Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis ataupun
sebagai komplikasi pasca stroke. Faktor usia menjadi faktor risiko independen
tahun dan dianggap oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada
antara 4% hingga 10%, namun banyak dari data ini hanya didasarkan pada studi
retrospektif dan tanpa konfirmasi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah pasien
begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat diandalkan. Hal ini
sering terjadi pada pasien dengan malformasi arteriovenosa, stroke batang otak,
seperti kejang lebih sering pada perdarahan otak atau stroke kardioembolik tidak
lanjut yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari
stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan
kejang pasca stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah
1
yang berhubungan dengan berbagai lesi serebrovaskular, dengan fokus pada
penggunaan antikonvulsan.
mungkin diperlukan karena kesulitan menelan atau status mental yang mungkin
terganggu.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sering diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia
diatas 35 tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami
kepala. Dari data register stroke, sekitar 5% - 20% dari semua individu yang
berulang) akan terjadi hanya pada sebagian kecil dari kelompok ini. Mengingat
bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000 orang di negara ini mengalami
stroke, sehingga kejadian konservatif kejang setelah stroke berkisar sekitar 36.500
kejang pasca stroke. Sebuah studi menyatakan bahwa pada1897 pasien ditemukan
berulang jarang terjadi, hanya pada sekitar 2,5% pasien, tetapi dalam waktu 9
bulan perlu untuk selalu dipantau. Kejang lebih sering terjadi pada stroke
pasien dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan
3
stroke iskemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 4,4% dari 1000 pasien,
termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau lebar, 8,5% dengan
perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7% dengan serangan
perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien. Pada 95 pasien
dengan perdarahan subarachnoid, serangan kejang yang terjadi pada saat pasien
berada di rumah lebih tinggi (17,9%) dari pada serangan yang terjadi saat pasien
atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat
membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi
dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada onset lambat.
Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke dapat sesuai dengan
terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang patofisiologi
Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah
iskemia. Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang pasca
stroke muncul dalam 24 jam pertama setelah stroke. Kebanyakan kejang yang
4
Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium
peranan tersendiri dalam pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya untuk
pengobatan kejang.
kejang onset cepat. Dalam konteks besar pada daerah iskemia hipoksia, tingginya
penelitian setelah terjadi iskemik otak pada model hewan percobaan, populasi
iskemik penumbra, daerah dari jaringan yang berdekatan dengan inti infark dalam
stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi fokus untuk
rangsangan saraf. Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia
dan sel imun. Sebuah jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus untuk
5
kejang onset lambat, sama seperti siktarik meningocerebral yang mungkin
epilepsi dengan onset lambat, frekuensi kejadian kejang lebih tinggi dibandingkan
kejadian dengan onset cepat. Seperti dalam epilepsi pasca trauma, keterlambatan
timbulnya serangan dari kejang pertama membawa risiko yang lebih tinggi untuk
terjadi epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien
epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan pada 90% pasien pada kejang onset
lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien stroke hemoragik, sekitar 29%
pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat vs 93% dengan kejang
onset lambat.
dengan iskemia serebral, kejadian yang terkait dengan penyakit jantung paling
sering dikaitkan dengan kejang onset cepat (16,6%), bahkan jika dibandingkan
kardioembolik. Kejang pada saat onset bukanlah kriteria dalam data penelitian
tentang penyakit jantung sebagai penyebab stroke. Secara intuitif, tidak ada
jantung dan pembuluh darah besar sering melibatkan lesi pada cabang kortikal
6
distal. Mekanisme endapan emboli yang memicu kejang kortikal belum pasti,
Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat
menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk
terjadi pada pasien dengan lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus
sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang menyebabkan
terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling sering
disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu penyebab
Pada 123 pasien terjadi peningkatan kejadian kejang yang ditandai dengan
(19%) dan tidak ada pada perdarahan thalamus. Keterlibatan ganglia basalis
kaudatus dan temporal atau parietal pada korteks diprediksi akan terjadi kejang.
kejang. Pada parenkim, seringnya pada kortikal, perdarahan berasal dari kongesti
7
Mekanisme kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan. Produk dari
yang mengarah pada kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal
tingkat keparahan dari awal defisit neurologis. Keparahan stroke yang lebih besar
atau kecacatan pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan
gangguan neurologis cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan
belakang. Sebaliknya, sudah tidak ada prediktor klinis untuk kejang setelah terjadi
perdarahan intraparenchymal.
pecahnya lesi tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan terjadinya kejang
8
paling sering endarterektomi karotis untuk stenosis karotis kronis ekstrakranial.
Sindrom reperfusi, pertama dijelaskan oleh Sundt dan rekan, termasuk aktivitas
meskipun triad klinis sering tidak lengkap. Onset dari sindrom langka ini berkisar
dari beberapa hari sampai 3 minggu setelah revaskularisasi dan sering ditandai
oleh sakit kepala ipsilateral. Koreksi bedah malformasi dari arteriovenosa juga
subyek borderzone untuk laju aliran darah yang relatif rendah memiliki risiko
Dalam pengaturan hipoperfusi kronis akibat stenosis karotis tingkat tinggi, arteriol
bertanggung jawab untuk autoregulasi normal di bagian hilir dari otak dan
Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi
fokal, kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah
9
studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis
yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam
penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkan
berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan cenderung kambuh rata-rata
status epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang
lebih besar, status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis
stroke (iskemik atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau
kemudian.
2.1.3 Diagnosis
lateralizing pada EEG setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang.
Pasien dengan fokus paku juga memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus,
10
dikaitkan dengan risiko yang relatif rendah masing-masing 20%, 10% dan 5%.
Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada hasil studi pencitraan
luas dari iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau
daerah subkortikal. EEG dapat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis
yang buruk pasca stroke fokal. Pada beberapa pasien, perlambatan fokal dapat
sebagai penjelasan selama sindrom neurologis akut. Tidak adanya kelainan EEG
resonansi magnetik akut pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial. Studi-
urutan T2 yang berat dan area yang sesuai dengan koefisien difusi yang rendah.
Namun, hasil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi tanda iskemik nonvascular
dari ipsilateral arteri serebral media pada gambaran angiografi resonansi magnetik
11
2.1.4 Diagnosis Banding
umum, kecuali memang sudah ada lesi yang mendasarinya. Migrain berhubungan
dengan fenomena fokus dan serangan iskemik transien dapat memperlambat fokus
pada hasil temuan EEG. Diantara semua itu, kelainan glukosa tidak boleh
diabaikan.
STROKE
komorbiditas medis. Sebagai pengetahuan bahwa tidak ada uji terkontrol untuk
mengevaluasi kejang pasca stroke yang telah dilakukan untuk menilai agen
khusus. Mungkin pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana cara untuk
memulai pengobatan, karena hanya sedikit yang telah membuktikan bahwa kejang
pasca stroke dapat kambuh. Dengan tidak adanya prediktor mutlak kejang pasca
stroke, kebanyakan dokter mengobati pasien secara empiris untuk kejang ketika
logistik yang luas dan mungkin tidak etis, meskipun insiden kejang pasca
12
antikonvulsan profilaksis harus dievaluasi dalam uji prospektif secara acak yang
tunggal. Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang
pasca stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin
parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan atau status mental
menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari
pasien dengan kejang yang sedang berlangsung. Tidak ada data mendukung
penggunaan berbagai agen untuk mengobati kejang onset cepat dan kejang onset
lambat.
pertama untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan.
Sekitar 10% dari penghuni panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat
uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi, lamotrigin baru-baru ini
menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk pemeliharaan pasien yang bebas
dari kejang dengan interval yang lebih panjang dari carbamazepine. Meskipun
diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam
13
praktiknya sering digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti
antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang merugikan seperti sedasi, terutama
melewati metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada
protein. Sebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk
lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada data klinis untuk
mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar dan subkortikal
dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah untuk terjadi
kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan bahwa dosis
penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang terjadi
selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi
munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan
14
Studi retrospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari
yang relatif rendah yang terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang
besar tentang perdarahan aneurisma ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin
kejang, tetapi harus dipertimbangkan setidaknya ketika ada satu dari beberapa
mengontrol secara ketat tekanan darah sistemik. Tidak jelas peran dari terapi
antiepilepsi pada populasi pasien ini. Menurut bukti-bukti anecdotal, kejang pada
mengobati tanpa adanya keadaan sedasi yang cukup kuat. Beberapa ahli bedah
stenosis karotis derajat tinggi. Pada penanganan infark vena sering kali diberikan
kejang.
15
BAB III
KESIMPULAN
komorbiditas medis. Dengan tidak adanya prediktor mutlak kejang pasca stroke,
kebanyakan dokter mengobati pasien secara empiris untuk kejang ketika mereka
tunggal. Pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan
yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan atau status mental yang
mungkin terganggu.
16
DAFTAR PUSTAKA
17