; ukuran sedang (5 10 GT) sebanyak 21
buah; dan tidak terdapat perahu dengan ukuran kecil (kurang dari 5 GT
tanpa motor atau motor < 10 PK dengan dimensi 7 x 2,80 m2).

Berdasarkan data nilai produksi dari masing-masing jenis alat tangkap


yang digunakan, sebagian besar ikan yang mendarat di TPI Kamal Muara
adalah dari tambak, dengan volume 440.150 kg atau setara dengan Rp
599,095 juta. Volume tersebut 83,12 % dari volume total volume produksi
ikan di TPI Kamal Muara, yakni 529.550 kg atau senilai Rp. 776,245 juta.
Sedangkan volume dan nilai produksi yang berasal dari gill net, jaring
payang dan pancing hanya sebagian kecil saja, masing-masing secara
berurutan adalah seberat 33.850 kg (6,39 % total produksi) dari gill net,
seberat 17.810 kg (3,36 % total produksi) dari jaring payang dan 37.740 kg
(7,13 % total produksi) dari alat tangkap pancing.

Selain perikanan tangkap dan budidaya di atas, nelayan setempat juga


mengusahakan budidaya kerang hijau. Jika dilihat dari jumlah petani yang
mengusahakannya, di Kamal Muara terdapat 404 petani atau 65,80 % dari
keseluruhan petani kerang hijau yang ada di Jakarta Utara. Lokasi lainnya
terdapat di Cilincing dengan 210 petani kerang hijau. Produksi yang telah
dihasilkan pada tahun 2003 mencapai 74.160 ton yang berasal dari 530
rakit dengan luas 102.817 ha yang dikelola oleh sebanyak 678 tenaga kerja
(petani kerang hijau) atau kurang lebih 1 orang per-rakit.
Bilamana disimpulkan, maka kegiatan perekonomian yang berlangsung di
kawasan Kamal Muara terdiri dari:
(1) Pendaratan ikan yang berasal dari kapal motor, kapal dengan motor
tempel, dan perahu tradisional;
(2) Industri pemasaran ikan: berupa pengepakan ikan, pembuatan
garam secara tradisional; sistem distribusi ikan yang dilakukan
adalah dengan cara: dijual langsung kepada masyarakat konsumen
secara eceran, dan dijual partai besar kepada grosir. Kegiatan pasar

150
ikan tradisional berlangsung setiap hari, baik ikan yang di-es
maupun yang tidak;
(3) Warung/restoran ikan: banyak dilakukan oleh penduduk disekitar
pintu masuk perkampungan nelayan Kamal Muara yang langsung
berbatasan dengan Kali Kamal;
(4) Pemuatan perbekalan penangkapan ikan disuplai oleh unit
perbekalan nelayan, yang menyediakan sarana penangkapan ikan
dan kebutuhan hidup sehari-hari.
(5) Kegiatan perbankan, baik pemerintah maupun swasta.
(6) Kegiatan perkoperasian, yang terdiri dari koperasi konsumsi,
koperasi produksi dan koperasi serba usaha.
(7) Kegiatan industri, dari yang berskala besar hingga industri yang
berskala kecil atau rumah tangga.

Sarana perekonomian berupa bank hanya terdapat 2 buah, masing-masing


satu buah bank pemerintah dan sebuah bank swasta. Dilihat dari jumlah
bank yang ada, Kamal Muara merupakan wilayah yang jumlah banknya
paling sedikit di Kecamatan Penjaringan, dimana total keseluruhan bank
yang ada di kecamatan ini mencapai 18 buah bank dan tersebar di semua
kelurahan.

Sarana perekonomian lain adalah koperasi, berdasarkan data yang berasal


dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI pada tahun 2003
hanya terdapat sarana koperasi berupa sebuah koperasi simpan pinjam
dengan 81 anggota dan sebuah koperasi serba usaha dengan jumlah
anggota 109. Jenis koperasi lainnya, yakni koperasi konsumsi dan
koperasi produksi belum ada.

Pasar Inpres, yang merupakan sarana perekonomian yang paling vital


belum terdapat di Kamal Muara. Sarana perekonomian berupa pasar yang
ada hanya 1 buah pasar lingkungan dan 1 buah lokasi pedagang K-5
dengan jumlah pedagang sebanyak 46 orang. Total jumlah Pasar Inpres
yang ada di Kecamatan Penjaringan sebanyak 5 buah, tersebar di

151
Kelurahan Pluit (3 buah) dan Kelurahan Kapuk Muara dan Pejagalan
masing-masing 1 buah. Data selengkapnya dari potensi ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja di sekitar TPI Kamal Muara dicantumkan dalam
Tabel 4.25.

Tabel 4.25 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per
hari di lingkungan TPI Kamal Muara tahun 2005 sebelum
kenaikan harga BBM.
No JENIS JUMLAH NILAI JUMLAH KET.
KEGIATAN/ BURUH/ SATUAN TRANSAKSI
PELAYANAN UNIT TRANSAKSI HARIAN
HARIAN
1 Transaksi TPI 35 6.750.000
Anak buah peserta 20 35.000 700.000
lelang
2 Bahan bakar 10 ton 16.500.000 1.650/lt
Buruh 10 35.000 350.000
3 Es balok 500 balok 600.000 12.000/blk
4 Kegiatan tambat 15 50.000 Perda No
labuh 3/99
5 Buruh dilingkungan 15 25.000 375.000
TPI
6 Kuli gerobak 10 15.000 150.000
pengasin
7 Kuli gerobak lelang 10 25.000 250.000
8 Buruh Pedagang K5 25 15.000 375.000
produk ikan
9 Buruh 6 unit 12 20.000 240.000
pengepakan
10 Workshop 4 25.000 100.000
11 Buruh Kios alat 2 15.000 30.000
perikanan (2 unit)
12 Buruh pedagang 5 15.000 75.000
otak-otak
13 Buruh depot es 3 20.000 60.000
14 Upah ABK
Gillnet (56) 336 35.000 35.840.000
Purse seine (27) 270 27.000 7.290.000
Jaring rampus (42) 210 30.000 6.300.000
Jaring nilon (35) 105 30.000 3.150.000
Payang (11) 132 35.000 4.620.000
Pancing (28) 84 30.000 2.520.000
Bagan (530) 1.590 20.000 31.800.000
Kerang Hijau 3.000 17.000 51.000.000
(1.000)
Jumlah 168.425.000
Sumber: diolah dari BPS (2004) dan dan data primer

152
Jumlah perusahan industri sebagai salah satu penunjang sarana
perekonomian masyarakat, banyak terdapat di Kamal Muara. Tercatat ada
65 buah industri besar, 100 buah industri sedang, dan 12 buah industri
kecil. Jika dilihat dari persentasenya terhadap Kecamatan Penjaringan,
maka sebarannya mencapai 43,62 % industri besar, 23,53 % industri
sedang dan 12,77 % industri kecil di Kelurahan Kamal Muara.

Sarana perekonomian lain berupa hotel, losmen, hostel, motel, dan


restauran tidak terdapat di Kamal Muara. Sarana perekonomian berupa
hotel dan restauran atau sejenisnya hanyalah berupa warung makan,
dengan jumlah 18 buah. Di Kecamatan Penjaringan, hanya terdapat 1
buah hotel melati yang berada di Kelurahan Pluit.

4.4.2 Keragaan perikanan Kabupaten Tangerang

Sebagai bentuk tanggapan atas pemberlakuan UU No. 23/1999 tentang


Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang telah menetapkan
kawasan perairan Kecamatan Kosambi merupakan suatu zona pengelolaan
bersama antara Kota Jakarta Utara, Kabupaten Kepulauan Seribu, dan Kabupaten
Tangerang, sebagaimana tercantum dalam Perda No 5/2002 tentang Perubahan
Atas Perda No. 3/1996 tentang RTRW. Aspek legal ini sebenarnya dapat
dijadikan landasan bagi kedua pemerintahan daerah untuk melakukan pengelolaan
bersama kawasan perairan Dadap dan Kamal Muara dan fasilitas yang terdapat di
dalamnya, antara lain TPI.

Secara keseluruhan, luas wilayah Kabupaten Tangerang mencapai 164,31


2
km atau hanya 1,90 % dari luas wilayah Provinsi Banten. Kabupaten Tangerang
memiliki panjang pantai 51 km, dengan potensi sumberdaya ikan yang mencapai
19.441 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 14.339 ton (73,76 %). Dari
pendekatan produksi total maka potensi Kabupaten Tangerang hanya mencapai
16.664 ton dengan pemanfaatan sebesar 86,05 % (PKSPL IPB 2004)

153
Produksi ikan yang dihasilkan Kabupaten Tangerang tidak hanya berasal
dari laut, tetapi juga beberapa ekosistem lainnya, seperti rawa, situ, dan sungai.
Potensi areal penangkapan ikan di Kabupaten Tangerang dicantumkan dalam
Tabel 4.26.

Tabel 4.26. Potensi areal penangkapan ikan di Kabupaten Tangerang.

No. JENIS POTENSI PERAIRAN LUAS/PANJANG


1. Rawa 357,0 ha
2. Situ 116,5 ha
3. Sungai 314,3 km
4. Eks galian pasir 350,8 ha

Sumber : TPI Dadap (1996) dan Diskanlut Tangerang (2004)

Kebijakan Pemda Kabupaten Tangerang melalui RTRW Kabupaten


Tangerang tahun 2000 menetapkan bahwa areal pertambakan yang ada di
Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan Paku Haji akan direlokasi ke Kecamatan
Mauk dan Kecamatan Kronjo. Namun demikian, tahun 2000 tersebut dalam
perencanaannya juga menyatakan bahwa di muara Kali Dadap akan dibangun TPI,
yang tampaknya hanya diperuntukan bagi nelayan yang mau mendaratkan ikan
hasil tangkapannya di laut. Data potensi tambak di Kabupaten Tangerang dapat
dilihat pada Tabel 4.27.

Kegiatan perikanan laut di Kabupaten Tangerang dipusatkan di 7


Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), masing-masing satu buah untuk setiap
kecamatan pesisir, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.28.

154
Bab4- 155

Tabel 4.27. Produksi potensi pertambakan Kabupaten Tangerang tahun 2004.


No. Kecamatan/Desa JUMLAH RTP LUAS (Ha)
PEMBUDIDAYA
Total Bandeng Udang Total Bandeng Udang
Potensi Diusahakan Potensi Diusahakan Potensi Diusahakan
1. Kronjo:
- Jenggot 29 11 18 80,00 80,00 65,00 65,00 15,00 15,00
- Pegadean Ilir 57 49 8 395,85 327,00 334,35 265,5 61,50 61,50
- Kronjo 71 63 8 433,90 264,00 371,00 214,00 62,90 50,00
- Muncung 75 75 0 392,85 350,00 369,85 350,00 23,00 0,00
Subtotal 232 34 1.302,69 1.021,00 1.140,20 894,50 162,40 126,50

2. Kemeri:
- Lontar 21 21 0 338,30 111,50 235,30 111,50 103,00 0,00
- Karanganyar 16 16 0 96,29 78,10 96,29 78,10 0,00 0,00
- Patra Manggala 22 22 0 92,25 57,80 72,25 57,80 20,00 0,00
Subtotal 59 59 0 526,84 247,40 403,84 247,40 123,00 0,00

3. Mauk:
- Mauk Barat 43 40 3 115,72 70,29 85,72 64,29 30,00 6,00
- Ketapang 31 30 1 143,30 100,34 122,30 97,84 21,00 2,50
- Marga Mulya 19 19 0 78,58 18,64 23,30 18,64 55,28 0,00
- Tj. Anom 12 8 4 13,50 12,30 0,00 0,00 13,50 12,30
Subtotal 105 97 8 351,10 201,57 231,32 180,77 119,78 20,80

155
Bab4- 156

Lanjutan Tabel 4.27

4. Sukadiri:
- Karang Serang 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00
Subtotal 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00

5. Pakuhaji:
- Suryabahari 1 1 0,00 18,20 18,20 18,20 18,20 0,00 0,00
- Sukawali 22 22 0,00 119,20 119,20 120,40 119,20 43,20 0,00
- Kramat 34 34 0,00 117,50 117,50 117,50 117,50 0,00 0,00
- Kohod 15 15 0,00 274,60 70,85 256,60 70,85 18,00 0,00
Subtotal 72 72 0,00 573,90 325,75 512,70 325,75 61,20 0,00

6. Teluknaga: :
- Tj Burung 39 39 0 196,15 157,00 196,15 157,00 0,00 0,00
- Tj Pasir 17 17 0 291,41 7,46 195,30 7,46 96,11 0,00
- Lemo 17 17 0 228,50 135,30 228,50 135,30 0,00 0,00
- Muara 25 24 1 259,14 104,50 238,64 103,50 20,50 1,00
Subtotal 98 97 1 975,20 404,26 858,59 403,26 116,61 1,00

7. Kosambi:
- Selembaran Jaya 0 0 0 467,50 0,00 315,00 0,00 152,50 0,00
- Selembaran Jati 30 30 0 120,90 120,00 120,90 120,00 0 0,00
- Kosambi Barat 39 39 0 146,50 142,40 146,50 142,40 0 0,00
- Kosambi Timur 2 2 0 66,99 15,00 66,99 15,00 0 0,00
- Dadap 0 0 0 49,00 0,00 30,00 0,00 19,00 0,00
Subtotal 71 71 0 850,89 277,40 679,39 277,40 171,50 0,00
TOTAL 637 594 43 4.600,53 2.477,38 3.826,04 2.329,08 774,49 148,30
Sumber : TPI Dadap (1996) dan Diskanlut Tangerang (2003)

156
Tabel 4.28. Keragaan tempat pelelangan ikan dan institusi penanggungjawab
operasionalnya.
No. NAMA TEMPAT PENANGGUNGJAWAB
PELELANGAN IKAN
1. PPI Kronjo di Kecamatan Kronjo Dinas Perikanan dan Kelautan
2. TPI Benyawakan di Kecamatan Kemiri Dinas Perikanan dan Kelautan
3. TPI Ketapang di Kecamatan Mauk Dinas Perikanan dan Kelautan
4. TPI Karang Serang di Kecamatan Koperasi Perikanan Laut
Sukadiri Bahari
5. PPI Cituis di Kecamatan Teluknaga KUD Mina Samudera
6. PPI Tanjung Pasir di Kecamatan Teluk KUD Mina Dharma
naga
7. TPI Dadap di Kecamatan Kosambi KUD Mina Bahari
Sumber: Diskanlut Kabupaten Tangerang (2003)

Kriteria PPI di Kabupaten Tangerang sebenarnya belum optimal, karena


belum menjadi tempat pemasaran ikan yang utama. Hal ini disebabkan oleh:
(1) Belum memadainya fasilitas PPI, antara lain: tempat sandar kapal.
(2) Alur masuk ke pelabuhan kurang dalam sehingga menyulitkan perahu dalam
proses pendaratan ikan yang dibawanya;
(3) Produksi masih relatif rendah karena armada sebagian besar didominasi oleh
perahu bermotor tempel yang melakukan operasi penangkapan ikan secara
harian;
(4) Banyak nelayan yang sudah mengingat kontrak jual beli dengan bakul,
karena akses ke lembaga keuangan resmi sulit diperoleh;
(5) Pengawasan petugas lapangan masih lemah;
(6) Adanya kompetisi dari PPI yang berada di wilayah DKI.

Pada tahun 2000, data produksi ikan hasil tangkap Kabupaten Tangerang
mencapai 16.895 ton. Produksi tahun berikutnya meningkat sedikit menjadi
17.725,70 ton dan turun lagi tahun 2002 pada jumlah 16.834,25 ton dan tahun
2003 mencapai 15.731 ton. Untuk produksi ikan hasil perairan umum, data
menunjukkan jumlah 130, 123, 165,30, dan 142 ton dari tahun 2000 sampai 2003.
Hasil tangkapan dari perairan umum didominasi oleh jenis ikan tawes. Data
perkembangan produksi ikan di Kabupaten Tangerang selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 4.29.

157
Tabel 4.29. Perkembangan produksi ikan hasil tangkap di laut dan perairan
umum di Kabupaten Tangerang.

No. JENIS USAHA PRODUKSI (TON)


2000 2001 2002 2003
1. Laut 16.895,00 17.725,70 16.834,25 15.731,00
2. Perairan umum 130,00 123,00 165,30 142,00
Total 17.025,00 17.848,70 16.999,55 15.873,00

Sumber: Diskanlut Tangerang (2004)

Pada tahun 2002, data produksi dan nilai jual ikan laut Kabupaten
Tangerang mencapai 16.834,25 ton (Rp 156.977,35 juta), sedangkan untuk
produksi perikanan darat mencapai 7.294,54 ton (Rp 133.226,62 juta) dari
tambak, 2.130,40 ton (Rp 19.626,60 juta) dari kolam, 10,56 ton (Rp 77.400 juta)
dari sawah (minapadi), dan 388,90 ton (Rp 3.676 juta) yang berasal dari perairan
umum dan jaring apung. Produksi ikan tersebut dihasilkan oleh sekitar 1.672
rumah tangga nelayan laut, 921 nelayan di perairan umum, 823 nelayan tambak,
dan 2.325 petani ikan di kolam., serta 9 orang petani ikan jaring apung.

Berbagai jenis alat tangkap yang beroperasi di wilayah Kabupaten


Tangerang adalah payang (48 unit), jaring dogol (50 unit), jaring hanyut (254
unit), jaring klitik (374 unit), jaring rampus (15 unit), bagan perahu (132 unit),
bagan tancap (247 unit). Jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi terdiri
dari: perahu layar kecil (76 unit), kapal dengan motor tempel (909 unit), dan kapal
motor bermesin dalam (157 unit).(Banten dalam Angka 2002, BAPEDA dan BPS
Banten).

Tahun 2003, jenis alat tangkap ikan di Kabupaten Tangerang mencapai 15


jenis dan total unit 2.060 buah. Jenis yang paling populer adalah jaring insang
hanyut (drift gill net), jaring klitik, dan jenis pancing. Keragaan alat tangkap ikan
di Kabupaten Tangerang secara lengkap dicantumkan dalam Tabel 4.30.

158
Tabel 4.30. Keragaan alat tangkap ikan di Kabupaten Tangerang tahun 2003

No. JENIS ALAT TANGKAP JUMLAH (UNIT)


1. Jaring payang 81
2. Jaring dogol 119
3. Jaring insang hanyut 532
4. Jaring insang tetap 2
5. Jaring klitik 526
6. Jaring insang lingkar 16
7. Bagan tancap 38
8. Jaring angkat lainnya 61
9. Pancing lainnya 401
10. Sero 2
11. Bubu ikan 25
12. Bubu rajungan 14
13. Garok kerang 192
14. Alat lainnya (jala laut) 50
15. Purse seine 1
Jumlah 2.060
Sumber : TPI Dadap (1996) dan Diskanlut Tangerang (2004)

Hasil tangkapan para nelayan dari tahun ke tahun cenderung mengalami


penurunan, atau mengalami penambahan tingkat kesulitan untuk memperoleh
jumlah hasil tangkap yang sama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa gejala over fishing di perairan pantai
Teluk Dadap dan Kamal Muara sudah sangat nyata.

Kestabilan harga jual ikan hasil tangkap adalah suatu hal yang diidamkan
oleh para nelayan. Tetapi fluktuasi hasil tangkap dan kualitas ikan yang
diperolehnya menyebabkan terjadinya fluktuasi harga jual. Sering kali para
nelayan bahkan tidak dapat menutupi biaya operasi penangkapan yang berjumlah
antara Rp 200.000 500.000/trip. Bukan suatu hal yang aneh jika terdapat peran
dominan dari juragan yang juga bertindak sebagai penyedia kebutuhan sehari-hari

159
dari nelayan dan keluarganya. Faktor ini pula yang menyebabkan rendahnya nilai
jual dari ikan hasil tangkapan nelayan.

4.4.3 Keragaan perikanan kawasan Dadap-Kamal Muara

Di kawasan Dadap-Kamal Muara, terdapat dua tempat pendaratan ikan,


yaitu di Desa Dadap terletak di sekitar muara Kali Perancis dan di muara Kali
Kamal untuk Kelurahan Kamal Muara. Jumlah nelayan Desa Dadap yang resmi
tercatat di Kantor Cabang Dinas Perikanan terdiri dari 1.086 KK nelayan domisili
dan 56 KK nelayan pendatang. Sebagian besar dari nelayan ini merupakan
pendatang dari daerah Indramayu dan Cirebon, dengan jenis alat tangkap jaring
udang, gill net, jaring rampus, jaring bondet dan beberapa jenis pancing (pancing
rawe, pancing senggol dan pancing kakap). Sebagian kecil ( 50 kk) nelayan
merupakan penduduk asli Desa Dadap. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa
mereka lebih menyukai alat tangkap sero. Sementara nelayan Bugis yang
jumlahnya lebih sedikit ( 30 kk) lagi umumnya mengoperasikan bagan dan
membudidayakan kerang hijau.

Penduduk Kampung Baru Dadap hampir seluruhnya merupakan pendatang


yang berasal dari Muara Karang dan Muara Angke (nelayan asli orang Dadap
bertempat tinggal di Kampung Dadap). Sebagai akibat dari dilakukannya
pembongkaran perkampungan nelayan di Muara Karang dan Muara Angke antara
tahun 1975 sampai 1977, maka garapan tanah petani di Desa Dadap ini berubah
menjadi perkampungan nelayan dengan segala sarananya.

Perkembangan jumlah kapal penangkap ikan di Kabupaten Tangerang dari


tahun 2002-2003 menunjukkan adanya penurunan untuk perahu tanpa motor (dari
76 menjadi 74 buah), peningkatan untuk perahu dengan motor tempel (dari 909
menjadi 1.740 buah), dan penurunan juga untuk kapal motor (inboard) dari 157
menjadi 89 buah (Diskan Tangerang, 2002 dan Diskan Banten 2003). Hal ini
menunjukkan bahwa kapal penangkap ikan mengalami peningkatan positif yang
mencapai 66 %. Peningkatan terbesar terjadi pada perahu motor tempel sebesar
87,5 %, sedangkan kapal motor berkurang dari 157 menjadi 89 unit (turun sebesar

160
43,3 %). Perahu/kapal yang dioperasikan di wilayah perairan Dadap ini secara
umum dapat dikelompokan ke dalam 3 golongan, yaitu : ukuran besar (7 20 GT)
6 buah; ukuran sedang (5 7 GT) sebanyak 227 buah; ukuran kecil, (kurang dari 5
GT tanpa motor atau motor < 10 PK 7 x 2 80 m3) sebanyak 55 buah.

Berdasarkan informasi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten


Tangerang, data umum PPI di Desa Dadap Kecamatan Kosambi tahun 2003 dapat
dilihat pada Tabel 4.31.

Tabel 4.31. Data umum PPI Dadap Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang
tahun 2003
No. DATA UMUM IDENTITAS
1. Kampung Dadap
2. Desa Dadap
3. Kecamatan Kosambi
4. Jarak ke: Jalan raya 0,40 km
Ibukota kabupaten 20 km
Ibukota provinsi 180 km
5. Lahan: Luas lahan 1.000
Status lahan TN
Kemungkinan pengembangan 2.000
Status lahan pengembangan TN
6. Sungai: Lebar 45 m
panjang 3.000 m
7. Klasifikasi D
8. Pengelolaan PPI Dinas
9. Armada: perahu layar (tanpa motor) 74 unit
motor tempel 1.740 unit
inboard 89 unit
10. Alat tangkap: pancing 88 unit
jaring insang 142 unit
jaring kantong 39 unit
perangkap 20 unit
11. Nelayan: RTP 227 orang
RTBP 1.124 orang
Bakul 71 orang
12. Pengolah: Pindang -
Ikan asin 12 orang
lainnya 4 orang
13. Produksi per tahun 1.128 ton
14. Raman (Rp 000/tahun) 1.692.000
Sumber: Diskan Tangerang (2002) dan Diskanlut Banten (2003)

161
Dari Tabel 4.31 di atas tampak bahwa terdapat perbedaan informasi
diantara berbagai sumber data, meskipun itu berasal dari Dinas Perikanan dan
Kelautan. Contohnya tentang lembaga yang mengelola TPI/PPI Dadap, dimana
dalam Tabel 4.31 disebutkan dikelola oleh Dinas (Perikanan), tetapi kenyataannya
sampai sebelum vakum dikelola oleh KUD Mina Bahari sebagaimana tercantum
dalam Tabel 4.28.

Berdasarkan hasil survey PKSPL IPB (2004), daerah penangkapan ikan


(fishing ground) untuk perahu tanpa motor hanya di perairan Laut Jawa di sekitar
Kepulauan Seribu. Untuk perahu dengan motor tempel, upaya penangkapan
dilakukan mulai dari Laut Jawa sampai Selat Sunda. Sementara itu untuk perahu
dengan motor dalam, penangkapan dilakukan mulai dari Laut Jawa, Selat Sunda,
sampai ke Laut Cina Selatan.

Daya tahan kapal/perahu tersebut berkisar antara 5 20 tahun, tergantung


pada kualitas pemeliharaannya. Biaya perawatan perahu per tahun berkisar dari
Rp. 50.000 Rp. 200.000 pada tahun 1995 meningkat menjadi Rp 500.000 Rp
2.000.000, pada tahun 2004, yang sebagian besar berupa biaya penambalan dan
pengecatan ulang.

Jumlah awak kapal yang mengoperasikan satu unit penangkapan berkisar


antara 2 sampai 8 orang tergantung jenis unitnya. Di dalam satu unit ABK terbagi
dalam beberapa jabatan seperti nakhoda, juru mesin, juru mudi dan sebagainya.
Jabatan ini menentukan jumlah bagi hasil yang diperoleh.

Sebagian nelayan yang mengoperasikan jaring udang mempunyai alat


tangkap jenis lain seperti jaring rampus dan pancing, yang digunakan pada musim
yang berlainan. Khusus nelayan pancing yang status kependudukannya musiman,
pada musim barat berlabuh di Dadap wilayah Kabupaten Indramayu, menurut
keterangan penduduk setempat dapat berjumlah ratusan pada suatu saat dan hanya
belasan di saat lainnya.

Alat pancing yang banyak dioperasikan adalah pancing rawe dan pancing
ular. Sebagian besar dari nelayan pancing rawe ini merupakan pendatang dari

162
Eretan Indramayu. Dengan jumlah ABK antara 4 8 orang, nelayan pancing
rawe ini melakukan penangkapan ikan di perairan Tanjung Pandang Belitung.
Lama operasi penangkapan berkisar antara 2 4 minggu, yang memerlukan biaya
operasi sekitar 1 juta rupiah. Untuk penanganan ikan hasil tangkap setiap kapal
pancing rawe ini membawa 50 batang es balok. Seperti halnya dengan nelayan
lain, nelayan pancing juga terjerat bakul dalam pelaksanaan operasi penangkapan
dan pemasaran hasil tangkapannya. Penentuan harga jual ikan merupakan hak
bakulnya.

Kerang darah dan kerang menyon (Anadara sp) dipanen nelayan dengan
cara digaruk dan diselami. Menurut seorang pemilik perahu dan juga sebagai
bakul, jumlah armada perahu yang melakukan kegiatan pemanenan kerang ini
dapat mencapai 250 buah pada musim panen (bulan Mei Oktober). Jumlah ini
jauh diatas data resmi yang ada di TPI. Dengan jumlah ABK antara 4 8 orang,
pada musim panen satu perahu dapat menghasilkan 84 karung sehari. Padahal
pada musim paceklik hanya berkisar antara 4 5 karung. Harga jual kerang darah
per ember (kapasitas 10 liter) berkisar antara 3 4 ribu rupiah. Satu karung berisi
antara 5 6 ember (tergantung dari ukuran karungnya). Observasi lapangan
menunjukan bahwa selektivitas ukuran kerang tidak dilakukan oleh nelayan, tetapi
sesuai dengan alat garuk yang digunakannya.

Nelayan kerang hijau rata-rata mempunyai 200 batang bambu (yang dililit
dengan tambang goni atau pita waring) sebagai sarana tempat menempelnya
kerang hijau. Satu batang bambu (yang harganya Rp. 10.000) memerlukan 3 kg
tambang (Rp. 1.000/kg). Setelah bambu yang dililit tambang tersebut ditancapkan
di dasar laut (pada kedalaman 3 7 m), diantara batang-batang bambu tersebut
juga direntangkan tambang, yang berfungsi selain sebagai penguat juga
merupakan tempat menempelnya kerang hijau.

Pemanenan kerang hijau dilakukan setelah selang waktu 8 bulan (nelayan


melakukan penancapan bambu pada waktu yang berbeda-beda sehingga
memungkinkannya untuk memanen kerang setiap hari). Pada musim panen,
dilakukan penyelaman dan pemilihan kerang hijau yang berukuran besar-besar

163
setiap kelompok nelayan (terdapat 50 kelompok nelayan yang beranggotakan
antara 3 5 orang) dapat memperoleh 23 karung per hari, sedangkan pada musim
ujung hanya berkisar antara 4 5 karung. Harga jual kerang hijau ditingkat
nelayan hanya Rp 13.000 per ember (volume sekitar 10 liter). Pada saat panen
bambu dicabut untuk dibersihkan dari teritip dan jenis kerang yang menempel
lainnya. Tambang yang melilitnya praktis harus diganti.

Ikan-ikan yang hidup dan tertangkap di sekitar perairan pesisir Dadap dan
sekitarnya (Teluk Jakarta) dapat diketahui antara lain dengan mengindentifikasi
ikan yang tertangkap oleh nelayan dan didaratkan di TPI Mina Bahari Desa
Dadap. Ikan-ikan tersebut meliputi ikan yang bernilai ekonomis penting seperti
kakap (Lates sp), kembung (Rastrelliger sp), tenggiri (Scomberomerus sp), dan
selar (Caranx sp). Pada daerah yang memiliki terumbu karang tertangkap pula
ikan beronang (Siganus sp), ekor kuning (Caesio sp) dan kerapu (Epinephelus sp).
Jenis-jenis ikan yang tertangkap di pantai Dadap secara lengkap disajikan pada
Tabel 4.32.

Tabel 4.32. Daftar jenis ikan yang tertangkap di Pantai Dadap (PPLH, 1997)

No Nama Lokal Species Ordo Famili


1 Kuweh Caranx sp Percomorphi Carangidae
2 Kakap Lates sp Percomorphi Centroponidae
3 Kembung Rastralligor sp Scombriformes Scombridae
4 Kerapu Epinephelus sp Percomorphi Serranidae
5 Teri Stolephorus tri Malacopterygii Clupeidae
6 Ekor Kuning Caesio sp Percomorphi Lutjanidae
7 Pari Dasyatis sp Batoidei Dasyatidae
8 Peperek Gazza sp Percomorphis Leiognathidae
9 Tenggiri Scomberomorus sp Percomorphis Scomberomoridae
10 Rebon Hemirhampus Synentognathi Hemirhamphidae
melanus
11 Beronang Siganus sp Percomorphi Siganidae
12 Selar Caranx sp Percomorphi Carangidae

Meskipun sedikit, kegiatan penangkapan ikan di Dadap menyebabkan


timbulnya kegiatan pengolahan ikan asin dan rajungan. Terdapat 3 unit
pengolahan ikan asin di Desa Dadap dengan kapasitas maksimal 50 kg. Jenis ikan
yan diasin beraaneka ragam dan yang berukuran kecil (sisa penjualan untuk

164
konsumsi segar). Harga jual ikan asin ini berkisar antara Rp. 1000 15.000 per
kg di Pasar Kamal. Observasi lapangan menujukan bahwa kualitas ikan asin di
desa Dadap jauh lebih bagus dari daerah perikanan lainnya di sekitar utara Pulau
Jawa.

Di samping pengolah ikan asin terdapat pula pengolah rajungan. Hanya


terdapat seorang pengolah rajungan di Desa Dadap. Produksi rata-rata antara 20
30 kg daging (maksimal 50 kg) perhari. Daging rajungan merupakan komoditi
yang ekonomis. Harga jualnya tergantung bagaimana daging tersebut berasal,
yaitu daging capit Rp. 8.400/kg, daging kempal Rp. 12.400/kg, daging jari Rp.
5.000/kg dan daging adan Rp. 8.400/kg.

Daging rajungan ini merupakan bahan ekpor yang dikumpulkan oleh PT


Phillips Sea Food, sebuah industri pengolahan di Jakarta Kota. Rajungan yang
cangkangnya dibeli dari nelayan seharga RP. 1.200 per kg (tergantung dari
ukuran). Dengan rendemen 6 7 berbanding 1 (6 7 kg rajungan bercangkang
menghasilkan 1 kg daging), ditambah dengan upah buruh pengupasan Rp. 700/kg
(bersih, dengan bonus makan, minum, tidur, mandi), nelayan pengolah yang
memperkerjakan 14 orang buruh patut dijadikan teladan.

Penyebaran alat tangkap yang bersifat statis ini, mulai dari pantai hingga
kedalaman perairan sekitar 7 meter. Kedalaman tersebut dicapai pada jarak
sekitar 1,5 2,5 km dari pantai. Melihat kepadatan alat tangkap yang demikian
rapat pada lokasi dimana kapal harus berolah gerak sebebas mungkin, maka
pengaturan penempatan alat tangkap yang bersifat tetap ini harus benar-benar
mengacu kepada alur pelayaran agar tidak terjadi benturan kepentingan antara
nelayan dengan kapal-kapal yang keluar masuk pelabuhan terutama pada malam
hari.

Pada tahun 1995, kegiatan perekonomian di Desa Dadap sudah cukup


maju. Hal ini antara lain terlihat dari adanya sarana perekonomian yang telah
tersedia, yaitu 50 buah toko, 75 warung, 10 bengkel, 1 KUD Mina Bahari, 1
pabrik abon ikan, 1 pabrik pencelupan jean dan 6 restoran sea food. Tetapi sejak

165
diakukannya penon-aktifan aktivitas TPI, maka terjadi pengurangan aktivitas
ekonomi yang dicirikan dengan berkurangnya restoran seafood menjadi tinggal 3
buah. Data dampak penutupan TPI terhadap aktivitas ekonomi secara tertulis
belum dapat diperoleh.

Tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di Desa Dadap terletak di tepi
sungai (muara Kali Perancis). Lokasinya yang sekarang merupakan lokasi baru
setelah pindah dari lokasi awalnya yang berada dekat KUD Mina Bahari.
Pindahnya lokasi tersebut disebabkan oleh pembuatan sodetan Kali Dadap yang
baru. Lokasi yang baru cenderung lebih tenang perairannya karena berada di tepi
sungai dan agak ke hulu. Tahun 1997, dilakukan renovasi TPI Dadap, tahun 2004
kondisinya relatif masih dapat dimanfaatkan meskipun diperlukan beberapa
perbaikan. Beberapa kerusakan yang terjadi lebih banyak disebabkan kurang
efektifnya penggunaan TPI tersebut. Lantai tempat ikan dilelang berlantai
keramik putih. Selain itu juga terdapat sebuah kantor dimana kepala TPI dan
manajer TPI berkantor mengelola TPI.

Hasil tangkapan berupa udang dan kerang ditimbang di TPI tetapi tidak
dilakukan oleh petugas TPI, sedangkan kerang (kerang hijau dan kerang darah)
didaratkan di sepanjang Kali Perancis bagian barat langsung disetorkan ke para
juragan.

Secara umum Tempat Pendaratan Ikan di Kabupaten Tangerang adalah


type D, termasuk TPI Dadap. Tempat Pelelangan Ikan Dadap ini tidak seperti
lazimnya dimana kegiatan lelang amat jarang dilakukan. Hal ini disebabkan oleh
peran para bakul yang amat besar dalam kegiatan perikanan tangkap disana. Para
nelayan Dadap (nelayan domisili) yang telah menangkap ikan khususnya udang
tidak pernah melelang hasil tangkapannya di TPI tetapi langsung membawanya ke
para bakul dimana masing-masing nelayan telah memiliki bakul sendiri.
Mekanisme harga pun banyak ditentukan oleh para bakul tersebut. Dalam hal
penarikan retribusi yang seharusnya dilakukan setiap kali pelelangan, karena hal
tersebut maka manajer TPI memungutnya dari bakul-bakul yang ada dengan besar
yang tidak tentu.

166
Para bakul mempunyai peran yang amat besar karena mereka membuat
suatu kondisi dimana para nelayan selalu terikat kepada mereka. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa para bakul ini menjamin hidup nelayan dan keluarganya
dengan syarat seluruh hasil tangkapan di setor ke bakul. Bila musim paceklik atau
nelayan tidak membawa hasil tangkapan (empty hauling) maka nelayan boleh
berhutang kepada bakul yang pembayarannya dapat dilakukan kemudian. Uang
jaminan hidup nelayan dan keluarganya pun dihitung sebagai hutang. Demikian
pula bila nelayan ingin melakukan perbaikan atau pembelian alat/kapal baru. Para
bakul umumnya memberikan pinjaman yang merupakan utang dan harus dibayar
secara cicilan. Dengan demikian sepanjang hidupnya para nelayan Dadap ini
terus terkait dengan hutang yang sulit dibayar. Kegiatan lelang biasanya
dilakukan bila ada nelayan pendatang dari daerah lain seperti Tanjung Pasir atau
Kamal. Tetapi itu pun tidak dilakukan oleh petugas TPI melainkan oleh para
bakul. Retribusi yang diberikan tidak tentu jumlahnya.

Tempat Pelelangan Ikan Dadap secara struktural berada di bawah Dinas


Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, belum diserahkan kepada KUD
Mina Bahari yang ada disana. Menurut manajer TPI Dadap rencana untuk
menyerahkan pengelolaannya kepada KUD Mina Bahari sudah sejak lama tetapi
sampai sekarang belum ada realisasinya. Sampai saat sebelum vakum,
pengelolaan TPI Dadap dilakukan oleh dua orang yaitu seorang kepala TPI dan
seorang manajer TPI. Sarana dan prasarana yang sudah dimiliki oleh TPI Dadap
antara lain: tempat pelelangan, tempar parkir, mesjid, sarana air bersih, dermaga,
es, bak air, KUD, ruang pertemuan nelayan. Sedangkan SPBU dan MCK belum
tersedia dan masih mengandalkan prasarana dan sarana perorangan.

167
5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Kondisi Lingkungan Kawasan Dadap-Kamal Muara,


pemanfaatan dan ketergantungan daerah perikanan dari TPI Dadap
dan TPI Kamal Muara

5.1.1 Kondisi lingkungan kawasan Dadap-Kamal Muara

Bertambah buruknya kualitas perairan di sekitar kawasan pantai Dadap-


Kamal Muara menyebabkan aktivitas perikanan berada dalam kondisi yang
kurang baik jika dilihat dari rantai sanitasi dan higienis lingkungan dalam
kaitannya dengan proses produksi hasil perikanan. Beberapa aspek yang
dipengaruhi adalah sumberdaya ikan, habitat atau ekosistem dimana sumberdaya
ikan tersebut hidup, proses tataproduksi hasil perikanan, serta proses penanganan
dan pengolahannya.

Perairan yang tercemar akan mengakibatkan semakin tidak sesuainya


kondisi lingkungan tersebut dengan makhluk hidup yang biasanya tinggal di sana.
Pencemaran yang melampaui batas akan menyebabkan terganggunya pematangan
telur dan larva ikan; pertumbuhan larva yang tidak normal, serta mempengaruhi
proses perkembangbiakan generasi makhluk tersebut selanjutnya. Lingkungan
yang buruk ini juga akan mencegah mendekatnya induk untuk melakukan
pemijahan.

Ekosistem perairan yang tercemar akan mengganggu kesehatan makhluk


hidup yang ada di sekitarnya. Makhluk hidup yang dapat bergerak bebas seperti
ikan akan segera mencari perairan yang lebih baik dan subur, sementara yang
tidak dapat bergerak akan mencoba beradaptasi dengan lingkungannya yang
secara nyata sudah tercemar tersebut. Kerang hijau yang banyak dibudidayakan di
kawasan pantai Dadap-Kamal Muara adalah sejenis makhluk hidup yang
mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan perairan tercemar.
Menurut Setyobudiandi (2004), kandungan Pb yang tinggi di perairan Teluk
Jakarta tidak mengganggu proses metabolisme kerang hijau, meskipun kadar Pb
yang tinggi pada daging kerang hijau ini (mencapai 0,9 ppm) sudah jauh di atas
ambang batas aman yang ditetapkan oleh FAO sebesar 0,05 ppm sehingga tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi.

Menjauhnya sumberdaya ikan dari perairan di sekitar pantai Dadap-Kamal


Muara mengharuskan nelayan tradisional untuk mencari ikan lebih jauh ke tengah
ke perairan sekitar Kepulauan Seribu. Sebagaimana juga yang dirasakan oleh
nelayan yang tinggal di Kepulauan Seribu, mencari ikan dari hari ke hari semakin
sulit didapat. Nelayan sudah cukup mengetahui juga mengapa beberapa jenis ikan
banyak yang menghilang dari perairan mereka, namun upaya untuk ikut berusaha
memperbaiki kualitas lingkungan masih belum maksimal dilakukan. Tekanan
hidup yang berat telah menyebabkan upaya pelestarian ekosistem perairan bukan
merupakan prioritas utama para nelayan.

Aktivitas perikanan yang dilakukan di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal
Muara sedikit banyak berhubungan dengan kondisi perairan yang tercemar
tersebut. Untuk aktivitas pencucian perahu, alat tangkap, tempat pelelangan, dan
alat bantu lainnya selalu berkaitan dengan penggunaan air, baik air laut maupun
air sungai. Kontaminasi dari media air ini akhirnya akan sampai juga pada ikan
dan akhirnya ke konsumen.

Sebagaimana diidentifikasi oleh Suryaningrum (2003, lihat Bab 4),


peningkatan pencemaran perairan pantai Dadap juga disebabkan oleh kandungan
B3 dalam tanah urukan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk proses pengurukan
suatu perairan, belum dilakukan seleksi yang cermat terhadap material urukan
tersebut berkaitan dengan kelestarian lingkungan.

Dilihat dari aspek oseanografi (khususnya pasang surut), keberadaan TPI


Dadap dan Kamal Muara tidaklah dalam kondisi yang membahayakan. Hal ini
dilihat dari tidak terjadinya abrasi di wilayah pantai disekitarnya, tetapi malah
sedimentasi yang terus menerus dan memerlukan penanganan yang rutin agar alur
lalu lintas kapal ikan tetap terbuka dari dan ke pelabuhan.

Sebagaimana telah disampaikan dalam Bab 4, proses gerakan massa air


suatu perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan geografis dari wilayah

169
perairannya. Dengan memperhatikan keadaan geografis kawasan Muara Dadap,
kita dapat menduga bahwa pola arus di perairan ini sangat dipengaruhi oleh
pasang surut. Pola pasut di perairan ini ditentukan oleh pola pasut dari perairan
yang lebih besar yaitu Laut Jawa. Pasut dari Laut Jawa itu sendiri pun bukan
disebabkan oleh gaya pembangkit pasang astronomis (bulan dan matahari)
melainkan oleh rambatan pasut dari Lautan Pasifik yang memasuki Laut Jawa
melalui Laut Cina Selatan dan Selat Makasar (Pariwono 1985).

Pergerakan massa air secara mendatar (arus) di suatu perairan terbentuk


karena beberapa faktor, seperti oleh seretan angin, pasang surut, dan perbedaan
densitas air laut. Di wilayah perairan Banten, termasuk juga Teluk Dadap dan
Kamal Muara, arus laut utamanya terjadi karena pengaruh angin Muson dan
pasang surut. Mengingat wilayah utara Banten berada dalam sumbu utama angin
Muson, arus musim yang terbentuk mengalir kearah timur selama periode musim
Barat (Desember-Februari). Sebaliknya, dalam periode musim Timur (Juni-
Agustus) arus musim mengalir secara dominan ke arah barat. Kecepatan arus
Musim berkisar antara 20 sampai 40 cm/detik (PKSPL IPB 2004). Pasang surut
yang terjadi ini berasal dari Samudera Hindia yang merambat masuk melalui
perairan Selat Sunda. Sehingga secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang
surut diperkirakan bergerak ke arah utara dalam kondisi pasang, dan sebaliknya
kearah selatan dalam kondisi surut. Pengaruh kedalaman perairan lokal dan
morfologi pantai dapat memodifikasi arus tersebut.

Dengan asumsi bahwa kondisi pasut di Muara Dadap dan Kamal Muara
mirip dengan kondisi pasut di Tanjung Priok, maka perubahan yang terjadi di
Tanjung Priok akan dialami pula oleh daerah Muara Dadap. Hasil pengukuran
menunjukan bahwa kisaran pasut di Tanjung Priok adalah sekitar 1,0 m pada
waktu pasang purnama, dan sekitar 0,3 m pada waktu pasang perbani. Pasang
purnama adalah pasang tertinggi (dan surut terandah) yang dialami oleh suatu
perairan, terjadi pada bulan purnama atau bulan mati. Kebalikan pasang purnama
adalah pasang perbani, dimana kisaran pasutnya paling rendah, yang terjadi pada
waktu bulan sabit (perempat pertama dan perempat ke tiga). Pada kondisi pasang
purnama dan pasang perbani pada saat matahari berada dibelahan bumi utara

170
(bulan Juni), dan dibelahan bumi selatan (bulan Desember). Membandingkan
kedua pasut pada kedua bulan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kisaran pasut
terbesar di Tanjung Priok terjadi pada saat kedudukan matahari berada dibelahan
bumi selatan, yaitu antara bulan Oktober hingga Februari. Keadaan ini baik
berlaku pada waktu pasang purnama maupun ketika pasang perbani. Pengaruh
utama yang ditimbulkannya pada kecepatan arus di Perairan Teluk Jakarta. Arus
pasut di perairan ini akan relatif lebih deras ketika matahari berada pada belahan
bumi selatan dibanding ketika berada dibelahan bumi utara.

Proses reklamasi yang dilakukan di Pantai Dadap dan akan dilakukan juga di
pesisir Jakarta Utara dipastikan akan menimbulkan beberapa dampak positif dan
negatif. Dampak positifnya, sebagaimana direncanakan oleh para pengembang
dan juga pemerintah, untuk Pemda Tangerang dan masyarakat Dadap antara lain:
(1) Pembangunan fasilitas umum, seperti prasarana dan sarana transportasi dan
komunikasi;
(2) Penciptaan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja;
(3) Pendapatan pemerintah
Untuk Pemkot dan masyarakat Jakarta Utara dampak positif dari kegiatan
reklamasi yang akan dilakukan adalah:
(1) pembangunan kegiatan industri;
(2) fasilitas kegiatan pariwisata;
(3) perkantoran
(4) pusat bisnis;
(5) sarana transportasi; dan
(6) perumahan penduduk untuk 750. 000 1,9 juta jiwa.
Dalam setiap kegiatan pembangunan, para perencana hampir selalu lebih
menonjolkan berbagai target positif yang akan dapat dicapai dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya dampak negatif. Meskipun dampak positif yang akan
dicapai tersebut ternyata tidak atau hanya sedikit dinikmati oleh masyarakat di
sekitar proyek tersebut. Hal ini masuk akal karena tanpa dampak positif, mustahil
suatu program pembangunan dapat dibiayai. Hanya saja, cukup banyak program
pembangunan yang sekarang dilakukan lebih mengarah pada keuntungan ekonomi
semata, artinya dampak positif hanya bagi segelintir orang dan untuk jangka

171
pendek, tanpa memperhitungkan dampak negatif yang akan datang dalam jangka
panjang.
Reklamasi Pantai Dadap sudah menunjukkan beberapa dampak negatifnya
sebelum dampak positifnya diperoleh. Sebagaimana dapat diikuti dari berbagai
media massa (lihat Bab 4), dampak negatif yang sudah dirasakan penduduk sekitar
lokasi reklamasi adalah:
(1) terjadinya pendangkalan saluran Kali Perancis sehingga mengganggu
lalulintas perahu nelayan;
(2) kematian beberapa ekosistem mangrove
(3) peningkatan kontaminasi logam berat di perairan
(4) kerusakan prasarana transportasi selama proses pengurukan berlangsung
(kerusakan jalan karena kendaraan-kendaraan berat.
Dampak positif memang sudah diperoleh Pemda dari retribusi pengurukan
yang sudah dilakukan, meskipun tidak sebanding jika dibandingkan dengan
kerugian yang ditimbulkannya. Reklamasi yang sudah dilakukan sejak tahun
2002 dan kemudian menjadi masalah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu:
(1) Perencanaan tidak dilakukan secara terbuka kepada semua stakeholders;
(2) Kurang sosialisasi sehingga banyak stakeholders yang mendapat informasi
yang kurang tepat;
(3) Tidak dilakukan kajian analisis dampak lingkungan terlebih dahulu;
(4) Kurang melibatkan tenaga kerja lokal sejak awal pelaksanaan proyek.
(5) Aktivitas proyek..tidak diintegrasikan dengan kepentingan penduduk lokal.
Menurut Koordinator Himpunan Nelayan Dadap Mbing, warga Desa Dadap,
Kosambi, Kabupaten Tangerang, belum mengetahui ada proyek pengurukan laut
besa-besaran di Pantai Mutiara Dadap. Mereka bahkan tak peduli aktivitas
reklamasi kawasan untuk wisata bertaraf internasional tersebut. Menurut warga,
proyek reklamasi silakan saja. Asal, warga disediakan infrastruktur seperti tempat
pelelangan ikan, pengerukan Kali Perancis, serta perbaikan jalan. "Kami tak
peduli. yang penting bagi kami para nelayan bisa tetap melaut. Kampung Giri
Baru merupakan perkampungan nelayan yang dibangun 1975. Umar Bahrudin,
Ketua RW O2, Kampung Gili Baru, Desa Dadap, mengatakan, warga dari dulu

172
hanya ingin bekerja dengan didukung sarana prasarana yang memadai. Kepala
Desa Dadap Dames Taufik mengklaim, tidak ada masalah dengan warganya
terhadap reklamasi pantai itu. Menurut Dames, informasi kerusakan lingkungan
dan penolakan warga yang berkembang selama ini dikendalikan orang luar Dadap.
(Tempo Interaktif 2005b).
Menurut Charles (1992), bidang perikanan merupakan suatu sistem yang
sangat komplek dan dinamik, dimana terjadi interaksi diantara sumberdaya-
sumberdaya alam, manusia, dan kelembagaan; dan terdapat kecenderungan yang
mengherankan bahwa konflik yang seringkali terjadi sudah dianggap sebagai
sesuatu hal yang lumrah. Konflik yang terjadi umumnya disebabkan oleh
kelangkaan sumberdaya ikan, sistem bagi hasil diantara nelayan dengan pengolah,
serta konflik pengelolaan diantara nelayan dengan pemerintah. Konflik juga
umum terjadi dengan bidang diluar perikanan, seperti kehutanan, turisme, dan
pertambangan di lautan.
Setiap permasalahan tentu ada solusinya. Menurut Widjajanto (2004),
resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan
untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses
penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik.
Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama,
konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer,
namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki
suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang
spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula.
Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel
tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial
harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat
berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal
jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang
relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif
jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang
langgeng. Dirangkum dari berbagai sumber, Widjajanto (2004) menuliskan
bahwa terdapat 4 tahap resolusi konflik, yaitu: 1) Tahap I: de-eskalasi konflik; 2)

173
Tahap II: intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik; 3) Tahap III: problem-
solving approach; dan 4) Tahap IV: peace-building.
Dalam kasus konflik yang terjadi di kawasan Dadap, skala yang terjadi
masih sangatlah kecil karena tidak sampai melibatkan intervensi militer.
Sehingga, tampaknya resolusi yang dapat dilakukan adalah dengan komunikasi
yang baik, transparansi di antara kedua belah pihak, dan berbasis saling
menguntungkan. Widjajanto (2001) dalam Widjajanto (2004) mengusulkan
perlunya dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang
melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi
konflik Widjajanto (2004) mengutip beberapa referensi menyebutkan bahwa
aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental
Organisations (NGOs) (Aall 1996), mediator internasional (Zartman dan Touval
1996), atau institusi keagamaan (Sampson 1997 dan Lederach 1997).
Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan
yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan
disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di
tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik
menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah
berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan
identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di
suatu komunitas (Widjajanto 2004).
Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk menengahi konflik
kepentingan diantara Pemerintah, pengembang, dan penduduk ini adalah:

(1) Jika untuk menghasilkan satu meter persegi luasan tanah siap pakai hasil
reklamasi diperlukan rata-rata 12,3 meter kubik, maka untuk melakukan
reklamasi sekitar 1.000 hektar sebagaimana direncanakan dalam PerDa No 5
Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, dimana berdasarkan
peraturan itu, sekitar 20 km dari 50 km total panjang pantai di Kabupaten
Tangerang atau dari Dadap Kosambi hingga pantai Tanjung Kait,
Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas pantai yang akan
direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu seluas 10 km dari laut dan
satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektar. Untuk menimbun seluas

174
200 hektar saja, material yang dibutuhkan adalah 12,3 x 200 x 10.000 =
24.600.000 meter kubik. Sebagian dari kebutuhan material ini dapat diambil
dari dasar perairan Kali Perancis maupun Kali Kamal Muara, yang
merupakan jalur lalu lintas perahu nelayan.

(2) Pengerukan jalur lalulintas perahu nelayan di Kali Perancis sampai ke laut
yang berkedalaman sekitar 4 m, yaitu sampai sejauh 1.750 m dari garis
pantai. Jika diasumsikan kedalaman rata-rata Kali Perancis saat ini hanya
sekitar 50 cm, maka dengan lebar sungai sebesar 45 m dan panjang sungai
sampai ke laut yang berkedalam 4 m ada sekitar 2.000 m, maka jumlah
lumpur yang harus dikeruk adalah sebanyak 3,50 x 2.000 x 45 m3 = 315.000
m3. Artinya, hanya dengan memenuhi 1,28 % dari kebutuhan material
urukan maka masalah pendangkalan jalur lalu lintas perahu nelayan di Kali
Perancis sudah dapat ditanggulangi.

(3) Setelah proses pengerukan dilakukan, perlu dibangun suatu tanggul


disepanjang jalur lalu lintas kapal penangkap ikan tersebut agar terjadinya
pendangkalan dapat dihindarkan sedapat mungkin.

Konflik yang terjadi sebagai akibat dari rencana pembangunan Kota Air
Kamal Muara tidaklah seramai yang terjadi di Dadap, karena masih dalam fase
awal dimana hasil studi amdal dan masalah legal aspek dipertanyakan oleh
berbagai pihak. Mengacu pada pendapat Chua (2006) yang menyatakan bahwa
aktivitas manusia adalah faktor ke tiga yang mempengaruhi keterpaduan dan
kesehatan wilayah pesisir, dimana faktor pertama dan keduanya adalah daratan
dan perairan, maka untuk memecahkan konflik pengelolaan sumberdaya pesisir di
kawasan Dadap-Kamal Muara, faktor manusia harus berperan secara aktif untuk
mencari solusi pemecahannya. Chua (2006) menambahkan bahwa di suatu
kawasan pesisir yang tidak terdapat komunitas manusia, proses alami dapat
menjaga kondisi wilayah tersebut tetap pristine. Untuk menanggulangi konflik di
kawasan Dadap pada tahap ini, beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk
mencari solusi masalah tersebut antara lain:

175
(1) Semua diskusi dan perdebatan tentang aktivitas reklamasi Pantura harus
diwakili oleh semua stakeholders, tidak hanya dilakukan diantara para
pemerhati lingkungan, Pemda, dan Pemerintah Pusat;
(2) Perhatian dan pertimbangan terhadap pelestarian sumberdaya lingkungan
(plasma nutfah atau biodiversiti) harus juga memperhatikan keuntungan
yang perlu digali dan diperoleh untuk kepentingan masyarakat lokal yang
akan terkena dampaknya;
(3) Setiap perencanaan dan aktivitas yang akan dilakukan di lokasi proyek
(untuk setiap tahapan pelaksanaan proyek, mulai dari land clearing sampai
berjalannya aktivitas di lokasi tersebut setelah proyek fisik selesai), harus
dijelaskan kepada semua stakeholders, sehingga mereka akan menyadari
peran apa yang akan diambilnya.

Skenario solusi konflik reklamasi pesisir Dadap diantara para stakeholders


dicantumkan dalam Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Skenario solusi konflik reklamasi pesisir Dadap dan peran antar para
stakeholders
STAKEHOLDERS PERAN
PEMDA (1) Melaksanakan pertemuan diantara stakeholders untuk
mencari solusi masalah pengurukan pesisir Dadap
TANGERANG
(2) Memandu diskusi diantara wakil-wakil stakeholders tentang
manfaat proyek pembangunan kawasan Wisata Mutiara
Dadap serta kaitannya dengan kegiatan reklamasi yang
sedang dilakukan dan untung ruginya jika proyek diteruskan
atau dihentikan
(3) Mengumumkan secara terbuka rencana pembangunan
kawasan wisata Pantai Mutiara Dadap, dan melaksanakan
sosialisasi dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal
(4) Menetapkan kepada pengembang untuk mengambil bahan
urukan dari Kali Perancis dan sepanjang jalur pelayaran
perahu nelayan
(5) Menetapkan kepada pengembang untuk menggunakan tenaga
lokal dalam berbagai bidang
PENGEMBANG (1) Menjelaskan kepada Pemda, nelayan, dan penduduk setempat
tentang proyek reklamasi yang sedang dilaksanakan serta
beberapa peran dan keuntungan yang dapat diambil oleh
penduduk setempat, baik saat persiapan dan pelaksanaan
proyek maupun setelah berjalannya aktivitas
(2) Mendahulukan penggunaan tenaga kerja lokal dalam proses
reklamasi kawasan pesisir Dadap

176
Lanjutan Tabel 5.1
STAKEHOLDERS PERAN
(3) Melakukan pengerukan Kali Perancis dan jalur pelayaran
perahu nelayan sebagai material urukan pesisir Dadap
(4) Membangun dinding penahan longsor di sepanjang Kali
Perancis yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perahu dan
tempat bersandarnya perahu nelayan

NELAYAN (1) Membantu pemda dan pengembang untuk melakukan


pengerukan dasar Kali Perancis dan jalur pelayaran perahu
nelayan dimana lumpur hasil kerukan digunakan untuk
mereklamasi perairan pesisir.

(2) Dengan bertambah dalamnya Kali Perancis maka aktivititas


perikanan dapat dilakukan tanpa terganggu lagi
(3) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas
wisata bahari yang telah direncanakan pemerintah dan
pengembang di Pantai Mutiara Dadap
PENDUDUK LAIN (1) Melakukan koordinasi dan identifikasi kapasitas sumberdaya
manusia lokal yang dapat berperan-serta, baik dalam kegiatan
proyek reklamasi pantai Dadap maupun setelah kawasan
Wisata Pantai Mutiara Dadap tersebut berjalan.
(2) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas
wisata bahari yang telah direncanakan pemerintah dan
pengembang di Pantai Mutiara Dadap

Beberapa peran yang dapat ditawarkan kepada masyarakat setempat antara


lain:
1) berperan aktif primer (ikut terlibat secara langsung baik sebagai tenaga kerja
di tahap awal aktivitas pembangunan, maupun sebagai karyawan setelah
proyek fisik selesai);
2) berperan aktif sekunder (bergerak dalam bidang sarana pendukung
kegiatan);
3) tidak berperan, artinya sudah jelas berapa rupiah nilai uang yang akan
diperoleh dari proses pembebasan lahan, dan lain-lainnya yang akan
dilakukan.

Menurut informasi Nurhayati (2003), material urukan yang akan dipakai


untuk reklamasi pantura adalah berasal dari Tanjung Burung, Pulau Tidung,
Tanjung Kait, Tanjung Pontang, Pantai Cemara, Pasir Putih, serta bekas
pertambangan timah di Pulau Bangka, dan Belitung. Jumlah material yang
dibutuhkan untuk kegiatan reklamasi tersebut mencapai 335 juta meter kubik,

177
yang akan digunakan untuk mereklamasi pantai utara (Pantura) seluas 2.700
hektar sepanjang 32 km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi. Selain
memerlukan biaya transportasi yang sangat besar, pengambilan material urukan
tersebut tentu saja akan mempengaruhi ekosistim tempat material tersebut diambil.
Contoh paling nyata adalah Pulau Nipah di Batam, yang nyaris tenggelam akibat
pengerukan pasir laut oleh pengusaha untuk mereklamasi kawasan pesisir
Singapura. Reklamasi bandara Sukarno Hatta yang menggunakan pasir laut dari
perairan Indramayu, dampaknya berupa abrasi yang tidak terelakkan di pesisir
sepanjang Eretan, bahkan kini telah mendekati jalan raya Pantura. Lainnya, kasus
reklamasi Pantai Indah Kapuk, Jakarta, yang telah terbukti mendatangkan banjir
bagi penduduk setempat, apalagi jika pengurukan tersebut berskala besar.

Solusi yang disarankan untuk memecahkan masalah reklamasi ini dapat


dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Skenario solusi konflik rencana reklamasi pantura

STAKEHOLDERS PERAN
PEMKOT (1) Melaksanakan pertemuan diantara stakeholders untuk mencari
JAKARTA UTARA solusi masalah rencana reklamasi pantura yang dikaitkan
dengan program pembangunan DKI sebagai ibu kota negara;

(2) Memandu diskusi diantara wakil-wakil stakeholders tentang


manfaat proyek reklamasi pantura serta kaitannya dengan
pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, pertumbuhan penduduk
yang sangat pesat, dan pembenahan berbagai aktivitas
ekonomi masyarakat yang dilakukan di lokasi umum;
(3) Mengumumkan secara terbuka rencana pembangunan kawasan
kota air, dan melaksanakan sosialisasi dengan masyarakat,
khususnya masyarakat lokal
(4) Membuat kesepakatan diantara pengembang dengan
masyarakat pesisir yang terkena dampak pembangunan kota air
tersebut dan memberikan gambaran secara jelas kepada setiap
stakeholders apa yang akan terjadi pada saat proyek ini sudah
jadi dan berkembang, serta peran aktif apa yang dapat
dipegang oleh setiap stakeholders. Konsekuensi apa yang
akan diterima oleh penduduk lokal jika mereka aktif/tidak aktif
terlibat dalam aktivitas proyek, baik pada massa konstruksi
maupun saat kegiatan sudah berlangsung.
(5) Menetapkan kepada pengembang untuk menggunakan tenaga
lokal dalam berbagai bidang

178
Lanjutan Tabel 5.2
STAKEHOLDERS PERAN
PENGEMBANG
(1) Menjelaskan kepada Pemda, nelayan, dan penduduk setempat
tentang proyek reklamasi yang sedang dilaksanakan serta
beberapa peran dan keuntungan yang dapat diambil oleh
penduduk setempat, baik saat persiapan dan pelaksanaan
proyek maupun setelah berjalannya aktivitas
(2) Mendahulukan penggunaan tenaga kerja lokal dalam proses
reklamasi kawasan pesisir Kamal Muara
(3) Melakukan pengerukan Kali Kamal dan jalur pelayaran
perahu nelayan sebagai material urukan pesisir pantura
(4) Membangun dinding penahan longsor di sepanjang Kali
Kamal yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perahu dan
tempat bersandarnya perahu nelayan
NELAYAN (1) Membantu pemda dan pengembang untuk melakukan
pengerukan dasar Kali Kamal dan jalur pelayaran perahu
nelayan dimana lumpur hasil kerukan digunakan untuk
mereklamasi perairan pesisir.
(2) Dengan bertambah dalamnya Kali Kamal maka aktivititas
perikanan dapat dilakukan tanpa terganggu lagi
(3) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam program
pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi
PENDUDUK LAIN (1) Melakukan koordinasi dan identifikasi kapasitas sumberdaya
manusia lokal yang dapat berperan-serta, baik dalam kegiatan
proyek reklamasi pantura maupun setelah program
pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi
tersebut berjalan.
(2) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas
program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah
reklamasi

Menurut analisis Nurhayati (2003), Pemda DKI Jakarta tidak pernah menilai
ongkos kerusakan ekosistem, seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang,
ikan, dan ekosistem laut yang akan hilang dan terusir dari kawasan ini. Selain itu,
hilangnya mata pencarian ribuan pembudidaya ikan yang memanfaatkan Teluk
Jakarta selama ini, tidak pernah menjadi bahan pertimbangan. Pemda DKI tidak
pernah mengkaji secara mendalam aspek sosial dari penggusuran secara besar-
besaran terhadap penduduk setempat yang selama ini menjadi bagian dari sebuah
lingkungan dan turut menjaga dan melestarikannya, tetapi diusir yang belum jelas
mau dikemanakan dan akan bekerja apa nantinya. Sedangkan keahlian mayoritas
di kawasan itu adalah budidaya dan menangkap ikan.

179
Chua (2006) menjelaskan bahwa solusi untuk permasalahan yang komplek
di kawasan pesisir memerlukan suatu paradigma yang bergeser dari pendekatan
konvensional yang sekarang dilakukan ke suatu perencanaan yang cukup matang,
berorientasi ke masa depan, didasarkan pada paradigma pengelolaan yang objektif
yang mengintegrasikan antara kebijakan, peraturan perundang-undangan,
mekanisme implementasi, didukung pengetahuan ilmiah, pendanaan, dan
kapasitas pemberdayaan. Namun demikian, terdapat juga beberapa faktor
penghambat yang terus menerus yang menahan laju keberhasilan. Pertama,
terlalu banyak pihak yang terlibat dalam memperebutkan sumberdaya yang
terbatas sehingga memunculkan konflik multidimensi. Kedua, adanya
ketidakpastian (uncertainty) karena adanya kapasitas daya dukung lingkungan.
Sampai saat ini para ahli ilmu pengetahuan belum dapat menyediakan metoda
yang dapat diandalkan untuk menghitung atau memperkirakan daya dukung
lingkungan suatu ekosistem. Ketiga, pengelolaan sumberdaya alam gagal untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan populasi dan ekonomi yang cepat di wilayah
pesisir. Seringkali, pengelolaan sumberdaya alam cenderung terbatas untuk
menanggulangi krisis pengelolaan secara khusus. Keempat, tidak terdapat institusi
yang dapat dijadikan home-base untuk ICZM, artinya tidak ada lembaga yang
khusus dibentuk untuk menjalankan program ICZM. Kelima, banyak bantuan
dana luar negeri tidak digunakan secara efektif karena buruknya koordinasi
diantara lembaga-lembaga terkait.
Kebijakan pembangunan pemerintah daerah di Indonesia rata-rata lebih
didominasi oleh kepentingan politik jika dibandingkan dengan pertimbangan
ilmiah atau untuk kepentingan umum. Sebagai contoh, landasan hukum dari
proyek reklamasi Pantura sangat kontroversial, proyek ini tidak ada dalam
peraturan daerah tentang RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) 1960 - 1985
maupun RUTR 1985 - 2005. Tetapi tiba-tiba saja lahir Keppres No. 52 tahun
1995 tentang Reklamasi Pantura. Hal yang janggal ini justru dijadikan dalih oleh
Pemprov DKI untuk melakukan pelanggaran. Dalam Peraturan Daerah No. 6
tahun 1999 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010 muncul ketentuan
tentang reklamasi pantura. Selain itu, Keppres No. 52 sangat tidak visibel dan
tidak mengakomodir kepentingan ekologi dan sosial. Oleh karena itu, maka

180
dalam rangka konsolidasi di tingkatan LSM peduli lingkungan termasuk WALHI
Jakarta dan LP3ES pada 3 April 2003 lalu, forum sepakat untuk mengadakan
gugatan judicial review terhadap Keppres tersebut, bila diperlukan (Nurhayati
2003).
Ketidaksetujuan terhadap proyek reklamasi pantura juga ada di kalangan
birokrasi. Ali Sadikin mantan Gubernur DKI Jakarta, Emil Salim mantan Menteri
Lingkungan Hidup menentang keras proyek ini. Bahkan, terakhir Menteri LH
Nabiel Makarim, mengecam proyek ini dengan mengeluarkan SK Menteri No. 14
tahun 2003 untuk mencabut Keppres tentang Reklamasi Pantai Pantura Jakarta
dan diganti dengan Keppres pembatalan Reklamasi Pantai Pantura; dan yang
paling hangat pada tanggal 5 Mei 2003 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan
Rokhmin Dahuri baru-baru ini, Rokhmin Dahuri mendukung Nabiel Makarim soal
reklamasi (Nurhayati 2003).
Dipandang dari aspek konservasi sumberdaya perairan yang berbentuk flora
atau fauna bawah air, upaya reklamasi yang dilakukan oleh para pengembang
(juga di kawasan pesisir lainnya) sangat merugikan karena apa yang hidup di dasar
perairan belum seluruhnya sudah teridentifikasi. Dengan demikian, sumberdaya
plasma nutfah yang sangat berragam tersebut akan menjadi punah karena
dilakukannya penimbunan dasar perairan.

Kenyataan menunjukkan bahwa aktivitas eksplorasi yang bertujuan untuk


mengidentifikasi keragaman spesies yang terdapat di kawasan pesisir Indonesia
sebagian besar belum dilakukan. Kalaupun sudah, hanya dilakukan di sebagian
kecil kawasan yang mendapat kajian amdal pesisir yang sangat lengkap, sehingga
kekayaan spesies yang terdapat di dasar perairan pesisir dapat teridentifikasi.
Peningkatan polusi lingkungan perairan di beberapa kawasan pesisir
Indonesia (termasuk di lokasi penelitian) sudah sangat parah. Hal ini ditunjukkan
dengan warna air laut yang sudah kehitam-hitaman dengan bau yang lumpur yang
menusuk. Dalam kondisi perairan seperti ini, keberadaan berbagai spesies flora
dan fauna dikhawatirkan sudah mengalami kepunahan sehingga upaya reklamasi
yang dilakukan merupakan aktivitas yang dinilai lebih menguntungkan sepanjang
untuk tujuan menciptakan lingkungan yang lebih baik.

181
5.1.2 Analisis tingkat ketergantungan kawasan Dadap dan Kamal Muara
terhadap perikanan

Untuk melihat seberapa jauh ketergantungan kawasan Dadap-Kamal Muara


terhadap aktivitas perikanan, maka analisis data perikanan antara tahun 1999
sampai 2003, menunjukkan hasil sebagaimana tercantum pada Tabel 5.3 sampai
dengan Tabel 5.10. Hasil analisis ketergantungan daerah perikanan dengan
menggunakan WSA program dicantumkan dalam Lampiran 1.

Tabel 5.3 Rasio jumlah nelayan terhadap total penduduk (RNt) RNt = Pt ti
N

TAHUN RNt Dadap/Tangerang RNt Kamal Muara/Jakarta Utara


1999 1.330/2.508.826 = 0,0005301 723/1.105.270 = 0,0006541
2000 1.330/2.632.460 = 0,0005052 717/1.115.189 = 0,0006429
2001 1.345/2.873.256 = 0,0004681 717/1.134.253 = 0,0006321
2002 1.351/3.056.423 = 0,0004420 715/1.149.732 = 0,0006219
2003 1.351/3.185.994 = 0,0004240 715/1.169.785 = 0,0006112
RNt 0,0004739 0,0006324

Tabel 5.4 Rasio jumlah nelayan terhadap total tenaga kerja (RMt) RMt = TKt
ti N

TAHUN RMt Dadap/Tangerang RMt Kamal Muara/Jakarta


Utara
1999 1.330/1.254.413 = 0,00106026 723/662.635 = 0,001091098
2000 1.330/1.316.230 = 0,00101046 717/557.595 = 0,001285879
2001 1.345/1.436.628 = 0,00093622 717/567.127 = 0,001264267
2002 1.351/1.528.212 = 0,00088404 715/574.866 = 0,001243768
2003 1.351/1.592.997 = 0,00084809 715/584.893 = 0,001222445
RMt 0,0009478 0,001221489

Tabel 5.5 Rasio jumlah hasil tangkapan ikan RPIt = PI


PI
ti

tj
TAHUN RPIt Dadap/Tangerang RPIt Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 3.407.844/11.619.400 = 0,293289154 256.080/95.508.195 = 0,002681
2000 3.634.528/16.896.000 = 0,215111742 285.200/57.809.547 = 0,004933
2001 4.266.704/17.725.900 = 0,240704505 548.060/48.698.102 = 0,011250
2002 3.983.649/16.854.250 = 0,236358722 539.500/56.473.208 = 0,009553
2003 3.309.000/16.834.000 = 0,196566531 529.550/58.665.878 = 0,009063
RPIt 0,236406086 0,007496

182
Tabel 5.6 Rasio jumlah kapal ikan (RKt) RKt = KI ti
JK

ti

TAHUN RKt Dadap/Tangerang RKt Kamal Muara/Jakarta


Utara
1999 289/910 = 0,317582 1.091/3.442 = 0,316967
2000 289/900 = 0,321111 1.091/3.445 = 0,316691
2001 288/908 = 0,317181 1.094/3.450 = 0,317101
2002 288/909 = 0,316832 1.096/3.453 = 0,317505
2003 288/1.903 = 0,151340 1.097/3.456 = 0,317419
RKt 0,284092 0,3171366

Tabel 5.7. Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan (RTKPt)
RTKPt = TK ti
TKP
tm
TAHUN RTKPt Dadap/Tangerang RTKPt Kamal Muara/Jakarta
Utara
1999 22/1.254431 = 0,0000175378 30/552.635 = 0,0000542854
2000 19/1.316.230 = 0,0000145322 30/557.595 = 0,0000538025
2001 18/1.426.628 = 0,0000126172 27/567127 = 0,0000476084
2002 16/1.528.212 = 0,0000469752 27/574.866 = 0,0000469675
2003 16/1.592.997 = 0,0000439112 25/584.893 = 0,0000427429
RTKP 0,00027114 0,000050319

Tabel 5.8 Rasio kontribusi sektor perikanan wilayah desa terhadap wilayah
KPI ti =
( PDBP t / PDBT i )
kabupaten/kota (KPIti) n

TAHUN KPIt Dadap/Tangerang KPIt Kamal Muara/Jakarta Utara


1999 19/4.872.871 = 0,00000389914 12,800/12.687.807 = 0,00000100884
2000 16/4.143.805 = 0,00000386119 39,091/13.121.547 = 0,00000297915
2001 13/4.354.487 = 0,00000298543 71,193/14.646.409 = 0,00000486078
2002 11/4.533.161 = 0,00000242656 62,099/15.192.265 = 0,00000408754
2003 9,9/4.761.955 = 0,00000207898 73,897/16.759.956 = 0,00000440914
KPIti 0,000003049 0,000003468

183
Tabel 5.9 Rasio kesempatan kerja sektor perikanan wilayah desa terhadap total
RKK t = Pt ti
KK
jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota (KPIti)

TAHUN RKKIt Dadap/Tangerang RKKIt Kamal Muara/Jakarta Utara


1999 3/2.508.826 = 11,9578e-7 3/1.105.270 = 2,7143e-6
2000 2/2.632.460 = 7,5975e-7 3/1.115.189 = 2,6901e-6
2001 2/2.873.256 = 6,9607e-7 3/1.134.253 = 2,6449e-6
2002 2/3.056.423 = 6,5436e-7 3/1.149.732 = 2,6093e-6
2003 2/3.185.994 = 6,2775e-7 3/1.169.785 = 2,5646e-6
RKKti 7,8674e-7 2,6446e-6

Tabel 5.10 Rasio industri sektor perikanan wilayah desa terhadap jumlah
penduduk wilayah kabupaten/kota (RI ) RI = ti
KK
ti ti Pt

TAHUN RIt Dadap/Tangerang RIt Kamal Muara/Jakarta Utara


1999 1/2.508.826 = 3,9859e-7 1/1.105.270 = 9,0476e-7
2000 1/2.632.460 = 3,7987e-7 1/1.115.189 = 8,9671e-7
2001 1/2.873.256 = 3,4804e-7 1/1.134.253 = 8,8164e-7
2002 1/3.056.423 = 3,2718e-7 1/1.149.732 = 8,6977e-7
2003 1/3.185.994 = 3,1384e-7 1/1.169.785 = 8,5486e-7
RIti 3,53504e-7 8,81548e-7

Jika nilai-nilai variabel ketergantungan ekonomi tersebut dirata-ratakan


untuk jangka waktu 5 tahun tersebut, maka diperoleh data input sebagaimana
tercantum dalam Tabel 5.11.

Tabel 5.11 Hasil rataan variabel ketergantungan daerah penangkapan.


Input data set
VARIABEL DADAP KAMAL MUARA BOBOT
RN 0,0004739 0,0006324 8
RM 0,0009478 0,001221489 8
RPI 0,236406086 0,007496 8
RK 0,284092 0,3171366 8
RTKP 0,00027114 0,000050319 8
KPI 0,000003049 0,000003468 8
RKK 7,87E-07 2,64E-06 2
RI 3,54E-07 8,82E-07 2

184
Dengan menggunakan multicriteria evaluation of alternatives maka
dihasilkan perhitungan sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.12.

Tabel 5.12 Hasil modifikasi dari input data rataan variabel ketergantungan
daerah penangkapan.

VARIABEL DADAP KAMAL BOBOT IDEAL BASAL


MUARA
MAX RN 0,0004739 0,0006324 0,15385 0,0006324 0,0004739
MAX RM 0,0009478 0,001221489 0,15385 0,001221489 0,0009478
MAX RPI 0,236406086 0,007496 0,15385 0,236406086 0,007496
MAX RK 0,284092 0,3171366 0,15385 0,3171366 0,284092
MAX RTKP 0,00027114 0,000050319 0,15385 0,00027114 0,000050319
MAX KPI 0,000003049 0,000003468 0,15385 0,000003468 0,000003049
MAX RKK 7,87E-07 2,64E-06 0,03846 2,6446E-06 7,8674E-07
MAX RI 3,54E-07 8,82E-07 0,03846 8,81548E-07 3,53504E-07

Setelah dilakukan pengolahan standarisasi data dengan normalisasi,


diperoleh hasil sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.13.

Tabel 5.13 Hasil normalisasi data berbagai variable ketergantungan perikanan


daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003.

VARIABEL DADAP KAMAL MUARA BOBOT IDEAL BASAL


MAX RN 0,00000 1,00000 0,15385 0,0006324 0,0004739
MAX RM 0,00000 1,00000 0,15385 0,001221489 0,0009478
MAX RPI 1,00000 0,00000 0,15385 0,236406086 0,007496
MAX RK 0,00000 1,00000 0,15385 0,3171366 0,284092
MAX RTKP 1,00000 0,00000 0,15385 0,00027114 0,000050319
MAX KPI 0,00000 1,00000 0,15385 0,000003468 0,000003049
MAX RKK 0,00000 1,00000 0,03846 2,6446E-06 7,8674E-07
MAX RI 0,00000 1,00000 0,03846 8,81548E-07 3,53504E-07

Analisis multi kriteria dengan pemberian bobot antara 0-1 terhadap setiap
variabel tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan daerah perikanan dari Desa
Dadap lebih kecil dari pada Kelurahan Kamal Muara dengan nilai 0,30769 dan
0,69231. Sementara itu, lebih banyak variabel yang berpengaruh terhadap Kamal

185
Muara (yaitu RN, RM, RK, RKK, dan RI) jika dibandingkan dengan Dadap (RPI
dan RTKP).

Dengan cara yang sama dilakukan analisis data per tahun. Hasil analisis
data menunjukkan bahwa dari tahun 1999 sampai 2003, nilai ketergantungan
kedua daerah tersebut menunjukkan adanya perubahan, sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 5.14.

Tabel 5.14 Hasil analisis data tahunan berbagai variable ketergantungan


perikanan daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003.
TAHUN LOKASI
Dadap Kamal Muara
1999 0,46154 0,53846
2000 0,46154 0,53846
2001 0,34615 0,65385
2002 0,30769 0,69231
2003 0,19231 0,80769

Dari Tabel 5.14 terlihat bahwa nilai ketergantungan perikanan dari Desa
Dadap berubah semakin kecil jika dibandingkan dengan Kelurahan Kamal Muara.
Pada tahun 1999 dan 2000, nilai ketergantungan perikanan Desa Dadap sebesar
0,46154 sedangkan Kelurahan Kamal Muara sebesar 0,53846. Menurut Briguglio
(1995) dalam Symes (2000), besaran nilai ini termasuk tipe ketergantungan
sedang. Pada tahun 2001 dan 2002, status ketergantungan perikanan Desa Dadap
bertambah kecil sedangkan sebaliknya Kelurahan Kamal Muara semakin besar
(dengan tipe ketergantungan sedang). Baru pada tahun 2003, sementara
ketergantungan Desa Dadap terhadap perikanan semakin kecil, maka
ketergantungan perikanan Kelurahan Kamal Muara semakin besar dan termasuk
kelompok besar.

Menurut Phillipson (2000), analisis ketergantungan perikanan dapat


dilakukan secara lengkap dengan menghitung juga indeks sosial-demografis.
Indeks sosial-demografis ini termasuk demografi {pertumbuhan dan struktur
penduduk (tingkat kenaikan/penurunan jumlah penduduk tahunan); rasio
ketergantungan (rasio penduduk dibawah usia kerja/manula terhadap populasi
tenaga kerja); rasio gender; tingkat kelahiran dan kematian kasar; tingkat migrasi

186
bersih; densitas populasi, tingkat perceraian dan perkawinan}, perumahan {indeks
pembangunan rumah baru; tingkat penghunian (jumlah rata-rata orang yang
tinggal dalam setiap ruangan); indeks keramah-tamahan (amenity) (rata-rata
jumlah mobil, jumlah rumah tangga tanpa kebutuan dasar); indeks kepemilikan
(proporsi antara rumah milik yang ditempati, disewakan, dll); kesehatan {harapan
hidup, tingkat kematian bayi, indeks pemeliharaan kesehatan (rata-rata jumlah
rumahsakit, dokter gigi, dokter, dan jumlah tempat tidur di rumah sakit per
populasi penduduk); serta pendidikan {tingkat pendidikan (jumlah dan katagori
pendidikan pada berbagai kualifikasi). Meskipun indeks ketergantungan
perikanan dan indeks ketergantungan ekonomi diberi bobot yang lebih besar
karena mempunyai relevansi langsung terhadap ketergantungan regional,
meskipun masih dapat menjadi bahan perdebatan. Sulitnya mendapatkan data
yang akurat menyebabkan indeks sosial-demografis ini tidak dapat dilakukan.

Realita di lapangan menunjukkan bahwa perkembangan pembangunan


fisik infrastruktur di Desa Dadap (antara lain bertambahnya areal pergudangan)
tampaknya juga berpengaruh terhadap status ketergantungan terhadap kegiatan
perikanan. Dengan demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa TPI Dadap
sudah tidak layak lagi sebagai tempat pendarat kapal ikan, jadi perlu dikonversi
menjadi tempat lain yang sesuai dengan perkembangan program pembangunan di
sekitarnya.

5.2 Analisis Struktur Komposisi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah,


Pemusatan Aktivitas serta Distribusi dan Hierarki Pelayanan Fasilitas
Sosial

Aspek pengembangan wilayah di kawasan Dadap-Kamal Muara


menunjukkan gambaran terjadinya pergeseran kemajuan dari arah Dadap ke
Kamal Muara da n terus ke arah pusat Kota Jakarta Utara. Pergeseran ini tampak
dari hasil analisis skalogram dan shift share. Pengembangan wilayah di kawasan
penelitian berlangsung relatif cepat, khususnya di wilayah timur yang termasuk
DKI Jakarta. Meskipun lebih lambat, gerak pembangunan fisik di wilayah Dadap
juga lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah di sebelah baratnya.

187
5.2.1 Komposisi pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah

Shift share (pergeseran pertumbuhan) adalah analisis yang digunakan untuk


mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan yang dapat diidentifikasi
dengan menggunakan data yang sama dengan data untuk identifikasi pusat
pertumbuhan, yaitu data penduduk menurut aktivitas perekonomian yang
dilakukan serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) setiap kabupaten/kota.
Data PDRB Provinsi Banten dicantumkan dalam Lampiran 2, sedangkan PDRB
Kota Jakarta Utara pada Lampiran 3. Kabupaten Serang dan Analisis shift share
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor atau aktivitas apa yang paling
kompetitif dikembangkan di setiap unit analisis. Nilai koefisien shift share yang
negatif menunjukkan terjadinya penurunan laju aktivitas, dan sebaliknya nilai
koefisien yang posisif menunjukkan terjadinya peningkatan laju aktivitas.

Dalam penelitian ini, analisis shift share digunakan untuk memahami pola
perkembangan aktivitas perekonomian yang paling kompetitif sekaligus paling
dinamis di wilayah penelitian. Informasi ini diperlukan untuk kebutuhan
membangun Model Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara
dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir.

Nilai setiap komponen tersebut berkisar dari negatif hingga tak hingga
sampai dengan positif tak hingga. Nilai differential share yang positif di suatu
unit analisis pada aktivitas tertentu menunjukkan bahwa aktivitas tersebut
kompetitif untuk di unit tersebut. Sebaliknya, jika negatif berarti aktivitas tersebut
tidak kompetitif jika dijadikan sebagai pilihan aktivitas. Profil pertumbuhan
PDRB Kabupaten Tangerang periode 2000 -2002 dicantumkan pada Gambar 5.1.

Berdasarkan hasil analisis shift share, untuk Kabupaten Tangerang nilai


pertumbuhannya adalah sebesar 22,25 %, dengan komponen pertumbuhan
proporsional (PP.j) sebesar 0,4 dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah
(PPW.j) sebesar 0,7. Dengan mengekspresikan persen perubahan komponen
pertumbuhan proporsional (PP.j) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW.j) pada
sumbu PP (sebagai absis) dan PPW (sebagai ordinat), tampak bahwa PDRB

188
Kabupaten Tangerang terletak pada Kwadran I, yang berarti sektor-sektor tersebut
pertumbuhannya cepat (PP.j=0). Demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-
sektor tersebut cukup baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya
(PPW.j=0). Hal ini juga menunjukkan bahwa pergeseran bersih bernilai positif
(PB.j=0) yang berarti Kab. Tangerang merupakan wilayah progresif.

1.00

PB.j=0

0.50
IV I

PP 0.00
-1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00

III -0.50 II

-1.00
PPW

Gambar 5.1. Profil pertumbuhan PDRB Kabupaten Tangerang 2000 -2002

Hasil analisis shift share untuk Kota Jakarta Utara menunjukkan bahwa nilai
pertumbuhannya adalah sebesar -9,93 %, dengan komponen pertumbuhan
proporsional (PP.j) sebesar -0,51 dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah
(PPW.j) sebesar -0,38. Dengan mengekspresikan persen perubahan komponen
pertumbuhan proporsional (PP.j) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW.j) pada
sumbu PP (sebagai absis) dan PPW (sebagai ordinat) sebagaimana dapat dilihat
pada Gambar 5.2.

Dari Gambar 5.2 tampak ternyata Kota Jakarta Utara terletak pada Kwadran
III, yang berarti sektor-sektor tersebut pertumbuhannya lambat (PP.j=0) dan juga

189
daya saing wilayah untuk sektor-sektor pertumbuhannya lambat apabila
dibandingkan dengan wilayah lainnya (PPW.j=0). Hal ini juga menunjukkan
bahwa pergeseran bersih bernilai negatif (PB.j=0) yang berarti Kota Jakarta Utara
merupakan wilayah lamban.

1.00

PB.j=0

0.50
IV I

P 0.00
1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00

III -0.50 II

-1.00
PPW

Gambar 5.2. Profil pertumbuhan PDRB Kota Jakarta Utara 2000-2003

5.2.2 Pemusatan aktivitas ekonomi wilayah

Sebagaimana telah dinyatakan dalam Bab 3, analisis LQ (Location Quotient)


digunakan untuk menganalisis pergeseran pemusatan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi di lokasi penelitian (Kecamatan Penjaringan-Jakarta Utara dan
Kecamatan Kosambi-Kabupaten Tangerang), untuk kurun waktu antara 2000
2002. Berdasarkan ketentuan dalam analisis LQ, dapat dijelaskan bahwa apabila
LQ kurang dari 1, maka di daerah tersebut tidak terjadi pusat aktivitas. Disamping
itu, dapat pula diartikan bahwa wilayah dengan koefisien LQ kurang dari 1
merupakan wilayah yang aktivitas di sektor yang dikaji memiliki intensitas yang
lebih rendah dibandingkan dengan rataan aktivitas di seluruh wilayah yang dikaji.
Sebagian dari penduduk wilayah yang bersangkutan harus memanfaatkan fasilitas
atau melakukan aktivitas tersebut di wilayah luar administrasinya. Sedangkan

190
apabila nilai LQ lebih besar dari 1, maka berdasarkan hasil analisis ditentukan
bahwa daerah tersebut menjadi pusat aktivitas. Indeks LQ yang lebih besar dari 1
juga mengindikasikan terjadinya aktivitas yang sangat intensif dan melebihi rata-
rata wilayah lain. Banyak penduduk dari wilayah lain yang memanfaatkan
fasilitas penunjang aktivitas ataupun melakukan aktivitas sektor tersebut di
wilayah yang bersangkutan.. Sementara apabila nilai LQ sama dengan 1, maka
diartikan bahwa sub wilayah tersebut mempunyai pangsa aktivitas setara atau
sama dengan pangsa lokal.

Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa untuk Kabupaten Tangerang


lapangan usaha (komoditi unggulan) yang perlu dikembangkan adalah listrik, gas
dan air (nilai LQ 1,47); keuangan, persewaan dan jasa (nilai LQ 1,38); industri
pengolahan (nilai LQ 1,09); dan pertanian termasuk perikanan (nilai LQ 1,07).
Dengan demikian, komoditi perikanan, sebagai sektor yang dikaji dalam
penelitian ini masih merupakan sektor unggulan karena nilai LQ > 1 dan sudah
terspesialisasi dengan baik. Hasil analisis LQ sesaat dan LQ dari tahun 2000
2002 untuk Kabupaten Tangerang dapat dilihat pada Gambar 5.3 dan Gambar 5.4.

Nilai LQ
1.60

1.40

1.20

1.00

0.80

0.60

0.40

0.20

-
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Keterangan:1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Galian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas


dan Air; 5. Bangunan; 6. Perdagangan, Hotel dan Restauran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi;
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa.

Gambar 5.3. Grafik LQ sesaat untuk komoditi unggulan di Kabupaten


Tangerang pada Tahun 2003

191
1.80
1
1.60
2
1.40
3
1.20
4
1.00
5
0.80
6
0.60
7
0.40
8
0.20
9
-
Nilai LQ2000 Nilai LQ2001 Nilai LQ 2002

Keterangan: 1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Galian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas


dan Air; 5. Bangunan; 6. Perdagangan, Hotel dan Restauran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi;
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa.

Gambar 5.4. Grafik LQ untuk komoditi unggulan di Kabupaten Tangerang pada


Tahun 2000 - 2002

Perhitungan nilai LQ secara berturut dari tahun 2000 hingga tahun 2002
terhadap lapangan usaha (komoditi) unggulan di Kabupaten Tangerang
menunjukkan adanya kecenderungan tidak terjadi perubahan yang berarti (relatif
stabil), baik untuk sektor listrik, gas dan air; keuangan, persewaan dan jasa;
industri pengolahan; maupun untuk sektor pertanian, termasuk perikanan. Dapat
dikatakan bahwa peningkatan sektor unggulan untuk meningkatkan nilai LQ
nampaknya harus ada input dari luar daerah untuk merangsang pertumbuhan
masing-masing sektor di daerah ini.

Untuk analisis LQ Jakarta Utara, lapangan usaha (komoditi unggulan) yang


perlu dikembangkan adalah industri pengolahan (nilai LQ 2,44) dan pertanian
(nilai LQ 1,69), dan sektor pengangkutan dan komunikasi (nilai LQ 1,42).
Dengan demikian, komoditi pertanian yang didalamnya termasuk perikanan,
sebagai sektor yang dikaji dalam penelitian ini masih merupakan sektor unggulan
karena nilai LQ > 1 dan sudah terspesialisasi dengan baik, sebagaimana
dicantumkan dalam Gambar 5.5 dan Gambar 5.6.

192
LQ 2003
3.00

2.44
2.50

2.00
1.69

1.42
1.50 LQ 2003

1.00 0.76 0.71 0.66


0.40
0.50
0.22

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8

Keterangan:
1. Pertanian; 2. Industri Pengolahan; 3. Listrik, Gas dan Air; 4. Bangunan; 5. Perdagangan,
Hotel dan Restauran; 6. Pengangkutan dan Komunikasi; 7. Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan; 8. Jasa-jasa.
Gambar 5.5. Grafik LQ sesaat untuk komoditi unggulan di Kota Jakarta Utara
pada Tahun 2003

3.00
1
2.50 2

2.00 3
4
1.50
5

1.00 6
7
0.50
8

-
Nilai LQ 2000 Nilai LQ 2001 Nilai LQ 2002 Nilai LQ 2003

Keterangan:
1. Pertanian; 2. Industri Pengolahan; 3. Listrik/Gas/Air; 4. Bangunan; 5. Perdagangan/Hotel dan
Restauran; 6. Pengangkutan/Komunikasi; 7. Keuangan/PersewaanJasa Perusahaan; 8. Jasa-jasa.

Gambar 5.6. Grafik LQ untuk komoditi unggulan di Kota Jakarta Utara pada
Tahun 2000 2003

193
5.2.3 Distribusi dan hierarki pelayanan fasilitas sosial

Dari hasil analisis skalogram dapat disimpulkan bahwa untuk wilayah


Kecamatan Penjaringan yang menjadi pusat pelayanan atau pusat pengembangan
wilayah utama adalah Kelurahan Pejagalan dan Kelurahan Pluit. Di Kamal
Muara, masih banyak kekurangan fasilitas sosial antara lain pelayanan kesehatan
(rumah bersalin dan bidan), pelayanan pendidikan (SMA dan perpustakaan), dan
sarana penunjang perekonomian (pasar inpres, mall, swalayan, restaurant, hotel,
dll.). Meskipun demikian, untuk Kecamatan Kosambi, Dadap merupakan pusat
pelayanan atau pusat pengembangan, dengan total jumlah fasilitas mencapai 18
tipe fasilitas. Kondisi ini berbeda dengan Kamal Muara dimana jumlah total
fasilitasnya mencapai 19 tipe namun termasuk wilayah yang masih kekurangan
fasilitas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi pergerakan penduduk
dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas pelayanan, dimana diperkirakan penduduk
yang bermukim di wilayah Dadap atau Kamal Muara bergerak ke wilayah sekitar
Kecamatan Penjaringan seperti Pejagalan dan Pluit, karena di wilayah ini fasilitas
pelayanannya cukup lengkap. Data selengkapnya mengenai hasil analisis
skalogram untuk wilayah Kecamatan Penjaringan dan Kecamatan Kosambi dapat
dilihat pada Tabel 5.15 dan Lampiran 4 dan Lampiran 5.

Jumlah tipe fasilitas yang terdapat di Desa Dadap adalah 18, hal ini
menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Kecamatan
Kosambi (yang jumlah total tipe fasilitasnya sebanyak 111 buah), maka Desa
Dadap merupakan desa yang paling maju. Namun demikian, untuk Kelurahan
Kamal Muara (dengan jumlah tipe fasilitas 19 buah) jika dibandingkan dengan
kelurahan-kelurahan lainnya di Kecamatan Penjaringan (yang jumlah total tipe
fasilitasnya sebanyak 148 buah), maka Kelurahan Kamal Muara merupakan
kawasan yang paling kurang maju. Dari keseluruhan gambaran tersebut dapat
diamati bahwa pergerakan kemajuan pembangunan di tingkat desa dan kelurahan
di kawasan Dadap-Kamal Muara bergerak mengarah ke pusat aktivitas di Ibu Kota
Jakarta. Kondisi ini memang akan memicu terjadinya migrasi tenaga kerja dari
tempat yang kurang ke tempat yang banyak fasilitasnya.

194
Tabel 5.15 Hierarki wilayah Kecamatan Kosambi dan Penjaringan berdasarkan
analisis skalogram
Jumlah Tipe Jumlah Unit Peringkat
Fasilitas Fasilitas
Kosambi
Dadap 18 64 1
Kosambi Timur 15 32 2
Salembaran Jaya 12 39 3
Rawa Burung 11 42 4
Rawa Rengas 10 45 5
Cengklong 10 32 6
Belimbing 10 26 7
Jati Mulya 9 28 8
Kosambi Barat 8 17 9
Salembaran Jati 8 17 10
Jumlah Tipe 111
Jumlah Unit 342
Penjaringan
Pejagalan 37 339 1
Pluit 34 164 2
Penjaringan 31 205 3
Kapuk Muara 27 92 4
Kamal Muara 19 45 5
Jumlah Tipe 148
Jumlah Unit 845

Untuk mengurangi tekanan dari kemungkinan terjadinya migrasi penduduk


dari daerah sekitar Dadap ke ke arah wilayah DKI Jakarta (yang berarti pula
terjadinya pergesaran kegiatan ekonomi), maka Pemerintah Kabupaten Tangerang
harus menciptakan berbagai kegiatan yang dapat memancing terjadinya
pergerakan orang dan barang (aktivitas ekonomi) dari daerah disekitar kawasan
Dadap ke wilayah Tangerang sendiri. Rencana pembangunan kawasan wisata
Pantai Pasir Putih Mutiara Dadap merupakan salah satu peluang untuk terjadinya
hal tersebut. Namun demikian, suatu studi kelayakan yang menyeluruh perlu
dilakukan mengingat keberadaan pusat-pusat kegiatan wisata yang ada di wilayah
Jakarta Utara akan sangat sulit untuk ditandingi. Pengembangan objek wisata
yang terjangkau oleh masyarakat luas (lebih murah), baik harga tiket masuk dan
maupun harga-harga produk yang dijajakan, sarana dan prasarana transportasi
yang memadai, serta objek wisata dan atraksi yang disajikan tetap menarik para
wisatawan.

195
5.3 Analisis pemanfaatan lahan dan daya tampung pelabuhan perikanan di
kawasan Dadap-Kamal Muara
Pengembangan suatu pelabuhan perikanan harus mempertimbangkan
kondisi lahan yang tersedia di kawasan tersebut. Sebagai daerah yang terletak di
perbatasan kabupaten/kota dan provinsi, kawasan Dadap-Kamal Muara
mempunyai tingkat perubahan pemanfaatan lahan yang sangat pesat.

5.3.1 Pemanfaatan lahan di kawasan Dadap-Kamal Muara

Sebagai kawasan yang terletak di perbatasan antara Pemkot Jakarta Utara


dan Kabupaten Tangerang, dinamika perencanaan pembangunan di kawasan ini
sangat tinggi. Hal ini dapat diamati dari berbagai berita di media massa, mulai
dari aktivitas perencanaan pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya,
Pelabuhan Peti Kemas atau Kapal Barang, dan kawasan Wisata Mutiara Dadap.
Dinamika perencanaan yang tinggi ini sangat dipengaruhi oleh munculnya Orde
Otonomi Daerah yang telah terjadi dan melahirkan konsep desentralisasi sistem
pemerintahan. Berdasarkan perjanjian kerjasama antara BPP Teknologi dan
Perum Angkasa Pura II yang tertuang dalam surat No SWT 07/HK.90/APH-1993
dan No. 345/DB- PKA/BPPT/XII/93, BBP Teknologi telah menyewa sebidang
tanah seluas 6,5 hektar di pantai Muara Dadap, Desa Dadap, Kecamatan Kosambi
Kabupaten Tangerang. Tanah tersebut diperuntukkan sebagai Dermaga Sandar
Kapal Riset BPPT Baruna Jaya, yang awalnya berupa tanah kosong dan tidak
berpenduduk. Menurut berita Media Indonesia, sejak tahun anggaran 1994/95,
BPPT sudah mengaspal dan mengembangkan site plan dan pemagaran di lokasi
tanah kosong tadi. Atas dasar itu, BPPT meminta agar pihak yang berkepentingan
di kawasan itu mengetahui bahwa pembangunan dermaga sandar Armada Kapal
Riset BPPT Baruna Jaya akan dilaksanakan pada tanah kosong yang sudah
dipagar sejak 1994 (IN/EKON: MI - N-250 Kejar Sertifikasi,
apakabar@clark.net, Rabu 29 Mei 1996 - 17:15:00).

Tahun 1996, BPPT menjadi Panitia Indonesia Air Show (IAS) yang sempat
menimbulkan issu akan menggusur tanah rakyat di Desa Gili-Dadap, Kecamatan
Kosambi, Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari 800 KK nelayan (Republika
Online 1996). Issu ini ternyata tidak benar karena pelaksanaan pergelaran

196
dirgantara IAS 96 itu terletak di lokasi pelabuhan udara Soekarno-Hatta pada
kuadran II (sebelah terminal II-internasional).

Konflik pemanfaatan ruang di kawasan Dadap terus berlanjut dengan


dilakukannya reklamasi (pengurukan) kawasan pesisir dimana awalnya Pelabuhan
Kapal Riset Baruna Jaya akan dibangun. Menurut juru bicara pengembang
(Tubagus Dudy Chumaidi) yang dikutip media massa menyebutkan bahwa
kawasan Dadap dipilih karena wilayah itu berpotensi untuk dikembangkan sebagai
kawasan wisata terpadu (Suara Pembaharuan Daily 2004).

Dari berbagai berita di media massa dapat disimak bahwa proses reklamasi
yang sedang dilakukan ternyata menuai berbagai protes dari beberapa kelompok
masyarakat dan LSM {antara lain Banten Environmental Watch (BEW), dan
(PIELS)}, yang akhirnya direspon oleh anggota DPR dan DPRD setempat.
Polemik terus berlanjut dan menyangkut Pemda DKI Jakarta yang tampaknya juga
mempunyai kepentingan dengan kegiatan pembangunan. Salah satu berita yang
dimuat berbunyi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang tidak akan pernah
dapat melakukan penutupan lokasi reklamasi Pantai Dadap, Desa Dadap,
Kecamatan Kosambi, yang kini dilakukan. Pasalnya, lembaga ini diduga telah
menerima retribusi pengurukan pantai yang jumlahnya mencapai ratusan juta
rupiah. Menurut sumber di Tangerang, dugaaan telah dibayarkan retribusi
pengurukan pantai oleh para pengembang reklamasi Pantai Dadap tersebut
tertuang jelas dengan adanya Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi dengan nomor
655.2/330-DTRB/IX/2001 tertanggal 26 September 2001 yang ditandatangani
oleh Bupati Tangerang yang kala itu masih dijabat oleh Agus Djunara. Dengan
keluarnya fatwa Bupati tersebut secara otomatis si pengembang berani untuk
melakukan reklamasi Pantai Dadap karena sudah ada lampu hijau. Apalagi pada
saat yang bersamaan Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga mengeluarkan surat
penetapan retribusi fatwa rencana pengarahan lokasi bernomor 974/330-
DTRB/IX/2001 yang ditandatangani Kepala Dinas Tata Ruang dan Bangunan,
Nanang Komara yang kini menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang
(Sinar Harapan 2004b).

197
Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan
Pemda Tangerang Didin Samsudin menyatakan, kawasan pantai yang akan
direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR). Dalam perubahan tata ruang tersebut pemerintah berencana
menjadikan pesisir pantai utara sebagai kawasan wisata terpadu (SUARA
PEMBARUAN DAILY 2004b). Perubahan RUTR tersebut tertuang dalam
Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, yang
merupakan implementasi Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang
Perubahan Tata Ruang Nasional. Berdasarkan peraturan itu, sekitar 20 km dari 50
km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi hingga
pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas pantai
yang akan direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu sepanjang 10 km
garis pantai dari laut dan satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektare.

Kemelut pemanfaatan lahan yang terjadi di Desa Dadap tidak seluruhnya


dimengerti oleh penduduk desa, yang terkena dampak hanyalah sebagian kecil
penduduk yang memang tinggal disekitar kawasan pengembangan. Menurut
informasi berbagai harian ibukota, . warga Desa Dadap, Kosambi, Kabupaten
Tangerang, belum mengatahui ada proyek pengurukan laut besa-besaran di Pantai
Mutiara Dadap. Mereka bahkan tak peduli aktivitas reklamasi kawasan untuk
wisata bertaraf internasional tersebut. Menurut warga, proyek reklamasi silakan
saja, asal warga disediakan infrastruktur sepeti tempat pelelangan ikan,
pengurukan Kali Perancis, serta perbaikan jalan. "Kami tak peduli. Yang penting
bagi kami para nelayan bisa tetap melaut.(Tempo Interaktif 2005b).

Berbagai kepentingan ternyata banyak yang bermain dalam masalah


proyek tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Desa Dadap Dames Taufik
yang mengklaim bahwa tidak ada masalah dengan warganya terhadap reklamasi
pantai itu. Menurut Dames, informasi kerusakan lingkungan dan penolakan warga
yang berkembang selama ini dikendalikan orang luar Dadap (SUARA
PEMBARUAN DAILY 2004a)..

Kasus pemanfaatan lahan yang juga mencuat di kawasan Dadap-Kamal


Muara adalah untuk pembangunan kawasan pergudangan. Mantan para pemilik

198
tanah merasa bahwa dulu mereka terbujuk menjual lahannya kepada para investor
untuk dibuat gudang, dengan harapan bahwa kelak ia dan anak-anaknya dapat ikut
bekerja di kawasan pergudangan itu. Namun demikian kenyataannya pemilik
gudang lebih memilih tenaga kerja dari luar Dadap yang dinilai lebih mempunyai
kompetensi daripada tenaga kerja setempat (Tempo interaktif 2005c). Saat ini,
ratusan gudang kini sudah berdiri memenuhi 40 persen lahan di desa seluas 401
hektar itu. Sisa lahan masih akan terus berkurang karena sampai saat ini
pembangunan gudang baru masih terus berlangsung.

Dalam rangka mewujudkan pembangunan Kota Air Kamal Muara, Pemda


DKI melakukan reklamasi pantai di daerah Kamal Muara. Aktivitas reklamasi
yang telah dilakukan pengembang di wilayah DKI Jakarta akan menciptakan
sebuah daerah baru seluas 2.700 hektar. Secara legal, Keputusan Presiden No 52
Tahun 1995 menetapkan, kawasan Pantai Utara Jakarta itu akan direklamasi.
Reklamasi meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai utara
Jakarta secara tegak lurus ke arah laut, sampai garis yang menghubungkan titik-
titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter. Itu artinya, garis
pantai akan maju sekitar 1,5 kilometer ke utara (Anonimous 1997).

Selama kurun waktu 10 tahun (dari tahun 1992 sampai 2002), telah terjadi
perubahan pemanfaatan lahan di kawasan Dadap-Kamal Muara, sebagai mana
ditunjukkan citra satelit pada Gambar 5.7. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan lahan di kawasan Dadap Kamal Muara mengalami perubahan yang
cukup drastis. Di wilayah Desa Dadap, perubahan terjadi pada luasan sawah yang
menyusut sampai hanya tersisa 18,52 %, tubuh air tinggal 42,85 %, lahan terbuka
tinggal 66,67 %, dan kebun campuran tersisa 32,34 %. Sementara itu, untuk
wilayah urban mengalami perubahan mencolok sebesar 200 %, dari 120,59 ha
menjadi 242,80 ha, sedangkan di Kamal Muara hanya terjadi peningkatan sedikit
dari 442,31 ha menjadi 479,95 ha dalam jangka waktu yang sama yaitu 10 tahun.
Secara rinci perubahan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.16.

199
Citra satelit Landsat 92 Citra satelit Landsat 2002

Hasil klasifikasi Land Use Thn 1992 Hasil klasifikasi Land Use Thn 2002
(Sumber : Landsat 1992) (Sumber : Landsat 2002)

Gambar 5.7 Citra satelit landsat di lokasi penelitian, tahun 1992-2002.

200
Tabel 5.16 Data penggunaan lahan di kawasan Dadap dan Kamal Muara dari
antara tahun 1992-2002 (m2)
No VARIABEL DADAP KAMAL MUARA
1992 2002 1992 2002
1. Tambak 357.611,3 376.432,9 5.665.316,3 5.175.953,5
Perubahan + 5,30 % - 8,64 %
2. Sawah 621.114,4 37.643,3 658.757,7 301.146,4
Perubahan - 94,00 % - 54,29 %
3. Tubuh air 131.751,5 56.464,9 150.573,2 357.611,3
Perubahan - 57,00 % + 137,50 %
4. Lahan terbuka 282.324,7 188.216,5 18.821,6 37.643,3
Perubahan - 33 % + 100, 00 %
5. Urban 1.204.585,5 2.427.992,7 4.423.087,5 4.799.520,5
Perubahan + 101,56 % + 8,5 %
6. Kebun campuran 508.184,5 18.821,7 508.184,5 150.573,2
Perubahan - 96 % - 70,37 %
7. Rumput/semak 0 0 18.821,6 621.114,4
Perubahan 0% + 3.200 %
8. Hutan 0 0 0 18.821,6
Perubahan 0% > + 18.821,6 %
Keterangan: tubuh air adalah perairan di wilayah daratan (danau, sungai, rawa, genangan, dll.
Khusus untuk rawa, jika berasosiasi dengan yang lain dapat dipisah, seperti rawa
gambut, rawa bakau, dll.).

Dari Tabel 5.16 tersebut menunjukkan bahwa selain terjadinya perubahan


wilayah urban selama kurun waktu sepuluh tahun, perubahan lainnya adalah
pertambahan luasan rumput/semak hanya terjadi di wilayah Kamal Muara, yaitu
dari 1,88 ha menjadi 62,11 ha. Konversi lahan yang juga signifikan adalah
terbentuknya kawasan hutan yang merupakan ekses dari dibangunnya perumahan
real estate Pondok Indah Kapuk, yang pengembangannya dilanjutkan sampai ke
kawasan Kamal Muara. Pada saat pembangunan kawasan real estate ini,
dilakukan reklamasi (penimbunan kawasan pantai).

Awalnya, luas tanah daratnya sebesar 105 ha sedang sisanya berupa sawah
seluas 453 ha dan rawa/empang seluas 495 ha. Kelurahan Kamal Muara memiliki
lahan dengan status milik negara, lahan milik adat, dan sebagian dari lahan
tersebut dikuasai oleh swasta (PT Mandara Permai) dan BPL Pluit.
Perubahan status hak kepemilikan lahan di Kelurahan Kamal Muara terjadi
antar tahun 1999 sampai dengan 2000 (BPS Jakut 2000). Status hak milik tahun
1998 tercatat seluas 547,60 ha dan turun drastis menjadi 287 ha tahun 1999. Hal
ini disebabkan belum adanya sertifikat pada tanah seluas 584 ha, seluas 9,90 ha

201
(tahun 1998 mencapai 505,40 ha), dan yang berstatus hak pakai (HP) seluas 8 ha
(sebelumnya tidak tercatat. Data selengkapnya tentang status lahan di Kelurahan
Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.17.

Tabel 5.17 Status lahan di Kelurahan Kamal Muara antara tahun 1997-2000
STATUS LAHAN TAHUN SENSUS
1997 1998 1999 2000
Hak milik 547,60 547,60 287,00 287,00
HGB 505,40 505,40 9,90 9,90
HP 0,00 0,00 8,00 8,00
Belum bersertifikat 0,00 0,00 584,00 584,00
Jumlah 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00
Sumber: BPS Jakut (2001)

Peruntukan lahan di Kelurahan Kamal Muara secara garis besar terdiri dari
pruntukan perumahan, industri, kantor dan gudang, taman, pertanian, lahan tidur,
dan lain-lain. Data selengkapnya tercantum dalam Tabel 5.18.

Tabel 5.18. Data peruntukan lahan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan


Penjaringan dari tahun 1995-2000 (ha)

PERUNTUKAN TAHUN SENSUS


1995 1996 1997 1998 1999 2000
Perumahan 84,70 84,70 244,93 263,25 84,25 96,03
Industri 195,00 195,00 290,94 421,20 142,16 142,16
Kantor/gudang 0,76 0,76 91,93 105,30 55,81 55,81
Taman 0,76 0,76 249,98 52,65 10,53 10,53
Pertanian 769,49 769,49 0,00 0,00 0,00 73,71
Lainnya - - 175,22 210,60 760,27 221,13
Jumlah 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00
Sumber: BPS Jakut (2001)

Dari Tabel 5.18 tampak bahwa perubahan yang cukup mencolok adalah
pada lahan pertanian yang turun sangat drastis pada tahun 1997 sampai tercatat
tidak ada sisanya selama tiga tahun berturut-turut. Tahun 2000 lahan pertanian
baru tercatat lagti seluas 73,71 ha. Perubahan lahan pertanian ini dapat
diidentifikasi sebagian digunakan untuk lahan perumahan, industri, kantor/gudang,

202
dan peruntukan lainnya. Data perubahan jumlah bangunan di Kelurahan Kamal
Muara tercantum dalam Tabel 5.19.

Tabel 5.19. Data perubahan jumlah bangunan di Kelurahan Kamal Muara


Kecamatan Penjaringan dari tahun 1993-2001 (unit)

JENIS TAHUN SENSUS


BANGUNAN 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Permanen 137 137 140 - 254 263 425 425 425
Semi permanen 207 207 211 - 286 481 593 593 593
Darurat, dll 305 305 280 - 141 180 237 237 237
Jumlah 649 649 631 - 681 924 1.255 1.255 1.255
Sumber: BPS Jakut (2001)

Dari Tabel 5.19 tampak bahwa pertambahan bangunan permanen dan semi
permanen terjadi secara nyata dari tahun 1997, dari 140 unit tahun 1995 menjadi
254, kemudian menjadi 425 tahun 1999. Untuk bangunan semi permanen,
perubahan terbesar terjadi dari tahun 1997 (286 unit) menjadi 481 unit pada tahun
1998, dan menjadi 593 tahun 1999 serta tidak mengalami perubahan sampai tahun
2001. Untuk bangunan darurat, dari tahun 1994 mengalami penurunan dari 305
unit menjadi 280 unit tahun 1995, dan tinggal 141 unit tahun 1997. Kemudian
naik lagi tahun 1999 sampai mencapai 237 unit. Ada dua kemungkinan yang
dapat ditafsirkan dari perubahan jumlah bangunan darurat tersebut, yang pertama
berkaitan dengan kegiatan pembangunan yang harus mendirikan bangunan darurat
untuk para buruh dan peralatan; yang kedua adanya komunitas gelandangan dan
pengemis yang membangunan tempat tinggal darurat.

Menurut Situs Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta, hutan


mangrove di Jakarta diantaranya terdapat dalam kawasan hutan dan pulau-pulau di
Kepulauan Seribu dan kawasan hutan di DKI Jakarta sebagaimana tercantum
dalam Tabel 5.20. Kawasan hutan mangrove yang terluas terdapat di Hutan
Wisata Kamal Muara seluas 99,80 ha, yang kedua di pesisir Pulau Rambut yang
merupakan Suaka Margasatwa seluas 45,00 ha, sedangkan di Hutan Lindung
Angke Muara Kapuk terdapat ekosistem mangrove seluas 44,76 ha.

203
Tabel 5.20. Distribusi hutan mangrove di wilayah Jakarta

No NAMA LUAS (ha)


1. Hutan Lindung Angke Muara Kapuk 44,76
2. Hutan Wisata Kamal Muara 99,80
3. Suaka Marga Satwa Muara Angke 25,02
4. Suaka Margasatwa Pulau Rambut 45,00
5. Cagar AlamPulau Bokor 18,00
6. Cagar Alam Pulau Penjaliran Barat 19,85
7. Cagar Alam Pulau Penjaliran Timur 19,65
8. Hutan dengan tujuan istimewa:
Pembibitan 10,51
Jalan Tol dan Jalur Hijau 95,50
Transmisi PLN 23,70
Cengkareng Drain 28,39
Jumlah 430,18
Sumber: Diperhut (2005)

Untuk Kecamatan Penjaringan, persentase distribusi pemanfaatan lahan di


setiap kelurahan pada tahun 2003 menunjukkan cukup besarnya lahan tidur di
Kelurahan Kamal Muara, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.21.

Tabel 5.21 Persentase penggunaan tanah di Kecamatan Penjaringan tahun


2003
Persentase Luas Tanah Yang Digunakan (%)
No. Kelurahan
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Kamal Muara 8,00 17,40 6,90 1,00 0,00 58,70 8,00 100
2. Kapuk Muara 36,18 21,65 9,23 0,00 0,00 28,14 4,80 100
3. Pejagalan 74,83 17,64 3,40 0,20 0,00 0,00 3,93 100
4. Pluit 50,12 0,00 29,73 0,00 0,00 0,00 20,15 100
5. Penjaringan 56,00 28,00 5,00 0,00 0,00 0,00 11,00 100
Kec. Penjaringan 45,02 16,94 10,85 0,24 0,00 17,37 9,58 100
Sumber: BPS Jakut (2004)
Keterangan: (1) Perumahan; (2) Industri; (3) Kantor dan Gudang; (4) Taman; (5) Pertanian; (6)
Lahan Tidur; (7) Lainnya; (8) Jumlah

Dari Tabel 5.21 tampak bahwa persentase luas tanah yang digunakan
untuk sektor pertanian di Kelurahan Kamal Muara adalah yang paling tinggi.
Namun demikian, lahan ini sebenarnya sebagian besar digunakan untuk aktivitas
perikanan, baik untuk aktivitas pra dan pasca penangkapan ikan maupun budidaya
ikan air tawar, karena sektor pertanian masih mencakup perikanan.

204
Sebagaimana tampak dari hasil citra satelit yang diambil tahun 1992 dan
2002 dan tercantum pada Gambar 5.7, telah terjadi perubahan yang sangat
siginifikan dari tataguna lahan di kawasan penelitian. Hal ini juga ditunjukkan
oleh hasil analisis terhadap citra satelit ini yang memperlihatkan bahwa selama
jangka waktu sepuluh tahun (dari 1992-2002) terjadi peningkatan mencolok dari
luasan wilayah urban pemukiman (lihat Tabel 5.16). Hal tersebut menunjukkan
bahwa selama kurun waktu sepuluh tahun, perubahan yang paling signifikan
terjadi di kawasan Dadap-Kamal Muara adalah peningkatan wilayah urban di
Dadap sebesar 101,56 %, pertambahan luasan semak dan tanah terlantar sebesar
3.200 %. Konversi lahan yang juga signifikan adalah terbentuknya kawasan hutan
yang merupakan ekses dari dibangunnya perumahan real estate Pondok Indah
Kapuk, yang pengembangannya dilanjutkan sampai ke kawasan Muara Kamal.
Aktivitas reklamasi (penimbunan kawasan pantai) yang dilakukan pada saat
pembangunan kawasan real estate ini kemudian dihijaukan dengan tanaman
mangrove yang sekaligus juga membuat fasilitas marina, tempat mendaratnya
kapal-kapal pesiar (yacht).

Sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas
Tata Ruang dan Bangunan Pemda Tangerang Didin Samsudin, kawasan pantai
yang akan direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR) tersebut yang tertuang dalam Peraturan Daerah No 5
Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah (Suara Pembaharuan Daily
2004a). Sehingga sudah jelas bahwa penetapan kawasan pesisir sepanjang 20 km
dari 50 km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi
hingga pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji adalah untuk kawasan wisata
dengan aktivitas reklamasi yang akan dilakukan sepanjang 10 km dan satu km dari
garis pantai atau sekitar 1.000 hektare. Alasan dilakukannya revisi RUTR tersebut
karena terjadinya perubahan fungsi lahan secara besar-besaran di kawasan tersebut
akibat eksploitasi lahan untuk tambak dan abrasi pantai, hal ini didasarkan foto
udara tahun 2002, dimana kawasan tersebut sudah rusak dan sulit untuk
dipulihkan kembali karena kerusakannya sudah sejauh 600 meter dari bibir pantai.
Akibat abrasinya, lahan di kawasan tersebut tidak lagi produktif dan penataan
ulang lahan dalam bentuk penanggulangan abrasi sia-sia. "Lahan di sana sudah

205
tidak bisa diperbaiki lagi kecuali dengan reklamasi karena lahan yang terkena
abrasi sudah mencapai puluhan ribu hektar," katanya.

Pemanfaatan lahan di Kelurahan Kamal Muara relatif lebih tenang dan


teratur dan tidak lagi terdengar ada gejolak. Hal ini dimungkinkan karena telah
mapannya RUTR melalui Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 Tahun
1999. Dalam Pola Peruntukan Lahan, pemanfaatan ruang kawasan Pantura
Jakarta Ditetapkan dalam 3 sub-kawasan:

(1) Sub-kawasan barat


Sub-kawasan barat terdiri dari Kecamatan Penjaringan dan Pademangan
direncanakan akan menampung penduduk sebesar 737.300 jiwa dengan
kepadatan sekitar 112 jiwa/Ha pada tahun 2010.

(2) Sub-kawasan tengah


Sub-kawasan tengah terdiri dari Kecamatan Tanjung Priok direncanakan
akan menampung penduduk sebesar 452.600 jiwa dengan kepadatan
sekitar 128/ha pada tahun 2010.

(3) Sub-kawasan timur


Sub-kawasan timur terdiri dari Kecamatan Koja dan Cilincing
direncanakan akan menampung penduduk sebesar 670.000 jiwa dengan
kepadatan sekitar 204 jiwa/ha pada tahun 2010.

Konflik rencana reklamasi yang akan dilakukan Penda DKI belum terlalu
parah terjadi di tingkat grassroot, tetapi masih ditataran para politisi dan
pemerhati lingkungan, sebagaimana disampaikan dalam Sub-bab 5.1 di atas.
Langkah yang sama perlu juga dilakukan oleh Pemkot Jakarta Utara, yaitu
membuka rencana reklamasi Pantura tersebut secara luas, untuk dilakukan kajian
secara ilmiah oleh berbagai fihak yang bersifat netral. Cukup banyak kebijakan
yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta yang semula dianggap kontroversial dan
mendapat tentangan dari berbagai pihak tetapi kemudian dianggap suatu
keberhasilan setelah hasil positif dicapainya; sebagai contoh adalah Program
Pemagaran Kawasan Monumen Nasional. Setelah menunjukkan hasil yang baik,
maka banyak pihak secara tidak langsung mengucapkan terimakasih kepada

206
Pemda DKI, karena Monas yang ada sekarang tampak lebih rindang, lebih bersih,
indah dan menyenangkan untuk dikunjungi.

Menurut Beatley et al. (1999), dalam perancangan perkotaan dan


perlindungan pusat kegiatan masyarakat upaya untuk melindungi karakter dan
nuansa masyarakat pesisir merupakan isu yang penting di banyak tempat. Banyak
wilayah pesisir memiliki bangunan bersejarah dan sumberdaya lain yang berharga
untuk dilindungi. Perlindungan ini dilaksanakan antara lain dengan
melembagakan evaluasi ulang dari proses perencanaan tata kota. Dalam kegiatan
pembangunan kini, terdapat kecenderungan baru yaitu timbulnya semangat
tradisionalisme, antara lain dengan membuat bangunan publik serta ruang umum
(taman) menjadi pusat ruang kota, memperjelas orientasi bagi pejalan kaki, dan
berbagai kepentingan umum lainnya.

Mengacu pada Perda Khusus Ibukota Jakarta No. 6 Tahun 1999, dalam Pola
Peruntukan Lahan, pemanfaatan ruang kawasan Pantura Jakarta, Kamal Muara
termasuk Sub-kawasan barat yang terdiri dari Kecamatan Penjaringan dan
Pademangan yang direncanakan akan menampung penduduk sebesar 737.300 jiwa
dengan kepadatan sekitar 112 jiwa/ha pada tahun 2010. Jika dilihat jumlah
penduduk Kecamatan Penjaringan tahun 2003 yang tingkat kepadatannya
mencapai 7.974 orang per km2 (atau sebesar 79,74 orang per ha), maka dapat
diduga sebelum tahun 2010 target 112 jiwa tersebut sudah akan tercapai.

Untuk kawasan Kamal Muara yang merupakan bagian wilayah Jakarta


Utara, berdasarkan Perda No. 6 tahun 1999 tentang RUTR Pasal 8, sesuai dengan
karakteristik fisik dan perkembangannya, termasuk WP (Wilayah Pengembangan)
Pantai Utara (WP-PU), dengan kebijakan meliputi:

(1) Pantai Lama:


1) Meningkatkan dan melestarikan kualitas lingkungan Jakarta Utara;
2) Mempertahankan permukiman nelayan;
3) Mengembangkan fungsi pelabuhan dan perniagaan.

(2) Pantai Baru: melalui pengembangan reklamasi yang terpisah secara fisik
dari pantai lama dengan kegiatan utama jasa dan perdagangan berskala
internasional, perumahan, pelabuhan serta pariwisata.

207
Mengingat sudah jelas tertera dalam RUTR dan revisinya, maka setiap
aktivitas pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan Pantura DKI Jakarta,
sudah saatnya dilakukan secara terbuka dan transparan serta dengan jangka waktu
sosialisasi yang cukup. Sehingga keberhasilan setiap program pembangunan di
DKI Jakarta dengan semua kendala yang dihadapinya dapat menjadi contoh bagi
daerah lain.

Menurut informasi dari Urban Poor Consortium (UPC, 2005), Mega


Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta 2003-2020 dilatar belakangi oleh letak
Indonesia di persimpangan antara Asia dan Australia. Jakarta sebagai ibukota
negara merupakan salah satu kota yang perkembangannya cukup pesat di Asia
Tenggara. Oleh karena itu, Pemerintah DKI Jakarta memutuskan untuk
membentuk satu rencana khusus yang terfokus pada pembangunan daerah pantai
utara kota yang disebut: the Jakarta Waterfront Development Program.
Pembangunan Kota Pantai Jakarta direncanakan berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 52 Tahun 1995.

Program ini meliputi:

(1) Reklamasi 2.700 Ha di sebelah utara Kota Jakarta, 2.500 ha untuk


penataan kembali kawasan pantai/revitalisasi

(2) Reklamasi meliputi bagian perairan laut yang diukur dari garis pantai
Utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut sehingga mencakup garis
yang menghubungkan titik titik terluar dengan kedalaman laut 8 meter.
Panjang garis pantai Utara Jakarta adalah 32 km.

Tujuan dari pembangunan the Jakarta Waterfront ini adalah:

(1) Merevitalisasi kota tua

(2) Mengembangkan jantung kota yang baru di Jakarta

(3) Menyediakan standar pengembangan kelas dunia

(4) Membuka kesempatan terhadap pembangunan berskala besar

(5) Menciptakan level baru untuk efisiensi yang terorganisasi

(6) Membentuk kondisi kehidupan masyarakat yang lebih baik

208
(7) Mengembangkan lahan baru untuk kegiatan bisnis, industri, pemukiman
dan rekreasi.

Rencana yang cukup ambisius tersebut sebenarnya masuk akal jika


dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura yang telah
mereklamasi sebagian kawasan pesisirnya dengan menggunakan material urukan
yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Hanya saja, keterbukaan dan
keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan sangat menentukan
keberhasilan program ini serta seberapa besar dampak yang akan ditimbulkannya,
baik bagi pemerintah DKI Jakarta maupun masyarakat disekitarnya.

Pengelolaan wilayah pelabuhan di Dadap dan Kamal Muara secara resmi


masih ditangani oleh Dinas Perikanan masing-masing kabupaten/kota khusus
untuk kawasan sekitar pelabuhannya. Pengelolaan kawasan di luar wilayah
pelabuhan tentu saja tergantung pada siapa pemilik lahan tersebut yang juga harus
berdasarkan pada peraturan yang tersedia, baik yang berkaitan dengan tata
ruangnya maupun aturan pengembangannya.

5.3.2 Analisis daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan Dadap-


Kamal Muara

Untuk mengkaji daya tampung pelabuhan perikanan yang terdapat di


kawasan Dadap-Kamal Muara, diperlukan data yang menyangkut keduan PPI/TPI
tersebut. Sebagian besar data sudah disampaikan dalam Bab 4.

(1) Prasarana dan sarana

Prasarana yang diperlukan dalam suatu pelabuhan perikanan antara lain


mencakup: alur masuk kapal, kolam pelabuhan, pelindung gelombang,
darmaga tempat bersandar, tempat bongkar muat barang, sumber energi
listrik, bahan bakar minyak, jalur komunikasi dan transportasi, dan sumber
air bersih. Sedangkan sarana pelabuhan dapat berupa: tempat menambat
kapal, bengkel mesin, unit perbaikan bodi kapal dan alat tangkap, tempat
sampah dan unit pengolahan limbah, tempat lelang ikan, perumahan
nelayan, dll.

209
Kondisi PPI/TPI Kamal Muara jauh lebih baik jika dibandingkan dengan
TPI Dadap. Bagaimanapun, di PPI/TPI Kamal Muara sudah terdapat
darmaga dan kolam pelabuhan, serta tempat bongkar muat ikan yang akan
dilelang, sementara di TPI Dadap belum ada, meskipun bangunan koperasi
masih berdiri dan bagian depan yang diperuntukan bagi kegiatan lelang
masih tetap tidak digunakan karena perahu yang berlabuh jauh jaraknya.

(2) Pasokan ikan

Pasokan ikan yang datang ke kawasan Dadap-Kamal Muara berasal dari


kapal yang berlabuh di sepanjang Kali Perancis dan di PPI/TPI Kamal
Muara. Meskipun TPI Dadap sudah tidak berfungsi, tetapi pendaratan ikan
dari kapal/perahu nelayan yang berukuran kecil (dibawah 5 GT) tetap
dilakukan. Tidak ada proses lelang, pedagang yang akan membeli langsung
berhubungan dengan nakhoda kapal.

Di TPI Kamal Muara, lelang tetap berlangsung mulai jam 04 pagi sampai
jam tujuh atau delapan, tergantung jumlah ikan yang didaratkan. Sebagian
besar ikan diborong oleh para pedagang besar yang membawa mobil sebagai
alat angkut, sementara pedagang kecil mengangkut ikan dengan
menggunakan beca, sepeda, atau gerobak dorong. Pedagang besar memasok
kebutuhan supermarket atau untuk dikirim ke Muara Angke.

Kegiatan pemasaran ikan di TPI Kamal Muara tidak hanya berupa


pelelangan ikan hasil tangkapan nelayan, tetapi juga pasar eceran, baik
untuk ikan yang didaratkan nelayan lokal, dibawa oleh pedagang dari Muara
Angke, atau dijajakan oleh para pedagang ikan yang menampung hasil
tambak atau hasil tangkapan dari perairan umum. Sehingga tidak
mengherankan jika di pasar ini dapat ditemui udang sungai yang masih
hidup. Pola distribusi ikan yang berasal dari kawasan Dadap-Kamal Muara
dapat dilihat pada Gambar 5.8. Dari Gambar 5.8 di atas dapat dilihat bahwa
distribusi ikan yang didaratkan di kawasan Dadap sebagian besar
didistribusikan ke pasar lokal (70 %), sementara ikan yang dilelang di TPI
Kamal Muara hanya 15 % untuk pasar lokal, sisanya (70 %) masuk ke pasar

210
elit (mal) di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pasar Jakarta
selalu terbuka untuk ikan-ikan yang didaratkan di kawasan tersebut. Dari
keseluruhan ikan yang didaratkan di kawasan Dadap-Kamal Muara, hanya
sekitar 20 % yang masuk ke Pasar Kabupaten Tangerang.

TPI Dadap TPI Kamal Muara

5% 5%
70 %

65 % 15 %

Pasar lokal Pasar lokal Pasar elit


Dadap Kamal Muara Jakarta

Pasar
10 % Kabupaten 10 %
Tangerang

Gambar 5.8 Pola distribusi ikan yang berasal dari kawasan Dadap-
Kamal Muara

(3) Dukungan logistik pelabuhan perikanan

Perkembangan suatu pelabuhan perikanan sangat dipengaruhi oleh


ketersediaan fasilitas pendukung yang diperlukan untuk kegiatan
penangkapan, bongkar muat hasil tangkapan dan bekal operasi
penangkapan, serta penyediaan bahan dan fasilitas perbaikan kapal dan alat
penangkapan. Secara garis besar, kondisi logistik yang ada di sekitar TPI
Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.22.
Sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.22, ketersediaan fasilitas logistik
yang berkaitan dengan kegiatan perikanan relatif tersedia. Meskipun
demikian, permasalahan tidak selalu terletak di sana, tetapi pada
kemampuan (daya beli) nelayan untuk mendapatkan fasilitas tersebut.
Sebagai contoh, fasilitas BBM tersedia cukup, meskipun jarak SPBU relatif
jauh (sekitar 2 km). Karena tidak tersedianya SPBU khusus di TPI, maka

211
nelayan harus membeli lewat tangan kedua (baik eceran maupun pemasok)
dengan harga yang lebih mahal dari harga resmi di SPBU (berbeda antara
Rp 400 Rp 600 per liter solar). Dengan demikian, beban operasional
nelayan menjadi lebih besar. Jalan keluar yang dilakukan sebagian nelayan
adalah melakukan pengoplosan bahan bakar minyak tanah dengan oli,
dengan perbandingan satu liter oli mesin untuk 70 liter minyak tanah.
Penggunaan bahan bakar yang tidak sesuai dengan kebutuhannya ini tentu
saja akan berakibat negatif pada daya tahan mesin; serta juga pada
keselamatan operasional penangkapan secara keseluruhan.

Tabel 5.22 Daftar fasilitas logistik kegiatan perikanan disekitar TPI Dadap
dan Kamal Muara
TINGKAT JARAK DARI (m)
No FASILITAS KETERSEDIAAN TPI TPI KAMAL
DADAP MUARA
1 Air bersih Cukup 1 1
2 BBM Cukup 1 1
3 Toko peralatan Cukup 50 25
penangkapan ikan
4 Depo es Cukup 50 25
5 Toko bahan makanan Cukup 10 10
6 Bengkel mesin kapal Tidak ada - -
7 Montir mesin kapal Cukup 1 1
8 Dok kapal/perahu Cukup
9 Pasar umum Cukup 1.000 2.500
10 Penjual ikan Cukup 25 10

Dari Tabel 5.22 tersebut diperoleh kenyataan bahwa setiap faktor input yang
berpengaruh pada kegiatan penangkapan ikan di sekitar perairan Pulau Jawa
tersedia dengan cukup dan mudah diupayakan pada saat diperlukan. Namun
demikian, masalah sebenarnya adalah kurangnya hasil tangkapan yang
diperoleh jika dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan untuk operasi
penangkapan. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal:
kawasan perairan pantai utara sudah mengalami keadaan tangkap lebih
(overfishing), sehingga kelompok ikan sudah ditemukan;

212
kondisi perairan tepi di pantai utara Pulau Jawa umumnya sudah
tercemar, sehingga kelompok ikan akan menjauh untuk mencari
habitat yang baru yang sesuai dengan persyaratan hidupnya;
semakin menjauhnya gerombolan ikan dari kawasan pesisir
mengakibatkan diperlukannya biaya operasional penangkapan yang
lebih besar, karena harus mencari sumberdaya ikan ke tempat yang
lebih jauh dan dalam jangka waktu yang l.ebih lama

(4) Akses transportasi


Lokasi TPI Dadap dan TPI Kamal Muara relatif dekat dengan jalan TOL
Jakarta Bandara Sukarno Hatta, masuk simpang Rawa Bokor atau simpang
Kamal Muara-Dadap dan Kapuk-Pluit-Kota. Melalui Jalan Kamal, TPI
Dadap berjarak hanya 6,8 km km dari jalan TOL Pintu Cengkareng,
sementara jarak TPI Kamal Muara ke simpang Kamal Muara-Dadap hanya
berjarak 1 km. Jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu 10 mnt.

Jalan masuk beraspal mempunyai lebar 6 m, sedangkan kepadatan


kendaraan rata-rata 628 mobil per jam. Kemacetan kadang-kadang juga
terjadi pada pagi dan sore hari, yang sebagian besar disebabkan oleh tidak
teraturnya kendaran umum berhenti di tengah jalan saat menaikan dan
menurunkan penumpang, kondisi jalan yang rusak, dan saat jam kerja pabrik
selesai.

Dari kondisi jalan (termasuk kualitas jalan, lebar, tingkat kemacetan) dan
sarana transportasi dapat disimpulkan bahwa akses transportasi tidak ada
masalah dari dan ke TPI Dadap dan TPI Kamal Muara. Jika ada barang dan
permintaan, maka dukungan transportasi mudah disediakan. Meskipun
demikian, banyaknya kendaraan truk yang berukuran besar dengan muatan
yang berat serta kualitas jalan yang kurang baik telah menyebabkan kondisi
menjadi cepat mengalami kerusakan.

Salah satu isu yang sekarang sedang berkembang di lokasi adalah dirasa
perlu adanya trotoir di ruas Jalan Perancis dan ruas Jalan Dadap-Kamal ke
arah Kosambi, agar orang dapat berjalan dengan tenang. Trotoir sudah

213
dibangun di ruas Jalan Dadap-Kamal ke arah timur, meskipun cukup banyak
dipenuhi oleh para pedagang kaki lima.

5.3.3 Analisis model kelimpahan kapal ikan yang dapat dipindahkan dari
PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Muara Angke ke PPI/TPI Kamal
Muara

Salah satu parameter yang dijadikan ukuran pada suatu pelabuhan perikanan
adalah kapasitasnya, baik menyangkut berapa jumlah kapal yang dapat berlabuh,
jumlah kapal yang dapat ditangani untuk dibongkar muatannya per satuan waktu
(per jam, per hari, atau per minggu), dan juga jumlah kapal yang dapat dipasok
dengan kebutuhan bahan dan alat yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan.

(1) Kapasitas PPI/TPI Kamal Muara dan PPI/TPI Dadap

Di PPI/TPI Dadap, kapal ikan tidak dapat berlabuh di tepi sungai dekat TPI.
Selain karena TPI sudah tidak beroperasi lagi, juga pendangkalan sungai
telah menyebabkan kapal tidak dapat mendekati daratan tempat TPI Dadap
berada.
Kapal ikan dapat berlabuh di sepanjang tepi sungai dengan syarat kedalaman
alurnya dapat dilalui kapal tersebut. Namun demikian, pada saat sekarang
ini, sedimentasi di muara sungai telah menyebabkan terjadinya
pendangkalan sehingga kapal yang dapat memasuki alur sungai menjadi
terbatas, kecuali jika sedang terjadi pasang naikair laut. Hal ini juga
menyebabkan kapal ikan lebih suka untuk berlabuh di tepi pantai, untuk
mencegahnya terjebak dan terdampar di dalam sungai sehingga tidak dapat
keluar.
Kondisi di PPI/TPI Kamal Muara jauh lebih baik. Jalur masuk ke kolam
pelabuhan secara rutin (1 kali per tahun sampai tahun 2005) dikeruk untuk
mengangkat lumpur yang mengendap di dasarnya. Namun demikian, kolam
pelabuhan juga banyak digunakan oleh kapal ikan untuk docking, baik
karena kerusakan mesin maupun perbaikan body, sehingga kapasitas
tampung kolam pelabuhannya berkurang.
Faktor lain yang juga berkaitan dengan kapasitas pelabuhan adalah jalan
masuknya. Untuk PPI/TPI Dadap, dua jalur jalan mengapit Kali Perancis,

214
sehingga pada dasarnya bongkar muat barang dapat dilakukan dari kedua
tepi sungai. Kapal-kapal ikan yang mendaratkan hasil tangkapannya di Kali
Perancis sebagian besar merupakan kapal pengangkut kerang hijau.
Di PPI/TPI Kamal Muara, hanya satu sisi tepi sungai yang dapat dilalui
kendaraan. Jadi pada waktu ada kendaraan yang sedang melakukan bongkar
muat barang, maka arus lalulintas sedikit terganggu karena lebar jalan hanya
sebesar 6 meter. Panjang jalan di tepi kolam pelabuhan yang dapat
digunakan untuk melakukan bongkar muat sepanjang 250 meter. Dengan
demikian, pada saat proses bongkar muat hasil tangkap atau bekal operasi
penangkapan ikan, hanya satu sisi jalan juga yang dapat digunakan. Untuk
meningkatkan kapasitas bongkar muat barang dari dan ke kapal ikan,
diperlukan pengadaan fasilitas yang lebih banyak dan baik. Fasilitas-
fasilitas tersebut antara lain:
pipa air bersih dengan banyak kran sehingga satu waktu yang sama
dapat memenuhi kebutuhan kapal sekaligus;
es balok dengan kualitas yang cukup;
SPBU (sistempenyaluran bahan bakar umum) tersedia khusus untuk
kapal ikan, sehingga harga bahan bakar tidak lebih tinggi dari patokan
harga eceran;
Unit perbaikan body dan mesin kapal serta alat tangkap, diperlukan
khusus di areal tertentu agar tidak sembarang kapal dapat melakukan
perbaikan di kolam pelabuhan;
Fasilitas pengerukan alur masuk dan kolam pelabuhan, dengan
tersedianya prasarana ini kondisi kedalaman pelabuhan dapat dijaga
secara rutin;
Fasilitas istirahat bagi awak kapal yang memadai, sehingga setiap
operasi penangkapan dapat dipersiapkan sebaik mungkin untuk
menjamin keberhasilan penangkapan secara optimum.

(2) Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke

Sebagaimana dijelaskan dalam Bab 4, saat ini terjadi kelebihan kapasitas


TPI Muara Angke yang mencapai 63 %, atau sebanyak 315 kapal ikan yang

215
harus ditata ulang. Tanpa memperhitungkan jumlah kapal yang tidak dapat
beroperasi karena kenaikan harga bahan bakar, maka untuk mencapai
efisiensi penanganan kapal oleh TPI Muara Angke, dengan asumsi deviasi
sebesar 5 %, maka jumlah kapal yang harus dialihkan adalah {315 (5 % x
315)} = 299 unit (angka dibulatkan). Untuk mengalihkan kapal tersebut ke
TPI Kamal Muara, maka harus dilakukan rehabilitasi fasilitas pelabuhan,
sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.23.

Tabel 5.23 Daftar fasilitas yang perlu dikembangkan di TPI Kamal Muara untuk
menampung kelebihan kapasitas TPI Muara Angke

KEBUTUHAN
PRASARANA JUMLAH KAPASITAS
A Pabrik es 1 unit 7.000-8.000 balok
B Cool room/chill room 5 unit 750 ton
C Cold storage 1 unit 1.000 ton
D Cool box 2.000 200 ton
3
E Air bersih 3.395 m /bln 5.000 m3/bln
F Sentra pengolahan tradisional (UKM) 250 unit 50 ton
G Sarana/peralatan pengolahan 7 unit 5 ton
H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari
I Kontainer 18 unit 432 ton

Sumber: Disnakanlut (2005)

Untuk melakukan analisis terhadap pengelolaan kelebihan kapasitas (daya


tampung) kapal di TPI Muara Angke, beberapa asumsi harus ditentukan, yaitu:
(1) kelebihan kapal yang mendarat sebanyak 299 unit per bulan
(2) semua kapal merupakan kapal ikan jenis purse seine
(3) semua kapal aktif beroperasi pada waktunya

Untuk membuat model pergerakan kapal ikan dari TPI Muara Angke dan
TPI Dadap ke TPI Kamal Muara, dibuat suatu matrik pergerakan atribut dari ke
tiga TPI yang terlibat dalam sistem dicantumkan pada Tabel 5.24. Dari Tabel 5.24
tampak bahwa jika kelebihan kapasitas kapal ikan dari TPI Muara Angke dapat

216
dialihkan ke TPI Kamal Muara, maka bilamana pengalihan itu dilaksanakan,
diperlukan pembangunan TPI Kamal Muara dan TPI Dadap untuk pengadaan
fasilitas-fasilitas tersebut. Penurunan jumlah kapal yang berlabuh di TPI Muara
Angke diduga akan membawa dampak sebagai berikut:
(1) Penurunan jumlah hasil retribusi lelang;
(2) Penurunan jumlah pendapatan dari ongkos sandar kapal di kolam
pelabuhan;
(3) Penurunan volume perdagangan sarana dan prasarana penangkapan ikan,
seperti bahan bakar, es, air PAM, dan perbekalan ransum.

Tabel 5.24. Pergerakan atribut TPI Dadap, TPI Kamal Muara, dan TPI Muara
Angke
ATRIBUT TPI MUARA TPI KAMAL TPI DADAP
ANGKE MUARA
(1) Tersedia
1) Kapal ikan
2) Nelayan
3) Bahan bakar
4) Es
5) Cold storage
6) Komplek pengolahan
7) Bengkel/dok
8) toko peralatan tangkap
9) kebersihan lingkungan
10) keamanan/ketertiban
11) Retribusi
12) Land rent
13) Lowongan kerja
14) Pengerukan Kolam
pelabuhan dan alurnya
15) Restoran seafood

(2) Perencanaan
1) Taman Wisata Pasir
Putih Mutiara Dadap
2) Kapal Baruna Jaya
3) GOR Kamal Muara
4) Water front city
5) Pelabuhan peti kemas
Keterangan: = keluar/pindah
= dibangun
= mengalami kenaikan

217
Untuk membandingkan kondisi awal dan kondisi prediksi TPI Kamal
Muara setelah terjadinya pemindahan kapal ikan yang berlebihan, maka dibuat
suatu nilai konversi dari variabel-variabel yang terkait dengan pengembangan
suatu pelabuhan perikanan. Nilai konversi dari variabel tersebut dapat dilihat pada
Tabel 5.25.

Tabel 5.25 Nilai konversi variabel sarana dan prasarana pelabuhan perikanan
di Kamal Muara (kapasitas pelabuhan untuk sebanyak 500 unit
kapal berukuran 50 GT (perubahan dari total bobot kapal 2.310 GT
ke 25.000 GT)1)

No PRASARANA/ UKURAN k- FAKTA k-FAKTA


SARANA PPI IDEAL IDEAL
realitas ideal
1. Lebar alur masuk3) (m) 60 0,0024 35 0,015 0,0014
2. Panjang darmaga 400 0,016 50 0,022 0,002
sandar4) (m)
3. Luas kolam pelabuhan/ 24.000 0,896 1.750 0,76 0,07
darmaga2) (m2)
4. Kedalaman kolam5) (m) 5 0,0002 1 0,00043 0,00004
5. Volume kolam (m3) 120.000 4,8 1.312,5 0,57 0,053
6. Frekuensi keruk (perth) 2 1 1
7. Volume keruk (m3) 96.000 3,84 0 0 0
8. Air bersih6)/bulan (m3) 3.250 0,13 1.000 0,433 0,04
9. BBM7) per bulan(ton) 1.000 0,004 300 0,13 0,012
10. Oli per bulan8) (ton) 8,75 0,0038 0,8 0,00035 0,000032
11. R. pelelangan9) (m2) 1.375 0,055 75 0,032 0,003
12. Ruang perbaikan alat 1.375 0,055 60 0,026 0,0024
tangkap ikan10) (m2)
13. Dok/bengkelan11) (m2) 5.400 0,216 100 0,043 0,004
14. Es balok)12) /bulan) 125.000 5 15.000 6,49 0,6
15. Cold storage13) (ton) 1.250 0,05 - - -
16. R.penanganan14)(m2) 1.375 0,055 75 0,032 0,003

17. R pengolahan14) (m2) 1.375 0,055 75 0,032 0,003


Keterangan:
k = faktor konversi per GT kapal ikan
Beberapa asumsi yang diambil adalah:
1) kapal yang akan ditampung sebanyak 500 unit yang masing-masing berukuran 50 GT,
sebagaimana kapasitas awal TPI Muara Angke. Dimensi lebar kapal maksimal 6 m,
panjang kapal maksimal 30 m, dan tinggi 2 m (Mahdi, 2005). Kapasitas awal TPI Kamal
Muara adalah 15 unit kapal ukuran 10 GT (lihat Tabel 4.16), kenyataannya jumlah

218
kapal yang berlabuh di TPI Kamal Muara sebanyak 1.076 buah dengan ukuran > 10 GT
dan 21 unit dengan ukuran 5-10 GT. Diasumsikan bahwa ke 1.076 kapal mempunyai
GT rata-rata sebesar 20 GT dan yang 21 unit sebesar 7,5 GT, maka GT total semua
kapal yang berlabuh di TPI Kamal Muara adalah sebesar 2.310 GT (angka dibulatkan).
2) panjang darmaga = d = {n.L + (n-1) 15,0 + 50,0} m; lebar = 2 B + (30,0 ~ 40,0) m;
dimana n = jumlah kapal yang akan ditampung di darmaga, L = panjang kapal, dan B =
lebar (Murdiyanto, 2002); panjang Kali Kamal yang dapat dimanfaatkan untuk darmaga
sepanjang 400 m, jadi lebar kolam pelabuhan sebesar {(2 x 6) + 40} m = 52 m, atau jika
menghitung panjang kapal maka lebar kolam pelabuhan minimal dua kali panjang kapal,
yaitu sebesar 56 m.
3) = 8-10 kali lebar kapal (Murdiyanto, 2002)
4) = panjang Kali Kamal yang diasumsikan dapat dikembangkan menjadi tempat darmaga
bongkar
5) = menurut Murdiyanto (2002) kedalaman kolam pelabuhan sebesar {jarak lunas kapal dari
dasar kolam (0,8 ~ 1,0) + tinggi draft kapal (2 m) + beda pasang tertinggi dan terendah
(1,16-0,4)+ jarak antara dek kapal dengan lantai darmaga (0,5 ~ 1,5)} m = (1,0 + 2 +
1,12 + 1,5) m = 4,62 m, dibulatkan 5 m
6) = kebutuhan air bersih setiap kapal dengan 30 orang ABK untuk beroperasi selama 20 hari
per trip adalah (20 x 30 x 5 liter) = 3 m3, untuk kebutuhan penanganan ikan di tempat
pelelangan 100 liter per ton ikan.
Jumlah kapal yang pergi melaut sebanyak 50 %, dengan volume hasil tangkap per
kapal sebanyak 10 ton ikan. Jadi kebutuhan air per bulan = (50 % x 500 x 13) m3=
3.250 m3
7) = jumlah BBM per trip 4.000 liter per kapal, jadi untuk 250 kapal per bulan = 1 jt liter
8) = kebutuhan oli rata-rata per kapal per trip = 35 liter, jadi untuk 250 kapal per bulan =
8.750 liter
9) = menurut Murdiyanto (2002), luas gedung pelelangan diperhitungkan berdasarkan rumus
S = NP/R; dimana S = luas gedung pelelangan; N = jumlah produksi per hari {(250 x
10) ton/25 hari} = 100 ton; P = faktor daya tampung ruang terhadap produksi, rata-rata
sebesar (11 ton/m2); = rasio antara ruang lelang dan gedung pelelangan (0,4); R =
frekuensi pelangan per hari (2 kali per hari). Sehingga luas gedung pelelangan yang
diperlukan seluas 1.375 m2
10) = ruang perbaikan alat penangkapan ikan, diasumsikan sebesar ruang pelelangan, yaitu
1.375 m2
11) = ruang bengkel (workshop) dan dockyard diperhitungkan berdasarkan pada laporan
Kurniawati (2005) bahwa kapal purse seine rata-rata melakukan docking sebanyak 2,28
kali setahun selama masing-masing 5,82 hari. Dengan jumlah kapal yang ditampung
sebanyak 500 kapal, maka jumlah dock yang diperlukan mengikuti rumus Nnl/t, dimana
N = jumlah kapal; n = frekuensi perbaikan per hari; l = lama hari docking; dan t = lama
hari kerja per tahun, diasumsikan 300 hari kerja. Jadi jumlah dock yang perlu dibangun
harus mempunyai kapasitas untuk 22,12 unit kapal, dibulatkan sebanyak 22. Dengan
asumsi dimensi kapal sebagaimana tercantum dalam point 1) di atas, ditambah jarak
antara kapal yang didocking sebesar 2 m, maka luas keseluruhan dock sekitar 5.400
m2.
12) = jumlah es balok yang digunakan dalam satu trip diasumsikan sebanyak 500 balok (@ 40
kg)

219
13) = diasumsikan 50 % dari ikan hasil tangkap bermutu baik dan perlu disimpan di cold
storage, sehingga kapasitas cold storage yang tersedia harus sebesar = 50 % x 250
kapal x 10 ton = 1.250 ton.
Rumus perhitungan GT kapal berdasarkan Kepmen DKP No 10/2003
GT = (a + b)0,353; dimana a = volume ruang tertutup di bawah dek; b = volume
ruang tertutup di atas dek).

Model matematika dari hubungan antara jumlah kapal yang dipindah dari
TPI Muara Angke ke TPI Kamal Muara dengan pembangunan (ketersediaan)
fasilitas pelabuhan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

Yi = ki .X
Dimana:

X = bobot kapal dalam GT, untuk kapal ukuran < 50 GT

Y = fasilitas pelabuhan di TPI Kamal Muara

i = 1, 2, 3, ...., n, faktor fasilitas pelabuhan yang berubah oleh


bobot kapal.

Dengan menggunakan program visual basic, maka model perubahan


fasilitas pelabuhan dikaitkan dengan jumlah kapal yang dipindah dapat dilihat
pada Tabel 5.26.

Tabel 5.26 Model perubahan jumlah kapal yang pindah dan fasilitas pelabuhan
yang perlu ditingkatkan

No PRASARANA/ NILAI IDEAL DARI PRASARANA/SARANA PPI KAMAL MUARA


SARANA PPI BERDASARKAN TOTAL BOBOT KAPAL YANG HARUS DIPINDAH

2.500 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000


1. Lebar alur 35,21 37,96 43,47 48,98 54,49 60
masuk3) (m)
2. Panjang darmaga 92,60 126,7 195,0 263,3 331,6 400
sandar4) (m) 5 6 76 9
3. Luas kolam 1.936, 4.387, 9.290, 14.19 19.09 24.00
pelabuhan/ 32 84 88 3,92 6,96 0
darmaga2) (m2)
4. Kedalaman 1,03 1,47 2,26 3,24 4,12 5
kolam5) (m)
5. Volume kolam 2.306, 15.38 41.53 67.69 93.845, 120.0
(m3) 36 3,43 7,57 1,71 86 00

220
Lanjutan Tabel 5.26
2.500 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000
6. Frekuensi keruk 1,01 1,12 1,34 1,56 1,78 2
(perth)
7. Volume keruk 803,8 11.38 32.53 53.69 74.845, 96.00
(m3) 8 1,23 5,92 0,61 31 0
8. Air bersih6)/bulan 1.018, 1.266, 1.762, 2.258, 2.754,1 3.250
(m3) 841 75 56 37 9
9. BBM7) per 305,8 382,9 537,2 691,49 845,75 1.000
bulan(ton) 6 9 4
10. Oli per bulan8) 0,87 1,74 3,49 5,25 7,00 8,75
(ton)
11. R. pelelangan9) 85,89 229,1 515,5 882,0 1.088,5 1.375
(m2) 2 9 6 3
12. Ruang perbaikan 71,01 215,9 505,6 795,4 1.085,2 1.375
alat tangkap 0 7 5 3
ikan10) (m2)
13. Dok/bengkelan11) 144,3 728,3 1.896, 3.064, 4.232, 5.400
(m2) 8 4 25 17 09
14. Es balok)12) 15.92 28.04 52.28 76.52 100.7 125.0
/bulan) 1,11 0,99 0,74 0,49 60,24 00
15. Cold storage13) 10,47 148,1 423,6 699,1 974,5 1.250
(ton) 9 5 0 5
16. R.penanganan14)( 85,89 229,1 515,5 802,0 1.088, 1.375
m2) 2 9 6 53
17. R pengolahan14) 85,89 229,1 515,5 802,0 1.088, 1.375
(m2) 2 9 6 53

Besarnya nilai penurunan akibat dialihkannya ke 299 unit kapal ikan


tersebut dapat dihitung sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.27.

Tabel 5.27 Besaran jumlah ikan dan nilai retribusi yang diperkirakan dapat
diperoleh dari operasional 299 unit kapal ikan di TPI Muara Angke
(data diolah dari Tabel 4.10, Tabel 4..11 dan Tabel 4.12).
PARAMETER 2002 2003 2004
1 Total produksi ikan lokal 8.472.920 8.162.744 8.109.187
2. Nilai retribusi lelang dari total 1.235.685,14 1.615.307,18 1.693.584,92
produksi ikan lokal (x Rp 1.000)
3. Jumlah kapal ikan yang tambat 3.262 3.081 3.527
labuh
4. Nilai rata-rata retribusi per kapal 378.812 524.280 480.177
ikan
5. Perkiraan nilai retribusi dari 299 108.340.232 149.944.080 137.330.622
kapal ikan

221
Dari Tabel 5.27 di atas dapat dilihat bahwa untuk jumlah kapal ikan
sebanyak 286 unit, diperkirakan akan dihasilkan nilai retribusi sebesar Rp 137,33
juta rupiah per tahun untuk tahun 2004. Nilai retribusi bulanannya berarti sebesar
Rp 11,44 juta. Secara teoritis, nilai retribusi ini tidak akan hilang dari kas
keuangan daerah Kota Jakarta Utara, karena perpindahan tempat pendaratan kapal
dari TPI Muara Angke ke TPI Kamal Muara masih ada dalam suatu wilayah
administrasi. Tetapi dampak ikutan dari proses pembangunan TPI Kamal Muara
dan pemindahan kelebihan kapasitas tampung TPI Muara Angke tersebut dapat
memancing kegiatan ekonomi yang lebih besar.

Prediksi perubahan jumlah kapal di TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara,
dan TPI Dadap menggunakan Stella dapat dilihat pada Gambar 5.9.

1: kplTPI Muara A 2: TPI Dadap 3: TPI Kamal Muara 4: kplpindahdrMA 5: jmlkpl pindahDd
1: 45000
2: 1954
3: 30000 2
4: 20000
5: 400 1 3
5 3
2
3
1: 30000
2: 1204 3
5
3: 15000 2
4: 10000
5: 250
1 5
4 2
1
3
5 2
1: 15000 1
2: 454 4 4 4 4 5
1
3: 0
4: 0
5: 100
2006.00 2007.00 2008.00 2009.00 2010.00 2011.00
Page 1 Years 10:19 AM Sat, Apr 29, 2006

Gambar 5.9 Kurva laju perubahan keseimbangan jumlah kapal di TPI Muara
Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi
TPI Kamal Muara

Dari Gambar 5.9 tampak bahwa perubahan jumlah kapal di TPI Muara
Angke akan terjadi secara drastis dalam kurun waktu satu tahun pertama, dari
jumlah 815 sekarang ini sampai kembali ke kapasitas awal yang direncanakan
sebanyak 500 kapal. Jika dijadwalkan pemindahan kelebihan kapal ikan tersebut
berlangsung selama lima tahun, maka pada tahun pertama dapat dipindah
sebanyak 2942 GT, dan secara tetap dapat dipindah sebanyak ini pada tahun-tahun

222
berikutnya. Bentuk kurva pindah kapal dan kapal yang tersisa mempunyai bentuk
yang relatif sama. Hanya saja pada tahun pertama tersebut, pemindahan kapal
sebenarnya dapat dilakukan tuntas, hanya saja tergantung pada peningkatan
prasarana dan sarana pelabuhan sesuai dengan yang direncanakan. Sementara itu,
pola perubahan jumlah kapal yang dipindahkan dari TPI Dadap dan jumlah yang
tersisa bentuknya sama.

Model Stella yang dapat dibuat untuk menggambarkan sistem tersebut


dapat dilihat pada Gambar 5.10, sedangkan persamaannya dicantumkan dalam
Lampiran 6.

Gambar 5.10 Model kualitatif perpindahan sebagian armada penangkapan ikan


ke TPI Kamal Muara

223
Salah satu causal loop dari model ini yang diprediksikan dapat terbentuk
dicantumkan dalam Gambar 5.11.

PEMDA PRODUKSI IKAN


TANGERANG
+

+
+ PPI/TPI PEMDA
+ KAMAL MUARA DKI
+
+ + + +
+
PROGRAM PPI/TPI PPI/TPI PEMBANGUNAN
WISATA DADAP MUARA FASILITAS PPI/TPI
BAHARI ANGKE

Gambar 5.11 Causal loop yang diasumsikan dapat terjadi pada proses pindah
kapal ikan dan investasi fasilitas pelabuhan

Dari Gambar 5.11 tampak bahwa bilamana dilakukan pemindahan


sebagian kapal ikan dari PPI Muara Angke dan PPI Dadap ke PPI Kamal Muara,
maka yang akan terjadi adalah:

1) Pemda DKI Jakarta harus meningkatkan fasilitas fisik yang berkaitan


dengan operasional PPI Kamal Muara;

2) Peningkatan jumlah kapal ikan yang disertai oleh terpenuhinya prasarana


dan sarana serta fasilitas operasional penangkapan ikan dan penanganan
hasil tangkapnya akan menghasilkan peningkatan produksi hasil tangkap;
selain itu, fasilitas pelelangan dan pemasaran ikan akan meningkatkan
volume ikan yang diperjualbelikan;

3) Dampak langsung dari peningkatan volume produksi dan pemasaran ikan


akan secara otomatis meningkatkan nilai retribusi ke PEMDA DKI Jakarta;

4) Berbarengan dengan hal tersebut, perkembangan kegiatan wisata bahari


yang direncanakan di PPI Dadap juga akan menyerap hasil tangkapan ikan
dari PPI/TPI Kamal Muara, baik oleh restoran seafood, para pengolah
produk diversifikasi ikan, maupun pedagang eceran ikan;

224
5) Peningkatan aktivitas wisata bahari di Dadap yang melibatkan nelayan
pemandu, secara otomatis akan menyebabkan timbulnya efek ganda, baik
yang berkaitan langsung dengan kegiatan wisata bahari tersebut, seperti:
penyediaan umpan, peralatan pancing, maupun yang tidak langsung seperti
souvenir, sarana parkir, keamanan, rumah makan, dll.

6) Berkembangnya kegiatan ekonomi di Dadap secara otomatis harus juga


dapat meningkatkan PAD Kabupaten Tangerang.

Jumlah kapal ikan di TPI Kamal Muara meningkat secara tajam setelah
tahun pertama. Hal ini terjadi karena adanya kapal yang masuk dari TPI Muara
Angke dan TPI Dadap. Bentuk kurva yang menaiki tajam sampai akhir tahun
kedua diduga karena jumlah unit kapal sebenarnya lebih banyak dari yang tercatat.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya proses penyesuaian diri antara jumlah kala
dengan ketersediaan fasilitas yang tersedia. Artinya persiapan pengembangan
fasilitas di TPI Kamal Muara memang memerlukan waktu yang cukup lama
sebelum siap untuk menampung kapal-kapal pindahan tersebut.

Pertambahan jumlah kapal di TPI Kamal Muara sebagaimana tampak


dalam Gambar 5.9 terjadi secara gradual dalam jangka waktu 5 tahun tersebut,
dimana total jumlahnya adalah sebanyak 25.000 GT. Namun demikian,
mengingat saat ini jumlah kapal sebenarnya 2.000 kapal dengan ukuran berat
berbeda, maka beberapa strategi pengelolaan kapal penangkap ikan yang dapat
dilakukan antara lain sebagai berikut:
(1) Berkurangnya sumberdaya ikan di perairan pantai mengharuskan
dilakukannya kerjasama kelompok nelayan untuk membentuk suatu unit
armada penangkapan ikan yang lebih besar, baik dari ukuran kapal dan alat
penangkapnya maupun daya jangkaunya ke fishing ground.
(2) Relokasi dan kapal-kapal ikan yang berukuran kecil, baik ke daerah-daerah
lain yang memiliki sumberdaya ikan di perairan pantai yang masih baik,
maupu dialih-fungsikan untuk aktivitas lain yang masih berkaitan dengan
keahlian nelayan, antara lain: kapal pemandu wisata pesisir, untuk layaran,
untuk sport fishing, dan juga untuk transportasi antar pulau.

225
(3) Melakukan peremajaan kapal ikan yang sudah tidak layak lagi untuk
digunakan, dengan berlakunya persyaratan ukuran kapal sebesar 50 GT.
(4) Mengembangan fasilitas pelabuhan TPI Kamal Muara sesuai dengan
kapasitas yang direncanakan.
(5) Membentuk suatu lembaga pengelolaan terpadu diantara Dinas Teknis
terkait di Kabupaten Tangerang dan di Kota Jakarta Utara.

Data perubahan keseimbangan jumlah kapal di TPI Muara Angke, TPI


Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi TPI Kamal Muara
selengkapnya dicantumkan dalam Tabel 5.28.

Tabel 5.28. Data pola perubahan keseimbangan jumlah kapal (dalam GT) di TPI
Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario
optimasi TPI Kamal Muara dari tahun 2006-2011

Tahun Jml kapal di TPI Jml kapal Jml Kpl Jml kpl Kplp indah
Dadap di TPI TPI Muara pindah dari dr TPI MA
Kamal Angke TPI Dadap
Muara

2006 1.954 50 40.750 391 2.492


2007 1.563 15.391 25.800 313 2.492
2008 1.251 18.195 23.308 250 2.492
2009 1.000 20.938 20.816 200 2.492
2010 800 23.630 18.324 160 2.492
2011 640 26.282 15.832
Catatan: nilai dibulatkan.

Dari Tabel 5.28 tampak bahwa meskipun direncanakan untuk


memindahkan jumlah kapal dari TPI Muara Angke dan TPI Dadap dalam
persentase yang sama untuk tiap tahun selama jangka waktu lima tahun, namun
hasil analisis Stella menunjukkan bahwa perubahan jumlah kapal yang terjadi
pada tahun 2011 tidak sebesar yang direncanakan. Pada tahun 2006 menunjukkan
data awal yang ada di setiap TPI, kemudian sudah mulau terjadi proses pindah
sebagian kapal dari Muara Angke dan Dadap. Pada akhir tahun 2007, TPI Dadap
akan menisakan jumlah kapal sebanyak 640 GT, dari yang direncanakan sampai
jumlah 500 GT, sementara di TPI Kamal Muara jumlahnya mencapai 26.282 GT.

226
Hal ini mungkin terjadi karena adanya perkembangan yang tidak linier dari
pembangunan fasilitas, baik yang diperlukan oleh TPI Kamal Muara, maupun
fasilitas pengembangan yang dilakukan di TPI Dadap.

5.4 Skenario pengembangan dan pengelolaan pelabuhan perikanan di


kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara

5.4.1 Penentuan lokasi pelabuhan perikanan

Menurut Kramadibrata (2002), pelabuhan adalah tempat berlabuhnya kapal-


kapal yang diharapkan merupakan suatu tempat yang terlindung dari gangguan
laut, sehingga bongkar muat dapat dilaksakan untuk menjamin keamanan barang.
Suatu lokasi di pantai dapat memenuhi persyaratan ini dengan kedalaman air dan
besaran kolam yang cukup untuk ukuran tertentu, sehingga hanya dibutuhkan
adanya suatu dermaga (wharf) tempat ditambatkannya suatu perahu. Pelabuhan
seperti ini disebut pelabuhan alam. Tipe tempat lain yang dibentuk dan
diperuntukan bagi berlabuhnya kapal adalah pelabuhan buatan, dimana alur masuh
dan kolam pelabuhan, dan pemecah gelombang harus dibangun secara penuh.
Diantara kedua tipe pelabuhan ini ada juga yang termasuk pelabuhan semi alam.
Mengacu pada definisi yang tercantum dalam International Maritime
Dictionary, Murdiyanto (2004) membuat padanan untuk istilah harbour dengan
bandar, yaitu suatu pelabuhan alam yang tidak selalu memiliki fasilitas buatan.
Istilah port dipadankan dengan pelabuhan, dalam arti pelabuhan buatan.

Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa suatu pelabuhan dapat


digambarkan sebagai suatu tempat dimana berlangsung mekanisme transportasi
barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari
laut, dan sebaliknya. Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu
pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pelayanan yang diberikan oleh
pelabuhan didasarkan pada hasil dari pengalaman dalam jangka waktu yang lama.

Dalam kaitannya dengan kapal ikan, terjadinya antrian akan sangat


mempengaruhi nilai dari muatannya tersebut, terkait dengan proses lelang
(Dubrocard dan Thoron 1998). Hal ini tidak hanya waktu tunggu yang penting
tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan

227
yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan,
dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar.
Pelabuhan Perikanan Dadap dan Kamal Muara, jika dilihat dari bentuk fisik
dan tataletaknya bukanlah suatu pelabuhan yang ideal yang sejak awal secara
resmi direncanakan untuk dibuka oleh pemerintah (meskipun kemudian beberapa
fasilitas pendukung dibangun di sekitarnya). Karena kondisi muara sungai di
kedua daerah tersebut relatif dangkal dan laju sedimentasi cukup besar. Fungsi
pelabuhan ini berkembang lebih disebabkan oleh kebutuhan terhadap suatu tempat
bersandarnya kapal-kapal ikan yang memerlukan tempat berlindung dari ombak
dan angin.
Menurut Guckian (1974), suatu lokasi akan memerlukan pembangunan
fasilitas pelabuhan jika:
1) Ada kegiatan peluncuran kapal/perahu ke suatu perairan;
2) Ada proses gerakan kapal melalui suatu alur yang dangkal yang berbahaya,
seperti pantai berkarang, arus kencang, bars, surf, dll;
3) Diperlukan suatu prasarana penambatan (berthage) dan berlabuh
(anchorage) kapal/perahu yang aman untuk terapung (afloat);
4) Diperlukan suatu penanganan ikan hasil tangkap, baik dari perahu ke darat
maupun ke kapal/perahu lainnya.
5) Ada kegiatan perbaikan perahu dan suplai kebutuhan awak kapal, seperti
peralatan tangkap, bahan bakar, air, es, dan bahan lainnya;
6) Ada kegiatan penanganan dan pengolahan ikan di pantai;
7) Ada kegiatan pemeliharaan dan perbaikan kapal/perahu di dermaga/
pelabuhan, atau di pantai.
Guckian (1974) menambahkan bahwa pembangunan fasilitas di suatu
pelabuhan harus ditentukan pada dua faktor, yaitu: ukuran dan tipe kapal yang
akan digunakan; dan aktivitas khusus yang memerlukan pelayanan khusus pula.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam suatu pembangunan
pelabuhan, keterlibatan arsitek kelautan, teknik sipil, master penangkapan,
spesialis industri perikanan, ahli ekonomi, dan sosiologi.

Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), suatu kapal ikan yang berlabuh di
sebuah pelabuhan sudah harus mempunyai pertimbangan tentang adanya biaya

228
tunggu. Mereka mempertimbangkan waktu pelayanan bongkar muat menjadi
penentu utama kualitas pelayanan pelabuhan yang disediakan. Kualitas pelayanan
ini diukur dengan keterlambatannya (the delay), yang ditentukan oleh kapasitas
pelabuhan dan permintaan untuk mendapatkan pelayanan pelabuhan tersebut.

Untuk kasus TPI Dadap dan TPI Kamal Muara, pelayanan yang dilakukan
oleh pelabuhan sebenarnya hampir tidak ada. Hal ini tampak karena setiap kapal
ikan melakukan bongkar muat sendiri, baik untuk ikan hasil penangkapannya,
maupun untuk pemuatan ransum dan keperluan operasi penangkapan. Untuk
kegiatan servis mesin dan kapal juga dilakukan oleh awak kapal sendiri, tidak
mengandalkan bengkel khusus, kecuali jika terjadi kerusakan mesin yang relatif
parah sehingga memerlukan montir yang lebih akhli. Oleh karena itu, belum
diperlukan sistem analisis khusus untuk membahas teori antrian di TPI Kamal
Muara.
Menurut Kramadibrata (2002) dan Murdiyanto (2002), kelengkapan
fasilitas dalam suatu pelabuhan perikanan haruslah mencakup dua unsur utama,
yaitu:
(1) Fasilitas pokok (basic facilities), yang mencakup:
a. fasilitas perlindungan (protective facilities), berfungsi untuk
melindungi kapal dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
kondisi oseanografis seperti gelombang, arus, pasang, aliran pasir,
erosi, luapan air di muara sungai, dsb. Fasilitas ini dapat berupa
breakwater, groin, tembok laut, atau bangunan maritim lainnya;
b. fasilitas tambat (mooring facilities), digunakan untuk kapal
bertambat, bongkar muat ikan, berlabuh, dan saat menganggur (idle
berthing). Fasilitas ini dapat berupa dermaga pendaratan, mooring
quays, bollards piers, dan slipways;
c. fasilitas perairan pelabuhan (water side facilities), berguna untuk
pintu masuk pelabuhan dan manuver kapal di areal pelabuhan dan
untuk kapal berlabuh (anchorage). Fasilitas dapat berbentuk alur
atau kanal pelayaran atau kolam pelabuhan.

(2) Fasilitas fungsional terdiri dari berbagai fasilitas yang berfungsi untuk
melayani berbagai kebutuhan lainnya di areal pelabuhan tersebut, seperti

229
bantuan navigasi, layanan transportasi, layanan suplai kebutuhan bahan
bakar minyak dan pelumas, tempat penanganan dan pengolahan ikan,
fisilitas darat untuk perbaikan jaring, perbengkelan untuk perbaikan dan
pemeliharaan kapal, layanan kebutuhan air bersih dan perbekalan melaut
(makanan, sarana penangkapan, dsb), instalasi pengolahan limbah dan
saluran pembuangannya, layanan komunikasi, layanan kesejahteraan sosial
bagi nelayan dan umum, dlsb.

5.4.2 Kelayakan teknis pelabuhan perikanan

Untuk membangun suatu pelabuhan diperlukan suatu proses perencanaan


yang komprehensif (menyeluruh), baik dari aspek teknis-biofisik, ekonomi,
maupun sosial. Keseluruhan proses tersebut tercakup dalam studi kelayakan dan
kajian amdalnya. Proses pembangunan fisik pelabuhannya sendiri dapat
dilakukan dengan cepat asalkan dananya tersedia. Namun demikian, hal ini belum
menjamin suatu pelabuhan akan dapat berkembang dengan baik, jika faktor-faktor
lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tidak diteliti dengan cermat.

Banyak kasus program pembangunan pelabuhan yang dilakukan oleh


pemerintah tidak dapat dimanfaatkan sama sekali, atau dapat dimanfaatkan tetapi
jauh dibawah kapasitas optimal. Temuan lapangan dari Program Pembangunan
dan Peningkatan Sarana Pelabuhan Perikanan di Indonesia tahun 1998-2000
diperoleh data ternyata beberapa pelabuhan perikanan tersebut ada yang sudah
rusak sebelum difungsikan, baik hancur karena arealnya tergerus abrasi atau tidak
dapat difungsikan karena sudah cukup jauh dari tepi pantai. Kasus lain lagi ada
pelabuhan yang tidak dipakai karena nelayan tidak ada yang mau mendaratkan
kapalnya, baik karena tidak ada pembeli, tidak dilengkapi fasilitas kegiatan
perikanan yang memadai, maupun karena faktor keamanan berlabuh yang kurang
sempurna. Penyebab terjadinya semua kegagalan tersebut adalah faktor
perencanaan yang tidak baik dan tidak terpadu, serta faktor pengawasan
pelaksanaan pembangunan pelabuhan tersebut yang sangat lemah.

Secara teknis, PPI/TPI Dadap sudah kurang layak lagi untuk dijadikan
pangkalan pendaratan ikan, mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Kelautan

230
dan Perikanan No. PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan
Perikanan (DKP 2006) dan Lubis (2002) tentang fungsi pelabuhan perikanan,
yaitu dalam hal berikut:
1) Tidak lengkapnya fasilitas-fasilitas yang ada di PPI/TPI Dadap, baik fasilitas
pokok, yang meliputi: (1) pelindung seperti breakwater, revetment, dan
groin; (2) tempat tambat seperti dermaga dan jetty; (3) perairan seperti
kolam, dan alur pelayaran; (4) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-
gorong, jembatan; dan (5) lahan pelabuhan perikanan.; fasilitas fungsional
yang terdiri dari: (1) tempat pelelangan ikan sebagai tempat pemasaran hasil
perikanan (tidak difungsikan lagi); (2) tidak ada sistem navigasi pelayaran
dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar,
dan menara pengawas; (3) kurangnya suplai air bersih, es, listrik; (4)
pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel
dan tempat perbaikan jaring dilakukan oleh dan ditempat nelayan sendiri;
(5) tempat penanganan dan pengolahan hasil perikanan tidak tersedia,
demikian juga laboratorium pembinaan mutu; (6) tidak berfungsinya
perkantoran untuk administrasi pelabuhan; (7) belum tersedianya alat
transportasi ikan dan bahan perbekalan penangkapan; serta (8) belum adanya
TPA (tempat pengolahan limbah) seperti instalasi pengolah air limbah
(IPAL).
2) Tidak tersedianya fasilitas penunjang, seperti: (1) balai pertemuan nelayan;
(2) tempat pengelolaan pelabuhan, seperti mess operator, pos jaga, dan pos
pelayanan terpadu; (3) fasilitas sosial dan umum, seperti tempat peribadatan,
dan MCK; (4) kios IPTEK; serta (5) tempat penyelenggaraan tugas
pemerintahan seperti keselamatan pelayaran, K3, bea dan cukai,
keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina
ikan.

Ketiadaan fasilitas yang tersedia menyebabkan fungsi pelabuhan perikanan


sebagaimana yang dinyatakan oleh Lubis (2002), tidak dapat dijalankan semua,
baik yang berdasarkan pendekatan kepentingan maupun pendekatan aktivitas.
Fungsi yang dapat berjalan hanya fungsi pemasaran yang juga tidak dilakukan di
TPI.

231
Untuk kasus PPI/TPI Kamal Muara, kondisinya jauh lebih baik. Di sini
hampir semua fungsi pelabuhan dan tempat pelelangan ikan masih berfungsi
meskipun belum sempurna. Sebagai contoh:

1) Fasilitas pokok belum lengkap, seperti tidak tersedia breakwater sebagai


pelindung dari gelombang dan arus;

2) Fasilitas fungsional belum lengkap dan belum difungsikan optimal, seperti:


(1) TPI tidak lagi digunakan sebagai tempat pelelangan; pelelangan ikan
malah dilakukan di jalan di depan TPI; (2) belum lengkapnya sistem
navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-
rambu, lampu suar, dan menara pengawas; (3) kurangnya suplai air bersih,
es, listrik; (4) tempat pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan dilakukan
di sekitar kolam pelabuhan oleh dan ditempat nelayan sendiri; (5) tempat
penanganan dan pengolahan hasil perikanan tidak tersedia, dan hanya
dilakukan di tempat/rumah masing-masing pedagang/pengolah; (6) tidak
tersedia laboratorium pembinaan mutu; serta (7) belum adanya TPA (tempat
pengolahan limbah) seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL).

3) Fasilitas penunjang belum lengkap, seperti: (1) kios IPTEK; serta (2) tempat
penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan pelayaran,
keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina
ikan.

Ketiadaan fasilitas yang tersedia tersebut memang tampaknya belum


diperlukan untuk pelabuhan perikanan yang berukuran kecil dan skala usahanya
hanya tingkat lokal saja. Jadi di PPI/TPI Kamal Muara fungsi pelabuhan
perikanan yang dapat dijalankan jika mengacu kepada Lubis (2002), meliputi: (1)
fungsi jasa; (2) fungsi pendaratan dan pembongkaran; serta (3) fungsi pemasaran.

5.4.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan

Keberhasilan suatu aktivitas pembangunan, sangat dipengaruhi oleh aspek


kelembagaan yang merupakan sebuah kerangka pengelolaan yang efektif.
Analisis kelembagaan mencakup aspek peran dan tanggungjawab dari berbagai

232
badan. Bilamana perlu dapat dilakukan revisi, sehingga pada suatu sisi yurisdiksi
yang tumpang tindih atau yang berselisih dapat diminimumkan, dan pada sisi lain
tidak ada isu penting yang tidak ditangani oleh suatu badan yang
bertanggungjawab. Oleh karena itu, sebagaimana dicantumkan dalam
Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for
Responsible Fisheries, CCRF), sebuah mekanisme kelembagaan bagi
pengelolaan pesisir terpadu akan menjamin hal berikut: pertama, ditetapkan
tanggungjawab secara sektoral yang tepat; kedua, ditetapkan tatanan-tatanan
pengkoordinasian/pengintegrasian yang tepat; dan ketiga, badan-badan pada
semua tingkat tetap terus diberi informasi menyangkut kebijakan kawasan pesisir
untuk menjamin pertalian dalam pelaksanaan kebijakan (FAO 1996).

Mengamati perkembangunan kegiatan pembangunan di wilayah DKI


Jakarta melalui hasil evaluasi pilot proyek Teluk Jakarta setelah tiga tahun
pelaksanaan, UNESCO-CSI berkesimpulan bahwa perlu peningkatan dan
pengembangan pilot proyek tersebut (Nur et al 1999). Menurut Nur et al (1999),
pada saat itu sebuah proyek sedang dirumuskan, yaitu "Environmental governance
and wise practices for tropical coastal mega-cities: Sustainable human
development of the Jakarta Metropolitan Area". Proyek ini akan berfungsi sebagi
sebuah forum koordinasi dari proyek-proyek yang berkaitan dengan peningkatan
kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan Jakarta, garis begar kegiatan
adalah sebagai berikut: (1) Menggalakkan partisipasi masyarakat dalam
peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan mendorong partisipasi masyarakat
dan LSM dalam pembangunan masyarakat berkelanjutan; (2) Mengintegrasikan
kegiatan peningkatan kualitas kawasan pesisir sebagai salah satu bagian dari
program permbangunan pemerintah (pusat dan daerah), merumuskan
kebijaksanaan lingkungan hidup dan system pemantauan, analisis and desiminasi
hasil lapangan; dan (3) Meningkatkan kesadaran sektor swasta (para pengelola
kawasan pariwisata dan kawasan industri) akan pentingnya arti dari pelertarian
lingkungan hidup. Program kegiatan disusun berdasarkan analisa ruang dari
permasalahan, misalnya : untuk mengurangi tekanan masyarakat terhadap
sumberdaya pesisir yang disebabkan oleh tata cara penangkapan ikan yang tidak
berwawasan lingkungan (pemakaian bom ataupun racun) maka kita akan cari

233
alternatif kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang sifatnya tidak
merusak lingkungan; dan untuk menurunkan polusi perairan Teluk Jakarta oleh
pestisida dan pupuk maka kita akan memperkenalkan dan membimbing petani
yang berada di hulu (di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, terletak sekitar 70
hingga 90 km dari pantai) untuk melakukan praktek pertanian berwawasan
lingkungan.

Adanya Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur,


merupakan suatu titik awal yang baik untuk melakukan pengelolaan suatu wilayah
yang terletak diperbatasan, sebagaimana Dadap dan Kamal Muara. Informasi dari
Sekretarian BKSP Jabodetabekjur menyebutkan bahwa koordinasi sudah berjalan
baik, meskipun ternyata diperlukan waktu yang lebih banyak untuk sampai pada
tingkat implementasi di lapangan. Nur et al (1999) menyatakan bahwa
permasalahan lingkungan hidup di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu tidak
dapat dipecahkan hanya pada tingkat lokal, melainkan dibutuhkan pemecahan
persoalan yang skalanya regional, yaitu Kawasan Metropolitan Jakarta. Hingga
saat ini belum ada satu pun Badan Pemerintah yang berhasil menangani
pembangunan dan pengelolaan Kawasan Jakarta Metropolitan (DKI Jakarta dan
beberapa Dati II di Jawa Barat) secara keseluruhan. Pada prinsipnya, Badan
Kerjasama Pembangunan Jabotabek (BKSP) adalah satu-satunya badan yang
bertanggung jawab atas koordinasi inter-regional dan inter-sectoral baik antara
pemerintah pusat dan instansi-instansi lain yang terlibat dalam pembangunan
Jabotabek. Pada saat ini, BKSP menghadapi beberapa persolan untuk
melaksanakan tugas ini, persoalan yang dihadapi antara lain: (1) tidak ada dana
khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan BKSP; (2) kegiatan BKSP bertumpang
tindih dengan beberapa lembaga pemerintah lainnya, teurama Bappeda Tkt. I DKI
Jakarta dan Jawa Barat; (3) peran BKSP dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengelolaan dan penyususnan anggaran pembangunan Jabotabek tidak begitu
jelas; dan (4) tidak ada petunjuk pelaksanaan pembangunan di Jabotabek.
Singkatnya BKSP tidak memiliki alat untuk mengkoordinaksikan dan
mengintegrasikan program pembangunan di Jabotabek. Setelah mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi BKSP, ditarik kesimpulan bahwa Pemerintah Pusat
dan Daerah perlu memberikan dukungan kepada lembaga ini (berupa penjelesan

234
statusnya, dukungan politik dan pendanaan) agar dapat menjalankan tugas dan
fungsi dengan baik.
Selain persoalan-persoalan di atas, beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya keterlambatan fungsi BKSP Jabodetabekjur adalah:
1) Hasil rapat koordinasi diantara anggota di dalam BKSP Jabodetabekjur
masih memerlukan waktu pembahasan di daerah masing-masing, kecepatan
proses pembahasan tersebut juga tidak sama.
2) Setelah adanya era otonomi daerah ini, birokrasi pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan pemerintah daerah lain harus melalui proses
pembahasan di kalangan DPRD.
3) Masih adanya perbedaan persepsi dikalangan tokoh-tokoh masyarakat
tentang konsep Jakarta Megapolitan.

Khusus untuk poin 3 di atas, beberapa tokoh masyarakat Jawa Barat berbeda
pendapat tentang konsep pembentukan Jakarta Megapolitan. Sengketa dan
rencana "pencaplokan" wilayah Jawa Barat oleh DKI Jakarta ternyata bukan
terjadi saat ini saja. Menurut Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H {mantan
Sekretaris Eksekutif Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta Bogor Tangerang
Bekasi (Jabotabek)}, wacana seperti itu sudah pernah dilontarkan DKI Jakarta
sejak 1974, saat Gubernur DKI dipegang Ali Sadikin. Namun ide tersebut
ditentang keras Gubernur Jawa Barat saat itu, Solihin G.P. (Anonimous 2006b).

Sejalan dengan perkembangan jaman, ternyata ide serupa yang kembali


dilontarkan oleh Gubernur DKI Jakarta sekarang, Sutiyoso, justru mendapat
sambutan positif dari beberapa tokoh Jawa Barat. Sesepuh Jawa Barat, Tjetje
Hidayat Padmadinata, berpendapat bahwa tidak seharusnya warga Jawa Barat
bereaksi secara berlebihan (over reaction) dalam menanggapi konsep Jakarta
Megapolitan. Pemikiran secara tenang dan cerdas adalah yang seharusnya
dilakukan. Konsep Megapolitan baru dikemukakan secara sepihak oleh Sutiyoso
hingga perlu lebih dicermati untuk melihat permasalahan secara menyeluruh.
Tjetje mengemukakan, konsep kawasan Megapolitan sebagai upaya membangun
ibu kota, dilakukan dengan merevisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta. "Kalau saja konsep Megapolitan hanya untuk daerah ibu

235
kota, maka sebenarnya Jakarta tidak cocok sebagai ibu kota RI. Siapa bilang ibu
kota negara harus besar? Menurut Tjetje sebagaimana dikutif dari PIKIRAN
RAKYAT, beberapa negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Australia, yang
menunjukkan bahwa tak selamanya ibu kota negara adalah kota besar. "Ibu kota
negara seharusnya berada di tempat yang tenang sebagai tempat berpikir untuk
para negarawan. Bukan penuh hiruk pikuk. Konsep ibu kota yang seharusnya
tenang dan hening itu, bahkan telah dikemukakan Presiden RI Soekarno tahun
1950-1960. Menurut Tjetje, saat itu Soekarno pernah mengusulkan kota
Palangkaraya Kalimantan Tengah sebagai ibu kota RI, bukan Jakarta (Anonimous
2006b).

Terhambatnya kinerja BKSP Jabodetabekjur mungkin pula ada kesan


negatif terhadapnya. Sebagaimana disampaikan oleh Atje, pembentukan BKPS
Jabotabek (saat itu) telah menarik banyak pejabat yang melamar untuk masuk di
dalamnya. Tapi, sayang dalam perkembangannya, lembaga itu malah dijadikan
"tempat pembuangan" pejabat-pejabat bermasalah. Ateng menyayangkan,
lembaga yang dirintisnya itu hanya jadi tempat pembuangan. Dia ingin lembaga
itu memiliki posisi yang penting karena kinerjanya. Satu hal lagi yang menjadi
penghambat kinerja tersebut adalah karena pemerintah pusat, ternyata tidak mau
mengakui lembaga itu sebagai lembaga struktural, sehingga para pejabatnya tidak
bisa naik pangkat. BKP Jabotabek hanya menjadi lembaga temporer, sehingga
para pegawai tidak bisa naik pangkat. Prof. Ateng Syafrudin berpendapat,
penanganan persoalan di perbatasan wilayah DKI Jakarta dengan Jawa Barat dan
Banten, tidak akan berjalan jika konsepnya perluasan wilayah. Persoalan hanya
bisa diatasi jika konsepnya adalah kerja sama antara tiga pemerintah provinsi,
dengan keterlibatan pemerintah pusat. "Pusat harus memberikan atensi tinggi,"
(Anonimous 2006b).

Selama ini, lembaga resmi yang ditunjuk oleh Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Tangerang untuk mengelola kegiatan perikanan di PPI/TPI
Dadap adalah KUD Mina Bahari. Namun demikian, setelah meninggalnya ketua
KUD tersebut tahun 1997, informasi dari nelayan menyebutkan bahwa TPI Dadap
tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelelangan ikan. Sama sekali tidak ada

236
aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, gedung TPI juga menunjukkan sebagai
tempat yang sudah lama tidak dihuni.
Untuk mengaktifkan kembali pengelolaan PPI/TPI Dadap sesuai dengan
aktivitas yang direkomendasikan, maka lembaga pengelolanya haruslah berupa
kantor bersama, dimana terdapat wakil-wakil dari instansi-instansi yang berkaitan
dengan aktivitas tersebut. Aktivitas-aktivitas tersebut meliputi:perikanan yang
mengarah pada wisata (sport fishing), perhubungan, penelitian, perdagangan, dan
pariwisata. Untuk PPI/TPI Kamal Muara, setelah dilakukan rehabilitasi sesuai
dengan kapasitas yang akan diembannya, maka pengelolaannya diharapan
dipegang oleh UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan
Pendaratan Ikan, sebagaimana yang sekarang berlaku di TPI Muara Baru dan TPI
Muara Angke. Hal ini perlu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan efisiensi
dan koordinasi secara profesional diantara pelabuhan-pelabuhan perikanan besar
yang ada di DKI Jakarta. Rekomendasi kelembagaan pengelola TPI di Dadap dan
Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.29.

Tabel 5.29 Aspek kelembagaan pengelola TPI Dadap dan Kamal Muara

No AKTIVITAS INSTANSI PPI/TPI PPI/TPI


DADAP KAMAL
MUARA
1 Koordinasi BKSP Jabodetaberkjur
pembangunan
2 Perikanan tangkap Dinas Perikanan-Kelautan -
3 Perikanan wisata Dinas Pariwisata -
4 Wisata pantai Dinas Pariwisata -
5 Kapal penelitian LIPI/BPPT -
6 Kapal pesiar Dinas Pariwisata -
7 Seafood restorant Dinas Perindag
8 Kapal petikemas Dinas Perindag -
9 Kepelabuhanan Syahbandar -
10 Pindah Dinas Karantina -
barang/hewan
11 Migrasi Dinas Imigrasi -
12. Pajak Dinas Bea cukai -

237
Dalam bentuk diagram, kelembagaan yang diusulkan untuk dibentuk dalam
rangka pengelolaan kawasan Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam
Gambar 5.12.

LIPI/BPPT

KANTOR
BERSAMA

PENGELOLA PENGELOLA PPI/TPI


PPI/TPI DADAP KAMAL MUARA

Catatan:
1 = Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten
2 = Bupati/Walikota
3 = Sekretaris
4 = Sekretariat
5 = SUB BAGIAN TATA RUANG & PERTANAHAN
6 = BAGIAN PEREKONOMIAN
7 = BAGIAN PEMERINTAHAN DAN KESRA
8 = BAGIAN UMUM
9 = SUB BAGIAN PERMUKIMAN, SARANA & PRASARANA
10 = SUB BAGIAN SUMBER DAYA AIR, KEBERSIHAN & LINGKUNGAN HIDUP
11 = SUB BAGIAN TRANSPORTASI & PERHUBUNGAN
12 = SUB BAGIAN AGRIBISNIS, KOPERASI & USAHA KECIL MENENGAH
13 = SUB BAGIAN INDUSTRI, PERDAGANGAN, PERTAMBANGAN & INVESTASI
14 = SUB BAGIAN KEPENDUDUKAN, KETENTRAMAN & KETERTIBAN
15 = SUB BAGIAN KESEHATAN & PENDIDIKAN
16 = SUB BAGIAN SOSIAL & TENAGA KERJA
17 = SUB BAGIAN
18 = PROGRAM DAN KEUANGAN
19 = SUB BAGIAN RUMAH TANGGA & PERLENGKAPAN
20 = SUB BAGIAN TATA USAHA & KEPEGAWAIAN

Gambar 5.12 Diagram hierarki pengelolaan kawasan Dadap-Kamal Muara.

Gambar 5.12 menunjukkan suatu skenario perlu dibentuknya lembaga


pengelola PPI/TPI Dadap-PPI/TPI Kamal Muara, khususnya pada masa proses
pemindahan kapal dan pembangunan fasilitas di kedua PPI/TPI tersebut.

238
Lembaga khusus ini (disebut Kantor Bersama) berfungsi untuk
mengakomodasikan dan mengkoordinasikan semua kepentingan dari setiap
institusi yang berkaitan dengan kedua PPI/TPI tersebut. Keberadaan BKSP
Jabodetabekjur dapat lebih mempercepat terlaksananya pengelolaan wilayah
Dadap-Kamal Muara secara terpadu, mengingat sudah lengkapnya bagian-bagian
dalam BKSP yang dapat mengakomodasi setiap kegiatan yang akan direncanakan
dan yang sudah dilakukan di kawasan tersebut.
Tugas Kantor bersama ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Menterjemahkan semua kebijakan yang ditetapkan oleh Pemda Kabupaten
Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara melalui dinas-dinas teknis terkait;
(2) Menjalankan program kerja di kedua PPI/TPI tersebut;
(3) Melaporkan semua perkembangan yang terjadi selama tahun anggaran
yang sudah lewat kepada atasan-atasannya, dengan tembusan kepada
Bupati Tangeran dan Walikota Jakarta Utara;
(4) Ikut secara aktif dalam diskusi pleno yang diselenggarakan oleh semua
instansi terkait dari kedua pemerintah daerah tersebut, untuk
mengklarifikasikan semua perencanaan dan pelaksanaan program yang
sudah berjalan serta untuk penyusunan dan perbaikan program selanjutnya;

Dalam Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of


Conduct for Responsible Fisheries, CCRF) sudah dinyatakan bahwa diperlukan
sebuah kerangka legislatif yang mengesahkan lembaga pengelolaan pesisir serta
kegiatan yang dilakukannya. Sifat yang tepat dari peraturan dan perundangan di
setiap negara tergantung pada ruang lingkup dan kesenjangan dalam peraturan dan
perundangan yang ada. Tambahan pula, pengalaman suatu negara tidak mesti
secara langsung bisa dipindahkan ke lain negara, sekalipun negara itu memiliki
kesamaan latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya (FAO 1996).

Dalam pengelolaan kawasan pesisir, salah satu dari fungsi kelembagaan dan
hukum yang paling penting adalah memastikan adanya suatu mekanisme untuk
penyelesaian sengketa. Berhubung sumber daya pesisir semakin langka. Perlu di
pertimbangkan bagaimana menyelesaikan tuntutan yang bersaing diantara sektor-
sektor, baik yang ada di masa kini maupun masa depan (FAO 1996).

239
5.5 Analisis Opini Masyarakat tentang Kondisi Perikanan di Kawasan
Dadap-Kamal Muara

Hasil identifikasi aktivitas perikanan yang berasal dari responden


menunjukkan bahwa kondisi unit penangkapan di kawasan Dadap-Kamal Muara
adalah sebagaimana dicantumkan dalam Tabel 5.30. Hasil pengolahan data
komunitas lokal dengan survey pro dicantumkan pada Lampiran 7.

Tabel 5.30. Rangkuman kondisi sarana perikanan di kawasan Dadap-Kamal


Muara berdasarkan responden nelayan

SARANA JENIS ALAT SPESIFIKASI


PERIKANAN
Alat tangkap Jaring rampus Mesh size 2, 10 pis, bahan snar, lebar 4
m.
Waring: mesh size 0,1, 10 ral, bahan
plastik
Jaring kampung Mesh size 2, 10 pis, bahan snar keras,
dengan lebar 4 m
Waring: mesh size 0,1, 10 ral, bahan
plastik
Jaring klitik mesh size 4, 5 pis, snar
Perbaikan 2 kali per tahun, 1 kali per minggu, 4 kali
jaring: per minggu
Tenaga ABK, tenaga khusus
perbaikan jaring

Kapal/perahu Dimensi (6 x 1,5 Bobot, 100-200 kg; bahan kayu


x 0,5) m3
Mesin & Dongfeng 11 hp, 2 knot
Kecepatan Honda 5 hp, 1 knot
Bahan Kayu
Dimensi (10 x Bobot 400 kg
1,7 x 0,8) m3
Pemeliharaan 6 bulan sekali
Mesin Merk Dongfeng 21 hp,kecepatan sekitar 2 knot per jam
penggerak
Perbaikan mesin 6 kali per tahun
4 kali per tahun
2 kali per tahun
1 kali per tahun
Montir sendiri beserta ABK, Bengkel khusus

Dari Tabel 5.30 tampak bahwa sebagian besar responden adalah berstatus
nelayan jaring rampus dan jaring kampung dengan rata-rata panjang 10 m per pis

240
dan jumlah jaring per unit sebanyak 10 pis (lembar). Bahan jaring adalah snar
nilon, dimana frekuensi perbaikan yang dilakukan bervariasi antara harian sampai
per enam bulanan, tergantung pada tingkat kerusakan dan frekuensi
penggunaannya. Tenaga kerja yang memperbaiki jaring umumnya dilakukan oleh
ABK sendiri, atau tenaga khusus yang diupah untuk pekerjaan tersebut. Upah
perbaikan jaring juga bervariasi tergantung tingkat kerusakan yang dialami.
Kapal yang digunakan nelayan untuk pergi melaut semuanya terbuat dari
kayu, dengan dimensi antara 6-10 m, lebar antara 1,6-1,7 m, dan tinggi antara 0,5-
0,8 m. Bobot ditaksir antara 100-200 kg. Pemeliharaan dan perbaikan kapal
dilakukan rata-rata setiap tahun dua kali.
Mesin penggerak yang digunakan umumnya buatan Cina merek Dongfeng
yang berbahan bakar solar dan bensin serta buatan Jepang merek Honda, dengan
tenaga berkekuatan antara 5-21 hp dan berbahan bakar bensin. Perbaikan mesin
dilakukan antara setiap dua bulan sampai satu tahun sekali, tergantung pada merek
mesin kapal yang digunakan. Secara umum, mesin buatan cina memerlukan
perawatan mesin yang lebih sering dibandingkan dengan mesin buatan Jepang.
Operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan yang menjadi
responden penelitian ini umumnya hanya di sekitar perairan Kepulauan Seribu,
khususnya di sekitar Pulau Bidadari, Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa, dan
Pulau Bokor, atau ke areal dimana perjalanan antara 2 sampai 8 jam dari TPI,
tergantung kekuatan motor penggerak perahunya. Biaya yang dikeluarkan oleh
nelayan setiap kali melakukan penangkapan ikan dapat dilihat dari Tabel 5.31.

Tabel 5.31. Rangkuman biaya operasi penangkapan ikan per trip di kawasan
Dadap-Kamal Muara berdasarkan responden nelayan tahun 2004

LOKASI JENIS & VOLUME BIAYA


PENANGKAPAN (Rp)

Perairan Kep. Seribu BBM-solar 5-90 liter per trip 25.000-450.000


BBM-bensin 5-20 liter per trip 25.000-100.000
Es balok: - 2 balok 3.500-14.000
Makanan 30.000-125.000
Kisaran biaya operasional per kapal ikan 83.500-689.000

241
Rata-rata biaya operasional per kapal ikan 386.250

Nelayan yang beroperasi pulang hari tersebut ada yang berangkat mulai
jam 02 dini hari, kemudian ada yang berangkat jam 04 subuh (63,3 %), kemudian
ada juga yang berangkat jam 07 atau jam 08 pagi. Sebagian besar nelayan
tersebut pulang melaut sekitar jam 17 (73,3 %), sebagian lagi ada yang sudah
pulang jam 11 pagi. Kegiatan penangkapan ikan umunya dilakukan sebanyak 20
kali per bulan. Sebagian besar nelayan berpendapat bahwa musim ikan puncaknya
terjadi antara bulan Juli sampai Oktober, musim biasa dari Februari sampai Juni,
dan bulan-bulan sisanya merupakan musim paceklik.
Selama aktivitas penangkapan, nelayan Dadap-Kamal Muara seringkali
bertemu dengan nelayan lain yang umumnya berasal dari Indramayu. Alat
tangkap yang digunakan para nelayan Indramayu tersebut juga berupa (baik jaring
cincing, gill-net, maupun jaering udang) dan pancing.
Sebagian besar nelayan responden melakukan pendaratan perahunya di
Muara Angke (66,7 %) dan Kamal Muara (63,3 %). Hanya dua responden yang
kadang-kadang mendaratkan ikannya di Muara Baru. Alasan nelayan untuk
mendaratkan ikannya di Muara Angke dan muara Baru disebabkan oleh layaknya
TPI Dadap untuk tempat pendaratan ikan, karena selain fasilitas yang kurang
memadai juga karena pendangkalan alur sungai.
Nelayan ternyata juga kadang-kadang menjual ikannya di tengah laut (73,3
%). Ada beberapa alasan yang dikemukakan nelayan, antara lain: pemilik kapal
tidak mengetahui (70,0 %), harga jual lebih baik (66,7 %). Selain menjual sendiri,
nelayan kadang-kadang juga mnitipkannya pada sesama nelayan di tengah laut
untuk dijualkan (66,7 %).
Kebijakan Pemda Kabupaten Tangerang melalui RTRW Kabupaten
Tangerang tahun 2000 menetapkan bahwa areal pertambakan yang ada di
Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan Paku Haji akan direlokasi ke Kecamatan
Mauk dan Kecamatan Kronjo. Namun demikian, tahun 2000 tersebut dalam
perencanaannya juga menyatakan bahwa di muara Kali Perancis akan dibangun
TPI. Namun demikian dengan keluarnya Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002
tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, maka prioritas pembangunan kawasan
Dadap tidak lagi ditujukan untuk mengembangkan perikanan tetapi sudah pada

242
persiapan pengembangan kawasan wisata. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah
program yang direncanakan dan dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan
yang hanya sedikit sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.32.

Tabel 5.32. Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang Tahun
Anggaran 2003.

No. NAMA KEGIATAN BIAYA SUMBER


DANA
(x Rp 1.000)
1. Optimalisasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lontar 125.000 DAU
di Kecamatan Kemiri
2. Rehabilitasi Saluran Tambak 485.000 DAU
3. Peningkatan Sarana Pelelangan Ikan (TPI) 300.000 DAU
4. Master Plan Pelabuhan Cituis 750.000 PAD
5. Optimalisasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan 300.000 DAU
6. Pembangunan Pasar Ikan Higienis (PPHLT) 450.000 DAU
7. Penerapan Teknologi Perikanan dan Pengembangan 475.000 DAU
Perikanan Darat
8. Peningkatan Kinerja Penyuluh Perikanan dan 75.000 DAU
Kelautan Melalui Peningkatan Operasional
Penyuluh
9. Peningkatan Produksi Perikanan Tangkap dan 400.000 DAU
Budidaya
10. Pengembangan Perikanan Tangkap Melalui Armada 600.000 DAU
Penangkapan Skala Kecil
11. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir 965.238 APBN
(PEMP)
12. Dana Pendamping PEMP 100.000 DDL/PBB

Sebagaimana juga dengan aspek lingkungan, semua penduduk yang menjadi


responden penelitian ini menganggap bahwa aktivitas perikanan TPI Dadap dan
TPI Kamal Muara berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat mereka
tinggal. Penduduk secara bulat (100 %) berpendapat bahwa kondisi lingkungan
di sekitar TPI tersebut menyebabkan timbulnya aspek sosial yang berdampak
buruk bagi anak-anak (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.
Dampak lainnya yang dirasakan oleh penduduk adalah masalah keamanan
lingkungan yang rawan (sebanyak 35,7 %); dan gangguan transportasi (14,3 %).

243
Penduduk berpendapat bahwa pemecahan masalah lingkungan dapat
dilakukan dengan cara pengerukan sungai (92,9 %) dan pembenahan lingkungan
(14,3 %). Pembenahan lingkungan dilaksanakan secara konkrit dengan perbaikan
lingkungan (50,0 %), penataan lingkungan perumahan (28,6 %), dan beberapa
aktivitas lainnya (21,4 %) seperti penyuluhan, penataan lingkungan oleh Pemda,
serta kerja sama pemerintah dan masyarakat. Sementara itu, untuk mengatasi
masalah kerawanan sosial, penduduk mengusulkan untuk menghilangkan
minuman keras (40,0 %), menghilangkan WTS (40,0 %), keamanan terpadu (40,0
%); dan melaksanakan siskamling terpadu (20,0 %). Cara mengatasi
permasalahan keamanan lingkungan yang rawan diusulkan dengan cara tindakan
pemberantasan pelacuran dan perjudian (57,1 %), alih profesi (50,0 %), serta
tindakan lainnya seperti pendekatan sosial dan keagamaan, serta memberantas
perdagangan minuman keras (21,4 %). Untuk mengatasi permasalahan
transportasi hasil perikanan yang terganggu penduduk mengusulkan secara bulat
bahwa alat angkutan harus merapat ke TPI (100,0 %).
Nelayan yang tinggal di sekitar TPI Dadap dan Kamal Muara tidak hanya
apatis menghadapi kesulitan hidup sehari-hari yang dihadapinya, tetapi juga
berharap adanya peningkatan taraf hidup nelayan (60 %). Sebagian kecil dari
mereka (6,7 %) menginginkan adanya upaya untuk meningkatkan taraf hidupnya,
tanpa merinci apa bagaimana peningkatan taraf hidup itu dapat terjadi. Namun
demikian, beberapa upaya perbaikan yang diduga dapat meningkatkan taraf hidup
nelayan dan keluarganya menurut mereka adalah:
(1) TPI/PPI tidak jauh dari AUP, ada harapan bahwa mahasiswa dapat lebih
berperan aktif dalam menanggulangi permasalahan dalam kehidupan
nelayan sehari-hari;
(2) TPI/PPI diatur sesuai dengan kondisi wilayahnya masing-masing, untuk
kawasan Dadap dan Kamal Muara diharapkan adanya koordinasi dari
Dinas Perikanan setempat untuk melakukan distribusi bongkar muat kapal
dari TPI yang padat ke yang kosong, sehingga kegiatan ekonomi primer
dan sekunder dapat tetap berjalan; .
(3) Adanya kesinambungan generasi nelayan, masih terdapat keinginan
sebagian besar nelayan untuk menjadikan anak yang mereka miliki ikut

244
menjadi nelayan dan membantu menopang kehidupan sehari-hari yang
semakin sulit ini;
(4) Pemusnahan alat tangkap trawl, kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa para nelayan tradisional masih harus berebut ikan dengan lawan
yang tidak sepadan, sehingga semakin terpuruk karena lingkungan
perairan yang buruk menyebabkan kelompok ikan semakin jauh dari
pantai ditambah kemampuan armada perikanan dan modal yang terbatas;
(5) Menindaklanjuti aspirasi nelayan, dari pengalaman ternyata banyak sekali
aspirasi nelayan yang tidak ditindaklanjuti tanpa alasan yang jelas;
(6) Pengerukan Kali Perancis dan Kali Kamal sudah diajukan nelayan
beberapa tahun yang lalu, dan sejak itu sudah menjadi aspirasi nelayan
namun tidak ada program pengerukan yang tuntas.

Keberadaan TPI Dadap dan Kamal Muara yang relatif berdekatan tersebut
juga mengundang komentar responden. Sebanyak 71,4 % tetap menginginkan
adanya pemisahan kedua TPI/PPI sesuai UU. Hanya sebanyak 14,3 %
menyatakan bahwa hal tersebut tergantung masing-masing wilayah, mau digabung
atau mau tetap dipisah. Sebanyak 14,3 % lainnya memberikan beberapa pendapat
yaitu: 1) setiap keputusan yang berkaitan dengan TPI sebaiknya melibatkan
nelayan dan penduduk lokal; 2) prospek TPI masih bagus tetapi perlu
menggunakan tenaga profesional; 3) sungai sudah tidak layak, sering banjir saat
pasang atau hujan, sehingga perahu tidak bisa mendarat.
Responden juga berpendapat bahwa kedua TPI yang berdekatan tersebut
sangat merugikan (100 %), dengan alasan tidak sesuai UU OTDA (78,6 %);
menimbukan dampak sosial (71,4 %); dan menyatakan perlu adanya otonomi
masing-masing wilayah. 14,3 %. Sementara itu berkaitan dengan isu bahwa di
kawasan Dadap akan dibangun pelabuhan peti kemas, maka seluruh responden
(100 %) berpendapat bahwa lebih baik menggabungkan kedua TPI (Dadap dan
Kamal Muara menjadi satu Pelabuhan Perikanan Terpadu (PPI) untuk wilayah
Jakarta-Tangerang, sehingga limpahan kepadatan antrian kapal untuk bongkar
muat yang terjadi di TPI Muara Angke dapat dipindahkan ke Kamal Muara.
Sebagian dari responden juga ada yang tetap bersikukuh untuk menggunakan TPI
Dadap sebagai tempat berlabuh. Responden juga berpendapat bahwa ada

245
kemungkinan terjadinya kecemburuan sosial diantara kedua komunitas nelayan
yang bertetangga tersebut (85,7 %).
Sebagai upaya untuk ikut urun rembuk dalam rangka memperbaiki taraf
hidupnya, nelayan dan penduduk lainnya memberikan beberapa saran,
sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.33.

Tabel 5.33. Rangkuman saran penduduk responden nelayan berkaitan dengan


aktivitas perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara.

KELOMPOK TARGET SARAN SARAN %


PENDUDUK
(1) (2) (3) (4)
Nelayan Pedagang BBM Fasilitas BBM di sekitar TPI 66,7
tangkap Pemerintah/Pertamin
a
Ada kerjasama antara Pertamina 56,7
dengan KUD
BBM langsung dari Pertamina supaya 13,3
murah
Pengusaha harga terjangkau nelayan 66,7
bahan/alat
penangkapan ikan
tersedia sesuai kebutuhan 56,7
bisa beli ke DKP 46,7
di lokasi berdekatan dengan muara & 10,0
TPI
Pemerintah pengerukan alur kapal 63,3
hentikan penggunaan trawl (sejenisnya) 60,0
TPI pindah ke barat sungai 40,0
lainnya (TPI/PPI layak pakai, mudah 6,7
merapat, ada lelang, dekat TPI
Nelayan Pemerintah harga kerang memadai 63,3
budidaya
lainnya (pemasaran dekat TPI); 6,7
Pengolah ikan Pemerintah bantuan peralatan pengasinan, bak 56,7
fiberglass
lokasi penjemuran 56,7
bantuan permodalan dan peralatan 53,3
bantuan peralatan 6,7
Fasilitas pengolahan dekat dengan TPI 6,7

246
Lanjutan Tabel 5.33

(1) (2) (3) (4)


Pedagang Pemerintah kurangnya pedagang karena tak adanya 60,0
ikan TPI yang memadai
Permodalan 6,7
lainnya (pasar ikan yang higienis di 10,0
masing-masing wilayah, harga bersaing
dengan pedagang luar, dekat TPI
Penduduk Pemerintah pembenahan pemukiman nelayan 60,0
(komunitas
lokal)
lainnya (setuju pembangunan PPI/TPI 10,0
dekat dengan pemukiman nelayan, dekat
TPI)
Pengelola pelabuhan DKP 63,3
instansi terkait 63,3
KUD 63,3
Syahbandar 63,3
lainnya (peningkatan kondisi pelabuhan 6,7
agar mudah didarati nelayan dekat
TPI);
Pengusaha dok atau lokasi di bantaran muara Kali Perancis 70,0
bengkel dekat TPI
Pengusaha pabrik es Tersedia cold storage/pabrik es di 70,0
muara Kali Perancis
lainnya (perlu pedagang es eceran agar 3,3
harga murah)
Saran untuk Pemda peningkatan taraf hidup nelayan 60,0
Tangerang/Pemkot
Jakarta Utara
Lainnya: 6,7
(TPI/PPI tidak jauh dari AUP
kesinambungan generasi nelayan
pemusnahan trawl (sejenisnya)
menindaklanjuti aspirasi nelayan
Pemda Provinsi PPI/TPI diatur sesuai masing-masing 60,0
Banten/DKI Jakarta wilayah
lainnya (tingkatkan taraf hidup nelayan 6,7
sejajar dengan profesi lainnya di
Banten; pengerukan Kali Perancis;
DKI: Kamal Muara, TPI tetap di Muara
Angke

247
Dari Tabel 5.33 tampak bahwa sebagian besar nelayan (66,7-70,0 % %)
berkeinginan agar Pemerintah membangun fasilitas pengadaan BBM, perbaikan
kapal (dock), pabrik es dan cold storage di sekitar TPI, tentu saja dengan harga
yang terjangkau., selain itu ada aktivitas rutin pengerukan alur Kali Kamal dan
Kali Perancis. Hal lain yang menjadi perhatian masyarakat adalah adanya
keterpaduan pengelolaan TPI Dadap dan Kamal Muara, antara Dinas Perikanan,
KUD, dan syahbandar.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan masyarakat nelayan di kawasan
tempat tinggalnya tersebut, masyarakat menyatakan berbagai pendapatnya yang
ditujukan kepada Pemda Kabupaten Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara serta
Pemda Provinsi Banten dan DKI Jakarta, sebagaimana tercantum dalam Tabel
5.34.

Tabel 5.34 Pendapat Masyarakat Lokal tentang Masalah Perikanan

No. Pendapat Persentase


1. Peningkatan taraf hidup nelayan 60 %
2. TPI/PPI tidak jauh dari AUP 6,7 %
Adanya kesinambungan generasi nelayan
Pemusnahan alat tangkap trawl
Menindaklanjuti aspirasi nelayan
Pengerukan Kali Dadap dan Kamal Muara
TPI tetap di Muara Angke
3. Tidak menjawab 33,3 %

Hasil analisis data respon penduduk terhadap kondisi lingkungan disekitar


kawasan Dadap dan Kamal Muara menunjukkan bahwa permasalahan yang
dihadapi masyarakat adalah: 1) polusi lingkungan (semua reponden); 2)
kekumuhan lingkungan pemukiman (semua reponden); 3) dampak sosial dari
kekumuhan (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.) (semua
reponden); 4) keamanan lingkungan (35,7 % dari responden); 5) terganggunya
transportasi darat (14,3 % dari responden); serta masalah-masalah lainnya (50 %
dari responden), antara lain adanya debu pada musim kemarau dan lumpur pada
musim hujan.

248
Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa semua responden setuju
masalah paling besar yang mereka hadapi di kawasan Dadap Kamal Muara
adalah: polusi lingkungan, kekumuhan lingkungan pemukiman, dan dampak sosial
dari kekumuhan (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.).
Timbulnya masalah tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) Tidak jalannya fungsi pemerintah dalam pelayanan kepada masyarakat
yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan fisik dan sosial
(2) Belum sempurnanya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan dan
ketertiban lingkungan fisik dan sosial
(3) Kurangnya prasarana dan sarana pembersihan dan ketertiban lingkungan
(4) Adanya aktivitas proyek yang mempersulit upaya pembersihan dan
ketertiban lingkungan

Bilamana ditelusuri, hal ini tampaknya merupakan dampak negatif dari


aktivitas pembangunan yang kurang matang direncanakan dan disosialisasikan
sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Sosialisasi program pembangunan yang
dilakukan secara terbuka dan waktu yang cukup akan memberikan beberapa
keuntungan, yaitu:
(1) Masyarakat lebih cepat mengetahui secara langsung tentang akan adanya
suatu aktivitas pembangunan;
(2) Setiap individu dalam masyarakat dapat melakukan analisis tentang
posisinya, apakah aktivitas proyek tersebut akan berpengaruh secara
langsung atau tidak pada kehidupannya, baik secara pribadi atau
kelompok;
(3) Masyarakat dapat melakukan konsultasi kepada berbagai pihak yang
bersikap netral apakah proyek tersebut akan memberikan dampak positif
atau negatif pada mereka, baik dalam jangka pendek maupun panjang;
(4) Karena keputusan yang diambil masyarakat (baik secara individu maupun
kelompok) adalah didasarkan pada keputusan yang matang sehingga dapat
dijadikan dasar yang kuat bagi Pemda dan pengembang bilamana terjadi
sengketa dikemudian hari.

Responden yang dimintai pendapatnya tentang beberapa hal yang


berkaitan dengan sejarah rencana berbagai kegiatan di kawasan Dadap

249
menyatakan bahwa seluruhnya (100 %) pernah mendengar tentang rencana
pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya. Namun demikian, ternyata
informasi tersebut tidak ada kelanjutannya
Berkaitan dengan rencana Pemda Kabupaten Tangerang untuk
pembangunan Pelabuhan Peti Kemas di bekas TPI Dadap, sebagian besar
responden menyatakan tidak setuju (92,9 %), dan hanya 7,1 % yang menyatakan
setuju. Alasan penolakan yang dismpaikan responden adalah: 1) masih adanya
nelayan yang tinggal di areal TPI (92,9 %); 2) kalau TPI sudah tidak layak
dipindahkan ke sebelah barat sungai (71,4 %). Pendapat yang lainnya menyatakan
setuju (14,3 %) adalah menyetujuinya dengan alasan dapat memajukan Desa
Dadap, meskipun kalauTPI dipindah harus dengan kesepakatan KUD dan
nelayan). Jika seandainya Pelabuhan Peti Kemas Dadap itu tetap dibangun, maka
pendapat responden adalah: 1) seluruhnya (100,0 %) bersepakat untuk tetap
tinggal di tempat sekarang, baik tetap pada pekerjaan sekarang atau akan mencari
kerja lain. Namun demikian, sebagian kecil (38,5 %) dari responden tersebut juga
menyatakan akan pindah ke tempat lain agar tetap dapat menekuni pekerjaan yang
sekarang, yaitu di lokasi tempat akan dibangun TPI.

Contoh kasus yang menarik dikemukakan oleh Ellsworth et al. (1997)


yang melakukan penelitian di Pantai Timur Kanada untuk Program Aksi Pesisir
Atlantik (ACAP, the Atlantic Coastal Action Program). Karena Pemerintah
Kanada merasa tidak akan mampu untuk melakukan semua kegiatan yang
ditujukan untuk mencapai kondisi ekosistem yang berkelanjutan, maka penduduk
yang tinggal di kawasan pesisir perlu berperan serta. Penduduk diberdayakan
untuk mengambil tanggungjawab sebagai bagian dari pemeliharaan lingkungan.
Agar tujuan ini tercapai, diperlukan adanya informasi yang akurat dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk mengemban peran tersebut. Ellsworth et al.
(1997) menyebutkan adanya beberapa persyaratan untuk mencapai keberhasilan
dalam suatu program yang melibatkan masyarakat pesisir, yaitu:
(1) Adanya dukungan publik
(2) Memiliki kelayakan secara ekonomi
(3) Secara ilmiah dapat dipertahankan berdasarkan rencana pengelolaan
lingkungan yang komprehensif

250
(4) Didasarkan pada informasi yang akurat dan dapat diakses serta informasi
ekosistem yang dapat dimengerti.

Untuk itu Pemerintah Kanada (melalui Departemen Lingkungannya)


menyediakan beberapa perangkat (tools) yang dapat digunakan oleh penduduk
untuk berperan serta (Ellsworth et al. 1997), yaitu:
(1) Panduan perencanaan pesisir berbasis masyarakat
(2) Profil lingkungan penduduk
(3) Aplikasi GIS berbasis komunitas
(4) Hasil identifikasi dan evaluasi opsi-opsi remedial
(5) Buku pegangan tentang ekonomi lingkungan
(6) Electronic network-linking initiatives
(7) Akses pada pertukaran limbah dan network lainnya.
Jika diperhitungkan sejak mulai dikenalnya program pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu (ICZM = integrated coastal zone management) sekitar tahun
1992, maka di Indonesia (minimal di beberapa daerah yang sudah lama melakukan
kajian potensi sumberdaya peisisir dan lautan) seharusnya sudah mampu untuk
melaksanakannya secara penuh. Daerah-daerah tersebut antara lain: DKI Jakarta,
Bali, Pulau Lombok, Batam, dll. Hambatan utama sulitnya implementasi ICZM di
Indonesia adalah lemahnya koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program
pembangunan, ego sektoral, serta penegakan hukum yang belum sempurna.
Selain itu, pola pikir aparat pemerintah dan masyarakat yang terpaku pada sistem
keproyekan juga menyebabkan kurang berhasilnya aspek keberlanjutan suatu
program pembangunan; padahal sebagaimana dinyatakan oleh Pickave et al.
(2004), ICZM secara umum dikenal sebagai perangkat yang paling efektif untuk
menggabungkan suatu upaya konservasi dengan pemanfaatan berkelanjutan suatu
sumberdaya pesisir dan lautan dalam suatu perencanaan wilayah pesisir.

Belajar dari berbagai pengalaman yang terjadi selama ini, maka


keterpaduan pengelolaan kegiatan perikanan sangat perlu dilakukan di Indonesia.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pengelolaan perikanan terpadu ini
antara lain:

251
(1) Tercapainya efisiensi waktu pengadaan bahan baku (baik berupa peralatan
untuk kegiatan penangkapan dan budidaya ikan, maupun untuk kegiatan
pasca panen);

(2) Tercapainya efisiensi pemasaran bahan baku dan produk yang dihasilkan
oleh kegiatan industri pasca panen;

(3) Pengelolaan limbah yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan perikanan


tersebut lebih mudah karena keterbatasan kawasan yang dikelola serta
pengelolaan limbah dapat dilakukan secara terpadu;

(4) Kemudahan memperoleh tanaga kerja yang berpengetahuan dalam bidang


perikanan;

(5) Karena kawasan industri perikanan terpadu ini dapat dibangun terpisah
dari kawasan pemukiman penduduk sekitarnya, maka keamanan
lingkungan lebih mudah untuk ditanggulangi, baik secara swakarsa
maupun dengan memanfaatkan tenaga keamanan resmi (pihak kepolisian).

Selain dari berbagai keuntungan yang dapat diperoleh, beberapa kerugian


juga mungkin timbul dengan dilakukannya keterpaduan pengelolaan perikanan ini,
seperti:
(1) Jika terjadi malapetaka di suatu bagian/kawasan, kemungkinan bagian
yang lain pun akan terkena dampaknya (seperti polusi lingkungan, banjir,
kebakaran, dll.);
(2) Aspek sosial politik akan cepat menjalar dari satu bagian ke bagian lainnya
(seperti pemogokan karyawan, dll.);

Dalam suatu kawasan pesisir, keterpaduan kegiatan perikanan terdiri dari


berbagai komponen, seperti:
(1) Sumberdaya alam, yang mencakup sumberdaya perairan (ketersediaan
berbagai jenis ikan dalam jarak yang terjangkau secara fisik dan ekonomi)
dan sumberdaya lahan (untuk lokasi kegiatan perikanan terpadu dan lokasi
budidaya ikan);
(2) Perikanan tangkap, yang mencakup unit-unit pelabuhan perikanan,
perbekalan (alat tangkap, bahan bakar, bahan makanan, berbagai peralatan
pembantu, dll.), perbengkelan (galangan kapal dan bengkel mesin), , dll.;

252
(3) Pasca panen, yang mencakup unit-unit penanganan dan pengolahan ikan,
pabrik es, cold storage, perbekalan {alat penanganan dan pengolahan,
bahan bakar, bahan tambahan makanan, perbengkelan (bengkel mesin
pengolahan), berbagai peralatan pembantu, dll.}, laboratorium analisis
mutu bahan baku dan produk yang dihasilkan;
(4) Budidaya, yang mencakup unit-unit pembenihan (hatchery), pembesaran,
pakan, instalasi pengatur air (kelimpahan dan kualitas), laboratorium
analisis penyakit ikan dan baku mutu air, dll.;
(5) Perkantoran, yang mencakup unit-unit pemasaran, promosi, keamanan,
kesyahbandaran, dll.
(6) Prasarana dan sarana transportasi;
(7) Prasarana dan sarana tenaga listrik dan air serta BBM;
(8) Masyarakat sekitar, sebagai sumber tenaga kerja baik bagi kegiatan
penangkapan, budidaya, dan pasca panen serta pemasaran.

253
Sebagaimana tercantum dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Kabupaten Tangerang (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001), penetapan Dadap
sebagai daerah wisata yang mencakup aktivitas:
(1) wisata keluarga:
1) waterfront, meliputi dermaga nelayan, tempat pelelangan ikan, pasar
ikan, dan pasar sayur
2) daerah komersial, meliputi restoran, penginapan, play ground dan
tempat olah raga terbuka, taman-taman, serta tempat parkir.
(2) Wisata lahan pertanian dan tambak
(3) Pembenahan kegiatan-kegiatan hiburan
(4) Pembukaan gerbang tol Jakarta-Cengkareng ke arah Dadap
(5) Perbaikan jalur jalan
(6) Pengadaan air bersih
(7) Pengadaan jaringan infrastruktur
Disamping rencana-rencana sektor pariwisata tersebut di atas, kebijakan
sektor perhubungan (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001) adalah:
(1) Pembangunan fasilitas pergudangan di Kecamatan Kosambi dan pelabuhan
peti kemas di sekitar muara Kali Perancis;
(2) Membangun Dermaga Wisata Bahari di kawasan Wisata Tanjung Pasir.
Sektor perikanan dan kelautan juga mempunyai beberapa rencana di kawasan
pantura tersebut, yakni:
(1) Relokasi kawasan pertambakan dari Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan
Paku Haji, ke Kecamatan Mauk dan Kronjo;
(2) Membangun TPI dan pelabuhan nelayan di muara Kali Perancis.

Sesuai dengan hasil analisis ketergantungan daerah perikanan dan


kenyataan di lapangan sejak tahun 1997 sampai saat ini, maka diusulkan untuk
dilakukan revisi terhadap Rencana-rencana Induk Dinas Pariwisata, Dinas
Perhubungan, dan Dinas Perikanan, dengan alasan untuk meningkatkan efisiensi
aktivitas perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara, maka semua aktivitas

254
perikanan yang berlangsung di TPI Dadap perlu dipindahkan ke TPI Kamal
Muara. Alasan utama pemindahan aktivitas perikanan ini adalah:
(1) Jarak kedua TPI ini terlalu dekat, yaitu hanya 700 m lewat laut;
(2) TPI Dadap sudah tidak aktif lagi sejak Ketua KUD Mina Bahari meninggal
tahun 1997;
(3) Kali Perancis sudah sangat dangkal sehingga kapal ikan hanya dapat
masuk pada saat laut pasang;
(4) Adanya rencana pembangunan kawasan wisata Pantai Mutiara, darmaga
Kapal Riset Baruna Jaya, kapal pesiar (yacht), dan kapal peti kemas;
(5) Alih fungsi TPI Dadap menjadi pelabuhan yang mengkoordinasikan kapal
penelitian Baruna Jaya, kapal peti kemas, kapal pesiar, kapal angkutan ke
dan dari Kepulauan Seribu, serta perahu-perahu nelayan yang berubah
fungsi menjadi perahu untuk wisata air.

Pembangunan kembali TPI Kamal Muara harus mencakup berbagai fasilitas


prasarana dan sarana pelabuhan perikanan. Secara lengkap fasilitas yang pelu
dibangun dapat dilihat pada Tabel 5.27. Dari Tabel 5.27 tersebut tampak bahwa
untuk mencapai kondisi ideal yang diinginkan, kegiatan pembangunan di kedua
TPI tersebut juga perlu dikoordinasikan dengan baik oleh para perencana
pembangunan dari kedua Pemda terkait (Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda
Kabupaten Tangerang). Hal ini untuk mencegah terjadinya pemborosan
sumberdaya akibat pembangunan prasarana dan sarana yang tumpang tindih dan
tidak perlu dilakukan di areal yang secara fungsional kurang diperlukan. Selain
itu, suatu kerjasama yang saling melengkapi dalam hal penyediaan prasarana dan
sarana pembangunan di kawasan tersebut akan memberikan keuntungan optimal
bagi kedua belah pihak.

Konsep pembangunan kawasan pesisir terpadu benar-benar harus diterapkan


di kawasan perbatasan ini, dengan mengedepankan prinsip saling mendapat
keuntungan (win-win solution). Tidak perlu dikembangkan suatu kegiatan yang
sama di kedua kawasan perbatasan tersebut tetapi yang lebih baik adalah kegiatan
yang saling mendukung dan saling mengisi.

Tabel 5.27. Daftar fasilitas pelabuhan yang perlu dibangun di TPI Dadap dan TPI
Kamal Muara setelah rencana penataan.

255
No FASILITAS & DIMENSI TPI Dadap TPI Kamal Muara
1 Kapasitas awal - 15 motor tempel
2. Beban sekarang (jumlah < 5 GT = 55 unit > 10 GT = 1.097
unit kapal) 5-7 GT = 227 unit 5-10 GT= 21 unit
7-20 = 6 unit
3. Kapasitas yang Dapat menampung Kapal 500 kapal ikan
direncanakan Riset Baruna Jaya (300 dengan rata-rata
GT), kapal peti kemas, bobot 50 GT.
dan kapal pesiar
4. Pengerukan kolam kedalaman minimal 7 m kedalaman
pelabuhan dan jalur minimal 5 m
pelayaran
5. Pembangunan darmaga 176 m2 176 m2
sandar
Pembangunan kolam 24.000 m2 24.000 m2
pelabuhan
6. Tempat pelelangan ikan - 1.375 m2
7. Tempat penanganan ikan - 1.375 m2
8. Tempat pengecer/pengolah - 340 m2
ikan
9. Pembangunan pabrik es - 1 unit, kap, 4.000
balok per 24 jam
10. Pembangunan cold storage - 1 unit, kap. 1.250
ton
11. Pembangunan SPBU 1 unit, kap. 40 ton per 1 unit, kap. 40 ton
hari per hari
12. Bengkel/dok 1 unit 5.400 m2
13. Gudang alat perikanan 1 unit 5 unit
14. Pujaseri 24 unit 24 unit
15. Pos jaga 2 unit 1 unit

Dalam dunia nyata, koordinasi pembangunan tidaklah semudah apa yang


ditulis para ahli. Ego sektoral, tambahan penghasilan, kebanggaan diri dan
kelompok berkaitan dengan prestasi kerja sangat mempengaruhi mulus tidaknya
suatu koordinasi. Di Indonesia, agak sulit untuk mendapatkan suatu perencanaan
terpadu yang benar-benar mulus. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hal tersebut:
1) Setiap kegiatan di unit kerja pemerintah (baik pusat maupun daerah) selalu
diharapkan akan mendapatkan tambahan penghasilan bagi orang-orang yang
terlibat didalamnya. Oleh karena itu, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme,
termasuk juga gratifikasi) sulit diberantas;

256
2) Moral pegawai yang lebih mengedapankan kepentingan pribadi dan
kelompoknya dibandingkan dengan hasil akhir yang harus dicapai dari
kegiatan tersebut. Hal ini mengakibatkan kualitas pekerjaan yang dilakukan
sangat rendah, karena mengharapkan kegiatan yang sama diwaktu yang akan
datang;
3) Sanksi hukum yang belum benar-benar ditegakkan secara adil dan merata
(tidak melakukan tebang pilih). Hal ini terjadi karena juga aparat hukum
dan aparat keamanan belum benar-benar bekerja bersih;
4) Keteladanan pimpinan yang berkaitan dengan hidup jujur, sederhana, dan
bersih, masih belum umum dan kurang diekspose oleh media massa.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, beberapa hal dapat
dilakukan antara lain:
1) Menaikan gaji pegawai sampai pada tingkat dimana pegawai pada semua
tingkatan tidak lagi memikirkan untuk mencari tambahan penghasilan untuk
mencukupi kebutuhan primer (termasuk biaya pemeliharaan kesehatan dan
pendidikan anak);
2) Setiap pekerjaan dan tugas yang dilakukan di kantor adalah suatu kewajiban
bagi pegawai tersebut dan tidak akan mendapatkan tambahan penghasilan.
Dia bertanggungjawab terhadap aspek adminstrasi dan kualitas pekerjaan
tersebut.
3) Penghargaan pemerintah kepada pegawai harus didasarkan pada kejujuran
dan prestasi kerja yang berlandaskan kelestarian lingkungan, tidak hanya
didasarkan pada nilai uang semata;
4) Pemerintah harus menerapkan sanksi hukum secara adil dan merata.

Beberapa kegiatan pembangunan yang dapat dikerjasamakan diantara


Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda Kabupaten Tangerang antara lain dapat
dilihat pada Tabel 5.28.

Tabel 5.28 Beberapa kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan perikanan


yang dapat dikerjasamakan diantara Pemkot Jakarta Utara dengan
Pemda Kabupaten Tangerang di kawasan Dadap-Kamal Muara
No AKTIVITAS PEMDA PEMKOT
KAB. TANGERANG JAKARTA UTARA

257
1. Perikanan Instalasi air bersih Pembangunan
pabrik es fasilitas PPI Kamal
mesin penghancur es Muara
coldstorage perumahan nelayan
memfungsikan gudang untuk bengkel mesin dan
produk-produk perikanan dock
mengganti fungsi TPI Dadap tempat perbaikan alat
menjadi pelabuhan wisata tangkap
pantai dan laut rumah sakit
pengerukan dasar Kali pengerukan dasar
Perancis secara reguler Kali Kamal secara
Melakukan penataan lokasi reguler
budidaya kerang hijau

258
Lanjutan Tabel 5.28
No AKTIVITAS PEMDA PEMKOT
KAB. TANGERANG JAKARTA UTARA
2. Wisata laut Pendidikan pemandu wisata Penyiapan objek
menyediakan perahu untuk wisata laut
kegiatan wisata sarana keselamatan
rumah makan & restoran wisata laut
seafood menyiapkan objek
wisma/hotel untuk wisatawan wisata mangrove,
toko peralatan wisata laut
3. Prasarana Galangan kapal kayu dan fiber Toko peralatan tangkap,
dan Sarana glass, SPBU khusus
penangkapan
4. Kawasan melakukan koordinasi Menyiapkan kawasan
konservasi dengan kecamatan lain yang mangrove sebagai
memiliki kawasan konservasi daerah konservasi
yang memungkinkan untuk memelihara areal-
menjadi objek wisata alam: areal konservasi laut
Pulau Cangkir (Kec. Kronjo),
Tanjung Kait Kec. Sukajadi,
Tanjung Burung dan Tanjung
Pasir (Kec. Teluk Naga),
Arukan/Muara dan
Salembaran Jati (Kec.
Kosambi).

5.4 Manajemen kawasan sekitar

5.1 Analisis Permasalahan Umum


5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan
5.2.1 aspek pengembangan wilayah:
5.2.1.1 LQ
5.2.1.2 shift share
5.2.1.3 skalogram
5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara
5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi)
5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal
Muara
5.2.2.3 Pasokan Ikan
5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan
5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan
5.2.2.6 akses transportasi
5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan
5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap
5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke
5.3 Manajemen kawasan pelabuhan
5.3.1 tata ruang
5.3.2 prasarana dan sarana
5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan
5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara

259
5.3.4 Aspek ekonomi-sosial kawasan pesisir Dadap-Kamal Muara

Sebagai pusat kegiatan ekonomi yang dibangkitkan oleh sektor perikanan,


TPI Muara Angke telah menghasilkan suatu input yang bernilai lebih dari
Rp 758 juta per harinya. Potensi ekonomi TPI Muara Angke ini dihitung
sebelum terjadinya kenaikan bahan bakar minyak. Data selengkapnya dari
potensi ekonomi TPI Muara Angke dicantumkan dalam Tabel 4.22.

Tabel 4.22 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per
hari di lingkungan TPI Muara Angke tahun 2005 sebelum
kenaikan harga BBM (Disnakkanlut 2005).
No JENIS JUMLAH NILAI JUMLAH KET.
KEGIATAN/ BURUH/ TRANSAKSI TRANSAKSI
PELAYANAN UNIT HARIAN HARIAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Transaksi TPI 70 orang - 250.000.000
Anak buah 60 35.000 2.100.000
peserta lelang
2 Bahan bakar 112 ton 198.000.000 1.650/lt
Buruh 31 56.989 1.766.667
3 Es balok 8.000 balok 96.000.000 12.000/blk
4 Kegiatan tambat 18 100.000 Perda No
labuh 3/99
5 Tryas (tryaze, 600 unit 300.000
penyortiran))
6 Buruh
dilingkungan TPI
Buruh kuning 34 25.000 850.000
Buruh biru 32 25.000 800.000

260
Lanjutan Tabel 4.22

(1) (2) (3) (4) (5) (6)


Buruh merah 10 20.000 200.000
Buruh jijau 9 15.000 135.000

7 Kuli gerobak 40 15.000 600.000


pengasin
8 Kuli gerobak 83 30.000 2.490.000
lelang
9 Puja seri 24 unit
Buruh 144 10.000 1.440.000
10 Pedagang K5 85 pedagang
produk perikanan
Buruh 79 15.000 1.185.000
11 Pedagang grosir 276 pedagang
Buruh 828 25.000 20.700.000
12 Unit pengepakan 30 unit
Buruh 90 25.000 2.250.000
13 Workshop 10 unit
Buruh 109 22.500 2.452.500
14 Kios alat 38 unit
perikanan
Buruh
15 Kios 16 unit
gudang/kantor
Buruh
16 Mirasih 1 unit
Buruh 20 16.667 333.333
17 Pedagang otak-2 22 unit
Buruh 20 15.000 1.080.000
18 Cold storage I unit Kisaran
Buruh 53 38.333 2.031.667 gaji: 0,8-
1,5 jt/bl
19 Pabrik es 1 unit Kisaran
Buruh 44 40.000 1.760.000 gaji: 0,8-4
jt/bl
20 PHPT 203 unit
Buruh 1.000 30.000 30.000
21 Koperasi putri
salju
Agen depot es 30 unit
Buruh depot es 240 40.000 9.600.000
Buruh pikul pjg 60 50.000 3.000.000
Buruh pikul pdk 85 50.000 4.250.000
Buruh kantor 20 83.333 1.666.667

261
Lanjutan Tabel 4.22

(1) (2) (3) (4) (5) (6)


Jml buruh pikul 55 25.000 1.375.000
angkutan
Mobil putri salju 12 unit
Buruh 24 40.000 960.000
10 Upah ABK
Jaring cumi 369 32.000 11.808.000
Bouke ami 1.039 32.000 33.248.000
Bubu 822 35.000 28.770.000
Angkutan 844 35.000 29.540.000
Gillnet 1.024 35.000 35.840.000
Purse seine 2.525 27.000 68.175.000
Jaring cantrang 411 30.000 12.330.000
Jaring rampus 35 30.000 1.050.000
Jaring nilon 18 30.000 540.000
Jaring tangsi 96 30.000 2.880.000
Lampara 53 30.000 1.590.000
Payang 174 35.000 6.090.000
Pancing 48 30.000 1.440.000
Muro ami 58 40.000 2.320.000
Jumlah 904.975.258
Ket: Buruh kuning = bertugas untuk mengangkut ikan dari kapal sampai darmaga
Buruh biru = bertugas untuk mengangkut ikan dari darmaga sampai ke lantai pelelangan
Buruh merah = bertugas untuk mengangkut ikan setelah pelelangan sampai ke truk
pengangkut ikan
Buruh hijau = bertugas untuk mengangkut ikan setelah pelelangan sampai ke PHPT

Dari Tabel 4.22 tersebut tampak bahwa total nilai transaksi harian di TPI
Muara Angke dapat mencapai Rp 904.975.258. Jumlah transaksi ini
menjadi jauh mengecil pada saat terjadinya kenaikan bahan bakar sampai
dua kali dalam tahun 2005 ini, yaitu harga solar dari Rp 1.650 naik
menjadi Rp 2.300 pada bulan April, kemudian pada bulan Oktober naik
kembali menjadi Rp 4.300.

Kenaikan harga BBM telah mendorong terjadinya kenaikan harga barang


lain, termasuk untuk kebutuhan operasional penangkapan ikan. Namun
demikian, kenaikan biaya operasional ini tidak menjamin terjadinya
kenaikan hasil tangkap ikan yang dapat digunakan untuk menutup biaya
operasional. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya kapal yang
tidak dapat beroperasi.

262
Data potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di
lingkungan TPI Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM dicantumkan
dalam Tabel 4.33

Tabel 4.33 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di
lingkungan TPI Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM.

No JENIS JUMLAH NILAI JUMLAH KET.


KEGIATAN/ BURUH/ TRANSAKSI TRANSAKSI
PELAYANAN UNIT PER HARI PER HARI
1 Transaksi TPI - - -
2 Bahan bakar 5 ton 8.250.000 1.650/lt
Buruh 10 25.000 250.000
3 Es balok 200 balok 2.400.000 12.000/blk
7 Kuli gerobak 4 15.000 600.000
pengasin
10 Pedagang K5 2 15.000 30.000
produk perikanan
16 Mirasih 3 unit
Buruh 18 15.000 270.000
10 Upah ABK
Gillnet (142) 852 35.000 29.820.000
Purse seine (39) 390 27.000 10.530.000
Pancing (88) 264 20.000 5.280.000
Bubu (20) 80 20.000 1.600.000
Kerang Hijau 150 17.000 2.550.000
(50)
Jumlah 61.580.000
Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan
Pendaratan Ikan (2005)

Ditinjau dari aspek land rent, nilai lahan di daerah penelitian berubah dari
tahun ke tahun, sesuai dengan perkembangan. Data perubahan harga lahan di
sekitar Kawasan Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.2.1.2.1.

Tabel Perubahan harga lahan di Kawasan Dadap dan Kamal Muara

JARAK DARI Harga lahan per meter di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal
PUSAT Muara
KEGIATAN
97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

1.

263
2

JARAK DARI Harga kontrakan rumah/toko per meter di sekitar TPI Dadap dan
PUSAT TPI Kamal Muara
KEGIATAN
97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

1.

Perubahan harga lahan dan juga kontrakan rumah/tempat usaha


menunjukkan kecenderungan yang meningkat meskipun pada skala yang berbeda.
Perubahan harga lahan di lokasi penelitian dianalisis menggunakan regresi linier
menghasilkan gambaran sebagai berikut:

VMPi = Po x MPi

dimana:

VMPi = nilai produk marjinal dari unit lahan ke-I

Po = net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan

MPi = produk marjinal dari unit lahan ke-I

As the rent - bid curve represents the willingness for the urban inhabitant to con

264
Cross sectional land value data along the corridor were collected for each 100
meters resulting 107 x 5 set data to create three-dimensional equation as
formulated in the equation (3) above. The research collected market price data
from respective land use since the current tax-object sales value (NJOP: Nilai Jual
Obyek Pajak), can hardly be used to represent land value. The data collection has
a specific challenge, particularly in Padang, for identifying market price for land
belong to the ethnic clan, instead of individual (Ulayat Land: indigenous land
ownership belong to the traditional clan/family - often not transferable and
saleable).
The data were collected and categorized into two groups, namely: (1) land located
at developed corridors, and (2) land located at the proposed (under-developed)
corridor. When the data were plotted graphically, they were sparsely distributed.
For both aggregate and disaggregate analysis, a rent-bid curve can be obtained.
Figure 5 below demonstrates the aggregate rent - bid curve for developed and
underdeveloped land along corridor. Similar graph was produced for cross
sectional land value. The equations for the land value are as follows:
The aggregate analysis shows that the equation for both under-developed and
developed corridor yield satisfactory R2.

Figure 5 Rent - bid Curve for the City of Padang along the Corridor

possible to estimate the change in the land value. Assuming the influence with is
500 meters, and the road corridor is calculated between 3+000 and 20+000, the
calculation of land benefit along proposed road corridor yields a total benefit of
Rp 526,454,333,231 for the whole corridor. Three-dimensional graphs for with
and without project case are shown in Figure 6. It is important to note that the
above land development benefit is "one-off" benefit. It means that the benefit
could only be exploited only at one time, or spread over the period of analysis.
Estimating the rent - bid curve and utilizing equations (4) and (5) above, it is now

Figure 6 Three-dimensional Representation of With and Without Project


Situations
The information obtained from the development benefit estimation can now be
used and internalized in the feasibility and project appraisal process. The increased
land benefit alone can be used as a foundation for the government to initiate
negotiation with private developer for the investment sharing. What is currently
seen to be a "taken-for-granted" investment for promoting property development
can be captured and calculated. The current regulatory framework however, is still
to be developed to incorporate non-discrimination issue for affected land along
the development corridor.
CONCLUSIONS AND RECOMMENDATION FOR FUTURE RESEARCH
The proposed methodology for estimating land benefit of road investment scheme
above has demonstrated the applicability of microeconomic theory of land use
and trans port - land use interaction theory. It shows that the change in the rent-
bid curve can be used as a proxy for estimating land development benefit.

265
Internalization of land benefit into project appraisal will further enrich the current
road investment externalities besides environment and safety.
Using the proposed method, the development benefit in the case of Padang urban
road project produces Rp 526.454 billion worth of land value change. Significant
increase in the land value from road investment as shown in the case of Padang
shows that this renewed and replicable methodology encourages creative public -
private partnership for urban road infrastructure for many other Indonesian cities.
Future research should be directed to integrate the diminishing impacts of road
investment along corridor width using discrete parcel instead of a continuous
function. The integration will pave a new way for dynamic modelling of
measuring development benefit to be share in more equal manner by private land
developers.
de la Barra, Tomas. 1989. Integrated Land Use and Transport Modelling:
Decision Chains and Hierarchies. Great Britain: Cambridge University Press
Banister, David. 1995. Private Sector Investment in Roads: The Rhetoric and the
Reality, in David Banister (ed) Transport and Urban Development. London: Spon
Heggie, Ian and J. Vickers.1998. Commercial Management and Financing of
Roads. WB Technical Paper 409. Washington
Parikesit, D. 1996. Interdependence between Accessibility of Transport
Infrastructures and Location Choice and Its Effects on Energy Consumption,
Unpublished Doctoral Dissertation.Vienna: TU Wien _________ 1998a.
Development of Land Use Transport Model Using Constant Travel Time Budget
Principles. Hong Kong: Conference Proceeding: 3rd inter- national
Conference of Hong Kong Society for Transportation Studies
__________ 1998b. Urban Facilities And Transportation Interaction: A Case
Study Of Vienna, Austria, Teknisia Journal, Vol. II No. 6. pp. 26-34
__________ 2000, Development of Algorithm for Tri-proportional Approach in Urban Location
Choice, FSTPT Journal Vol 2 No 1 June 2000 pp. 2332

Ditinjau dari aspek ekonomi, pengaturan bersama terhadap aktivitas yang


berkaitan dengan fungsi TPI Dadap dan TPI Kamal Muara dalam bidang
perikanan khususnya dan bidang-bidang lainnya yang terkait dengan pengelolaan
kawasan pesisir dan lautan (yaitu wisata bahari dan pelabuhan), akan memberikan
keuntungan optimal dari banyak aspek ekonomi di sekitar kawasan tersebut.
Ditinjau dari potensi ekonomi yang dapat berkembang di ke tiga TPI tersebut,

266
maka kondisi awal dapat dilihat dari hasil penggabungan data Tabel 4.27, Tabel
4.31 dan Tabel 4.39. sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.27 dan Tabel 5.28.

Dari Tabel 5.27 tampak bahwa secara deskriptif sekalipun aktivitas


ekonomi yang terjadi di TPI Muara Angke menghasilkan transaksi harian hampir
sebesar Rp 905 juta dari 22 variabel aktivitas, dibandingkan dengan yang terjadi di
TPI Kamal Muara (Rp 168,4 juta dari 11 aktivitas), dan di TPI Dadap hanya (Rp
61,6 juta dari 6 aktivitas saja). Hanya saja, berbagai jenis aktivitas yang berkaitan
dengan kegiatan perikanan tersebut, di TPI Muara Angke menghasilkan persentase
dana untuk kas daerah yang lebih besar jika dibandingkan dengan kedua TPI
lainnya. Hal ini terutama disebabkan oleh kondisi komplek TPI yang lebih
terkonsentrasi jika dibandingkan dengan di kedua TPI lainnya.

267
Tabel 5.27 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di lingkungan TPI Muara Angke, Kamal Muara, dan
Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM.
No JENIS KEGIATAN/ JUMLAH BURUH/ UNIT NILAI SATUAN TRANSAKSI JUMLAH TRANSAKSI PER HARI KET.
PELAYANAN PER HARI (x Rp 1.000)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
MA KM D MA KM D MA KM D
1 Transaksi TPI 70 0 - 35 - 250.000 6.750 -
orang
Anak buah peserta 60 20 0 35.000 30.000 - 2.100 700 -
lelang
2 Bahan bakar 112 ton 10 ton 5 ton 198.000 16.500 8.250 Rp 1.650/lt
Buruh 31 10 2 56.989 35.000 25.000 1.766,67 350 50
3 Es balok (balok) - - - 8.000 500 200 96.000 600 240 Rp
12.000/blk
4 Kegiatan tambat - - - 18 25 - 100 50 - Perda No
labuh 3/99
5 Tryas (tryaze, - - - 600 unit 300 - -
penyortiran))
6 Buruh dilingkungan 15 - 25.000 375 -
TPI
Buruh kuning 34 - 25.000 850 - -
Buruh biru 32 - 25.000 800 - -
Buruh merah 10 - 20.000 200 - -
Buruh hijau 9 - 15.000 135 - -
- - -
7 Kuli gerobak 40 10 15.000 15.000 600 150 -
pengasin
8 Kuli gerobak lelang 83 10 30.000 20.000 2.490 200 -
9 Puja seri 24 unit - 3 - -
Buruh 144 - 12 10.000 10.000 1.440 - 120
Lanjutan Tabel 5.27

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
10 Pedagang K5 85 25 pedagang - -
produk perikanan
Buruh 79 25 2 15.000 15.000 15.000 1.185 375 30
11 Pedagang grosir 276 - - - - -
Buruh 828 - 25.000 - 20.700 - -
12 Unit pengepakan 30 unit 6 unit - - - - -
Buruh 90 12 - 25.000 20.000 - 2.250 240 -
13 Workshop 10 unit 2 - - -
Buruh 109 4 - 22.500 15.000 - 2.452,5 60 -
14 Kios alat perikanan 38 unit 2 - - -
Buruh 38 2 - 20.000 15.000 - 760 30 -
15 Kios gudang/kantor 16 unit - - - -
Buruh - - - -
16 Mirasih 1 unit - - - -
Buruh 20 - - 16.667 333,33 - -
17 Pedagang otak-otak 22 unit 5 - - -
Buruh 20 5 - 15.000 15.000 - 1.080 75 -
18 Cold storage I unit - - - - Kisaran gaji:
Buruh 53 - - 38.333 2.031,67 - - 0,8-1,5
juta/bl
19 Pabrik es 1 unit - - - Kisaran gaji:
Buruh 44 - - 40.000 1.760 - 0,8-4 juta/bl
20 PHPT 203 unit - - - -
Buruh 1.000 - - 30.000 30.000 -
21 Koperasi putri salju - - - -
Agen depot es 30 unit - - - -
Buruh depot es 240 3 2 40.000 20.000 15.000 9.600 60 30

269
Lanjutan Tabel 5.27

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
Buruh pikul pjg 60 - 50.000 - 3.000 - -
Buruh pikul pdk 85 - 50.000 - 4.250 - -
Buruh kantor 20 - 83.333 - 1.666,67 - -
Jml buruh pikul 55 - 25.000 - 1.375 - -
angkutan
Mobil putri salju 12 unit - - - -
Buruh 24 - 40.000 - 960 - -
22 Upah ABK - - -
Jaring cumi 369 - - 32.000 - 11.808 - -
Bouke ami 1.039 - - 32.000 - 33.248 - -
Bubu 822 - 80 35.000 - 20.000 28.770 - -
Angkutan 844 - - 35.000 - 29.540 - -
Gillnet 1.024 336 142 35.000 35.000 35.000 35.840 11.760 -
Purse seine 2.525 270 390 27.000 27.000 27.000 68.175 7.290 -
Jaring cantrang 411 - - 30.000 - - 12.330 - -
Jaring rampus 35 210 - 30.000 30.000 - 1.050. 6.300 -
Jaring nilon 18 105 - 30.000 30.000 - 540 4.150 -
Jaring tangsi 96 - - 30.000 - - 2.880 - -
Lampara 53 - - 30.000 - - 1.590 - -
Payang 174 132 - 35.000 35.000 - 6.090 4.620 -
Pancing 48 84 264 30.000 30.000 20.000 1.440 2.520 5.280
Muro ami 58 - - 40.000 - - 2.320 - -
Bagan - 1.590 - - 20.000 - - 31.800 -
Kerang hijau - 3.000 150 - 17.000 17.000 - 51.000 2.550

Jumlah transaksi 904.975,26 168.425 61.580


harian

270
Tabel 5.28 Potensi ekonomi investasi alat tangkap di lingkungan TPI Muara
Angke, Kamal Muara, dan Dadap tahun 2005

No JENIS INVESTASI JUMLAH UNIT TOTAL INVESTASI


(x Rp 1.000.000)
MA KM D MA KM D
A Alat tangkap
1 Jaring cumi 456 - - 114.000 - -
2 Bouke ami 768 - - 192.000 - -
3 Bubu 377 - 20 75.400 - -
4 Angkutan 1292 - - 193.800 - -
5 Gillnet 358 56 142 132.460 20.720 52.540
6 Purse seine 543 313 39 468.385 15.255 21.918
7 Jaring cantrang 284 - - 56.800 - -
8 Jaring rampus - 42 - - 8.400 -
9 Jaring nilon 5 35 - 750 5.250 -
10 Jaring tangsi 39 - - 5.850 - -
11 Lampara 61 - - 10.675 - -
12 Payang 13 11 - 3.900 3.300 -
13 Pancing* 6 28 88 240 2.100 6.600
14 Muro ami 12 - - 2.100 - -
15 Bagan - 530 - - 66.250 -
16 Kerang hijau - 1.000 50 - 20.000 1.000

Jumlah Investasi 4.500 1.729 339 1.256.360 141.275 82.058


Sumber: Disnakkanlut (2005); data primer
Catatan: MA = Muara Angke; KM = Kamal Muara; D = Dadap
Nilai investasi unit alat tangkap diasumsikan :
(1) pukat cincin (purse seine) 40 GT = Rp 565 jt (Mahdi, 2005)
(2) gill net 27-30 GT = 370 jt (Muhartono, 2004)
(3) jaring cumi (30 GT) = 250 jt
(4) Bouke ami (30 GT) = 250 jt
(5) bubu (25 GT) = 200 jt
(6) angkutan (35 GT) = 150 jt
(7) jaring cantrang (25 GT) = 200 jt
(8) jaring rampus (25 GT) = 200 jt
(9) jaring nilon (20 GT) = 150 jt
(10) jaring tangsi (20 GT) = 150 jt]
(11) lampara (20 GT) = 175 jt
(12) payang (35 GT) = 300 jt
(13) pancing) (40 GT) = 250 jt
(14) pancing (10 GT) = 75 jt
(15) muro ami (20 GT) = 175 jt.
(16) bagan (15 GT) = 125 jt
(17) kerang hijau (5 GT) = 20 jt

Hasil analisis pada Tabel 5.28 menunjukan tingginya transaksi yang


terjadi di TPI Muara Angke, dimana jumlah investasi untuk unit armada perikanan
diperkirakan mempunyai nilai sebesar Rp 1,256 trilyun rupiah dari sekitar 4.500
unit, sedangkan untuk TPI Kamal Muara sebesar Rp 141,28 milyar (dari 1.729
unit), dan untuk TPI Dadap hanya Rp 82,06 milyar (dari 339 unit). Jika skenario
pengalihan sebagian kapal dari TPI Muara Angke dan TPI Dadap ke TPI Kamal
Muara dapat berjalan, maka perubahan pola investasi yang kemungkinan dapat
dicapai di ketiga TPI tersebut diperkirakan adalah sebagaimana tercantum dalam
Tabel 5.29.

Tabel 5.29 Prediksi pola investasi yang dapat berkembang di lingkungan TPI
Muara Angke, Kamal Muara, dan Dadap
No BIDANG INVESTASI POLA PERUBAHAN INVESTASI
MA KM D
1 Penangkapan ikan
2 Kapal angkutan ikan -
3 Sentra pengolahan ikan -
4. Pabrik es -
5. Cold storage/cool room/cool box -
6. Dock/perbengkelan
7. BBM/pelumas
8. Grosir alat penangkapan -
9. Pujaseri/rumah makan
10. Pembangunan pelabuhan
11. Air bersih
12. Objek wisata pantai - -
13. Pemandu wisata air -
14. Pemandu wisata ilmiah - -
15. Kapal angkutan penumpang - -
16. Operator kendaraan wisata air - -
17. Klinik kesehatan
18. Souvenir - -
19 Jasa telekomunikasi
20. Jasa penginapan/perhotelan - -
21. Jasa kebersihan lingkungan
22. Jasa keamanan
22. Kontainer
23. Gudang garam
24. Gedung perkantoran/bisnis -
Jumlah variabel 12 ; 17
6 18 1

Keterangan: MA = Muara Angke; KM = Kamal Muara; D = Dadap


= perlu dibangun
= dikurangi
= kondisi tetap

272
Dari Tabel 5.29 tampak bahwa terdapat 12 variabel investasi yang
diduga tidak akan berubah keberadaannya di TPI Muara Angke meskipun
dilakukannya pemindahan sejumlah kapal ikan dari sini ke TPI Kamal Muara.
Sesuai dengan data dari Disnakanlut (2005), terdapat enam variabel investasi yang
masih perlu ditingkatkan kapasiatasnya di Muara Angke, yaitu: sentra pengolahan,
pabrik es, cold storage/cool room/cool box, kontainer dan gudang garam. Untuk
TPI Kamal Muara, terdapat 18 variabel investasi yang perlu dibangun, sedangkan
di TPI Dadap terdapat satu variabel yang harus dikurangi, yaitu unit armada
perikanan yang sebagian besar perlu dipindahkan ke TPI Kamal Muara. Di TPI
Dadap juga tersedia kesempatan untuk melakukan investasi di 17 bidang, baik
yang berkaitan dengan operasional kapal yang terdiri dari kapal peti kemas, kapal
riset Baruna Jaya, kapal pesiar, dan kapal nelayan untuk pemandu wisata, maupun
yang berkaitan dengan aktivitas wisata pantai yang berpusat di Pantai Pasir Putih
Mutiara Dadap.

5.1 Analisis Permasalahan Umum


5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan
5.2.1 aspek pengembangan wilayah:
5.2.1.1 LQ
5.2.1.2 shift share
5.2.1.3 skalogram
5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara
5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi)
5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal
Muara
5.2.2.3 Pasokan Ikan
5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan
5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan
5.2.2.6 akses transportasi
5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan
5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap
5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke
5.3 Manajemen kawasan pelabuhan
5.3.1 tata ruang
5.3.2 prasarana dan sarana
5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan
5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara

Responsible fisheries

LATAR BELAKANG
1. Sejak dahulu kala. Penangkapan ikan menjadi sumber utama pangan untuk manusia dan
penyedia kesempatan kerja serta memberi manfaat ekonomi bagi mereka yang terlibat dalam
kegiatan ini. Akan tetapi, dengan meningkatnya pengetahuan dan dinamisnya pembangunan

273
perikanan , didasari bahwa sumber daya akuatik, meskipun bisa diperbarui, bukanlah tidak terbatas
dan karena itu perlu dikelola secara baik, bila kontribusinya terhadap gizi, ekonomi dan
kesejahtraan masyarakat dari penduduk dunia yang terus bertambah ingin di pertahankan.

2. Adopsi konvensi PBB mengenai Hukum Laut tahun 1982 memberikan kerangka baru
bagi pengelolaan sumber daya laut yang lebih baik. Rezim hukum baru menyangkut samudra telah
memberi Negara-Negara hak dan tanggungjawab bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
perikanan di dalam ZEE mereka yang meliputi sekitar 90% dari perikanan laut dunia.

3. Dalam tahun-tahun belakang ini, perikanan dunia telah menjadi sebuah sektor industri
pangan yang berkembang secara dinamis, dan Negara-Negara pantai sudah berusaha keras
mengambil keuntungan dari peluang baru yang mereka peroleh dengan menanamkan modal dalam
armada penangkapan dan pabrik pengolahan modern sebagai tanggapan atas permintaan
internasional yang meningkat akan ikan dan produk perikanan. Bagaimanapun, tampak jelas bahwa
banyak sumber daya perikanan tidak dapat menopang peningkatan pengusahaan yang sering tidak
terkendali.

4. Tanda-tanda jelas mengenai pengusahaan-lebih stok ikan penting, modifikasi ekosistem,


kerugian ekonomi yang berarti, dan sengketa internasional menyangkut pengelolaan dan
perdagangan ikan telah mengancam kelestarian jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan
pada pasok pangan. Oleh karena itu, Sesi ke 19 Komite FAO tentang Perikanan, yang diadakan
pada Maret 1991, merekomondasikan bahwa sudah mendesak diperlukan pendekatan-pendekatan
baru pada pengelolaan perikanan yang meliputi konservasi dan lingkungan, demikian pula
pertimbangan sosial dan ekonomi. FAO telah diminta untuk mengembangkan konsep perikanan
yang bertanggungjawab dan menguraikansebuah tatalaksana untuk membantu dalam
perkembangan penerapannya.

5. Kemudian Pemerintah Meksiko, bekrjasama dengan FAO, mengorganisasikan sebuah


Konperensi Internasional mengenai Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab di Cancun. Mei
1992. Deklarasi Cancun yang disahkan pada Konperensi tersebut telah dibawakan untuk menjadi
perhatian Pertemuan Tingkat Tinggi UNCED di Rio de Janeiro. Brazilia, Juni 1992, yang
mendukung penyiapan sebuah Tatalaksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab (TPB).
Konsultasi Teknis FAO mengenai penangkapan Ikan di Laut lepas, yang diadakan September
1992, lebih lanjut merekomondasikan perluasan uraian draft dari Tatalaksana untuk menangani isu
eperikanan laut lepas.

274
6. Sesi ke 102 FAO Council, diadakan November 1992, telah membahas perluasan uraian
dari Tatalaksana tsb, merekomondasikan agar memberikan prioritas pada isu laut lepas dan
meminta agar usulan untuk Tatalaksana itu disajikan pada 1993 dari Komite FAO tentang
Perikanan.

7. Sesi ke 20 COFI, yang diadakan pada Maret 1993, telah menguji secara umum kerangka
dan isi yang diusulkan untuk Tatalaksana tsb, termasuk perluasan uraian petunjuk, dan
mengesahkan sebuah kerangka waktu untuk penguraian lebih lanjut Tatalaksana tsb. COFI juga
meminta FAO untuk menyiapkan, atas dasar pelacakan cepat, sebagai bagian dari Tatalaksana,
usulan untuk mencegah pembendaraan-ulang kapal penangkapan ikan yang mempengaruhi
langkah konservasi dan pengelolaan di laut lepas. Upaya ini telah membuahkan hasil dalam
Konperensi FAO, pada Sesi ke 27 bulan November 1993, mengadopsi Perjanjian untuk
Memajukan kepatuhan dengan Langkah-langkah konservasi dari Pengelolaan Internasional oleh
Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas, yang menurut revolusi Konperensi FAO 15/93,
merupakan bagian integral dari Iatalaksana.

8. Tatalaksana telah dirumuskan sedemikian rupa


untuk ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan hukum
dan peraturan internasional yang relevan, sebagaimana
tercermin dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut,
1982, demikian pula dengan Perjanjian bagi
Pelaksanaan dari Ketentuan Konvensi PBB tentang,
Hukum Laut10 Desember 1982 yang berkaitan dengan
konservasi dan pengelolaan stok ikan Pengembara dan
Stok Ikan Beruaya jauh, 1995, mengingat antara lain.
Deklarasi Cancun 1992, Deklarasi Rio 1992 mengenai
Lingkungan dan Pembangunan khususnya Bab dari
Agendda 21.
9. Pengembangan Tatalaksana ini dilakukan oleh FAO dengan berkonsultasi dan
bekerjasama dengan Badan-badan PBB relevan dan organisasi internasional lainnya termasuk
organisasi non-pemerintah.

10. Tatalaksana terdiri atas lima artikel pengantar; Sikap dan Ruang Lingkup; Sasaran-
sasaran; Hubungan dengan perangkat Internasional Lainnya; Pelaksanaan, Pemantauan dan
Pemutakhiran; serta Kebutuhan Khusus Negara Berkembang. Artikel pendahuluan ini diikuti oleh
sebuah artikel tetang asa Hukum yang mendahului enam artikel tematik mengenai; Pengelolaan
Perikanan, Operasi Penangkapan Ikan, Pembangunan Akuakultur, Integrasi Perikanan ke dalam
Pengelolaan Kawasan Pesisir, Praktek Pasca-panen dan Perdagangan, serta Penelitian Perikanan.
Seperti sudah dikemukakan. Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan Langkah-langkah
Pengelolaan dan konservasi Internasional oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas merupakan
bagian integral dari Tatalaksana.

275
11. Tatalaksana ini bersifat sukarela. Akan tetapi, bagian tertentu dari Tatalaksana didasarkan
pada aturan yang relevan dari hukum internasional, seperti yang tercermin tercermin dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 10 Desember 1982. Tatalaksana juga memuat ketentuan yang
mungkin atau sudah diberi efek mengikat dengan memakai perangkat hukum dan perundangan
lainnya antara Pihak-pihak, seperti Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan langkah
konservasi dan Pengelolaan oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas.

12. Sesi ke 28 dari Konperensi dalam Resolusi 4/95 telah mengadopsi Tatalaksana untuk
Periakan yang Bertanggungjawab, pada 31 Oktober 1995. Resolusi yang sama meminta FAO
antara lain untuk menguraikan petunjuk teknis yang tepat untuk mendukung pelaksanaan dari
Tatalaksana bekerjasama bekerjasama dengan para anggota dan organisasi relevan yang
berkepentingan.

1. Kerangka Kelembagaan (Artikel 10.1)

Negara-negara harus menjamin bahwa suatu kerangka kebijakan, hukum dan


kelembagaan yang yang tepat diadopsi untuk mencapai pemanfaatan sumber daya
pesisir yang lestari dan terpadu, dengan memperhatikan kerentanan ekositem
pesisir dan sifat terbatasnya sumber daya alamnya, serta keperluan komunitas
pesisir. (pasal 10.1.1)
13. Dalam mempertimbangkan keterpaduan perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir
yang lebih luas sifatnya, syarat yang pertama adalah agar Negara menetapkan kerangka kebijakan,
hukum dan kelembagaan bagi pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu.

14. Kerangka kebijakan dasar yang di dalamnya dibahas pengelolaan kawasan pesisir adalah
satu kebijakan dasar mengenai pembangunan yang secara ekologi lestari. Kerangka ini menetapkan
kisaraan kebijakan yang akan dipertimbangkan secara ekologi lestari; masalah pengelolaan adalah
bagaimana mengambil keputusan diantara kebijakan-kebijakan itu, dengan memperhatikan kondisi
lokal, termasuk pertimbangan sosial ekonomi.

15. Masalah mendasar pengelolaan kawasan pesisir adalah salah satunya pengalokasian
sumberdaya. Sumberdaya pesisir menjadi semakin langka disebabkan oleh gabungan
pembangunan ekonomi dan meningkatnya penduduk dikawasan pesisir. Seperti lazimnya dengan
sumber daya lainnya, kelangkaan sumber daya pesisir menuntut agar dibuat pilihan-pilihan
diantara pemanfaatan yang berlainan. Pengelolaan kawasan pesisir meliputi penetapan suatu
kerangka yang di dalamnya dibuat pilihan-pilihan dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan agar
dilaksanakan.

16 Bagaimanapun, kawasan pesisir memiliki sejumlah ciri istimewa yang merumitkan


pilihan tersebut. Pertama, kawasan pesisir merupakan suatu sistem yang dinamis tempat
berinteraksi proses fisik, ekologi, sosial dan ekonomi; perencanaan pengelolaan pesisir perlu
memperhatikan berbagai proses dinamis tsb. Kedua. Sifat alir dari sejumlah sumber daya pesisir
merumitkan pengalokasian sumber daya tersebut. Ketiga. karakter lokal dan regional dari sumber
daya pesisir merumitkan pengalokasian sumber daya tersebut. Ketiga, karakter lokal dan regional
dari sumber daya tsb bisa merumitkan koordinasi kebijakan di antara berbagai badan yang
berlainan.

17. Jika mungkin, valuasi terhadap pilihan pembangunan yang beragam dan atau konservasi
(isu dari valuasi ditunjuk lebih lanjut dalam 10.2.2 di bawah) memberikan suatu dasar yang kuat
bagi perumusan kebijakan.

18. Dalam pengelolaan pesisir terpadu (PPT) perlu suatu pendekatan holistik. Dalam
pengelolaan sumber daya pesisir, harus dilakukan kehati-hatian untuk menghindari pendekatan
sektoral sempit yang tidak sesuai. Misalnya, perikanan artisanal mungkin sangat sulit
mengelolanya kecuali jika ada pembangunan ekonomi di darat yang menciptakan alternatif

276
kesempatan kerja. Banyak bidang lainnya yang membutuhkan suatu pendekatan terrkoordinasi
pada pengambilan keputusan.

19. Untruk mendapatkan jenis pendekatan ini, dibutuhkan sebuah kerangka kelembagaan
yang menyediakan pertalian yang tepat di antara otoritas nasional, regional dan lokal. Sebuah
spektrum pendekatan telah diadopsi oleh negara-negara untuk menyediakan kerangka tsb. Pada
awal dari spektrum, sebuah badan yang ada mungkin diberi mandat untuk mengawali perencanaan
pesisir lintas sektor akan tetapi tanpa tambahan tanggungjawab atau kekuasaan. Walaupun
pendekatan ini bisa menghasilkan suatu permulaan dari perencanaan pesisir lintas sektor,
kelihatannya cenderung jarang yang efektif dalam jangka panjang. Lebih lanjut sepanjang
spektrum, beberapa negara dapat mengadopsi suatu pendekatan dimana berbagai badan-badan
berlainan yang terlibat dalam pengelolaan pesisir tetap memiliki semua tanggungjawab mereka
akan tetapi mengkoordinasikan perencanaan dan kegiatan mereka melalui suatu badan pusat;
mandat-mandat dari badan-badan tsb bervariasi sangat luas. Akhirnya,negara-negara dapat
mengadopsi sebuah pendekatan yang benar-benar tepadu yang di dalamnya banyak tanggungjawab
atas perencanaan dan pengalokasian sumberdaya dilakukan oleh sebuah lembaga terpadu; lembaga
yang demikian bisa berupa sebuah organisasi yang ada yang dilengkapi dengan kekuasaan yang
ditinggalkan untuk menengahi ataupun secara alternatif sebuah lembaga yang baru sama sekali.

20. Dalam menyusun sebuah kerangkapengelolaan yang


efektif, perlu suatu analisis kelembagaan, yang antara lain,
harus dianalisis peran dan tanggungjawab dari berbagai badan
dan, jika perlu, direvisi, sehingga pada sutu sisi,
yurisdiksiyang tumpang tindih atau yang berselisih
diminimumkan, dan pada sisi lain, tidak ada isu penting yang
tidak ditangani oleh suatu badan yang bertnggungjawab.
Oleh karena itu, sebuah mekanisme kelembagaan bagi
pengelolaan pesisir terpadu akan menjamin hal berikut:
pertama, ditetapkan tanggungjawab secara sektoral yang
tepat; kedua, ditetapkan tatanan-tatanan
pengkoordinasian/pengintegrasian yang tepat; dan ketiga,
badan-badan pada semua tingkat tetap terus diberi informasi
menyangkut kebijakan kawasan pesisir untuk menjamin
pertalian dalam pelaksanaan kebijakan.

21. Diperlukan sebuah kerangka legislatif yang


mengesahkan lembaga pengelolaan pesisir serta kegiatan
yang dilakukannya. Sifat yang tepat dari peraturan dan
perundangan di setiap negara tergantung pada ruang lingkup
dan kesenjangan dalam peraturan dan perundangan yang ada.
Tambahan pula, pengalaman suatu negara tidak mesti secara
langsung bisa dipindahkan ke lain negara, sekalipun negara

277
itu memiliki kesamaan latar belakang sosial, politik, ekonomi
dan budaya.
Mengingat sifat multiguna kawasan pesisir, Negara harus memastikan bahwa
wakil sektor perikanan dan komunitas penangkapan dimintakan pendapat dalam
proses pengambilan keputusan dan dilibatkan dalam kegiatan lainnya yang
berkaitan dengan perencanaan pengelolaan dan pembangunan kawasan pesisir.
(Pasal 10.1.2)

22. Sangat sering, sektor perikanan bersaing di


kawasan pesisir dengansektor lain untuk kebutuhan
akan ruan, baik di darat maupun di perairan, baik
secara langsung bagi kegiatanproduktif-penangkapan
ikan dan akuakultur pantai-maupun untuk penanganan,
pengolahan serta distribusi dari produksi.
Konsekwensinya, otoritas yang berwenang mengenai
perikanan dan sektor perikanan harus ikut serta dalam
keputusan-keputusan yang menyangkut pembangunan
di kawasan tersebut. Dalam hubungan ini, suatu aspek
dari ketergantungan sektor tersebut pada lingkungan
pesisir, adalah berupa peran yang nyata para nelayan
dan pembudidaya ikan sebagai pengamat dari
lingkungan pesisir; para nelayan dan pembudidaya ikan
di pantai biasanya adalah yang pertama merasakan
dampak dari banyak perubahan yang mungkin terjadi
dalam lingkungan akuatik sebagai akibat dari
pencemaran atau penyebab lainnya.

23. Sebuah ringkasan dari dampak utama terhadap


perikanan yang diakibatkan oleh kegiatan sektor lain
diperhatikan dalam Kotak 1.

24. Suatu cara yang menjamin terwakilinya


kepentingan perikanan secara tepat adalah menunjuk
sebuah otoritas atau otoritas-otoritas untuk perikanan,
yang mempunyai tanggungjawab sektor maupun antar-
sektor; semakin kuat struktur kelembagaan yang

278
diadopsi bagi sektor perikanan akan semakin efektif
mewakili kepentinganperikanan.

25. Sifat dari sektor yang membuatnya sangat rentan


terhadap perubahan yang diakibatkan oleh kegiatan di
pantai bisa mengakibatkan kepentingan yang berbeda
yang saling bertentangan dengan sektor berbasis
daratan seperti misalnya sektor pertanian. Lebih lanjut,
isu yang dihadapi perikanan tangkap, juga pada tingkat
yang lebih rendah dihadapi akuakultur, tidaklah sama
dengan isu yang dihadapi oleh sektor pertanian.
Khususnya, model produksi pertanian-dengan
meningkatnya masukan menghasilkan produksi yang
lebih tinggi-tidak dapat diterapkan untuk sektor
perikanan. Oleh karena itu, mungkin terdapat alasan
persuatif kenapa suatu badan perikanan seharusnya
tidak merupakan bagian dari kementrian atau
Departemen lain di mana mungkin bisa timbul
pertentangan kepentingan.

279
Kotak 1 : Beberapa dampak terhadap perikanan yang diakibatkan oleh kegiatan
sektor lai
Pencemaran: Hal ini dapat berasal dari sumber berbasiskan lahan daratan, contohnya limbah industri dan
pertanian yang di buang ke sungai dan di hanyutkan ke kawasan pesisir, larian pestisida dan pupuk ke
dalam sungai, dan pembuangan kotoran melalui air, atau sumber yang berbasiskan lautan, misalnya
tumpahan minyak dan buangan samudera limbah beracun ke laut. Beberapa pencemaran dapat
meningkatkan produktivitas kawasan pesisir akan tetapi sangat sering berakibat pada penurunan
produktivitas. Dalam kasus yang gawat bisa bisa terjadi risiko terhadap kesehatan manusia, misalnya
melalui konsentrasi limbah beracun pada keterangan. Menurunnya produktivitas akan merugikan kesehatan
keuangan sektor perikanan. Sektor perikanan sendiri bisa memberikan kontribusi terhadap pencemaran
pesisir, misalnya melalui pencemaran minyak dari kapal penangkapan ikan, limbah cair dari pabrik
pengolahan ikan dan oleh sistem akuakultur inetnsif yang berakibat pada pengkayaan bahan organik dan
hara di dasar laut dan dalam kolam air. Betapapun, umumnya sektor perikanan lebih sebagai penderita
dibandingkan penyebab pencemaran.

Penurunan kualitas habitat: Hal ini dapat terjadi secara langsung, misalnya, sebagai akibat dari
pembabatanhutan mangrove untuk berbagai kegiatan, pengambilan karang, atau secara tidak langsung,
umpamanya, oleh pengendapan sedimentasi di dasar pdang lamun dan tumbu yang disebabkan larian tanah
yang berkaitan dengan misalnya, penggundulan hutan atau praktek tataguna lahan yang buruk. Seperti
halnya pencemaran, penurunan kualitas habitat akan mempengaruhi sektor perikanan itu sendiri, misalnya,
penangkapan dengan bahan peledak atau bahan kimia beracun, serta pembabatan hutan mangrove dan
pemakaian bahan kimia pengembangan akuakultur.

Sengketa Tataruang: Hal ini bisa terjadi jika perikanan dan akuakultur pantai mempunyai hak properti yang
tidak terjamin secara berangsur-angsur terdesak dari kawasan tradisionalnya oleh pengembangan wilayah
oesisir lainnya (khususnya perluasan perkotaan dan pengembangan pariwisata).

26. Mengingat arti penting kawasan pesisir bagi sektor


perikanan sangat peting dimasukkan ke dalam proses
perencanaan pengelolaan pesisir. Misalnya, otoritas
perikanan harus diikutkan dalamproses pengkajian
dampak lingkungan dari proyek mempunyai dampak
penting terhadap perairan pantai: otoritas perikanan
harus dilibatkan dalam penyiapan draf undang-undang
dan peraturan sehubungan dengan kawasan pesisir;
dan harus dilibatkan dalam proses perencanaan
tataruang jika hal ini mempengaruhi kepentingan
perikanan, misalnya, pembangunan pelabuhan; dan

280
yang paling penting, otoritas perikanan harus
dimasukkan ke dalam proses perencanaan pengelolaan
terpadu kawasan pesisir.

27. Dalam banyak hal, perikanan pantai mungkin


paling mudah dikelola pada tingkat lokal di dalam
kerangka menyeluruh yang dibentuk pada tingkat
nasional atau regional. Di banyak negara, oleh karena
itu, otoritas perikanan akan paling efektif dalam
negosiasi antar-badan jika dibentuk suatu kerangka
otoritas yang tepat ditingkat nasional, regional dan lokal
guna menjamin bahwa pengelolaan perikanan dapat
dilaksanakan pada tingkat yang sesuai.
28. Seperti halnya pengelolaan pesisir pada umumnya,
fungsi penting dari otoritas perikanan adalah menjamin
bahwa semua tingkatan administrsi memperoleh
informasi yang cukup dan dimotivasi sehingga tujuan
bersama dapat tercapai. B rbagai tingkat pengelolaan
tsb merupakan bentuk yang diistilahkan di sini otoritas
perikanan. Otoritas yang diadakan pada tiap tingkat
akan ditentukan atas dasar kasus-per-kasus.

29. Juga penting agar otoritas perikanan harus


menetapkan mekanisme untuk bekerja dengan seluruh
pihak terkait di dalam sektor perikanan sehingga sektor
tersebut bisa terwakili secara memadai dalam
pembahasan antar-badan yang mempertimbangkan
dampak lintas-sektor. Yang dimaksud pihak terkait di
sini adalah mereka yang diakui oleh pemerintah sebagai
yang mempunyai kepentingan di dalam sektor
perikanan bersangkutan.

Negara harus seperlunya mengembangkan,


kerangka kelembagaan dan hukum dalam

281
menetapkan pemanfaatan yang mungkin
menyangkut sumber daya pesisir dan mengatur
akses ke sumber daya tersebut dengan
memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktek
turun temurun sejauh serasi dengan
pembangunan yang berkelanjutan. (pasal
10.1.3)

30. Satu penyebab utama dari permasalahan dalam


pengelolaan kawasan pesisir adalah akses ke sumber
daya pesisir yang bisa diperbarui. Hal ini sudah lama
dikenal sebagai sebuah masalah di dalam sektor
perikanan akan tetapi juga mempengaruhi banyak
sumber daya pesisir lainnya. Khususnya air. Ruang. dan
produktivitas primer.

31. Merupakan hal penting bahwa jika terdapat akses


bebas dan terbuka ke sumber daya perikanan pesisir
agar rezim ini digantikan sesegera mungkin oleh rezim
yang didasarkan pada hak pemanfaatan ekslusif. Ada
sejumlah alasan yang memperhitungkan tidak hanya
ketidak-efisiensian yang ditimbulkan dalam sektor oleh
akses bebas dan terbuka akan tetapi juga disebabkan
oleh interaksi dengan sektor lain di kawasan pesisir.
Jika sektor perikanan tetap terus bersifat akses terbuka
maka mungkin sukar mendesak dan meyakinkan badan-
badan dan para pemanfaat sumber daya lainnya untuk
membatasi kegiatan mereka demi kebaikan perikanan
karena setiap manfaat tambahan meningkat akan
dengan cara yang sama sebagai rente sumberdaya.
Sebaliknya, jika perikanan bergerak ke arah rezim
berbasis hak ekslusif. Merupakan suatu hal penting
perikanan itu dapat beroperasi dalam suatu sistem

282
berbasis hak menyeluruh menyangkut pengembangan
sumber daya pesisir.

32. Perikanan bukanlah satu-satunya sumber daya


akses terbuka di kawasan pesisisr. Sering akses terus
tetap bebas dan terbuka ke sumber daya kunci seperti
halnya sumber daya hutan mangrove. terumbu karang
dan ke perairan lautan pantai sebagai suatu wadah bagi
limbah. Sebagai akibatnya para pemanfaat lainnya
kawasan pesisir bisa merasakan efek negatif yang
berarti. tidak saja terhadap sektor perikanan. misalnya
dalam bentuk kerusakan habitat dan pencemaran
akuatik. dan seterusnya akan tetapi juga terhadap
fungsi-fungsi lain bernilai dari ekosistem.

33. Ada dua pendekatan luas untuk menangani hal


yang berkenaan dengan sengketa antar sektor. yaitu
pendekatan pengaturan dan ekonomi. Kedua
pendekatan itu bisa mempunyai sasaran yang sama.
Bedanya terletak pada cara sasaran itu mencapai
tujuannya. Peraturan membatasi secara hukum apa
yang boleh dilakukan. Sedangkan pendekatan ekonomi
berupaya untuk menyediakan insentif guna mendorong
tingkah l;aku yang layak. Metode ekonomi memiliki
sejumlah kelebihan. khususnya bahwa pendekatan ini
mengalokasikan sumber daya langka secara efisien di
dalam suatu kerangka pasar. Akan tetapi. metode
ekonomi sering sukar diterapkan dan dalam banyak
situasi sering perlu mengadopsi suatu pendekatan
pengaturan. terkadang ditambah dengan perangkat
kebijakan ekonomi. Suatu tinjauan menyeluruh yang
singkat tentang metode pengaturan dan ekonomi
dicantumkan dalam Kotak 2
Kotak 2: Perangkat pengaturan dan kebijakan ekonomi

Langkah pengaturan mengendalikan pemanfaatan sumber


daya dengan cara pelararangan atau pembatasan. Ke
dalam langkah itu termasuk. Misalnya, terhadap283
pengelolaan atau hasilnya. Pelarangan atau pembatasan
34. Solusi yang sama bagi penghapusan akses terbuka
tidaklah bisa diterapkan dimana saja. walaupun masih

284
dalam satu negara sekalipun. Solusi terbaik akan
tergantung seluruhnya pada keadaan sifat alami dari
sumber daya, tatanan kelembagaan. kini maupun
historis. sasaran. dan seterusnya. Lebih lanjut. solusi
terbaik bisa berubah sepanjang waktu. Oleh karena itu,
pemerintah perlu memperjelas mengenai apa yang
sedang diupayakan untuk dicapai dan menguji suatu
kemungkinan solusi sebelum memutuskan mengenai
pilihan yang terbaik: juga perlu agar tetap fleksibel.
Sehingga sanggup menanggapi keadaan yang berubah.

35. Satu aspek dari akses terbuka adalah bahwa para


pemanfaat sumber daya tidak sanggup mendapatkan
pengakuan dari Negara menyangkut hak-hak mereka
atas sumber daya. Sering kali. hal ini mengakibatkan
para nelayan dan pembudidaya ikan tradisional dan
para nelayan serta pembudidaya ikan berhak adat tidak
diuntungkan ketika para pemanfaat sumber daya
lainnya menjadi dominan. Sebuah gambaran
diperlihatkan dalam Kotak 3. Jika rezim hukum cukup
fleksibel menyadari dan memadukan persepsi hak adat
lokal mengenai hak dan kewajiban. Negara mungkin
merasa adalah diperlukan memberi suatu pengakuan de
facto menyangkut hak-hak sumber daya. Jika rezim
hukum tidak mengizinkan pendekatan ini. Negara-
negara bisa berharap mengubah legislasi mereka sesuai
dengan itu. Pada waktu yang bersamaan. otoritas
perikanan harus menetapkan syarat-syarat yang
mensyaratkan bahwa para nelayan dan pembudidaya
ikan menyadari dan menghormati kendala ekologi yang
dibebankan oleh lingkungan pesisir.
Kotak 3: Hak-hak menyangkut para nelayan dan pembudidaya ikan tradisional dan
hak adat terhadap mutu lingkungan yang bisa diterima
Jika pasar bagi barang-barang lingkungan di dalam kawasan pesisir. misalnya. Produktivitas alami
terumbu karang. tidak ada. maka para nelayan yang memanfaatkan terumbu tersebut tidak akan mampu
mengamankan hak-hak yang perlu bagi kesejahteraan masa depan mereka dan rentan terhadap
produktivitas yang terancam oleh para pemanfaat lainnya. contohnya. pariwisata dan penambangan
koral. Akuakultur pantai berskala kecil juga sudah sejak lama merupakan praktek tradisional dan
berkelanjutan di banyak negara yang mungkin digusur oleh operasi perindustrian. 285
36. Langkah tersebut akan melindungi lingkungan dan
memberi para pemanfaat sumber daya tradisional dan
berhak adat akan hak sampai suatu tingkat mutu
lingkungan tertentu sebagai bagian dari mata
pencaharian mereka.

37. Para pemanfaat sumber daya tradisional atau


berhak adat mungkin sudah mengembangkan tatanan-
tatanan akses dalam menanggapi perubahan-
perubahan musiman yang mempengaruhi ketersediaan
ikan atau menentukan pewaktuan dari operasi-operasi
pertanian utama. seperti musim tanam waktu dan
waktu panen. Rencana-rencana pengelolaan yang
dirumuskan oleh para perencana untuk masing-masing
sumber daya yang belum memperhitungkan strategi-
strategi tersebut mungkin menghadapi konsekuensi-
konsekuensi ekonomi dan sosial yang serius.

Negara harus memberi kemudahan


pengadopsian praktek penangkapan guna
menghindari sengketa di antara para pemanfaat
sumber daya perikanan yang berlainan dan

286
dengan para pemanfaat lainnya dari lingkungan
marin. (Artikel
10.1.4)

38. Sengketa mungkin terjadi di antara para nelayan


dari berbagai tempat berlainan yang ingin menangkap
ikan di kawasan yang sama. di antara para nelayan
yang menggunakan alat tangkap yang berbeda. di
antara para penangkap ikan komersial dan penangkap
iakn olahraga. di antara para nelayan artisanal dan
nelayan industri. Di antara para nelayan dan para
pembudidaya ikan. dan diantara para pemanfaat ini
terhadap para operator pariwisata: semuanya mereka
bersaing atau ruang dan sumber daya. dan dalam
banyak lagi situasi.

39. Sengketa di dalam sektor perikanan sendiri bisa


dihadapi dengan alokasi-alokasi menurut kawasan yang
menghasilkan alokasi sumber daya yang jelas (di mana
sebuah sumber daya mendiami suatu kawasan tertentu)
atau dengan pengurangan sengketa di antara
kelompok-kelompok (bila mana sebuah sumber daya
bergerak pindah di antara kawasan-kawasan).
umpamanya. zona pemukatan. kawasan bubu. dan
seterusnya. dengan cara pengendalian terhadap
masukan. seperti pembatasan alat tangkap atau
pengendalian menurut waktu. atau cara pengendalian
luaran. seperti kuota. Otoritas-otoritas harus juga
mempertimbangkan pembentukan panitia/komite
nelayan dan pembudidaya. menurut kawasan perikanan
atau menurut perikanan. sekiranya layak. jika
permasalahan tersebut harus dibahas dan andaikata
mungkin. diselesaikan.

287
40. Sengketa antar-sektor secara khas lebih sulit
menyelesaikannya dibandingkan dengan perselisihan
intra-sektor. sekalipun solusinya mungkin serupa.
Otoritas-otoritas perikanan harus mewakili kepentingan
dari sektor perikanan dalam negosiasi-negosiasi dengan
lain-lain badan-badan untuk memastikan bahwa sektor-
sektor lainnya menghormati kepentingan para nelayan
dan pembudi daya ikan. Jika diperlukan. otoritas
perikanan dan nelayan harus mempunyai kemungkinan
untuk memiliki sumber daya yang diatur dengan
peraturan perundang-undangan untuk melindungi
kepentingan mereka.

41. Penzonaan merupakan pendekatan yang lazim


dalam penyelesaian perbedaan-perbedaan antar sektor
yang melibatkan perikanan. teristimewa dengan
menggunakan campuran perbatasan waktudan
kawasan . Langkah-langkah ekonomi bisa pula
berperan.

Negara harus mengingatkan penetapan


prosedur dan mekanisme pada tingkat
administratif yang tepat untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul didalam lingkup sektor
perikanan dan diantara para pemanfaatan
sumber daya perikanan dan para pemanfaat
kawasan pesisir lainnya. (Artikel 10.1.5)

42. Sengketa potensial harus diantisipasi dan dicegah


lebih dulu bila mungkin . Rencana-rencana
pembangunan dan pengelolaan sektor perikanan sering
kali disusun dari perspektif hanya dari sekor perikanan
atau malahan hanya untuk satu stok ikan. Otoritas

288
pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan
secara tegas seberapa jauh kecenderungan terjadi
interaksi dengan kegiatan perikanan atau sektor lain.
Jika hal itu dipandang potensial atau aktual penting.
Maka interaksi tersebut harus dipertimbangkan di dalam
rencana. dan harus diambil tindakan untuk menangani
sengketa potensial.

43. Dalam pengelolaan kawasan pesisir, salah satu


dari fungsi kelembagaan dan hukum yagn paling
penting adalah memastikan adanya suatu mekanisme
untuk penyelesaian sengketa. Berhubung sumber daya
pesisir semakin langka. Perlu di pertimbangkan
bagaimana menylesaikan tuntutan yang bersaing
diantara sektor-sektor. bbaik yang ada masa kini
maupun masa depan. Sekalipun andaikata otoritas
perikanan dimintai pendapat mengenai isu
perencanaan. Sengketa-sengketa masih mungkin timbul
, dan memerlukan suatu mekanisme untuk
pemecahannya.

44. Dipandang perlu agar otoritas perikanan berperan


aktif dalam pengindetifikasian skala dari setiap masalah
yang mempengaruhi lingkungan akuatik dan
sumbernya. Untuk tugas ini menjadi sangat penting
adanya suatu sistem pemantauan yang tepat. Hal ini
dipertimbangkan lebih lanjut dalam seksi 10.24 berikut
ini . Tambahan pula, jika otoritas perikanan erat bekerja
sama dengan para nelayan dan pembudidaya. Mereka
segera mampu dengan cepat mengindentifikasi
perubahan kondisi ekologis bahkan mungkin terbukti
lebuh sulit mengindentifikasikan mereka yang
bertanggungjawab.

289
2. Langkah-langkah Kebijakan (Pasal 10.2)

Negara harus meningkatkan kesadaran publik


akan perlunya perlindungan dan pengelolaan
sumber daya pesisir dan keikutsertaan mereka
yang terkena pengaruh dalam proses
pengelolaan. (Pasal 10.2.1)

45. Suatu pendapat publik yang memadai untuk


proses pengambilan keputusan (misalnya:keputusan
pemanfaatansumberdaya) menjamin adanya dukungan
luas bagi rencana yang diajukan dapat diberikan
kemudahan melalui proses kelembagaan dan kerangka
hukum. Para pembuat undang-undang serta peraturan
dan para perencana harus menyadari bahwa langkah
yang menjauhkan mereka yang paling terkena
pengaruh. cenderung tidak akan berhasil dalam jangka
panjang.

PEMBAHASAN UMUM

Salah satu pelabuhan perikanan yang telah dikembangkan secara maju dan
termasuk pelabuhan yang mencakup aspek eko

With so many places to stay on offer in Port Douglas, the selection process can become a
daunting process. Below we have hand picked a few reputable accommodation places to
recommend during your stay.

Below are a few suggestions to suit varying budgets from motel style
accommodation to boutique apartments. These properties are situated in the hub of
Port Douglas close to shopping, the beach, restaurants and the marina. They also
have brilliant on-site management who provide excellent service and will ensure
your stay is a memorable one. They also love their outdoors and fishing!
Please contact us for the best available rates.

290
5.1 Analisis Permasalahan Umum
5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan
5.2.1 aspek pengembangan wilayah:
5.2.1.1 LQ
5.2.1.2 shift share
5.2.1.3 skalogram
5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara
5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi)
5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal
Muara
5.2.2.3 Pasokan Ikan
5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan
5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan
5.2.2.6 akses transportasi
5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan
5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap
5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke
5.3 Manajemen kawasan pelabuhan
5.3.1 tata ruang
5.3.2 prasarana dan sarana
5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan
5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara

Beberapa sasaran yang hendak dicapai dari implementasi kebijakan revitalisasi perikanan,
setidaknya meliputi beberapa aspek, diantaranya :
Terjadinya peningkatan investasi yang signifikan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan
pertumbuhan
Tercapainya peningkatan pendapatan nelayan melalui kegiatan industri terpadu dan penciptaan
pasar (domestik dan pasar ekspor)
Terlaksananya pemberdayaan masyarakat nelayan sehingga mampu memposisikan diri sebagai
pelaku ekonomi yang unggul
Terwujudnya pelestarian lingkungan (ekologi terpelihara secara berkelanjutan) sehingga mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
Terlaksananya pengembangan jasa kelautan dan non pariwisata untuk menunjang pembangunan
sektor kelautan

Hadirin sekalian yang saya hormati,


Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, perlu didukung komponen-komponen kegiatan, yang
meliputi :
Pengembangan industri perikanan berbasis armada nasional menunjang Permen 17 tahun 2006,
tentang usaha perikanan tangkap
Revitalisasi budidaya rumput laut
Pengembangan cluster industry perikanan
Pengembangan jasa kelautan
Peningkatan Akses modal dan akses pasar mendukung revitalisasi perikanan

Sekretariat BKSP JABODETABEKJUR terdiri atas :

Bagian Pembangunan, membawahi ;

- Sub Bagian Tata Ruang dan Pertanahan, :

- Sub Bagian Permukiman, Sarana dan Prasarana,

291
- Sub Bagian Sumber Daya Air, Kebersihan dan Lingkungan Hidup.

Bagian Perekonomian, membawahi ;

- Sub Bagian Transportasi dan Perhubungan,

- Sub Bagian Agribisnis, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,

- Sub Bagian Industri, Perdagangan, Pertambangan dan Investasi.

Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, membawahi ;

- Sub Bagian Kependudukan, Ketentraman dan Ketertiban,

- Sub Bagian Kesehatan dan Pendidikan,

- Sub Bagian Sosial dan Tenaga Kerja.

Bagian Umum, membawahi ;

- Sub Bagian Keuangan dan Penyusunan Kegiatan,

- Sub Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga,

- Sub Bagian Tata Usaha dan Kepegawaian.

Penataan Ruang

Koordinasi pembahasan rancangan RTRW JABODETABEKJUR,

Penyeragaman nomenklatur, skala, simbol-simbol peta


perencanaan JABODETABEKJUR,

Pemaduserasian dan keterpaduan RTRW / RTRK antar daerah


JABODETABEKJUR.

Permukiman, Sarana & Prasarana

Pembangunan rumah-rumah di BODETABEKJUR,

Pemerataan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan.

Sumber Daya Air, Kebersihan dan LH

292
Kawasan lindung, daerah resapan air, sungai, situ, galian C, hutan
dan penghijauan,

Pengamanan/pelestarian/penghijauan daerah hulu, normalisasi


sungai, pembuatan bendungan/kantong air, perbaikan saluran
(drainase) air,

Pengelolaan sampah, usaha penanggulangan pencemaran sungai


dan udara.

Transportasi, Perhubungan dan Pariwisata

Jaringan jalan, terminal, pengaturan trayek, wilayah operasi, tarif,


moda angkutan dan manajemen lalu lintas,

Peningkatan jalan-jalan terobosan dan penataan ruas-ruas jalan,

Penataan dan pelestarian daerah-daerah wisata, infrastruktur, sarana


dan prasarana daerah wisata.

Agribisnis, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah

Perencanaan pembangunan terminal agribisnis,

Pemberian bantuan bagi usaha kecil dan menengah,

Penyuluhan dan bantuan teknis bidang pertanian, perkebunan dan


persawahan.

Industri, Perdagangan, Pertambangan dan Investasi

Relokasi industri dan pertambangan,

Keterpaduan pendirian industri,

Peningkatan investasi melalui Badan Koordinasi Penanaman


Modal.

293
Kependudukan, Ketentraman & Ketertiban

Mobilitasi penduduk termasuk migrasi dan komuter.

Tertib administrasi kependudukan yang akan diberlakukan SIAK


Offline,

Ketegasan pelaksanaan hukum Indonesia.

Kesehatan dan Pendidikan

Kerjasama peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan


di wilayah JABODETABEKJUR diawali adanya pertemuan forum
untuk tahun 2005 antara Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur
Jawa Barat, Gubernur Banten dengan Bupati/Walikota Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur pada tanggal 20 Agustus
2005 bertempat di Hotel Borobudur Jakarta.

Pada Pertemuan tersebut salah satu kegiatan yang perlu


direalisasikan pada tahun anggaran 2006 adalah program kerjasama
peningkatan sarana dan prasarana pendidikan dasar dan kesehatan
dasar di wilayah JABODETABEKJUR. Pada pertemuan forum ke
dua untuk tahun anggaran 2005 dilaksanakan pada tanggal 28-29
Desember 2005 bertempat di Hotel Aryaduta Karawaci Kabupaten
Tangerang Provinsi Banten, disepakatilah bahwa kerjasama
pendidikan dasar dan kesehatan dasar memperoleh bantuan dana
dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk masing-masing
Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 3.000.000.000,-
(tiga milyar rupiah) dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp. 24
milyar (dua puluh empat milyar rupiah).

Dari anggaran sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar) untuk


masing-masing Kabupaten/Kota BODETABEKJUR dialokasikan
untuk sarana prasarana pendidikan sebesar Rp. 2.000.000.000,-

294
(dua milyar rupiah) dan untuk sarana prasarana kesehatan sebesar
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Sosial dan Tenaga Kerja

Pengawasan bidang ketenagakerjaan baik lokal maupun tenaga


kerja asing,

Usaha penekanan terhadap masalah PMKS di perbatasan,

Adanya operasi yustisi secara berkala.

12/10/2006

SERAH TERIMA DANA BANTUAN KEUANGAN DARI PEMERINTAH


PROVINSI DKI JAKARTA KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
BODETABEKJUR

Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR
sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan sarana prasarana pendidikan dan
kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta. Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana bantuan keuangan dari
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan sarana prasarana
pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung Balai Kota
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana
bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan
sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung
Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hari ini dilaksanakan acara
penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada

295
Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk
peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di
Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Hari ini dilaksanakan
acara penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar
untuk peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan
di Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
http://bkspjabodetabekjur.jakarta.go.id/berita/index.php?id=1

13/09/2006

Lokakarya pengembangan wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil.

Sebagai usaha peningkatan pengembangan sumber daya laut di Selat Karimata,


Departemen Dalam Negeri bekerjasama dengan Instansi terkait mengadakan
lokakarya pengembangan wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil, yang
dilaksanakan di Jakarta yang dihadiri oleh unsur-unsur kelautan seluruh Indonesia.
Pada lokakarya ini dibahas mengenai pemanfaatan air laut yang diolah menjadi air
tawar, mengingat di Indonesia bagian timur sangat membutuhkan akan air bersih
bagi rumah tangga. Pertemuan ini juga menghadirkan Sekretariat BKSP
JABODETABEKJUR sebagai nara sumber, karena berkaitan dengan pelaksanaan
lokakarya tersebut dibutuhkan pula suatu pola kerjasama antar daerah dalam usaha
peningkatan kebutuhan daerah. Sehingga pelaksanaan koordinasi dan kerjasama
antar daerah dapat dilaksanakan dengan baik.

02/10/2006

Pelaksanaan Rapat Forum Kerja BKSP JABODETABEKJUR di Hotel Horison


Bandung, sekaligus penandatanganan Kesepakatan Bersama dan Pearturan
Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota.

Setiap dalam 1 (satu) tahun anggaran Sekretariat BKSP JABODETABEKJUR


selalu mengadakan Rapat Kerja Forum BKSP JABODETABEKJUR yang

296
dilaksanakan 2 (dua) kali dalam setahun. Rpat forum ini suatu forum bertemuanya
Gubernur, Bupati dan Walikota dalam hal ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta,
Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten dan Bupati/Walikota BODETABEKJUR.
Dalam forum ini dibahas mengenai evaluasi seluruh kegiatan yang sudah dan
sedang dilaksanakan sekaligus perencanaan kegiatan pada tahun anggaran
berikutnya. Pelaksanaan Rapat Forum Kerja BKSP JABODETABEKJUR di Hotel
Horison Bandung, sekaligus penandatanganan Kesepakatan Bersama dan
Peraturan Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota JABODETABEKJUR. Secara
rinci adalah penandatangan :

Peraturan Bersama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur


Jawa Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok,
Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi Dan
Bupati Cianjur Tentang Badan Kerjasama Pembangunan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor, Kota
Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Bekasi,
Kota Bekasi, dan Kabupaten Cianjur.

Keputusan Bersama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur


Jawa Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok,
Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi dan
Bupati Cianjur tentang Kerjasama Di Bidang Administrasi Kependudukan dan
Catatan Sipil Di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur
(JABODETABEKJUR).

Keputusan Bersama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur


Jawa Barat Dan Gubernur Banten Tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Dan Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 126/Sk.1884.Jabotabek/97 Dan 2169 Tahun 1997
Tentang Penetapan Titik Koordinat Tanda Batas Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Dan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

297
"PEMANTAPAN RANCANGAN KEPPRES PENATAAN RUANG
JABOTABEK "

http://www.pu.go.id/Ditjen_ruang/Tarunews/taru0908011.html

Jakarta, 9 Agustus 2001

Tanggal 27 Juni 2001 yang lalu telah diadakan kegiatan Ekspose Rancangan
Keppres Penataan Ruang Kawasan Jabotabek yang dipimpin oleh Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah. Tujuan diadakannya kegiatan sosialisasi ini
adalah untuk mendapatkan tanggapan, masukan dan saran terhadap
penyempurnaan RaKeppres tersebut yang melibatkan instansi pusat dan instansi
daerah (Pemda, Bappeda, DPRD), perguruan tinggi, LSM, dan asosiasi-asosiasi
profesi. Penyempurnaan oleh tim kecil dilakukan pada tanggal 3-4 Agusutus 2001
berdasarkan masukan dan tanggapan yang diperoleh dari ekspose tersebut. Tim
Kecil ini terdiri dari Sekretariat Tim Teknis BKTRN, BKSP Jabotabek, wakil-
wakil dari masing-masing pemda serta instansi-instansi pusat terkait.

Sebagai tindak lanjut kegiatan ekspose tersebut, pada tanggal 9 Agustus 2001
Direktorat Jenderal Penataan Ruang selaku Sekretariat Tim Teknis BKTRN
bekerja sama dengan BKSP Jabotabek memfasilitasi pemantapan Rancangan
Keppres Jabotabek hasil penyempurnaan tim kecil. Acara pemantapan RaKeppres
tanggal 9 Agustus tersebut dipimpin oleh Ketua Pokja 1 BKTRN dan juga
melibatkan instansi pusat, instansi daerah (Pemda, Bappeda, DPRD), perguruan
tinggi, LSM, dan asosiasi profesi.

298
Seluruh unsur yang dilibatkan menyatakan bahwa Rancangan Keppres Jabotabek
diperlukan sebagai pedoman atau wadah hukum pengaturan bersama dalam
rangka koordinasi pembangunan wilayah Jabotabek. Namun menurut floor masih
perlu penyempurnaan substansi dan peta seperti misalnya : perlunya memuat
ketentuan tentang kewenangan pemerintah pusat dan masing-masing daerah,
sharing/dukungan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan Keppres tersebut menjadi jelas, perlunya pengaturan sistem
pariwisata dan sistem komunikasi antar daerah, pengendalian banjir, dan lain-lain.

Langkah selanjutnya tim kecil akan menyempurnakan naskah RaKeppres


Jabotabek berdasarkan masukan tanggapan maupun saran yang masuk, dan
naskah hasil penyempurnaan oleh tim kecil tersebut akan disosialisasikan kepada
pemerintah daerah.

Tata Ruang

09-08-2001

299
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/22/0902.htm

GAGASAN segar dan cerdik Gubernur DKI Sutiyoso tentang kawasan


megapolitan Jakarta dengan memanfaatkan daerah di sekitarnya, Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur, Jabotabekjur - wajar-wajar saja bila "ditolak"
oleh Gubernur dan DPRD Jawa Barat. (lih. PR Kamis, 8/2/2006: 1). Mungkin
karena pengalaman masa lalu, Jawa Barat sering "dikerjain" orang-orang pusat
yang banyak merugikan daerah. Selain itu ada kegamangan karena "kesepakatan
bersama" yang ditandatangani ketiga Gubernur, DKI - Jabar - Banten dan para
bupati serta Wali Kota Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Cianjur, tanggal 16
Juni 2005 samasekali tidak menyingung gagasan Sutiyoso itu. Jadi ada
"kekhawatiran" pemerintah daerah Jawa Barat sebagian wilayah administratifnya
dicaplok DKI.

Isu Jakarta sebagai megapolitan bukanlah hal baru. Gubernur DKI Ali Sadikin
pertama kali melontarkan gagasan Jakarta sebagai kota metropolitan. Waktu itu
pun Ali Sadikin harus berhadapan dengan Gubernur Jawa Barat Solihin GP. Jalan
keluar pemerintah pusat pada waktu itu adalah membentuk wilayah Jabotabek
melalui kerja sama pembangunan Jabotabek antara Jabar dan DKI. Kemudian
dibentuk Badan Kerja sama Pembangunan (BKSP) Jabotabek sebagai upaya
mendukung perkembangan Jakarta ibu kota negara. Namun, sebelumnya sudah
ada apa yang disebut Sekertariat Jabar-DKI, sebagai ajang dialog dan sinkronisasi
pembangunan di kedua daerah itu. Namun badan kerja sama tersebut tidak
fungsional, bahkan keberadaannya sekarang tidak terdengar lagi.

Sudah jadi nasib

Agaknya, sudah menjadi "nasib", pada pascakepemimpinan Solihin GP Jabar


selalu "tunduk" dan menerima saja, sumuhun dawuh, atas keinginan pemerintah

300
pusat yang banyak merugikan daerah itu sendiri. Jabar harus rela dijadikan daerah
"penyangga", istilah keren-nya buffer zone, yang sesungguhnya tidak lebih dari
"keranjang sampahnya" ibu kota negara. Dari situlah awal marginalisasi daerah
Jabar, dengan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang subur begitu cepat di daerah
utara menjadi wilayah industri. Karena tidak ditata dengan baik, maka akibatnya
terasa sekarang pada penyediaan stok pangan nasional dan kerusakan lingkungan -
padahal semangatnya adalah "Jabar sebagai lumbung padi nasional".

Di sekitar Jabotabek, alih fungsi hutan, lahan sawah dan pertanian lahan kering
terus berlangsung. Lahan ini dijadikan kawasan permukiman dari yang sederhana
hingga super modern dilengkapi sarana rekreasi, pendidikan, pembelanjaan dan
sarana sosial lainnya. Kondisi menambah risiko banjir dan kerusakan lingkungan
karena terganggunya stabilitas ekosistem baik di sekitar Jakarta maupun di seluruh
kawasan Jabotabek itu.

Namun, terlepas dari masalah sosial dan lingkungan tersebut, DKI dan Jabar kini
menghadapi dilema. Pertumbuhan kedua daerah itu demikian cepat, karena
perkembangan penduduk, meningkatnya sarana transportasi dan komunikasi
antarkota dan antardaerah serta kota-desa yang berdampak terhadap meningkatnya
intensitas migrasi antar kota dan daerah serta urbanisasi dari desa ke kota.
Celakanya daerah tujuan utama para migran dan urbanis itu tetap saja Jakarta dan
sekitarnya. Berlaku pepatah usang "ada gula ada semut."

Selain itu, konsentrasi pembangunan di DKI sebagai ibu kota negara, barangkali
masih diwarnai kuatnya pandangan tradisional masyarakat bahwa ibu kota negara
identik dengan negara itu sendiri. Kehebatan sebuah ibu kota negara adalah
manifestasi dari kehebatan negara itu sendiri. Logika awam yang terbangun adalah
bahwa Jakarta miniatur Indonesia. Maka keberadaan Jakarta sebagai ibu kota
negara tidak terelakkan lagi perlu mendapat dukungan semua pihak. Dalam
memahami logika sebab-akibat itu, diharapkan semua pihak berpikir jernih, kritis,
perspektif dan cerdas, tidak kuuleun alias memble.

301
Dilema lain, intensitas pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan
berorientasi ke Jawa. Maka tidak heran pula apabila Jawa tetap saja menjadi
daerah tujuan utama migran dan urbanis dari daerah dan desa di sekitarnya.
Berlimpah-ruahnya sebagian besar penduduk Indonesia di Jawa (70 %)
menjadikan Jawa sebuah kota pulau, megapolis. Berjubelnya manusia Indonesia di
kota-kota di Jawa memberatkan pemerintah kota, karena yang muncul adalah
kemiskinan dengan kampung kumuhnya yang berakibat terhadap degradasi
lingkungan dan munculnya budaya kekerasan.

Oleh karena itu isu megapolitan Gubernur DKI Sutiyoso sesungguhnya dapat
dijadikan momentum yang baik, sebagai peluang untuk menangani kesemrawutan
pembangunan di Jabar-DKI (karena Banten mungkin lebih senang bergabung
dengan DKI). Selama ini daerah hanya peduli kepada dirinya masing-masing, atau
egoisme daerah.

Banyak hal yang dapat dikerjakan bersama tanpa harus saling mengganggu
wilayah administratif masing-masing. Jabar dan DKI bisa memelihara aliran
Sungai Ciliwung dari hulu ke hilir antara Kabupaten Bogor - DKI untuk
menangkal "banjir kiriman" di Jakarta. Ciliwung dapat dikembangkan menjadi
alternatif angkutan barang melalui sungai Bogor - DKI. Selain itu, kedua daerah
juga bisa mengelola sampah secara terpadu untuk kesehatan penduduk dan
kebersihan lingkungan, mengupayakan suplai air bersih dari Jatiluhur atau daerah
lain di Jawa Barat ke Jakarta; pembangunan sistem transportasi murah Jabotabek -
DKI, sampai kepada urusan kartu penduduk dan pajak kendaraan sehubungan
dengan mobilitas penduduk yang begitu tinggi antara Jabotabekjur - Jakarta.

Lambat atau cepat akhirnya Jabar-DKI harus memiliki satu perencanaan


pengembangan daerah yang terkoordinasi. Ada bidang-bidang yang harus dikelola
bersama yang menyentuh kepentingan bersama yang bersifat lintas daerah. Dalam

302
mencari solusi mendesak, maka dituntut pula sikap tanggap pemerintah pusat,
presiden atau mendagri untuk tidak membiarkan masing-masing daerah mencari
upaya masing-masing yang cenderung mempertahankan kepentingannya masing-
masing.

Barangkali sudah menjadi kebutuhan mendesak sekarang adanya seorang menteri


yang bertugas bukan saja mengoordinasikan dan mengendalikan berbagai program
pembangnan yang berkelanjutan di Jawa Barat-DKI, tetapi juga untuk Indonesia
bagian barat agar khususnya Jawa bebas dari ancaman kemusnahan, karena beban
yang sudah di luar kemampuan support-system lingkungannya - analog dengan
menteri negara urusan percepatan Indonesia bagian timur. Upaya pemerintah pusat
saat ini dalam menghadapi fenomena Jabar-DKI adalah memfasilitasi
kebersamaan kedua provinsi tersebut agar ekosistem di kedua daerah tersebut
dalam jangka panjang tetap mampu menyangga kehidupan umat manusia yang
tertib, damai dan bersahabat.

Pergeseran paradigma

Konsep dan paradigma pemerintahan sekarang sudah bergeser, dari kekuasaan ke


pelayanan. Sejalan dengan itu, maka terjadi pula pergeseran konsep dari
pembangunan daerah ke pembangunan wilayah. Dalam pembangunan wilayah itu,
utamanya antara lain adalah pemanfaatan tata ruang dengan cara
mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan menuju tercapainya
kesejahteraan dan keberlanjutan umat manusia. Kendalanya adalah perilaku
birokrasi kita masih keukeuh saja mempertahankan cara-cara lama yaitu
paradigma kekuasaan.

Hal inilah yang merupakan masalah satu sumber konflik yang terjadi di berbagai
daerah sekarang. Di mana masih kentalnya kesenjangan antara gagasan perubahan
dengan praktik pemerintahan di lapangan, sebagaimana tampak dari pernyataan

303
dan tanggapan reaksi atas isu megapolitannya Gubernur DKI Sutiyoso. Hakikat
pelayanan itu yang utama adalah kesejahteraan dan keadilan bagi semua, yang
tidak lagi berorientasi pada batas-batas administratif daerah, borderless. Dalam
kasus Jabar - DKI, agaknya dialog adalah salah satu instrumen yang harus
dikedepankan. Oleh karena itu, cara terbaik untuk membangun keadilan dan
kesejahteraan bagi semua di kedua daerah tersebut adalah membina pengertian
dan kerja sama, bukan saling meniadakan, (trade off). Kedua pemerintah duduk
bersama, menyusun program dan anggaran bersama serta melaksanakan bersama-
sama dengan melibatkan seluruh stakeholders agar kedua daerah itu tetap eksis
menyangga kelangsungan hidup umat manusia.***

Penulis, dosen senior dan Ketua LPM Unpad Bandung

304
| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |

Wise Coastal Practices for Sustainable Human Development Forum

A regional approach to environmental quality management / Jakarta-Indonesia


(+Bahasa Indonesia)

http://www.csiwisepractices.org/?read=73

Posted By: Yoslan Nur

Date: Wednesday, 4 August 1999, at 7:01 p.m.

Bahasa Indonesia

Key words: community involvement, inter-agency coordination, public sector


awareness.

DESCRIPTION: Based on the result of an evaluation of the Jakarta Bay pilot


project, UNESCO-CSI considers that the project needs to be extended and
improved. A new project has been determined "Environmental governance and
wise management practice for tropical coastal mega-cities: sustainable human
development of Jakarta Metropolitan Area." It is a coordination forum on
sustainable human development of the Jakarta Metropolitan Area. The main aims
of the activities are to:

(1) promote greater community involvement in coastal environmental quality


development, encouraging local communities and NGOs participating in Jakarta
Metropolitan Area sustainable human development;

305
(2) integrate coastal quality improvement as one of the local government's
programmes, establishing an enabling policy environment and a system to
monitor, analyse, and disseminate the results of field activities; and

(3) develop private sector awareness (industrial zone and resort managers) in
environmental development.

The programme activities were determined as a result of the analysis of spatial


problems. For example: to reduce the pressure on coastal marine resources in
Jakarta Bay and Kepulauan Seribu, we have to find an alternative economic
activity for the local community. Similarly to reduce the pollution of Jakarta Bay
by pesticides and fertilizers and to diminish sedimentation by eroded soil, we have
to introduce an environmentally sound farming system in the upstream area (in
District of Bogor and Purwakarta, situated around 70 - 90 km from the coast).

STATUS: The project has yet to be implemented.

DISCUSSION

LONG-TERM BENEFIT: The multi-dimensional and inter-sectoral approach


should allow for long-term sustainable human development while providing
immediate benefit for the local communities.

CAPACITY BUILDING: The activities provide improved management


capabilities and education for stakeholder groups as well as knowledge and efforts
to protect the coastal marine environment. UNESCO will form partnerships with
the government, the private sector, NGOs, local communities and other donors to
demonstrate innovative approaches for managing small islands and coastal areas

306
with an emphasis on local community participation, and more efficient and
sustainable use of coastal resources.

Activities with society (local community): Training for locally-based groups on:
(1) integrated conservation and development of coastal regions and small islands
and (2) social empowerment through development of their own potentiality by
improvement of working techniques, skill development in management,
entrepreneurship to expand livelihood options; and women's participation in
economic and environmental development.

Activities with local Government: Some training activities and technical


assistance on environmental management are projected for local government staff.

Activities with the private sector: Training in industrial zones for resort area
managers on sustainable human development and the dangers of pollution for the
environment.

INSTITUTIONAL STRENGTHENING: The pilot project experience has


revealed that the environmental problems of Jakarta Bay and Kepulauan Seribu
cannot be resolved on a local level, and that a regional solution is required. There
is neither an effective management authority nor a central agency to plan for the
whole JMA or to coordinate sectoral planning in Jakarta City and West Java.
Theoretically, the Coordination Body for Jabotabek Development (Badan
Kerjasama Pembangunan or BKSP Jabotabek), should be a mechanism for inter-
regional coordination and inter-sectoral integration, as well as bottom-up and top-
down program coordination. At present, the agency has some constraints on its
ability to do so: (1) there are almost no resources nor enforcement basis available
for BKSP; (2) some agencies, notably the Jakarta and West Java Provincial
Planning Agency (Bappeda Tingkat I) overlap and duplicate the BKSP,s
responsibilities; (3) the role of BKSP in planning, programming and budgeting for

307
Jabotabek development is not specifically defined; and (4) there is a lack of
operational guidelines for Jabotabek plan implementation. BKSP has no tools to
coordinate and integrate interregional and intersectional development programmes
in the JMA. Having identified the BKSP's weaknesses, it is obvious that the
function and role of this agency needs to be strengthened by giving it a clear
status, political and financial support from central and local governments (DKI
Jakarta and West Java Provinces).

SUSTAINABILITY: The project will ensure sustainability of the ecosystem for


the future generation. 5 years after the project's termination (2000-2005) the
system installed will continue to function when the technical assistance finishes.

TRANSFERABILITY: The project of "Environmental governance and wise


management practice for tropical coastal mega-cities: sustainable human
development of Jakarta Metropolitan Area" is transferable to the others tropical
coastal mega-cities, with some adaptation (e.g. institution, development policies,
culture, etc.)

CONSENSUS BUILDING: The activity should benefit the stakeholder groups,


and provide indirect and long-term benefit for the private sector.

PARTICIPATORY PROCESS: The project will strengthen networks and


cooperation between governments, scientific institutions, universities, NGOs and
communities for policy analysis, implementation and monitoring. Indicators of
success will include the following: (1) strengthened networks for environmental
policy and law reform, as measured by the number of working groups dealing with
policy implementation including universities and NGOs established in tropical
coastal megacity management; (2) increased participation by women in coastal
management, as measured by the number of women in workshops, seminars, and
training programmes; and (3) improved information sharing on environmental

308
issues, as measured by (a) the number of environmental coastal newsletters
produced, (b) the number of coastal management seminars held annually, and
other publications and exhibitions.

EFFECTIVE AND EFFICIENT COMMUNICATION PROCESS: A


multidirectional communication process involving dialogue, consultation and
discussion is planned in this project, e.g. an annual workshop for the principle
stakeholders, community learning centre, brochures, result of development
process, etc.

STRENGTHENING LOCAL IDENTITIES-DECENTRALIZATION: The


development programmes in JMA are mostly central government oriented in
implementation, whereas the involvement of the community and local government
is very limited. An effort towards decentralization of the development plan,
programmes, and realization are needed. The project has planned to improve the
efficiency of the Coordination Body for Jabotabek Development and local
government's involvement in the improvement of the quality of life and of the
environment.

PUBLIC POLICY: In terms of public policies, technical assistance will be given


to central government and local governments in land use planning, evaluation of
environmental standards and norms of quality coastal resource management
guidelines and political instruments for the protection of the environment.

REGIONAL DIMENSION: The project design is based on the perception that the
Jakarta Bay and Kepulauan Seribu is ecologically part of the Jakarta Metropolitan
Area and on the assumption that environmental degradation in this area is caused
by environmental governance.

309
EVALUATION: The success achieved in the overall strategic objective will be
measured by: (1) improvement of environmental quality in the Jakarta
Metropolitan Area, particularly the seawater quality in Jakarta Bay; (2) the
number of local communities actively participating in environmental planning,
implementation and management; (3) the number of NGOs strengthened to
promote improved coastal Jakarta Metropolitan Area environmental quality; and
(4) the number of partnerships among the local governments, the private sector,
and communities for locals and regional environmental impact planning and
monitoring that have been strengthened.
******************************************************************
*********************************

PENDEKATAN REGIONAL DALAM PENGELOLAAN MUTU


LINGKUNGAN HIDUP/TELUK JAKARTA-INDONESIA

DESKRIPSI. Berdasarkan hasil evaluasi proyek pilot Teluk Jakarta setelah tiga
tahun pelaksanaan, UNESCO-CSI berkesimpulan bahwa perlu peningkatan dan
pengembangan pilot proyek tersebut. Dalam rangka itu sebuah proyek sedang
dirumuskan, "Environmental governance and wise practices for tropical coastal
mega-cities: Sustainable human development of the Jakarta Metropolitan Area".
Proyek ini akan berfungsebagi sebuah forum koordinasi dari proyek-proyek yang
berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan
Jakarta, garis begar kegiatan adalah sebagai berikut: (1) Menggalakkan partisipasi
masyarakat dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan mendorong
partisipasi masyarakat dan LSM dalam pembangunan masyarakat berkelanjutan;
(2) Mengintegrasikan kegiatan peningkatan kualitas kawasan pesisir sebagai salah
satu bagian dari program permbangunan pemerintah (pusat dan daerah),
merumuskan kebijaksanaan lingkungan hidup dan system pemantauan, analisis
and desiminasi hasil lapangan; dan (3) Meningkatkan kesadaran sektor swasta
(para pengelola kawasan pariwisata dan kawasan industri) akan pentingnya arti
dari pelertarian lingkungan hidup. Program kegiatan disusun berdasarkan analisa

310
ruang dari permasalahan, misalnya : untuk mengurangi tekanan masyarakat
terhadap sumberdaya pesisir yang disebabkan oleh tata cara penangkapan ikan
yang tidak berwawasan lingkungan (pemakaian bom ataupun racun) maka kita
akan cari alternatif kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang sifatnya
tidak merusak lingkungan; dan untuk menurunkan polusi perairan Teluk Jakarta
oleh pestisida dan pupuk maka kita akan memperkenalkan dan membimbing
petani yang berada di hulu (di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, terletak sekitar
70 hingga 90 km dari pantai) untuk melakukan praktek pertanian berwawasan
lingkungan.

MANFAAT JANGKA PANJANG. Pendekatan multi-dimensi and intersectoral


akan memungkinkan terlaksanannya pembangunan masyarakat berkelanjutan
tanpa mengabaikan manfaan langsung dari proyek tersebut terhadap masyarakat
pelakunya.

PENINGKATAN KEMAMPUAN. Peningkatan kemampuan pengelolaan


kawasan pesisir bagi para pelaku yang terlibat merupakan bagain dari proyek ini.
UNESCO dengan bekerjasama dengan Pemda, sektor swasta, LSM, masayarakat
dan para donator lainnya akan memperkenalkan pendekatan baru dalam mengelola
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui partisipasi masyarakat dengan cara
yang lebih efisien untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir.

- Masyarakat. Pelatihan bagi masyarakat tentang: (1) konservasi dan


pembangunan terintegrasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; (2)
pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan berdasarkan potensi ekonomi
yang mereka miliki dengan bantuan peningkatan teknologi, keahlian managerial,
kewiraswastaan untuk memperbaiki perekonomian keluarga, peningkatan
partisipasi wanita dalam perekonomian dan pembangunan berkelanjutan.

311
- Pemerintah daerah. Pelatihan dan bantuan teknik dalam pengelolaan lingkungan
hidup akan diberikan kepada staf Pemda.

- Sektor swasta. Pelatihan bagi pengelola kawasan pariwisata dan kawasan


industri dalam rangka meningkatkan kepedulian mereka terhadap pentingnya arti
pemeliharaan kualitas lingkungan hidup dan membekali mereka dengan
keterampilan mengelola limbah yang di produksi kawasan pariwisata dan kawasan
industri.

PEMBANGUNAN KELEMBAGAAN. Berdasarkan pengalaman proyek pilot,


permasalahan lingkungan hidup di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu tidak
dapat dipecahkan hanya pada tingkat lokal, melainkan kita butuh pemecahan
persoalan yang skalanya regional, Kawasan Metropolitan Jakarta. Hingga saat ini
belum ada satu pun Badan Pemerintah yang berhasil menangani pembangunan dan
pengelolaan Kawasan Jakarta Metropolitan (DKI Jakarta dan beberap[a Dati II di
Jawa Barat) secara keseluruhan. Pada prinsipnya, Badan Kerjasama Pembangunan
Jabotabek (BKSP) adalah satu-satunya badan yang bertanggung jawab atas
koordinasi inter-regional dan inter-sectoral baik antara pemerintah pusat dan
instansi-instansi lain yang terlibat dalam pembangunan Jabotabek. Pada saat ini,
BKSP menghadapi beberapa persolan untuk melaksanakan tugas ini, persoalan
yang dihadapi anatara lain: (1) tidak ada dana khusus yang diperuntukkan bagi
kegiatan BKSP; (2) kegiatan BKSP bertumpang tindih dengan beberapa lembaga
pemerintah lainnya, teurama Bappeda Tkt. I DKI Jakarta dan Jawa Barat; (3)
peran BKSP dalam perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan dan penyususnan
anggaran pembangunan Jabotabek tidak begitu jelas; dan (4) tidak ada petunjuk
pelaksanaan pembangunan di Jabotabek. Singkatnya BKSP tidak memiliki alat
untuk mengkoordinaksikan dan mengintegrasikan program pembangunan di
Jabotabek. Setelah mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi BKSP, ditarik
kesimpulan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah perlu memberikan dukungan
kepada lembaga ini (berupa penjelesan statusnya, dukungan politik dan
pendanaan) agar dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik.

312
KEBERLANJUTAN. Proyek ini bermaksud untuk berkontribusi dalam pelestarian
lingkungan hidup agar tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Pada
akhir 5 tahun pelaksanaan proyek, 2000-2005, diharapkan sistem yang sudah
dibangun akan tetap berjalan secara mandiri meskipun bantuan teknik dari
UNESCO sudah dihentikan.

TRANSFERABILITAS. Proyek "Environmental governance and wise practices


for tropical coastal mega-cities: Sustainable human development of the Jakarta
Metropolitan Area" dapat dengan mudah diterakpan di mega-city tropis lainnya,
tentu sebelumnya harus dilakukan beberap adaptasi (seperti kelembagaan,
kebijaksanaan pembangunan, budaya, dsb.)

PARTISIPASI MASYARAKAT. Proyek ini akan memperkuat jaringan kerja


antara Pemerintah (Pusat dan Daerah), lembaga-lembaga penelitian, universitas,
LSM dan masyarakat dalam rang perumusan kebijasanaan, pelaksanaan dan
pemantauan. Kriteria keberhasilan dari proyek akan dinilai dari : (1) keeratan
kerjasama dalam perumusan peraturan dan kebijaksanaan lingkungan hidup dapat
diukur dari jumlah kelompok kerja yang terlibat dalam kegiatan ini;
(2)peningkatan partisipasi wanita dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat dinilai
dari jumlah wanita yang berpartisipasi dalam rapat-rapat kerja, seminar, program
pelatihan; (3) peningkatan penyebaran informasi di bidang lingkungan hidup dapat
dinilai dari (a) jumlah newsletter yang diterbitkan, (b) jumlah seminar, rapat kerja
ataupun pertemuan-pertemuan tentang lingkungan hidup; dan publikasi lainnya
seperti pameran, dsb.

EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PROSES KOMUNIKASI. Komunikasi multi


arah yang mencakup dialog, konsultasi dan diskusi akan digalakkan dalam proyek
ini melalui : Rapat Kerja tahunan antara para pelaku pembangunan, pusat
penduidikan masyarakat, publikasi, brosur, laporan etc.

313
DESENTRALISASI. Program-program pembangunan di Jabotabek sebagian
besar adalah proyek Pemerintah Pusat, dimana peranan masyarakat dan Pemda
sangat terbatas. Proyek ini menggalakan usaha desentralisasi perencanaan,
penyusunan program, dan realisasi pembangunan. Peranan BKSP dan Pemda
perlu diperkuat unutuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan tingkat hidup
dari masyarakat setempat.

KEBIJASANAAN PEMERINTAH. Akan diberikan bantuan teknik terhadap


beberapa instansi Pemerintah Pusat dan daerah dalam hal: penataan ruang,
evaluasi standar dan norma-norma lingkungan hidup di kawasan pesisir dan
mempersiapkan kebijakaan pemerintaha (pusat dan daerah) dalam pelestarian
lingkungan hidup.

DIMENSI REGIONAL. Rancangan proyek didasarkan atas persepsi bahwa Teluk


Jakarta dan Kepulauan Seribu secara ekologis merupakan bagain yang tak
terpisahkan dara Kawasan Metropolitan Jakarta; dan didasarkan juga atas asumsi
bahwa perusakan lingkungfan hidup di kawasan ini berasal dari permasalahan
pengelolaan.

EVALUASI. Keberhasilan proyek akan diukur dengan kriteria sebagai berikut :


(1) peningkatan kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan Jakarta,
khususnya kualitas air di Teluk Jakarta; (2) jumlah masyarakat yang secara aktif
berpartisipasi dalam perencaan, pelaksanaan dan pengelolaan lingkungan hidup;
(3) jumlah LSM yang terlibat dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan hidup
di Kawasan Metropolitan Jakarta; dan (4) jumlah kerjasama antara pemda dengan
pihak swasta dan masyarakat dalam perencanaan dan pemantauan lingkungan
hidup.

Messages in This Thread

314
A regional approach to environmental quality management / Jakarta-Indonesia
(+Bahasa Indonesia)

Yoslan Nur

Bay Management

Ian Dutton

How societal thinking shapes attitudes to resource exploitation /


Indonesia.(+Bahasa Indonesia)

Boedhihartono and Nurlini Kasri

Assessing the way society views natural resources / Indonesia and Russia

Ian Dutton and Michael Shilin

SEND YOUR REACTION/RESPONSES TO THE MODERATOR.

| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |

315
6. SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Kondisi lingkungan pesisir dan perairan di kawasan Dadap-Kamal Muara
dalam keadaan belum baik. Berdasarkan hasil analisis ketergantungan
daerah perikanan sampai tahun 2003, PPI/TPI Dadap sudah tidak dapat lagi
dipertahankan sebagai tempat pendaratan dan pelelangan ikan, sedangkan
TPI Kamal Muara masih mempunyai ketergantungan yang cukup besar.
(2) Hasil analisis shift share menunjukkan bahwa Kabupaten Tangerang
merupakan wilayah progresif dimana pergeseran bersih bernilai positif,
sedangkan Kota Jakarta Utara merupakan wilayah lamban dimana
pergeseran bersih bernilai negatif. Analisis LQ menunjukkan bahwa
komoditi perikanan di Kabupaten Tangerang dan Kota Jakarta Utara masih
merupakan sektor unggulan. Di Kecamatan Penjaringan, pusat pelayan atau
pusat pengembangan wilayah utama bukan terletak di Kamal Muara tetapi di
Kelurahan Pejagalan dan Kelurahan Pluit, sedangkan untuk Kecamatan
Kosambi, Dadap merupakan pusat pelayanan atau pusat pengembangan,
dengan total jumlah fasilitas mencapai 18 tipe fasilitas
(3) Pemanfaatan lahan di masing-masing kawasan sejauh ini masih perlu
dikoordinasikan secara terpadu, baik secara horizontal (yang menyangkut
masyarakat sekitarnya) maupun vertikal (yang berkaitan dengan pemerintah
pusat dan instansi lainnya), dengan tetap mewadahi aspirasi masyarakat lokal
untuk menghindari terjadinya konflik sosial. Daya tampung PPI/TPI Kamal
Muara dapat ditingkatkan untuk menampung limpahan kapal dari PPI Muara
Angke dan PPI Dadap.
(4) Dimasa yang akan datang, PPI/TPI Dadap lebih baik untuk difungsikan
sebagai pelabuhan yang mendukung aktivitas wisata bahari, sedangkan
PPI/TPI Kamal Muara tetap berfungsi di sektor perikanan sebagaimana
semula. Program pembangunan yang dilakukan di Kawasan Dadap-Kamal
Muara sejauh ini belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan konsep
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
(5) Opini masyarakat menunjukkan adanya kekhawatiran tentang kondisi
lingkungan pantai dan perairan serta menuntut kepastian program masa
depan sektor perikanan

6.2 Saran
(1) Direkomendasikan bahwa pengembangan selanjutnya untuk TPI Dadap
diharapkan agar diarahkan untuk menjadi suatu pelabuhan terpadu, yang
dapat menangani kegiatan perikanan olah raga (sport fishing), kegiatan kapal
penelitian Baruna Jaya, dan aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan
pariwisata pantai (baik layaran, maupun transportasi ke objek-objek wisata
yang akan dikembangkan.
(2) Untuk TPI Kamal Muara, direkomendasikan untuk dikembangkan sampai
mempunyai kapasitas sama dengan kapasitas TPI Muara Angke, yaitu
sebesar 500 unit kapal ikan dengan bobot rata-rata 50 GT.
(3) Pemindahan kapal ikan, baik dari TPI Dadap (sebanyak 1.500 GT) maupun
dari TPI Muara Angke (sebanyak 1.495 GT), dapat dilakukan secara
bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan pembangunan fasilitas
pelabuhan di kedua TPI tersebut.
(4) Konsep pembangunan kawasan pesisir terpadu benar-benar harus diterapkan
di kawasan perbatasan ini, dengan mengedepankan prinsip saling mendapat
keuntungan (win-win solution). Tidak perlu dikembangkan suatu kegiatan
yang sama di kedua kawasan perbatasan tersebut tetapi yang lebih baik
adalah kegiatan yang saling mendukung dan saling mengisi.
(5) Beberapa kegiatan pembangunan yang direkomendasikan untuk
dikerjasamakan diantara Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda Kabupaten
Tangerang antara lain:
a. Sektor Perikanan:
Pemda Kabupaten Tangerang
Instalasi air bersih, pabrik es, mesin penghancur es, cold storage,
memfungsikan gudang untuk produk-produk perikanan, mengganti
fungsi TPI Dadap menjadi pelabuhan wisata pantai dan laut,

255
pengerukan dasar Kali Perancis secara reguler, Melakukan
penataan lokasi budidaya kerang hijau
Pemkot Jakarta Utara
Pembangunan fasilitas PPI Kamal Muara, perumahan nelayan,
bengkel mesin dan dock, tempat perbaikan alat tangkap, rumah
sakit, pengerukan dasar Kali Kamal secara reguler,
b. Wisata laut
Pemda Kabupaten Tangerang
Pendidikan pemandu wisata, menyediakan perahu untuk kegiatan
wisata, rumah makan & restoran seafood, wisma/hotel untuk
wisatawan, toko peralatan wisata laut
Pemkot Jakarta Utara
Penyiapan objek wisata laut, sarana keselamatan wisata laut,
menyiapkan objek wisata mangrove,
c. Prasarana dan Sarana penangkapan
Pemda Kabupaten Tangerang
Galangan kapal kayu dan fiber glass
Pemkot Jakarta Utara
Toko peralatan tangkap, SPBU khusus
d. Kawasan konservasi
Pemda Kabupaten Tangerang
melakukan koordinasi dengan kecamatan lain yang memiliki
kawasan konservasi yang memungkinkan untuk menjadi objek
wisata alam: Pulau Cangkir (Kec. Kronjo), Tanjung Kait Kec.
Sukajadi, Tanjung Burung dan Tanjung Pasir (Kec. Teluk Naga),
Arukan/Muara dan Salembaran Jati (Kec. Kosambi)
Pemkot Jakarta Utara
Menyiapkan kawasan mangrove sebagai daerah konservasi,
memelihara areal-areal konservasi laut

256
DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja K. 2006. Jabar-DKI Harus Bekerja Sama. Pikiran Rakyat, Rabu,


22 Pebruari 2006. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/
022006/22/0902.htm

Adrianto L. 2004. Analisis Penentuan Daerah Perikanan (Fisheries Dependent


Region). Working paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
IPB, Bogor.

Adrianto L. 2007. Naskah Akademik Kelembagaan Tempat Pelelangan (1).


Poster Paper. PKSPL IPB.

Adrianto L. 2007a. Naskah Akademik Kelembagaan Tempat Pelelangan (2).


Poster Paper. PKSPL IPB.

Adrianto L. 2007b. Naskah Akademik Kelembagaan Tempat Pelelangan (3).


Poster Paper. PKSPL IPB.

Alam MF, Omar IH, Squires D.. 2002. Sustainable fisheries development in the
tropics: trawlers and licence limitation in Malaysia. Applied Economics
(34) 325-337

Allen, T. F. H., J. A. Tainter, et al. (2003). Supply-side Sustainability. New York,


NY, Columbia University Press.

[Anonimous]. 1994. Teluk Jakarta, berubah dari waktu ke waktu.


<apakabar@clark.net>. Kompas online. Selasa, 23 Oktober 1994

[Anonimous]. 1996. Kejar Sertifikasi. Media Online. From: apakabar@clark.


net. 29 Mei 1996.

[Anonimous]. 1997. Teluk Jakarta, berubah dari waktu ke waktu.


<apakabar@clark.net>. Kompas online. 29 April 1997.

[Anonimous]. 2002. Keputusan Menteri Perhubungan No. 54 tahun 2002 tentang


Peenyelenggaraan Pelabuhan Laut.

[Anonimous]. 2003. Identifikasi dan Penyusunan Program Potensi Sumberdaya


Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Tangerang.

[Anonimous]. 2003a. Sejarah Terbentuknya Departemen Kelautan dan


Perikanan (DKP). http://www.dkp.go.id/
[Anonimous]. 2003b. Pemerintah Jepang Menyatakan Memberikan Bantuan
bagi Pembangunan Sumur Air Umum di Desa Kamal Muara di Jakarta
Utara. Press release 2004. http://www.id.emb-japan.go.jp/news.html

[Anonimous]. 2004. Monografi Desa Dadap 2003. Kecamatan Kosambi


Kabupaten Tangerang.

[Anonimous]. 2004a. Tindaklanjuti Penghentian Reklamasi Pantai


Dadap. Suara Pembaharuan, 23 Februari 2004

[Anonimous]. 2004b. Perubahan RUTR Pantai Dadap. Suara


Pembaharuan Daily, 23 Februari 2004 16:38.

[Anonimous]. 2004c. Sepotong Kisah dari Desa Dadap. Suara Pembangunan


Daily, 16 Maret 2004.

[Anonimous]. 2004d. Jakarta Utara Tergenang Akibat Hujan Deras.


Tempo Interaktif. 22 April 2004.

[Anonimous]. 2004d. Sejumlah Instansi Saling Tuding Reklamasi Pantai Dadap


Liar. Sinar Harapan, 17 Juni 2004.

[Anonimous]. 2004e. Logam Berat, Penyebab Matinya Ikan di Teluk.


Jakarta. Suara Publika, Edisi Juli 2004

[Anonimous]. 2004f. Pemkab Terima Retribusi Ratusan Juta Rupiah.


Sinar Harapan, 06 Agustus 2004 16:38:22

[Anonimous]. 2005a. Jakarta Utara Mulai Diterjang Banjir. Tempo Interaktif.


18 Januari 2005.

[Anonimous]. 2005b. Warga Dadap Tak Peduli Ada Reklamasi Pantai. Tempo
Interaktif. 23 Februari 2005.

[Anonimous]. 2005c. Warga Dadap Tolak Reklamasi Pantura. Kompas,


Kompas, 23 Februari 2005

[Anonimous]. 2005d. Tangerang Belum Prioritaskan Penanggulangan Banjir


Kamal Malang. Tempo Interaktif. 09 Maret 2005.

[Anonimous]. 2005. (http://people.hofstra.edu/geotrans/eng/ch6en/conc6en/


landrent.html).

[Anonimous]. 2006. Merujuk Sistem TPI Belanakan untuk TA/STA. Agribisnis


Indonesia on line. Down load 5 Julu 2007. http://agribisnis.deptan.go.id/

[Anonimous]. 2006a. Website Resmi Sekretariat Badan Kerjasama


Pembangunan Jabodetabekjur. http://bkspjabodetabekjur.jakarta.go.id/

258
[Anonimous]. 2006b. Megapolitan Jangan Mencaplok. PIKIRAN RAKYAT
Selasa 7 Pebruari 2006 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/
022006/07/0910.htm
[Anonimous]. 2006c. Fishing Port Douglas. Booklet online. http://www.
fishing port douglas. com.au/

[Anonimous]. 2007. Laporan Kegiatan Pemerintahan Kelurahan Kamal Muara


bulan April 2007. Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan
Kotamadya Jakarta Utara.

[Anonimous]. 2007a. Keynote Speech Menteri Kelautan dan Perikanan RI.


"Lokakarya Refleksi Kebijakan Revitalisasi Kelautan dan Perikanan",
Jakarta, 15 Januari 2007. http://www.dkp.go.id/

Atmaja SB. 2002. Dinamika Perikanan Purseseine di Laut Jawa dan sekitarnya.
Thesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Bailey C, Jentoft S.. 1990. Hard choices in fisheries development. J. Marine


Policy, July 1990.: 333-344

[BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 2000.


Peta Lingkungan Pantai Indonesia 1:50.000, Lembar LPI 1210-03 Jakarta.
Edisi 1 2000.

[BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 2001.


Peta Rupabumi Digital Indonesia 1:25.000, Lembar 1209-434 Teluknaga.
Edisi 1 2001.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi Banten. 2001.


Banten Dalam Angka 2000.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi Banten. 2004.


Banten Dalam Angka 2003.

[BAPPEDA Cilegon] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Cilegon.


2003. Kota Cilegon dalam Angka 2002.

[BAPPEDA Lebak] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten


Tangerang. 2001. Revisi RTRW Kabupaten Tangerang.

[BAPPEDA Lebak] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lebak.


2003. Kabupaten Lebak dalam Angka 2002.

[BAPPEDA Pandeglang]. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten


Pandeglang. 2003. Kabupaten Pandeglang dalam Angka 2002.

[BAPPEDA Serang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten


Serang. 2003. Kabupaten Serang dalam Angka 2002

259
[BAPPEDA Tangerang] Badan Perencanan Pembangunan Daerah Kabupaten
Tangerang. 2002. Peta Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya (2011).

[BPRP] Badan Pelaksana Reklamasi Pantura DKI Jakarta, 2001. Studi Kelayakan
Pembangunan Tempat Pendaratan Ikan dan Restoran Nelayan Tradisional
Kawasan DAS Kali Kamal Wilayah Jakarta Utara.

[BPS Tangerang] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. 2001. Kosambi


Dalam Angka 2000

[BPS Jakut] Badan Pusat Statistik Kodya Jakarta Utara.. 2001. Penduduk Jakarta
Utara 2000.

[BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2003. Tinjauan Ekonomi Regional
DKI Jakarta dan Pulau Jawa-Bali tahun 2001-2002.

[BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2004. Jakarta Utara Dalam Angka
2003.

[BPS Jakut] Badan Pusat Statistik Kotamadya Jakarta Utara. 2004a Kecamatan
Penjaringan Dalam Angka 2003.

Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Sinopsis. PKSPL IPB, Bogor.

Beatley T., Brower DJ., Schwab A.. 1999. An Introduction to Coastal Zone
Management. Inland Press, Washington DC.

Blair JP. 1991. Urban and Regional Economics. Irwins Inc. 585 pp.

Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.


Pradnya Paramita, Jakarta.

Burak S, Doan E, Gaziolu C.. 2004. Impact of urbanization and tourism on


coastal environment. .Ocean & Coastal Management Vol. 47 (2004) 515-
527

Charles AT. 1992. Fishery conflicts. A unified framework. J. Marine Policy,


September 1992.: 379-393

Chiang AC. 1992. Elements of Dynamic Optimization. McGraw-Hill, Inc. New


York.

Chua TE. 2006. The Dynamics of Integrated Coastal Management: Practical


Aplications in the Sustainable Coastal Development in East Asia.
GEF/UNDP/IMO Regional Programme on Building Partnerships in

260
Environmental Management for the Seass of East Asia (PEMSEA).
Quezon City, Philippines.

Cicin-Sain B, Knecht RW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management.


Concepts and Practices. Island Press, Washington DC.

CV Indo Buwana, 2000. Peta Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Skala 1:70.000. CV Indo Buwana, Jakarta.

Dahuri R, Rais J, Ginting SP, dan Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Lautan secara Terpadu. PT Pradya Paramita. Jakarta.

Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.


Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB.

Damai AA. 2003.Pendekatan Sistem untuk Penataan Ruang Wilayah Pesisir Kota
Bandar Lampung. Thesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Damar A. 2003. Effect of enrichment on nutrient dynamic, phytoplankton


dynamic and productivity in Indonesian Tropical Water: a comparison
between Jakarta Bay, Lampung Bay, and Semangka Bay. FTZ-
WESTKUESTE. Publication Series No. 29: 199 p.

Darmawan dan Yopi Novita (Editor). 2003. Konsep Pengembangan Sektor


Perikanan dan Kelautan di Indonesia. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.

Damar A. 2004. Kematian Masal Ikan di Teluk Jakarta: antara Limbah Industri
dan Eutrofikasi . PKSPL IPB, Bogor.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan


dan Perikanan Republik Indenesia Nomor PER.16/MEN/2006 tanggal 23
Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan.

Desa Dadap. 2004. Monografi Desa Dadap 2003.

[DIPERHUT] Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. 2005. Distribusi


hutan mangrove di wilayah DKI Jakarta. Http://www.distanhut.com/

Dinas Tata Ruang dan Bangunan. 2001. Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai
Utara Tahap I Kabupaten Tangerang. Dinas Tata Ruang dan Bangunan,
Tangerang.

[Disnakkanlut] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Pemda DKI Jakarta..


2002. Data Perikanan tahun 1992-2001.

261
[Disnakkanlut] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Pemda DKI Jakarta.
2005. Kumpulan data perikanan DKI Jakarta. : UPT Pengelola Kawasan
Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005)

[Disnakkanlut] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta.


2006. Potensi Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan
Ikan Muara Angke.

[Diskan Tangerang] Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang. 2002. Laporan


Perikanan2001.

[Diskan Tangerang] Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang. 2003. Laporan


Perikanan2002.
[Diskan Banten] Dinas Perikanan Provinsi Banten, 2003. Renstra Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi Banten

[Diskanlut Tangerang] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang.


2004. Data Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kabupaten Tangerang 2003.

Djalal H. 2000. Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982. Makalah dalam


Seminar Nasional Mewujudkan Pemerintahan Bahari, Hotel Savoy
Homann Bandung. Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan
Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Cimahi.

Dubrocard A, Thoron S. 1998. Strategic aspects of the planning of fishing


harbours. GREQAM, University of Toulon. Toulon.

[EC] European Commission. 1999. Towards a European Integrated Coastal


Zone Management (ICZM) Strategy. General Principles and Policy
Options. A reflection paper. Directorates General Environment, Nuclear
Safety and Civil Protection; Fisheries; Regional Policies and Cohesion.
ICZM in the UK: A stocktake. Final Report. ATKINS.
http:/www.defra.gov.uk/environment/water/marine/uk/iczm/stocktake/sect
ion 1.pdf.

Ellsworth JP, Hildebrand LP, Glover EA. 1997. Canadas Atlantic Coastal
Action Program: A community-based approach to collective governance.
Ocean & Coastal Management. Vol 36 Nos 1-3, pp 121-142.

[FAO] Food and Agricultural Organization UN. 1996. Integrasi Perikanan ke


dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir. Terjemahan Tim Ditjenkan dari
Integration of Fisheries into Coastal Area Management. FAO Technical
Guidelines for Responsible Fisheries. No. 3. FAO, Rome.

Fauzi A. 2000a. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir. Makalah disampaikan


pada Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Proyek Kerjasama IPB-New Guinea University of Technology. Bogor,
20-25 Maret 2000.

262
Fauzi A. 2000b. Panduan Pelatihan Pemodelan Optimasi. Institute of Fisheries
Economic and Community Development IPB, Bogor.

Fetter FA. 1977. Capital, Interest, and Rent: Essays in the Theory of
Distribution. Editor. Murray N. Rothbard. Kansas City: Sheed Andrews
and McMeel, Inc.,

Ford A. 1999. Modeling the Environment: An Introduction to System Dynamics


Modeling of Environmental Systems. Island Press, Washington, DC.

Fujita M, Hu D.. 2001. Regional disparity in China 1985-1994: The effect of


globalization and economic libelarization. Ann. Reg. Sci. (2001) 35: 3-37.

Fujita M, Krugman P.. 2004. The economic geography: past, present, and future.
Reg. Sci. 83, 139-164 (2004).

Girsang P. 1994. Analisis PIR-LOK Kelapa Sawit dalam Hubungannya dengan


Pengembangan Wilayah serta Kaitannya dengan Distribusi Pendapatan
dan Tingkat Kesejahteraan. Tesis. PPS IPB. Bogor.

Grant WE, Pedersen EK,. Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resources
Management: System Analysis and Simulation. John Wiley and Sons, Inc.
New York.

Gray, B. 2006. Ketika-air-mengucur-di-Kamal-Muara. http://sendaljepit.


wordpress.com/. 14Aug06

Hall CAS, Day JW. 1976. Ecosystem Modelling in Theory and Practice: an
introduction with case histories. A Willey-Interscience Publication. John
Wiley & Sons, New York.

Hasyim I. 1998. Perencanaan Pembangunan Segara Anakan dalam Rangka


Kerjasama Dua Propinsi (Jabar-Jateng). Makalah pada Pelatihan
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (ICZPM)
Segara Anakan II. 23 September-22 Oktober 1998. PKSPL IPB. Bogor.

Hatziolos ME. 1997. A World Bank Framework for ICZM with Special
emphasis on Africa. Ocean & Coastal Management Vol. 37 No. 3, pp
281-294, 1997

Hoover EM, Giarratani F. 1985. An Introduction to Regional Economics. Third


Edition. Alfred A. Knopf. New York.

Hufschmidt MM, James DE, Meister AD, Bower BT,. Dixon JA. 1983.
environment, Natural Systems, and Development. An economic valuation
guide. The Johns Hopkins University Press. Baltimore.

263
Husein, AS. 1997. konflik Pertanahan: Dimensi Keadilan dan Kepentingan
Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Idrus, M., G. V. Harder, A. M. Sinaga, D. Y. Flassy, M. Y. Ismail, F. Putturuhu,


Riyadi, Bambang Rianto, A. Nursalman, A. Imbaruddin, dan A. Taufik.
1999. Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Pembangunan
Wilayah/PPW (Planning of Regional Development Programmes-PRDP).
LAN bekerjasama dengan DSE, Jakarta.

[IMC] Information Media Center. 2006. Nasib nelayan Kamal Muara dan
reklamasi PANTURA. Dikirim oleh : Jakarta IMC Editorial Group -
Jakarta IMC pada tanggal : 06-09-2006, 17:38 jakarta / lingkungan hidup /
news repo

Jorgensen SE. 1988. Fundamentals of Ecological Modelling. Elsevier,


Amsterdam.

Kasimis C, Petrou A.. 2000. Identifying fisheries dependent regions in Greece.


Dalam Symes, D. (eds). Fisheries Dependent Regions. Fishing News
Books. Blackwell Science, London.

Klinger T. 2004. International ICZM: in search of successful outcomes. Ocean


& Coastal Management 47 (2004) 195-196.

Kramadibrata S. 2002. Perencanaan Pelabuhan. Penerbit ITB, Bandung.

Kurniawati W. 2005. Optimisasin Pengembangan Perikanan Purse Seine di PPN


Pemangkat Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat. Thesis.
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Litasari L. 2002. Kajian Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Areal


Budidaya Kerang Hijau (Mytilus viridis) (Kasus di Kelurahan Kamal
Muara, Jakarta Utara). Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Lubis E. 2002. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Buku I Bahan Kualiah Program


Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan, Laboratorium Pelabuhan
Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Lubis E. 2003. Konsep pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan.


Dalam Konsep Pengembangan Sektor Perikanan dan Kelautan di
Indonesia. Editor Darmawan dan Yopi Novita. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.

264
Mahdi MR. 2005. Pengembangan Perikanan Oukat Cincin di Lampulo Kota
Banda Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Thesis. Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor.

Mahyuddin B. 2007. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep


Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.
Disertasi. Program Studi TKL, Sekolah Pascasarjana IPB.

Mardiana H. 2005. Tingkat Pendapatan Usaha Nelayan Gill net di Desa


Pangandaran Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis. Skripsi.
Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan FPIK
IPB, Bogor.

McCann P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press.

McCann P,. Shefer D. 2004. Location, agglomeration, and infrastructure. Papers


Reg. Sci. 83, 177-196

McClave JT, Benson PG. 1988. Statistics. Forth Edition. Dellen Publishing
Company, San Francisco.

Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Edisi Pertama. BPFE,


Yogyakarta.

Muhartono R. 2004. Alternatif Pola Bagi Hasil Nelayan Gillnet di Muara Baru
Jakarta Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi
Perikanan Kelautan FPIK IPB, Bogor.

Murdiyanto B. 2004. Pelabuhan Perikanan: Fungsi, Fasilitas, Panduan


Operasional, Antrian Kapal. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Nawawi HH. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. ISBN 979-420-064-6.


Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Northam RM. 1975. Urban Geography. Oregon State University, John Wiley
&nSon, Inc. USA.

Nur Y, I Dutton, Boedhihartono, N Kisri, Michael Shilin, 1999. A regional


approach to environmental quality management; Bay Management; How
societal thinking shapes attitudes to resource exploitation; Assessing the
way society views natural resources. Wise Coastal Practices for
Sustainable Human Development Forum.
http://www.csiwisepractices.org/?read=73

Nurhayati I. (2003). Reklamasi pantura Jakarta hanya menuai masalah.


Disarikan dari Perkembangan Advokasi Reklamasi Pantura Jakarta-Walhi,

265
oleh Slamet Daroyni. Buletin Walhi, 6 Mei 2003.
http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/pela_patura_maslh_060503/#top

[ODL] Open Distance Learning. 1999. What is the scalogram used for? ,
http://www.mathpsyc.uni-bonn.de/doc/Maris/ node4. html.

Parikesit D. 2002. A proposal for measuring land development benefit in urban


road project: a case of Padang, West Sumatera. Centre for Transportation
and Logistics Studies Gadjah Mada University. http://lib.itenas.ac.id/Jurnal/
volume_8/ No_3_8/6_3_8.htm as retrieved on 22 Dec 2005 11:39:14 GMT.

Petrucci A. 2003. Taxing Land Rent in an Open Economy. NOTA DI LAVORO


63.2003, JULY 2003. SIEV Sustainability Indicators and Environmental
Valuation. Universit del Molise and LUISS G. Carli.

Pickave AH, Gilbert C, Breton F. 2004. An indicator set to measure the progress
in the implementation of integrated coastal management in Europe. Ocean
& Coastal Management 47 (449-462)

[PKSPL IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian
Bogor. 2000. pengembangan Pelabuhan Perikanan di Pantai Utara Pulau
Jawa serta Sistem Data Informasi. Kerjasama antara PKSPL IPB dengan
Ditjen Perikanan Departemen Perikanan.

Phillipson J. 2000. Delimiting fisheries dependent regions: the problem of


inadequate data. Dalam Symes, D. (eds). Fisheries Dependent Regions.
Fishing News Books. Blackwell Science, London.

Pomeroy RS, McConney P, Mahon R. 2004. Comparative analysis of coastal


resource co-management in the Carribean. Ocean & Coastal Management
47 (429-447)

[PPLH IPB] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor. 1997.
Laporan AMDAL Pelabuhan Kapal Riset Barauna Jaya. PPLH IPB.
Bogor.

Rustiadi E, Medrial A, Trisasongko BH, Shidiq D, Hidayat J., Radnawati D,


Panuju D. 2002. Kajian Pemanfaatan Ruang Jabotabek. BAPPEDA
Propinsi DKI Jakarta dan LP IPB., Bogor

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju D.. 2003. Perencanaan Pengembangan


Wilayah, Konsep Dasar dan Teori. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Ruth M, Hannon. 1997. Modeling Dynamic Economic Systems. Springer, New


York.

266
Scialabba N (ed). 1998. Integrated Coastal Area Management and Agriculture,
Forestry and Fisheries. FAO Guidelines. Environment and Natural
Resources Service, FAO, Rome. 256p

Serageldin I. 1994. Making Development Sustainable. Dalam Making


Development Sustainable; from concepts to action. Editor Ismail Serageldin
dan A. Steer. Environmentally Sustainable Development Occasional Paper
Series No. 2.

Setyobudiandi I. 2004. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Kerang Hijau


(Perna viridis L. 1758) pada Kondisi Perairan Berbeda. Disertasi. Program
Studi Biologi Program Pascasarjana IPB.

Silver C. 2003. Do the donors have it right? Decentralization and changing local
governance in Indonesia. Ann. Reg. Sci. (2003) 37: 421-434.

Sinar Harapan. 18 Oktober 2002. Ditertibkan, wanita PSK.

Sinar Harapan, 17 Juni 2004. Sejumlah instansi saling tuding, Reklamasi Pantai
Dadap liar.

Sinar Harapan. 24 Juni 2004a. Akibat reklamasi liar, Pantai Dadap dicemari
limbah B3.

Solihin I. 2003. Masalah dan Upaya Optimalisasi Usaha Perikanan Tangkap:


Suatu Tinjauan Kebijakan. Dalam Konsep Pengembangan Sektor Perikanan
dan Kelautan di Indonesia. Editor Darmawan dan Yopi Novita.
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.

Sondita F et al. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap: Menuju


Paradigma Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab dalam
Mendukung Revitalisasi Perikanan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan FPIK IPB.

Sorensen, JC. dan ST McCreary. 1990. Institutional arrangements for managing


coastal resources and environments. 2nd edition. COAST. Renewable
Resources Information Series. Coastal Management Publication No. 1.
National Park Service, US Department of the Interior and US Agency for
International Development.

Subagjo S et al. 2005. Seratus Tahun Lembaga Penelitian Bidang Ilmu Kelautan
LIPI 1905-2005. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta

Sudara S. 1999. Who and what is to be involved in succesful coastal zone


management: a Thailand example. Ocean & Coastal Management Vol. 42
(1999) 39-47

267
[Sudinkan] Suku Dinas Perikanan Jakarta Utara. 1996. Laporan Tahunan
1995/1996. Suku Dinas Perikanan Kotamadya Jakarta Utara.

Suparmoko. 1994. ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu


Pendekatan Teoritis. Edisi 3. BPFE Yogyakarta.

Surya N. 2004. Analisis Permintaan Solar oleh Unit Penangkapan Ikan di PPI
Muara Angke Jakarta Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Bisnis dan
Ekonomi Perikanan Kelautan FPIK IPB, Bogor.

Suzuki T. 2003. Economic and geographic backgrounds of land reclamation in


Japanese port. Marine Pollution Bulletin 47 (2003) 226-229

Symes D. (Ed). 2000. Fisheries Dependent Regions. Fishing News Books,


London.

[TPI] Tempat Pelelangan Ikan Dadap. 1996. Laporan Proses Pelelangan di TPI
Dadap. Tangerang.

[UPC] Urban Poor Consortium. 2005. (Sabtu, 9 April 2005)

Widjayanto. 2004. Empat Tahap Resolusi Konflik. Tempo Interaktif (Kamis, 17


Juni 2004, 12:51 WIB).

Winoto, J. 1998. Prinsip-prinsip Dasar Alokasi Ruang: Prinsip pendampingan


untuk Land Rent. Dalam Pengembangan Wilayah. Dipersiapkan oleh
Joyo Winoto, Ph. D. dan Mahasiswa PWD '98. Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah & Perdesaan PPs IPB.

Winoto J. 1998/1999. Pembangunan dan Sistem nilai Masyarakat. Dalam Bahan


Kuliah (tambahan) Perencanaan Ekonomi Regional dan Perdesaan (PWD
512). Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah &
Perdesaan PPs IPB.

Winoto J. 1999/2000. Pengertian Wilayah. Dalam Pengembangan Wilayah.


Dipersiapkan oleh Joyo Winoto, Ph. D. dan Mahasiswa PWD '98.
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah & Perdesaan PPs
IPB.

Wong PP. 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia: relevance and
lessons for coastal zone management. Ocean & Coastal Management Vol.
38 (1998) 89-109.

268
Lampiran 1. Hasil analisis ketergantungan daerah perikanan dengan menggunakan WSA program

Weighted sum approach - WSA


The decision problem with 2 alternatives and 8 criteria
date 7/21/05 - 12:37:50 PM

Data 1999
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,00053 0,00106 0,293289 0,317582 1,75E-05 3,90E-06 1,20E-06 3,99E-07
Kamal Mua 0,000654 0,001091 0,002681 0,316967 5,43E-05 1,01E-06 2,71E-06 9,05E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,00053 0,00106 0,293289 0,317582 1,75E-05 3,90E-06 1,20E-06 3,99E-07
Kamal Mua 0,000654 0,001091 0,002681 0,316967 5,43E-05 1,01E-06 2,71E-06 9,05E-07
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846
Ideal 0,000654 0,001091 0,293289 0,317582 5,43E-05 3,9E-06 2,71E-06 9,05E-07
Basal 0,00053 0,00106 0,002681 0,316967 1,75E-05 1,01E-06 1,2E-06 3,99E-07

Normalised criterion matrix R:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)
Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,00000 0,46154
Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,53846
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846
2 Lanjutan Lampiran 1.

Weighted sum approach - WSA


The decision problem with 2 alternatives and 8 criteria
date 7/21/05 - 12:38:55 PM

Data 2000
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000505 0,00101 0,215112 0,321111 1,45E-05 3,86E-06 7,60E-07 3,80E-07
Kamal Mua 0,000643 0,001286 0,004933 0,316691 5,38E-05 2,98E-06 2,69E-06 8,97E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000505 0,00101 0,215112 0,321111 1,45E-05 3,86E-06 7,60E-07 3,80E-07
Kamal Mua 0,000643 0,001286 0,004933 0,316691 5,38E-05 2,98E-06 2,69E-06 8,97E-07
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846
Ideal 0,000643 0,001286 0,215112 0,321111 5,38E-05 3,86E-06 2,69E-06 8,97E-07
Basal 0,000505 0,00101 0,004933 0,316691 1,45E-05 2,98E-06 7,6E-07 3,8E-07

Normalised criterion matrix R:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)
Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,00000 0,46154
Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,53846
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846
2 Lanjutan Lampiran 1.

Weighted sum approach - WSA


The decision problem with 2 alternatives and 8 criteria
date 7/21/05 - 12:41:00 PM

Data 2001
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000468 0,000936 0,240705 0,317181 1,26E-05 2,99E-06 6,96E+00 3,49E-07
Kamal Mua 0,000632 0,001264 0,01125 0,317101 4,76E-05 4,86E-06 2,64E-06 8,82E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000468 0,000936 0,240705 0,317181 1,26E-05 2,99E-06 6,96E+00 3,49E-07
Kamal Mua 0,000632 0,001264 0,01125 0,317101 4,76E-05 4,86E-06 2,64E-06 8,82E-07
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846
Ideal 0,000632 0,001264 0,240705 0,317181 4,76E-05 4,86E-06 6,9607 8,82E-07
Basal 0,000468 0,000936 0,01125 0,317101 1,26E-05 2,99E-06 2,64E-06 3,49E-07

Normalised criterion matrix R:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)
Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,34615
Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,65385
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846
2 Lanjutan Lampiran 1.

Weighted sum approach - WSA


The decision problem with 2 alternatives and 8 criteria
date 7/21/05 - 12:42:11 PM

Data 2002
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000442 0,000884 0,236259 0,316832 4,7E-05 2,43E-06 6,54E-07 3,27E-07
Kamal Mua 0,000622 0,001244 0,009553 0,317505 4,7E-05 4,09E-06 2,61E-06 8,7E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000442 0,000884 0,236259 0,316832 4,7E-05 2,43E-06 6,54E-07 3,27E-07
Kamal Mua 0,000622 0,001244 0,009553 0,317505 4,7E-05 4,09E-06 2,61E-06 8,7E-07
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846
Ideal 0,000622 0,001244 0,236259 0,317505 4,7E-05 4,09E-06 2,61E-06 8,7E-07
Basal 0,000442 0,000884 0,009553 0,316832 4,7E-05 2,43E-06 6,54E-07 3,27E-07

Normalised criterion matrix R:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)
Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,30769
Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,00000 1,00000 1,00000 1,00000 0,69231
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

2 8
Lanjutan Lampiran 1.

Weighted sum approach - WSA


The decision problem with 2 alternatives and 8 criteria
date 7/21/05 - 12:43:40 PM

Data 2003
Input data set:
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000424 0,000848 0,196567 0,151343 4,39E-05 2,08E-06 6,28E-07 3,14E-07
Kamal Mua 0,000611 0,001222 0,009063 0,317419 5,03E-05 4,41E-06 2,56E-07 8,55E-07
Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI
Dadap 0,000424 0,000848 0,196567 0,151343 4,39E-05 2,08E-06 6,28E-07 3,14E-07
Kamal Mua 0,000611 0,001222 0,009063 0,317419 5,03E-05 4,41E-06 2,56E-07 8,55E-07
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846
Ideal 0,000611 0,001222 0,196567 0,317419 5,03E-05 4,41E-06 6,28E-07 8,55E-07
Basal 0,000424 0,000848 0,009063 0,151343 4,39E-05 2,08E-06 2,56E-07 3,14E-07

Normalised criterion matrix R:


MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)
Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,19231
Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,80769
Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

Você também pode gostar