Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
METODE LOWRY
Oleh :
Kelompok 5A
Mirawati I14080122
Asisten Praktikum :
Anton Vivaldy
Guntari Prasetya
2010
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Praktikum kali ini, sangat sulit untuk mengekstraksi lemak secara murni, sebab pada waktu
mengekstraksi lemak, akan terekstraksi pula zat-zat yang larut dalam lemak seperti sterol,
phospholipid, asam lemak bebas, pigmen karotenoid, khlorofil, dan lain-lain. Pelarut yang digunakan
harus bebas dari air agar bahan-bahan yang larut dalam air tidak terekstrak dan terhitung sebagai
lemak dan keaktifan pelarut tersebut menjadi berkurang. Pelarut ini seperti Dietil eter, hexana,
benzene, dan lain-lain.
Ada dua kelompok umum untuk mengekstraksi lemak yaitu metode ekstraksi kering dan metode
ekstraksi basah. Metode kering pada ekstraksi lemak mempunyai prinsip bahwa mengeluarkan lemak
dan zat yang terlarut dalam lemak tersebut dari sampel yang telah kering benar dengan
menggunakan pelarut anyhidrous. Keuntungan dari dari metode kering ini, praktikum menjadi amat
sederhana, bersifat universal, dan mempunyai ketepatan yang baik. Kelemahannya metode ini
membutuhkan waktu yang cukup lama, pelarut yang digunakan mudah terbakar dan adanya zat lain
yang ikut terekstrak sebagai lemak.
Metode soxhlet ini dipilih karena pelarut yang digunakan lebih sedikit (efesiensi
bahan) dan larutan sari yang dialirkan melalui sifon tetap tinggal dalam labu, sehingga
pelarut yang digunakan untuk mengekstrak sampel selalu baru dan meningkatkan laju
ekstraksi. Waktu yang digunakan lebih cepat. Kerugian metode ini ialah pelarut yang
digunakan harus mudah menguap dan hanya digunakan untuk ekstraksi senyawa yang
tahan panas.
Tujuan
Praktikum penerapan analisis lemak bertujuan untuk mengukur kadar lemak analisis dengan
metode Soxhlet.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum penetapan lemak protein dilaksanakan hari Kamis tanggal 25 Maret 2010, jam 13.00
hingga 16.00 WIB. Pelaksanaan praktikum di Laboratorium Analisis Zat gizi makro, Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Alat-alat yang digunakan adalah bulp, pipa volumetrik, labu lemak,gelas ukur, soxhlet, oven pemanas,
timbangan elektronik, eksikator. Selanjutnya, bahan-bahan yang digunakan adalah pelarut lemak
(dietil eter, hexana, benzene), biskuit.
Prosedur Kerja
Labu lemak disiapkan yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi soxhlet yang akan digunakan.
dalam suhu 1050 C dan didinginkan dalam eksikator selama 15 menit setelah itu ditimbang.
Sampel ditimbang tepat 5 gram di dalam kertas saring yang sesuai ukurannya.
Setelah selesai, pelarut kemudian disuling kembali dan labu lemak diangkat dan dikeringkan dalam
oven pada suhu 1050 C
Labu lemak didinginkan dalam eksikator selama 20-30 menit kemudian ditimbang.
TINJAUAN PUSTAKA
Protein
Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang
merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain
dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen,nitrogen dan
kadang kala sulfur serta fosfor (Santoso 2008).
Kebanyakan protein merupakan enzim atau subunit enzim. Jenis protein lain berperan
dalam fungsi struktural atau mekanis, seperti misalnya protein yang membentuk batang dan
sendisitoskeleton. Protein terlibat dalam sistem kekebalan (imun) sebagai antibodi, sistem
kendali dalam bentuk hormon (Santoso 2008).
Penetapan Kadar Protein
Analisis protein dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu secara kualitatif dan secara kuantitatif.
Analisis protein secara kualitatif terdiri atas reaksi Xantoprotein, reaksi Hopkins-Cole, reaksi Millon,
reaksi Nitroprusida, dan reaksi Sakaguchi. Sementara itu, analisis protein secara kuantitatif terdiri dari
metode Kjeldahl, metode titrasi formol, metode Lowry, metode spektrofotometri visible (Biuret), dan
metode spektrofotometri UV (Apriyantono dkk 1989).
Spektrofotometri
Spektrofotometri merupakan suatu metoda analisa yang didasarkan pada pengukuran
serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg
spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan
detektor fototube (Yoky 2009).
Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel
sebagai fungsi panjang gelombang. Sedangkan pengukuran menggunakan
spektrofotometer ini, metoda yang digunakan sering disebut dengan spektrofotometri.
Spektrofotometer dapat mengukur serapan di daerah tampak, UV (200-380 nm) maupun IR
(> 750 nm) dan menggunakan sumber sinar yang berbeda pada masing-masing daerah
(sinar tampak, UV, IR). Monokromator pada spektrofotometer menggunakan kisi atau
prisma yang daya resolusinya lebih baik sedangkan detektornya menggunakan tabung
penggandaan foton atau fototube (Yoky 2009).
Komponen utama dari spektrofotometer, yaitu sumber cahaya, pengatur Intensitas,
monokromator, kuvet, detektor, penguat (amplifier), dan indikator.Spektrofotometri
dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual dengan studi yang lebih
mendalam dari absorbsi energi. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai
panjang gelombangdan dialirkan oleh suatu perkam untuk menghasilkan spektrum tertentu
yang khas untuk komponen yang berbeda (Yoky 2009).
Metode Lowry
Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Dalam metode ini terlibat 2 reaksi.
Awalnya, kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana metode biuret, yang dalam suasana
alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion Cu + kemudian akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu,
kompleks phosphomolibdat-phosphotungstat, menghasilkan heteropoly-molybdenum blue akibat
reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu, yang memberikan warna
biru intensif yang dapat dideteksi secara kolorimetri. Kekuatan warna biru terutama bergantung pada
kandungan residu tryptophan dan tyrosine-nya. Keuntungan metode Lowry adalah lebih sensitif (100
kali) daripada metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein yang lebih sedikit. Batas
deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/mL. Namun metode Lowry lebih banyak interferensinya
akibat kesensitifannya (Lowry dkk 1951).
Beberapa zat yang bisa mengganggu penetapan kadar protein dengan metode Lowry ini, diantaranya
buffer, asam nuklet, gula atau karbohidrat, deterjen, gliserol, Tricine, EDTA, Tris, senyawa-senyawa
kalium, sulfhidril, disulfida, fenolat, asam urat, guanin, xanthine, magnesium, dan kalsium. Interferensi
agen-agen ini dapat diminimalkan dengan menghilangkan interferens tersebut. Sangat dianjurkan
untuk menggunakan blanko untuk mengkoreksi absorbansi. Interferensi yang disebabkan oleh
deterjen, sukrosa dan EDTA dapat dieliminasi dengan penambahan SDS atau melakukan preparasi
sampel dengan pengendapan protein (Lowry dkk 1951).
Metode Lowry-Folin hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan tidak dapat mengukur
molekul peptida panjang (Alexander dan Griffiths, 1992). Prinsip kerja metode Lowry adalah reduksi
Cu2+ (reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan sistein yang terdapat dalam protein.
Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan fosfomolibdat (reagen Lowry E) membentuk warna biru,
sehingga dapat menyerap cahaya (Lowry dkk 1951).
Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu. Telur
ayam negeri memiliki kandungan protein yang bagus bagi tubuh kita yaitu sekitar 7 gram yang
terdapat dalam satu butir telur. Selain itu, kandungan gizi yang terdapat dalam telur ayam negeri,
yaitu energi 85 kalori, protein 7 gram, lemak 6 gram, karbohidrat 0,5 gram, kalsium 27 mg, zat besi
1,4 mg, dan vitamin A 155 RE (Sudarmaji dkk 1989).
Telur ayam negeri mengandung hampir semua zat gizi essensial (seperti asam lemak tidak jenuh dan
vitamin serta mineral). Telur ayam negeri tersusun atas 1/3 kuning telur dan 2/3 putih telur. Kuning
telur mengandung 50% air dan sepertiganya adalah lemak, trigliserida (65,5%), fosfolipid (28,3%) dan
kolesterol (5,2%). Sedangkan putih telur lebih cair mengandung 90% air, protein, karbohidrat, ion
anorganik dan tidak mengandung lemak dan kolesterol (Sudarmaji dkk 1989).
Putih Telur
Putih telur terdiri dari empat lapisan yaitu lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan encer dalam
dan khalazaferous (Nakai dan Modler 2000 dalam Suryono 2006). Empat bagian utama putih telur
yaitu lapisan putih telur yang encer bagian luar, lapisan putih telur yang kental, lapisan putih telur
encer bagian dalam dan lapisan kalaza. Bagian putih telur diikat dengan bagian kuning telur oleh
kalaza, yaitu serabut-serabut protein berbentuk spiral yang disebut mucin. Bahan utama penyusun
putih telur adalah protein dan air. Perbedaan kekentalan putih telur disebabkan oleh perbedaan
kandungan air (Suryono 2006).
Protein sederhana pada putih telur terdiri atas ovalbumin, ovoconalbumin dan
ovoglobulin, sedangkan yang kedua termasuk glycoprotein, yaitu ovomucoid dan
ovomucin. Ovomucin pada putih telur pada putih telur yang kental lebih besar daripada putih telur
yang encer. Ovomucin merupakan fraksi protein putih telur yang membentuk selaput dan berfungsi
menstabilkan struktur buih. Pemberian asam asetat yang berlebihan akan mengakibatkan
penggumpalan sebagian ovomucin dan memperkecil elastisitas gelembung buih. Kerusakan gejala-
gejala ovomucin mengakibatkan air dari protein putih telur akan keluar dan putih telur menjadi encer.
Semakin encer putih telur, maka semakin tinggi tirisan buih yang dihasilkan (Suryono 2006).
Putih telur adalah nama umum untuk cairan bening dalam sebuah yang juga
disebut albumen atau zat putih telur (glaire).It is the of the egg, which until is a single (including the
yolk). Putih telur adalah sitoplasma telur, yang sampai pembuahan adalah satu sel (termasuk kuning
telur). Putih telur merupakan sekitar dua-pertiga dari total berat telur dengan hampir 90% dari
beratnya adalah air. The remaining weight of the egg white comes from , trace , fatty material, ,
and . The US large egg's white weighs 38 grams with 4.7 grams of protein, 0.3 grams of and 62
milligrams of . Berat sisa putih telur berasal dari protein, mineral, bahan lemak, vitamin, dan glukosa
(Wikipedia 2010).
Kadar protein merupakan banyaknya protein yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan
dalam satuan persen. Kadar protein juga merupakan karakteristik yang sangat penting dalam bahan
pangan (Haryanto 1992). Praktikum kali ini mengenai penetapan kadar protein dilakukan dengan
metode lowry yang merupakan pengembangan dari metode Biuret. Dalam metode ini terlibat 2 reaksi.
Proses diawali dengan terbentuknya kompleks Cu(II)-protein sebagaimana metode biuret, yang
dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion Cu + kemudian akan mereduksi
reagen Folin-Ciocalteu, kompleks phosphomolibdat-phosphotungstat menghasilkan heteropoly-
molybdenum blue akibat reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu,
yang memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi secara kolorimetri. Kekuatan warna biru
terutama bergantung pada kandungan residu tryptophan dan tyrosine-nya. Keuntungan metode
Lowry adalah lebih sensitif (100 kali) daripada metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein
yang lebih sedikit. Batas deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/mL. Namun metode Lowry
lebih banyak interferensinya akibat kesensitifannya (Dennison 2002).
Kegiatan ini diawali dengan memasukkan 4ml larutan contoh, kemudian menambahkan 5,5
ml pereaksi (50 ml Na2CO2 2 % dalam NaOH 0,1 N ditambah 1 ml CuSO 4 0,5 % dalam Na-K-tartarat
1%) dan dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah itu, larutan ditambah 0,5 pereaksi follin Wu, dibiarkan
selama 30 menit hingga terbentuk warna biru dan kemudia dibaca nilai absorban dengan pembacaan
menggunakan metode spektrofotometer, metode analisis berdasarkan pengukuran absorbsi cahaya
oleh senyawa yang mengalami transisi elektron saat terkena sinar dengan panjang gelombang
tertentu (Anonim 2009), dalam praktikum ini adalah 650 nm.
Hasil yang diperoleh dari praktikum ini adalah nilai panjang gelombang standar dan contoh
yang kemudian setelah dihitung dengan rumus penetapan kadar protein diperoleh nilai kadar
proteinnya. Kadar protein yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Berdasarkan data di atas, kadar protein tertinggi adalah pada telur yang menjadi contoh percobaan
kelompok 2, yaitu 29,67 % kemudian kelompok 6 sebesar 23,81%, kelompok 3 sebesar 17,21 %,
kelompok 4 sebesar 10,59%, kelompok 5 sebesar 9,15%, dan kadar protein terendah adalah pada
percobaan kelompok 4, yaitu dengan kadar protein sebesar 6,42%. Perbedaan ini dapat terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya beberapa zat yang bisa mengganggu penetapan kadar
protein dengan metode Lowry, yaitu buffer, asam nukleat, gula/karbohidrat, deterjen, gliserol, tricine,
EDTA, tris, senyawa-senyawa kalium, sulfhidril, disulfida, fenolat, asam urat, guanin, xanthine,
magnesium dan kalsium. Interferensi agen-agen ini dapat diminimalkan dengan menghilangkan
interferens tersebut. Sangat dianjurkan untuk menggunakan blanko untuk mengkoreksi absorbansi.
Interferensi yang disebabkan oleh deterjen, sukrosa dan EDTA dapat dielimrainasi dengan
penambahan SDS atau melakukan preparasi sampel dengan pengendapan protein (Lowry dkk 1951).
Kadar protein putih telur dalam DKBM dinyatakan dalam gram, yaitu sebesar 10,8 g. jika
dibandingkan dengan konversi kadar protein hasil praktikum, maka kadar protein yang mendekati
literatur dalam DKBM adalah hasil percobaan kelompok 1, yaitu 10,59 g.
Berdasarkan data yang didapatkan, dibuat kurva standar yang menerangkan hubungan
antara konsentrasi standar dengan absorbansi standar. Melalui grafik ini, dapat terlihat apabila
terdapat data konsentrasi standar dan absorbansi standar hasil praktikum tidak sesuai. Kurva
hubungan konsentrasi standar dengan absorbansi standar dengan regresi linier disajikan sebagai
berikut:
Berdasarkan grafik di atas yaitu grafik hubungan konsentrasi standar dengan absorbansi
standar terlihat grafik membentuk garis lurus. Pada grafik di atas dapat disimpulkan bahwa
semakin besar konsentrasi standar maka semakin besar nilai absorbansi standar. Namun,
titik-titik yang terbentuk antara konsentrasi standar dengan nilai absorbansi standar tidak
semuanya berada dalam garis linear. Oleh karena itu, percobaan menentukan kadar protein
dengan menggunakan metode lowry ini dapat dinyatakan kurang berhasil. Hal tersebut
dapat disebabkan oleh kesalahan praktikan, diantaranya praktikan kurang teliti ketika
mencampurkan atau mereaksikan larutan sehingga menghasilkan larutan yang terlalu pekat
atau sedikit encer yang berpengaruh terhadap penentuan nilai absorbansi standar yang
tidak tepat atau terlalu besar.
Penentuan kadar protein denagn menggunakan metode Lowry digunakan larutan stok
standard protein (misalnya albumin) yang mengandung 4 mg/mL protein dalam akuades dan
disimpan pada -20oC (Lowry dkk 1951). Berdasarkan literatur tersebut, maka kesalahan
pada percobaan ini dikarenakan sampel yang digunakan yaitu albumin putih telur namun
tidak disimpan pada suhu -20 .
Kesimpulan
Menentukan persen kadar protein yang terkandung dalam suatu bahan dapat dilakukan
dengan cara spektrofotometri metode Lowry. Kadar protein yang diperoleh dari albumin putih telur
didapatkan dengan menghitung faktor konversi terlebih dahulu, kemudian menghitung absorban
contoh, kemudian kadar protein didapat dengan mengalikan absorban contoh dikalikan faktor
pengenceran dikalikan 100 per berat contoh (g) dikalikan 1000. Berdasarkan grafik hubungan
konsentrasi standar dengan absorbansi standar terlihat grafik membentuk garis lurus. Dapat
disimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi standar maka semakin besar nilai absorbansi standar
Saran
Setelah melakukan praktikum penetapan kadar protein dengan metode Lowry, praktikan diharapkan
mampu menentukan berat protein suatu bahan makanan secara spektrofotometri. Dalam menentukan
penetapan kadar protein ini, sebaiknya praktikan lebih cermat dalam melakukan langkah-langkah
percobaan seperti pengenceran albumin contoh agar tidak terjadi kesalahan saat pembacaan
serapan yang akan berpengaruh pada perhitungan selanjutnya.
LAMPIRAN
Contoh perhitungan
fp (faktor pengenceran) =
x (absorban contoh) =
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono dkk. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Psat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.
Dennison, C., 2002, A Guide to Protein Isolation, Kluwer Academic Publishers, New York
Dennison. 2002. A Guide to Protein Isolation. New York: Kluwer Academic Publishers.
Lowry , Rosenbrough , Farr, Randall. 1951. Protein Measurement with the Folin Phenol Reagent. New
York: Kluwer Academic Publishers.
Sudarmaji dkk. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Suryono H. 2006. Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam Asetat
pada Umur Simpan yang Berbeda [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Ternak.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Yoky Edy Saputra . 2009. Spektrofotometri. http://www.chem-is-try.org [19 Maret 2010].