Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya
untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
Kelompok I
DAFTAR ISI
Pendahuluan
Isi
Penutup
Lampiran .................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Konflik antar suku bangsa di Indonesia sudah sering terjadi. Tak jarang konflik yang
berlangsung tersebut menyebabkan terjadinya pertumpahan darah pada pihak-pihak yang
bertikai. Meski pun seringkali sumber penyebab konflik itu sendiri hanya berawal dari
masalah sepele.
Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-
anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis
keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain
akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, dan
ciri-ciri biologis.
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Konflik juga dapat diartikan sebagai
suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang
boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada. Berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan,
kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, etal(1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling
tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing masing komponen organisasi
memiliki kepentingan atau tujuan sendiri sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau
kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik
tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah
ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan
individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama
pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
2.2 Contoh Konflik Antar Suku
Kerukunan merupakan cerminan dari masyarakat yang saling menghargai satu sama lain.
Namun berbagai hal terkadang bisa memicu perpecahan. Perang antarsuku di indonesia
merupakan salah satu bentuk kurangnya rasa kebersamaan dan kerukunan antarmasyarakat.
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki banyak sekali keragaman dari segi suku,
budaya, bahasa, dan agama. Adanya perbedaan ini membuat Indonesia menjadi negara yang
harus terus berusaha menjaga keutuhan dan persatuan antarwarga masyarakatnya.
Sebagai warga negara yang baik, sudah sepatutnya kita mendukung negara dengan melakukan
sikap saling toleransi dan menghargai di masyarakat, karena apa pun suku yang mendiami
negara ini merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Dengan begitu, akan tercipta
persatuan dan kesatuan yang membuat negara Indonesia aman.
Namun pada kenyataannya, banyak sekali orang yang memiliki pemikiran berbeda. Orang-
orang ini beranggapan bahwa suku bangsa mereka jauh lebih baik dari suku bangsa orang
lain. Apa pun yang menimpa pada salah satu anggota suku mereka merupakan urusan
bersama, sehingga banyak sekali konflik yang melibatkan seluruh anggota suku jika salah satu
anggotanya memiliki masalah dengan suku lain.
Indonesia yang kaya akan beragam suku bangsa ternyata bisa menjadi pemicu konflik di
berbagai daerah. Banyak sekali orang yang seolah tidak peduli dengan pengamalan pancasila
Persatuan Indonesia. Mereka seolah menutup mata dan lebih mementingkan kepentingan
suku ketimbang perdamaian yang harus dijunjung tinggi di Indonesia.
C. Perbedaan Stereotipe
Stereotipe itu sendiri adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang
dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa
orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Stereotipe
dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan
untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala
bentuk stereotipe negatif. Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya
memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang.
Setiap suku tentu memiliki adat-istiadat dan kebiasaan tertentu yang beragam.
Keanekaragaman tersebut tentu memabawa dampak dan kosekuensi sosial yang
beragam pula. Jika hal ini tidak dapat disikapi dengan baik maka perbedaan
tersebut justru akan terus manjadi faktor utama penyebab terjadi perang antar
suku.
Contoh yang sangat nyata yang dapat kita lihat adalah stereotipe orang Madura
yang identik dengan watak kasar dan keras. Yang sering menyelesaikan masalah
dengancarok, mengakhiri sengketa dengan duel maut yang berujung kematian.
Latar belakang penyebab adalh dendam dan kerabat atau keluarga yang terluka.
Provinsi Lampung yang berada di ujung timur pulau sumatera ini memang memiliki keunikan
tersendiri jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di sumatera. Di provinsi yang
berpenduduk 7.608.405 jiwa (sensus 2010) ini ditempati oleh berbagai suku, selain suku asli
lampung sendiri di provinsi tersebut juga banyak penduduk / suku yang berasal dari Semendo
(sumsel), Bali, Lombok, Jawa, Minang/Padang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten,
Palembang, Aceh, Makassar, warga keturunan, dan Warga asing (China, Arab).
Salah satu keunikan lainnya dari provinsi lampung ialah banyak nama daerah / kecamatan nya
yang dinamai seperti nama daerah di pulau jawa, seperti bantul, wates, wonosari, sidoarjo
dsb. Hal tersebut bisa terjadi karena memang sejak zaman dahulu ( belanda ) provinsi
lampung adalah salah satu tempat tujuan transmigrasi besar besaran dari tanah jawa. Bahkan
banyak masyarakat Lampung suku Jawa yang belum pernah menginjakkan kakinya di Pulau
Jawa.
Jika Anda berkunjung ke Lampung, jangan heran menyaksikan jumlah suku asli lampung
lebih sedikit dibandingkan suku-suku pendatang lainya. Bahasa yang digunakan sehari hari
pun adalah bahasa Indonesia, berbeda dengan provinsi yang bertetangga dengan lampung
seperti bengkulu dan sumatera selatan yang masih menggunakan bahasa daerah masing
masing sebagai alat komunikasi. Bahkan di beberapa kota / daerah di lampung bahasa jawa
digunakan sebagai bahasa komunikasi.
Tentunya dengan berbaurnya berbagai macam suku tersebut maka tingkat kecenderungan
untuk terjadinya konflik pun semakin tinggi. Sebenarnya konflik konflik antar suku sudah
sering terjadi di provinsi lampung baik itu antara suku asli lampung dengan bali seperti yang
terjadi saat ini, maupun jawa dengan bali atau lampung dengan jawa. Kenapa hanya ketiga
suku tersebut yang sering terlibat konflik ? ya memang karena ketiga suku tersebutlah
populasinya yang paling banyak.
Di beberapa daerah di lampung kita bisa menemukan sebuah desa yang seluruh penduduknya
berisi orang bali. Di tempat tersebut juga biasanya terdapat sebuah pura besar tempat mereka
melakukan kegiatan agama, sama persis seperti keadaan di bali.
Pada sisi lain masyarakat asli Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri dengan
salah satu unsurnya adalah Nemui-nyimah yang berarti ramah dan terbuka kepada orang
lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Tetapi dengan
seiring waktu falsafah hidup tersebut mulai luntur dikarenakan berbagai macam hal.
Suku asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap para pendatang, mereka
menyambut baik kedatangan para pendatang tersebut tetapi memang terkadang para
pendatang lah yang sering menyulut amarah penduduk asli lampung. Sebagai tuan rumah,
suku asli lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika mereka merasa dihina oleh suku lain
apalagi hal tersebut berkaitan dengan masalah harga diri.
Konflik antar suku dilampung memang bukan merupakan sebuah hal baru, konflik tersebut
sudah pernah terjadi sebelumnya dan pemicunya hanyalah berawal dari masalah sepele.
Bahkan di tempat yang sama dengan saat ini terjadi perang suku saat ini yaitu di Sidorejo
kecamatan Sidomulyo juga pernah terjadi pada bulan januari 2012 kemarin, pemicunya adalah
perebutan lahan parkir. Berikut ini beberapa perang antar suku yang pernah terjadi di
Lampung :
Konflik diatas adalah beberapa konflik yang terhitung besar, selain konflik besar yang pernah
terjadi diatas di lampung juga sering terjadi konflik konflik kecil antar suku namun biasanya
hal tersebut masih bisa diredam sehingga tidak membesar.
Dari konflik konflik kecil tersebut timbullah dendam diantara para suku suku tersebut
sehingga jika terjadi insiden kecil bisa langsung berubah menjadi sebuah konflik besar.
Pengelompokan suku di daerah lampung memang sudah terjadi sejak lama, bahkan hal
tersebut sudah terjadi sejak mereka remaja. Di beberapa sekolah didaerah lampung anak
anak suku bali tidak mau bermain / bersosialisasi dengan anak anak suku lainnya begitu
juga dengan anak anak dari suku jawa maupun lampung. Mereka biasanya berkelompok
berdasarkan suku mereka sehingga jika diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan
tentunya akan melibatkan suku mereka.
Terkait degan bentrokan di Lampung Selatan, Minggu (28/10/2012), Divisi Humas Mabes
Polri hari ini, Senin (29/10/2012) merilis kronologis resmi versi Polisi terkait bentrokian
tersebut melalui laman online humas mabes polri di www.polri.go.id.
Pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 09.30 WIB di desa Sidorejo kecamatan
Sidomulyo kabupaten Lampung Selatan, telah terjadi bentrokan antara warga suku Lampung
dan warga suku Bali.
Kronologis kejadian : Pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober 2012 pukul 17.30 WIB telah
terjadi kecelakaan lalu-lintas di jalan Lintas Way Arong Desa Sidorejo (Patok) Lampung
Selatan antara sepeda ontel yang dikendarai oleh suku Bali di tabrak oleh sepeda motor yang
dikendarai An. Nurdiana Dewi, 17 tahun, (warga Desa Agom Kec. Kalianda Kab. Lampung
Selatan berboncengan dengan Eni, 16 Th, (warga desa Negri Pandan Kec. Kalianda Kab.
Lampung Selatan).
Dalam peristiwa tersebut warga suku Bali memberikan pertolongan terhadap Nurdiana Dewi
dan Eni, namun warga suku Lampung lainnya memprovokasi bahwa warga suku Bali telah
memegang dada Nurdiana Dewi dan Eni sehingga pada pukul 22.00 WIB warga suku
Lampung berkumpul sebanyak + 500 orang di pasar patok melakukan penyerangan ke
pemukiman warga suku Bali di desa Bali Nuraga Kec. Way Pani. Akibat penyerangan
tersebut 1 (satu) kios obat-obatan pertanian dan kelontongan terbakar milik Sdr Made
Sunarya, 40 tahun, Swasta.
Pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB, masa dari warga suku
Lampung berjumlah + 200 orang melakukan pengrusakan dan pembakaran rumah milik Sdr
Wayan Diase. Pada pukul 09.30 WIB terjadi bentrok masa suku Lampung dan masa suku Bali
di Desa Sidorejo Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung Selatan.
Akibat kejadian tersebut 3 (tiga) orang meninggal dunia masing-masing bernama: Yahya Bin
Abdul Lalung, 40 tahun, Tani, (warga Lampung) dengan luka robek pada bagian kepala
terkena senjata tajam, Marhadan Bin Syamsi Nur, 30 tahun, Tani, (warga Lampung) dengan
luka sobek pada leher dan paha kiri kanan dan Alwi Bin Solihin, 35 tahun, Tani, (warga
Lampung), sedangkan 5 (lima) orang warga yang mengalami luka-luka terkena senjata tajam
dan senapan angin masing-masing : An. Ramli Bin Yahya, 51 tahun, Tani, (warga Lampung)
luka bacok pada punggung, tusuk perut bagian bawah pusar, Syamsudin, 22 tahun, Tani,
(warga Lampung) Luka Tembak Senapan Angin pada bagian Kaki. Ipul, 33 tahun, Swasta,
(warga Lampung) Luka Tembak Senapan Angin pada bagian paha sebelah kanan dan
Mukmin Sidik, 25 tahun, Swasta, (warga Lampung) luka Tembak Senapan Angin di bagian
betis sebelah kiri.
Mungkin dengan kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi para penduduk lampung untuk
melakukan instropeksi diri masing masing. Banyak warga asli lampung mengatakan para
pendatang didaerah mereka tidak tahu diri, tidak sopan atau menghargai mereka sebagai
penduduk asli. Begitu juga dengan warga pendatang jangan karena merasa mereka memiliki
kelompok yang banyak dan memiliki solidaritas yang besar terus bersikap semena mena
terhadap suku lainnya karena walau bagaimanapun mereka adalah pendatang / tamu dan
layaknya seorang tamu tentu harus menghormati tuan rumah.
Segala macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meredam konflik di Lampung,
sering diadakannya pertemuan antar ketua adat di lampung ternyata belum mampu meredam
konflik konflik yang sering terjadi, hal tersebut terjadi karena diantara mereka sebenarnya
saling menyimpan dendam.
Konflik sosial antar warga di Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah seakan
menyuguhkan adegan teateral kemanusiaan yang berseri. Sebuah lingkaran
kekerasan yang tak berkesudahan. Pertanyaannya, mengapa kekerasan itu
bertahan lama dan berulang?
Jika ditelusuri, perang antar desa itu dilakukan oleh warga yang dominan satu
agama, satu suku, bahkan tak sedikit dari mereka yang berkonflik itu satu
rumpun keluarga. Repotnya, konflik itu berkembang bagai kompetisi liga
sepakbola, antar club akan bertemu dilapangan hijau. Di Kabupaten Sigi, antar
desa akan ketemu dimedan konflik, diperbatasan desa, terkadang di pematang
sawah. Konflik antar desa itu sumbuh pemicunya selalu bermuara pada soal salah
paham.
Salah faktor terjadinya salah paham itu karena kurangnya interakasi soal dan
dialog antar warga yang berbeda desa. Berikutnya setiap pasca konflik, sejumlah
pemangku kepentingan hanya sibuk mempersoalkan fenomena yang terjadi
dipermukaan bahkan cenderung saling menyalahkan. Akar masalah tak pernah
terjawab.
Jika diurai anatomi konflik antar warga didataran Sigi itu, kita akan menemukan
sesuatu yang agak berbedah dengan konflik komunal di Poso dan Ambon
beberapa tahun lampau. Di Poso dan Ambon konflik membuncah kepermukaan
karena masyarakatnya sangat mudah diprovokasi akibat tajamnya segregasi
sosial yang dilatar belakangi oleh faktor agama dan etnis, berikutnya kekerasan
itu berkelanjutan karena dipicu oleh kekerasan sebelumnya. Teori Dom Helder
Camara menyebutnya dengan spiral kekerasan. Untuk itu perlu dikedepankan
dialog dan resolusi agar mata rantai spiral kekerasan bisa terurai, Namun di Sigi
agak lain, kekerasan yang sering berulang itu tidak dipicu oleh kekerasan
sebelumnya, namun selalu muncul masalah baru dari warga desa yang berbeda
domisili. Yang berkembang kemudian adanya segregasi sosial karena faktor
domisili warga yang berbeda desa. Jadi, solidaritas itu muncul karena factor
kawan sekampung bukan karena faktor satu etnis atau agama seperti yang
terjadi di Poso dan Ambon.
` Masalah di Sigi selama ini adalah sangat kurang dan terbatasnya media
atau sarana yang bisa mempertemukan warga antar kampung, akibatnya tidak
terjalin komunikasi lintas budaya antar individu yang berbeda kampung itu. Yang
terbangun justru semakin menguatnya kohesi sosial pada masing-masing
kampung. Untuk itu kita tidak heran jika terjadi senggolan antar individu yang
beda kampung ketika acara jogged tujuh belasan di lapangan sepakbola
kecamatan misalnya, maka hal itu bisa menyulut solidaritas mekanik itu untuk
saling membela kawan sekampung karena disenggol oleh anak kampung
sebelah. Mereka, setiap saat selalu terjebak dalam dikotomi antara torang dan
dorong (baca: kita dan mereka) Karena faktor itu, jangan coba-coba bicara
soal batas desa disana, sangat sensitive.
Jadi akar masalah konflik disana itu bukan karena ada yang menunggangi atau
kesadaran masyarakat yang rendah serta mudahnya warga mengakses
mimuman keras. Benar factor tersebut yang sering terlihat dipermukaan, tapi hal
ini hanya ekses dari sebuah masalah besar yang belum terjawab. Satu
diantaranya adalah angka pengangguran yang tinggi dan lapangan pekerjaan
yang terbatas. Saya pikir, Pemerintah Provinsi Sulteng, khususnya Pemerintah
Kabupaten Sigi harus memiliki strategi khusus untuk menjawab masalah
tersebut.
Fakta social yang tak mungkin dielakkan, di Sigi sejak menjadi kabupaten baru,
terjadi migrasi warga dari luar Sigi hingga berpengaruh pada pertumbahan
jumlah penduduk. Masyarakat dari berbagai penjuru ditanah air akan mencoba
bertarung hidup di wilayah Sigi, apalagi daerah itu sangat kaya dengan potensi
alamnya. Yang pertama; orang-orang pada mengerumuni lapangan pekerjaan
sektor formal, yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS), celakanya, sejumlah anak-anak
muda Sigi kurang terakomodir disektor formal itu. Yang kedua; lapangan kerja di
sektor informal juga masih terbatas, termasuk sumberdaya yang akan
menggerakkan sektor informal dari warga setempat. Inilah yang saya maksudkan
perlunya strategi khusus mengurai akar masalah disana.
Jika saja lapangan kerja terbuka lebar di Kabupaten Sigi, maka dipastikan
segregasi antar kampung itu bisa cair. Inilah satu soal yang harus segera
dipecahkan oleh Pemerintah Kabupaten Sigi. Kalau pemerintah kabupaten belum
bisa membuka lapangan kerja buat rakyatnya, paling tidak perlu membuka
ruang-ruang publik yang memungkinan adanya komunikasi yang memungkinkan
adanya aktifitas warga secara bersama. Dengan harapan, akan terbangun
interaksi antar warga dari berbagai desa secara rutin, namun kegiatan itu
diharapkan tak menjurus terjadinya kompetisi antar desa, seperti pertandingan
sepakbola misalnya. Intinya, sangat diperlukan adanya sejumlah program
kegiatan yang diharapkan bisa merekatkan kohesi social antar warga dari
berbagai kampung. Saya pikir saatnya organisasi seperti Alkhairaat dan
organisasi social lainnya berkontribusi untuk merekatkan kohesi social antar
warga agar bara amarah bisa diredam disana. Kemudian Pemerintah Kabupaten
Sigi harus menunjukkan komitmennya bahwa mereka bekerja untuk
meningkatkan kesejahteraan warganya. Seperti apa caranya, koreksilah
kebijakan politik anggaran dalam APBD yang selama ini terlalu besar porsinya
untuk kepentingan belanja rutin. Tak salah jika biaya perjalanan dinas misalnya
atau pembelian mobil dinas dikurangi karena akan menyedot dana yang tak
sedikit. Jika Pemerintah Kabupaten Sigi mau menunjukkan komitmennya dengan
sedikit berhemat, maka dipastikan porsi belanja publik bisa ditingkatkan. Siapa
tau dengan berhemat itu, dananya bisa dialokasikan untuk membangun
sejumlah kebutuhan dasar warga Sigi termasuk membuka lapangan kerja buat
mereka yang masih menganggur. Hanya saja apakah Pemerintah Kabupaten Sigi
mau menunjukkan komitmennya, fokus dan peduli pada kebutuhan warganya ?
Entahlah, sejarah yang akan membuktikan.
KERUSUHAN SAMBAS
Kerusuhan Sambas adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan
sekitarnya. Kerusuhan di Sambas sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970, namun yang
terakhir ini (tahun 1999) merupakan terbesar dan akumulasi dari kejengkelan Melayu dan suku
Dayak terhadap ulah oknum-oknum pendatang dari Madura. Akibatnya, orang-orang keturunan
Madura yang sudah bermukim di Sambas sejak awal 1900-an itu ikut menanggung dosa
perusuh.[1] Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari, 1.189 orang tewas, 168 orang luka
berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor
dibakar/dirusak, 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan
29.823 warga Madura mengungsi.
LATAR BELAKANG
Awal peristiwa dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga suku Madura
yang ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku Melayu.
Selain itu terjadi pula kasus perkelahian antara kenek angkot warga suku Melayu dengan
penumpang angkot warga suku Madura yang tidak mau membayar ongkos.
Akibatnya terjadi saling balas membalas antara warga tempatan yakni suku Melayu dan
suku Dayak menghadapi warga suku Madura dalam bentuk perkelahian, penganiayaan dan
pengrusakan.
Telah terjadi pengungsian warga suku Madura secara besar-besaran. Kemudian isu ini
dieksploitir oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya.
Peristiwa ini adalah kejadian yang kesepuluh sejak tahun 1970 dan juga pernah terjadi
terhadap etnis yang lain.
KRONOLOGI
Pada tanggal 17 Januari 1999 pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan dianiaya pelaku
pencurian ayam warga suku Madura oleh warga suku Melayu.
Pada tanggal 19 Januari 1999 sekitar 200 orang suku madura dari suatu desa
menyerang warga suku Melayu desa lainnya.
Hari berikutnya terjadi perkelahian antara warga suku Madura dan warga suku Melayu
karena tidak membayar ongkos angkot. Kejadian ini berkembang menjadi perkelahian antara
kelompok dan antara desa yang disertai pembakaran, pengrusakan dan tindak kekerasan
lainnya.
PROSES HUKUM
Pelaku yang ditangkap 208 orang dan dalam proses peradilan sebanyak 59 orang, yang terdiri
dari suku Madura 13 orang, suku Melayu 42 orang dan suku Dayak 4 orang. Barang bukti disita
607 pucuk senjata api rakitan, 2.336 senjata tajam, 76 bom molotov, 86 ketapel, 969 anak panah,
8 botol dan 8 toples obat mesiu, 443 butir peluru timah, 79 peluru pipa besi, 349 butir peluru
setandard ABRI dan 441 butir peluru gotri.[2]
c. Selain dua faktor di atas, adanya kesalahpahaman juga mempengaruhi terjadinya konflik,
adanya perbedaan keyakinan (agama) juga bisa menyebabkan konflik antar masyarakat.
g. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah
sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan
mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada
masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan
memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai
yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan
upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi
hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai
kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan
istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau
mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan
tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
Terdapat enam dampak yang langsung kelihatan (Brown, 1997, hal. 90).
c. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling
curiga dll.
e. Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
b. Selanjutnya dengan menjaga kerukunan masyarakat, walaupun mungkin hal ini sulit
mengingat masyarakat Indonesia terdiri dari ratusan suku yang memiliki ciri watak berbeda-
beda namun akan menjadi mudah apabila sudah terbentuk suatu sikap untuk saling menjaga
dan mempertahankan kerukunan baik antar umat beragama, antar etnis, serta antar suku
bangsa yang kuat dari dalam diri masyarakat.
c. Serta dengan berpikir sebelum bertindak, ini penting karena pasti ada akibat dari sebab.
Setiap apa yang kita lakukan pasti menimbulkan suatu akibat, apalagi akibat dari konflik yang
negatif, yaitu korban berjatuhan, hilangnya harta, maka harus selalu memikirkan matang-
matang setiap rencana.