Você está na página 1de 7

ANALISIS PERUBAHAN ARAH POLITIK LUAR NEGERI

FILIPINA TAHUN 2016


disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Politik Luar Negeri

Kamiliya Atikah 140910101051

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Jember

ABSTRAK

Filipina telah menjalin hubungan bilateral yang erat dengan Amerika Serikat yang salah satunya
berupa kerjasama keamanan dimana pada tahun ini mulai mengalami ketidakpastian. Tulisan ini
berusaha memberikan signifikansi dari perubahan arah politik luar negeri Filipina dipandang dari
perspektif negara tersebut. Dengan berusaha menggambarkan fakta-fakta yang ada dalam proses
pembuatan kebijakan luar negeri Filipina terhadap diplomasinya dengan negara-negara besar
seperti Amerika Serikat dan Tiongkok ke dalam penjelasan yang rasional, tanpa ada maksud bias
terhadap salah satunya. Untuk menganalisis proses pembuatan kebijakan luar negeri ini
menggunakan tingkat individu yang dalam hal ini adalah presiden Filipina sendiri selaku pemegang
jabatan kepala negara negara dan pemerintahan, Rodrigo Duterte. Pandangan yang dipilih untuk
menganalisis landasan dasar tersebut pada tulisan ini adalah konstruktivisme yang dipandang dari
sisi Filipina selaku pembuat kebijakan mengonstruk realitas yang menjadi kepentingan
nasionalnya.

Kata kunci: kepentingan nasional, konstruktivisme, politik luar negeri

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Filipina telah dikenal selama ini menjalin hubungan diplomatik yang sangat erat dengan
Amerika Serikat ditandai dengan pengakuannya terhadap Filipina sebagai negara yang
independen pada tahun 1946. Sejak saat itu hingga pada pemerintahan Beniqno Aquino III,
menjaga hubungan diplomatik yang baik dengan Amerika Serikat selalu diagendakan
dalam politik luar negeri Filipina, tercatat pada tahun 2007 sebesar 7,2%.1 Lalu hubungan
bilateral ini semakin dieratkan dengan adanya kerjasama keamanan Philippine-United
States Visiting Forces Agreement (PH-US VFA) yang telah ditandai dengan
penandatanganan Mutual Defense Treaty (MDT) dari kedua negara pada tahun 1951.

Namun pada tahun 2016, tepatnya setelah berakhirnya pemilu presiden dan wakil presiden
baru di Filipina telah menghasilkan seorang yang mampu menciptakan suasana baru
kebijakan internal dan eksternal serta iklim ketidakpastian terhadap perjanjian dengan
negara-negara besar. Setelah selama ini menjalin hubungan kerjasama keamanan dengan
Amerika Serikat yang sangat erat, Filipina secara kontroversial menunjukkan aktivitas
yang nampaknya berusaha mengakhiri kerjasama keamanan ini di tengah kemelut
sengketa laut China selatan. Secara bersamaan Filipina juga semakin mendekat pada yang
seharusnya menjadi lawan Tiongkok dan berusaha membangun hubungan diplomatik
yang mesra dengannya. Berbaliknya arah politik luar negeri yang kontras dan tidak biasa
terjadi di dunia perpolitikan yang tengah dilakukan Filipina kali inilah yang menjadikan
hal ini menarik untuk dikaji.

Pokok Permasalahan
Berdasarkan situasi yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas maka permasalahan
yang akan dibahas pada paper ini adalah tentang siapa dan bagaimana aktor dalam proses
pembuatan kebijakan luar negeri di Filipina menjadi relevan serta bagaimana kebijakan
yang kontroversial tersebut dapat kemudian terpilih sebagai kebijakan luar negeri.

Unit Analisis
Pada paper ini akan menggunakan unit analisis pada tingkat individu untuk menjelaskan
peerubahan arah pada kebijakan luar negeri Filipina yang dalam hal ini adalah presiden
Rodrigo Duterte. Hal ini karena walaupun senat dan kementerian luar negeri juga memiliki
andil dalam pembuatan kebijakan luar negeri namun presiden di Filipina memiliki
kekuasaan yang besar dalam penentuan kebijakan final yang akan diambil.

1
Jorn Dosch, The Changing Dynamics of Southeast Asian Politics, 2007, Lynne Rienner
Publishers:Colorado, hlm 48.
Landasan Teori dan Konsep Dasar
Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan pada paper ini adalah
konstruktivisme. Berbeda dengan analisis politik luar negeri sebelumnya yang
memfokuskan pada adanya aktor lain dalam state yang mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan luar negeri, konstruktivisme lebih mendasar lagi mempermasalahkan pada faktor
seperti ide, kepercayaan kolektif, yang mempengaruhi aktor-aktor tersebut dalam
menentukan arah politik luar negeri.2 Sehingga adanya suatu kebijakan luar negeri itu
bukan hanya reaksi terhadap sistem internasional yang sudah terbentuk dengan sendirinya,
tetapi lebih kepada tindakan yang didasarkan pada bagaimana membentuk realitas kolektif
yang dianggap (constructed as) benar untuk berusaha agar nilai yang telah dianut oleh
international society menyesuaikan.

Konsep yang akan dikembangkan pada paper ini adalah konsep kepentingan nasional.
Hans J. Morgenthau berpendapat bahwa kepentingan nasional adalah istilah untuk motif
utama dari tindakan suatu negara.3 Sehingga kepentingan nasional dalam kebijakan luar
negeri suatu negara adalah suatu ide penting yang ingin dicapainya melalui pelaksanaan
kebijakan tersebut. Bersama dengan teori konstruktivisme kepentingan nasional dimaknai
sebagai realitas yang dibuat oleh para pembuat keputusan untuk dihadapkan pada realitas
internasional dan mengusahakannya melalui politik luar negeri.

Argumen Utama
Adanya perubahan politik luar negeri yang drastis dari pemerintahan Filipina sebelumnya
telah menimbulkan banyak asumsi bahwa hal ini tentu ada kaitannya dengan suasana
politik baru di negara tersebut. Selain itu fakta bahwa kebijakan luar negeri adalah suatu
hal yang perlu dirumuskan dan ditetapkan oleh aktor yang relevan karena berisi
kepentingan nasional suatu negara itu sendiri yang kemudian memunculkan argumen
bahwa pengambilan keputusan dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Filipina
sangat didominasi oleh seorang sosok baru yang dalam hal ini adalah presiden baru
Filipina Rodrigo Duterte. Bahwa selain sebagai aktor yang yang sangat relevan dalam
pembuatan kebijakan luar negeri, Duterte juga berperan sebagai pimpinan tertinggi
angkatan bersenjata Filipina. Kebijakan luar negeri Filipina banyak dipengaruhi oleh

2
Abubakar Eby Hara, Ph.D, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri, dari Realisme sampai Konstruktivisme,
Bandung: Penerbit NUANSA, cetakan pertama, 2011, hlm 137-140.
3
Graham Evans dan Newnham Jeffrey, The Penguin Dictionary of International Relations. 1st ed., 1998,
London: Penguin Group, hlm 15.
pengalaman politik dan kepribadian Duterte sepihak daripada senat ataupun kementrian
luar negeri yang sama-sama relevan dalam merancang kebijakan luar negeri Filipina.

PEMBAHASAN

Analisis Kebijakan Luar Negeri Filipina


Kehidupan politik Filipina memasuki babak baru bersamaan dengan terpilihnya Rodrigo
Duterte sebagai presiden pada tahun ini untuk satu periode dengan interval 6 tahun masa
jabatan menggantikan Beniqno Aquino III. Corak politik di negara ini menjadi sangat
berbeda ketika pemimpinnya berubah. Seperti di tahun 2015 sampai awal 2016 dimana
Filipina dikenal gencar memperjuangkan wilayah perairan laut China selatan yang
dimenangkannya di Arbitrase Internasional berubah drastis menjadi pasrah menyerahkan
pada kebijakan bersama regional ASEAN di tahun 2016 di bawah kepemimpinan Duterte.
Hal ini menunjukkan peran yang sangat signifikan dari presiden Filipina sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara serta pimpinan tertinggi angkatan bersenjata secara
bersamaan. Pemusatan kekuasaan pada presiden ini yang kemudian menjawab bagaimana
pemimpin eksekutif negara ini menjadi aktor yang paling relevan dalam menentukan arah
politik baik itu dalam dan luar negeri. Dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri pun
aktor state yang terbagi atas presiden, kementerian luar negeri, dan juga senat kembali
menunjukkan bahwa eksekutif sangat mendominasi pengambilan keputusan, dimana
kementerian merupakan susunan kabinet bentukan presiden.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya setelah sekian lama state cenderung mengeluarkan
kebijakan yang sama dari setiap suksesi presiden, adalah bagaimana dapat menjelaskan
perubahan arah kebijakan luar negeri Filipina yang drastis di tangan presiden Duterte.
Suatu kebijakan yang sangat aneh dan sepertinya tidak dapat dipahami dengan realitas
internasional yang dianut negara-negara liberal. Filipina berusaha memutus hubungan
kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat untuk kemudian menggandeng Tiongkok.
Bagaimana hal ini dapat terjadi ditengah kemelut perebutan wilayah di laut China Selatan?

Hal ini dapat dijelaskan dengan mempelajari latar belakang kehidupan sosial yang selama
ini mengkonstruk Duterte, memberikan sumbangan besar terhadap cara berpikirnya dan
yang membuatnya memiliki pandangan berbeda akan realitas. Bahwa sebelum menjadi
presiden ia telah menjabat sebagai walikota Davao City untuk waktu yang lama (22 tahun
dengan 7 kali terpilih) bahkan ayahnya Vincente Duterte juga pernah menjabat gubernur
sebuah provinsi yang bernama Davao dulunya. Iklim keluarga dan profesinya ini telah
membuat Duterte memiliki pemahaman realitas akan kekuasaan dan terbiasa dengan
orang-orang yang tunduk padanya. Sehingga satu penjelasan ini menjawab tentang
bagaimana sikap angkuh dan sombong Duterte terkonstruk pada saat terjadinya beef antara
ia dan presiden Obama yang berusaha menegur cara Duterte menangani masalah Drugs di
negaranya atas nama human rights. Duterte tidak suka akan sikap Obama yang dipandang
membatasi dan menghambat langkah Filipina dalam menangani isu yang paling kritis
menurutnya. Intervensi yang menyalahi kebenaran versi Duterte ini semakin memanas
ketika AS memutuskan untuk mengembargo senjata ke Filipina karena AS merasa Filipina
yang melanggar kebenaran dan dengan Duterte yang mengatakan akan memisahkan diri
dengan AS di Hongkong pada saat kunjungan bilateralnya ke Tiongkok.

Duterte sebagai warga di salah satu negara kawasan Asia Tenggara yang memiliki iklim
keamanan untuk memperhatikan urusan negaranya masing-masing juga telah menjadikan
ini sebagai common values yang harus ditaati dan yang paling benar. Serta pengalamannya
sebagai walikota dimana semua daerah mendapatkan kedudukan yang sama dalam
mengatur daerahnya masing-masing terbawa hingga ia menjadi presiden. Bahwa setiap
negara itu independen dan berhak menyelesaikan urusan dalam negerinya tanpa intervensi
dari pihak luar. Tidak benar bahwa AS harus diberi status khusus dalam ikut
mengintervensi Filipina yang independen. Sehingga intervensi Amerika ini benar-benar
suatu pelecehan akan kebenaran di mata Duterte.

Tentang sikap Duterte yang sangat membenci kejahatan, dalam hal ini adalah pelaku
narkoba yang sangat menjamur di Filipina, dengan kebijakan dalam negerinya yang ingin
memerangi dan memberantas habis pelaku narkoba yang menurutnya sangat meresahkan
eksistensi negara Filipina di masa depan. Dari saat terpilihnya 30 Juni lalu Duterte melalui
polisi yang ditugaskannya telah membunuh hingga 6,000 warga Filipina yang merupakan
pelaku dan terduga narkoba, dimana ada dua walikota yang juga menjadi korban operasi
Drugs Killing ini. Bahkan untuk kasus death penalty yang dijatuhkan kepada warga
Filipina di Indonesia, Mary Jane, Duterte mempersilakan pemerintah Indonesia untuk
mengeksekusinya. Ternyata dibalik kebijakan brutalnya itu dimana Duterte sangat
membenci kejahatan karena ia mengakui secara terang-terangan telah mengalami
pelecehan seksual yang dilakukan oleh pendeta katolik semasa kecil.4 Pengalaman

4
http://www.independent.co.uk/news/world/asia/philippines-duterte-war-on-drugs-sexual-abuse-crackdown-
human-rights-a7366941.html, diakses pada tanggal 22 Desember 2016.
pahitnya ini yang kemudian membentuk persepsi Duterte akan kejahatan yang harus
dimusnahkan karena dapat merusak moral penerus bangsa.

Sehingga dengan melihat pada penjelasan konstruktivis terhadap tingkah laku Duterte di
atas maka kepentingan nasional yang berusaha diwujudkan oleh Filipina dengan
berpindahnya arah politik luar negerinya dari AS ke Tiongkok bukan semata karena
Filipina ingin melepaskan diri dari ketergantungan dengan negara besar namun gagal
karena mendekati negara besar lainnya, melainkan karena Duterte menginginkan iklim
yang mendukungnya dalam menjalankan kebijakannya memberantas narkoba di Filipina.
Dimana dalam hal ini Tiongkok sangat mengapresiasi dan memberikan bantuan kepada
pemerintah Filipina, walaupun Tiongkok sendiri tentu memiliki realitas kebenaran yang
berbeda dalam kepetingan nasionalnya namun tidak sekontras seperti Amerika Serikat
yang gagal memahami esensi dibalik kebrutalan Duterte atau salah dalam melakukan
pendekatan yang mengakibatkan pengaruhnya di salah satu kawasan vital asia terancam
berakhir.

KESIMPULAN

Kebijakan politik luar negeri Filipina sangat bergantung pada Presidennya. Sehingga
karakter akan kebenaran yang telah dimiliki oleh sang pemimpin akan sangat menentukan
seperti apa negara ini menjalin hubungan politik dengan negara lainnya. Dengan
menggunakan unit analisis individu, pertanyaan tentang bagaimana suatu kebijakan luar
negeri yang dipandang tidak sesuai dengan realitas internasional namun tetap diambil
menjadi relevan dan dapat dijelaskan. Konstruktivisme digunakan dalam menjelaskan
kasus Filipina ini adalah yang paling cocok sebab jika menggunakan pendekatan realisme
yang juga sebenarnya mampu menjelaskan aktivitas politik Duterte yang berusaha menarik
AS keluar dari Filipina dalam kerjasama keamanan antar keduanya, namun realis tidak
mampu menjelaskan secara bersamaan langkah selanjutnya dimana Filipina memutuskan
untuk menjalin hubungan bilateral dengan Tiongkok karena kondisi diluar yang selalu
anarki. Sehingga beef yang terjadi antara Filipina dan Amerika Serikat adalah absennya
kesamaan realitas kebenaran dari kedua pihak yang memegang identitasnya dari perspektif
masing-masing dalam menjalankan politik luar negerinya.

Selain itu, kebijakan luar negeri Filipina oleh Duterte tidak dapat dipahami melalui
pendekatan yang obyektif yang didasarkan pada fakta empirik yang kolektif seperti realis,
maka dari itu menggunakan pendekatan interpretatif, pemahaman secara mendalam dengan
menggunakan sudut pandang obyek, dengan mempertajam jawaban atas pertanyaan
bagaimana, tidak hanya sekedar menjawab pertanyaan mengapa.

DAFTAR REFERENSI

Dosch, Jorn. 2007. The Changing Dynamics of Southeast Asian Politics. Colorado: Lynne
Rienner Publishers.

Eby Hara, Abubakar. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri, dari Realisme sampai
Konstruktivisme. Bandung: Penerbit NUANSA, cetakan pertama.

Evans, Graham dan Newnham Jeffrey. 1998. The Penguin Dictionary of International
Relations. 1st ed. London: Penguin Group.

Greitens, Sheena Chestnut. 2016. Asian Alliances Working Paper Series Paper 5, The U.S.-
Philippine Alliance in a Year of Transition: Challenges and Opportunities.

Sitepu, P. Anthonius. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tidwell, Alan. Asia Pacific Bulletin: The Headline about Duterte, Mindanao, and Political
Culture. Ease West Center. No. 362. November 9, 2016.

http://global.liputan6.com/read/2681577/presiden-duterte-selamat-tinggal-amerika-serikat,
diakses pada 22 Desember 2016.

http://www.independent.co.uk/news/world/asia/philippines-duterte-war-on-drugs-sexual-
abuse-crackdown-human-rights-a7366941.html, diakses pada tanggal 22 Desember
2016.

U.S. Department of State. 2016. [Official Site]. Fact Sheet: U.S. Relations with the
Philippines. Bureau of East Asian and Pacific Affairs. http://www.state.gov/
r/pa/ei/bgn/2794.htm, diakses pada 22 Desember 2016.

Você também pode gostar