Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Anggota Kelompok 14 :
Gian Djohan 1406569876
Elgusta Masanari 1406531901
Bima Setyaputra 1406604664
Joshua Jese 1406559950
Taqi Aufa 1406572435
Soal 1 (P4-9B)
A reversible liquid phase isomerization A <-> B is carried out isothermally in a 1000 gallon
CSTR. The reaction is second order in both the forward and reverse directions. The liquid
enters at the top of the reactor and exits at the bottom. Experimental data taken in a batch
reactor shows the CSTR conversion to be 40%. The reaction is reversible with Kc = 3 at 300
K, and DHORX = -25000 cal/mol. Assuming that the batch data taken at 300K are accurate and
that E = 15000 cal/mol, what CSTR temperature do you recommended to obtain maximum
conversion?
Hint : Read Appendix C and assume DCp = 0 in the Appendix Equation (C-9) :
() = ( ) [ ( )]
Use Polymath to make a plot of X vs T. Does it go through a maximum? If so explain why?
Pembahasan:
The reaction itself:
A B
And the data that are provided:
T0 = 300 K
K CO (300K) = 3
V= 3785.4 dm3
Hereby the mole balance, rate law and stoichiometry in order:
FA0 X
V=
rA
2
= 0 [2 ]
= 0 (1 ), = 0
We know that V:
0
=
2 2
0 0 [(1 )2 ]
And then we can find Z substituting it with equation above, hereby the answer
0
= 2
0 0
2
[(1 )2 ]
=
Universitas Indonesia
3
= 2902.2dm3
Where:
= ( ) = 0 =
2 2
[(1 )2 ] [(1 )2 ]
1 1
= = ( [ ])
0 T0 T
HRx 1 1
K C = K CO exp [ ( )]
R T0 T
Polymath:
T = 300 K
When T = 301 K
Universitas Indonesia
4
When T = 303 K
When T = 304 K
When T = 305 K
Universitas Indonesia
5
When T = 305.5 K
When T = 306 K
When T = 307 K
MAXIMUM :
X = 0.42 at T = 305.5 K.
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
7
Universitas Indonesia
8
Universitas Indonesia
9
= 1 (3)
Hubungan laju alir volumetrik awal dan akhir dinyatakan melalui persamaan berikut
ini.
= (4)
Persamaan yang menghubungkan C A dan FA.
= (5)
Kombinasi persamaan (1), (4), dan (5) akan menghasilkan persamaan sebagai berikut.
(1 )
=
(6)
1
Substitusi persamaan (3) ke dalam persamaan (2) akan menghasilkan persamaan berikut
ini, dengan dV yang memenuhi W*D*dz.
(1 )
= 1
(7)
1
=
Untuk mengetahui pengaruh nilai curah hujan, laju evaporasi, konsentrasi atrazine, dan
laju alir air yang akan difitoremediasi, persamaan di atas dapat dimasukkan ke dalam
Polymath bersama dengan data-data yang diketahui.
1. Pengaruh curah hujan dan laju evaporasi
Curah hujan dan laju evpaporasi akan mempengaruhi satu variabel yang sama, yaitu
Q. Pada kasus pada wetland, ketika terjadi evaporasi di permukaan wetland, maka
Universitas Indonesia
10
nilai memiliki tanda positif (+). Ketika tidak terjadi penguapan, maka Q bernilai 0
dan ketika terdapat curah hujan, Q akan bernilai negatif (-).
Tabel 2.1. Keadaan-keadaan variabel Q
No. Keterangan Nilai Q
1. Terjadi penguapan +
2. Tidak terjadi penguapan maupun hujan 0
3. Terjadi hujan -
Pada simulasi yang dilakukan, Q1, Q2, dan Q3 masing-masing memiliki nilai : 1 x
10-5 kmol H2O/jam m2 ; 0 kmol H2O/jam m2 ; dan -1 x 10-5 kmol H2O/jam m2.
Universitas Indonesia
11
Universitas Indonesia
12
Universitas Indonesia
13
Jika terjadi evaporasi, volume air limbah akan berkurang, dengan demikian C A akan
meningkat. Peningkatan CA akan berdampak pula pada meningkatnya nilai laju
reaksi. Hal ini menandakan bahwa nilai konversi meningkat. Ketika konversi
meningkat, FA menurun. Sebaliknya, ketika terjadi hujan, volume air limbah akan
bertambah dan CA akan menurun. Penurunan CA akan berdampak pula pada
menurunnya nilai laju reaksi. Hal ini menandakan bahwa nilai konversi menurun.
Ketika konversi menurun FA meningkat.
2. Pengaruh CA0
Selain pengaruh variabel Q yang melambangkan laju evaporasi atau adanya curah
hujan, pengaruh konsentrasi awal bahan toksik (salah satunya atrazine) di dalam air
yang akan di fitoremediasi akan mempengaruhi nilai FA, x, dan rA. Pada simulasi
yang akan dilakukan dengan Polymath, nilai C AO divariasi dengan nilai 1 x 10 -4
mol/dm3 ; 1 x 10-5 mol/dm3; dan 1 x 10-6 mol/dm3.
Universitas Indonesia
14
Gambar 2.9. Perbandingan nilai FA terhadap z pada nilai CAO yang berbeda
Gambar 2.10. Perbandingan nilai r A terhadap z pada nilai CAO yang berbeda
Universitas Indonesia
15
Gambar 2.11. Perbandingan nilai x terhadap z pada nilai CAO yang berbeda
Semakin besar nilai CAO, nilai FAO akan semakin besar karena keduanya memiliki
hubungan kesebandingan. Meningkatnya nilai C AO akan menurunkan laju reaksi r A.
Hal ini dapat disebabkan karena nilai C AO terkecil yang diaplikasikan telah
memberikan kapasitas fitoremediasi yang maksimum, sehingga ketika nilai CAO
diperbesar, nilai konversi tetap dan nilai laju reaksi pada C AO yang lebih kecil
bernilai lebih besar.
3. Pengaruh V0
Vo menyatakan nilai laju alir volumetrik air yang masuk ke dalam wetland untuk
difitoremediasi. Untuk mengetahui pengaruh variasi nilai variabel ini pada FA, rA,
dan x, pada simulasi ini digunakan vo dengan nilai 10 m3/hr, 5 m3/hr dan 1 m3/hr.
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
Universitas Indonesia
18
Semakin tinggi nilai vO maka nilai konversi akan menurun. Penurunan nilai konversi
akan meningkatkan nilai FA. Selain itu, penurunan ini juga mempengaruhi laju
reaksi. Semakin rendah nilai konversi, nilai laju reaksi akan menurun.
2.3.2. Pemodelan Wetland sebagai Reaktor CSTR
Saat ini, kebanyakan desain konstruksi wetland dengan aliran bawah tanah berfokus
pada system dengan aliran horizontal. Sistem tersebut kemudian dimodelkan sebagai
bentuk Plug Flow Reactor (PFR). Pada pemodelan wetland, persamaan laju yang biasa
digunakan adalah persamaan laju reaksi orde pertama dan system berlangsung secara
steady state.
Sistem tersebut memiliki kekurangan. Pada kenyataannya, wetland tidak berlangsung
secara steady state. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan laju penghilangan
polutan. Selain itu, terdapat dugaan bahwa postulasi penggunaan persamaan PFR tidak
tepat karena fluida terdifusi ke segala arah selama pengaliran.
Beberapa studi menunjukan bahwa model wetland menggunakan persamaan CSTR
memiliki akurasi data dengan teori. Model tersebut berfokus pada zat organik yang
mudah terdegradasi secara biologis. Sementara itu, wetland seharusnya didesain untuk
penghilangan nutrient, seperti nitrogen.
Model wetland yang menggunakan persamaan CSTR mengasumsikan aliran fluida
terjadi secara vertikal. Pada system ini, perlu dilakukan pengadukan yang terus-
Universitas Indonesia
19
menerus sehingga terjadi distribusi konsentrasi yang merata. Sistem ini mengasumsikan
laju degradasi polutan sebagai laju degradasi orde pertama. Selain itu, pola alir kolom
vertical pada setiap posisi akan sama dengan pola alir bulk-nya.
Model wetland dengan menggunakan persamaan CSTR dengan laju reaksi orde
pertama akan menghasilkan data prediksi yang lebih dekat dengan hasil uji coba
laboratorium. Hal-hal yang mempengaruhi koefisien kinetik dalam model ini adalah
konsentrasi polutan, kedalaman air, dll.
bola. R max
R min
Gambar 3.1. Penampang 2D plat untuk membuat bagian atas diamond (a) Ilustrasi Tampak reaktor (b)
Sumber: www.google.com
Universitas Indonesia
20
R vs L
1
0,5
Radius (ft)
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5
-0,5
-1
Lengh (ft)
Gambar 3.2. Grafik yang menyatakan besar jari-jari terhadap panjang reaktor
W (lb)
0,6 80
60
0,4
Y X W 40
0,2
20
0 0
0 0,5 1 1,5 2
Z (ft)
(a)
Universitas Indonesia
21
1 120
100
0,8
80
X dan y
W, lb
0,6
60
0,4
40
X y W (lb)
0,2 20
0 0
0 0,3 0,6 0,9 1,2 1,5 1,8
z, ft
(b)
1 60
50
0,8
40
X dan y
W, lb
0,6
30
0,4
20
X
0,2 y
10
W (lb)
0 0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
z pipa, ft
(c)
Gambar 3.3. Hasil simulasi Reaktor Diamond (a), reaktor bola (b) dan reaktor pipa (c)
Berdasarkan hasil simulasi, terlihat bahwa reaktor mampu menghasilkan konversi
mendekati 100% dengan panjang reaktor jauh lebih pendek dibandingkan dengan reaktor
pipa. Oleh Karena itu dapat dikatakan reaktor tersebut cukup efesien.
Universitas Indonesia
22
Referensi
Fogler, H. Scott. 2000. Elements of Chemical Reaction Engineering 3rd edition. Prentice Hall
International Series.
Universitas Indonesia