Você está na página 1de 5

Nabi Muhamad SAW

A. Kelahiran Nabi Muhamad s.a.w.

Pada kala umat manusia dalam kegelapan dan kehilangan pegangan hidupnya, lahirlah
ke dunia dari keluarga sederhana, dikota Mekah, seorang bayi yang kelak membawa
perubahan besar bagi sejarah peradaban dunia. Bayi itu yatim, bapaknya yang bernama
Abdullah meninggal dunia pada saat (lebih-kurang) 7 bulan sebelum dia lahir ke dunia.
Kehadiran bayi itu disambut oleh neneknya Abdul Muthalib dengan penuh kasih sayang
dan kemudian bayi itu dibawanya ke kaki Ka'bah. Ditempat suci inilah bayi itu diberi
nama Muhamad, suatu nama yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut penanggalan
para ahli, kelahiran Muhamad itu pada tanggal 12 Rabiulawal tahun Gajah atau tanggal
20 April tahun 571 M.

Adapun sebab dinamakan tahun kelahiran Muhamad itu dengan nama tahun Gajah,
karena pada tahun itu, kota Mekah diserang oleh suatu pasukan tentara nasrani yang
kuat yang menggunakan gajah dibawah pimpinan Abrahah, gubernur dari kerajaan
nasrani Abessinia yang memerintah di Yaman, dan mereka bermaksud menghancurkan
Ka'bah. Belum lagi maksud mereka tercapai, mereka sudah dihancurkan oleh Allah
SWT dengan mengirimkan burung ababil. Oleh karena pasukan itu menggunakan gajah,
maka orang Arab menamakan bala tentara itu sebagai pasukan gajah, sedang tahun
terjadinya dinamakan tahun gajah.

Nabi Muhamad s.a.w. adalah ketuunan dari Qushai, pahlawan suku Quraisy yang telah
berhasil menggulingkan kekuasaan Khuza'ah atas kota Mekah. Ayah nabi Muhamad
s.a.w. bernama Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdulmanaf bin Qushai
bin Kilab bin Murrah dari golongan Arab bani Ismail. Ibunya bernama Aminah binti
Wahab bin Abdulmanaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah. Dari sinilah silsilah keturunan
ayah dan ibu Nabi Muhamad s.a.w. bertemu. Baik keluarga dari pihak ayah maupun
keluarga dari pihak ibu termasuk golongan bangsawan dan terhormat dalam kalangan
kabilah-kabilah Arab.

Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab kota Mekah, terutama pada orang-orang
yang tergolong bangsawan, untuk menyusukan dan menitipkan bayi-bayi mereka kepada
wanita badiyah (dusun dipadang pasir) agar bayi-bayi itu dapat menghirup hawa segar,
terhindar dari penyakit-penyakit kota dan supaya bayi-bayi itu dapat berbicara dengan
bahasa yang fasih dan murni. Demikianlah halnya dengan nabi Muhamad s.a.w., beliau
diserahkan oleh ibunya kepada seorang perempuan yang bernama Halimah Sa'diyah dari
bani Sa'ad kabilah Hawazin, tempatnya tidak jauh dari kota Mekah. Diperkampungan
bani Sa'ad inilah nabi Muhamad s.a.w. diasuh dan dibesarkan sampai berusia 5 tahun.
B. Masa kecil Nabi Muhamad s.a.w.

Sesudah berusia lima tahun, nabi Muhamad s.a.w. diantarkan ke Mekah kembali
kepada ibunya. Satu tahun kemudian, beliau dibawa oleh ibunya ke Madinah, bersama-
sama dengan Ummu Aiman, sahaya yang ditinggalkan oleh ayahnya. Maksud membawa
nabi ke Madinah ini adalah, pertama untuk memperkenalkan ia kepada keluarga
neneknya bani Najjar dan kedua untuk menziarahi makam ayahnya. Maka disitu
diperlihatkan kepadanya rumah tempat ayahnya dirawat diwaktu sakit sampai
meninggal, dan pusara tempat ayahnya dimakamkan. Demikian mengharukan cerita
ibunya kepada nabi tentang ayahnya, demikian terharunya, sehingga sampai sesudah ia
diangkat menjadi Rasul dan sesudah ia berhijrah ke Madinah, peristiwa ini senantiasa
disebut-sebutnya.

Mereka tinggal di Madinah kira-kira satu bulan, kemudian pulang kembali ke Mekah.
Dalam perjalanan pulang, pada suatu tempat yang bernama Abwa', tiba-tiba ibunya
yakni Aminah jatuh sakit hingga meninggal dan dimakamkan ditempat itu juga. Abwa'
adalah nama sebuah desa yang terletak diantara Madinah dan Juhfah, kira-kira sejauh 23
mil disebelah selatan kota Madinah.

Dapatlah dibayangkan betapa sedih dan bingungnya nabi Muhamad s.a.w. menghadapi
bencana kemalangan atas kematian ibunya itu. Baru beberapa hari saja ia mendengar
cerita ibunya atas kematian ayahnya yang telah meninggalkannya selagi ia masih dalam
kandungan. Dan sekarang ibunya telah meninggal pula dihadapan matanya sendiri,
sehingga ia sudah harus hidup sebatangkara, menjadi seorang yatim-piatu, tiada berayah
dan tiada beribu.

Setelah selesai pemakaman ibundanya, nabi Muhamad s.a.w. segera meninggalkan desa
Abwa' untuk kembali ke Mekah bersama-sama dengan neneknya Abdul Muthalib.

Disinilah nabi Muhamad s.a.w. diasuh sendiri oleh neneknya dengan penuh kecintaan.
Usia neneknya, Abdul Muthalib, pada waktu itu kira-kira 78 tahun. Dia adalah seorang
pemuka Quraisy yang disegani dan dihormati oleh segenap kaum Quraisy pada
umumnya, dan penduduk kota Mekah pada khususnya.

Disebabkan kasih sayang neneknya kepada nabi Muhamad s.a.w., dapat menjadi hiburan
terhadap kemalangan nasibnya atas kematian ayah dan ibunya. Tetapi keadaan ini tidak
berlangsung lama, sebab baru saja berselang dua tahun ia diasuh oleh neneknya, ternyata
neneknya meninggal dunia pula pada usia 80 tahun. Nabi Muhamad s.a.w. pada waktu
ini baru berusia 8 tahun.

Meninggalnya Abdul Muthalib bukan saja merupakan kemalangan bagi nabi namun
juga merupakan kemalangan bagi penduduk kota Mekah. Dengan meninggalnya Abdul
Muthalib, penduduk kota Mekah kehilangan seorang pembesar dan pemimpin yang
cerdas, bijaksana, berani dan perwira yang tidak mudah dicari gantinya.

Sesuai dengan wasiat Abdul Muthalib, maka nabi Muhamad s.a.w. diasuh oleh
pamannya Abu Thalib. Kesungguhan dia mengasuh nabi serta kasih sayang yang
diberikan kepada keponakannya ini tidaklah kurang dari apa yang diberikannya kepada
anaknya sendiri.

C. Pengalaman-pengalaman penting Nabi Muhamad s.a.w.

Ketika berumur 12 tahun, nabi Muhamad s.a.w. mengikuti pamannya, Abu Thalib,
membawa barang dagangan ke kota Syam. Sebelum mencapai kota Syam, baru sampai
ke Bushra, bertemulah kafilah Abu Thalib ini dengan seorang pendeta nasrani yang alim
yang bernama Buhaira. Pendeta itu melihat ada tanda-tanda kenabian pada diri
Muhamad s.a.w. maka dinasehatilah Abu Thalib agar segera membawa keponakannya
itu kembali ke kota Mekah, sebab dia khawatir kalau-kalau keponakan Abu Thalib itu
ditemukan oleh orang Yahudi yang pasti akan menganiayanya. Abu Thalib segera
menyelesaikan dagangannya dan segera kembali ke kota Mekah.

Nabi Muhamad s.a.w. sebagaimana biasanya pada masa kanak-kanak itu, dia kembali ke
pekerjaanya yakni menggembala kambing yang merupakan kambing-kambing keluarga
dan kabing-kambing penduduk Mekah yang mempercayakan kepadanya untuk
digembala. Pekerjaan menggemabala kambing ini membuahkan didikan yang baik
kepada diri beliau, karena pekerjaan ini membutuhkan keuletan, kesabaran dan
ketenangan serta ketrampilan dalam tindakan.

Diwaktu nabi berusia kira-kira 15 tahun terjadilah peristiwa yang bersejarah bagi
penduduk kota Mekah, yakni kejadian peperangan antara suku Quraisy dan Kinanah
disatu pihak dengan suku Qais'ailan dilain pihak. Nabi ikut aktif dalam memberikan
bantuan kepada paman-pamannya dengan menyediakan keperluan perang. Peperangan ii
terjadi pada bulan suci yaitu pada bulan Zulqaedah, dimana pada bulan ini dilarang
berkelahi menumpahkan darah, oleh sebab itu perang ini dinamakan Harbul Fijar yang
artinya perang yang memecahkan kesucian.

Semenjak wafatnya Abdul Muthalib, kota Mekah mengalami kemerosotan. Ketertiban


dan keamanan kota Mekah tidak terjaga dan tidak mendapat jaminan. Orang-orang asing
menderita banyak pemerasan dan perampokan termasuk juga terhadap anak dan istrinya.
Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, hal itu akan merugikan penduduk Mekah sendiri.
Akhirnya timbullah kesadaran dikalangan pemimpin-pemimpin Quraisy untuk
memulihkan ketertiban dan keamanan dikota Mekah. Maka berkumpullah pemuka-
pemuka dari bani Hasyim, bani Muthalib, bani Asad bin Uzza, bani Zuhrah bin Kilab,
dan bani Tamim bin Murrah. Dalam pertemuan ini para pemimpin mengikat sumpah
bahwa tidak seorangpun akan teraniaya lagi dikota Mekah. Dalam sejarah, sumpah ini
dinamakan Halfulfudhul. Nabi Muhamad s.a.w. konon menyaksikan pertemuan itu
dirumah paman beliau yakni Abdullah bin Juda'an, dikala usia nabi masih belasan tahun.

Meningkat masa dewasa, nabi Muhamad s.a.w. mulai berusaha sendiri dalam
penghidupannya. Karena dia terkenal sebagai orang yang jujur, maka seorang janda kaya
bernama Siti Khadijah mempercayai beliau untuk membawa barang dagangan ke Syam.
Dalam perjalanan beliau ditemani oleh seorang bujang Siti Khadijah yang bernama
Maisarah. Setelah selesai memperjualbelikan barang dagangan, dengan mendapatkan
laba yang tidak sedikit, mereka kembali ke Mekah. Sesudah nabi pulang dari perjalanan
Syam itu, datanglah lamaran dari Siti Khadijah kepada beliau, lalu beliau
menyampaikan lamaran itu kepada pamannya. Setelah tercapai kata sepakat,
pernikahanpun dilangsungkan, pada waktu itu usia nabi kira-kira 25 tahun dan usia Siti
Khadijah kira-kira 40 tahun. Perkawinan ini memberikan nabi Muhamad s.a.w.
ketenangan dan ketentraman.

Nama nabi Muhamad s.a.w. semakin bertambah populer dikalangan penduduk Mekah,
sesudah beliau mendamaikan pemuka-pemuka Quraisy dalam sengketa mereka
memperbaharui bentuk Ka'bah. Pada permulaannya mereka nampak bersatu dan gotong-
royong mengerjakan pembaharuan Ka'bah. Tetapi ketika sampai pada peletakan batu
hitam, Al Hajarul Aswad, ketempat asalnya, terjadilah perselisihan atas siapa yang
berhak meletakkan batu itu ketempat asalnya. Pada saat yang kritis ini, datanglah nabi
Muhamad s.a.w. dengan suatu usul dimana disetujui oleh mereka. Maka dimintailah
sehelai kain lalu dihamparkannya dan batu hitam itu diletakkan ditengah-tengah kain.
Kemudian disuruhnya tiap-tiap pemuka golongan Quraisy bersama-sama mengangkat
tapi kain ketempat asalnya. Ketika sampai ditempat asalnya, maka batu itu diletakkan
dengan tangannya sendiri ketempatnya.
Pada waktu ini usia nabi sudah mencapai 35 tahun.

D. Akhlak Nabi Muhamad s.a.w.

Dalam perjalan hidupnya sejak masih kanak-kanak hingga dewasa dan sampai
diangkat menjadi Rasul, beliau terkenal sebagai orang yang jujur, berbudi luhur dan
mempunyai kepribadian yang baik. Berbeda sekali dengan perilaku para pemuda dikota
mekah umumnya yang suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Karena demikian
jujurnya dalam perkataan dan perbuatan, maka beliau diberi julukan Al-Amin yang
artinya orang yang dapat dipercayai.

E. Muhamad s.a.w. menjadi Rasul

Ketika menginjak usia 40 tahun, Muhamad s.a.w. lebih banyak mengerjakan


tahannuts (menyiapkan diri untuk mendapat pemusatan jiwa yang lebih sempurna)
daripada waktu-waktu sebelumnya. Pada bulan Ramadhan dibawanya perbekalan yang
lebih banyak dari biasanya, karena akan ber-tahannuts lebih lama.

Pada malam 17 Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus tahun 610 Masehi,
diwaktu Muhamad s.a.w. sedang ber-tahannuts di gua Hira, datanglah Malaikat Jibril
membawa tulisan dan menyuruh nabi untuk membacanya. Katanya : "Bacalah", dengan
terperanjat Muhamad s.a.w. menjawab "Aku tidak dapat membaca". Beliau lalu
direngkuhnya beberapa kali oleh Malaikat Jibril sehingga nafasnya sesak, lalu
dilepaskannya seraya disuruhnya membaca sekali lagi : "Bacalah", tetapi Muhamad
s.a.w. masih tetap menjawab "Aku tidak dapat membaca". Begitulah keadaan berulang
sampai tiga kali dan akhirnya Muhamad s.a.w. berkata "Apa yang kubaca", kata
Malaikat Jibril :
"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Yang menjadikan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu teramat mulia. Yang mengajarkan dengan pena
(tulis baca). Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (Al-Alaq ayat
1-5)

Inilah wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada nabi Muhamad s.a.w.
Dan inilah pula saat penobatan beliau sebagai Rasulullah atau utusan Allah kepada
manusia untuk menyampaikan risalah-Nya. Pada saat diangkat menjadi Rasul, usia
beliau mencapai 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kalendar Qamariah (tahun bulan) atau
39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kalendar Syamsiah (tahun matahari).

Você também pode gostar