Você está na página 1de 24

Latar belakang Epilepsi merupakan kelainan kronik dari sistem saraf pusat

yang ditandai dengan gejala yang khas, yaitu kejang berulang lebih dari 24 jam.1
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut
sebagai kelainan idiopatik. Penyakit ini paling sering terjadi pada anak di bawah 1
tahun dan orang tua (di atas usia 65 tahun).2 Menurut penelitian dari World
Health Organization (WHO), ditemukan sekitar 50 juta orang di seluruh dunia
menderita epilepsi. Keadaan sosial ekonomi yang rendah berdampak terhadap
meningkatnya risiko kejadian epilepsi. Sekitar 80% dari total penderita epilepsi di
seluruh dunia ditemukan di negara berkembang.

. Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak, yang
berdampak terhadap tumbuh-kembang anak. Epilepsi merupakan diagnosis klinis, insidensnya
bervariasi di berbagai negara. Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan untuk melihat fokus
epileptogenik, sindrom epilepsi tertentu, evaluasi pengobatan, dan menentukan prognosis. Pencitraan
dilakukan untuk mengetahui adanya fokus epilepsi dan kelainan struktur otak lainnya.

I. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International


Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Bangkitan epileptik
didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat
aktivitas neuron yang berlebihan yang terjadi di otak
Epilepsi adalah penyakit otak yang didefinisikan oleh salah satu kondisi
berikut

1. Terdapat minimal dua episode kejang tanpa diprovokasi yang terjadi >24
jam secara terpisah
2. Terdapat satu episode kejang tanpa diprovokasi, namun rekurensi dalam
10 tahun ke depan sama dengan risiko rekurensi (minimal 60%) setelah
dua episode kejang tanpa provokasi
3. Diagnosis sindrom epilepsi sudah ditegakkan
ILAE official report: a practical clinical definition of epilepsy.
Fisher RS1, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger
CE, Engel J Jr, Forsgren L, French JA, Glynn M, Hesdorffer DC, Lee
BI, Mathern GW, Mosh SL, Perucca E, Scheffer IE, Tomson
T, Watanabe M, Wiebe S.
Epilepsia. 2014 Apr;55(4):475-82. doi: 10.1111/epi.12550. Epub 2014 Apr
14.

Sindrome epilepsi?

No. 2?

3.2 Epidemiologi

Insidensi angka kejadian epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai


negara dengan variasi yang luas, yaitu sekitar 41-187/100.000 anak. Insidensi
meningkat pada negara belum maju dibandingkan dengan negara maju. Angka
insidensi meningkat dilaporkan pada tahun pertama kehidupan dan menurun pada
saat dewasa dengan menurunnya dekade pertama. Prevalensi epilepsi pada anak-
anak berada pada range 3.2-5.5/1,000 di negara berkembang dan 3.6-44/1,000 di
negara yang belum maju.
Angka prevalensi penderita epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5 4 %
dengan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk. Insidens epilepsi
dalam 4 tahun adalah 5,3% dari kasus yang berobat di Indonesia. Insidens
terbanyak pada kelompok umur 1-5 tahun (42%), sedangkan onset terbanyak pada
kelompok umur <1 tahun (46%).
Ditemukan 276 kasus epilepsi, dengan insidens 5,3%, terutama terjadi
pada anak laki-laki (56,9%) mempunyai risiko lebih tinggi menderita epilepsi,
tetapi tidak ditemukan perbedaan ras. Ditinjau dari jenis kejang, terbanyak
ditemukan epilepsi umum tonik-klonik (62%).
Sari Pediatri, Vol. 13, No. 2, Agustus 2011

Incidence, prevalence and aetiology of seizures and epilepsy in children.

Camfield P1,

http://saripediatri.idai.or.id/abstrak.asp?q=752

3.3 Etiologi

Epilepsi disebabkan oleh beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi otak,


antara lain:
1. Idiopatik: Biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi
mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan fisik juga
normal dan umumnya predisposisi genetik.

2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum


diketahui, seperti sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada struktural otak yang


mendasari Misalnya: trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat,
kelainan kongenital, lesi desak ruang di otak, gangguan pembuluh
darah otak, toksik (alkohol dan obat), gangguan metabolik, kelainan
neurodegeneratif.

Etiologi epilepsi dilihat dari umur, biasanya disebabkan paling sering


karena pada bayi terjadi asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma intrakranial
waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada otak, atau infeksi,
pada anak dan remaja kebanyakan epilepsi idiopatik.
a. Faktor prenatal
- Usia ibu saat hamil : umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi
kehamilan dan persalinan. Komplikasinya antara lain
hipertensi dan eklamsia, gangguan persalinan yaitu prematur,
berat bayi lahir rendah, partus lama. Pada kondisi tersebut
mengakibatkan janin asfiksia. Hipoksia mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan
yang memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah
hipokampus dan selanjutnya menimbulkan fokus
epileptogenik.
- Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi : eklamsia dapat
menyebabkan asfiksia pada bayi. Hipertensi pada ibu dapat
menyebabkan aliran darah ke placenta berkurang, sehingga
berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan BBLR.
- Kehamilan primipara atau multipara : pada primipara sering
terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan juga dapat
terjadi pada multipara yang dapat menimbulkan cedera karena
kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi atau kompresi
otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak.

b. Faktor natal
- Asfiksia : hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian
cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi oedema otak.
Daerah yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti-inti pada
batang otak, talamus, dan kolikulus inferior, sedangkan
terhadap iskemia adalah watershead area yaitu daerah
parasagital hemisfer yang mendapat vaskularisasi paling
sedikit.
- Berat badan lahir rendah : bayi BBLR dapat mengalami
gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia.
- Kelahiran prematur atau postmatur : bayi prematur
perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga
belum berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler
terjadi pada 50% bayi prematur. Hal ini disebakan karena
sering apnea, asfiksia berat dan sindrom gangguan pernapasan
sehingga bayi menjadi hipoksia. Bayi yang dilahirkan lewat
waktu merupakan bayi postmatur. Pada keadaan ini terjadi
penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen
akan menurun.
c. Faktor postnatal
- Kejang demam : kejang demam yang berkepanjangan
menyebabkan iskemia otak, dan yang paling terkena
dampaknya adalah lobus temporalis.
- Trauma kepala atau cedera kepala
- Infeksi sususan saraf pusat : meningitis, ensefalitis.
- Gangguan metabolik : serangan epilepsi dapat terjadi dengan
adanya gangguan pada konsentrasi serum glukosa, kalsium,
magnesium, potassium dan sodium.

3.4 Faktor pencetus


Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
1. Kurang tidur
2. Stress emosional
3. Demam
4. Terapi obat anti epilepsi yang kurang adekuat
5. Trauma kepala
6. Terlalu lelah
7. Fotosensitif

3.5 Klasifikasi

Klasifikasi epilepsi menurut ILAE 2016:

3.5.1 Kejang fokal

3.5.1.1 Kejang fokal dengan kesadaran baik

- Dengan gejala motorik


. Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot.
Sebagai contoh , seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal
seperti jari tangan menghentak atau kekakuan pada sebagian tubuh.
Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap pada satu sisi tubuh

- Dengan gejala sensorik


Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang
dengan kejang sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu
yang sebenarnya tidak ada disitu, mendengar bunyi berdetak,
bordering atau suara seseorang ketika suara yang sebenarnya tidak
ada, atau merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati rasa
(kebas). Kejang mungki terasa sangat menyakitkan pada beberapa
pasien. Mereka akan merasa seperti berputar. Mereka juga
mungkin mengalami ilusi. Untuk singkatnya mereka mungkin
percaya bahwa mobil yang sedang diparkir bergerak pergi atau
suara seseorang seperti teredam ketika seharusnya terdengar jelas.

- Dengan gejala otonom


Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system
saraf yang secara otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini
biasanya meliputi perasaan asing atau tidak nyaman pada
perut,dada dan kepala, perubahan pada denyut jantung dan
pernafasan, berkeringat.

- Dengan gejala psikis


Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan
pengalaman akan sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan
memori, kata yang terbalik saat berbicara, ketidakmampuan untuk
menemukan kata yang tepat atau bermasalah dalam memahami
percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan tiba-tiba merasa
takut, depresi atau bahagia dengan alasan yang tidak jelas.
Beberapa pasien mungkin merasa seperti mereka berada diluar
tubuhnya atau merasa dejavu (pernah mengalami sebelumnya).

3.5.1.2 Kejang fokal dengan kesadaran terganggu


Biasanya kejang akan terjadi 30 detik sampai 2 menit. Setelah
kejang biasanya penderita akan lelah atau bingung selama 15 menit dan
mungkini tidak sadar selama satu jam. Kejang ini biasanya berawal dari
sebagian kecil area pada lobus temporal atau frontal otak. Kemudian
dengan cepat meliputi area lain pada otak yang mempengaruhi kesadaran
dan siaga. Jadi walaupun mata penderita terbuka dan mereka membuat
gerakan seperti memiliki tujuan, pada kenyataannya mereka tidak
menyadari apa yang mereka lakukan.

3.5.2 Kejang umum


3.5.2.1 Absens (Lena)
Kejang absence biasanya terjadi kurang dari 10 detik, tetapi kejang
ini dapat berlangsusng selama 20 detik. Kejang ini berawal dan
berakhir tiba-tiba.

Kejang absence adalah episode singkat terpaku. Nama lain dari


kejang absence adalah petit mall. Selama kejang kesadaran dan
kemampuan untuk bereaksi melemah. Seseorang yang mengalami
kejang absence biasanya tidak menyadari apa yang telah terjadi.
Kebanyakan kejang absence memperlihatkan kejang absence
kompleks. Yang diartikan terdapat perubahan pada aktivitas otot.
Gerak kepala yang paling sering adalah kedipan mata. Gerak kepala
lainnya meliputi gerak pada mulut, pergerakan tangan seperti
menggosok jari bersama dan kontraksi atau relaksasi otot. Kejang
absence kompleks sering terjadi lebih dari 10 detik.

Kejang absence biasanya dimulai saat berumur 4 sampai 14 tahun.


Anak yang menderita penyakit ini biasanya tumbuh kembang dan
intelegensinya normal. Mendekati 70% kasus, kejang absene biasanaya
akan berhenti pada usia 18 tahun.

3.5.2.2 Mioklonik

Kejang mioklonik terjadi singkat, kaget seperti tersentak pada otot


atau beberapa kelompok otot

3.5.2.3 Klonik
Kejang klonik terdiri dari ritme gerakan menghentak pada tangan
dan kaki, terkadang pada kedua sisi tubuh. Lama terjadinya kejang
sangat bervariasi. Klonus berarti pertukaran yang cepat antara kontraksi
dan relaksasi otot atau dengan kata lain gerakan menghentak yang
berulang.

Gerakannya tidak bisa dihentikan dengan mengendalikan atau


memposisikan tangan dan kaki. Kejang klonik sangat jarang terjadi.

Kejang yang lebih biasa ditemukan adalah kejang tonik klonik


dimana gerakan menghentak didahului gerakan seperti terpaku. Kejang
klonik tidak sering dijumpai. Kejang ini dapat terjadi pada setiap usia
termasuk pada bayi baru lahir. Kejang klonik cepat dan jarang terjadi
pada bayi biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam jangka
waktu singkat. Pada beberapa kasus mungkin membutuhkan terapi
yang lama
3.5.2.4 Tonik
Kejang klonik biasanya terjadi lebih dari 20 detik. Kesadaran
biasanya masih terpelihara. Kejang tonik paling sering terjadi pada saat
tidur dan biasanya meliputi seluruh otak yang mempengaruhi seluruh
tubuh. Jika orang itu berdiri biasnya akan jatuh

3.5.2.5 Atonik
Kejang tonik terjadi lebih dari 15 detik. Pada kejang atonik, otot
dengan tiba-tiba kehilangan kekuatannya. Kelopak mata mungkin
tertutup, kepala mungkin menganggukdan penderita mungkin
menjatuhkan sesuatu dan sering jatuh kelantai. Kejang ini sering
disebut sebagai drop attack atau drop seizure. Penderita biasanya tetap
sadar. Kejang atonik sering dimulai sejak kecil dan biasanya berakhir
sampai remaja. Banyak orang dengan kejang atonik mengalami luka
ketika mereka terjatuh

3.5.2.6 Tonik-klonik
Umumnya kejang tonik klonik terjadi selama 1-3 menit. Kejang
tonik klonik yang berakhir lebih lama dari 5 menit mungkin harus
memanggil bantuan medis. Kejang yang berakhir lebih dari 30 menit
atau tiga kali kejang tanpa periode jeda yang normal mengindikasikan
kondisi yang berbahaya disebut juga sebagai status epileptikus. Kejang
ini membutuhkan terapi emergency.

Kejang ini adalah kejang yang biasanya diketahui oleh masyarakat


secara umum. Kejang ini disebut juga sebagai grand mall. Seperti
namanya kejang ini merupakan gabungan dari kejang tonik dan kejang
klonik. Fase tonik datang pertama ditandai dengan semua otot menjadi
kaku. Udara secara paksa dikeluarkan dari pita suara yang
menyebabkan tangisan atau erangan. Orang tersebut akan kehilangan
kesadaran dan jatuh kelantai. Lidah dan pipi bagian dalam mungkin
tergigit. Jadi ludah yang bercampur darah mungkin keluar dari mulut.
Wajah orang tersebut mungkin akan berubah jadi kebiruan. Setelah
fase tonik akan terjadi fase klonik. Tangan dan kaki biasanya akan
mulai menghentak dengan cepat dan berirama, gerakan menekuk dan
relaksasi pada siku, pangkal paha dan lutut. Setelah beberapa menit
gerakan menghentak akan melambat dan berhenti. Isi kandung kemih
dan perut terkadang ikut keluar saat tubuh relaksasi. Kesadaran
kembali perlahan dan orang tersebut mungkin mengantuk, bingung,
atau depresi. Penderita yang mengalami kejang ini dapat anak-anak
maupun orang dewasa.

3.6 Patofisiologi

Otak terdiri dari milyaran sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik
dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains
inhibitory neurotransmitter.
Dalam keadaan normal terjadi keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
sehingga potensial membran dipertahankan sebesar 70 mV. Pada keadaan dimana
eksitasi meningkat, inhibisi menurun, atau terjadi keduanya, terjadi depolarisasi
(potensial membran menjadi lebih positif). Jika potensial membran mencapai
ambang tertentu, terjadilah lepas muatan listrik.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,
bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptik
(fokus pembangkit serangan kejang). Akibat hipereksitasi neuron pada fokus
epileptik sehingga terjadi lepas muatan listrik terjadi berkali-kali. Fokus epileptik
dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya lalu ke hemisfer
sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk
bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri,
thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge
epileptiknya.
Dalam sistem eksitasi, glutamat berikatan dengan beberapa reseptor di
postsinaps yaitu reseptor NMDA (NmethylDaspartate) dan AMDA. Reseptor
NMDA memiliki peranan yang penting dalam proses belajar dan daya ingat.
Stimulasi berlebihan reseptor NMDA menyebabkan masuknya Ca2+ dalam
jumlah besar. Ca2+ tersebut akan menyebabkan destruksi enzim intrasel yaitu
endonuklease dan protease, yang berakibat kerusakan dan kematian sel tersebut.

3.7 Manifestasi klinik


3.7.1 Kejang umum (generalisata)
Kejang umum adalah kejang yang melibatkan kedua belah hemisfer dan
menyebabkan hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara
menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau
abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik
kemudian klonik, dan inkontenesia urin atau alvi (atau keduanya), disertai
disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh
mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik
memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian
berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah
kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah
mungkin tergigit, hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan
lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode
tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit.
Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong.
Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat
mengingat kejadian kejangnya.

3.7.2 Absance (Petit mal)


Kejang non-konvulsif ketika tiba-tiba aktivitas motorik terhenti, pasien
tampak kosong dapat disertai automatisme terutama didaerah wajah seperti
mengedip-ngedip, dan tidak disertai aura. Absance umumnya berlangsung
30detik, tidak ada periode kebingungan atau mengantuk post iktal sehingga pasien
akan langsung melanjutkan aktivitas sebelumnya.

3.7.3 Bangkitan mioklonik


Bangkitan berupa gerakan involunter terjadi kontraksi tiba-tiba, aritmik,
singkat (<1 detik) dari otot atau sekelompok otot di berbagai bagian tubuh
(ektremitas distal, proksimal maupun aksial).

3.7.4 Kejang atonik

Hilang atau melemahnya tonus otot secara mendadak.

3.7.5 Kejang klonik

Terjadi kontraksi tiba-tiba, aritmik, frekuensi 2-3x/detik dengan gerakan


otot menyentak dan berulang secara reguler.

3.7.6 Kejang tonik

Peningkatan kontraksi tonus otot yang menetap beberapa detik hingga


menit, biasanya melibatkan otot wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan
ekstensi tungkai, mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi, sehingga dapat
menyebabkan henti nafas.

3.7.7 Epilepsi fokal


Pada kejang fokal hanya salah satu hemisfer yang terlibat dan anak dapat
mengalami penurunan kesadaran atau tidak. Aura merupakan tanda khas kejang
fokal.
3.7.7.1 Kejang fokal tanpa penurunan kesadaran (kejang fokal simpleks)
Paling sering disertai gejala motorik berupa gerakan tonik atau klonik yang
tidak sinkron, meliputi daerah wajah, leher, dan ekstremitas. Dapat disertai aura
atau hanya aura saja yang muncul tanpa aktivitas motorik. Contoh aura yang
sering muncul adalah sakit kepala, sakit dada, lemas, perasaan tidak enak, nyeri
ulu hati, atau ketakutan. Kejang berlangsung 10-20 detik. Versive seizures
merupakan tanda kejang fokal, yaitu kepala menoleh disertai gerakan mata
konjugat.
3.7.7.2 Kejang fokal disertai penurunan kesadaran (kejang fokal kompleks)
Kejang seringkali disertai aura. Terdapat otomatisme pada sebagian besar
kejadian, pada bayi dominan di daerah oral sepertimengecap-ngecap, mengunyah
atau hipersalivasi, sementara pada anak lebih dewasa berupa gerakan tidak
bertujuan dan tidak terkoordinasi seperti menggaruk benda, berjalan atau berlari
kea rah sembarang atau tampak ketakutan. Total berlangsung 1-2menit. Kejang
fokal dapat berlanjut menjadi kejang umum tonik-klonik. Kejang fokal kompleks
sering disebabkan karena lesi struktural, seperti mesial temporal sclerosis, infark
atau malformasi arterivena.

3.8 Diagnosis
3.8.1 Anamnesis

Bangkitan kejang yang terjadi perlu diketahui mengenai pola serangan,


keadaan sebelum, selama, dan sesudah serangan, lama serangan, frekuensi
serangan, waktu serangan terjadi dan faktor-faktor atau keadaan yang dapat
memprovokasi atau menimbulkan serangan. Ditanyakan apakah ada gejala
prodromal, aura, keadaan selama serangan, dan keadaan setelah terjadi serangan.
Perlu diusahakan diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan, agar dapat
diketahui fokus serta mengetahui jenis epilepsinya.

Apakah ada rangsang tertentu yang menimbulkan serangan, misalnya


bernafas dalam, lapar, letih, menstruasi, obat-obatan tertentu dan sebagainya.

Riwayat penyakit keluarga ditanyakan apakah ada keluarga yang


menderita epilepsi, penyakit saraf, dan penyakit lainnya. Hal ini misalnya perlu
untuk mencari faktor resiko keturunan.

Riwayat penyakit dahulu ditanyakan mengenai keadaan ibu ketika hamil,


misalnya penyakit yang diderita, perdarahan pervaginam, obat yang dimakan.
Secara teliti ditanyakan pula mengenai riwayat kelahiran penderita, apakah letak
kepala, letak sungsang, mudah atau sukar, apakah digunakan cunam atau vakum
ekstraksi atau seksio kaesar, apakah terdapat perdarahan antepartum, ketuban
pecah dini, asfiksia. Penyakit apa saja yang pernah diderita. Bagaimana
perkembangan kecakapan mental dan motorik anak.

3.8.2 Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatrik dan


neurologis. Pada pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran, kecakapan,
motorik dan mental, tingkah laku, berbagai proses intrakranium, fundus okuli,
penglihatan, pendengaran, saraf otak lain, sistem motorik, sistem sensorik, reflek
fisiologis dan patologis.

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan


epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3.8.3 Pemeriksaan Penunjang


3.8.3.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium darah yang dilakukan pemeriksaan darah tepi


rutin. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi, misal pemeriksaan gula darah
dan elektrolit.

3.8.3.2 Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)

Pemeriksaan EEG dilakukan atas indikasi untuk mengkonfirmasi


kecurigaan klinis terhadap epilepsi setelah melakukan evaluasi klinis secara
seksama, untuk membantu memprediksi risiko rekuren kejang setelah kejang
pertama tidak terprovokasi(epilepsi) terjadi, membantu menegakan diagnosis
sindrom epilepsi, menentukan prognosis pada kasus tertentu, untuk mengetahui
jenis kejang (fokal atau umum), untuk membantu dalam memilih obat antiepilepsi
, memonitor pengobatan epilepsi, membantu menentukan letak fokus, dan bila ada
perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya.

Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi


struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal jika:

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG
hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3
siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak
(sinkron).

The Royal Children's Hospital Melbourne

Telephone +61 3 9345 5522

50 Flemington Road Parkville Victoria 3052 Australia

EEG pre-referral guidelines.


http://www.rch.org.au/neurology/professionals/EEG_pre-referral_guidelines/
3.8.3.3 Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.

3.8.3.4 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat


struktur otak dan melengkapi data EEG.
Indikasi pemeriksaan radiologi pada pasien epilepsi adalah pada semua
bangkitan pertama yang diduga kelainan struktural, adanya perubahan bentuk
bangkitan, terdapatnya defisit neurologis fokal, epilepsi dengan bangkitan parsial,
bangkitan pertama diatas usia 25 tahun, dan untuk persiapan tindakan
pembedahan epilepsy.

Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hipokampus kanan dan kiri

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan


melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

3.9 Tatalaksana

3.9.1 Saat kejang


Pertama pastikan jalan napas bebas, ventilasi, dan sirkulasi dalam keadaan
baik. Longgarkan pakaian yang ketat, baringkan anak dalam posisi miring agar
lendir atau cairan dapat mengalir keluar. Leher dan rahang hiperekstensi agar
jalan napas beabs. Boleh masukkan handuk kecil ke dalam mulut untuk mencegah
lidahnya tergigit, namun jangan dipaksa baik menggunakan benda keras maupun
jari, agar tidak ada gigi yang tanggal dan tertelan atau teraspirasi. Lakukan
pemeriksaan tekanan darah, suhu, dan glukosa darah. Singkirkan penyebab
berbahaya yang dapat menyebabkan kejang, seperti trauma, infeksi, atau
keracunan. Langkah berikutnya adalah memastikan bahwa kejang disebabkan
karena epilepsy bukan etiologi lain.

3.9.3 Medikamentosa

Pilihan antikonvulsan berdasarkan jenis bangkitan kejang menurut ILAE


2013

Kejang fokal Kejang umum Absance BECTS JME


tonik-klonik epilepsi
Pilihan Oxcarbazepine Carbamazepin, Ethosuximide, Carbamazepin, Asam
pertama Phenobarbital, Asam Valproat, Asam Valproat Valproat,
Phenytoin, Lamotrigin Topiramate
Topiramate,
Asam Valproat
Alternatif Carbamazepin, Oxcarbazepine - Gabapentin, -
Phenobarbital, Sulthiame
Phenytoin,
Topiramate,
Asam Valproat

ILAE evidence review of antiepileptic drug efficacy


and effectiveness as initial monotherapy for epileptic
seizures and syndromes
*Tracy Glauser,

Elinor Ben-Menachem,

Blaise Bourgeois,

Avital Cnaan,

Carlos Guerreiro,
#Reetta Ka

lvia

inen, **Richard Mattson,

Jacqueline A. French,

Emilio Perucca,

Torbjorn Tomson for the ILAE subcommission of AED Guidelines
Epilepsia
, **(*):113, 2013
doi: 10.1111/epi.12074
a. Obat-obat yang menginaktivasi kanal Na+
Inaktivasi kanal Na dapat menurunkan kemampuan saraf unruk menghantarkan
muatan listrik. Contoh obatnya adalah, fenitoin, karbamazepin, lamotrigin,
okskarbazepin, dan valproat.
b. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitor GABAnergik
1) Agonis reseptor GABA : meningkatkan transmisi inhibitor dengan
meningkatkan kerja reseptor GABA, contoh : benzodiazepine, barbiturate.
2) Menghambat GABA transaminase : meningkatkan konsentrasi GABA,
contoh : Vigabatrin
3) Menghambat Gaba Transporter : untuk memperlama aksi GABA, contoh :
tiagabin
4) Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal :
menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikula pool, contoh : gabapentin

Pemilihan obat harus berdasarkan efektivitas mengontrol kejang dan efek


samping paling sedikit. Berikan dosis awal seminimal mungkin yang dapat
mengontrol kejang, dosis dinaikkan secara bertahap sampai kejang terkontrol atau
efek samping yang tidak diinginkan muncul. Jika dengan obat lini pertama dosis
maksimal kejang belum terkontrol evaluasi ulang: (1) Keteraturan minum obat,
(2) Apakah diagnosis epilepsi sudah benar, (3) Apakah serangan yang masih
timbul memang manifestasi kejang, (4) Adakah faktor pencetus seperti kurang
tidur, kelelahan.

Obat lini kedua dapat ditambahkan bila faktor pencetus dapat disingkirkan.
Rujuklah pasien jika membutuhkan 2 macam anti-epilepsi.

Bila tanpa melihat jenis bangkitan kejang, dapat diebrikan terapi berikut:

Obat lini pertama:

- Asam valproate 10-40mg/KgBB/hr, dalam 2-3 dosis

- Fenobarbital 4-5mg/KgBB/hr, dalam 2 dosis

- Carbamazepin 10-30 mg?kgbb/hr, dalam 2-3 dosis

- Fenitoin 50-7mg/KgBB/hr dalam 2 dosis.

Obat lini kedua:

-Topiramate (Topamax) dosis inisial 1-3mg/KgBB/hr, naikkan perlahan dengan


interval 1-2minggu

-Lamotrigine (Lamictal) dosis inisial 0.15mg/ KgBB/hr dalam 2 dosis selama 2


minggu, lalu naikkkan menjadi 0.3mg/KgBB/hr dalam 2 dosis

-Levetirasetam (keppra) dosis inisal 10mg/kgbb/hr dalam 2 dosis


-ACTH atau steroid dapat digunakan untuk infantile spasm atau epilepsi berat
yang tidak terkontrol dengan medikasi lain.

Kadar antikonvulsan pada serum harus diukur pada saat dimulai terapi.
Follow up rutin dilakukan untuk mengontrol kepatuhan minum obat, kejang
terkontrol atau tidak, dan efek samping dari obat.

Lamanya terapi antikonvulsan diberikan bergantung pada jenis bangkitan


kejang dan gambaran klinis serta EEG, yaitu:

Pada kejang neonatus, antikonvulsan dapat dihentikkan hingga satu tahun


hingga terjadi perbaikan klinis dan EEG.
Pada anak dengan kejang umum tonik-klonik, antikonvulsan diberikan
hingga 2 tahun bebas kejang, namun bila pada pemeriksaan EEG masih
ditemukan kelainan terapi dilanjutkan hingga 3 tahun bebas kejang
Pada anak dengan kejang fokal, antikonvulsan diberikan hingga 2 tahun
bebas kejang.
Pada anak dengan juvenile myoclonic, antikovulsan dapat diberikan seumur
hidup.

Pemberhentian terapi antikonvulsan harus dilakukan secara bertahap dalam


3-4bulan, karena bila dilakukan tiba-tiba dapat memicu episode kejang lainnya.
KEJANG
(A) Diazepam IV : 0,3-0,5 mg/Kg BB
atau Diazepam rektal : BB < 10 Kg = 5 mg
BB > 10 Kg = 10 mg
0 -5 menit
3.10 Prognosis

Remisi didefinisikan sebagai periode bebas kejang minimal 5 tahun dengan


penggunaan obat-obatan anti-epileptik.

1. Umumnya baik, 70-80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh


dengan terapi yang optimal dan 75% akan bisa berhenti menggunakan
obat antikonvulsan tanpa kembali mengalami rekurensi.
2. 20-30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis, pada
keadaan ini pengobatan menjadi semakin sulit, dan 5% diantaranya
akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, pasien dengan defisit
neurologis sebelumnya (seperti retardasi mental atau cerebral palsy),
usia saat onset pertama kejang >12 tahun, riwayat kejang neonatus
sebelumnya, dan frekuensi kejang yang tinggi sebelum kontrol optimal
tercapai. Pada kelompok pasien ini, angka remisi lebih rendah dan
rekurensi lebih tinggi. Prognosis dikatakan buruk.

3.11Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat epilepsi diantarnya adalah
sebagai berikut :
1. Gangguan kognitif, terdapat bukti jelas bahwa kejang dapat
menyebabkan defisit fungsi kognitif yang dapat bertahan sampai satu
jam atau lebih setelah kejang.
2. Penurunan daya ingat
3. Pemusatan perhatian, hal ini sering terjadi pada penderita epilepsi.
Penurunan atensi lebih sering terjadi pada anak dengan epilepsi
dibandingkan populasi umum
DAFTAR PUSTAKA

Wishwadewa, W N. et al. 2008. Kualitas hidup anak epilepsy dan faktor-faktor


yang mempengaruhi di departemen ilmu Kesehatan anak FKUI/RSCM
Jakarta. Sari pediatric. 10 : 272 -279

Murtasid. et al. 2011. Pengaruh obat anti epilepsy terhadap gangguan daya ingat
pada epilepsy anak. Sari Pediatric. 12 ; 302 306

Suwarba, I G N M. 2011. Insidens dan karakteristik klinis epilepsy pada anak.


Sari pediatric. 13 : 123 128

Fisher RS, Boas WE, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al. 2005. Epileptic
seizures and epilepsy: definition proposed by the International League
Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE).
Epilepsia; 46(4):470-2
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses Proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC. Hal.1158-1164

Utomo, Tranggono Y. 2011. Dosis dan Lama Pemberian Fenitoin Sebagai Faktor
Risiko Timbulnya Hiperplasia Ginggiva Pada pasien Epilepsi. Tesis. Program
pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang
(Dipublikasikan)
Ikawati, Zullies. 2009. Epilepsi:Lecture Notes. (Online) Diakses di:
zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp.../epilepsy.pdf Pada tanggal 10
Desember 2012.
Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. 2008. Pendahuluan, definisi, klasifikasi,
etiologi, dan terapi. Dalam: Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Jakarta:
PERDOSSI hal.1-13

Você também pode gostar