Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1
dilakukan di Poli Geriatri RS Dr. Sardjito didapatkan angka prevalensi inkontinensia urin
sebesar 14.47 % (Setiati dan Pramantara, 2007).
Inkontinensia urin memiliki dampak pada tingkat kemandirian dan kualitas hidup
lansia. Oleh karena itu, penyusun ingin membahas mengenai dampak inkontinensia urin
terhadap tingkat kemandirian dan kualitas hidup lansia serta mencari alternative solusi
yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dampak inkontinensia urine pada kemandirian dan kualitas hidup
pada lansia.
2. Menemukan alternative solusi pemecahan masalah terhadap inkontinensia
urin pada lansia.
1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi mengenai dampak inkontinensia urine terhadap
kemandirian dan kualitas hidup pada lansia;
2. Memberikan informasi tentang solusi alternative untuk mengatasi masalah
inkontinensia urin pada lansia.
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
3
kemampuan/keinginan ke toilet (Martin dan Frey, 2005; Setiati dan Pramantara
2007).
4
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan
pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan
inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada
keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya
karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik
(urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang
sering dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis,
uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. (Sand PK, 2001)
C. Inkontinensia Luapan
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan
intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung
kemih tanpa adanya aktifitas detrusor.
Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang
terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa
disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra secara intermitten
atau keluar tetes demi tetes.
5
Hal yang dinilai adalah kemampuan klien untuk menggosok/membersihkan
sendiri seluruh bagian badannya, atau dalam hal mandi dengan cara pancuran
(shower), masuk dan keluar dari kamar mandi atau bath tub. Dikatakan mandiri
(independen) bila dalam melakukan aktivitas ini, lansia hanya memerlukan
bantuan sebagian. Misalnya membersihkan sebagian tertentu dari tubuhnya.
Dikatakan dependen bila lansia memerlukan bantuan lebih dari satu bagian
badannya, atau lansia tidak mampu masuk dan keluar dari kamar mandi.
2. Berpakaian
Hal yang dinilai dalam berpakaian, dikatakan independen bila tak mampu
mengambil sendiri pakaian dalam lemari atau laci. Hanya mampu mengenakan
pakaian sendiri, memasang kancing atau resleting.
3. Toileting
Dikatakan independen bila lansia tidak mampu ke tolet sendiri, beranjak dari
kloset, merapikan pakaian sendiri, membersihkan sendiri organ ekskresi, bila
harus menggunakan bed pan, hanya digunakan di malam hari. Tergolong
dependen bila memang emerlukan bed pan atau pispot. Untuk masuk dan keluar
toilet, menggunakan serta merapikannya selalu memerlukan bantuan.
4. Transfering/berpindah
Dikatakan independenbila mampu naik/turun sendiri ke/dari tempat tidur dan
atau kursi/kursi roda. Bila hanya memerlukan bantuan yang sifatnya mekanis,
tidak terasuk. Dikatakan dependen bila selalu memerlukan bantuan untuk
kegiatan tersebut. Atau tidak mampu melakukan satu atau lebih aktivitas
transferring.
5. Kontinensia
Tergolong independen bila mampu melakukan aktivitas buang air (miksi atau
defekasi) sendiri, termasuk di dalamnya adalah kemampuan menahan kemih atau
feses sampai lansia masuk ke dalam toilet.
6
6. Makan
Dikatakan independen, bila mampu menyuap makanan sendiri, mengambil
makanan sendiri. Mengiris potongan daging atau menyiapkan hidangan seperti
mengoles mentega pada roti tidak termasuk dalam penilaian. Keadaan sebaliknya
tergolong dependen. (Noorkasiani, 2009)
7
untuk kebutuhan lansia, dan pemulihan untuk mengatasi keterbatasan lansia. Sifat
asuhan keperawatan yang diberikan adalah independen, interdependen, humanistic
dan holistic. Menurut Eliopoulous, 2005 dan Lueckenotte, 2000) dalam Maryam
(2008), selain sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung, perawat gerontik
juga berperan sebagai pendidik bagi lansia, keluarga dan masyarakatserta dapat
menjadi motivator dan innovator dalam memberikan advokasi pada klien lansia
dalam membantu memenuhi kebutuhan dasar lansia serta meningkatkan kemandirian
lansia dalam pemenuhuan kebutuhan dasar untuk mencapai kualitas hidup lansia yang
lebih baik.
8
BAB III. PEMBAHASAN
9
Pemenuhan kebutuhan toileting bisa terganggu ketika lansia tidak bisa mengontrol
keluarnya urine. Tak jarang pada lansia wanita, yang kebanyakan tidak bisa
mengontrol keluarnya urine membiarkan hal tersebut terjadi (mengompol). Terkadang
untuk mengantisipasinya mereka tidak mengenakan pakaian dalam untuk
mempercepat kebutuhan toileting. Kemandirian lansia terganggu lantaran lansia
kebanyakan mengabaikan masalah ini.
Pada keadaan ini, kualitas hidup lansia bisa mengalami perubahan. Lansia
bisa merasa bahwa dirinya tidak mampu melakukan mulai dari awal menahan
kencing hingga bisa terjadinya mengompol. lansia merasa dirinya hanya bisa
merepotkan keluarganya sehingga lebih banyak memendam apa yang dialaminya
sehingga pemecahan permasalahan belum bisa ditemukan. Lansia akan lebih banyak
menyendiri dengan permasalahan yang dimilikinya.
Pengkajian mengenai kejadian inkontinensia urine pada lansia memerlukan
pendekatan secara holistic dan komprehensif oleh perawat. Peran perawat sebagai
penemu masalah sangat penting untuk mengetahui adanya inkontinensia pada lansia.
Menurut Wilkinson (2009), lansia yang mengalami inkontinensia urine biasanya malu
untuk mengungkapkan permasalahan tersebut kepada perawat sehingga diperlukan
suatu pedoman pengkajian khusus yang diperlukan untuk mengetahui kejadian
inkontinensia urine yang dialami lansia.
Norton (2001) dalam Wilkinson (2009) mengemukakan bahwa catatan
eliminasi urine sehari-hari merupakan metode pengumpulan data yang penting pada
pengkajian inkontinensia urine. Menurut Nice (2006) dalam Wilkinson
merekomendasikan catatan eliminasi urine merupakan catatan riwayat eliminasi yang
dikumpulkan dalam 3 hari terakhir. Adapun hal yang penting untuk dikaji meliputi:
Frekuensi berkemih per hari
Frekuensi berkemih pada malam hari
Volume berkemih maksimal
Volume berkemih minimal
10
Volume berkemih rata-rata
Episode inkontinensia dan tingkat kebasahan
Tipe intake cairan
Menurut Lauver (2004), intervensi yang dilakukan oleh perawat kepada lansia
yang mengalami inkontinensia urine hendaknya berpusat pada pasien, artinya
intervensi tersebut diberikan berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan
sebelumnya yang sesuai dengan karakteristik pasien, sehingga dapat diketahui tipe
inkontinensia urine yang dialami oleh pasien untuk dilakukan intervensi yang sesuai.
Menurut Teunissen, et all. (2004) tujuan pengobatan adalah fisiologis
memperkuat resistensi uretra atau mengurangi kontraksi detrusor otot. Perilaku
teknik-latihan dasar panggul dan kandung kemih pelatihan dengan biofeedback dan
farmakoterapi adalah pengobatan pilihan untuk orang tua, asalkan itu adalah mungkin
untuk menilai kemungkinan keuntungan kesehatan. Operasi, yang paling invasif dan
pengobatan paling berisiko, biasanya pilihan terakhir. Beberapa terapi memiliki
manfaat sesuai dengan jenis inkontinensia yang dialami. Terapi perilaku mengurangi
kecelakaan saat berkemih pada pasien tua dengan dorongan, stres, dan inkontinensia
campuran. Pelatihan kandung kemih sangat membantu untuk mendesak
inkontinensia, dan latihan dasar panggul membantu untuk inkontinensia stres.
Pelatihan kandung kemih dan latihan dasar panggul membantu mereka dengan
inkontinensia campuran. Efek terapi obat pada lansia tidak jelas, karena hanya ada
beberapa penelitian kualitas metodologi yang memadai. Namun, terapi obat kurang
efektif daripada terapi perilaku.
Menurut Broome, 2003, pengendalian inkontinensia dapat berupa
farmakologis, bedah atau perilaku. Intervensi yang paling dianjurkan yaitu dengan
perilaku. Peningkatan 61% dilaporkan dalam kontinensia pada wanita yang
menggunakan latihan panggul sebagai intervensi untuk inkontinensia dan perbaikan
dilaporkan dalam kualitas hidup.
11
Jadi untuk menangani kejadian inkontinensia pada lansia, dapat dialkukan
beberapa terapi yaitu terapi farmakologis, bedah dan perilaku. Terapi yang lebih
disarankan adalah terapi dengan perilaku teknik latihan dasar panggul dan kandung
kemih. Tindakan invasif atau pembedahan merupakan pilhan terakhir, dilakukan pada
keadaan tertentu seperti obstruksi uretra gagal, kasus inkontinensia stress yang tidak
responsif terhadap intervensi perilaku dan farmakologis.
Latihan pelvis Kegel dianjurkan untuk mereka yang mengalami inkontinensia
stress. Tujuannya adalah untuk mencapai 4060 kali pengurangan selama 10 detik
setiap harinya. Melakukan 15 kali latihan pada waktu makan dan waktu tidur
merupakan jadwal yang mudah diingat. Peningkatan dapat dilihat dalam waktu 46
minggu, dalam peningkatan maksimal selam 3 bulan. Walaupun latihan pelvis
biasanya disarankan hanya untuk mereka yang mengalami inkontinensia stres, latihan
tersebut mungkin juga efektif bagi mereka dengan inkontinensia urgensi. Manuver
Cred melibatkan penggunaan tekanan di atas regio suprapubik untuk secara manual
menekan kandung kemih selama berkemih, manuver Valsava dilakukan pada waktu
yang sama. Metode ini digunakan untuk inkontinensia akibat aliran yang berlebih
(overflow). Bladder training adalah penangan tradisional untuk inkontinensia urgensi.
Bladder training meliputi berkemih dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya
atau dengan pengaturan waktu setiap 30 60 menit tanpa memperhatikan kebutuhan.
Jika urgensi untuk berkemih muncul lebih cepat, disarankan untuk menahan urine
sampai waktu yang telah dijadwalkan.
Berikut ini merupakan langkah-langkah pelaksanaan senam Kegel dan
Bladder Training untuk lansia dengan inkontinensia urine:
Latihan Pelvis Kegel
1. Pasien harus melakukan latihan ini minimal selama 6 minggu. Otot-otot akan
mengalami kekuatan penuh setelah 3 bulan.
2. Otot-otot yang terlibat adalah otot yang digunakan untuk menahan urine ketika
pasien merasa harus ke kamar kecil. Ajarkan pasien untuk mencoba untuk ke
12
kamar mandi dan kemudian menghentikan aliran urine tanpa mengencangkan
otot perut. Hal ini adalah cara untuk melakukan latihan.
3. Ajarkan untuk kontraksi dan relaksasi otot-otot ini 4 kali per hari dan lakukan
pengulangan sebanyak 15 kali setiap kali latihan. Secara keseluruhan, berarti 60
kali setiap harinya. Cara yang mudah untuk mengingatnya adalah dengan
melakukan latihan tersebut sebelum makan dan pada saat akan tidur.
Bladder Training
1. Pertama, buat catatan harian selama 5 hari untuk mencatat waktu berkemih.
2. Lihat catatan harian tersebut dan temukan interval terpendek yang dimiliki di
antara waktu-waktu tersebut.
3. Tambahkan 30 menit terhadap interval tersebut.
4. Untuk berikutnya, pergi ke kamar kecil setiap 50 menit, baik saat ingin berkemih
atau tidak. Jika keinginan berkemih datang lebih cepat, maka coba untuk tahan
dan alihkan perhatian misal dengan cara menonton TV.
Setelah minggu pertama, tambahkan 30 menit lagi. Tambahkan 30 menit
setiap minggu sampai dapat berkemih dengan jarak waktu 3 4 jam.
13
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali
yang mana keadaan ini dapat menimbulkan masalah baik medis, hygiene maupun
psikososial bagi penderitanya. Inkontinensia urin lebih sering dijumpai pada usia
lanjut. Wanita dengan usia >50 tahun paling mungkin mengalami kelainan ini.
Dampak medis, psikososial, dan ekonomi terlihat nyata pada mereka yang menderita
inkontinensia urin. Dampak sosial dari inkontinensia urin meliputi hilangnya
kepercayaan diri, menghindar dari pergaulan sosial. Pengkajian yang komprehensif
dan holistic terhadap lansia diperlukan untuk mengetahui tipe inkontinensia urine
yang dialami sehingga perawat dapat memberikan intervensi yang tepat. Intervensi
yang dilakukan oleh perawat diharapkan dapat mengurangi gejala dan kejadian
inkontinensia urine yang dialami oleh lansia sehingga lansia tetap dapat
mempertahankan kemandiriannya demi kualitas hidup yang lebih baik.
4.2 Saran
Adapun saran dari penyusun dalam penanganan inkontinensia urine untuk
mencapai kemandirian dan kualitas hidup lansia antara lain:
a. Bagi perawat, hendaknya mengaplikasikan peran perawat sebagai penemu
masalah dan peran care giver dengan melakukan pendekatan proses keperawatan
dan melakukan intervensi yang sesuai berdasarkan karakteristik inkontinensia
urine pada lansia.
b. Bagi mahasiswa perawat, makalah ini dapat menjadi sumber pengetahuan dan
diharapkan dapat diteruskan menjadi suatu penelitian lebih lanjut, yang nantinya
dapat berguna bagi kemajuan ilmu keperawatan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Broome, Barbara A.S. 2003. The Impact Of Urinary Incontinence On Self Efficacy
And Quality Of Life. University of South Alabana College of Nursing: USA.
Carpenito, Lynda Juall. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Klinis. Jakarta: EGC.
Lauver, Diane R., Jan Gross, Coralease Ruff, Thelma J.Wells. 2004. Patient-Centered
Interventions Implications for Incontinence. 26 Oktober 2011.
www.nursingresearch.com
Low JA, Mauger GM, Dragovic J. 2000. Diagnosis of The Unstable Detrusor:
Comparison of an Incremental and Continuous Infusion Technique. Obstet
Gynecol
Martin P.F. dan Frey R. J. 2005. Urinary Incontinence. (28 September 2011).
http://www.healthline.com
Maryam, Siti et all. 2008. Menegnal Lansia dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.
Sand PK, Bowen LW, Ostegard DR, Brubaker L, Panganiban R. The Effect of
Retropubic. 2001.
Setiati S. dan Pramantara I.D.P. 2007. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih
Hiperaktif. Dalam: Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K.,
Siti setiati. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jakarta: FK UI. pp: 1392-95.
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC.
15
16