Você está na página 1de 16

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang
maksimal. Setelah itu, tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah sel-
sel yang ada di dalam tubuh yang mengkibatkan terjadinya penurunan fungsi secara
perlahan pada tubuh. Sebagai manusia, kita pasti mengalami proses yang disebut
menua (aging process). Proses menua merupakan kemunduran dari semua sistem
tubuh yang merupakan fenomena biologis, universal yang ditandai dengan evolusi
dan maturasi organisme secara progresif. Secara fisiologis, menua merupakan
penurunan secara bertahap dan teratur dari organ atau sistem organ serta penurunan
kendali homeostasis.
Pada lansia, terjadi beberapa perubahan pada tubuhnya baik secara fisik
maupun secara psikologi. Perubahan secara fisik terjadi hampir di seluruh sistem
tubuh tidak terkecuali pada sistem perkemihan. Melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis
menjadi factor yang sering mengakibatkan terjadinya inkontinensia urin pada lansia.
Menurut Martin dan Frey (2005) inkontinensia urin adalah pengeluaran urin
yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki dan tanpa melihat frekuensi
maupun jumlahnya dan keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional,
sosial dan higienis bagi penderitanya. Inkontinensia urin mempengaruhi 12-49%
lansia wanita dan 7-22% lansia pria hidup di komunitas, dan prevalensinya meningkat
sekitar 40% pada klien yang dirawat di rumah sakit dan 50% pada klien yang dirawat
di institusi (Steemn & Defever dalam Carpenito, 2009: hal 1119).
Survei inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo pada 2008 orang usia
lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta (2002), mendapatkan angka
kejadian inkontinensia urin tipe stress sebesar 32.2 %. Sedangkan penelitian yang

1
dilakukan di Poli Geriatri RS Dr. Sardjito didapatkan angka prevalensi inkontinensia urin
sebesar 14.47 % (Setiati dan Pramantara, 2007).
Inkontinensia urin memiliki dampak pada tingkat kemandirian dan kualitas hidup
lansia. Oleh karena itu, penyusun ingin membahas mengenai dampak inkontinensia urin
terhadap tingkat kemandirian dan kualitas hidup lansia serta mencari alternative solusi
yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana dampak inkontinensia urin pada tingkat kemandirian dan kualitas
hidup lansia serta alternative pemecahan masalahnya?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dampak inkontinensia urine pada kemandirian dan kualitas hidup
pada lansia.
2. Menemukan alternative solusi pemecahan masalah terhadap inkontinensia
urin pada lansia.

1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi mengenai dampak inkontinensia urine terhadap
kemandirian dan kualitas hidup pada lansia;
2. Memberikan informasi tentang solusi alternative untuk mengatasi masalah
inkontinensia urin pada lansia.

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Sistem Urinari Pada Lansia


Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain disebabkan melemahnya otot dasar panggul,
kebiasaan mengejan yang salah atau kerena penurunan estrogen. Kelemahan otot
dasar panggul dapat terjadi karena kehamilan, setelah melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan
berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul akibat penekanan janin selama masa kehamilan. Proses persalinan juga dapat
membuat otot-otot dasar panggul menjadi rusak akibat regangan otot dan jaringan
penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urin.
Menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun
ke atas), akan menyebabkan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot-otot saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Faktor risiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan serta riwayat operasi kandungan juga
berisiko mengakibatkan inkontinensia urin.
Proses penuaan yang terjadi pada manusia mengakibatkan semakin besar pula
risiko mengalami inkontinensia urin, karena terjadi perubahan struktur kandung
kemih dan otot dasar panggul. Hal ini menyebabkan seseorang tidak dapat menahan
air seni. Selain itu, adanya kontraksi abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Resiko inkontinensia urin meningkat pada wanita dengan nilai indeks
massa tubuh yang lebih besar, riwayat histerektomi, infeksi urin, dan trauma perineal.
Penyebab inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih
bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan

3
kemampuan/keinginan ke toilet (Martin dan Frey, 2005; Setiati dan Pramantara
2007).

2.2 Jenis Inkontinensia Urine


Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine yang paling sering
ditemukan yaitu :
a. Inkontinensia stres (stres incontinence)
b. Inkontinensia desakan (urgency incontinence)
c. Inkontinensia luapan (overflow incontinence)
d. Fistula urine
A. Inkontinensia Stres
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup.
Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau
melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk.
Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan
karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini
dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang
terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam
dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah
pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan
inkontinensia ini. (Andrianto P, 2005)
B. Inkontinensia Desakan
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter dihubungkan
dengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi). Biasanya terjadi
akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa
sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih
dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya
kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi,
frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis. (Low JA et all; 2000)

4
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan
pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan
inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada
keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya
karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik
(urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang
sering dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis,
uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. (Sand PK, 2001)
C. Inkontinensia Luapan
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan
intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung
kemih tanpa adanya aktifitas detrusor.
Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang
terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa
disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra secara intermitten
atau keluar tetes demi tetes.

2.3 Kemandirian pada Lansia


Mandiri adalah kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu, tidak
tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas mengatur
diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun kelompok dari berbagai
kesehatan atau penyakit. Mandiri juga dikatakan dapat merawat diri sendiri serta
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). AKS/ADL pekerjaan rutin sehari-
hari seperti halnya; makan, minum, mandi, berjalan, berpindah tempat, tidur, BAB,
BAK dan bergerak. Untuk menetapkan apakah salah satu fungsi tersebut mandiri atau
dependen (yaitu memperlihatkan tingkat ketergantungan) diterapkan standar sebagai
berikut:
1. Mandi

5
Hal yang dinilai adalah kemampuan klien untuk menggosok/membersihkan
sendiri seluruh bagian badannya, atau dalam hal mandi dengan cara pancuran
(shower), masuk dan keluar dari kamar mandi atau bath tub. Dikatakan mandiri
(independen) bila dalam melakukan aktivitas ini, lansia hanya memerlukan
bantuan sebagian. Misalnya membersihkan sebagian tertentu dari tubuhnya.
Dikatakan dependen bila lansia memerlukan bantuan lebih dari satu bagian
badannya, atau lansia tidak mampu masuk dan keluar dari kamar mandi.
2. Berpakaian
Hal yang dinilai dalam berpakaian, dikatakan independen bila tak mampu
mengambil sendiri pakaian dalam lemari atau laci. Hanya mampu mengenakan
pakaian sendiri, memasang kancing atau resleting.
3. Toileting
Dikatakan independen bila lansia tidak mampu ke tolet sendiri, beranjak dari
kloset, merapikan pakaian sendiri, membersihkan sendiri organ ekskresi, bila
harus menggunakan bed pan, hanya digunakan di malam hari. Tergolong
dependen bila memang emerlukan bed pan atau pispot. Untuk masuk dan keluar
toilet, menggunakan serta merapikannya selalu memerlukan bantuan.
4. Transfering/berpindah
Dikatakan independenbila mampu naik/turun sendiri ke/dari tempat tidur dan
atau kursi/kursi roda. Bila hanya memerlukan bantuan yang sifatnya mekanis,
tidak terasuk. Dikatakan dependen bila selalu memerlukan bantuan untuk
kegiatan tersebut. Atau tidak mampu melakukan satu atau lebih aktivitas
transferring.

5. Kontinensia
Tergolong independen bila mampu melakukan aktivitas buang air (miksi atau
defekasi) sendiri, termasuk di dalamnya adalah kemampuan menahan kemih atau
feses sampai lansia masuk ke dalam toilet.

6
6. Makan
Dikatakan independen, bila mampu menyuap makanan sendiri, mengambil
makanan sendiri. Mengiris potongan daging atau menyiapkan hidangan seperti
mengoles mentega pada roti tidak termasuk dalam penilaian. Keadaan sebaliknya
tergolong dependen. (Noorkasiani, 2009)

2.3 Optimum Aging Pada Lansia


Segala potensi yang dimiliki oleh lansia bisa dijaga, dipelihara, dirawat dan
dipertahankan bahkan diaktualisasikan untuk mencapai kualitas hidup lansia yang
optimal (optimum Aging). Optimum aging bisa diartikan sebagai kondisi fungsional
lansia berada pada kondisi maksimum atau optimal, sehingga memungkinkan mereka
bisa menikmati masa tuanya dengan penuh makna, membahagiakan, berguna dan
berkualitas. Aktivitas fisik, kognitif, spiritual dan social pada lansia akan sangat
membantu para lansia untuk mencapai kualitas hidup yang maksimal.
Elizabeth Hurlock (1980) dalam Samsudin (2008) mengemukakan bahwa:
penyebab fisik kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh
bukan karena penyakit khusus tetapi karena proses menua. Kemunduran dapat juga
mempunyai penyebab psikologis. Sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain,
pekerjaan dan penghidupan pada umumnya dapat menuju kepada keadaan uzur,
karena terjadi perubahan pada lapisan otak, akibatnya, orang menurun secara fisik
dan mental dan mungkin akan segera mati. Masalah-masalah lain seperti
kemunduran dari aspek sosial ekonomi dapat menyebabkan lansia menjadi tergantung
atau menggantungkan diri pada orang lain seperti anak atau keluarga yang lain.
Sekalipun mengalami kemunduran pada beberapa aspek kehidupannya, bukan berarti
lansia tidak bisa menikmati kehidupannya. Lansia masih memiliki potensi yang bisa
dimanfaatkan untuk mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang bermanfaat dan
menghibur.
Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan gerontik membantu
dalam upaya pencegahan ketidakmampuan sebagai akibat proses penuaan, perawatan

7
untuk kebutuhan lansia, dan pemulihan untuk mengatasi keterbatasan lansia. Sifat
asuhan keperawatan yang diberikan adalah independen, interdependen, humanistic
dan holistic. Menurut Eliopoulous, 2005 dan Lueckenotte, 2000) dalam Maryam
(2008), selain sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung, perawat gerontik
juga berperan sebagai pendidik bagi lansia, keluarga dan masyarakatserta dapat
menjadi motivator dan innovator dalam memberikan advokasi pada klien lansia
dalam membantu memenuhi kebutuhan dasar lansia serta meningkatkan kemandirian
lansia dalam pemenuhuan kebutuhan dasar untuk mencapai kualitas hidup lansia yang
lebih baik.

8
BAB III. PEMBAHASAN

Keterkaitan Inkontinensia Urine dengan Kemandirian dan Kualitas Hidup


Lansia
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali
yang mana keadaan ini dapat menimbulkan masalah baik medis, higiene maupun
psikososial bagi penderitanya. Inkontinensia urin lebih sering dijumpai pada usia
lanjut. Wanita dengan usia >50 tahun paling mungkin mengalami kelainan ini.
Dampak medis, psikososial, dan ekonomi terlihat nyata pada mereka yang menderita
inkontinensia urin. Dampak sosial dari inkontinensia urin meliputi hilangnya
kepercayaan diri, menghindar dari pergaulan sosial dan depresi.
Telah banyak dipelajari dalam gerontologi, bahwa individu lanjut usia
memiliki kebutuhan untuk mandiri, khususnya dalam aktivitas kehidupan sehari-
harinya. Hal ini berkaitan dengan segala aspek yang mampu dilakukan oleh lansia
disamping proses penuaan yang terjadi pada fisiologis lansia. Bila terjadi suatu
masalah kesehatan pada lansia yang mempengaruhi atau mengganggu fungsi dan
perannya sehari-hari, juga akan berdampak pada kemandirian lansia untuk memenuhi
setidaknya kebutuhan dasarnya sehari-hari. Apabila ketidakmampuan itu berlangsung
kronis atau lama, selain mempengaruhi tingkat kemandirian juga akan berdampak
pada kualitas hidup dari lansia. Kualitas hidup tidak hanya dilihat dari kejayaan masa
lalu saja tetapi juga pada masa sekarang ketika lansia menjalani kehidupannya dan
terlebih dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya sehari-hari. Dalam issue ini, yang
disorot adalah lansia yang mengalami masalah dalam sistem perkemihan yaitu
inkontinensia urine yang berdampak tidak hanya pada kemandirian lansia tapi juga
pada kualitas hidup lansia.
Masalah inkontinensia dapat terjadi tanpa dikenali karena keengganan lansia
untuk mendiskusikan masalah yang sangat pribadi dan intim seperti fungsi urinaria.
Kemandirian lansia bisa menurun ketika mengalami masalah inkontinensia.

9
Pemenuhan kebutuhan toileting bisa terganggu ketika lansia tidak bisa mengontrol
keluarnya urine. Tak jarang pada lansia wanita, yang kebanyakan tidak bisa
mengontrol keluarnya urine membiarkan hal tersebut terjadi (mengompol). Terkadang
untuk mengantisipasinya mereka tidak mengenakan pakaian dalam untuk
mempercepat kebutuhan toileting. Kemandirian lansia terganggu lantaran lansia
kebanyakan mengabaikan masalah ini.
Pada keadaan ini, kualitas hidup lansia bisa mengalami perubahan. Lansia
bisa merasa bahwa dirinya tidak mampu melakukan mulai dari awal menahan
kencing hingga bisa terjadinya mengompol. lansia merasa dirinya hanya bisa
merepotkan keluarganya sehingga lebih banyak memendam apa yang dialaminya
sehingga pemecahan permasalahan belum bisa ditemukan. Lansia akan lebih banyak
menyendiri dengan permasalahan yang dimilikinya.
Pengkajian mengenai kejadian inkontinensia urine pada lansia memerlukan
pendekatan secara holistic dan komprehensif oleh perawat. Peran perawat sebagai
penemu masalah sangat penting untuk mengetahui adanya inkontinensia pada lansia.
Menurut Wilkinson (2009), lansia yang mengalami inkontinensia urine biasanya malu
untuk mengungkapkan permasalahan tersebut kepada perawat sehingga diperlukan
suatu pedoman pengkajian khusus yang diperlukan untuk mengetahui kejadian
inkontinensia urine yang dialami lansia.
Norton (2001) dalam Wilkinson (2009) mengemukakan bahwa catatan
eliminasi urine sehari-hari merupakan metode pengumpulan data yang penting pada
pengkajian inkontinensia urine. Menurut Nice (2006) dalam Wilkinson
merekomendasikan catatan eliminasi urine merupakan catatan riwayat eliminasi yang
dikumpulkan dalam 3 hari terakhir. Adapun hal yang penting untuk dikaji meliputi:
Frekuensi berkemih per hari
Frekuensi berkemih pada malam hari
Volume berkemih maksimal
Volume berkemih minimal

10
Volume berkemih rata-rata
Episode inkontinensia dan tingkat kebasahan
Tipe intake cairan
Menurut Lauver (2004), intervensi yang dilakukan oleh perawat kepada lansia
yang mengalami inkontinensia urine hendaknya berpusat pada pasien, artinya
intervensi tersebut diberikan berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan
sebelumnya yang sesuai dengan karakteristik pasien, sehingga dapat diketahui tipe
inkontinensia urine yang dialami oleh pasien untuk dilakukan intervensi yang sesuai.
Menurut Teunissen, et all. (2004) tujuan pengobatan adalah fisiologis
memperkuat resistensi uretra atau mengurangi kontraksi detrusor otot. Perilaku
teknik-latihan dasar panggul dan kandung kemih pelatihan dengan biofeedback dan
farmakoterapi adalah pengobatan pilihan untuk orang tua, asalkan itu adalah mungkin
untuk menilai kemungkinan keuntungan kesehatan. Operasi, yang paling invasif dan
pengobatan paling berisiko, biasanya pilihan terakhir. Beberapa terapi memiliki
manfaat sesuai dengan jenis inkontinensia yang dialami. Terapi perilaku mengurangi
kecelakaan saat berkemih pada pasien tua dengan dorongan, stres, dan inkontinensia
campuran. Pelatihan kandung kemih sangat membantu untuk mendesak
inkontinensia, dan latihan dasar panggul membantu untuk inkontinensia stres.
Pelatihan kandung kemih dan latihan dasar panggul membantu mereka dengan
inkontinensia campuran. Efek terapi obat pada lansia tidak jelas, karena hanya ada
beberapa penelitian kualitas metodologi yang memadai. Namun, terapi obat kurang
efektif daripada terapi perilaku.
Menurut Broome, 2003, pengendalian inkontinensia dapat berupa
farmakologis, bedah atau perilaku. Intervensi yang paling dianjurkan yaitu dengan
perilaku. Peningkatan 61% dilaporkan dalam kontinensia pada wanita yang
menggunakan latihan panggul sebagai intervensi untuk inkontinensia dan perbaikan
dilaporkan dalam kualitas hidup.

11
Jadi untuk menangani kejadian inkontinensia pada lansia, dapat dialkukan
beberapa terapi yaitu terapi farmakologis, bedah dan perilaku. Terapi yang lebih
disarankan adalah terapi dengan perilaku teknik latihan dasar panggul dan kandung
kemih. Tindakan invasif atau pembedahan merupakan pilhan terakhir, dilakukan pada
keadaan tertentu seperti obstruksi uretra gagal, kasus inkontinensia stress yang tidak
responsif terhadap intervensi perilaku dan farmakologis.
Latihan pelvis Kegel dianjurkan untuk mereka yang mengalami inkontinensia
stress. Tujuannya adalah untuk mencapai 4060 kali pengurangan selama 10 detik
setiap harinya. Melakukan 15 kali latihan pada waktu makan dan waktu tidur
merupakan jadwal yang mudah diingat. Peningkatan dapat dilihat dalam waktu 46
minggu, dalam peningkatan maksimal selam 3 bulan. Walaupun latihan pelvis
biasanya disarankan hanya untuk mereka yang mengalami inkontinensia stres, latihan
tersebut mungkin juga efektif bagi mereka dengan inkontinensia urgensi. Manuver
Cred melibatkan penggunaan tekanan di atas regio suprapubik untuk secara manual
menekan kandung kemih selama berkemih, manuver Valsava dilakukan pada waktu
yang sama. Metode ini digunakan untuk inkontinensia akibat aliran yang berlebih
(overflow). Bladder training adalah penangan tradisional untuk inkontinensia urgensi.
Bladder training meliputi berkemih dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya
atau dengan pengaturan waktu setiap 30 60 menit tanpa memperhatikan kebutuhan.
Jika urgensi untuk berkemih muncul lebih cepat, disarankan untuk menahan urine
sampai waktu yang telah dijadwalkan.
Berikut ini merupakan langkah-langkah pelaksanaan senam Kegel dan
Bladder Training untuk lansia dengan inkontinensia urine:
Latihan Pelvis Kegel
1. Pasien harus melakukan latihan ini minimal selama 6 minggu. Otot-otot akan
mengalami kekuatan penuh setelah 3 bulan.
2. Otot-otot yang terlibat adalah otot yang digunakan untuk menahan urine ketika
pasien merasa harus ke kamar kecil. Ajarkan pasien untuk mencoba untuk ke

12
kamar mandi dan kemudian menghentikan aliran urine tanpa mengencangkan
otot perut. Hal ini adalah cara untuk melakukan latihan.
3. Ajarkan untuk kontraksi dan relaksasi otot-otot ini 4 kali per hari dan lakukan
pengulangan sebanyak 15 kali setiap kali latihan. Secara keseluruhan, berarti 60
kali setiap harinya. Cara yang mudah untuk mengingatnya adalah dengan
melakukan latihan tersebut sebelum makan dan pada saat akan tidur.
Bladder Training
1. Pertama, buat catatan harian selama 5 hari untuk mencatat waktu berkemih.
2. Lihat catatan harian tersebut dan temukan interval terpendek yang dimiliki di
antara waktu-waktu tersebut.
3. Tambahkan 30 menit terhadap interval tersebut.
4. Untuk berikutnya, pergi ke kamar kecil setiap 50 menit, baik saat ingin berkemih
atau tidak. Jika keinginan berkemih datang lebih cepat, maka coba untuk tahan
dan alihkan perhatian misal dengan cara menonton TV.
Setelah minggu pertama, tambahkan 30 menit lagi. Tambahkan 30 menit
setiap minggu sampai dapat berkemih dengan jarak waktu 3 4 jam.

13
BAB IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali
yang mana keadaan ini dapat menimbulkan masalah baik medis, hygiene maupun
psikososial bagi penderitanya. Inkontinensia urin lebih sering dijumpai pada usia
lanjut. Wanita dengan usia >50 tahun paling mungkin mengalami kelainan ini.
Dampak medis, psikososial, dan ekonomi terlihat nyata pada mereka yang menderita
inkontinensia urin. Dampak sosial dari inkontinensia urin meliputi hilangnya
kepercayaan diri, menghindar dari pergaulan sosial. Pengkajian yang komprehensif
dan holistic terhadap lansia diperlukan untuk mengetahui tipe inkontinensia urine
yang dialami sehingga perawat dapat memberikan intervensi yang tepat. Intervensi
yang dilakukan oleh perawat diharapkan dapat mengurangi gejala dan kejadian
inkontinensia urine yang dialami oleh lansia sehingga lansia tetap dapat
mempertahankan kemandiriannya demi kualitas hidup yang lebih baik.

4.2 Saran
Adapun saran dari penyusun dalam penanganan inkontinensia urine untuk
mencapai kemandirian dan kualitas hidup lansia antara lain:
a. Bagi perawat, hendaknya mengaplikasikan peran perawat sebagai penemu
masalah dan peran care giver dengan melakukan pendekatan proses keperawatan
dan melakukan intervensi yang sesuai berdasarkan karakteristik inkontinensia
urine pada lansia.
b. Bagi mahasiswa perawat, makalah ini dapat menjadi sumber pengetahuan dan
diharapkan dapat diteruskan menjadi suatu penelitian lebih lanjut, yang nantinya
dapat berguna bagi kemajuan ilmu keperawatan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto P. 2005. Urologi Untuk Praktek Umum. EGC. Jakarta.

Broome, Barbara A.S. 2003. The Impact Of Urinary Incontinence On Self Efficacy
And Quality Of Life. University of South Alabana College of Nursing: USA.

Carpenito, Lynda Juall. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Klinis. Jakarta: EGC.

Lauver, Diane R., Jan Gross, Coralease Ruff, Thelma J.Wells. 2004. Patient-Centered
Interventions Implications for Incontinence. 26 Oktober 2011.
www.nursingresearch.com

Low JA, Mauger GM, Dragovic J. 2000. Diagnosis of The Unstable Detrusor:
Comparison of an Incremental and Continuous Infusion Technique. Obstet
Gynecol

Martin P.F. dan Frey R. J. 2005. Urinary Incontinence. (28 September 2011).
http://www.healthline.com

Maryam, Siti et all. 2008. Menegnal Lansia dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.

Noorkasiani, S. Tamher. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Sand PK, Bowen LW, Ostegard DR, Brubaker L, Panganiban R. The Effect of
Retropubic. 2001.

Setiati S. dan Pramantara I.D.P. 2007. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih
Hiperaktif. Dalam: Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K.,
Siti setiati. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jakarta: FK UI. pp: 1392-95.
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC.

Teunissen, T.A.M. et all. 2004. Treating Urinary Incontinence in The Elderly


Conservative Measures that Work: A Systematic Review. 26 Oktober 2011.
http://www.jfponline.com/pdf%2F5301%2F5301JFP_AppliedEvidence.pdf.

Wilkinson, Katherine. 2009. A Guide to Assessing Bladder Function and Urinary


Incontinence in Older People. 26 Oktober 2011. www.nursingtimes.net.

15
16

Você também pode gostar