Você está na página 1de 18

III.

ANALISIS KASUS

1. DIAGNOSIS CHF

TEORI

Gagal jantung kongestif merupakan gangguan multisitem yang terjadi apabila

jantung tidak lagi mampu menyemprotkan darah yang mengalir ke dalamnya

melalui sistem vena.

Tabel 2.1. Kriteria Framingham diagnosis gagal jantung kongestif


(Sudoyo, dkk, 2012).

Kriteria Mayor Kriteria Minor


Dispnea nokturnal paroksismal Edema ekstremitas
atau ortopneu Dyspnea d effort
Distensi vena jugularis Batuk malam hari
Ronki basah tidak nyaring Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
Irama derap S3 normal
Peningkatan tekanan vena Takikardia ( 120 kali/menit)
jugularis
Refluks hepatojugular

Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika terdapat dua kriteria minor dan satu

kriteria mayor (Sudoyo, dkk, 2012).

KASUS

Kriteria Mayor Kriteria Minor Tabel 2.2.


Dispnea nokturnal Edem ekstremitas Kriteria mayor
Paroksismal atau ortopneu Dyspnea d effort dan minor yang
Kardiomegali Batuk malam hari ditemukan pada
Peningkatan tekanan vena Takikardia ( 120 kali/menit)
jugularis pasien
Ronki
Pada kasus didapatkan 5 kriteria mayor dan 4 kriteria minor sehingga

dapat di diagnosis CHF

2. KLASIFIKASI CHF

TEORI

Klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional (NYHA)


Kelas I
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
palpitasi, atau sesak nafas

Kelas II
Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdaat keluhan
saat istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

Kelas III
Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat
keluhan saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau sesak

Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan.
Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat
melakukan aktivitas

KASUS

Os mengeluh sesak ketika istirahat. Os sulit melakukan aktivitas. Keluhan

sesak meningkat saat melakukan aktivitas. Dapat disimpulkan bahwa os

mengalami CHF dengan NYHA IV


3. ETIOLOGI CHF

TEORI

KELAINAN MIOKARDIUM
Penyakit jantung iskemik
Penyalahgunaan Alkohol, kokain, amfetamin
Logam berat Besi, kobalt, timah
Toksisitas Obat-obatan Obat imunomudulasi, obat anti
depresi, anti aritmia, NSAID
Radiasi
Terkait infeksi Bakteri, fungi, protozoa,
parasit, virus (HIV/AIDS)
Kerusakan akibat reaksi
Non infeksi Miokarditis giant
imun dan inflamasi
cell/limfositik, Penyakit
Jantung Rematik, SLE
Hormonal Diabetes melitus, defisiensi
growth hormone, corna
Kelainan metabolik disease, akromegali, addison
disease
Nutrisi Malnutrisi, Obesitas
Genetik Kardiomiopati, distrofik muskular
GANGGUAN MEKANIK
Hipertensi
Gangguan struktural Didapat Kelainan katup aorta, mitral,
katup dan miokardium trkuspid, dan pulmonal
Kongenital Atrial Ventricular Septum
Defect
Kelainan perikardium dan Perikardium Perikarditis, efusi perikaridum
endomiokardium
Endomiokardium Fibrosis endomiokardium,
fibroelastosis endokardial
Resistensi vaskular Anemia berat, sepsis
Volume overload Gagal ginjal, kelebihan cairan (iatrogenik)
KELAINAN IRAMA JANTUNG
Aritmia Takiaritmia Aritmia Atrial, ventrikular,
Bradiaritmia Disfungsi sinus node,
gangguan konduksi
Menurut M.Abdur, tahun 2016 penyebab penyakit gagal jantung terbanyak

yaitu Ischemic heart disease (IHD) 28%, Hipertensi 20%, Penyakit Jantung

16%, Corpulmonal 12%, Anemia 8%, cardiomiopati 3% (M Rahim, 2016).

KASUS

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah, ditandai dengan tekanan darah

sistolik 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, pada

pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran

utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi (PERKI, 2015)

Pada kasus didapatkan Tekanan darah yaitu 150/80. Dapat disimpulkan pasien

mengalami Hipertensi Grade I


Pasien mengalami hipertensi sejak 4 tahun yang lalu. Berikut tekanan darah

pasien selama 4 tahun terakhir

185
180
175
170
165
160
Column2
155
150
145
140
135
Tahun 2012 Tahun 2014 Tahun 2016 Tahun 2017

Berdasarkan gambaran EKG didapatkan:

ST T change : T inverted di lead I, aVL, V5 dan V6, hal ini

menggambarkan bahwa pasien mengalami hipertrofi ventrikel sinistra.

Gambaran EKG Penyebab


Hipertrofi ventrikel sinistra Hipertensi, penyakit katup aorta,
kardiomiopati hipertrofi
(ESC, 2013)
Hipertensi yang berlangsung lama akan meningkatkan beban kerja jantung

karena terjadi peningkatan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kiri. Untuk

meningkatkan kekuatan kontraksinya, ventrikel kiri mengalami hipertrofi

sehingga kebutuhan jantung akan oksigen dan beban kerja jantung meningkat.

Dilatasi dan kegagalan jantung dapat terjadi ketika keadaan hipertrofi tidak lagi

mampu mempertahankan curah jantung yang memadai (Isselbacher, 2014)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami CHF et causa HHD

Diagnosis Banding

1. CHF ec Kardiomiopati
Hal ini berdasarkan gambaran ekg yang disebut diatas, bahwa T inverted

di lead I, aVL, V5 dan V6, hal ini menggambarkan bahwa pasien

mengalami hipertrofi ventrikel sinistra. Yang penyebabnya bisa juga

dikarenakan kardiomiopati.
Kardiomiopati merupakan penyakit mengenai serabut otot jantung dan

gangguan ini terjadi dalam tiga bentuk yaitu dilatasi, hipertrofik, dan

restriktif (Kowalak, dkk, 2014). Kardiomiopati dilatasi terjadi karena

kerusakan serabut otot miokardium yang sangat luas. Akibatnya terjadi

penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Karena fungsi sistolik menurun maka

volume sekuncup, fraksi ejeksi, dan curah jantung juga menurun. Karena

volume diastolik akhir meninggi maka dapat terjadi kongesti paru. Kenaikan

volume diastolik akhir merupakan kompensasi untuk mempertahankan

volume sekuncup meskipun terjadi penurunan fraksi ejeksi. Sistem saraf

simpatik juga terstimulasi untuk meningkatkan kontraktilitas dan frekuensi


jantung. Jika mekanisme kompensasi tidak lagi mampu untuk

mempertahankan curah jantung, maka jantung mulai mengalami kegagalan

(Buss, dkk, 2014).

2. CHF ec CAD
Berdasarkan anmanesis pada tahun 2010 pasien pernah mengalami nyeri

dada kiri yang menjalar ke leher, punggung, dan lengan kiri. Pada tahun

2014 os juga pernah mengalami infark cerebri.


Dari gambaran ekg didapatkan

Q patologis (Q-S) di V1, V2, V3 yaitu terdapat gambaran OMI

(Old Miocard Infarc).


Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik kronik tetapi terkompensasi,

selain tidak ada gejala klinis, kadang kadang infark yang terjadi dapat lebih

mengganggu fungsi ventrikel dan memicu gagal jantung (Isselbacher, dkk,

2014).
Infark miokard disebabkan oleh penyakit jantung koroner.

4. FAKTOR RISIKO CHF


TEORI

Tidak dapat di modifikasi Dapat di modifikasi


Usia
Jenis Kelamin Kolesterol
Genetik
Anemia

DM

Beban fisis, makanan,

cairan, emosional yang

berlebihan

Tiroid

Gagal Jantung prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia 100 per 1000

orang pada usia 65. Penyebab utama peningkatan prevalensi penyakit

kardiovaskuler khususnya gagal jantung pada usia lanjut adalah perubahan

struktur anatomik, fungsional, dan histopatologik sistem kardiovaskuler dan

terjadinya peningkatan prevalensi hipertensi pada usia lanjut sebagai penyebab

gagal jantung (Maulana, 2008).

Perubahan tersebut meliputi :

a. Penurunan elastisitas dinding aorta


b. Perubahan pada katup jantung dari berkurangnya jumlah inti sel,

penumpukan lipid, degenerasi kolagen, dan kalsifikasi jaringan fibrosa, serta

lemak pada katup yang menyebabkan katup menjadi kaku dan terjadi

penebalan pada katup


c. Penurunan kemampuan mengembang dan relaksasi ventrikel kiri
d. Penurunan aktivitas reseptor beta
e. Penurunan kemampuan mitokondria untuk sintesis ATP sebagai respon

terhadap stres
f. Penurunan pengaturan irama inheren jantung oleh nodus SA
g. Disfungsi endotel
h. Menurunnya respon baroreseptor
KASUS

Os berusia 74 tahun. Pada kasus dapat disimpulkan bahwa usia tua merupakan

salah satu faktor risko terjadinya CHF

5. PENATALAKSANAAN KASUS
Pada kasus pasien mengalami
CHF ec HHD + Hipertensi grade I

1. Penatalaksanaan pasien gagal jantung

Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi

morbiditasdan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan

penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana

penyakit jantung. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan

mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan

non kardiovaskular yang sering dijumpa (PERKI, 2015).

a. Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI)

ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan

fraksi ejeksi ventrikel kiri 40%. ACEI memperbaiki fungsi ventrikel

dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena

perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan

hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,

hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang),

oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal

adekuat dan kadar kalium normal. Indikasi pemberian yaitu fraksi


ejeksi ventrikel kiri 40 %, dengan atau tanpa gejala. Kontraindikasi

pemberian ACEI: Riwayat angioedema, stenosis renal bilateral, Kadar

kalium serum >5,0 mmol/L, serum kreatinin > 2,5 mg/dL, stenosis aorta

berat (PERKI, 2015).

b. Penyekat

Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua pasien

gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %.

Penyekat memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,

mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,

dan meningkatkan kelangsungan hidup Indikasi pemberian penyekat

yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, gejala ringan sampai berat

(kelas fungsional II -IV NYHA), ACEI/ARB (dan antagonis aldosteron

jika indikasi) sudah diberikan, pasien stabil secara klinis (tidak ada

perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak

ada tanda retensi cairan berat. Kontraindikasi pemberian penyekat

yaitu asma, blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus

sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50

x/menit). Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat

pemberian penyekat yaitu hipotensi simtomatik, perburukan gagal

jantung, bradikardi (PERKI, 2015).

c. Antagonis Aldosteron

Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis

kecil harus di pertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi


35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III -IV

NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.

Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena

perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.

Indikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu fraksi ejeksi ventrikel

kiri 40 % , gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III-IV

NYHA), dosis optimal penyekat dan ACEI atau ARB (tetapi tidak

ACEI dan ARB). Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu

konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L, serum kreatinin> 2,5 mg/dL,

bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium,

kombinasi ACEI dan ARB. Efek tidak mengutungkan yang dapat

timbul akibat pemberian spironolakton yaitu hiperkalemi, perburukan

fungsi ginjal, nyeri dan/atau pembesaran payudara (PERKI, 2015).

d. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal

jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap

simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat dosis

optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan

ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi

angka perawatan rumah sakit karena Perburukan gagal jantung ARB

direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada

pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab


kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB yaitu fraksi ejeksi ventrikel

kiri 40 %, sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan

sampai berat (kelas fungsional II -IV NYHA) yang intoleran ACE. ARB

dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan

hipotensi simtomatiksama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan

batuk. Kontraindikasi pemberian ARB yaitu sama seperti ACEI, kecuali

angioedema, pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron

bersamaan. Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika

ARB digunakan bersama ACEI (PERKI, 2015).

e. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %,

kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran

terhadap ACEI dan ARB. Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN yaitu

pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi

sebagai terapi tambahan, jika gejala pasien menetap walaupun sudah

diterapi dengan ACEI, penyekat dan ARB atau antagonis aldosteron.

Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN yaitu hipotensi

simtomatik , sindroma lupus, gagal ginjal berat (PERKI, 2015).

Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN

1. Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10mg, 2-3x/hari


2. Naikan dosis secara titrasi
3. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 -4 minggu.
4. Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik. Jika toleransi

baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50 mg dan


ISDN 20 mg, 3-4x/hari). Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul

akibat pemberian kombinasi H-ISDN yaitu hipotensi simtomatik, nyeri

sendi atau nyeri otot (PERKI, 2015).

f. Digoksin

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat

digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun

obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal

jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % dengan irama

sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka

perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, tetapi tidak

mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup. Indikasi

pemberian digoksin yaitu fibrilasi atrial dengan irama ventrikular saat

istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 -120x/menit Irama sinus,

fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, gejala ringan sampai berat (kelas

fungsional II-IV NYHA). Kontraindikasi pemberian digoksin yaitu

blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap), sindroma pre-

eksitasi, riwayat intoleransi digoksin (PERKI, 2015).

Cara pemberian digoksin pada gagal jantung

Inisiasi pemberian digoksin :

1. Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.

Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan

menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari


2. Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar

terapi digoksin harus antara 0,6 -1,2 ng/mL


3. Beberapa obat dapat menaikankadar digoksin dalam darah (amiodaron,

diltiazem, verapamil, kuinidin)Efek tidak mengutungkan yang dapat

timbul akibat pemberian digoksin:


4. Blok sinoatrial dan blok AV
5. Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
6. Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan

melihat warna

g. Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda

klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit

B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status

euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin,

yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari

dehidrasi atau reistensi (PERKI, 2015).

Cara pemberian diuretik pada gagal jantung:

1. Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum

elektrolit
2. Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
3. Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan

tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik

loop kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan

edema yang resisten.

KASUS

Penatalaksanaan Hipertensi pada penderita CKD dan CHF


Rekomendasi terapi hipertensi pasien gagal jantung NYHA fc II-IV
Langkah I
Satu/lebih dari ACEI/ARB, Penyekat B dan MRA direkomendasikan

sebagai terapi lini pertama, kedua, dan ketiga, secara berurutan karena

memiliki keuntungan yang saling berhubungan dengan gagal jantung


Langkah II
Diuretik tiazid (atau bila pasien dalam pengobatan diuretik tiazid, diganti

dengan selain diurtetik loop) direkomendasikan bila hipertensi persisten

walaupun sudah mendapat terapi kombinasi ACE/ARB, penyekat B, MRA

ACEI ARB
Efektif untuk GFR 30-60, Efektif untuk GFR 30-60,
protenuria protenuria

Batuk Tidak Batuk


Preload, Afterload, Hipertrofi pada kasus dengan gagal jantung

Pada kasus untuk terapi hipertensi dapat digunakan golongan ARB.

Mengingat pemberian golongan ACEI data menimbulkan batuk

(sedangkan os terdapat keluhan batuk)

2. Diuretik
ACEI / ARB harus dikombinasi dengan diuretik jika pasien mengalami

retensi cairan

Diuretik ESO (Pada kasus)


Tiazid fungsi ginjal : efektivitas diuretik dan
antihipetensi hilang
Antagonis Aldosteron Hiperkalemi

(Terutama pada penurunan fungsi ginjal


: sudah terjadi retensi kalium)
Furosemid merupakan golongan loop diuretic. Loop diuretic sebagai

terapi pilihan pada penderita gagal jantung dengan retensi cairan

atau dapat diberikan jenis diuretik tiazid ataupun hemat kalium.

Sehingga pada pasien dapat diberikan golongan loop diuretic seperti

furosemid

3. Digoksin

Pada pasien gagal jantung digoksin dapat digunakan untuk memperlambat

laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih

diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel

kiri 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,

menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal

jantung, tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup.

Indikasi pemberian digoksin yaitu fibrilasi atrial dengan irama ventrikular

saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 -120x/menit Irama sinus,

fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, gejala ringan sampai berat (kelas

fungsional II-IV NYHA) (PERKI, 2015).

Sehingga pada kasus dapat diberikan Digoksin

4. B Blocker

B blocker dapat direkomendasikan untuk gagal jantung NYHA II IV dan

dalam kondisi stabil (tidak dirawat/ tidak overload cairan) :


Efek samping B blocker :

1. Dapat menimbulkan bronkospasme


2. Pemberian awal B blocker dapat menimbulkan retensi cairan dan

memperburuk gejala gagal jantung

Sehingga pada kasus tidak diberikan B blocker

5. Antibiotik
Pada kasus didapatkan leukosit : 12.400. nilai normal : 4500-10.700 ul
Leukosit yang meningkat biasanya diakibatkan karena

adanya infeksi. Sehingga dapat diberikan antibiotik.


Ceftriaxon merupakan golongan sefalosporin generasi III.

Obat ini aftif terhadap kuman gram (+) dan gram (-).

Penatalaksanaan kasus :

Pasien dengan CHF ec HHD+ Hipertensi Grade I

- IVFD RL X gtt/m (micro)


- Inj. Furosemid 2x1 amp
- Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
- Furosemid tab 2x2
- Micardis 1 x 40 mg
- Digoksin 0,25 mg 2 x tab
- Ambroxol 30 mg 3x1
- Domperidon 10mg tab 3x1

Você também pode gostar