Você está na página 1de 5

HUBUNGAN ANTARA MALNUTRISI DAN LAMA RAWAT

INAP PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


EKSASERBASI AKUT
(STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG PERIODE 2010 2012)

Asriandi Sumantri1, Ahmad Rasyid2, Safyudin3

1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya


2. Departemen Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya
3. Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya
Jl. Dr. Moh. Ali, Kompleks RSMH, Madang, Palembang, 30126, Indonesia

Email: asriandisumantri@gmail.com

Abstrak

Salah satu komorbiditas yang sering ditemukan pada pasien PPOK eksaserbasi akut adalah malnutrisi. Identifikasi
terhadap pasien PPOK eksaserbasi akut yang memiliki kecenderungan untuk dirawat inap dalam waktu yang lama dapat
membantu dokter dalam memberikan tata laksana yang tepat. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara keadaan
malnutrisi masuk rumah sakit dan lama rawat inap pasien PPOK eksaserbasi akut. Penelitian ini merupakan studi
observasional analitik dengan rancangan kasus-kontrol. Populasi penelitian adalah pasien PPOK eksaserbasi akut yang
dirawat di Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang dari Januari 2010 hingga Desember 2012. Kasus adalah
pasien yang dirawat inap > 7 hari (n = 83). Kontrol adalah pasien yang dirawat inap 7 hari (n = 83). Data lama rawat
inap, indeks massa tubuh (IMT), kadar albumin serum diperoleh dari rekam medik pasien. Hubungan antarvariabel
dianalisis dengan uji Chi-square. Lama rawat inap pasien PPOK eksaserbasi akut berhubungan dengan IMT (p = 0,017;
OR = 3), namun tidak dengan kadar albumin serum (p = 0,06; OR = 1,9). Pasien PPOK eksaserbasi akut dengan IMT <
18,5 kg/m2 berisiko 3 kali lebih besar untuk dirawat inap selama lebih dari 7 hari daripada pasien PPOK eksaserbasi
akut dengan IMT 18,5 kg/m2.

Kata Kunci: PPOK eksaserbasi akut, lama rawat inap, malnutrisi

Abstract

Association Between Malnutrition and Length of Stay of Patients With Acute Exacerbation of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (Case Studies at Dr. Mohammad Hoesin Hospital of Palembang from 2010 to 2012).
Malnutrition is among comorbidities which frequently coexist with COPD. Identification of COPD patients with risk of
prolonged length of stay due to acute exacerbations may help physicians in giving appropriate treatments. This study
aimed to assess the association between malnutrition upon hospital admission and length of stay of patients with acute
exacerbation of COPD. This study was an analytical observational study with case-control design. Study population
was patients with acute exacerbation of COPD hospitalized at Dr. Mohammad Hoesin Hospital of Palembang from
January 2010 to December 2012. Cases were patients with length of stay of > 7 days (n = 83). Controls were patients
with length of stay of 7 days (n = 83). Data on length of stay, body mass index (BMI), and albumin serum
concentration were obtained from medical records. Association between variables was analyzed with Chi-square test.
Length of stay was associated with BMI (p = 0,017; OR = 3), but not with albumin serum concentration (p = 0,06; OR
= 1,9). The odds of having prolonged length of stay (> 7 days) in patients with acute exacerbation of COPD with BMI
of < 18,5 kg/m2 are 3 times greater than in patients with acute exacerbation of COPD with BMI of 18,5 kg/m2.

Keywords: acute exacerbation of COPD, length of stay, malnutrition

15
1. Pendahuluan Di samping itu, identifikasi lebih awal terhadap pasien
yang memiliki kecenderungan dirawat untuk waktu
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah yang lama dapat mengurangi biaya perawatan serta
penyakit yang ditandai oleh hambatan jalan napas yang risiko eksaserbasi 7.
tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan
berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru Penelitian mengenai hubungan antara status nutrisi dan
terhadap partikel dan gas yang berbahaya 1,2. lama rawat inap pasien PPOK eksaserbasi akut bukan
hal yang baru dalam dunia kedokteran saat ini. Namun,
PPOK berhubungan dengan beban ekonomi yang informasi mengenai hal tersebut di Rumah Sakit Dr.
signifikan. Di negara-negara Uni Eropa, biaya kesehatan Mohammad Hoesin masih terbatas. Penelitian ini
untuk PPOK mencapai 56% dari seluruh biaya bertujuan menilai hubungan antara keadaan malnutrisi
kesehatan untuk penyakit sistem pernapasan. Semakin saat masuk rumah sakit dan lama rawat inap pasien
tinggi derajat keparahan PPOK, semakin besar pula PPOK eksaserbasi akut di Rumah Sakit Dr. Mohammad
biaya perawatannya di rumah sakit. Selain itu, pasien Hoesin Palembang periode 2010-2012.
PPOK derajat berat terpaksa meninggalkan lingkungan
kerja, sehingga produktivitas menurun. Dengan kata 2. Metode Penelitian
lain, PPOK tidak hanya menghabiskan biaya berupa
uang, tetapi juga sumber daya manusia 1. Penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan
desain kasus-kontrol tak berpadanan. Populasi
PPOK terdiri atas fase stabil dan fase eksaserbasi akut, penelitian adalah seluruh pasien PPOK yang dirawat
yaitu perburukan gejala gangguan pernapasan yang inap karena eksaserbasi akut di Rumah Sakit Dr.
melebihi variasi keseharian (fase stabil).1 Eksaserbasi Mohammad Hoesin Palembang dalam kurun waktu 1
akut merupakan penyebab utama pasien PPOK dirawat Januari 2010 hingga 31 Desember 2012. Dalam
di rumah sakit 3. penelitian ini, seluruh pasien rawat inap yang pada
kolom diagnosis utama di halaman pertama rekam
Sepertiga dari seluruh pasien PPOK yang mengalami mediknya tertulis PPOK dianggap mengalami PPOK
eksaserbasi akut juga menderita malnutrisi 4. Meskipun eksaserbasi akut.
demikian, malnutrisi sering tidak terdeteksi dan pada
akhirnya tidak tertangani 5. Populasi kasus adalah pasien yang dirawat inap selama
> 7 hari. Populasi kontrol adalah pasien yang dirawat
Beberapa peneliti mengungkapkan adanya hubungan inap selama 7 hari. Pasien yang memiliki penyakit
antara PPOK dan malnutrisi. Masalah umum yang sistem pernapasan lain, memiliki keganasan, atau keluar
dialami pasien PPOK, terutama pasien dengan rumah sakit dengan cara pulang paksa atau meninggal
emfisema dan pasien yang menjalani terapi dieksklusikan dari penelitian. Jumlah sampel yang
kortikosteroid jangka-panjang, adalah turunnya berat dibutuhkan berdasarkan perhitungan adalah 135 kasus
badan. Penyebab dari hal ini meliputi peningkatan laju dan 135 kontrol.
metabolisme istirahat, berkurangnya asupan makanan,
ketidakseimbangan antara sintesis dan pemecahan Parameter status nutrisi yang digunakan dalam
protein, serta penyebab-penyebab lain yang masih harus penelitian ini adalah indeks massa tubuh (IMT) dan
diteliti. Malnutrisi secara langsung menurunkan fungsi kadar albumin serum. Data IMT dikategorikan sebagai
paru dan meningkatkan kecenderungan pasien PPOK normal ( 18,5 kg/m2) dan rendah (< 18,5 kg/m 2). Data
untuk mengalami eksaserbasi akut 4. Pasien PPOK kadar albumin serum dikategorikan sebagai normal (
eksaserbasi akut akan mengalami kesulitan memenuhi 3,5 g/dL) dan rendah (< 3,5 g/dL). Data IMT, kadar
kebutuhan energi yang meningkat karena peningkatan albumin serum, dan lama rawat inap siperoleh
kerja napas dan infeksi. Akibatnya, status nutrisi pasien seluruhnya dari rekam medik pasien.
semakin memburuk 3. Kondisi ini akan menjadi
lingkaran setan yang semakin memperpendek fase stabil Hubungan antara malnutrisi dan lama rawat inap diteliti
serta mempersering dan memperberat eksaserbasi akut dengan analisis bivariat, dengan IMT dan kadar albumin
di kemudian hari. serum sebagai variabel bebas serta lama rawat inap
sebagai variabel terikat. Analisis dilakukan dengan
Pendekatan yang selektif dibutuhkan dalam bantuan perangkat lunak SPSS versi 16. Hubungan
penatalaksanaan pasien PPOK eksaserbasi akut. signifikan antarvariabel ditandai dengan nilai p > 0,05
Tatalaksana kasus PPOK eksaserbasi akut yang disertai pada uji Chi-square. Besarnya risiko dinyatakan odds
malnutrisi memerlukan pendekatan yang lebih intensif. ratio (OR).
Pemilihan pendekatan yang tepat dalam tatalaksana
pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat di rumah
sakit tidak hanya memperbaiki keadaan pasien tetapi
juga mempercepat kepulangan pasien dari rumah sakit 6.
16
3. Hasil Jumlah 83 83 166
Tabel 3. Distribusi Kasus dan Kontrol serta Besar Risiko
Tabel 1. Karakteristik Kasus dan Kontrol Berdasarkan Berdasarkan kadar Albumin Serum
Rerata Umur, IMT, Kadar Albumin Serum, dan Lama
Rawat Inap Jumla
Albumin Kasus Kontrol OR p
h
Variabel Kasus Kontrol < 3,5 54 41 95
1,9 0,06
3,5 29 42 71
Umur (tahun) 63,7 10,8 64,6 9,9
Jumlah 83 83 166
IMT (kg/m2) 16,2 2,1 17,2 1,9
Albumin (g/dL) 3,3 0,5 3,4 0,5
Rawat (hari) 12,3 3,3 4,9 1,5
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa meskipun
pasien PPOK eksaserbasi akut dengan kadar albumin
Selama pengumpulan data dari Desember 2013 serum < 3,5 g/dL memiliki risiko 1,9 kali lebih besar
Januari 2014, ditemukan 100 sampel yang memenuhi untuk dirawat selama > 7 hari daripada pasien PPOK
kriteria kasus dan 83 sampel yang memenuhi kriteria eksaserbasi akut dengan kadar albumin serum 3,5
kontrol. Untuk meningkatkan kekuatan penelitian, g/dL (OR = 1,9; 95% CI = 1 3,6), hubungan antara
jumlah kasus disamakan dengan jumlah kontrol, kedua variabel ini tidak bermakna (p = 0,06).
sehingga jumlah sampel yang diikutkan dalam analisis
sebanyak 83 kasus dan 83 kontrol. Eliminasi 17 dari 100 4. Pembahasan
sampel yang memenuhi kriteria kasus dilakukan dengan
metode convenience sampling. IMT pasien PPOK eksaserbasi akut pada penelitian ini
memiliki hubungan yang bermakna secara statistik
Karakteristik kelompok kasus dan kontrol ditunjukkan dengan lama rawat inapnya (p = 0,017). Pasien PPOK
oleh Tabel 1. Perbedaan rerata usia, IMT, dan kadar eksaserbasi akut dengan IMT < 18,5 kg/m2 berisiko 3
albumin serum tidak begitu signifikan antara kedua kali lebih besar untuk dirawat selama > 7 hari
kelompok. Rerata lama rawat inap adalah 12,3 3,3 dibandingkan dengan pasien PPOK eksaserbasi akut
hari pada kelompok kasus dan 4,9 1,5 hari pada dengan IMT 18,5 kg/m2.
kelompok kontrol.
Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Gupta dkk. 3
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 166 sampel, 135 yang menyebutkan bahwa indeks massa tubuh pasien
(81,3%) di antaranya memiliki IMT < 18,5 kg/m2. Tabel PPOK berkorelasi secara negatif dengan lama rawat
2 juga memperlihatkan bahwa proporsi sampel yang inapnya (r = -0,013, p = 0,03). Pichard dkk. 8 juga
memiliki IMT < 18,5 kg/m2 pada kasus (89,2%) lebih mengungkapkan bahwa indeks massa tubuh < 20 kg/m 2
besar dibanding proporsi pada kontrol (73,5%). memiliki hubungan yang sangat signifikan (p < 0,001)
dengan lama rawat inap, dengan OR yang jauh lebih
Hasil analisis bivariat menunjukkan IMT pasien PPOK tinggi (12,6).
eksaserbasi akut berhubungan secara signifikan dengan
lama rawat inapnya (p = 0,017). Nilai OR = 3 Komponen berat badan pada rumus indeks massa
menunjukkan bahwa pasien PPOK eksaserbasi akut tubuh sebagian besar mencakup massa otot, massa
dengan IMT < 18,5 kg/m2 memiliki risiko 3 kali lebih rangka, dan massa lemak 9. Penurunan indeks massa
besar untuk dirawat selama > 7 hari dibandingkan tubuh dapat diakibatkan oleh setidaknya satu dari ketiga
dengan pasien PPOK eksaserbasi akut dengan indeks komponen tersebut. Apabila otot-otot pernapasan
massa tubuh 18,5 kg/m2. (terutama otot diafragma) juga mengalami penurunan
massa, maka kekuatan kontraksi yang dihasilkan
Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebanyak 95 (57,2%) menjadi lebih kecil 10. Pada akhirnya hal ini
dari 166 sampel memiliki kadar albumin serum < 3,5 mengakibatkan penurunan VEP1/VTP 11 yang berujung
g/dL. Proporsi sampel dengakadar albumin serum < 3,5 pada peningkatan lama rawat inap 7.
g/dL pada kasus jauh lebih besar (65,1%) dibandingkan
dengan proporsi pada kontrol (49,4%). Pengukuran indeks massa tubuh tidak adekuat untuk
menilai massa otot. Sebagai contoh, pasien yang pada
Tabel 2. Distribusi Kasus dan Kontrol serta Besarnya saat yang sama mengalami atrofi otot dan peningkatan
Risiko Berdasarkan Indeks Massa Tubuh massa jaringan adiposa dapat memiliki indeks massa
tubuh yang normal sementara massa ototnya memang
IMT Kasus
Kontro Jumla
OR p berkurang 8. Lebih jauh lagi, jaringan adiposa cenderung
l h lebih banyak ditemukan pada orang berusia tua
< 18,5 74 61 135 dibanding pada orang berusia muda serta pada
3 0,017
18,5 9 22 31 perempuan dibanding pada laki-laki dengan indeks

17
massa tubuh yang sama 9. Oleh karena itu, dibandingkan didistribusikan dan dihilangkan dari plasma), penurunan
dengan penilaian indeks massa tubuh, penilaian indeks kadar albumin serum akan meningkatkan volume
massa-bebas-lemak (fat-free-mass-index) lebih distribusi total [V(d)] dan klirens (Clearance; CL) suatu
dianjurkan untuk menilai status nutrisi. obat. Hal ini mengurangi konsentrasi paparan
(exposure) obat terhadap target dan dengan demikian
Hasil analisis bivariat pada penelitian ini menunjukkan menurunkan farmakodinamik obat tersebut 14.
bahwa pasien PPOK eksaserbasi akut dengan kadar
albumin serum < 3,5 g/dL memiliki risiko 1,9 kali lebih 5. Kesimpulan
besar untuk dirawat selama lebih dari 7 hari daripada
pasien PPOK eksaserbasi akut dengan kadar albumin Parameter status nutrisi yang terbukti berhubungan
serum 3,5 g/dL. Akan tetapi, hasil uji signifikansi dengan lama rawat inap pasien PPOK eksaserbasi akut
dengan chi-square menunjukkan bahwa angka tersebut adalah indeks massa tubuh. Pasien PPOK eksaserbasi
tidak bermakna secara statistik (p = 0,06) dan bisa jadi akut dengan indeks massa tubuh < 18,5 kg/m2 lebih
hanya variasi yang muncul secara acak. Meskipun berisiko 3 kali lipat untuk dirawat selama lebih dari 7
demikian, nilai p yang didapat hanya berselisih sangat hari dibandingkan dengan pasien PPOK eksaserbasi
sedikit dengan 0,05, mencerminkan bahwa signifikansi akut yang indeks massa tubuhnya 18,5 kg/m2.
yang didapat masih cukup kuat.
Daftar Acuan
Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian Wang dkk. 7
yang menemukan hubungan positif yang lemah namun 1. Global Initiative for Obstructive Lung Disease.
signifikan antara kadar albumin serum dengan lama Global strategy for the diagnosis, management, and
rawat inap pasien PPOK eksaserbasi akut (OR = 1,1; p prevention of chronic obstructive pulmonary
= 0,001). Di sisi lain, hasil penelitian Gupta dkk. 3 disease. 2013:2-5,7,10,13-14,16-17,40-44.
menyebutkan bahwa kadar albumin serum berhubungan 2. American Thoracic Society and European
dengan rasio VEP1/VTP (r = 0,03; p = 0,03), yang Respiratory Society. Standards for the diagnosis and
selanjutnya menurut Wang dkk. 7 berhubungan dengan management of patients with COPD. American
lama rawat inap. Lain halnya dengan Pichard dkk. 8 Thoracic Society and European Respiratory Society:
yang tidak menemukan hubungan langsung antara kadar New York, 2004:8.
albumin serum dengan lama rawat inap. Sebaliknya, ia 3. Gupta B, Kant S, Mishra R, Verma S. Nutritional
menemukan hubungan positif yang signifikan antara status of chronic obstructive pulmonary disease
kadar albumin serum dan indeks massa-bebas-lemak admitted in hospital with acute exacerbation. J Clin
(OR = 2,1; p < 0,05). Med Res 2010; 2(2):68-74.
4. Batres SA, Len JV, lvarez-Sala R. Nutritional
Kadar albumin serum dikaitkan dengan lama rawat inap status in COPD. Arch Bronconeumol 2007;
melalui beberapa mekanisme. Pertama, albumin adalah 43(5):283-288.
salah satu protein yang berperan dalam pembentukan 5. The British Dietetic Association. Malnutrition the
respon fase akut (acute-phase response), yaitu respon skeleton in the bed (on line). http://www.bda.
fisiologis yang terjadi segera setelah onset inflamasi. uk.com. 2011.
Karena itu, kadar albumin yang rendah di dalam serum 6. Caccialanza R, Klersy C, Cereda E, Cameletti B,
menandakan inflamasi (yang mendasari terjadinya Bonoldi A, Bonardi C, et. al. Nutritional parameters
eksaserbasi pada PPOK) persisten karena terhambatnya associated with prolonged hospital stay among
respon fase akut 7. ambulatory adult patients. Can Med Assoc J 2010;
182(17):1843-1849.
Kedua, kadar albumin serum dapat dijadikan penanda 7. Wang Y, Stavem K, Dahl FA, Humerfelt S, Haugen
(marker) cadangan protein tubuh. Cadangan protein T. Factors associated with a prolonged length of stay
tubuh yang menurun (karena kadar albumin serum after acute exacerbation of chronic obstructive
menurun) memicu proses katabolik yang berujung pada pulmonary disease (AECOPD). Int J Chron
pemecahan protein otot 12. Obstruct Pulmon Dis 2014; 9: 99-105.
8. Pichard C, Kyle UG, Morabia A, Perrier A,
Ketiga, kadar albumin serum berpengaruh terhadap Vermeulen B, Unger P. Nutritonal assessment: lean
fraksi obat yang terikat dan fraksi obat yang tidak body mass depletion at hospital admission is
terikat di dalam tubuh, yang berujung pada perubahan associated with an increased length of stay. Am J
farmakokinetik dan farmakodinamik obat 13,14. Pengaruh Clin Nutr 2004; 79: 613-618.
kadar albumin yang rendah terhadap farmakokinetik 9. Centers for Disease Control and Prevention. Body
obat ditunjukkan oleh menurunnya fraksi obat yang mass index: considerations for practitioners (on
terikat dan meningkatnya fraksi obat yang tidak terikat. line). http://www.cdc.gov. 2010.
Karena hanya fraksi obat yang tidak terikat yang 10. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic Obstructive
menimbulkan efek farmakologik (dan karena itu dapat Pulmonary Disease:Epidemiology, Pathophysiology,
18
and Pathogenesis. In: Fishman AP, Elias JA,
Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI,
editors. Fishmans pulmonary diseases and
disorders. 4th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc., 2008: 711-714.
11. Fukahori S, Matsuse H, Takamura N, Tsuchida T,
Kawano T, Fukushia C, et. al. Body mass index
correlated with forced expiratory volume in 1
second/forced vital capacity in a population with a
relatively low prevalence of obesity. Chin Med J
(Engl) 2010; 123(20): 2792-2796.
12. Visser M, Kritchevsky SB, Newman AB,
Goodpaster BH, Tylavsky FA, Nevitt MC, et. al.
Lower serum albumin concentration and change in
muscle mass: the health, aging and body
composition study. Am J Clin Nutr 2005; 82(3): 531-
537.
13. Keller F, Maiga M, Neumayer HH, Lode H, Distler
A. Pharmacokinetic effects of altered plasma protein
binding of drugs in renal disease. Eur J Drug Metab
Pharmacokinet 1984; 9(3): 275-282.
14. Ulldemolins M, Roberts JA, Rello J, Paterson DL,
Lipman J. The effects of hypoalbuminaemia on
optimizing antibacterial dosing in critically ill
patients. Clin Pharmacokinet 2011; 50(2): 99-110.

19

Você também pode gostar