Você está na página 1de 6

Nama : Zulkifli Pelana

NIM : 4415120305

Prodi : Pendidikan Sejarah (A)

MK : Filsafat Sejarah

___________________________________________________________________

Sebuah Essai

Ilmu-Ilmu Sosial sebagai Pisau Bedah Pengkajian Sejarah

Sejarah, sebagai rekonstruksi masa lampau, dalam perkembangannya


senantiasa dihadapkan dengan berbagai permasalahan tentang bagaimana
sebaiknya untuk merekonstruksi masa lampau itu, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pada perkembangan terkini, telah muncul
suatu gagasan pemikiran dalam penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan
multidimensional, yaitu suatu pendekatan dengan menggunakan bantuan dari
berbagai cabang ilmu sosial untuk menganalisis peristiwa masa lampau.

Jika kita membahas mengenai pengkajian sejarah, memang tentunya tidak


terlepas kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial. Lalu, mengapa bisa begitu? Kita secara
sederhana dapat mengajukan agumentasi bahwa baik ilmu-ilmu sosial maupun
sejarah, keduanya memiliki hubungan terkait unsur terpenting yang dikaji yaitu
manusia. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa sejarah dan ilmu-ilmu sosial
berbeda tujuannya. Tujuan sejarah ialah mempelajari hal-hal yang unik, tunggal,
idiografis, dan sekali terjadi, sedangkan ilmu-ilmu sosial tertarik pada yang umum,
ajeg, nomotetis, dan merupakan pola. 1 Selain itu, sejarah juga memiliki pendekatan
yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial, yakni sejarah itu bersifat diakronis
(memanjang dalam waktu), sedangkan ilmu-ilmu sosial itu bersifat sinkronis
(melebar dalam ruang).

Adapun istilah pisau bedah yang saya gunakan pada essai ini merupakan
perumpamaan untuk penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam menguak substansi (isi)

1 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), hlm. 109
dan makna dari suatu pengkajian sejarah, dan juga mempertajam insight (pengertian
yang mendalam) sejarawan2.

Upaya mempertajam pisau bedah dan insight sejarawan tersebut dilatarbelakangi


bahwa selama ini banyak tulisan sejarah yang bersifat deskriptif-naratif terutama
yang dihasilkan oleh penulis yang bukan ahli sejarah, yang mana jenis sejarah ini
ditulis tanpa memakai teori dan metodologi. Teori dan metodologi bermaksud
menerangkan suatu peristiwa sejarah dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi
lingkungannya, konteks sosial-kulturalnya, singkatnya secara mendalam hendak
diadakan analisis tentang faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual tentang
unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen dari proses sejarah yang
dikaji.3

Dari hal itulah karenanya dalam pengkajian sejarah dibutuhkan peralatan analitis
(pisau bedah) yang dapat dioperasionalkan fungsinya, sehingga relevan dengan
permasalahan yang sedang dianalisis. Peminjaman peralatan analitis dari ilmu-ilmu
sosial adalah wajar, oleh sebab sejarah konvensional miskin akan hal itu.
Reapproachment antara ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial sudah tentu akan
mengarah pada integrasi antara pengkajian sejarah dengan ilmu-ilmu sosial,
sekaligus juga mendorong terjadinya pengkajian sejarah yang interdisipliner.

Adapun berbagai alasan yang mendukung pengkajian sejarah yang


interdisipliner, antara lain:4

(1)Pernyataan-pernyataan mengenai masa lampau dapat dirinci, baik


kuantitatif maupun kualitatif dengan bantuan teori-teori sosial.

(2) Suatu teori sosial ilmiah, mengadakan hubungan antara berbagai variabel,
dapat mendorong sejarawan untuk meneliti aspek masa lampau beserta
hubungannya dengan aspek-aspek lainnya.

2 ibid., hlm. 115

3 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 2

4 F. R. Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah


(terj. Dick Hartoko) (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 246-247
(3) Kaitan yang diadakan serta permasalahan yang ditimbulkan oleh suatu
teori sosial, juga akan memberi tempat baru pada permasalahan tersebut
dalam tinjauan sejarah.

(4) Teori-teori dalam ilmu sosial, biasanya berkaitan dengan struktur umum
dan supraindividual dalam kenyataan sosio-historis. Oleh sebab itu, teori-
teori itu bisa menganalisis perubahan-perubahan yang berjangkauan luas.

(5) Penggunaan teori-teori dalam ilmu sosial yang dapat diandalkan dan
dipercaya akan melepaskan pengkajian sejarah dari tuduhan subjektivitas.

Konsep-konsep dan teori-teori ilmu-ilmu sosial diakui sangat perlu. Meskipun


tak satu pun di antaranya memberikan jalan keluar yang siap pakai begitu saja. Para
sejarawan sendiri harus mencari data dan metode ilmu sosial yang dapat
memperluas lingkup dan makna penelitian mereka, serta menentukan sendiri apa
yang harus diubah-sesuaikan, dan apa yang harus dipadukan dalam kombinasi-
kombinasi baru secara bebas, agar memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh
mereka sendiri.

Adapun berikut ini merupakan paparan ringkas tentang hubungan konsep-


konsep dari ilmu-ilmu sosial yang meliputi sosiologi, ilmu politik, psikologi, ekonomi,
antropologi, dan filsafat dengan pengkajian sejarah.

a) Hubungan sejarah dengan sosiologi

Pengkajian sejarah terkait mempelajari berbagai interaksi manusia, baik antar


individu, individu dengan kelompok manusia, dan kelompok manusia dengan
kelompok manusia lainnya di masa lampau. Hubungan interaksi manusia dan pola-
pola perilakunya dikaji melalui pendekatan makro dan pendekatan mikro sosiologis
dan ditunjang pula dengan teori-teori sosiologis.

b) Hubungan sejarah dengan ilmu politik

Secara konvensional, sejarah politik dalam hal ini banyak menampilkan segi
politik secara menonjol. Dalam hubungannya dengan kedua disiplin ini melahirkan
apa yang disebut pendekatan ilmu politik, dan pendekatan institusional, pendekatan
legalistis, pendekatan kekuasaan, pendekatan nilai dan pengaruh, pendekatan
kelompok, dan sebagainya.

c) Hubungan sejarah dengan psikologi


Pengkajian sejarah terkait mempelajari kejiwaan dan perilaku manusia di masa
lampau yang meliputi kejiwaan dan perilaku kelompok-kelompok orang dan orang
secara individu. Kejiwaan dan perilaku para pelaku sejarah dipelajari dan oleh para
sejarawan agar dari kejiwaan dan perilaku tersebut dapat ditelaah perkembangan
sejarah kehidupan para pelaku sejarah.

d) Hubungan sejarah dengan ekonomi

Pengkajian sejarah terkait mempelajari bagaimana cara manusia di masa


lampau dalam pemenuhan kebutuhan material hidupnya sehari-hari. Dalam
pengkajian sejarah modern, terdapat dua aliran yang bekerja sama erat, yakni aliran
Annales yang lebih tertarik pada aspek ekonomis masa lampau dan aliran New
Economic History yang sudah memakai teori-teori ekonomis lebih mutakhir.

e) Hubungan sejarah dan antropologi

Pengkajian sejarah terkait dengan pendekatan kulturalnya. Antropologi lazim


mengkaji suatu komunitas dengan pendekatan sinkronis, yaitu seperti membuat
suatu pemotretan pada momentum tertentu mengenai berbagai bidang atas aspek
kehidupan komunitas, sebagai bagian dari satu sistem serta hubungan satu sama
lain sebagai subsistem dalam suatu sistem. Kiranya gambaran sinkronis ini tidak
memperlihatkan perubahan. Justru dalam studi antropologi diperlukan pula
penjelasan tentang struktur-struktur sosial yang berupa lembaga-lembaga, pranata,
sistem-sistem, kesemuanya akan dapat diterangkan secara lebih jelas apabila
diungkapkan pula bahwa struktur itu adalah produk dari perkembangan di masa
lampau. Hal ini akan dapat dijelaskan eksistensinya dengan melacak perkembangan
sejarahnya.5

f) Hubungan sejarah dengan filsafat (intelektual)

Pengkajian sejarah terkait tentang mempelajari perkembangan pemikiran


manusia di masa lampau yang berhubungan dengan nalar (rasionalisme) dan
pemahaman mengenai pengalaman (empirisme). Perkembangan ide-ide dari alam
pikiran manusia menunjukkan jalan dalam memahami hakikat suatu kebenaran yang
dihubungkan dengan bahasa baik secara tekstual maupun kontekstual.

Setelah paparan ringkas tentang hubungan konsep-konsep dari ilmu-ilmu


sosial dengan pengkajian sejarah di atas, saya akan menggunakan dua contoh
5 Kartodirdjo, op. cit., hlm. 165
kasus peristiwa sejarah untuk dibedah hubungannya dengan konsep-konsep ilmu-
ilmu sosial. Adapun dua contoh peristiwa sejarah tersebut, antara lain:

a) Perang Diponegoro

Perang Diponegoro adalah perang besar yang berlangsung selama tahun


1825-1830 yang terjadi di Jawa antara pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal De
Kock melawan penduduk pribumi Indonesia yang dipimpin Pangeran Diponegoro.6

Perang ini dilatarbelakangi kebutuhan Belanda untuk mengisi kekosongan kas


mereka setelah kekalahan dalam Perang era Napoleon (1799-1815), Belanda pun
memperkuat ekonomi dengan penerapan monopoli dan penarikan pajak hasil bumi.
Untuk mendukung penguatan ekonomi tersebut, pemerintah kolonial Belanda
memerintahkan membuat jalan yang pada awalnya dari Yogyakarta ke Magelang
lewat Muntilan, lalu membelokkan jalan itu melewati Tegalrejo. Pembangunan jalan
itu didasari salah satu konsep ilmu ekonomi, yakni kebutuhan. Karena kebutuhan
tersebut, timbullah dampak sosiologis berupa makin sengsara dan tertindasnya
rakyat pribumi pada saat itu.

Selain itu, rupanya dengan pembangunan jalan itu Belanda tepat melintasi
makam leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang di antaranya membuat
Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata
melawan Belanda. Rasa tersinggung Pangeran Diponegoro didasari pemahaman
mengenai begitu pentingnya makam leluhur. Ditinjau dari secara antropologis,
makam leluhur di kalangan rakyat Jawa dapat dibilang penting karena merupakan
tempat yang sakral, jika ada yang mengusik atau merusaknya berarti telah
mengganggu peninggalan leluhur.

b) Peristiwa Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12


September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara 7 yang dilatarbelakangi dorongan
pemerintah Orde Baru saat itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan
azas tunggal Pancasila.

6 <http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro>, diakses 12 Juni 2014, pukul 18.55 WIB

7 <http:id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok>, diakses 12 Juni 2014, pukul 18.58


WIB
Dari aspek ilmu politik, ada satu konsep dari ilmu politik, yaitu kekuasaan, di mana
pemerintah Orde Baru ingin menegakkan kekuasaannya dengan hanya
menghendaki organisasi masyarakat harus berdasarkan Pancasila, bukan
keagamaan. Oleh sebab itu, pemerintah Orde Baru melakukan tindakan
perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di salah satu masjid di kawasan
Tanjung Priok, sehingga dari tindakan perampasan brosur tersebut memicu amarah
masyarakat dan terjadilah penyerangan oleh massa kepada aparat. Aksi
penyerangan dari masyarakat Tanjung Priok kepada aparat itu menunjukkan salah
satu konsep dalam sosiologi, yakni interaksi sosial. Di mana dari interaksi sosial itu,
terpiculah suatu konflik.

Konflik tersebut diperparah dengan gambaran umum wilayah Tanjungpriok


sebagai salah satu daerah penting di Jakarta yang dengan segala persoalan
kompleks yang telah memanas karena berbagai persoalan yang dihadapi
masyarakat yaitu keadaan sosial-ekonomi yang susah ditambah taraf pendidikan
rendah dan kondisi keagamaan yang minim namun digerakkan oleh para mubaligh
(pendakwah) yang radikal. Hal ini pun tak heran bertimbal-balik pada psikologis
masyarakat berupa watak yang keras dan rentan diprovokasi, hingga diperparah lagi
dari permasalahan yang kompleks yang melanda daerah tersebut.

________________

Daftar Pustaka

Ankersmit, F. R. 1987. (terj. Dick Hartoko) Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-


Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

<http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro>, diakses 12 Juni 2014, pukul 18.55


WIB.

<http:id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok>, diakses 12 Juni 2014, pukul


18.58 WIB.

Você também pode gostar