Você está na página 1de 4

Agama dan Korupsi

Oleh Muhamad Ali

INDONESIA adalah bangsa religius sekaligus bangsa terkorup di Asia.


Agama iya, korupsi juga iya. Seperti disinggung Albert Hasibuan, Bung
Hatta pernah mengatakan, "Korupsi telah menjadi seni dan bagian dari
budaya Indonesia." (Kompas, 10/6/02)

Padahal, seperti kata Samuel Huntington dalam Clash of Civilizations


(1996) dan Lawrence E Harrison dalam Culture Matters (2000), budaya
korupsi adalah penyebab terjadinya kemunduran dan keterbelakangan
suatu masyarakat. "Sebuah bangsa akan hancur ketika moralitasnya
hancur", tegas penyair Arab, Syauqi Beik. Sadar akan kenyataan ini,
kita bertanya-tanya, mengapa beragama tidak berarti tidak korupsi?

Keberagamaan macam apa yang dapat efektif mencegah korupsi?

Secara etimologis, korupsi (korruptie, bahasa Belanda) mengandung arti


kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan (riswah,
bahasa Arab), penggelapan, kerakusan, amoralitas, dan segala
penyimpangan dari kesucian. Dalam konteks politik, korupsi berarti
setiap tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang seperti
penyalahgunaan anggaran pembangunan.

Dampak korupsi tidak hanya bersifat ekonomis dan politik seperti high
cost economy dan kerugian negara, tetapi juga bersifat moral dan
budaya, yang menyebabkan bangsa ini sulit keluar dari krisis
multidimensi.
***
SEJAUH terkait dengan nilai dan moralitas, agama-agama memiliki
hubungan dengan korupsi, karena agama-agama selalu bicara dimensi
moral-spiritual. Namun, tidak jelas keterkaitan korupsi dan
keberagamaan. Begitu banyak orang yang dianggap alim dan saleh justru
berbuat korupsi. Rajin sembahyang tidak berkorelasi positif dengan
bersih dari korupsi.

Mengapa demikian? Apakah ini berarti agama gagal dalam mengubah


perilaku penganutnya ataukah penganutnya tidak tepat dalam memaknai
peran agama bagi dirinya?

Mungkin kita terlalu over-estimate terhadap peran agama. Agama sering


dipaksa untuk menjawab segala persoalan (panacea). Padahal, agama juga
sulit terpisahkan dari budaya masyarakat tertentu. Klaim bahwa agama
itu serba melingkup justru sering membawa penafsiran agama yang sempit
dan pemaksaan penafsiran yang jarang menyelesaikan masalah itu
sendiri. Keberagamaan sering justru menjadi bagian dari masalah itu
sendiri yang harus diatasi.

Namun, kita juga tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak


mampu mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal, tetapi tokoh dan
penganut agama itu yang belum memaknai agama secara tepat.

Agama itu sendiri berbeda dengan keberagamaan (religiosity). Kesalehan


individual belum tentu membawa kesalehan sosial dan profesional.
Agama-agama tidak membenarkan kebejatan, ketidakjujuran, dan segala
bentuk amoralitas sosial. Agama-agama mengajarkan moral mulia, budaya
malu, kukuh dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, etos kerja tinggi,
serta orientasi pada kemajuan dan prestasi. Agama-agama bertujuan
memperbaiki moralitas manusia.

Sayang, keberagamaan substantif semacam itu masih asing dalam wacana


dan perilaku umat beragama.
***
SALAH satu sebab korupsi adalah pandangan dunia (mind-set) sebagian
masyarakat yang keliru, yang dipengaruhi nilai-nilai agama dan budaya
yang tidak kondusif bagi kehidupan yang bersih. Bagi banyak orang,
agama atau iman lebih sering membelenggu ketimbang membebaskan. Agama
cenderung melangit, tidak membumi, mandul, tidak berdaya, kehilangan
vitalitas, kurang menggerakkan penganutnya untuk aktif membebaskan
diri dari perbuatan jelek, termasuk korupsi.

Penafsiran agama yang harfiah, teks-tual, dan kaku seperti doktrin


takdir bahwa Tuhan menentukan segalanya dan manusia cuma nrimo apa
adanya, membawa keberagamaan yang pasif dan tidak liberatif. Agama
sebatas bersifat formal, padahal pada saat yang sama pembusukan moral
sedang terjadi.

Bagaimana mengobyektifikasi agama sehingga ia berperan positif


terhadap upaya pemberantasan budaya korupsi? Apabila pendekatan
politik dan hukum lebih bersifat represif (meski juga bersifat
preventif) dalam pemberantasan korupsi, maka agama berlaku lebih pada
level preventif. Timbul anggapan, undang-undang antikorupsi dengan
sendirinya akan menjamin penanggulangan korupsi. Padahal, hukum kurang
menyentuh tataran preventif. Siapa yang dapat menjamin, gerak-gerik
seseorang setiap detik diperhatikan aparatur hukum?

Agama, dalam konteks demikian, memosisikan dirinya sebagai bimbingan


dan kontrol transendental (Ilahi). Bahwa penganut agama seharusnya
merasa dikontrol oleh Zat Yang Maha Tahu kapan pun dan di mana pun dia
berada. Selain itu, agama umumnya mengajarkan kehidupan sesudah mati.
Bahwa meski tindakan korupsi yang dilakukan di sini sempat lepas dari
pengawasan manusia, pengadilan di kemudian hari tidak akan
melepaskannya. Keberagamaan yang substantif semacam inilah yang dapat
mencegah penganut agama dari bertindak korupsi.

Sanksi agama umumnya lebih bersifat moral. Ada doktrin, seorang


pembunuh bisa dimaafkan Tuhan bila benar-benar bertobat (kembali
kepada kebaikan). Namun, sanksi manusia tetap harus dilaksanakan, baik
yang bersifat moral maupun hukum. Meski penekanan pada sanksi ternyata
menjadi salah satu sebab kegagalan penanggulangan korupsi, sanksi
moral tetap efektif dalam usaha antikorupsi. Misalnya, di lingkungan
kerja perlu dibudayakan sanksi moral: bahwa siapa saja yang kedapatan
menyuap atau menerima suap harus dikucilkan.

Larangan-larangan moral bahwa korupsi itu pekerjaan setan dan dikutuk


Tuhan harus digencarkan. Pamflet-pamflet antikorupsi harus
disebarluaskan di tempat-tempat kerja dan umum. Slogan-slogan
antikorupsi diperlukan untuk mengingatkan setiap orang ketika berniat
atau mendapat kesempatan bertindak korupsi. Materi-materi misi agama
harus memasukkan isu-isu korupsi dan kiat-kiat keagamaan untuk
menghindarinya. Mengecam korupsi dan melaporkan kasus-kasus korupsi
baik di tingkat instansi maupun di tingkat nasional, akan amat efektif
sebagai sanksi moral bagi pelaku korupsi dan sebagai upaya
discouragement siapa pun yang berniat korupsi.
***
PERAN lain agama adalah membasmi kemiskinan (culture of poverty)
sebagai salah satu sebab korupsi. Gaji kecil, misalnya, lebih mudah
memicu tindak korupsi. Karena itu, tidak heran di dunia ketiga,
tingkat korupsi lebih tinggi dari di negara maju. Meski kaya ternyata
bisa korupsi, bahkan kualitas korupsinya lebih tinggi.

Banyak kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan orang kaya dan


public figure. Namun, orang kaya yang berbuat korupsi sebenarnya
mengidap culture of poverty karena tidak kunjung merasa cukup. Karena
itu, agama mengajarkan budaya cukup (culture of adequateness) material
maupun mental spiritual. Kekayaan spiritual dalam wujud moralitas yang
mulia lebih berharga daripada kekayaan material yang diperoleh dan
dinikmati tanpa kemuliaan moralitas.

Kini, korupsi tidak terbatas di lembaga-lembaga "sekuler" saja, tetapi


"merajalela" dan mewabah pula di lembaga-lembaga "agama". Baik pada
partai-partai non-agama maupun partai-partai agama,
institusi-institusi keagamaan, semua bisa menjadi bagian dari budaya
korupsi. Begitu pula, organisasi-organisasi yang mengurus urusan
keagamaan seperti ibadah ritual (perjalanan haji, wakaf, zakat),
pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya, tidak steril dari korupsi.

Kemauan politik Presiden Megawati dalam pemberantasan korupsi seperti


diusulkan ahli hukum Albert Hasibuan, amatlah penting, tetapi tidak
memadai. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan LSM-LSM
seperti Indonesian Corruption Watch, Government Watch, dan Parliament
Watch, harus didukung masyarakat luas, termasuk ormas-ormas keagamaan
seperti NU dan Muhammadiyyah.

Salah satu sebab gagalnya penanggulangan korupsi adalah minimnya


dukungan masyarakat. Tokoh dan lembaga keagamaan tidak merasa menjadi
bagian dari gerakan-gerakan antikorupsi. Para penceramah agama paling
banter menyinggung soal korupsi dalam konteks sekadar menyerang lawan
politik yang dituduh melakukan korupsi (bersifat politis), bukan
mencari akar-akar penyebab korupsi dan bagaimana mengikis korupsi.
***

SALAH satu sebab gagalnya pemberantasan korupsi adalah kurangnya


fungsi pengawasan sesama masyarakat akibat ketidakpedulian. Dengan
adanya hierarki institusi keagamaan gereja dan ulama, tokoh agama yang
di atas melakukan pengawasan tokoh agama yang di bawah, begitu
seterusnya. Pada semua level itu, para tokoh agama mengawasi penganut
masing-masing. Begitu pula sesama penganut agama mengawasi tokoh
agamanya dan sesama penganut. Transparansi dan akuntabilitas tidak
hanya harus ditunjukkan pemerintah, tetapi juga civil society.

Begitu pula, lembaga lintas agama harus menyentuh soal korupsi sebagai
agenda bersama. Farid Esack (1997) telah merintis solidaritas
antaragama demi pembebasan dari ketidakadilan di Afrika Selatan.

Bagi kita, pluralisme juga berarti solidaritas dan kerja sama


memberantas korupsi. Saatnya kita memperkuat komitmen memberantas
korupsi melalui keberagamaan substantif liberatif sebagai modal sosial
kita yang sangat penting.

MUHAMAD ALI Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)


Syarif Hidayatullah Jakarta

Sumber Berita : Kompas 12 Juli 2002

Você também pode gostar