Você está na página 1de 30

REFERAT

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE

Oleh :
Putu Bagus Gin Gin Pramana (16710075)
Desi Safira (16710145)
Eufemia Maria I.T.L (16710155)
Putu Sukma Radhana (16710004)

PEMBIMBING : dr. Novemi Elynawati,Sp.THT

SMF Ilmu Telinga Hidung Tenggorok


Rumah Sakit Umum Daerah Bangil
Jawa Timur
Periode 2015/2016
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan segala rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan referat dengan judul
Angiofibroma Nasofaring Juvenile guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mengikuti
kegiatan sebagai dokter muda di SMF Ilmu Teling Hidung Tenggorok di Rumah Sakit Umum
Daerah Bangil, Jawa Timur.

Kami menyadari kelemahan serta keterbatasan yang ada sehingga dalam


menyelesaikan skripsi ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. dr. Novemi Elynawati, Sp. THT sebagai pembimbing dan Kepala Bagian di SMF
Ilmu Telinga Hidung Tenggorok di Rumah Sakit Umum Daerah Bangil, Jawa
Timur.

2. Teman-teman sejawat Kelompok F Dokter Muda di Rumah Sakit Umum Daerah


Bangil, Jawa Timur.

Kami menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan baik isi maupun
susunannya. Semoga referat ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis juga bagi para
pembaca. Pasuruan, September 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... 5
DAFTAR TABEL ........................................................................................... 6
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 7
1.1 Latar Belakang........................................................................... 7
1.2 Rumusan Permasalahan ............................................................ 7
1.3 Tujuan........................................................................................ 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 8
2.1 Anatomi Nasofaring.................................................................. 8
Vaskularisasi dan Inervasi......................................................... 8
Sistem Limfatik .................................................................... 9
2.2 Fisiologi Nasofaring................................................................. 10
2.3 Definisi..................................................................................... 10
2.4 Epidemiologi............................................................................. 10
2.5 Etiologi..................................................................................... 11
2.6 Patofisiologi.............................................................................. 11
2.7 Histopatologi............................................................................. 12
Makroskopis .................................................................... 12
Mikroskopis .................................................................... 12
2.8 Manifestasi Klinis..................................................................... 12
2.9 Pemeriksaan Fisik..................................................................... 13
2.10 Pemeriksaan Penunjang............................................................ 13
2.11 Diagnosis.................................................................................. 14
2.12 Diagnosis Banding.................................................................... 16
2.12.1 Polip Angiomatosa......................................................... 16
2.12.2 Karsinoma Nasofaring................................................... 16
2.13 Penatalaksanaan........................................................................ 17
2.13.1 Operasi .................................................................... 17
2.13.2 Radioterapi.................................................................... 18
2.13.3 Hormonal .................................................................... 19
2.13.4 Sitostatika .................................................................... 20
2.13.5 Embolisasi .................................................................... 20
3
2.13.6 Ligasi Arteri Karotis Eksterna....................................... 22
2.14 Stadium dan Prognosis............................................................. 23
BAB 3 KESIMPULAN....................................................... 25
LAMPIRAN.................................................26
DAFTAR PUSTAKA .................................... 31

4
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring ..................................................................................8
2. Gambar 2.2. Vaskularisasi Nasofaring ..........................................................................10
3. Gambar 2.3. Persarafan Nasofaring ..............................................................................11
4. Gambar 2.4. Patofisiologi Angiofibroma Nasofaring Juvenil ......................................14
5. Gambar 2.5. Rhinoskopi Anterior & Rhinoskopi Posterior .........................................16
6. Gambar 2.6. Gambaran CT Scan Hollman-Miller .......................................................17
7. Gambar 2.7. Gambar Stadium II Angiofibroma Nasofaring Juvenil ...........................19

5
DAFTAR TABEL

1. Tabel 2.1. Diagnosis banding angiofibroma naofaring juvenille .................................20

6
7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx / nasopharyngeal
angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah
berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal
yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan
tetapi sangat jarang. Oleh karena terjadi sebagian besar pada usia di bawah 12 tahun,
maka tumor ini disebut angiofibroma nasofaring juvenile.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan angiofibroma nasofaring juvenile?
2. Faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya angiofibroma nasofaring
juvenile?
3. Bagaimana perjalanan penyakit angiofibroma nasofaring juvenile?
4. Apa saja gejala yang dikeluhkan pasien angiofibroma nasofaring juvenile?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit angiofibroma nasofaring juvenile?

1.3 Tujuan Umum


1. Mengetahui secara umum tentang angiofibroma nasofaring.

1.4 Tujuan Khusus


1. Mengetahui pengertian angiofobroma nasofaring juvenile.
2. Mengetahui etiologi terjadinya angiofibroma nasofaring juvenile.
3. Mengetahui anatomi dari nasofaring.
4. Mengetahui patologi atau perjalanan penyakit angiofibroma nasofaring
juvenile.
5. Mengetahui gejala klinis, diagnostik, komplikasi, diagnose banding, terapi dan
prognosis dari angiofibroma nasofaring juvenile. 8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring

7
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan
dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada
orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior.
Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung
(Chew,1997).
Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai
dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra cervical I dan II. Dinding
anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang merupakan batas koana
posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding lateral
merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior (Witte and Neel,
1998; Lin, 2006).
Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, masuk dari telinga tengah ke
nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di atas
batas superior muskulus konstriktor faring superior, disebut fossa Rossenmuller
(resessus faringeal). Fossa Rossenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior
nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF dan yang
paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring.

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (Witte and Neel, 1998)


Fossa Rossenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,
sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari fossa
Rossenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan
sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran KNF ke
sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa
Rossenmuller, terdapat nervus mandibula (V3) yang berjalan di dasar tengkorak
melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa Rossenmuller terdapat

8
foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglossus
yang terletak paling medial (Witte and Neel, 1998).
Fossa Rossenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan
tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen,
yaitu:
1. Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris
inferior
2. Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis
3. Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere.
Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen retrofaring
kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju
kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa Rossenmuller yang demikian itu dan
dengan sifat KNF yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke
daerah sekitarnya yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai
macam gambaran klinis (Witte and Neel, 1998; Lin, 2006).
Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan fibrosa
dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus konstriktor
superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor superior dan dasar tengkorak
disebut sinus Morgagni. Daerah ini dilindungi oleh fasia faringobasilar yang ditunjang
oleh muskulus levator veli palatini. Ujung medial dari tuba Eustachius membentuk
sebuah penonjolan (torus tubarius) yang terletak di bagian atas dinding lateral. Dari
tepi posterior orifisium tuba Eustachius terdapat sebuah lipatan mukosa yang dibentuk
oleh muskulus salpingofaringeus, berjalan ke bawah dan turun secara bertahap pada
dinding faring bagian lateral. Lapisan fibrosa terdiri dari dua lapisan yang berada di
sebelah dalam dan di sebelah luar muskulus konstriktor. Kedua lapisan ini
bersambung dengan fasia di leher. Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian
superfisial muskulus konstriktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis
faringeal yang berada di antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah
bagian dari fasia faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus
konstriktor superior naik ke arah dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri. Lapisan
mukosa ialah daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus
berlapis semu bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan
pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel skuamosa berlapis.
Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan antara atap
nasofaring dan dinding lateral. Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh jaringan

9
limfoid, sedangkan lapisan submukosa mengandung kelenjar serosa dan mukosa
(Gibb, 1999).
Vaskularisasi dan Inervasi
Pembuluh darah arteri utama yang memvaskularisasi daerah nasofaring adalah
arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan
cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari
arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di bawah
membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior dan
fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Gibb, 1999).

Gambar 2.2. Vaskularisasi Nasofaring (Atlas Netter,2010)

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot
konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf
glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion
servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf
glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang
mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang
berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Gibb, 1999).

10
Gambar 2.3. Persarafan nasofaring (Atlas Netter,2010)

Sistem Limfatik
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok
pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada ruang
retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia
prevertebra (Chew, 1997).
Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan
pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di
kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi
rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot
sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai
jugular letaknya sangat dekat denan saraf-saraf kranial terakhir yaitu saraf
IX,X,XI,XII (Bourhis et al, 1999). Metastase ke kelenjar limfe ini dapat terjadi
sampai dengan 75% penderita KNF, yang mana setengahnya datang dengan kelenjar
limfe bilateral (Dhingra, 2004).

2.2 Fisiologi Nasofaring


Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada
waktu menelan, muntah, mengucapkan kata kata tertentu seperti hak dan akan
terbuka pada saat respirasi.
Fungsi Nasofaring:

11
a. Sebagai jalan udara pada respirasi
b. Sebagai muara ventilasi dan drainase tuba Eustachii
c. Resonator
d. Sebagai drainase sinus paranasal kavum timpani dan hidung
Sekret dari nasofaring dapat bergerak ke bawah, hal ini dikarenakan gaya
gravitasi, gerakan menelan, gerakan silia (kinosilia) dan gerakan usapan palatum
molle (Witte and Neel, 1998; Lin, 2006).

2.3 Definisi
Angiofibroma nasofaring juvenile adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang
cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki
prepubertas dan remaja. Angiofibroma nasofaring juvenile merupakan neoplasma
vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan
remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini
merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala
dan leher (Hansen,2010).

2.4 Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring juvenile (ANJ) merupakan tumor dengan kejadian
berkisar 0,05% dari semua tumor kepala dan leher, dengan frekuensi satu diantara
5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun jarang, ANJ mengenai secara
eksklusif pada laki-laki. Usia saat terkena umumnya pada dekade kedua, antara 7-19
tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.
Data dari Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSCM tahun 2000-2005
menyebutkan bahwa tumor nasal dan paranasal menempati posisi ke 5 dari semua
tumor daerah kepala leher sebesar 9.84% (Anggeani,2011).

2.5 Etiologi
Penyebab tumor ini belum diketahui secara jelas. Banyak penulis yang
mengajukan berbagai macam teori, tetapi secara garis besar dibagi menjadi 2
golongan yaitu:
1. Teori jaringan asal tumbuh
Teori jaringan asal tumbuh pertama kali ditemukan oleh Verneuil yang diikuti
oleh Bensch (1878). Ia menduga bahwa tumor terjadi akibat pertumbuhan
abnormal pada jaringan fibrokartilago embrionik di daerah oksipital. Teori
yang sampai sekarang banyak dianut, dikemukakan oleh Neel, yang
12
berpendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah dinding
postero-lateral atap rongga hidung, tempat prossesus sfenoid palatum bertemu
dengan ala horizontal dari vomer dan akar prosesus pterigoideus tulang
sfenoid.
2. Teori hormonal
Martin pertama kali mengemukakan bahwa diduga angiofibroma nasofaring
merupakan hasil dari ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya kekurangan
androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya
hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur serta hambatan
pertumbuhan pada semua penderitaangiofibroma nasofaring.

2.6 Patofisiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen sphenopalatina dan
mengenai fossa pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang dengan
cara erosi tulang dan mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis
kranii. Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan submukosa,
tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi rendah dan menginvasi tulang
cancellous basis sphenoid, sehingga pola penyebarannya dapat diprediksi. Dari fossa
pterigopalatina, tumor tumbuh ke medial ke dalam nasofaring, fossa nasalis dan
akhirnya menuju sisi kontralateral. Pertumbuhan ke lateral dapat meluas ke fossa
sphenopalatina dan infratemporalis, melalui fissura pterigo-maksilaris yang melebar
dengan gambaran khas pergeseran ke anterior dari dinding posterior maksilaris,
sampai berhubungan dengan otot mastikator dan jaringan lunak pipi. Pertumbuhan ke
posterior dapat mengenai arteri karotis interna melalui kanalis vidian, sinus
kavernosus melalui foramen rotundum dan apeks orbita melalui fissura orbitalis
inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus terjadi jika fissura orbitalis sudah terkena
tumor. Keterlibatan tulang terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu:
1. Reabsorpsi osteosit karena tekanan langsung dengan aktivasi osteoklast.
2. Langsung tersebar di sepanjang arteri perforanates ke dalam akar cancellous
dari prosesus pterigoideus.
Perluasan ke posterior berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid,
biasanya dengan erosi tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke
intrakranial. Pelebaran fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke
intrakranial. Perluasan intrakranial dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan:
1. Pembesaran tumor di fossa infratemporal dan pterigomaksila akan
menghancurkan tulang yang membentuk pangkal tulang pterigoideus. Daerah

13
ini merupakan tempat bertemunya korpus dan ala magna tulang sfenoid,
sehingga tumor akan terletak di sebelah dura di fossa serebri media, lateral dari
sinus kavernosus dan anterior dari foramen laserum.
2. Tumor berkembang dari sinus sfenoid melalui destruksi dinding superiornya
masuk ke sinus kavernosus dan atau fossa hipofise. Tumor akan mendorong
kelenjar hipofisis ke satu sisi dan timbul di sela tursika. Hal ini akan
menyebabkan kebutaan karena penekanan kiasma optikus.
3. Tumor berkembang dari sinus etmoid melalui erosi dinding superiornya masuk
ke fossa serebri anterior.

Gambar 2.4. Patofisiologi perkembangan angiofibroma nasofaring juvenille


(Garca,2010).

2.7 Histopatologis
2.7.1 Makroskopis
Angiofibroma nasofaring juvenile tampak sebagai massa yang tidak teratur,
warna kemerahan dan permukaannya licin. Terdapat banyak pembuluh darah pada
mukosa dan tak jarang dijumpai adanya ulserasi. Pada potongan melintang, tampak
tumor tidak berkapsul, berlobus-lobus, tepinya berbatas tegas, dan mudah dibedakan
dengan jaringan sekitarnya.

2.7.2 Mikroskopis
Angiofibroma nasofaring terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam
stroma yang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah
menjadi predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial
tunggal yang melapisi stroma fibrous. Hal ini menjadi faktor predisposisi penyebab

14
perdarahan yang masif. Pembuluh darah bagian medial dapat memiliki jaringan
muskular. Stroma tersusun dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang memiliki ciri
yaitu jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu. Secara mikroskopik
gambaran daerah vaskuler bervariasi, baik bentuk maupun ukurannya dalam jaringan
fibrosa. Sebagian terdiri dari jaringan pembuluh darah dengan dinding yang tipis
dalam stroma kolagen yang lebih seluler. Sebagian lagi terdiri dari pembuluh darah
yang agak tebal dindingnya, terletak dalam stroma yang kurang seluler.

2.8 Manifestasi Klinis


Keluhan paling sering dijumpai adalah hidung tersumbat yang bersifat
progresif, epistaksis berulang dan rinore kronik. Epistaksis biasanya hebat dan jarang
berhenti spontan. Keluhan lain berupa rinolalia, anosmia, sefalgia, tuli konduktif,
deformitas wajah, proptosis dan diplopia. Sumbatan ostium sinus dapat menyebabkan
sinusitis. Perluasan tumor ke orofaring menimbulkan disfagia, dan dapat
menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura orbitalis
superior timbul proptosis, dan dapat disertai gangguan visus serta deformitas wajah
penderita. Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa pterigopalatina, lalu ke fossa
infra temporal, kemudian menyusuri rahang atas bagian belakang dan terus masuk ke
jaringan lunak antara otot maseter dan businator. Hal tersebut di atas akan
menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus. Perluasan tumor ke rongga intra
kranial akan menimbulkan gejala neurologis.

2.9 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dengan menggunakan rinoskopi anterior dapat dilakukan
untuk mengkoreksi tumor dari luar. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior akan dapat
melihat massa tumor, warna yang bervariasi mulai dari abu-abu hingga sampai merah
muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput
berwarna keunguan dan yang meluas keluar nasofaring bewarna putih atau abu-abu.
Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya lebih
kebiruan. Hal ini dikarenakan komponen fibroma yang terkandung didalamnya.
Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya
ulserasi.

15
Gambar 2.5. Rhinoskopi anterior dan rhinoskopi posterior (Adams,2010).

2.10 Pemeriksaan Penunjang


Angiofibroma merupakan tumor yang mudah berdarah sehingga sebagai
pemeriksaan penunjang diagnosisnya dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional
CT Scan serta pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan CT Scan akan terlihat
gambaran klasik yang disebut dengan Holman Miller yaitu pendorongan prosesus
pterigoideus ke belakang sehingga fisura pterigo-palatina melebar.
Pada pemeriksaan ateriografi arteri karotis eksterna akan memperlihatkan
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a.maksila interna homolateral.
Arteri maksilaris interna akan terdorong kedepan sebagai akibat dari pertumbuhan
tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring kearah fossa pterigimaksila.
Selain itu, masa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai
maksimum setalah 3-6 detik zat kontras disuntikkan. Pemeriksaan patologik anatomik
tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan kontraindikasi.Hal ini dikarenakan
tindakan ini dapat menyebabkan perdarahan yang masif. Pada kasus ini diperlukan
pemeriksaan Hb untuk mengoreksi anemia yang kronis.

16
Gambar 2.6. Gambaran Holman Miller CT Scan (Elsevier,2004).

2.11 Diagnosis
Diagnosis juvenile angiofibroma nasofaring terutama didasarkan pada riwayat
penyakit, pemeriksaan rongga hidung dan pencitraan. Secara endoskopi dapat terlihat
massa lobulated besar di belakang khonka nasalis media, mengisi khoana dengan
permukaan halus dan hipervaskularisasi yang jelas. Karena secara epidemiologi dan
temuan endoskopi adalah khas, maka biopsi mutlak merupakan kontraindikasi karena
risiko perdarahan masif yang cukup besar.
Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam diagnosis, penentuan
stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi berperan dalam menunjukkan
perluasan tumor primer, khususnya dalam menilai invasi sphenoid karena merupakan
tempat utama terjadinya kekambuhan, sebuah gambaran yang jelas menunjukkan asal
dari angiofibroma. Pemeriksaan radiologi juvenile angiofibroma nasofaring dapat
dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI dan arteriografi. Gambaran foto polos
pada Waters atau submental view dapat menunjukkan erosi di sinus sphenoidalis dan
penonjolan dinding posterior sinus maksilaris atau Holman-Miller sign.
CT scan dan MRI juvenile angiofibroma nasofaring menunjukkan massa
inhomogen yang timbul dari ruang mukosa atau submukosa nasofaring, dengan
penyangatan yang kuat dan homogen disertai erosi basis kranii atau perluasan
intrakranial. CT scan berperan dalam follow-up setelah pembedahan untuk mendeteksi
sisa tumor, menilai ukuran setelah radioterapi atau menilai pengecilan tumor. CT scan
merupakan pemeriksaan sebelum operasi yang paling penting karena dapat
menunjukkan destruksi struktur tulang dan pelebaran foramen dan fisura pada basis
kranii akibat penyebaran tumor. Keterlibatan tulang dan penyebaran tumor paling baik
dilihat pada potongan aksial atau koronal irisan tipis. CT scan aksial dan koronal
dapat menggambarkan asal dan perluasan lesi. Temuan termasuk massa nasofaring,

17
penonjolan ke anterior dari dinding posterior sinus maksilaris (Holman-Miller sign)
dengan massa di fossa pterigopalatina, pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di
sinus paranasal, erosi tulang sphenoid dengan massa di sinus, erosi palatum durum,
erosi dinding medial sinus maksilaris, deviasi septum nasi, dan perluasan intrakranial.
Arteriografi mempunyai nilai diagnostik dan terapetik, dengan melakukan
embolisasi feeding vessel tumor. Keduanya dapat dilakukan terpisah atau bersama.
Pola retikuler yang khas biasanya terlihat pada awal fase arteri, dengan blush
homogen padat yang menetap sampai fase vena. Adanya awal draining vein jarang
terjadi. Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal yang penting untuk
menentukan strategi pembedahan yang tepat. Meskipun magnetic resonance
angiography (MRA) dapat membantu dalam penilaian vaskular, gambaran lengkap
dari semua pembuluh darah memerlukan angiografi. Feeding vessel juvenile
angiofibroma nasofaring berasal sistem karotis eksternal terutama dari cabang arteri
maksilaris interna distal, umumnya cabang sphenopalatina, palatina desenden, dan
alveolar posterior superior. Terkadang arteri faringealis asenden ikut mensuplai tumor.
Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan untuk menentukan luasnya lesi,
jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel. Dalam menentukan batas tumor,
penilaian perluasan intrakranial sangat penting karena operasi dapat menyebabkan
bahaya lain. Gambaran angiografi merupakan ciri khas, dan diagnosis preoperatif
biasanya memungkinkan dikerjakan sebelum biopsi. Untuk proses diagnosis, tentukan
juga stadium dari tumor.

Gambar 2.7. Gambar stadium II angiofibroma nasofaring juvenille (Elsevier,2004).

2.12 Diagnosis Banding


1. Polip Khoanal
Polip khoanal adalah polip inflamatorik hidung yang mempunyai
komponen vaskuler dan fibrosa. Secara histologi merupakan tumor jinak dan
mirip dengan angiofibroma nasofaring. Polip tidak mempunyai predileksi jenis

18
kelamin. Kemungkinan adanya polip angiomatosa harus selalu dipikirkan
sebelum mempertimbangkan diagnosa angofibroma, pada pasien dewasa dan
perempuan. Gejala yang paling sering muncul adalah hidung tersumbat dan
sering mimisan. Pembesaran lesi secara perlahan dapat menyebabkan erosi
tulang, pendesakan struktur tulang di dekatnya, pipi bengkak dan
eksofthalmus. Polip khoanal terletak terutama di fossa nasalis dan bukan di
nasofaring, tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun
ke intra kranial. Pada angiografi polip angiomatosa mempunyai tampilan
hipovaskuler atau avaskuler. Polip dapat dieksisi dengan mudah dan jarang
terjadi kekambuhan. Angiografi dan embolisasi tidak diperlukan pada polip.
2. Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan
epitel mukosa nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai
nasofaring. Karsinoma nasofaring biasanya muncul dari fossa Rosenmuller
dan dikenal sebagai neoplasma agresif lokal dengan tingginya kejadian
metastase ke limfonodi leher. Tumor primer di dalam nasofaring dapat meluas
ke palatum, rongga hidung, orofaring dan basis kranii. Gejala klinis yang
paling sering dirasakan adalah adanya benjolan di leher. Keluhan lain dapat
berupa epistaksis, hidung tersumbat, otitis media, telinga berdenging dan tuli.
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan dengan karakteristik variasi
distribusi geografis dan etnis, terutama di Asia Tenggara. Gambaran radiologi
karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan
lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang dan penebalan preoccipital
space.
Angiofibroma Khoanal Polip Karsinoma
Nasofaring Juv. Nasofaring
Permukaan Rata Rata Licin
Warna Merah keunguan Pucat Hiperemis/nekrotik
Jaringan Pembuluh darah Jar. Udematus Jaringan rapuh
Letak Dinding Fossa nasalis Fossa Rosenmuller
posterolateral
nasofaring
Umur 7-21 th Semua umur 30-50th
Sex L>P L=P L>P
Tabel 2.1..Diagnosis banding dari angiofibroma nasofaring juvenillis.

19
2.13 Penatalaksanaan
Berbagai jenis pengobatan dikembangkan sejak ditemukannya tumor ini.
Penatalaksanaan tumor ini yaitu:
2.13.1 Operasi
Operasi merupakan pilihan utama, pada penatalaksanaan angiofibroma
nasofaring. Hingga tahun 1960-an pendekatan dasar bedah pada angiofibroma
nasofaring adalah transpalatal, yang mana dapat dikombinasikan dengan insisi
sublabial atau suatu pendekatan Caldwell-Luc. Efektifitas operasi tergantung
dari lengkapnya pengangkatan masa tumor. Beberapa pendekatan
dikemukakan oleh para ahli sebagai usaha mengekstirpasi seluruh jaringan
tumor pada daerah yang relatif sempit. Tandon menganjurkan untuk
menggunakan pendekatan operasi secara transpalatal untuk tumor yang
terdapat pada nasofaring, koana, rongga hidung dan sinus etmoid. Untuk
tumor yang sudah meluas ke fossa infratemporal, pterigomaksila dan pipi
digunakan pendekatan operasi secara transmaksila dengan insisi Weber
Ferguson atau dikombinasikan dengan pendekatan transpalatal.
Spector mengemukakan pilihan operasi secara transpalatal pada tumor
yang terbatas di nasofaring, hidung dan sinus sfenoid. Untuk tumor yang
meluas ke lateral melalui fisura pterigomaksila, dapat dikombinasikan
pendekatan Caldwel-Luc dan transpalatal. Bila tumor meluas ke pipi, sinus
maksila dan fosa pterigomaksila dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan
transantral atau transbukal. Operasi kombinasi transpalatal dan rinotomi lateral
dilakukan bila perluasannya kearah sinus etmoid dan retro orbita. Bila tumor
meluas ke fossa infra temporal bagian anterior dilakukan operasi kombinasi
peningkapan dan labiomandibulotomi medial. Bila tumor meluas ke fossa
infra temporalis bagian inferior (pipi, dasar tengkorak dan rongga parafaring)
dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan transmandibula anterior. Pada
tumor yang meluas ke intrakranial, dilakukan operasi kombinasi transpalatal
dan kraniotomi frontotemporal. Spector menganjurkan untuk melakukan
ekstirpasi melalui:
a. Faringotomi suprahioid untuk tumor yang terbatas di nasofaring dan
atau rongga hidung.
b. Peningkapan bila tumor telah meluas ke sinus sfenoid, etmoid dan
maksila, fossa pterigomaksila dan infratemporal, pipi, rongga mata dan
palatum.

20
c. Operasi kombinasi peningkapan dan kraniotomi frontotemporal bila
tumor telah meluas ke intrakranial. Bila tumor mengenai sinus
kavernosus, kiasma optik atau kelenjar hipofisis, maka eksisi tumor
akan sangat membahayakan. Pada keadaan ini dianjurkan untuk
melakukan reseksi partial dan sisa tumor diberikan radioterapi dan atau
terapi hormonal.

Kamel mengungkapkan bahwa pendekatan endoskopi transnasal dapat


digunakan untuk tumor stadium I-II.

2.13.2 Radioterapi
Grybauskas melaporkan angka kesembuhan 80% pada terapi radiasi
dengan dosis 3.000-3.500 cGy. Penelitian lain melaporkan pada radiasi 3.200
rads adanya penurunan vaskularisasi tumor tetapi tidak adanya pengecilan
bermakna ukuran tumor.
Dharmabakti mengutip bahwa radiasi eksterna banyak dilakukan di
Kanada oleh Briant dkk dengan dosis 3.000-3.500 cGy, memperoleh angka
kesembuhannya mencapai 70-80%. Terapi radiasi biasanya digunakan sebagai
terapi paliatif untuk mengurangi perdarahan pada saat operasi, sebagai terapi
tambahan pada tumor yang rekuren, dan pada tumor dengan pertumbuhan
intrakranial. Radiasi pada usia remaja dapat mengganggu pertumbuhan tulang
wajah, radionekrosis dan perubahan tumor menjadi ganas. Terapi ini dilakukan
juga pada pasien yang menolak operasi dan pada tumor yang tidak mungkin
untuk di operasi lagi.
2.13.3 Hormonal
Pengobatan hormonal pada kasus angiofibroma, pertama kali
dilakukan oleh Boedts (1940) dikutip oleh Pandi dengan pemberian preparat
progesteron dan ternyata tumor mengecil. Martin menyatakan bahwa
ketidakseimbangan hormonal dapat merangsang pertumbuhan tumor ini.
Shciff mengemukakan suatu trilogi terjadinya tumor ini. Pertama tumor ini
terjadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estrogen. Kedua, aktivitas
berlebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang berlebihan dari
jaringan pembuluh darah tersebut. Schiff memberikan estrogen pada
angiofibroma nasofaring selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan
pembedahan untuk pengangkatan tumor. Hasil dari tindakan tersebut adalah
berupa perdarahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan tidak diberikan

21
estrogen sebelumnya. Estrogen memberikan efek pematangan jaringan fibrosa
dan pembuluh darah. Estrogen termasuk hormon steroid kelamin, yang fungsi
utamanya berhubungan erat dengan fungsi alat kelamin primer dan sekunder,
terutama pada wanita. Hormon ini merupakan sintesis dari kolesterol, terutama
di ovarium dan di kelenjer lain, misalnya korteks adrenal, testis dan plasenta.
Estrogen dibentuk dari androstenedion maupun testosteron yang mempunyai 4
cincin siklik dengan 19 atom C. Estrogen endogen pada manusia paling
banyak terdiri dari estradiol dan potensi estrogeniknya juga paling kuat.
Oksidasi estradiol menjadi estron dan hidrasi estron menjadi estriol, terutama
terjadi di hepar. Dietilstilbesterol merupakan senyawa estrogen sintetik
pertama dan potensi estrogenik yang cukup kuat. Reseptor estrogen dapat
ditemukan pada alat reproduksi wanita, kelenjar payudara, hipofisis, prostat
dan hipotalamus. Estrogen terikat dengan afinitas tinggi pada reseptor protein
di sitoplasma. Setelah mengalami modifikasi, kompleks reseptor estrogen ini
ditranslokasi ke inti sel yang akan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
memicu sintesis RNA dan beberapa protein spesifik lain. Sintesis protein oleh
estrogen ini dihambat oleh penghambat sintesis RNA (daktinomisin), dan
penghambat sintesis protein (sikloheksimid). Penggabungan estrogen dengan
reseptornya dihambat oleh obat golongan anti estrogen, misalnya klomefin
atau tamoksifen. Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan
untuk mengecilkan masa tumor dan mengurangi perdarahan. Pemberian
estrogen dapat meningkatkan maturasi kolagen dan mengurangi pembuluh
darah dari tumor, sehingga perdarahan berkurang dan tumor mengecil.
Estrogen dapat menimbulkan efek samping berupa penurunan kadar
testosteron plasma, atrofi testis dan ginekomastia pada anak laki-laki. Harison,
Walike dan Mackay memberikan dietilstilbestrol selama 30 hari. Terlihat
peningkatan jaringan ikat fibrosa dan penurunan dari jumlah pembuluh darah.
Dosis terapi yang dianjurkan tidak lebih dari 15 mg/hari selama satu bulan dan
dosis maksimal yang pernah diberikan adalah 3.000 mg. Di Indonesia seperti
yang dikutip oleh Dharmabakti melaporkan bahwa setelah pemberian
estrogen, ternyata tumor mengecil tetapi setelah pemberian dihentikan tumor
tumbuh lagi.
2.13.4 Sitostatika

22
Geopfert dkk (1985) pertama kali memberikan sitostatika terhadap 5
kasus angiofibroma nasofaring yang mengalami residif dengan memberikan
kombinasi deksorubisin dan dekarbasin atau kombinasi vinkristin,
daktinomisin dan siklofosfamid. Hasil yang diperoleh ternyata cukup
memuaskan dan tumor mengalami regresi secara perlahan-lahan, tanpa
menimbulkan komplikasi. Sitostatika diberikan pada tumor rekuren yang
besar, pasca tindakan pembedahan, tumor dengan pertumbuhan intrakranial
dan tumor yang mendapat perdarahan utama dari pembuluh darah intrakranial.
Obat yang diberikan antara lain doksorubisin dan dacarbazine atau kombinasi
vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid.
2.13.5 Embolisasi
Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar
untuk mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan
eksisi total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor.
Tujuannya adalah mengurangi suplai darah ke tumor, dan hal ini akan efisien
jika agen emboli dapat masuk ke pembuluh darah di dalam tumor, yang paling
baik dicapai dengan partikel berukuran kecil seperti polivinil alkohol.
Pemilihan ukuran partikel merupakan keseimbangan antara keamanan dan
efisiensi dan tergantung apakah posisi kateter dapat dicapai dengan injeksi
langsung agen emboli ke dalam tumor. Partikel kecil akan masuk lebih dalam
ke dalam tumor tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadi
nekrosis kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan yang paling sering
digunakan adalah polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi dapat
mengurangi 60-70 perdarahan intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5 hari
setelah embolisasi.
Ujung kateter ditempatkan sedekat mungkin dengan lesi, biasanya di
distal arteri karotis eksterna di setinggi bifurkasio ke arteri temporalis
superfisial dan maksilaris interna. Posisi kateter yang tepat sangat penting
untuk mencegah refluks ke arteri karotis interna. Injeksi dengan kecepatan
melebihi aliran arteri juga dapat mengakibatkan refluks ke trunkus arteri
proksimal dan bisa terjadi embolisasi intrakranial. Komplikasi ringan seperti
demam dan nyeri lokal dapat terjadi 12-24 jam setelah embolisasi dan diobati
dengan steroid. Bradikardi sementara dapat terjadi selama injeksi arteri
maksilaris. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi atropin.
Teknik Kateterisasi Arteriografi
23
Sebelum tindakan, pasien sebaiknya dipuasakan untuk mencegah risiko
aspirasi bila terjadi reaksi terhadap bahan kontras, tetapi masih dibolehkan
untuk minum. Pasien dilakukan pemeriksaan fisik, termasuk pulsasi arteri
femoralis, arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior dan status neurologis,
pemeriksaan kreatinin serum dan parameter koagulasi, pemasangan infus dan
kateter foley. Perhatian harus diberikan pada pasien dengan terapi
antikoagulan, gangguan pembekuan darah, hipertensi, dengan riwayat alergi
sebelumnya, bayi, penyakit jantung, gagal hepar atau ginjal dan gangguan
metabolik lainnya.
Arterial puncture merupakan bagian terpenting dari prosedur
angiografi. Pembuluh darah yang paling sering dilakukan puncture adalah
arteri femoralis. Tempat tusukan harus dibius dengan cukup. Setelah kulit
dibersihkan, dilakukan anestesi lokal dengan injeksi infiltrasi 5-10 ml
lignokain 0,5-1 % di sekitar arteri, baik di anterior maupun posterior arteri.
Kemudian dibuat insisi dengan skalpel. Cara yang dapat diandalkan adalah
dengan meraba arteri dengan jari tengah dan telunjuk tangan kiri dan
memasukkan jarum (yang dipegang dengan tangan kanan) di antara kedua jari
tersebut. Jarum dipegang miring ke depan dan melewati dinding anterior saja
atau keduanya melalui arteri tergantung pada pilihan angiografer. Pada teknik
single-wall puncture, aliran darah akan terjadi segera setelah jarum memasuki
lumen pembuluh darah. Ketika menggunakan teknik double-wall puncture,
setelah melewati pembuluh darah, stilet sentral dicabut, jarum ditarik perlahan,
kemudian dibengkokkan sedikit lebih ke arah horisontal dan dibantu oleh
gerakan berputar lembut untuk menghindari hentakan tiba-tiba. Ketika ujung
jarum berada di dalam lumen arteri, arus balik darah akan memancar dari hub.
Sementara jarum dipegang mantap dengan satu tangan, ujung lembut
guidewire dimasukkan melalui jarum ke dalam arteri. Jika wire sudah masuk
cukup dalam, jarum dicabut dan tekanan manual yang kuat dipertahankan
pada temap tusukan sampai jarum telah digantikan kateter atau dilator.
Guidewire dilepas ketika ujung kateter berada dalam posisi yang baik dan
kateter kemudian dibilas dengan larutan garam terheparinisasi agar bersih
bebas dari jendalan darah. Pada akhir prosedur insersi yang dilakukan dengan
benar seharusnya tidak ada perdarahan di sekitar kateter, dimana kateter akan
bergerak bebas dan tanpa rasa sakit ketika dimanipulasi.

24
Ada beberapa argumen yang mendukung baik single maupun double-
wall arterial puncture. Beberapa ahli radiologi lebih memilih untuk menusuk
hanya dinding anterior saja, untuk meminimalkan trauma ke pembuluh darah,
meskipun tusukan ke kedua dinding tidak meningkatkan risiko komplikasi,
karena komplikasi biasanya disebabkan oleh manipulasi guidewire dan kateter.
Pendukung teknik double-wall puncture mempertahankan bahwa metode ini
lebih aman, terutama ketika pertama kali belajar angiografi, dengan risiko
yang lebih rendah terjadinya diseksi intima ketika memasukkan guidewire
melalui jarum bila dibandingkan dengan teknik single-wall.Kateter dibilas
dengan larutan garam terheparinisasi pada seluruh prosedur untuk mencegah
pembekuan. Pembilasan lebih baik dilakukan sebentar-sebentar, daripada
pemberian secara kontinyu. Teknik ini tidak hanya memberikan ujung
proksimal kateter bebas dari manipulasi tetapi juga lebih efektif, karena infus
lambat hanya dapat membersihkan lubang proksimal kateter, gumpalan di
ujung dan sisi lubang lebih distal, dan kemudian pecah ke dalam sistem
vaskular ketika suntikan kontras dengan tekanan dilakukan. Setelah selesai
tindakan, dilakukan penekanan manual 1-2 cm di sebelah atas dari tempat
puncture selama 15 menit, kemudian dipasang pressure dressing. Pasien
diharuskan tetap berbaring selama 5 jam sebelum diperbolehkan mobilisasi.
2.13.6 Ligasi arteri karotis eksterna.
Salah satu cara untuk mengurangi perdarahan selama operasi adalah
dengan melakukan tindakan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini pertama
kali dilakukan oleh Pare (1652) pada pasien dengan luka tusuk yang luas di
leher akibat pedang. Pada tahun 1857 Mott melakukan tindakan ligasi untuk
tumor kepala. Waston (1939) melaporkan 20 kasus yang dilakukan ligasi arteri
karotis pada kasus tumor kepala. Tandon pada tahun 1986 melakukan tindakan
ligasi arteri karotis eksterna pada 3 pasien. Pandi melakukan ligasi arteri
karotis eksterna pada 2 pasien dan ternyata dapat mengurangi perdarahan
selama operasi. Wilson mengemukakan bahwa perdarahan utama
angiofibroma nasofaring hampir semuanya unilateral, berasal dari arteri
maksilaris interna dan arteri faringeal asenden, yang merupakan cabang dari
arteri karotis eksterna. Ligasi arteri karotis eksterna dapat mengurangi
perdarahan saat operasi. Menurut Wilson, beberapa penulis menyatakan bahwa
dengan ligasi arteri karotis eksterna ipsilateral hanya sedikit menurunkan

25
perdarahan, tetapi ligasi kedua arteri karotis eksterna dilaporkan sangat
berguna pada beberapa kasus.

2.14 Stadium dan Prognosis


Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang
paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions
sebagai berikut:
1. Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring.
2. Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan
perluasan ke satu sinus paranasal.
3. Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
4. Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke
tulang orbita.
5. Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
6. Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam
sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch:

1. Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
2. Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan
destruksi tulang.
3. Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah
parasellar sampai sinus kavernosus.
4. Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau
fossa pituitary.

Klasifikasi menurut Chandler sebagai berikut :

1. Stadium I : Tumor di nasofaring.


2. Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung atau sinus sphenoid.
3. Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus eitmoid, fossa
pterigomaksila, fossa infratemporalis, orbita dan atau pipi.
4. Stadium IV: Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Prognosis
Angiofibroma nasofaring juvenile merupakan tumor dengan kekambuhan
yang tinggi, rata-rata sebesar 32%, sampai setinggi 40-50% pada kasus dengan invasi
basis kranii. Kekambuhan dapat terjadi 3-4 bulan setelah operasi. Angka kekambuhan
tinggi terutama bila sudah mengenai basis kranii sperti sinus sphenoid, basis
pterigoid, clivus, sinus kavernosus dan fossa anterior. Sehingga, pemeriksaan ulang
sebaiknya dilakukan setiap 6-8 bulan untuk setidaknya 3 tahun setelah operasi.

26
Pembedahan untuk tumor yang masih berada diekstra kranial memberikan hasil yang
lebih optimal dibandingkan untuk tumor yang telah berada diintra kranial.

27
28

BAB 3
KESIMPULAN

Pasien angiofibroma nasofaring juvenile umumnya berjenis kelamin laki-laki berumur


12 tahun dengan keluhan hidung sering tersumbat dan mimisan berulang. Pada
pemeriksaan CT scan tampak massa menyangat di nasofaring yang meluas ke sinus
paranasalis dan terjadi destruksi tulang. Pada arteriografi tampak gambaran blush dengan
feeding vessel dari arteri maksilaris interna sinistra. Diagnosis banding juvenile angiofibroma
nasopharyng adalah polip nasi angiomatosa dan karsinoma nasofaring. Polip nasi
angiomatosa tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Letak lesi terutama di fossa nasalis,
tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun intra kranial. Pada
arteriografi mempunyai gambaran hipovaskuler atau avaskuler. Karsinoma nasofaring
terutama terjadi pada dekade kelima dan keenam. Gambaran radiologisnya adalah asimetri
fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang,
penebalan preoccipital space dan pembesaran limfonodi servikal.
Penatalaksanaan angiofibroma nasofaring juvenile dapat dengan operasi, radioterapi,
hormonal, sitostatika, embolisasi, ligasi arteri karotis eksterna. Angiofibroma nasofaring
juvenile merupakan tumor dengan kekambuhan yang tinggi, rata-rata sebesar 32%, sampai
setinggi 40-50% pada kasus dengan invasi basis kranii. Kekambuhan dapat terjadi 3-4 bulan
setelah operasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anggeani L, Adham M, Musa Z, Lisnawati, Bardosono S. Gambaran Ekspresi Reseptor


Estrogen pada Angiofibroma Nasofaring Belia dengan Menggunakan Pemeriksaan
Histokimia. Otorhinolaryngologica Indonesiana. Vol 41, No 1 (2011): Januari-Juni 2011
Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Radiologic
evaluation and Pre-operative embolization. KBB-Forum. 2006; 5(1): 58-61
Abdel Razek AAK, King A. MRI and CT of Nasopharyngeal Carcinoma. AJR. 2012; 198:11-
8
Ballah D, Rabinowitz D, Vossough A, Rickert S, Dunham B, Kazahaya K, Cahill AM.
Preoperative Angiography and External Carotid Artery Embolization of Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibromas in Tertiary Referral Paediatric Centre. Clinical
Radiology. 2013; 68: 1097-106
Chakraborty S, Ghoshal S, Patil VM, Oinam AS, Sharma SC. Conformal Radiotherapy in
The Treatment of Advanced Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma with Intracranial
Extension: an Institutional Experience. Int. J. Radiation Biol. Phys. 2011;80 (5):1398-
404
Chan M, Bartlett E, Sahgal A, Chan S and Yu E. Imaging of Nasopharyngeal Carcinoma, In:
Carcinogenesis, Diagnosis, and Molecular Targeted Treatment for Nasopharyngeal
Carcinoma. Shih-Shun Chen (Ed.), 2012. InTech.
Davis RK. Embolization of Epistaxis and Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. AJR.
1987;148: 209-18
Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen Med.
2010;7(4): 419-25
Gomaa MA, Hammad MS, Abdelmoghny A, Elsherif A, Tawfik MH. Magnetic Resonance
Imaging Versus Computed Tomography and Different Imaging Modalities in
Evaluation of Sinonasal Neoplasms Diagnosed by Histopathology. Clinical Medicine
Insight: Ear, Nose, Throat. 2013; 6: 9-15
Hansen JT. Netters Clinical Anatomy. 2nd ed. Saunders Elsevier. 2010
Harrigan MR, Deveikis JP. Handbook of Cerebrovascular Disease and Neurointerventional
Technique. Springer Science. 2013
Jacksen JE, Allison DJ, Meaney.Angiography: Principles, Techniques and Complication, In:
Grainger & Allison's Diagnostic Radiology, 5th ed. Churchill Livingstone. 2008 : 227-
31
Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PTB, Herman P. Early Postoperative CT
Scanning for Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Detection of Residual Disease.
AJNR. 2005; 26: 82-8
Kumar B, Pant B, Jeppu S. Infarcted Angiectatic Nasal Polyp with Bone Erosion and
Pterygopalatine Fossa Involvement-Simulating Malignancy. Case Report and Literature
Review. The Internet Journal of Pathology. 2012;13(2): 1-10
Llorente JL, Lopez F, Suarez V, Costales M, Suarez C. Evolution in the treatment of Juvenile
nasopharyngeal angiofibroma. Acta Otorinolaringol Esp. 2011;62(4): 279-86.
Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma Role of
Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal of Surgery. 2009; 25
(3): 185-9
Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of Management.
International Journal of Pediatrics. 2012: 1-11

29
Oliveira JAA, Tavares MG, Aguiar CV, Azevedo J, Sousa J, Almeida P et al. Comparison
between endoscopic and open surgery in 37 patients with nasopharyngeal
angiofibroma. Braz J Otorhinolaryngol. 2012;78 (1); 75-80.
Panda NK, Gupta G, Sharma S, Gupta A. Nasopharyngeal angiofibroma-changing trends in
the Management. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2012; 64(3):233-9
Roberson GH, Price AC, Davis JM, Gulati A. Therapeutic Embolization of Juvenile
Angiofibroma. AJR. 1979; 133: 657-63
Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed. Elsevier; 2004
Som PM, Curtin HD. Head and Neck Imaging. Elsevier. 2011
Sun X, Guo L, Wang H, Yu H, Wang J, Meng X, et al. The Presence of Tumor-Infiltrating IL-
17-Producing Cells in Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma Tumor
Microenvironment is a Poor Prognostic Factor. American Journal of Otolaryngology-
Head and Neck Medicine and Surgery. 2014;35:582-88
Sutton D, Gregson RHS. Arteriography and Interventional Angiography. In: Sutton D.
Textbook of Radiology and Imaging. 7th ed. Churchill Livingstone. 2008 : 1544-83
Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angioamtous Polyp : A Condition Difficult to
Diagnose. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal. 2011; 3(2): 93-7
Yi Z, Fang Z, Lin G, Lin C, Xiao W, LI Z et al. Nasopharyngeal Angiofibroma: A Concise
Classification System and Appropriate Treatment Options. American Journal of
Otolaryngology-Head and Neck Medicine and Surgery. 2013; 34: 133-41
Yousem DM, Grossman RI. Neuroradiology: The Requisite, 3rd ed. Mosby-Elsevier; 2010
Zhang M, Sun X, Yu H, Hu L, Wang D. Biological Distinctions Between Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma and Vascular Malformation: An Immunohistochemical
Study. Acta Histochemica. 2011; 113: 626-30

30

Você também pode gostar