Você está na página 1de 6

Agama dan kekuasaan adalah dua hal saudara kembar.

Agama
adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala
sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu
yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap.

IMAM AL-GHAJALI

Agama dan politik adalah dua hal yang integral. Semua agama pasti membutuhkan
kekuasaan yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi umatnya serta memberikan
perlindungan kepada pengikut setia yang menyebarkan ajarannya. Oleh karena itu, Islam
tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara, sebab Islam
bukanlah agama yang mengatur ibadah secara individu saja. Namun, Islam juga mengajarkan
bagaimana bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat yang menyangkut
kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap
rakyat, serta menjadi pencegah adanya kezholiman oleh penguasa.

Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Ini kalau kita
memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan
syariat Islam. Terlebih lagi memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam hukumnya
fardlu (wajib) sebagaimana Rasulullah bersabda :

"Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari
orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin
maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".

Oleh karena itu setiap saat kaum muslimin harus senantiasa memikirkan urusan umat,
termasuk menjaga agar seluruh urusan ini terlaksana sesuai dengan hukum syariat Islam.
Sebab umat Islam telah diperintahkan untuk berhukum (dalam urusan apapun) kepada apa
yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.

Eksistensi politik sebenarnya sudah terlihat sejak dulu. Dimana dalam sejarah
perjuangan para sahabat terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwasanya agama Islam
memang memiliki otoritas terhadap politik. Bukti-bukti itu dapat dilihat pada saat mereka
mengangkat khalifah (kepala negara pengganti Rasulullah). Dalam mengangkat seorang
khalifah, para sahabat memberikan syarat kepada khalifah agar memegang teguh al-Quran
dan as-Sunnah. Jika tidak karena mereka tahu bahwa politik tidak mungkin dipisah-pisahkan
dari agama, sehingga mereka akan mengangkat khalifah berdasarkan pertimbangan yang
terbaik. Dalam hal ini, bukan berarti politik itu baru lahir pada masa Rasulullah. Karena sejak
manusia mengenal kata memimpin dan dipimpin, maka politik ada saat itu.

Namun banyak masyarakat yang berpandangan bahwa aplikasi politik dianggap


sebagai segala sesuatu yang berbau kelicikan, kebusukan, serta pandangan negatif lainnya.
Memang harus diakui, ada sebagian penguasa muslim yang tidak konsisten menjalankan
kebijakan politiknya diatas ketentuan hukum dan etika syariat. Akibatnya, mereka
menetapkan peraturan yang menyimpang dari ajaran Islam. Maka banyak orang yang
beragama Islam tidak sepakat dengan adanya politik dalam Islam. Padahal, sebagai umat
muslim yang cerdas harusnya kita paham akan pentingnya politik yang dapat dijadikan
sebagai landasan munculnya aktivitas gerakan Islam melalui dua arah, yaitu secara kultural
dan struktural. Aktivitas gerakan Islam secara kultural akan terfokus pada proses dakwah di
suatu negara agar tetap sesuai dengan ajaran Allah SWT, sedangkan secara struktural dapat
mempengaruhi dibatalkannya atau direvisinya kebijakan-kebijakan pemerintah yang akan
membawa kerugian terhadap masyarakat.

Maka dari itu berpolitik itu dihalalkan dan memiliki pengaruh besar dalam
mempertahankan ajaran Islam di suatu negara. Akan tetapi, politik harus memegang teguh
beberapa prinsip seperti: mewujudkan persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan
amanah dan menetapkan hukum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab,
mentaati Allah, Rasulullah, dan menepati janji. Politik harus kokoh dengan prinsip yang
benar dan tidak hanyut dengan gaya perpolitikan yang menghalalkan segala cara, sebab
korelasi pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua hal
yang sangat bertentangan
Agama dan kekuasaan adalah dua hal saudara kembar. Agama adalah pondasi dan
kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh
dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap. -Imam Al
Ghazali

Politik dan kekuasaan adalah dua sejoli yang tak terpisahkan. Siapa pun yang masuk ke ranah
politik pasti memiliki kepentingan untuk merebut kekuasaan. Dan siapapun yang
menginginkan kekuasaan harus lebih dulu masuk ke ranah politik.

Namun pemahaman politik era ini terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi semata.
Aktivitas politik terbatas pada keinginan untuk meraih sebesar-besarnya peluang untuk
menduduki jabatan-jabatan tertentu. Hal ini sejalan dengan pemikiran ahli politik barat,
Loewenstein, bahwa politik is nicht anderes als der kamps um die Macht (politik tidak lain
merupakan perjuangan kekuasaan).

Kecenderungan tersebut lantas mendorong mereka menghalalkan segala cara demi mencapai
serta mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, sebagaimana diajarkan Machiavelli.
Akibatnya, aktivitas politik hanya berfokus pada perebutan kekuasaan semata, bukan
mengurusi kepentingan rakyat.

Sementara fungsi politik ditempatkan pada Who Gets What, When, and How sebagaimana
yang diajarkan Harold Laswell. Maka tak mengherankan apabila saat ini banyak politikus
menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk meraih sebanyak-banyaknya keuntungan pribadi,
kelompok dan pemilik modal. Muaranya, politik dan kekuasaan dianggap sebagai sesuatu
yang kotor, sehingga agama sebagai sesuatu yang suci wajib dihindarkan darinya.

Lantas, haramkah politik dan kekuasaan itu?

Agama dan Kekuasaan

Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar, kata Al-Gazhali. Tidak ada agama yang eksis
tanpa kekuasaan. Begitupun tidak ada kekuasaan mampu memberikan kesejahteraan bagi
umat tanpa landasan agama. Di sinilah politik menjadi jembatan yang menyatukan dua
kepentingan tersebut. Politik bertanggung jawab untuk mengatur kepentingan masyarakat
agar sesuai dengan prinsip-prinsip moral.

Bagi umat Islam, politik adalah sesuatu yang penting dan mulia. Hal ini apabila kita
memahami hakekat politik itu sendiri sebagai upaya untuk memelihara kepentingan umat.
Sementara memelihara kepentingan umat adalah kewajiban setiap Muslim, sebagaimana
sabda Rasulullah:

Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, berarti ia bukanlah
termasuk di antara mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku
pemberi nasihat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi
umumnya kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. (HR ath-Thabrani)

Adapun aktivitas politik menurut Islam meliputi:


Pertama, kewajiban mengikuti partai politik. Firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 104,
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kebajikan, menyuruh
kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung. Dalil tersebut menyiratkan pentingnya kaum muslim untuk bergabung dalam
kutlah siyasi (partai politik), yakni sebuah kelompok politik yang bertugas mengemban
dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia.

Namun perintah segolongan umat tersebut sekaligus memberikan penekanan hukum fardu
kifayah, yakni menjadi kewajiban seluruh umat Islam sampai ada segolongan umat yang
mampu melaksanakannya. Serta menjadi dosa bagi seluruh umat Muslim apabila tidak ada
yang mau dan mampu melaksanakannya. Alasan ditetapkannya hukum fardu kifayah tersebut
lantaran dalam pemenuhan kewajiban, seseorang harus memenuhi sejumlah syarat yang tidak
semua orang mampu melaksanakannya, seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat
kecakapan, dan sebagainya.

Dalam pandangan Imam as-Syathibi, pada dasarnya perintah tersebut wajib dilakukan oleh
semua umat Islam. Hanya saja, ada yang mampu melaksanakannya secara langsung dan ada
yang tidak. Bagi yang mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, maka ia wajib
melaksanakannya. Sementara yang tidak mampu, wajib menghadirkan seseorang yang
mampu tersebut. Dalam kasus pemilu legislatif, orang yang mampu wajib tampil sebagai
calon legislatif. Sementara orang yang tidak mampu wajib bertindak sebagai pemilih.

Kedua, kewajiban menegakkan amar makruf nahi munkar. Dalam berpolitik, terlebih bagi
seorang pemimpin, menegakkan kebajikan dan mencegah kemungkaran adalah sesuatu yang
diwajibkan. Sebagaimana sabda Rasul, Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan)
mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia
tidak akan mencium bau surga (HR. Bukhari dari Maqil bin Yasar ra).

Ketiga, kewajiban menasehati pemimpin (penguasa). Jika ada kebijakan yang melanggar
ketentuan syariat Islam atau ada kebutuhan masyarakat yang luput dari pemerintah, maka
wajib hukumnya bagi umat Islam memberikan nasehat.

Dari Abi Umamah, ia berkata: Ada seseorang yang datang menghadap kepada Rasulullah,
jihad apakah yang paling baik? Beliau mendiamkannya. Ketika beliau melempar jumrah
kedua, dia bertanya kembali kepada beliau, namun beliau tetap tidak menjawabnya. Maka
pada saat melempar jumrah aqabah, dimana beliau (ketika itu) sudah memasukkan kaki
beliau ke atas pelana (kuda) untuk menaikinya, beliau saw bertanya: Mana yang bertanya
tadi Dia menjawab: Saya, Ya Rasulullah. Beliau kemudian bersabda: Adalah kata-kata
yang hak (kalimatu haqqin), yang diucapkan di hadapan seorang penguasa yang zalim.
(Ibnu Majah).

Dalam hal ini, politik sebagai sarana ibadah harus menjadikan Islam sebagai pandangan
hidup dalam mengatur kepentingan masyarakat. Segala aktivitas dilandaskan pada dua
sumber utama yang tidak ada keraguan darinya, yakni Alquran dan Sunnah Rasul. Alquran
sebagai ajaran yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan harus mampu
direpresentasikan melalui aktivitas politik.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:

maka putuskanlah (perkara) mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu (Al Maidah: 48)

Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang kafir (Al Maidah: 44)

Dua ayat tersebut menegaskan bahwa segala keputusan harus (wajib) didasarkan pada
ketentuan Allah, yaitu hukum syariat Islam. Sementara ketetapan hukum syariat Islam
berlaku umum bagi umat Muslim di seluruh dunia. Maka kewajiban memelihara kepentingan
umat tidak hanya berlaku di dalam negeri saja, melainkan juga luar negeri.

Di dalam negeri, berpolitik menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan kepentingan
umat secara umum telah terlaksana dengan baik dan sesuai dengan hukum syara. Maka
apabila ditemukan kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat atau tidak sesuai dengan
hukum syara, wajib hukumnya bagi umat Muslim untuk mengoreksi tindakan penguasa.

Sedangkan politik luar negeri dilakukan karena aktivitas penguasa tidak jauh dari keterlibatan
dan kerja samanya dengan negara-negara lain. Maka politik luar negeri bertujuan untuk
mengetahui arah aktivitas tersebut sekaligus mengoreksi apabila menimbulkan kemudharatan
bagi kepentingan umat atau tidak sesuai dengan hukum syara. Politik luar negeri juga
penting untuk mengetahui strategi tipu daya negara-negara kafir terhadap kaum muslimin,
sehingga umat Muslim mampu menghalau taktik tersebut. Terakhir, politik luar negeri
sebagai sarana menyebarkan dakwah Islamiyah ke seluruh dunia.

Akan tetapi karena menyangkut tindakan bersama, ajaran-ajaran Islam tersebut harus
mendapatkan persetujuan dari masyarakat luas yang memiliki ideologi dan cara pandang
yang berbeda-beda. Yaitu dengan menerjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dalam nilai-nilai.

Nilai-nilai inilah yang digunakan politikus dalam menyebarkan dakwah Islamiyah. Mereka
menggunakan nilai-nilai sebagai alat untuk mempengaruhi cara pandang masyarakat
sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka dapat disimpulkan bahwa strategi
politik Islam mengacu pada aktivitas dakwah melalui ajakan, bukan tipu daya maupun
kekerasan.

Kaitannya dengan hal ini, Drs. Fauzi Abubakar, M.Kom.I (Serambi Indonesia), menetapkan
nilai-nilai dasar kehidupan politik dalam Islam meliputi: Pertama, prinsip musyawarah.
Sebagaimana firman Allah, ..dan bermusyawarahlah mereka dalam urusan itu (QS. Ali
Imran: 159).

Kedua, prinsip persamaan. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk bertindak diskriminatif
atas dasar perbedaan suku bangsa, status sosial, tingkat ekonomi dan hal-hal keduniawian
lainnya. Sebagaimana firmanNya: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu (QS. Al-Hujarat: 13).
Ketiga, prinsip keadilan. Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku adil, terutama bagi para
pemimpin dalam menetapkan suatu kebijakan/hukum bagi masyarakat.

Firman-Nya: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong


kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8). Keempat, prinsip kebebasan. Kebebasan yang dimaksud di
sini adalah kebebasan yang dapat dipertanggung jawabkan dihadapan Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman: Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya
kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
(QS. Al-Anam: 164).

Namun semua hanya mungkin dilakukan apabila umat Muslim memiliki rasa simpatik
terhadap politik, bukan malah sebaliknya. Bersikap apatis dan menghindar dengan dalih
aktivitas politik sebagai barang kotor yang diharamkan. Padahal dengan semua penjelasan
di atas, teranglah bahwa berpolitik adalah sesuatu yang dihalalkan, bahkan diwajibkan karena
memiliki pengaruh besar dalam mempertahankan dan menyebarkan ajaran Islam di seluruh
dunia.

Apalagi Allah telah menetapkan kaum muslimin sebagai umat terbaik yang menuntun umat
lain kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar (QS Ali Imran: 110). Mengurung
diri dalam sangkar emas ritual, menghindar dari dinamika sosial, dan membiarkan musuh
berpolitik dengan mengabaikan peran sosial politik adalah cara paling strategis untuk
meruntuhkan umat Islam sendiri. Berpolitik menjadi satu-satunya jalan bagi umat Islam
bangkit dari keterpurukannya.

Bukankah kita mengimani bahwa Islam adalah ajaran yang sempurna. Islam mengatur segala
hal yang menyangkut kepentingan manusia hingga hal-hal yang terkecil dan kasat mata
sekalipun. Dengan memisahkan agama dari politik, tidakkah kita mencederai iman kita
sendiri? Menghakimi Islam sebagai agama yang tidak sempurna?

Você também pode gostar