Você está na página 1de 14

Metabolisme Energi pada Pasien-Pasien Anak dengan

Penyakit Jantung Kongenital


Andreas Nydegger, M.D. dan Julie E. Bines, M.D., F.R.A.C.P.
Abstrak
Kegagalan tumbuh (failure to thrive) merupakan salah satu kondisi yang sering
dijumpai terjadi pada pasien-pasien anak dengan penyakit jantung kongenital
(congenital heart disease; CHD) dan biasanya turut mempengaruhi respons
metabolik populasi pasien tersebut terhadap cedera dan keluaran (outcome) paska
pelaksanaan tindakan pembedahan korektif jantung (corrective cardiac surgery).
Ketidakseimbangan energi menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi
dalam menyebabkan terjadinya gangguan hingga kegagalan pertumbuhan. Sejauh
ini, literatur dari berbagai studi mengenai metabolisme energi pada pasien-pasien
anak dengan CHD yang dipublikasikan tergolong sulit untuk diinterpretasikan,
dimana umumnya studi-studi yang telah dilakukan hanya melibatkan sejumlah
kecil pasien, tetapi tipe dan derajat keparahan lesi kardiak yang masih sangat luas
(belum dipersempit), dan juga terdapat berbagai faktor genetik dan/atau prenatal
yang turut terlibat. Meskipun berlangsungnya periode postoperatif segera
(immediate postoperative period) ditandai dengan terjadinya status
hipermetabolik, pembelanjaan energi keseluruhan (total energy expenditure; TEE)
dan pembelanjaan energi saat istirahat (resting energy expenditure; REE) yang
rendah selama periode 24 jam paska pelaksanaan prosedur, biasanya setelah
periode 5 hari, kebutuhan REE akan kembali menuju kisaran saat sebelum
dilakukan operasi. Pertambahan berat badan dan pertumbuhan yang signifikan
dapat terjadi dalam periode beberapa bulan paska dilakukannya tindakan
pembedahan korektif. Meskipun demikian, dapat dijumpai terjadinya perbaikan
paska operatif, terutama pada aspek status nutrisional dan pertumbuhan yang
buruk pada pasien-pasien anak dengan berat lahir rendah, defisit intelektual,
ataupun yang mengalami malformasi residual. Kedepannya diperlukan
dilakukannya studi-studi yang digunakan untuk mengetahui dan menentukan
waktu pelaksanaan tindakan operatif yang tepat guna memaksimalkan aspek
nutrisional dan mengidentifikasikan pasien-pasien anak yang bagaimanakah yang
dapat memperoleh manfaat melalui pemberian tunjangan nutrisional preoperatif
yang maksimal.
Kata Kunci: Basal metabolic rate; Tindakan pembedahan jantung; Pembelanjaan
energi; Kalorimetri indirek; Pembelanjaan kalori saat istirahat; Pembelanjaan
kalori total.
Pendahuluan
Ketersediaan energi merupakan salah satu hal fundamental bagi
berlangsungnya metabolisme basal, pertumbuhan, dan aktivitas fisik. Gangguan
yang terjadi pada keseimbangan energi merupakan salah satu faktor utama yang
dapat membatasi pertumbuhan, dan perkembangan kognitif maupun motorik [1].
Karena tingginya derajat metabolisme dan keterbatasan ketersediaan substrat
endogen, anak-anak berada dalam risiko untuk dapat mengalami defisiensi energi
secara cepat selama terjadinya episode penyakit-penyakit akut atau yang kronis
sekalipun. Anak-anak yang menderita CHD benar-benar berada dalam risiko
untuk mengalami ketidakseimbangan energi. Kebanyakan pasien-pasien anak
dengan CHD memiliki berat badan yang normal dan sesuai dengan usia
gestasional saat dilahirkan, tetapi dapat mengalami gangguan nutrisional dan
pertumbuhan saat masa kanak-kanak awal [2-6]. Berat badan tampaknya menjadi
parameter yang lebih sering terkena dampaknya dibandingkan dengan tinggi
badan; meskipun sebenarnya hampir separuh (47%) anak-anak yang berusia < 2
tahun tergolong kerdil (stunted) [7].
Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya malnutrisi yang
dialami oleh pasien-pasien anak dengan CHD (Tabel 1) [8,9]. Kontribusi relatif
yang dimiliki oleh masing-masing faktor tersebut pada seorang pasien individual
bergantung terhadap tipe dan derajat keparahan lesi jantung yang terjadi dan
diasosiasikan dengan berbagai kondisi yang berlangsung pada penyakit tersebut
[10]. Pasien-pasien anak yang menderita lesi jantung sianotik (tetralogy of Fallot,
transposisi beberapa arteri besar [transposition of the great arteries]) biasanya
mengalami penurunan berat badan dan tinggi yang lebih intens dibandingkan
dengan anak-anak normal [11]. Keberadaan aksis yang meregulasi leptin (leptin-
regulating axis) yang tetap normal pada pasien-pasien CHD sianotik,
menunjukkan bahwa leptin tidak memiliki kontribusi atas kaheksia kardiak
(cardiac cachexia) yang dialami [12]. Para pasien anak yang menderita penyakit
jantung asianotik dan yang memiliki left-to-right shunt yang berukuran besar
(patent ductus arteriosus [PDA], ventricular septal defect [VSD], atrial septal
defect [ASD]) biasanya akan mengalami penurunan berat badan, tetapi
pertumbuhannya cenderung stabil selama periode kanak-kanak [10,13]. Meskipun
demikian, karena peningkatan tekanan pulmonal yang tetap terjadi, maka tetap
sering ditemukan terjadinya gangguan pertumbuhan. Asupan energi biasanya
mengalami penurunan pada pasien-pasien anak dengan CHD dan dihubungkan
dengan laju pertambahan berat badan yang buruk [14,15]. Beberapa kondisi
genetik yang berhubungan, seperti sindroma Down atau Turner juga dapat
mempengaruhi intake energi, absorbsi saluran pencernaan, kebutuhan energi, dan
ekspekstasi pertumbuhan [16].

Tabel 1. Berbagai faktor yang diperkirakan dapat berkontribusi atas terjadinya malnutrisi dan
gangguan pertumbuhan pada pasien-pasien anak dengan CHD
1. Tipe dan pengaruh klinis dari penyakit jantung
Defek sianotik vs asianotik
Shunts
Gagal jantung kongestif
Status operatif
Usia saat pelaksanaan prosedur
Tipe prosedur yang dilakukan
Komplikasi
2. Gangguan dalam metabolisme energi
Peningkatan pembelanjaan energi
Hipertrofi jantung
Abnormalitas komposisi tubuh
Peningkatan aktivitas sistem sara simpatis
Peningkatan jaringan hematopoietik
Peningkatan temperatur basal
Berlangsungnya infeksi rekuren
Pengaruh agen-agen farmakologis
3. Penurunan asupan energi
Anoreksia dan mudah kenyang
Pengaruh agen-agen farmakologis
Penurunan volum lambung akibat hepatomegali
4. Ganguan pada fungsi saluran pencernaan
Malabsorbsi
Edema dan hipoksia kronis pada saluran pencernaan
Interaksi atau interferensi obat-obatan yang dikonsumsi
Perkembangan saluran pencernaaan yang terlambat
Hepatomegali kompresif
5. Faktor-faktor prenatal
Kelainan kromosom
Faktor-faktor intrauterinal
Berat badan waktu lahir

Ketidakseimbangan energi merupakan salah satu faktor utama yang


berkontribusi dalam berlangsungnya malnutrisi pada pasien-pasien anak yang
mengalami CHD. Meskipun demikian, sejumlah literatur mengenai metabolisme
energi pada anak-anak dengan CHD yang dipublikasikan sulit untuk
diinterpretasikan sebagaimana halnya dengan sebagian besar studi yang dilakukan
karena hanya melibatkan sejumlah kecil pasien dimana pengukuran parameter
dilakukan pada kelompok pasien yang masih sangat beragam dan masih
mencakup berbagai tipe dan derajat keparahan lesi jantung yang terlalu luas
(belum spesifik), kurang memperhatikan keberadaan berbagai faktor genetik
ataupun prenatal. Selain itu, ketiadaan kelompok kontrol dan standarisasi waktu
dan metode pengukuran energi membuat hasil-hasil dari berbagai studi tersebut
kurang layak untuk dibandingkan. Anak-anak yang menderita CHD memiliki
komposisi tubuh yang abnormal, meskipun demikian hanya terdapat sedikit studi
yang menyampaikan hasil-hasil pengukuran energi terkait dengan data komposisi
tubuh [17]. Mengengat berbagai faktor tersebut, tidak sepenuhnya mengejutkan
atas dijumpainya berbagai hasil yang bertentangan dari studi-studi mengenai
pemakaian dan manajemen energi pada anak-anak dengan CHD [17]. Dalam
kajian ini, kami mengevaluasi beberapa literatur mengenai metabolisme energi
pada anak-anak dengan CHD dengan tujuan khusus untuk menilai efek
pelaksanaan tindakan pembedahan korektif jantung terhadap metabolisme energi
pada pasien-pasien anak dengan CHD
Material dan Metode
Pertama, dilakukan pencarian di MEDLINE berupa semua studi yang
dipublikasikan sejak tahun 1966 hingga bulan Desember 2004 dengan
menggunakan the Medical Subject Headings dan kata kunci: metabolisme energi,
penyakit jantung kongenital, dan anak-anak (0-18 tahun): data dari seluruh studi
yang didapatkan ditabulasikan dalam tabel-tabel perbandingan dan presentasi.
Hasil
Pembelanjaaan energi pada anak-anak dengan CHD
Terdapat hubungan yang erat antara asupan energi, pembelanjaan energi,
status nutrisional, dan pertumbuhan pada pasien-pasien anak [6,7,9,15,18]. Jumlah
energi yang tersedia untuk metabolisme (metabolizable energy) merupakan
jumlah dari total pembelanjaan energi (total energy expenditure; TEE) dan energi
yang disimpan (stored energy). TEE meliputi seluruh energi yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk untuk keperluan basal metabolic rate
(BMR), termoregulasi, aktivitas fisik, dan pertumbuhan. Proporsi relatif dari
berbagai komponen TEE tersebut biasanya dapat bervariasi, bergantung terhadap
usia dan komposisi tubuh (Gamabr 1). BMR merupakan komponen utama dari
TEE dan metabolizable energy intake (Gambar 1). Energi tersebut digunakan
dalam pemeliharan fungsi-fungsi dasar kehidupan, seperti fungsi jantung,
bernapas, dan fungsi-fungsi seluler dasar. Besarnya BMR pada bayi biasanya
hampir mencapai 2 kali lipat BMR dewasa per kgBB [19]. Hal tersebut mewakili
terdapatnya perbedaan proporsi berat badan yang relatif terdistribusikan pada
organ-organ yang memiliki laju metabolisme tinggi, seperti otak, ginjal, hepar,
dan jantung [19]. Diperkirakan bahwa otot-otot jantung yang hipertropik pada
pasien-pasien anak yang mengalami gagal jantung kongestif (congestive heart
failure; CHF) turut bertanggungjawab dalam kasus peningkatan BMR yang
dilaporkan terjadi pada beberapa studi [20]. Meskipun telah diketahui terdapatnya
perbedaan pengaruh komponen atrioventrikuler (atrioventricular differences) pada
energi metabolisme dari anak-anak dengan CHD, pengaruhnya terhadap BMR
pada anak-anak yang mengalami kelainan di regio yang berbeda pada kasus
hipertrofi otot jantung belum dapat diketahui sepenuhnya [21]. Penjelasan lain
atas peningkatan BMR yang dialami pada anak-anak dengan CHD, berupa
terjadinya peningkatan aktivitas saraf simpatis, jaringan hematopoietik, dan otot-
otot pernapasan [20,22]. Anak-anak yang menderita CHD berada dalam risiko
untuk mengalami infeksi yang mengakibatkan berlangsungnya peningkatan suhu
basal tubuh dan stres metabolik [23,24].

Gambar 1. Komponen-komponen pembelanjaan energi dalam persentase


terhadap metabolizable energy intake pada neonatus, anak-anak, dan dewasa [30]
Pengukuran besarnya pembelanjaan energi saat istirahat (resting energy
expenditure; REE) biasanya disertai dengan pengukuran konsumsi oksigen dan
interpretasi hasil yang diperoleh harus dilakukan dengan memperhatikan berbagai
perubahan yang terjadi pada komposisi tubuh pasien. Pada pasien-pasien
malnutrisi yang mengalami CHD biasanya dijumpai konsumsi oksigen (per
kgBB) yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien CHD dengan status
gizi yang baik [5,25]. Meskipun demikian, perubahan dalam ekstensi dan proporsi
kompartemen-kompartemen tubuh yang aktif secara metabolik, sebagaimana yang
terjadi pasien-pasien anak dengan CHD dapat mengganggu atau mengaburkan
interpretasi-interpretasi hasil-hasil tersebut [16,26]. Paien-pasien anak yang
mengalami CHD memiliki jumlah massa air total yang lebih tinggi (> 7-8%)
dibandingkan dengan subyek-subyek kontrol yang sehat dan normal [17]. Hal
tersebut diperkirakan sebagai akibat dari penurunan relatif massa lemak,
peningkatan hidrasi kompartemen massa bebas lemak (fat-free mass
compartment), atau keduanya [17]. Hubungan antara BMR dengan massa bebas
lemak bersifat tidak linear, terutama ketika digunakan untuk membandingkan
individu-individu yang memiliki ukuran tubuh yang berbeda, sehingga perlu
digunakan metode-metode alternatif guna membandingkan individu-individu yang
memiliki besar massa bebas lemak yang sangat berbeda [27].
Peningkatan REE yang dilaporkan terjadi pada pasien-pasien anak yang
mengalami CHD tampaknya lebih erat dihubungkan dengan keberadaan atau
ketiadaan gagal jantung dibandingkan dengan kelainan jantung tipe tertentu [28].
Hubungan antara kondisi-kondisi tersebut juga tidak jelas dikemukakan dalam
beberapa studi mengenai TEE dan diperkirakan karena kecilnya jumlah pasien
yang dilibatkan, pengaruh agen-agen diuretik dan restriksi cairan yang dilakukan,
atau oelh karena interpretasi dari doubly labeled water method yang digunakan
dalam pengukuran TEE. Tidak dijumpai terdapatnya perbedaan REE yang
signifikan antara anak-anak yang mengalami penyakit jantung dengan lesi
asianotik maupun sianotik meskipun beberapa studi yang mengemukakan
tersebut juga memiliki keterbatasan karena hanya melibatkan sejumlah kecil
pasien (Tabel 2) [29].
Besarnya energi untuk pertumbuhan merupakan salah satu hal yang patut
diperhatikan pada pasien-pasien anak, dimana komponen belanja energi tersebut
terdiri dari jumalh energi yang dikeluarkan dan diinvestasikan untuk
membentuk/sintesis jaringan baru. Selama tahun pertama kehidupan, besarnya
energi untuk pertumbuhan mengalami penurunan yang tajam, mulai dari 1/3 dari
intake energi pada 3 bulan pertama kehidupan hingga hanya menjadi 4% dari
intake energisaat usia 12 bulan [19]. Kegagalan tumbuh (failure to thrive) dan
stunting yang dialami oleh anak-anak dengan CHD diperkirakan karena
rendahnya pembelanjaan energi untuk pertumbuhan dibandingkan dengan nilai
yang diharapkan terjadi pada anak-anak normal yang berada dalam kisaran usia
yang sama [15]
Pada anak-anak, aktivitas fisik yang berhubungan dengan pembelanjaan
energi akan mengalami peningkatan dari 5% dari total metabolizable energy
intake pada usia 6 minggu hingga menjadi 34% pada usia 12 bulan [30]. Pada
masa kanak-kanak akhir, perilaku behavioral turut berkontribusi dalam aktivitas
fisik dan TEE, dimana sejak saat inilah tidak adekuat lagi untuk memprediksikan
TEE berdasarkan ukuran tubuh saja [31]. Peningkatan relatif TEE terhadap REE
dilaporkan terjadi pada anak-anak yang berusia 3-5 bulan yang menderita VSD
dengan left-to-right shunt (Gambar 2) [16]. Pasien-pasien tersebut mengalami
defisit berat dan tinggi badan selama periode studi, dimana peningkatan TEE
tersebut bukan merupakan hasil dari peningkatan belanja energi untuk
pertumbuhan [16]. Peningkatan TEE pada anak-anak yang mengalami CHD
biasanya disebabkan oleh terjadinya peningkatan kerja jantung, peningkatan
kinerja pernapasan, hilangnya efisiensi myokard, dan peningkatan/stimulasi
sistem saraf simpatis [22]. Karena berbagai hal tersebut, dapat diperkirakan bahwa
anak-anak yang menderita CHD dan CHF akan memiliki besar TEE yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien CHD yang tidak mengalami gagal
jantung. Meskipun terdapat sejumlah studi yang menyatakan bahwa TEE pada
pasien-pasien anak yang menderita CHD dan CHF, perbedaan tersebut tidak
bersifat signifikan secara statistik [16,17,28,32]. Sejauh ini, diperkirakan bahwa
terapi diuretik dan retriksi cairan yang diberikan dapat membatasi abnormalitas
hemodinamik yang terjadi akibat gagal jantung pada pasien-pasien yang dipelajari
tersebut [17].
Metabolisme energi selama periode perioperatif
Status nutrisional pada anak-anak turut berpengaruh pada keputusan
terkait pemilihan waktu dan tipe tindakan pembedahan jantung yang seperti
apakah yang akan dilakukan [33]. Malnutrisi diasosiasikan dengan terjadinya
peningkatan morbiditas dan mortalitas pembedahan [34]. Terdapat beberapa faktor
yang turut berkontribusi dalam outcome tindakan pembedahan tersebut,
diantaranya berupa pengaruh defisiensi makronutrien dan mikronutrien terhadap
fungsi otot-otot pernapasan, dan penyembuhan luka [14,34 36]. Bahkan pada
pasien-pasien anak yang normal dan sehat, hampir sepertiganya akan mengalami
malnutrisi energi-protein akut (acute protein-energy malnutrition) dalam periode
48 jam paska masuk ICU [35,37]. Hal tersebut dapat berkontribusi terhadap
terjadinya instabilitas metabolik dan menyebabkan perlunya peningkatan
intensitas perawatan [37]. Tipe dan derajat keparahan dari penyakit yang dialami
dan terapi yang diberikan dapat minimbulkan gangguan pada metabolisme energi
dan penggunaan substrat [38]. Sesuai dengan khasnya tindakan pembedahan
jantung, periode postoperatif ditandai dengan terjadinya perubahan status
eumetabolisme menjadi hipermetabolisme dan keseimbangan nitrogen yang
negatif (negative nitrogen balance) [39]. Pergeseran menuju ke arah
berlangsungnya oksidasi lemak dan glukoneogenesis atau terjadinya gangguan
penggunaan karbohidrat yang ditemukan paska pelaksanaan tindakan pembedahan
jantung diperkirakan sebagai akibat dari stres hormonal perioperatif dan
pemberian katekolamin untuk kepentingan terapeutik [40,41]. Meskipun
demikian, juga terdapat beberapa studi yang menyatakan TEE dan REE pada
pasien-pasien anak dengan CHD yang lebih rendah selama periode 24 jam paska
operasi dibandingkan dengan yang diprediksikan terjadi pada anak-anak yang
normal dan sehat seusianya [42]. Masih belum diketahui apakah hasil tersebut
disebabkan karena gangguan yang terjadi selama pengukuran REE dengan
menggunakan kalorimetri indirek pada pasien-pasien anak yang terpasang
ventilasi dengan menggunakan uncuffed tubes atau merupakan akibat dari gas-gas
anestetika, sedasi, atau terapi medikamentosa yang sedang diberikan atau memang
benar-benar menunjukkan terjadinya pembelanjaan energi yang modera selama
periode tersebut [43]. Pada periode postoperatif hari ketiga, terjadi perubahan
menuju arah metabolisme anabolik yang diinisiasi melalui normalisasi kadar
glukosa dan peningkatan konsentrasi insulin, glukagon, growth hormone, dan
tiroid [41]. Respons tersebut dapat mengalami keterlambatan pada pasien-pasien
yang sebelumnya telah berada dalam kondisi sianotik sebelum dilakukan operasi
[41]. REE baik pada anak-anak yang mengalami penyakit jantung sianotik
maupun asianotik akan kembali meunju konsentrasi seperti saat masa preoperatif
pada hari kelima paska pelaksanaan operasi [42].
Gambar 2. Komponen-komponen metabolisme energi pada pasien-pasien anak
dengan CHD.
Pembelanjaan energi paska pelaksanaan tindakan pembedahan korektif
jantung
Setelah berhasil dilakukannya operasi korektif jantung, pembealnjaan
energi akan kembali menuju level sebelumnya. Pada anak-anak yang berusia 5
tahun, atau paska rerata 2,6 tahun paska pelaksanaan tindakan pembedahan
korektif, akan terjadi normalisasi TEE pada pasien-pasien anak dengan CHD yang
mengalami peningkatan TEE preoperatif [26,44]. Normalisasi keseimbangan
energi tersebut dapat dilihat dari berlangsungnya perbaikan status nutrisional.
Tindakan pembedahan jantung yang berhasil biasanya diasosiasikan dengan
pertambahan berat badan dalam kurun waktu beberapa bulan paska pelaksanaan
prosedur, meskipun biasanya memerlukan waktu hingga 1 tahun untuk mencapai
berat dan tinggi badan yang normal [45]. Perbaikan yang signifikan dalam aspek
pertambahan berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala dapat diskasikan sejak
periode 6-12 bulan paska pelaksanaan prosedur korektif bagi anak-anak penderita
VSD dan CHF yang memiliki berat lahir normal dan tindakan pembedahan
korektif sendiri dilakukan sebelum usia tahun ke-7 kehidupan. Perbaikan
paskaoperatif yang terbatas, baik dalam aspek berat dan tinggi badan ditemukan
terjadi pada anak-anak yang memiliki berat lahir rendah, lingkar kepala yang
kecil, mengalami defisit intelektual, atau malformasi residual [46]. Meskipun
obesitas dan penyakit kardiovaskuler prematur sering dijumpai terjadi pada anak-
anak yang memiliki berat badan lahir sangat rendah paska tumbuh kejar, hal
tersebut tampaknya bukan merupakan risiko terjadinya CHD, karena sebagian
besar anak memiliki berat lahir yang normal [2 6,47].
Bukti penunjang atas pertimbangan pelaksanaan koreksi operatif sedini
mungkin
Usia dan waktu pelaksanaan tindakan pembedahan korektif jantung turut
berpengaruh terhadap perbaikan nutrisional pasien [18]. Akan tetapi manfaat
nutrisional tersebut harus dipertimbangkan dengan matang terlebih dahulu karena
terjadinya peningkatan risiko intraoperatif dan postoperatif yang mungkin terjadi
pada bayi atau anak yang dengan berat badan yang rendah/berukuran kecil,
imatur, dan mengalami kekurangan nutrisi. Sejauh ini, tidak terdapat studi-studi
yang membandingkan outcome nutrisional pasien-pasien anak yang menjalani
tindakan pembedahan dini vs pasien-pasien anak yang menjalani tindakan
pembedahan jantung setelahnya. Meksipun demikian, terdapat sebuah hubungan
antara konsentrasi laktat myokardial dengan sianosis dan rendahnya kadar
nukelotida adenin yang terjadi seiring dengan pertambahan usia anak [48].
Pertanyaan berupa apakah faktor-faktor tersebut tirut mempengaruhi
pembelanjaan energi pada pasien-pasien anak dengan CHD yang lebih ebsar/tua
belum dapat diketahui sepenuhnya.
Peranan pemberian tunjangan nutrisi guna meningkatkan outcome
postoperatif
Pasien-pasien yang mengalami malnutrisi memiliki kecenderungan untuk
mengalami terjadinya baik komplikasi-komplikasi infeksiosa maupun
noninfeksiosa dari penyakit yang dialaminya atau terapi yang dijalaninya,
sehingga memperpanjang durasi perawatan di Rumah Sakit [4951]. Pemenuhan
kebutuhan metabolik dan nutrisional selama periode instabilitas medis tersebut
melalui pemberian asupan substrat-substrat energi dan bernutrisi dapat
memperbaiki stres metabolik yang terjadi dan berperan dalam perbaikan outcome
pasien [52]. Pemberian tunjangan asupan nutrisi selama periode postoperatif
hingga dapat dipenuhinya asupan volunter pasien yang adekuat diperlukan dalam
meminimalisasi peranan malnutrisi dalam stres metabolik dan komplikasi
postoperatif yang terjadi. Sayangnya, sejauh ini keberadaan persamaan-persamaan
untuk menentukan besarnya kebutuhan energi bagi anak-anak dengan CHD
selama periode postoperatif yang telah tervalidasi masih terbatas [53]. Idealnya,
tunjangan nutrisi yang diberikan sebaiknya diberikan melalui jalur enteral, kecuali
bila terdapat kontraindikasi atas pemberian makan per enteral.
Keterbatasan/kekurangan asupan cairan dan colume darah untuk menjamin
keberlansungan distribusi obat dan produk-produk darah menjadi salah satu
penghalang utama dalam usaha pemberian tunjangan nutrisi selama periode
postoperatif.
Kesimpulan
Ketidakseimbangan energi merupakan salah satu faktor utama yang
berkontribusi atas terjadinya kasus gagal tumbuh pada pasien-pasien anak dengan
CHD dan hal tersebut berpengaruh terhadap respons metabolik terhadap cedera
yang terjadi dan outcome paska pelaksanaan tindakan pembedahan korektif
jantung. Sejauh ini, literatur dari berbagai studi mengenai metabolisme energi
pada pasien-pasien anak dengan CHD yang dipublikasikan tergolong sulit untuk
diinterpretasikan, dimana umumnya studi-studi yang telah dilakukan hanya
melibatkan sejumlah kecil pasien yang mengalami kelainan jantung yang
memiliki bermacam-macam tipe dan terjadi dalam derajat keparahan yang
berbeda-beda (masih sangat luas, belum dipersempit), dan juga terdapat berbagai
faktor genetik dan/atau prenatal yang turut terlibat. Usia dan waktu pelaksanaan
tindakan pembedahan korektif turut mempengaruhi potensi terjadinya perbaikan
nutrisional. Meskipun berlangsungnya periode postoperatif yang segera
(immediate postoperative period) ditandai dengan terjadinya status
hipermetabolik, TEE dan REE yang rendah dalam periode 24 jam paska
pelaksanaan prosedur. REE sendiri cenderung akan kembali menuju kisaran nilai
preoperatif dalam hitungan beberapa hari paska pelaksanaan operasi. Perbaikan
yang signifikan pada aspek berat dan tinggi badan dapat dijumpai terjadi dalam
periode beberapa bulan paska pelaksanaan tindakan pembedahan korektif jantung.
Meskipun demikian, keterbatasan perbaikan postoperatif dan pertumbuhan dapat
dialami oleh anak-anak yang memiliki berat lahir rendah, mengalami defisit
intelektual, atau malformasi residual. Kedepannya diperlukan dilakukannya studi-
studi yang digunakan untuk mengetahui dan menentukan waktu pelaksanaan
tindakan operatif yang tepat guna mengoptimalkan aspek nutrisional dan
mengidentifikasikan pasien-pasien anak yang bagaimanakah yang diperkirakan
dapat memperoleh manfaat melalui pemberian tunjangan nutrisional preoperatif
yang maksimal. Hal tersebut tidak hanya kan membantu meminimalkan terjadinya
risiko-risiko yang berhubungan dengan malnutrisi yang terjadi selama periode
perioperatid, tetapi juga dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan
sebagai pijakan untuk memaksimalkan potensi pertumbuhan kejar (catch-up
growth) pada masa postoperatif selanjutnya.

Você também pode gostar