Você está na página 1de 14

Abstrak

Objektif : lesi saraf interoseus Anterior (AIN) merupakan seseuatu yang langka
dan beberapa penilaian nervus konduksi telah dilaporkan.. Tujuan dari penelitian
retrospektif ini adalah untuk menilai angka diagnostik konduksi saraf motorik
pada lesi AIN dan untuk melihat gambaran electrodiagnostic nya.

Metode: sampel penelitian ini menggunakan 23 pasien dengan AIN lesi yang
telah dilakukan pemeriksaan selama 13 bulan. Dari 23 kasus ini didtemukan
kelemahan total pada fleksor policis longus (FPL) dan fleksor digitorum
profundus dengan indeks finger 5. FPL dikategorikan 3 FDP1 dengan indeks
finger 2, sementara pronator quadrarus (PQ) kelemahan pada 12. Senyawa
potensial aksi muskular (CAMP) dari otot PQ dan FDL dicatat dan dianalisa.
Sebanyak 22 pasien mendapat terapi konservatif dan operasi.

Hasil: kedua hasil PQ-CMAP dan FPL-CMAP telah dicatat sejak pertama kali
pemeriksaan dan menunjukan adanya kelaianan pada PQ- dan / atau FPL-CMAP.
Latency yang tertunda dan / atau rendahnya amplitudo terlihat pada 21 untuk PQ-
CMAP dan di 17 untuk FPL-CMAP. Pada saat follow up terakhir terjadi
peningkatan kekuatan otot FPL, FDP1 dan PQ yaitu 11 menurut dengan Medical
Research Council British (MRC) grade 4 atau lebih baik (pemulihan lengkap),
sedangkan, pemulihan parsial di 11 dan tidak berubah dalam satu. Penurunan
amplitudo di PQ-CMAP menunjukkan perbedaan signifcant antara kelompok
kekuatan PQ normal dan kelompok kekuatan PQ lemah.

Kesimpulan: Perekaman dan analisis PQ- dan FPL-CMAP merupakan sesuatu


yang sederhana dan aman, serta penting dalam mendiagnosis lesi AIN secara
elektrodiagnosis. Data menunjukkan bahwa degenerasi axon di proksimal
merupakan patologi utama pada lesi AIN.

Pendahuluan
Lesi pada saraf interoseus anterior (AIN) merupakan lesi yang langka. Gambaran
klinis pada lesi AIN adalah paralyis flexor polisis longus (FPL), flexor digitorum
profundus pada indeks fnger (FDP1) dan pronator kuadratus (PQ), sedangkan
atrofi otot tenar dan keluhan sensorik yang di persarafi oleh nervus medialis tidak
ditemukan. Lesi AIN dideskripsikan dalam hubungan dengan neuritis brakialis
oleh parsonage dan Turner [1] pada tahun 1948, dan kemudian diidentifikasi oleh
Kiloh dan Nevin [2] pada tahun 1952. Fearn dan Goodfellow [3] pertama kali
melakukan bedah eksplorasi untuk diagnosis dan pengobatan. Untuk
electrodiagnosis dari lesi AIN, banyak laporan sebelumnya menjelaskan bahwa
electromyogram menunjukan fibrilasi yang jelas atau berbentuk seperti
gelombang yang tajam, [4-15]. Namun, ada beberapa penilaian lesi saraf
konduksi AIN sampai sekarang masih dilaporkan [16-23]. Penelitian ini
melaporkan pentingnya penilaian lesi saraf konduksi AIN pada 10 pasien tahun
2008 [24]. penelitian ini bersifat retrospektif tujuannya untuk menilai angka
diagnostik konduksi saraf motorik dengan mencatat senyawa potensial aksi
(CMAP) otot dari PQ dan FPL di lesi AIN dan menilai gambaran
electrodiagnostic nya.

Sampel dan Metode

Antara tahun 2004 dan 2014, 23 pasien dengan spontan dan lesi AIN nontraumatic
dianalisa setelah 13 bulan (kisaran, 6-51). Pasien tersebut 14 laki-laki dan 9
perempuan, dengan usia 46 tahun (kisaran, 22-70). 9 pasien inklusi dan 14 pasien
eklusi. Dengan keluhan nyeri di sekitar siku, lengan bawah, lengan atas atau bahu
pada sisi ipsilateral ditemukan pada 20 pasien dan berlangsung selama 3 hari
hingga 2 bulan (rata-rata, 20 hari) sebelum timbulnya kelumpuhan. Kelumpuhan
total dari FPL dan FDP1 ditemukan pada 5, dan kelumpuhan terisolasi dari FPL
pada tiga dan FDP1 pada dua dan sementara itu kelemahan PQ ada pada 12. PQ
diuji dengan posisi siku fleksi penuh untuk merilekskan caput humerus dan otot
pronator teres. Pada waktu pemeriksaan tidak ditemukan kerusakan sensorik pada
lengan atas dan kekuatan bahu masih baik, selanjutnya fleksor carpi radialis,
pronator teres (dengan posisi siku ekstensi), dan palmaris longus pada semua
pasien masih bagus. Salah satu penulis S. Nobuta) dan seorang ahli terapi
okupasional lainnya menguji kekuatan otot. Kelumpuhan terjadi dengan durasi 1-
7 bulan (rata-rata, 3 bulan). CMAP pada abduktor policis brevis (APB) tercatat
untuk menilai konduksi saraf median, menyatakan latency dan amplitudo normal
pada semua pasien. Untuk keterangan lebih rinci ditampilkan pada Tabel 1. 22
pasien dirawat secara konservatif, dan 1 menjalani operasi neurolysis setelah 7
bulan timbulnya kelumpuhan (kasus 7).

Informed consent diperoleh dari semua pasien. penilaian konduksi saraf motorik
dilakukan pada semua pasien sebelum pengobatan dan pada saat terakhir follow
up. Pasien diperiksa
duduk di kursi dengan siku diekstensi dan pronasi (rekaman PQ-CMAP) atau
supinasi (merekam FPL-CMAP). suhu kulit Palmar tidak dibolehkan di bawah 32.
Pengamatan menggunakan sistem elektromiografi Nicolet Viking (Nicolet
Instruments, Madison, WI,
USA) dan disc perak 10-mm. CMAP pada PQ dan FPL dicatat dengan permukaan
elektrode dengan stimulasi maximal dari saraf median di siku. durasi stimulus
adalah 0,1-0,2 ms. penilaian PQ-CMAP, elektroda yang aktif ditempatkan di atas
punggung lengan bawah 5 cm proksimal ke styloideus radialis, sedangkan
menurut referensi elektroda diatas styloid radial, dan dasar lengan bawah [20].
Dalam rekaman FPL-CMAP, elektroda aktif adalah ditempatkan di proximal
radial polar pada sepertiga dari lengan bawah, menurut referensi elektroda adalah
di sisi lar pergelangan tangan dan dasar atas lengan [17] (Gambar 1). PQ- dan
FPL-CMAP dicatat pada bagian yang normal, latency dan amplitudo negatif
dianalisis. Dengan melakukan penilaian dari dua puluh subyek sehat, sisi ke sisi
normal dibedakan dengan latency dan amplitudo diperoleh seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 2. Menurut kriteria tersebut, penelitian ini menemukan
latency tertunda dan amplitudo

yang rendah pada PQ- dan FPL CMAP. Data dianalisis dengan students t-test dan
tes MannWhitney U. P-nilai kurang dari 0,05 dianggap signifcant.
HASIL

Dari 23 kasus, baik PQ- dan FPL-CMAP yang tercatat pada awalnya, dan
semua abnormalitas yang dinyatakan di PQ- dan/atau FPL-CMAP. Latensi
tertunda dan amplitudo rendah terlihat pada 21 untuk PQ-CMAP dan 17 untuk
FPL-CMAP. Enam kasus menunjukkan hanya PQ-CMAP yang tidak normal, 2
kasus FPL-CMAP tidak normal dan 15 indikasi abnormalitas baik pada PQ-
CMAP dan FPL-CMAP. Pada wakut follow-up terakhir, perkembangan kekuatan
FPL, FDP1 dan PQ terlihat pada 11 kasus diperolehlah grade 4 British Medical
Research Council (MRC) atau lebih baik (pemulihan yang lebih baik), sedangkan
pemulihan parsial didapatkan pada 11 dan tidak ada perubahan pada 1 kasus
(Tabel 1). Onset pemulihan FPL, FDP1 atau PQ dari onset paralisis adalah 2
hingga 13 bulan (rata-rata 6 bulan)pada 22 kasus dengan pemulihan lengkap atau
sebagian. Pada kasus 7, penemuan operatif menunukkan tidak adanya adesi atau
jepitan dari AIN di siku atau lengan bawah.
Pada saat follow up, 18 kasus menunjukkan abnormalitas PQ dan/atau FPL-
CMAP dan 5 menyatakan parameter normal pada PQ dan FPL-CMAP. Latensi
PQ-CMAP setelah pengobatan memendek dibandingkan dengan latensi PQ awal
pada 16, tidak ada perubahan terjadi pada 16 dan tertunda pada 3. Amplitudo PQ-
CMAP setelah pengobatan meningkat dibandingkan dengan amplitudo awal pada
18, tidak berubah pada 3 dan menurun pada 2. Latensi FPL-CMAP setelah
pengobatan memendek pada 14, tidak berubah pada 3 dan tertunda pada 6.
Amplitudo FPL-CMAP setelah pengobatan meningkat pada 14, tidak berubah
pada 1 dan menurun pada 8.
Penurunan amplitudo awal PQ-CMAP menunjukkan perbedaan signifikan
antara kelompok PQ normal dengan kekuatan kuat (-1.56) dan kelompok PQ
dengan keksuatan lemah (-2.93), sementara latensi tertuda PQ-CMAP
memperlihatkan tidak adanya signifikansi antara PQ normal dan PQ yang lemah
(Tabel 3). Adanya kecenderungan bahwa amplitudo apenurunan FPL-CMAP lebih
besar pada kelompok FPL yang kuat (-0.2). Tidak terdapat korelasi yang
signifikan antara PQ-CMAP awal atau latensi FPL-CMAP dan kekuatan otot
akhir, sementara terdapat kecenderungan perbedaan amplitudo PQ- dan FPL-
CMAP sisi ke sisi lain pada kasus yang pulih sebagian (-2.85 dan -3.27,
berurutan) yang lebih besar dibandingkan kasus pemulihan lengkap. (-1.76 dan
-1.73, berurutan) (Tabel.4)
KASUS ILUSTRASI
Seorang wanita 69 tahun mengeluhl nyeri difus pada siku kanan dan nyeri
menetap lebih dari 4 jam. Ketika pasien menyadari kelemahan dalam menjepit
pada tangan kanan, tidak didapatkan gejala sensorik. Pemeriksaan menyatakan
kelemahan dari FPL (MRC grade 4), FDPI (2) dan PQ (4) kanan. Hal tersebut
juga menyatakan penyebaran yang sementara dengan latensi PQ-CMAP berkisar
3,5 ms dan amplitudo 0,8 mV, sementara latensi dan amplitudo pada sisi yang
sehat adalah 2.7 ms dan 4.4 mV (Gambar 2A dan 2B). Pemulihan mulai terjadi
setelah 13 bulan, 19 bulan kemudian, pasien menunjukkan pemulihan sebagian
dari FPL (4), FDPI (3) dan PQ (5) di ekstremitas kanan dengan latensi PQ-CMAP
dan amplitudonya ialah 3.0 ms dan 1.2 mV, secara berurutan (Gambar 2c)
DISKUSI
Lesi nervus interosseus anterior (AIN) dengan onset mendadak meninggalkan lesi
yang jarang dan pengobatan sebaiknya bervariasi sesuai dengan etiologi dari
kondisi tersebut. Laporan sebelumnya mengenai etiologi dari lesi AIN dibagi
menjadi 2 kelompok, yang menggambarkannya sebagai neuritis plexus brachiales
atau amiotropi neuralgia. Neuropati akibat penjepitan merupakan salah satu
penyebab dari lesi AIN. Struktur-struktur yang dapat menekan AIN adalah origo
tendon dari caput pronator teres atau flexor digitorum sublimis, pembesaran bursa
bicipital, trombosis pembuluh darah collateral ulna, bagian anomali dari arteri
radialis, dan prosesus supraconyloid. Jika tidak terjadi pemulihan setelah
pengobatan konservatif, dan hasil dari terapi opertif secara umum baik dilaporkan
didalam literatur. Akan tetapi, Miller-Breslow dkk menyatakan bahwa pengobatan
operatif tidak mempengaruhi waktu pemulihan. Sementara itu, pada penelitian
kami, satu kasus (kasus 7) mengalami eksplorasi operatif tanpa adanya ditemukan
patologi yang dapat dibuktikan, dan diperolehnya pemulihan parsial setelah 12
bulan dari onset paralisis. Di sisi tangan lainnya, Nagano melaporkan bahwa
penyebab dari lesi AIN ialah konstriksi fasikular yang tera sa jam pasir dari saraf
medianus dipastikan menjadi AIN secara distal, dinyatakan bahwa neurolisis
interfasikular memberikan hasil yang baik.
Penyebab lain dari lesi AIN adalah neuritis pleksus brachialis atau amiotropi
neuralgia. Poin penting dalam riwayat untuk membedakan neuritis brachialis dari
kompresi lokal adalah perkembangan nyeri pada lengan atas, siku atau lengan
bawah yang sering mendahului paralisis mototrik dan adanya trauma. Pada
penelitian kamis, seluruh kasus menunjukkan onset paralisis nontraumatik,
dengan persentasa tinggi yang menyertai keluhan nyeri lengan (20 dari 23 pasien,
87%), walaupun tanpa disertai kelemahan korset bahu. Akan tetapi, penemuan
kami menyatakan bahwa kasus ini didapatkan neuritis pleksus brakiales. Laporan
sebelumnya menggambarkan pengobatan konservatif menghasilkan pemulihan
spontan yang terjadi 2 hingga 3 tahun setelah onset palsi dan hasil setelah
pengobatan pada umumnya baik.

Elekrodiagnosis sangat penting untuk memastikan diagnosis dari lesi IN. Akan
tetapi jumlah penelitian konduksi saraf yang terbatas telah dilaporkan. Meya dan
Hacke dan Gardner-Thorpe menggambarkan latensi PQ-CMAP dengan rekaman
jarum. Nakano dkk dan Seror menggambarkan PQ-CMAP menggunakan rekaman
jarum untuk memperoleh nilai baku. Nakano melaporkan latensi PQ-CMAP rata-
rata menjadi 5.1 ms (0.9 SD: Standar Deviasi) sedangkan Seror melaporkan 4.1
ms (0.6) dengan perbedaan latensi maksimal sisi ke sisi adalah 0.8 ms. Nakano
melaporkan bahwa 5 dari 7 pasien menunjukkan latensi abnormal dan Seror
menggambarkan 7 dari 14 orang pasien menyatakan latensi abnormal dan 12 dari
14 orang pasien menunjukkan amplitudo rendah. Akan tetapi, elektromiogram
yang tercatat atau PQ-CMAP menggunakan permukaan merekam perkembangan
nilai baku, menyatakan latensi rata-rata 3.5 (0.4) ms (kiri) dan 3.6 (0.4) ms
(kanan) dengan perbedaan sisi ke sisi 0.1 (0.1) ms dan amplitudo 3.1 (o.8) mV.
Foley dkk melaporkan PQ-CMAP dengan rekaman permukaan dari 207 subjek
normal, menyatakan bahwa latensi 4.2 (0.5) ms dan amplitud0 4.3 (1.8) mV. Pada
sisi tangan lainnya, Craft dkk melaporkan FPL-CMAP menggunakan rekaman
permukaan untuk memperoleh nilai baku. Tempat yang optimal untuk
menempatkan elektrode aktif adalah lewat dari 2/3 distal lateral permukaan
anterior lengan bawah. Mereka menyimpulkan bahwa latensi 4 ms dan amplitudo
2.5 mV dapat berfungsi sebagai batasan nilai baku. Vucic dan Yiannikas
menggambarkan FPL-CMAP menggunakan rekaman permukaan dari 50 subjek
normal dan data mereka menunjukkan bahwa amplitudo 5.7 (2.0) mV (rata-rata,
SD) dengan perbedaan sisi ke sisi 0,7 (0.8) ms dan latensi 3.9 (1.2) ms dengan
perbedaan sisi ke sisi 5.1%. Mereka menyimpulkan bahwa PQ- dan FPL-CMAP
menggunakan elektrode permukaan dapat membantu diagnosis lesi AIN.
Karena itu, kami merekam PQ-CMAP dan FPL-CMAP dengan menggunakan
elektrode permukaan untuk meneliti lesi AIN secara elektrofisilogi sesuai dengan
metode Mysiw dan metode Craft. Teknik ini sederhana dan aman untuk
ditampilkan dan informasi yang diperoleh reproduktif. Kriteria nilai normal dari
latensi dan amplitudo PQ-CMAP pada institut kami hampir sama juga dengan
laporan Craft dan Vucic. Tidak terdapat laporan baik mengenai PQ- dan FPL-
CMAP pada lesi AIN. Pada penelitian kami, durasi paralisis ialah satu hingga 7
bulan, dan 7 bulan agak panjang untuk penilaian awal dan pemulihan dapat
bermulai selama rentang waktu tersebut, tetapi 4 kasus yang dikonsultasikan ke
institut kami pada waktu 7 bulan setelah onset paralisis. Semua kasus
menunjukkan abnormalitas (latensi tertunda dan/atau amplitudo rendah) pada PQ-
dan FPL-CMAP. Latensi PQ post pengobatan memendek dibandingkan dengan
latensi awal pada 16, amplitudo PQ post pengobatan meningkat pada 18, latensi
FPL post pengobatan pada 14 dan amplitudo FPL post pengobatan meningkat di
14.
Perihal bentuk variasi proses neuropati, demielinisasi segmental menyebabkan
pelambaran konduksi melewati segmen yang dipengaruhi, sementara hasil
degenerasi axonal merupakan sebagai hasil dari penurunan amplitudo dari
potensial yang dibangkitkan secara distal. Pada penelitian kami, penurunan
amplitudo PQ-CMAP menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok
PQ dengan kekuatan normal dan kelompok PQ dengan kekuatan lemah, tetapi
latensi tertunda pada PQ-CMAP menyatakan tidak ada signifikansi antara kedua
kelompok tersebut (Tabel 3). Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara awal
latenPQ- atau FPL-CMAP dan kekuatan otot akhir, sementara terdapat
kecenderungan bahwa perbedaan amplitudo sisi ke sisi dari PQ- dan FPL-CMAP
pada kasus yang pulih sebagian lebih besar dibandingkan kasus yang pulih
seluruhnya (Tabel 4). Data penurunan amplitudo ini menunjukkan bahwa
degenerasi axonal pada fasikulus otot untuk membentuk AIN merupakan suatu
patologis. Lokasi yang tepat untuk terjadinya neuritis belum pernah
teridentifikasi. Rennels dan Ochoa yakin bahwa terletak pada proksimal dari
pleksus beachiales dan England and Sumner menemukan bentuk yang lebih
konsisten dengan lesi diskret pada saraf perifer multipel. Rennels dan Ochoa
menggambarkan bahwa variabilitas waktu pemulihan dapat dijelaskan pada dasar
dari proses patologis yang berbeda pada saraf, menempatkan lesi yang lebih
ringan dengan pemulihan yang cepat kemungkinan terlihat dengan demielinisasi,
sementara lesi berat lainnya merupakan hasil degenerasi axonal yang
membutuhkan periode yang lebih panjang untuk pertumbuhan ulang dari axon.
Pada rangkaian kami, onset pemulihan dari FPL, FDP1, PQ dari onset paralisis
adalah rata-rata 6 bulan (rentang, 2 hingga 13 bulan) pada 22 kasus, yang
tersembunyi dari periode regenerasi axon bagian proksimal. Akhir-akhir ini, Pham
dkk, meminta untuk menentukan lokasi lesi pada 20 orang pasien dengan lesi AIN
spontan dengan menggunakan neurografi resonansi magnetik resolusi tinggi dan
menggambarkan bahwa lesi AIN pada mayoritas kasus tidak dapat
menyembuhkan neuropati akibat penjepitan secara operatif tetapi mononeuropati
multifokal, dimana secara selektif diliputi, dalam trunkus utama nervus medianus,
fasikulus motorik yang melanjutkan pembentukan AIN secara distal. Data kami
menunjukkan bahwa degenerasi axon di bagian proksimal merupakan patologi
utama dan pemulihan bermulai pada waktu 6 bulan (rata-rata) dari onset paralisis,
akan tetapi, kami merekomendasikan pengobatan non-operatif untuk pasien
dengan lesi AIN Spontan.
KESIMPULAN
Perekaman dan analisis PQ- dan FPL-CMAP merupakan sesuatu yang
sederhana dan aman, serta penting dalam mendiagnosis lesi AIN secara
elektrodiagnosis. Data menunjukkan bahwa degenerasi axon di proksimal
merupakan patologi utama pada lesi AIN.

Você também pode gostar