Você está na página 1de 2

Serijabo, Muaraseri dan Seridalam

(tiga Seri yang berseri-seri)


Wiliam Shakespeare sangat mengagumi keindahan bunga mawar. Kekagumannya itu pun ia
ungkapkan dalam kalimat What is name? The rose with other name will still be the rose (Apalah arti
sebuah nama? Mawarnan indah dan harum--- jika pun diberi nama lain akan tetap merupakan mawar---
yang indah dan harum). Sayangnya ungkapan sastrawan besar Inggris itu digeneralisir sedemikian rupa
seakan-akan dalam kesehariannya, Shakespeare adalah orang yang tidak menganggap penting nama.
Padahal dalam karya-karyanya, ia selalu memberi nama para tokoh sesuai dengan karakter mereka. Paling
tidak itu tergambar dalam film Shakespeare in love.

Sebagaimana budaya masyarakat di seluruh dunia, Wang tubu menganggap nama penting. Ini
juga berkaitan erat dengan budaya islam--- yang dianut masyarakat Pegagan Ilir Suku I dan suku II.
Rasullallah menyebutkan, salah satu kewajiban orang tua terhadap putra-putri mereka adalah memberi
nama yang baik. Nama itu harus bermakna doa, harapan atau pujian.

Bertolak dari itu juga tampaknya pemberian nama-nama beberapa desa di kabupaten Ogan Ilir. Di
samping nama-nama itu bermakna harapan, doa dan pujian, tentu saja ada yang berkait dengan sejarah
terbentuknya desa tersebut.. Sebut saja tiga diantaranya, yaitu Desa Serijabo di Kecamatan Tanjung Raja,
Desa Seridalam di Kecamatan Tanjung Raja dan Desa Muaraseri di Kecamatan Sungai Pinang.

Sejenak kita simak kembali kisah perjalanan tiga saudara keturunan Sunan Sungai Goren yaitu
Poyang Dolah, Poyang Bekal dan Poyang Wadin. Bersama rombongan kerabat dari Kesultanan
Palembang, ketiga bersaudara ini melarikan diri. Mereka mengungsi ke daerah di luar Palembang, karena
tidak mau tunduk pada Pemerintah Belanda. Mereka mengarungi Sungai Musi. Sesampainya di Muara
Sungai Ogan, mereka berpencar. Namun tetap sama-sama ke hulu.

Ketika sampai di Muara Pegadungan Risan Jenang, yang sekarang dikenal dengan Talang Balai
Baru, singgahlah Poyang Bekal. Dua saudara lagi melanjutkan perjalanan ke hulu hingga tiba di Serijabo.
Adalah Poyang Dolah yang tinggal di sini. Sayangnya beliau meninggal ketika masih bujang dan
dimakamkan di sini. Serijabo adalah dataran rendah.

Akhirnya, Poyang Wadin melanjutkan perjalanan sendirian. Tidak diketahui persis alasannya,
mengapa tidak menetap di Serijabo. Di akhir pengembaraannya mencari tempat pengungsian yang aman,
Poyang Wadin menjatuhkan pilihan pada Muara Batang Hari Pinang sebagai tempat bermukim---mungkin
karena daerah ini merupakan dataran lebih tinggi dibanding Serijabo.

Penamaan Serijabo berawal dari sudut pandang ke desa itu---dari Sungai Ogan. Jika dipandang
dari Sungai Ogan yang kala itu menjadi sarana transportasi utama, desa ini sangat elok, indah dan berseri-
seri. Kata seri berarti berseri-seri, kata jabo berarti di luar. Serijabo adalah yang tampak berseri-seri di---
arah/kawasan---luar.

Bila kita menelusuri Sungai terus ke hulu, kita bertemu dengan sebuah desa di tepian anak sungai
Ogan, desa itu sangat elok, indah dan berseri-seri jika dilihat dari muara anak sungai tersebut. Maka
dinamakan desa tersebut Muaraseri. Setelah beberapa lama, nama itu diganti menjadi Sungai Pinang.
Karena memang anak sungai yang bermuara ke Sungai Ogan itu di sepanjang tepiannya ditumbuhi pohon
pinang.

Lebih ke hulu lagi, tampak desa yang tidak begitu terloihat dari Sunagi Ogan, yang terlihat hanya
hutan belantara. Namun ketika dihampiri dan masuk ke dalamnya, baru terlihat desa yang elok, indah dan
berseri. Dinamakanlah desa itu Seridalam, maksudnya desa yang berseri-seri di--- arah/kawasan---dalam.

Seiring dengan kebiasaan penduduk setempat dan kelaziman serta kesesuaian dialek yang
digunakan, kata serigalam malah dibalik, bahkan mengalami pelesapan menjadi Dalam sere. Lebih
berkembamng lagi sekarang---karena desa ini terletak di dataran tinggi---masyarakat desa lain
menyebutnya dengan Seritinggi.
Melihat dari proses penamaan, wajar saja tiga desa cantik yang bertetanggaan ini begitu menyatu satu
sama lain.

Você também pode gostar