Você está na página 1de 16

Tatalaksana dan Follow-up Kanker Tiroid pada Wanita Hamil

Ringkasan
Kanker tiroid merupakan keganasan endokrin yang paling sering terjadi dan
sering ditemukan pada wanita muda. Kehamilan pada penderita kanker tiroid tidak
jarang ditemukan dan sekitar 10% dari kanker tiroid yang terjadi selama masa
reproduktif terdiagnosis saat kehamilan atau pada periode post-partum awal. Kanker
tiroid terdiferensiasi (DTC) pada pasien muda secara umum memiliki prognosis baik,
dan survival bebas penyakit pada wanita hamil yang mengalami DTC tidak berbeda
jauh dengan wanita tidak hamil dengan usia yang sama. Namun, kanker tiroid yang
ditemukan saat kehamilan dapat menngakibatkan kecemasan tentang waktu yang
optimal untuk memulai terapi dan morbiditas baik maternal maupun neonatal, karena
ditemukannya kehamilan pada pasien terdiagnosis kanker tiroid jelas membutuhkan
tatalaksana baik pada ibu maupun janin. Tujuan utama dari pemantauan klinis pasien
kanker tiroid hamil adalah: 1) mencapai keseimbangan kalsium ibu dan hormon tiroid
yang dibutuhkan sistem saraf pusat janin untuk pematangan normal; 2) menjaga level
optimum tiroksin ibu agar menghindari kemungkinan rekurensi atau penyebaran
penyakit; dan 3) melakukan follow-up yang aman bagi ibu dan merencanakan terapi
lebih lanjut jika diperlukan. Data dari tinjauan literatur dan pengalaman penulis
menunjukkan bahwa pada pasien yang dilakukan terapi tiroksin supresif atau substitusif,
perkembangan tiroid janin normal pada penelitian USG, status tiroid saat lahir normal,
dan insidensi morbiditas ibu tidak dipengaruhi kehamilan. Pada tinjauan ini, penulis
menggarisbawahi bahwa penyesuaian umum levo-tiroksin dan terapi kalsium
merupakan hal yang paling penting untuk kesejahteraan ibu dan anak dan memberikan
sebuah hasil yang baik dari segi praktis, dan memberi sebuah alur yang mudah dan jelas
untuk tatalaksana kanker tiroid yang berhubungan dengan kehamilan.
Kata kunci: Kehamilan, kanker tiroid, terapi tiroksin
Pendahuluan
Kanker tiroid, keganasan endokrin yang paling sering terjadi, sering ditemukan
pada pasien muda dan lebih sering ditemukan pada wanita. Usia median diagnosis ini
cukup muda, di bawah 40 tahun pada kebanyakan populasi. Karena alasan tersebut,
kanker tiroid terdiferensiasi (DTC) merupakan salah satu kanker tersering pada wanita
di usia reproduktif. Kanker tiroid merupakan salah satu kanker yang sering terjadi saat
kehamilan, dengan prevalensi 3,6-14 per 100.000 kelahiran hidup.
Kehamilan pada kanker tiroid tidak jarang ditemukan, dan sekitar 10% dari
kanker tiroid yang terjadi pada masa reproduktif terdiagnosa saat kehamilan atau
periode post-partum awal.
Beberapa data menyatakan kepentingan faktor pertumbuhan (kebanyakan TSH,
namun juga HCG) dalam pertumbuhan, progresi, dan penyebaran tumor papiler.
Estrogen in vitro telah terbukti menurunkan regulasi gen NIS (simporter natrium iodide)
dan mengawali produksi tiroglobulin (HTG), meningkatkan ekspresi gen HTG lewat
reseptor estrogen yang ada pada jaringan tiroid, tanpa menstimulasi proliferasi cepat sel.
Hal ini dapat mendukung hipotesis bahwa hormon seks dan kejadian menstruasi, dapat
memodifikasi risiko kanker tiroid pada wanita, meskipun hubungan ini dapat
menyatakan baik sebuah hubungan akibat atau merupakan sebuah bias dapat
menunjukkan etiologi yang disebabkan kedua faktor tersebut dan oleh kanker tiroid.
Namun, hubungan tersebut belum dikonfirmasi.
Diagnosis tumor saat kehamilan jelas menyebabkan kecemasan tentang waktu
optimal untuk memulai terapi dan tentang morbiditas ibu maupun anak. Namun, kanker
tiroid pada pasien muda secara umum memiliki prognosis yang baik, dan survival bebas
penyakit pada wanita hamil yang mengalami kanker tiroid tidak berbeda jauh dengan
wanita tidak hamil dengan usia dan penyakit yang sama.
Kehamilan merupakan suatu keadaan khusus dalam onkologi: kita perlu
mengontrol dua pasien dalam satu waktu, dan keduanya merupakan individu rentan.
Sebagai tambahan, masing-masing situasi harus dipertimbangkan perkembangannya,
tidak statis, terutama pada trimester pertama. Terakhir, pasien kanker tiroid biasanya
dilakukan total tiroidektomi dan memerlukan suplementasi kalsium dan tiroksin yang
cukup.
Dengan demikian, kehamilan yang terjadi pada kanker tiroid membutuhkan
kontrol baik pada ibu maupun anak. Masalah utamanya adalah: 1) mencapai
keseimbangan kalsium ibu dan hormon tiroid yang dibutuhkan sistem saraf pusat janin
untuk pematangan normal; 2) menjaga level optimum tiroksin ibu agar menghindari
kemungkinan rekurensi atau penyebaran penyakit; dan 3) melakukan follow-up yang
aman bagi ibu dan merencanakan terapi lebih lanjut jika diperlukan.

Fisiologi kehamilan
1. Hormon tiroid dan perkembangan janin
Struktur endokrin yang pertama terbentuk selama perkembangan embrio adalah
kelenjar tiroid. Pada usia 10-12 minggu perkembangan embrio, folikel yang berisi
koloid mulai terlihat, dan tiroid sudah mampu untuk membentuk iodine menjadi
hormone tiroid. Hormon tiroid merupakan faktor mayor perkembangan normal otak
janin, dan hingga akhir dari trimester pertama, saat aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid
berfungsi, otak janin sangat bergantung pada deiodinasi lokal dari tiroksin ibu.
Defisiensi hormone tiroid dapat mengakibatkan gangguan neurologis berat, karena
defek pada diferensiasi dan migrasi sel neuron, perkembangan akson dan dendrite,
pembentukan myelin, dan sinaptogenesis. Akibat dari wanita hamil yang memiliki kadar
tiroksin bebas (fT4) serum yang rendah pada usia gestasi 12 minggu dapat terjadi
keterlambatan yang signifikan dalam perkembangan saraf. Ibu merupakan satu-satunya
sumber hormon tiroid janin dari masa konsepsi hingga kira-kira 13 minggu masa
gestasi, di mana saat itu fungsi tiroid janin telah berkembang.
Selama kehamilan, fisiologi tiroid ibu mengalami beberapa perubahan, sehingga
terjadi peningkatan volume tiroid yang biasanya berhubungan dengan kenaikan ekskresi
iodium urin. Peningkatan volume tiroid juga berhubungan dengan pembentukan nodul
tiroid baru dengan tampilan histologist hyperplasia noduler. Pada masa sangat awal
kehamilan, peningkatan kadar estrogen menyebabkan peningkatan dua kali lipat
globulin pengikat tiroksin (TBG) yang dapat menyebabkan peningkatan pada
konsentrasi T4 total dan penurunan fraksi bebas (Tabel 1). Pada wanita sehat, efek akhir
yang terjadi antara lain peningkatan yang signifikan dari cadangan tiroksin total,
terutama pada trimester pertama. Hal ini dapat terjadi karena stimulasi tiroid yang
dipicu oleh human chorionic gonadotropin (HCG) lewat afinitas strukturalnya dengan
tirotropin (TSH). Dapat diamati bahwa terdapat sedikit peningkatan fT4 dan penurunan
TSH yang terjadi antara minggu ke 9 dan 12 gestasi, kemudian kadar HG menurun dan
TSH mencapai kadar normal non-kehamilan. Konsentrasi TSH biasanya tetap pada
kisaran normal setelah 16-18 minggu. Pada wanita hamil yang hipotiroid atau pernah
dilakukan tiroidektomi, perubahan fisiologis seperti demikian jelas tidak dapat terjadi.
Selama terapi supresif atau substitusif, kebutuhan L-T4 meningkat saat awal kehamilan,
mencapai plateau setelah 16-20 minggu masa gestasi, dengan dosis L-T4 yang
dibutuhkan kira-kira 30-50% lebih tinggi dibanding yang diberikan sebelum kehamilan.

Tabel 1. Perubahan fisiologis fungsi tiroid selama kehamilan.


Meningkat Menurun
HCG (efek seperti TSH) TSH
TBG, total T4 dan T3 serum, cadangan T3 dan T4
HTG
5-deiodinase tipe III, klirens iodium, degradasi T3 dan T4
Volume tiroid

Di samping hubungan yang telah diketahui antara hipotiroidisme gestasional dan


kerusakan perkembangan intelektual dan kognitif, hipotiroidisme yang tidak diterapi
atau mendapat terapi yang cukup dan hipotiroidisme subklinis berhubungan dengan
kematian janin, anemia, hipertensi gestasional dan preeclampsia, abruption plasenta,
peningkatan risiko abortus, retardasi perkembangan janin, serta mortalitas perinatal dan
neonatal. Terakhir, untuk pasien kanker tiroid, hipotiroidisme dapat meningkatkan risiko
terjadinya rekurensi pada ibu.
Oleh karena itu, hipotiroidisme harus dihindari oleh seluruh wanita hamil,
terutama oleh pasien kanker tiroid, dan suplementasi tiroksin yang benar merupakan hal
yang sangat penting.

2. Kebutuhan vitamin D selama kehamilan


Pasien yang telah dilakukan tiroidektomi memerlukan suplementasi kalsium dan
vitamin D, dan terapinya membutuhkan penyesuaian yang sering selama masa
kehamilan untuk mencegah hipokalsemia ibu dan bayi. Selama kehamilan, vitamin D
dan metabolisme kalsium mengalami perubahan yang signifikan untuk menyediakan
kalsium yang dibutuhkan oleh cadangan tulang ibu dan pembentukan tulang janin.
Peningkatan absorbsi kalsium di usus tampaknya merupakan mekanisme primer untuk
mendapatkan kalsium lebih pada kehamilan, namun seringnya mual muntah dan bahkan
kadang diare, dapat menurunkan jumlah kalsium yang diserap oleh ibu. Vitamin D tidak
terdapat secara alami dalam makanan. Terlebih lagi, rekomendasi umum yang diberikan
untuk menghindari paparan sinar matahari menurunkan sintesis vitamin D di kulit.
Walaupun vitamin D tidak diragukan lagi merupakan faktor penting dalam
perkembangan tulang janin, namun kita tahu bahwa perannya lebih besar dalam
kesehatan dan pencegahan penyakit.
D3 bukan vitamin sebenarnya, namun merupakan pro-prehormon yang dibuat di
kulit sebagai respon terhadap paparan sinar ultraviolet B. D3 merupakan precursor
untuk membentuk 25-hidroksivitamin D3, sebuah prehormon, yang akan diubah
menjadi 1,25-dihidroksivitamin D3, salah satu steroid yang diketahui paling poten.
1,25-dihidroksivitamin D3 dapat mengacaukan beberapa fungsi pada metabolisme
kalsium, misalnya imprinting janin yang dapat mempengaruhi perkembangan saraf,
sistem imun, dan suseptibilitas terhadap penyakit kronik saat tua.
Metabolit aktif dari vitamin D, 1,25-dihidroksivitamin D meningkatkan absorbs
kalsium usus dan menurunkan ekskresi kalsium di ginjal, sehingga meningkatkan
cadangan kalsium bagi ibu dan janin. Defisiensi vitamin D dan kalsium dapat
menyebabkan anoreksia pada ibu dan kenaikan berat badan yang buruk, dan dapat
menyebabkan pemburukan penulangan atau osteopenia pada bayi baru lahir.
Hipokalsemia neonatal dengan kejang tidak jarang ditemukan pada bayi yang ibunya
mengalami defisiensi vitamin D.
Vitamin D aman bagi kehamilan dan menyusui jika diminum per oral dengan
dosis yang direkomendasikan, yaitu 10 mcg (400 unit USP) per hari dalam kehamilan
normal, namun terkadang wanita yang telah dilakukan tiroidektomi membutuhkan lebih.
Dosis melebihi 50 mcg (2000 unit) perhari tidak direkomendasikan, sehingga terapi
untuk hipoparatiroid post-operasi membutuhkan suplementasi kalsium dengan dosis
hingga 4 gr/hari untuk membarengi terapi vitamin D.
Jarak antara dosis terapetik dan dosis toksik vitamin D sangat dekat, dan jika
terjadi keracunan vitamin D, merupakan masalah yang serius. Tanda pertama adalah
peningkatan dalam rasio kalsium dan kreatinin dalam urin, sehingga terjadi
hiperkalsemia. Hipervitaminosis vitamin D dianggap berhubungan dengan penyakit
bayi yang jarang, denga stenosis aorta supravalvular, facies elfin, dan retardasi mental.
Karena itu, dosis vitamin D dan suplementasi kalsium, yang mungkin berbeda dari yang
direkomendasikan pada kehamilan normal, harus dikurangi secara hati-hati pada pasien
pasca tiroidektomi.

Kanker tiroid dan kehamilan


Penatalaksanaaan dan follow-up kanker tiroid pada wanit hamil sama dengan
pasien yang tidak hamil, kecuali pada penggunaan iodium radioaktif. Terdapat beberapa
perbedaan dalam penatalaksanaan dua tipe histologis yang paling penting: DTC (kanker
tiroid terdiferensiasi: folikuler dan papiler) dan MTC (kanker tiroid meduler) dibanding
pasien yang tidak hamil.
Nodul tiroid pada kehamilan sering salah didiagnosis karena secara fisiologis
tiroid membesar saat kehamilan, namun temuan klinis dan hasil USG cukup untuk
mencurigai adanya keganasan. Dokter yang berpengalaman dan kualitas gambar yang
bagus dan power Doppler Ultrasound tampaknya lebih reliable dibanding teknik
lainnya dalam mendeteksi dan mendiferensiasi nodul tiroid solid maligna dan benigna,
terutama lesi yang kecil. Bahkan selama kehamilan, biopsi jarum halus (FNA) dengan
panduan USG merupakan metode pemeriksaan yang dipilih, karena reliabilitas dan
keamanannya.
Kanker tiroid papiler merupakan tipe histologis yang paling banyak terdeteksi
pada wanita hamil, dan 90% - 95% karsinoma tiroid yang terdiagnosis adalah Stage I,
dan kebanyakan ditemukan pada trimester pertama kehamilan pada kunjungan antenatal
pertama. Predominansi kanker papiler dapat merupakan faktor yang penting untuk
mengetahui penyakit lokal, karena kanker ini bermetastasis dengan lambat, dan
kebanyakan pada sistem limfatik, di mana kanker folikuler yang lebih jarang terjadi
cenderung menyebar secara angio-invasif dengan frekuensi metastasis jauh yang lebih
tinggi. Walaupun kanker tiroid selama kehamilan dapat tumbuh lebih cepat karena
faktor hormonal (terutama HCG) dapat mempercepat progresi tumor, dampaknya yang
nyata terhadap kehamilan sangat sedikit. Sebagai tambahan, laju rekurensi atau periode
bebas penyakit tidak berbeda antara wanita hamil dan tidak hamil yang menderita
penyakit yang sama. Hod dkk melaporkan sebuah kasus pertumbuhan tumor yang cepat
selama kehamilan, namun ini tampaknya lebih merupakan hal khusus dibanding hal
yang umum terjadi.
Pada sebuah studi retrospektif terhadap 595 kanker tiroid yang berhubungan
dengan kehamilan, Yasmeen dkk menemukan tidak terdapat perbedaan dari outcome,
survival bebas penyakit, dan morbiditas jika dibandingkan dengan wanita tidak hamil
dengan usia sama. Berbeda dari yang ditemukan pada kanker lain yang berhubungan
dengan kehamilan, tidak pernah dilaporkan terdapat metastasis DTC pada plasenta atau
janin. Hubungan antara kanker tiroid dan paritas atau kehamilan lengkap telah diteliti
pada beberapa penelitian tanpa hasil yang signifikan dan konklusif.
Selama kehamilan, imunitas seluler mengalami perubahan, terlihat dengan
penurunan jumlah sel T. Toleransi imun terkait kehamilan, yang didesain untuk survival
fetal, dapat memicu progresi penyakit. Berdasarkan data literatur dan pengalaman kami,
kehamilan setelah kanker tiroid terbukti tidak memiliki efek yang signifikan dalam
morbiditas, periode bebas penyakit dan waktu survival. Wanita hamil dengan kanker
tiroid terbukti memiliki outcome yang baik, tanpa melihat waktu ditegakkannya
diagnosis.
Guideline untuk evaluasi dan pengobatan kanker tiroid harus memperhatikan
usia gestasi dan juga keinginan pasien. Deteksi kanker tiroid saat kehamilan seharusnya
bukan menjadi alasan untuk terminasi kehamilan, dan sebagian besar kasus, hal ini tidak
membutuhkan operasi segera.
Masalah kanker tiroid terkait kehamilan dapat mempengaruhi tiga kelompok
pasien:
1. Diagnosis baru; Pasien tanpa riwayat kanker sebelumnya, yang dicurigai atau
didiagnosis memiliki nodul tiroid maligna.
Untuk pasien tersebut, operasi dapat dilakukan dengan aman selama trimester
pertengahan atau ditunda hingga setelah persalinan tanpa memperburuk prognosis.
Tiroidektomi saat kehamilan tidak terkait dengan outcome maternal atau neonatal yang
buruk. Tidak ada indikasi untuk terminasi kehamilan. Jika operasi direncanakan saat
kehamilan, penting untuk memperhatikan usia gestasi dan jenis general anestesinya.
Selama dimungkinkan, operasi harus dilakukan pada trimester kedua atau setelah
persalinan. Selama trimester pertama, yang merupakan periode organogenesis, obat
general anestesi dapat memiliki potensi teratogenik atau dapat meningkatkan resiko
abortus. Pada trimester ketiga, operasi dapat memicu persalinan prematur. Perubahan
fisiologis kehamilan, seperti peningkatan denyut jantung dan volume darah, dapat
mempersulit anestesi umum, dan hipotensi yang disebabkan oleh kompresi vena cava
pada uterus selama periode yang lama dalam posisi telentang dapat menyebabkan
hipoperfusi janin. Menunda operasi untuk setidaknya 6-7 bulan setelah diagnosis DTC
pada trimester pertama tidak mempengaruhi prognosis, di sisi lain, tiroidektomi dapat
dengan aman dilakukan pada trimester kedua kehamilan atau setelah melahirkan. Terapi
tiroksin harus dimulai segera setelah operasi karena hipotiroidisme yang tidak diobati
dapat menyebabkan ibu memiliki risiko tinggi kekambuhan penyakit dan mungkin
memiliki efek buruk pada fungsi kognitif dan pertumbuhan keturunannya. Pemeriksaan
rutin kadar TSH dan fT4 setiap 6/8 minggu selama kehamilan dan menyusui diperlukan
untuk memastikan dosis levotiroksin yang cukup. Follow-up dapat dilakukan secara
teratur dengan teknik ultrasound dan uji tiroglobulin, seperti pada wanita yang tidak
hamil. Terapi radioiodine, bila diperlukan, dapat dengan aman ditunda sampai setelah
menyusui.
2. Pasien yang sembuh; Pasien hamil dengan riwayat DTC sebelumnya yang
diobati dengan tanpa adanya bukti penyakit rekuren atau persisten oleh pencitraan dan
pengukuran thyroglobulin.
Apakah perempuan yang dirawat karena kanker tiroid boleh hamil pernah
menjadi perhatian, tetapi bukti saat ini menunjukkan bahwa DTC seharusnya bukan
merupakan alasan untuk tidak hamil, dengan rekomendasi umum untuk menundanya
untuk setidaknya 6 bulan setelah terapi radioiodine. Terlepas dari stimulasi proliferasi
teoritis yang disebabkan oleh HCG dan faktor pertumbuhan plasenta, data yang
dipublikasikan menunjukkan bahwa tidak ada bukti bahwa kanker tiroid dapat
dipengaruhi oleh kehamilan. Selain itu, penelitian follow-up telah menunjukkan ada
peningkatan risiko yang signifikan. Biasanya, pasien dianjurkan untuk menunda
kehamilan 6-12 bulan setelah terapi radioiodine (I-131) untuk menghindari risiko yang
berpotensi tinggi mengalami keguguran dalam beberapa bulan pertama setelah terapi
radioiodine dan untuk memberikan waktu yang cukup untuk mengeksklusikan penyakit
sisa yang memerlukan perawatan lebih lanjut . Keguguran atau kelahiran prematur telah
menimbulkan kekhawatiran tentang penggunaan yodium radioaktif dalam usia subur
karena efek radiasi mutagenik dan kemungkinan teoritis bahwa hal itu dapat
mempengaruhi sel-sel germinal, sehingga menyebabkan kerusakan genetik, kelainan
bawaan dan keganasan pada keturunannya. Setiap orang yang diterapi dengan dosis I-
131 memiliki risiko potensial, tetapi bukti eksperimental pada hewan dan studi follow-
up pada manusia telah gagal untuk mengungkapkan efek yang signifikan secara statistik
dari I-131 pada kelainan kromosom, kelainan bawaan atau kanker pada anak. Dalam
sebuah penelitian retrospektif besar, Dottorini et al. mengevaluasi kesuburan dan efek
jangka panjang terapi I-131 pada 815 wanita. Di antara anak-anak yang lahir dari wanita
yang diobati dengan I-131, penulis hanya menemukan satu kasus defek septum ventrikel
dan patent ductus arteriosus. Sebuah kemungkinan kenaikan angka keguguran telah
dilaporkan terjadi pada periode awal setelah terapi, tetapi masih belum jelas apakah
aborsi dapat disebabkan baik oleh I-131 itu sendiri, oleh autoimunitas tiroid yang sering
dikaitkan dengan penyakit atau dengan status hipotiroid-hiperprolaktinemia yang
menyertai terapi I-131. Saat ini, konsensus telah dicapai pada kenyataan bahwa
pengobatan radioiodine DTC tidak mempengaruhi outcome kehamilan dan tampaknya
tidak terkait dengan risiko genetik, dengan rekomendasi umum adalah untuk menunda
kehamilan selama 6-12 bulan setelah paparan radioiodine, bahkan jika tidak ada bukti
bahwa kehamilan sebelum periode ini dapat menghasilkan outcome yang kurang
menguntungkan.
3. Penyakit persisten atau rekuren; Pasien hamil dengan riwayat penyakit
persisten meskipun diberi terapi.
Manajemen pasien dan memberikan rekomendasi yang ber-evidencebased jelas
merupakan tugas yang sangat sulit. Pasien dengan DTC aktif dapat diyakinkan bahwa,
seperti disebutkan di atas, kehamilan itu sendiri tidak meningkatkan perkembangan
penyakit, dan karena itu kesenjangan dalam pengobatan selama kehamilan tidak
dikontraindikasikan. Ketika ditemukan sedikit peningkatan pada kadar HTG serum,
terapi lebih lanjut tidak diperlukan. Untuk pasien dengan penyakit rekuren lokal, USG
kontrol oleh para ahli yang berpengalaman merupakan hal yang terpenting, baik untuk
membantu ahli bedah dalam memilih jaringan untuk dilakukan eksisi dan dilakukan
terapi lokal, seperti alkoholisasi lesi kecil. Untuk pasien dengan penyakit lanjut, kontrol
USG untuk pertumbuhan jaringan dapat membantu dalam mengambil keputusan terapi,
seperti waktu operasi. Bila mungkin, operasi harus dilakukan selama trimester kedua
atau setelah melahirkan, seperti untuk kanker tiroid yang baru didiagnosa.
Untuk setiap pasien, baik yang didiagnosis pertama kali atau yang dengan
penyakit rekuren, terapi pasca-operasi untuk DTC didasarkan pada pemberian dosis oral
levotiroksin suprafisiologis "supresif". Pengobatan ini telah banyak digunakan selama
lebih dari 40 tahun, dengan asumsi bahwa penekanan TSH endogen menghilangkan sel
DTC yang TSH-dependen dari faktor pertumbuhan yang paling penting. Oleh karena
itu, terapi tiroksin bertujuan menekan sekresi TSH hipofisis, seperti yang ditunjukkan
oleh kadar TSH serum di bawah 0,05 mIU / L. Dalam analisis univariat, terapi tiroksin
tampaknya membantu menurunkan angka kematian terkait kanker di antara pasien
dengan PTC. Banyak penelitian serial telah melaporkan penurunan angka kekambuhan
tumor baik di PTC dan FTC. Dosis L-tiroksin lebih dari 150/200 mg (minimal 2 mg / kg
/ hari) biasanya diperlukan untuk menjaga konsentrasi tiroksin bebas serum ibu dalam
sepertiga atas kisaran referensi dan untuk menekan kadar TSH. Biasanya dosis perlu
ditingkatkan sedini selama minggu kelima kehamilan, dan pemantauan TSH fT4
dianjurkan setiap 6 minggu untuk penyesuaian dosis yang memadai. Setelah
melahirkan, dosis tiroksin dapat dikurangi secara bertahap ke kadar pra-hamil,
sementara tingkat TSH harus terus dipantau.
Pasien dengan MTC yang tumornya berasal dari sel C yang tidak TSH-dependen
tidak memerlukan terapi supresif, tapi hanya terapi penggantian tiroksin setelah operasi,
dan dengan dosis yang sama dengan yang digunakan untuk hipotiroidisme.
Status kehamilan membutuhkan akurasi yang jauh lebih akurat dalam menilai dosis
levotiroksin untuk melindungi janin dari hipotiroidisme ibu karena, sebagaimana
disebutkan di atas, ibu adalah satu-satunya sumber hormon tiroid untuk embrio pada
trimester pertama kehamilan. Sehubungan dengan farmakokinetik, dosis oral
menghasilkan efek terapi dalam waktu 3-5 hari. Sekitar 40-80% dari dosis oral
diabsorpsi, dengan kadar serum puncak terukur dalam waktu 2-4 jam, dan waktu paruh
dari dosis adalah sekitar 1 minggu. Tingkat penyerapan meningkat dalam status puasa
dan menurun jika ada absorpsi usus yang tidak memadai, sering disebabkan oleh obat
lain, seperti ferrous sulfat. Oleh karena itu, selama kehamilan, dosis tiroksin dan sulfat
besi harus diberi jarak minimal 4 jam. Terdapat plasenta transfer T4 yang terbatas
namun tetap penting dari ibu ke janin, sementara deiodinase tipe III plasenta
mengkatalisis konversi T4 ke bentuk reverse-T3 yang lebih aktif, yang dapat melintasi
barier plasenta, dan 3,3'-diiodothyronine (T2) yang kurang aktif, mewakili sebuah
mekanisme homeostatis untuk menjaga produksi T3 dalam plasenta ibu ketika
konsentrasi T 4serum berubah.
Pemantauan dan penyesuaian dosis L-T4 secara sering adalah sangat penting
karena adanya fluktuasi besar metabolisme T4 selama kehamilan, suplemen kalsium
dan vitamin D, sering diperlukan, dan harus disesuaikan secara hati-hati.

Kesimpulan
Dalam mengobati kanker tiroid saat kehamilan, ada 3 faktor yang perlu
diperhatikan:
1. Efek kanker terhadap kehamilan:
Tidak ada metastasis ke plasenta atau fetus tidak ada IUGR. Kehamilan sepertinya
tidak dipengaruhi oleh kanker tiroid.
2. Efek kehamilan terhadap kanker:
Pertumbuhan sel yang dipercepat secara in vitro, tidak ada efek yang terlihat secara
in vivo. Survival dan interval bebas penyakit identik pada wanita hamil dan tidak
hamil.
3. Efek modalitas pengobatan dalam outcome kehamilan:
Tidak dengan I-131, terapi disesuaikan. Penyesuaian kritis bulanan untuk terapi
levotiroksin: pertahankan fT4 pada sepertiga atas kisaran referensi.
*Kotak 1.
Kanker Tiroid Terdiferensiasi (DTC) - kanker yang timbul dari sel-sel folikel tiroid
Sebagian besar didiagnosis pada orang muda, DTC biasanya memiliki prognosis
yang baik dengan 90-95% survival bebas penyakit jangka panjang secara keseluruhan
untuk tumor tahap awal atau risiko rendah, yang mewakili sebagian besar tumor yang
didiagnosis di bawah 40-45 tahun. Berdasarkan skor staging saat ini, DTC dengan
dimensi apapun, bahkan dengan invasi nodal, untuk pasien di bawah 45 tahun,
diklasifikasikan sebagai tumor Tahap I, dan pasien biasanya hamil di bawah 45 tahun.
Perubahan genetik mengaktifkan jalur umum dari kaskade sinyal RET-RAS-
BRAF dan penyusunan ulang kromosom lainnya telah diidentifikasi pada sebagian
DTC. Adanya perubahan genom umum antara karsinoma DTC dan anaplastik dapat
memberikan bukti yang meyakinkan dari hipotesis karsinogenesis multi-langkah di
mana sel-sel kanker dihasilkan dari sel jinak yang berdiferensiasi baik dengan
transformasi yang disebabkan oleh akumulasi kerusakan genom mereka.
Meskipun ekspresi gen pada kanker tiroid mengungkapkan profil yang sangat
konsisten, hipotesis kedua telah diusulkan, yang mungkin dapat menjelaskan
tumor"non-RET" lainnya: karsinogenesis sel fetus, berdasarkan sel-sel kanker mana
yang berasal dari sisa-sisa sel tiroid janin, atau dari sel induk yang bukan dari sel-sel
folikel terdiferensiasi. Kedua hipotesis dapat berlaku dan hidup berdampingan, dan yang
kedua (karsinogenesis sel janin) dapat menjelaskan beberapa kasus yang DTC tidak
biasa, yang berkembang pesat. Kedua hipotesis menyebutkan proliferasi neoplasma
tiroid yang lebih tinggi dalam jaringan tiroid dirangsang selama kehamilan atau masa
remaja, meskipun bahkan di jaringan yang ditumbuhi, kanker ini menunjukkan
prognosis yang sangat baik.
Pengobatan terbaik untuk hampir semua neoplasma ganas tiroid teridentifikasi
adalah operasi. Tujuan dari pengobatan utama adalah eksisi yang memadai dari tumor
primer dan setiap perpanjangan loko-regional. Masih ada kontroversi mengenai tingkat
optimal dari reseksi bedah primer. Menurut luasnya penyakit, hemithyroidectomy atau
tiroidektomi radikal perlu dilakukan. Karena penyebaran nodal relatif umum, eksplorasi
bedah awal harus mencakup pemeriksaan cermat terhadap nodus kompartemen pusat
(paratrakeal dan trakeoesofageal) serta pembedahan nodus yang secara klinis
mencurigakan pada pemeriksaan bedah beku. Nodus dalam rantai jugularis juga harus
secara hati-hati diperiksa dengan US sebelum operasi dan, ketika mencurigakan, FNAB
harus dilakukan. Jika keterlibatan nodus dikonfirmasi, tiroidektomi total dan diseksi
leher radikal yang dimodifikasi diindikasikan.
Terapi adjuvan
Hormon tiroid - Terapi endokrin: pemberian dosis oral suprafisiologis
levothyroxine pasca-operasi yang digunakan dengan asumsi bahwa penekanan produksi
endogen TSH menghilangkan sel DTC yang TSH-dependen dan target TSH serum basal
harus dalam kisaran 0,1-0,4 mIU / L.
Ketika tiroidektomi radikal dilakukan, yang paling sering kedua yang digunakan
untuk terapi adjuvant pasca operasi pada pasien non-hamil dengan DTC adalah yodium
radioaktif (RAI, I-131) yang diberikan untuk memberantas penyakit leher persisten atau
lesi metastasis jauh. Terapi ajuvan ini seharusnya untuk menghancurkan karsinoma
samar mikroskopis dalam sisa tiroid yang terjebak secara aktif baik oleh sel-sel tiroid
normal dan patologis, serta untuk memfasilitasi follow-up karena pengukuran
thyroglobulin (HTG) serum lebih dapat diandalkan setelah penghancuran jaringan tiroid
normal residual .
Follow-up
Follow-up direncanakan sesuai dengan tahap penyakit dan sejauh mana operasi
dilakukan. Semua pasien harus menjalani USG leher dan uji serum untuk HTG, HTG
antibodi, fT4 dan TSH. Sebab, pasien yang tidak hamil yang dilakukan tiroidektomi
yang berisiko tinggi, pemeriksaan I-131 juga diindikasikan, dan pengukuran serum
HTG - dilakukan baik dengan penurunan tiroksin atau di bawah stimulasi rTSH (TSH
rekombinan manusia) - adalah penanda yang berguna dan dapat diandalkan untuk
perkembangan atau persistensi penyakit.
Dalam pengalaman kami, metode follow up terbaik untuk mendeteksi
kekambuhan loko-regional adalah sonografi leher, diikuti dengan pemeriksaan fisik
yang teliti oleh tenaga berpengalaman dan, jika diperlukan, FNA yang dipandu USG
untuk mengkonfirmasi kecurigaan klinis kekambuhan leher.

*Kotak 2.
Kanker Tiroid meduler (MTC) - kanker yang timbul dari sel-sel tiroid
parafolikuler
Karsinoma tiroid meduler (MTC) merupakan 5-10% dari kanker tiroid,
meskipun tidak ada angka yang tepat mengenai angka insidensi dan survival karena
variasi geografis yang luas, terutama karena pola familial. Meskipun jarang, MTC
menarik karena fitur-fitur biokimia dan genetik dan asosiasi klinisnya, baik dalam
sindrom yang diturunkan secara autosomal dominan dengan penetrasi yang tidak
lengkap (MEN IIA dan IIB), dan dalam bentuk non-MEN.
Kasus keluarga adalah sekitar 30% dari MTC. Terjadinya MTC baik dalam
bentuk sporadis dan familial membuat pendekatan klinis untuk tumor ini berbeda
dengan tumor tiroid lainnya. Pertama, pasien dengan MTC harus selalu dicurigai
membawa bentuk genetik dari penyakit. Kedua, kemungkinan adanya kondisi yang
terkait, seperti pheochromocytoma, harus dikenali sebelum mengirimkan pasien untuk
tiroidektomi. Terakhir, karena perilaku klinis MTC sangat bervariasi, tumor ini
merupakan tantangan terapi yang benar.
MTC muncul dari sel C yang mensekresi kalsitonin, sebuah peptida asam amino
32. Calcitonin adalah penanda biokimia klinis yang paling berguna untuk tumor ini, dan
hiperplasia sel C merupakan tahap pra-kanker. Sel-sel neuroendokrin ini diyakini
berasal dari crista neuralis, sehingga memiliki garis keturunan terpisah dari sel-sel tiroid
folikuler yang berasal dari endoderm. Untuk alasan ini, di samping produk gen
kalsitonin, seperti calcitonin CGRP (kalsitonin-gene related-peptide) dan C-CAP
(katacalcin), sel-sel MTC mengekspresikan beberapa penanda biokimia lain yang
mencerminkan fitur dari sistem neuroendokrin difus, terlibat dalam patogenesis
sindroma (flushing, diare, sindrom karsinoid atau sindrom Cushing) yang mungkin
terjadi pada pasien dengan penyakit lanjut. Sel-sel ini juga dapat menghasilkan
prostaglandin dan penanda neuroendokrin lain seperti chromogranin A, yang kadang-
kadang digunakan bersama dengan kalsitonin dan CEA pada pasien MTC selama masa
follow-up.
Ketika berhadapan dengan MTC, kita harus selalu ingat bahwa pasien ini
mungkin merupakan kasus-indeks untuk salah satu penyakit bentuk familial: skrining
presimptomatik kerabat pasien MTC memungkinkan diagnosis dini keganasan ini.
Diagnosis dini dibandingkan operasi yang lebih luas dapat meningkatkan survival dan
mengurangi kekambuhan, terutama dalam bentuk MEN IIB dari MTC, yang sangat
agresif.
Skrining biokimia penyakit familial terdiri dari evaluasi kalsitonin serum, dan
skrining genetik individu dengan mutasi RET juga dapat dilakukan. Dalam bentuk yang
diwariskan, mutasi germline awal menghasilkan beberapa fokus sel - yang disebut
hiperplasia sel C yang rentan terhadap pembentukan tumor, dan masing-masing MTC
adalah hasil dari transformasi sel kedua di salah satu klon yang rentan ini.
Lesi MTC primer menjadi terlihat di echography sebagai massa padat, sering
disertai kalsifikasi. Aspirasi jarum halus menunjukkan campuran sel bulat, polyhedral
dan berbentuk gelendong yang mungkin tampak tak terdiferensiasi, dan terlihat seperti
sejumlah variabel amiloid ekstraseluler.
MTC, seperti tumor neuroendokrin lain, dapat mengekspresikan reseptor
somatostatin. Follow-up dari pasien MTC yang diduga kambuh karena itu dapat
dilakukan dengan menggunakan octreotide analog somatostatin (octreoscan). Kehadiran
reseptor somatostatin menyediakan dasar untuk pengobatan dengan analog somatostatin
long acting atau dengan Y-octreotide (DOTATOC) pada beberapa pasien.
MTC agak lebih agresif daripada karsinoma papiler atau folikular. Secara lokal
meluas ke kelenjar getah bening dan ke dalam otot sekitarnya dan trakea, dan dapat
menyerang ke pembuluh limfatik dan pembuluh darah dan bermetastasis di paru-paru,
tulang dan hati. Tumor MTC secara sporadis sering monolateral dengan lokalisasi
tunggal, sedangkan bentuk familial kebanyakan bilateral dan sering multifokal atau
difus. Untuk alasan ini, tiroidektomi total tampaknya menjadi pendekatan yang tepat
untuk MTC. Pembersihan mediastinum atas dan leher medial, dan di samping itu,
diseksi monolateral atau bilateral (tergantung pada tingkat keterlibatan nodal) juga
dianjurkan. Pengobatan yang paling tepat untuk tumor klinis N0 masih menjadi bahan
perdebatan, tetapi kebanyakan ahli bedah lebih suka diseksi profilaksis karena MTC
bermetastasis pada kelenjar getah bening regional pada tahap yang sangat awal.
Pembedahan adalah satu-satunya pengobatan yang dianggap berpotensi kuratif
untuk karsinoma meduler rekuren dan metastatik. Peran radioterapi adalah kontroversial
karena MTC umumnya tidak diyakini bersifat radio-sensitif. Terapi dengan analog
somatostatin long-acting telah diuji pada penyakit metastatik, dengan beberapa
bermanfaat positif pada kebanyakan pasien. Yodium radioaktif tidak efektif karena
penyerapan I-131oleh sel MTC tidak menjanjikan. Tidak ada regimen kemoterapi andal
efektif yang telah diidentifikasi. Obat baru dengan anti-angiogenetik, anti-tirosin kinase
dan anti-VEGF sedang dalam observasi.
Sebagai kesimpulan, ada beberapa cara untuk mempercepat diagnosis MTC
untuk menindaklanjuti pasien setelah operasi: penanda biokimia (misalnya CEA,
kalsitonin, katacalcin, chromogranin-A sesuai dengan pewarnaan tumor), dan
pemindaian dengan ligan tertentu seperti octreotide. Selain itu, ada pendekatan terapi
baru di bawah validasi untuk penyakit lanjut atau berulang.

Você também pode gostar