Você está na página 1de 129

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN AWIG-AWIG

PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI DI


KABUPATEN LOMBOK TIMUR

NISA AYUNDA
H351110011

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Kelembagaan Awig-
awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai di Kabupaten Lombok Timur
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014

Nisa Ayunda
H351110011
RINGKASAN
NISA AYUNDA. Efektivitas Kelembagaan Awig-awig Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan Pantai di Kabupaten Lombok Timur. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT
dan ZUZY ANNA.

Pemanfaatan sumber daya perikanan yang memiliki karakteristik sebagai


sumber daya alam milik bersama (CPR) cenderung pada pemanfaatan secara bebas
(open access), yang mengakibatkan penurunan produksi sumber daya perikanan.
Telah banyak kebijakan dikembangkan untuk mengatur hak kepemilikan (property
rights) untuk memanajemen sumber daya perikanan. Penguatan kelembagaan lokal
seperti awig-awig menjadi salah satu pendekatan untuk mengelola pemanfaatan
sumber daya perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kelembagaan
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai; (2) mengevaluasi dampak
kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai; (3) mengevaluasi
implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di kabupaten Lombok
Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kelembagaan The
institutional analysis and development (IAD) untuk menganalisis efektivitas
kelembagaan awig-awig. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan
bioekonomi surplus produksi Gordon-Schaefer (GS), analisis laju degradasi dan
depresiasi, dan analisis efisiensi Data Envelopment Analysis (DEA) untuk
menganalisis dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan
pantai.
Hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan
pantai menunjukkan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan
pantai belum berjalan secara efektif yang ditandai dengan belum semua aktor yang
memanfaatkan sumber daya perikanan pantai terlibat secara aktif dalam kelembagaan
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan, peraturan yang disepakati masih
lemah dalam memberikan batas pengaturan, dan resiko keselamatan jiwa yang tinggi
pada kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai. Keadaan ini mengakibatkan masih ditemukan beberapa lokasi
kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas, serta hilangnya salah satu pulau
kecil di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur.
Hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya
perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur memperlihatkan peningkatan upaya
penangkapan setiap tahun yang diiringi oleh produksi sumber daya perikanan yang
terus menurun; nilai produksi aktual telah melebihi nilai MSY; nilai upaya
penangkapan aktual mendekati titik perpotongan TR-TC yang ditunjukkan dengan
penurunan rente aktual (kerugian yang terus meningkat); nilai degradasi dan nilai
depresiasi telah mendekati nilai ambang batas degradasi; dan penggunaan teknologi
melebihi kapasitas input untuk mendapatkan per satuan output dalam kegiatan
penangkapan.
Hasil evaluasi implikasi kebijkan pengelolaan sumber daya perikanan pantai
memperlihatkan ketidakefektifan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai, mengakibatkan kondisi sumber daya perikanan pantai sudah tidak
memberikan manfaat secara biologi dan ekonomi. Perbaikan pada proses pembuatan
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai; perbaikan peraturan yang
disepakati; dan perbaikan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig
merupakan rekomendasi yang ditawarkan dari hasil penelitian ini. Beberapa
rekomendasi ini antara lain dilakukan peningkatan pemahaman pengelolaan sumber
daya perikanan yang berkelanjutan kepada para aktor; dan peningkatan peran dari
aktor lokal pada perbaikan peraturan yang disepakati.

Kata Kunci: awig-awig, kelembagaan lokal, sumber daya perikanan pantai, IAD,
bioekonomi, DEA
SUMMARY
NISA AYUNDA. The Institutional Effectivity of Awig-awig in Coastal Fisheries
Management in Lombok Timur. Supervised by ACENG HIDAYAT and ZUZY
ANNA.

Common-pool resources (CPR) of the use of coastal fisheries tend to be an


open access that caused the decline of the fisheries resources. There are couple of
policies developed to regulate the property rights to manage the fisheries
management. Reviving the local institution such as awig-awig become one of the
approaches to govern the use of coastal fisheries. This research aims to (1) analyze
the awig-awig institution to manage the coastal fisheries; (2) to evaluate the
effectiveness of awing-awig in regulating the coastal fisheries; (3) to evaluate the
policy implication of awig-awig in governing the fisheries resources in the District of
Lombok Timur. The institutional analysis and development (IAD) is applied in this
research to analyze the institutional effectiveness of awig-awing. I also applied the
bio-economic of Gordon-Schaefer (GS), the analysis of depreciation and
degradation, and Data Envelopment Analysis (DEA) to investigates the efficiency of
the resource use in the coastal area that implement the awig-awig.
The IAD of the awig-awig shows that awig-awig is not effective in regulating
the use of coastal fisheries. As indicated in this research, the ineffectiveness of the
awig-awig as an local institution can be seen in (1) the low involvement of the the
actors who use the coastal resources in the management of awig-awig; (2) the rule in
use are still weak to regulate the use of the coastal resources; (3) the high risk in the
activities to monitor and enforce the awig-awig. Because of these ineffectiveness,
the bombing and the use of cyanide are still found in several location.
The analysis of bio-economy shows that the fishing efforts has increase in
frequency accompanied by the decrease of fisheries production. The decrease of
fisheries production is due to over fishing that exceed the value of MSY and that the
actual value of fishing effort has leads to the decrease of actual rent. The analysis on
degradation and depreciation indicate that the fisheries resources are on the verge of
the degradation threshold. The DEA shows that the use of technology in fisheries has
already exceed the capacity utilization.
This thesis concludes that the ineffectiveness of the awig-awig as a local
institution to regulate the coastal resources has serious implication for the biological
and economic benefits of the coastal resources. Hence, this thesis recommends that
there are needs to improve the development process, the rule in use and to improve
the monitoring and enforcement activities of awig-awig. These improvements could
be reached by increasing the understanding of actors in sustainable management of
coastal resources, and to increase the participation of the local actors in developing
the rule in use of awig-awig.

Key Words: Awig-awig, local institution, coastal resources, IAD, bio-economic,


DEA
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN AWIG-AWIG
PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI DI
KABUPATEN LOMBOK TIMUR

NISA AYUNDA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya da Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji luar komisi pada Ujian Thesis: Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Judul Tesis : Efektivitas Kelembagaan Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan Pantai di Kabupeten Lombok Timur
Nama : Nisa Ayunda
NIM : H351110011

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Aceng Hidayat, MT Dr. Zuzy Anna, M.Si


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc. Agr

Tanggal Ujian: 25 Agustus 2014 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah ekonomi kelembagaan, dengan judul Efektivitas
Kelembagaan Awig-awig dalam Mengelola Sumber Daya Perikanan Pantai di
Kabupaten Lombok Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir.Aceng Hidayat, MT dan Ibu
Dr. Dra. Zuzy Anna, MSi selaku pembimbing. Di samping itu, ucapan terima kasih
penulis juga sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku
Kepala Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan (ESL), Ibu Eka Intan
Kumala Putri, Bapak Sahad Simanjuntak, Bapak Yusman Syaukat, Bapak Ahyar
selaku dosen-dosen di lingkungan Program Studi ESL atas diskusi-diskusi dan ilmu-
ilmu yang telah diberikan, Ibu Sofie selaku sekretaris Program Studi, Ibu Intan
selaku sekretaris Departemen ESL, Bapak Kastana selaku sekretaris Program Studi
Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropik (ESK), teman-teman di Program Studi ESL
dan ESK, dan para staf Departemen ESL atas dukungan dan kerja samanya selama
penulis menempuh pendidikan di Program Study ESL.
Tidak mengurangi rasa hormat, penulis juga sampaikan rasa terima kasih
kepada Badan Kerja Sama Luar Negeri (BKLN) yang telah memberikan Beasiswa
Unggulan (BU-BKLN) dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PSPKL-
IPB) melalui Governing Marine Conservation Area for Sustainable Fisheries Project
yang telah membantu dalam sebagian pembiayaan penelitian ini. Penulis juga tidak
lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Lombok Timur, Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL)
Kabupaten Lombok Timur (Pak M. Sholeh, Pak Tahir, Pak Yanto, dan Pak
Syaifullah), teman-teman di Lombok Timur dan kepada Bapak Dedi Adhuri
(Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)) atas informasi, saran-saran,
dan diskusi-diskusinya.Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Bapak
Soedarno dan Ibu Sugiyati, papa dan mama tercinta yang telah memberikan restu
kepada penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Mbak Rini
Kusumawati dan Kakak Krystof Obidzinski atas dukungan baik psikologis dan
financial, serta diskusi-diskusi ringan tentang sosial anthropologi, juga untuk Mas
Yudha Pria Kusuma dan Mbak Yuli atas bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

Nisa Ayunda
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN iv
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Hipotesisi 4
1.4 Tujuan Penelitian 4
1.5 Manfaat Penelitian 4
1.6 Struktur Penulisan Tesis 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Kelembagaan dalam Mengelola Sumber Daya Perikanan 7
2.1.1 Karakteristik Sumber Daya Perikanan 7
2.1.2 Karakteristik Pemanfaat Sumber Daya Perikanan 8
2.1.3 Peraturan yang Disepakati 9
2.1.4 Tata Kelola Sumber Daya Perikanan 11
2.2 Telaah Penelitian Terdahulu 12
3. METODE PENELITIAN 15
3.1 Metode Penelitian 15
3.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian 15
3.1.2 Metode Pengumpulan Data 16
3.2 Metode Analisis Data 17
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Topografi 21
4.2 Kondisi Demografi 21
4.3 Potensi Sumber Daya Perikanan 24
5. KELEMBAGAAN AWIG-AWIG PENGELOLAAN SUMBER DAYA 29
PERIKANAN PANTAI
5.1 Pendahuluan 29
5.2 Tinjauan Pustaka 30
5.3 Metode Penelitian 33
5.4 Metode Analisis Data 34
5.5 Hasil dan Pembahasan 34
5.5.1 Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai 35
Kabupaten Lombok Timur
5.5.2 Peraturan yang Disepakati 38
5.6 Simpulan 44
6. EVALUASI DAMPAK KELEMBAGAAN AWIG-AWIG TERHADAP
SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI 45
6.1 Pendahuluan 45
6.2 Tinjauan Pustaka 46
6.3 Metode Penelitian 47
6.4 Metode Analisis Data 48
6.5 Hasil dan Pembahasan 50
6.5.1 Bioekonomi Surplus Produksi 50
6.5.2 Degradasi dan Depresiasi 57
6.5.3 Efisiensi DEA 60
6.6 Simpulan 72

7. IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA


PERIKANAN PANTAI DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR 73
7.1 Pendahuluan 73
7.2 Tinjauan Pustaka 74
7.3 Metode Penelitian 75
7.4 Metode Analisis Data 76
7.5 Hasil dan Pembahasan 76
7.6 Simpulan 80
8. KESIMPULAN 81
8.1 Kesimpulan 81
8.2 Saran 81
DAFTAR PUSTAKA 83
LAMPIRAN 87
RIWAYAT HIDUP 109
DAFTAR TABEL

1.1 Jumlah lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas di wilayah
perairan pantai Kabupaten Lombok Timur tahun 2002-2013 3
2.1 Klasifikasi hak kepemilikan 9
2.2 Tipe hak kepemilikan dengan pemilik, hak pemilik, dan kewajiban
pemilik 10
3.1 Indikator, parameter, dan data yang diperlukan dalam penelitian 20
4.1 Kecamatan, desa pesisir, dan jumlah nelayan tahun 2006-2010 24
4.2 Jumlah perahu tangkap di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan
tempat pendaratan tahun 2012 25
4.3 Jumlah alat tangkap yang dipergunakan di Kabupaten Lombok
Timur berdasarkan tipe dan tempat pendaratan tahun 2012 25
4.4 Produksi perikanan laut dan jumlah alat tangkap di Kabupaten
Lombok Timur tahun 2003-2007 26
4.5 Potensi wilayah budidaya laut di Kabupaten Lombok Timur 27
4.6 Penyebaran wilayah potensi budidaya air payau 27
4.7 Potensi budidaya ikan air tawar 28
5.1 Design principles 32
5.2 Aktor, tugas, dan kewenangan dalam awig-awig pengelolaan
perikanan pantai 36
5.3 Contoh perbedaan peraturan dalam awig-awig pengelolaan sumber
daya perikanan pantai 40
5.4 Pemetaan hak kepemilikan berdasarkan Schlager dan Ostrom (1992) 43
6.1 Hasil estimasi produksi aktual sumber daya ikan demersal 51
6.2 Hasil estimasi standarisasi upaya penangkapan 52
6.3 Hasil estimasi parameter biologi dengan CYP 53
6.4 Rincian kebutuhan melaut 54
6.5 Hasil estimasi biaya melaut dari alat tangkap pancing dan bagan
sampan 54
6.6 Hasil estimasi real price dan real cost tahun 2002-2011 55
6.7 Hasil estimasi produksi aktual dan produksi lestari 55
6.8 Hasil estimasi h, x, upaya, rente dengan parameter biologi CYP
dengan Maple 14 56
6.9 Upaya aktual, produksi aktual, dan rente aktual 57
6.10 Hasil estimasi nilai koefisien laju degradasi 58
6.11 Hasil estimasi nilai koefisien laju depresiasi 59
6.12 Data alat tangkap sebagai DMU 60
6.13 Nilai efisiensi alat tangkap sebagai DMU 61
6.14 Projection of potential improvment alat tangkap sebagai DMU 62
6.15 Data tahun sebagai DMU 63
6.16 Nilai efisiensi tahun sebagai DMU 63
6.17 Projection of potential improvment tahun sebagai DMU 65
6.18 Data nelayan pancing rawai sebagai DMU 66
6.19 Nilai efisiensi nelayan pancing rawai sebagai DMU 67
6.20 Projection of potential improvment nelayan pancing rawai sebagai
DMU 68
6.21 Data nelayan bagan sampan sebagai DMU 69
6.22 Nilai efisiensi nelayan bagan sampan sebagai DMU 70
6.23 Projection of potential improvment nelayan bagan sampan sebagai 71
DMU
7.1 Evaluasi awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
Kabupaten Lombok Timur 76
7.2 Perbaikan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur 78

DAFTAR GAMBAR

1.1 Klasifikasi sumber daya alam 1


2.1 Kerangka IAD 7
2.2 Hubungan antara hak kepemilikan dan hak akses 11
3.1 Gambar peta wilayah penelitian 15
3.2 Kerangka penelitian dan analisis data 18
4.1 Prosentase penduduk berdasarkan wilayah tempat tinggal 22
4.2 Prosentase penduduk berdasarkan umur 23
4.3 Prosentase penduduk berdasarkan bidang lapangan pekerjaan 23
5.1 Pembagian wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur 39
6.1 Total share produksi ikan demersal berdasarkan alat tangkap 52
6.2 Grafik perbandingan upaya dan produksi aktual tahun 2002-2011 53
6.3 Grafik produksi aktual dengan produksi lestari ikan demersal 56
6.4 Grafik produksi aktual dan koefisien laju degradasi 58
6.5 Grafik produksi aktual dan koefisien lau depresiasi 59
6.6 Grafik nilai efisiensi alat tangkap sebagai DMU 61
6.7 Grafik nilai efisiensi tahun sebagai DMU 64
6.8 Grafik nilai efisiensi nelayan pancing rawai sebagai DMU 67
6.9 Grafik nilai efisiensi nelayan bagan sampan sebagai DMU 70

DAFTAR LAMPIRAN

1. Gambar lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas di wilayah


perairan pantai Kabupaten Lombok Timur 87
2. Kondisi tempat tinggal nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur 88
3. Contoh Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok
Timur 89
4. Contoh Surat Keputusan Kepengurusan KPPL Kawasan 92
5. Gambar sampan mesin tempel yang digunakan oleh nelayan lokal
Kabupaten Lombok Timur 93
6. Contoh sumber daya perikanan pantai yang ditangkap oleh nelayan
lokal Kabupaten Lombok Timur 94
7. Hasil analisis bioekonomi 95
8. Hasil Maple Output 98
9. Hasil analisis DEA 100
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Barang (goods) berdasarkan karakteristik fisik yang meliputi pembatasan


(exclusion) dan persaingan (subtractability), dapat diklasifikasikan menjadi empat
kelompok, yakni barang milik publik (public goods), barang milik bersama (common
pool resources-CPR), barang milik kelompok (toll goods), dan barang milik pribadi
(private goods) (Gambar 1.1). Persaingan dimaksudkan apakah saat suatu pihak
mengkonsumsi sumber daya alam dapat menimbulkan persaingan dengan pihak lain.
Pembatasan dimaksudkan apakah suatu pihak dapat membatasi pihak lain untuk
memasuki suatu wilayah dan mengkonsumsi sumber daya alam yang ada (Ostrom et
al. 1994).
Barang milik publik, seperti lampu mercusuar, memiliki karakteristik
persaingan yang rendah untuk mengkonsumsi sumber daya alam dan suatu pihak
sulit mencegah pihak lain untuk tidak mengkonsumsi sumber daya alam. Barang
milik bersama (CPR), seperti sumber daya perikanan, memiliki karakteristik
persaingan yang tinggi untuk mengkonsumsi sumber daya alam dan suatu pihak sulit
mencegah pihak lain untuk tidak mengkonsumsi sumber daya alam. Barang milik
kelompok, seperti perpustakaan, memiliki karakteristik persaingan yang rendah untuk
mengkonsumsi sumber daya alam dan suatu pihak mudah melakukan pencegahan
kepada pihak lain untuk tidak mengkonsumsi sumber daya alam. Barang milik
pribadi, seperti mobil, memiliki karakteristik persaingan yang tinggi untuk
mengkonsumsi sumber daya alam dan pihak lain mudah untuk melakukan
pencegahan kepada pihak lain untuk tidak mengkonsumsi sumber daya alam (Ostrom
et al. 1994; Grafton et al. 2004).
Persaingan

Rendah Tinggi
Sulit
Barang bersama
Barang publik
(CPR)
Pembatasan

Barang kelompok Barang pribadi


Mudah

Gambar 1.1 Klasifikasi sumber daya alam


(Ostrom et al. 1994; Grafton et al. 2004)

Pemanfaatan sumber daya perikanan sebagai barang miliki bersama cenderung


bebas (open access), yang ditandai dengan sangat sulit mengendalikan permintaan
(demand) dalam mengambil manfaat dari sumber daya perikanan (Ostrom et al.
1994). Jika hal ini terus berlanjut, terutama, setiap pemanfaat hanya menilai sumber
daya perikanan dari seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan ikan
2

dalam satu unit alat tangkap, keadaan ini akan memicu pada pemanfaatan sumber
daya perikanan secara tangkap lebih (over-exploited) dan memicu konflik dalam
memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada (Grafton et al. 2004).
Berbagai pengelolaan dilakukan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya
perikanan, agar terhindar dari permasalahan tersebut di atas, antara lain melalui
pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) dan pemahaman kondisi
sumber daya perikanan secara biologi dan ekonomi. Pengaturan kelembagaan dibuat
untuk mengatur hak kepemilikan (property right) dalam memanfaatkan sumber daya
perikanan. Pengaturan hak kepemilikan berkaitan dengan siapa yang berhak dan
berwewenang untuk melakukan pengaturan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam
dan bagaimana pengaturan pemanfaatan sumber daya alam dibuat dan dilaksanakan
(Schlager dan Ostrom 1992; Ostrom et al. 1994; Agrawal 2003; Dolsak dan Ostrom
2003; Imperial dan Yandle 2003; Hidayat 2005; Petersen 2006; Fauzi 2010).
Pengetahuan kondisi sumber daya perikanan secara biologi berdasarkan
informasi-nformasi tentang bagaimana stok sumber daya perikanan, seberapa kondisi
sumber daya perikanan yang telah dimanfaatkan, seberapa keuntungan yang didapat
dari kegiatan penangkapan dan kondisi maximum sustainable yield (MSY); maximum
economic yield (MEY) sebagai standar pengukuran apakah sumber daya perikanan
sudah dimanfaatkan secara efisien (Petersen 2006; Fauzi 2010).
Sehingga, para ekonom perikanan diharapkan dapat melihat keuntungan dan
manfaat dari kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan secara signifikan melalui
struktur hak kepemilikan dan kondisi sumber daya perikanan, agar pemanfaatan
sumber daya perikanan dapat lebih terkontrol baik secara biologi dan ekonomi
(Petersen 2006).
Beberapa pengelolaan terhadap sumber daya perikanan telah dikembangkan,
antara lain pengelolaan oleh pemerintah (state property); pengaturan oleh individu
(private property); dan pengaturan bersama (common property) (Schlager dan
Ostrom 1992; Hidayat 2005). Pada penelitian ini, lebih membahas pada pengelolaan
secara bersama. Beberapa dekade terakhir ini, pengelolaan secara bersama dijadikan
sebagai salah satu alternatif pengelolaan sumber daya perikanan yang lebih efisien,
dikarenakan pengelolaan ini dilakukan pada wilayah yang tidak terlalu luas, dan hak
kepemilikan terutama dalam hak pembuatan peraturan dan sanksi berasal dari
kesepakatan bersama oleh para pemanfaat sumber daya perikanan yang tinggal di
sekitar sumber daya berada (Schlager dan Ostrom 1992). Salah satu pengelolaan
sumber daya perikanan secara bersama yang berkembang di Indonesia adalah
kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten
Lombok Timur. Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten
Lombok Timur ini merupakan adopsi dari kelembagan lokal yang berkembang di
masyarakat Bali dan Lombok (Indrawasih 2008; Syaifullah 2009).
Sejak tahun 2003, kelembagaan awig-awig ini telah dibukukan dalam awig-
awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok Timur, dan di tahun 2006
telah diakui secara formal oleh pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur dengan
ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan
Sumber Daya Perikanan Pantai Secara Partisipatif (Indrawasih 2008).
3

1.2 Perumusan Masalah

Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok


Timur yang merupakan pengadopsian dari awig-awig yang merupakan kebijakan
lokal (norma, hukum adat, peraturan, larangan, dan sanksi) yang tidak tertulis
mengenai hubungan antar masyarakat seperti perkawinan, pencurian, dan lain
sebagainya yang berkembang di masyarakat Bali dan Lombok (Indrawasih 2008;
Syaifullah 2009).
Berbeda dengan awig-awig pada umumnya, awig-awig pengelolaan sumber
daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur ini memiliki kekuatan hukum
secara tertulis baik yang berupa kesepakatan bersama di antara masyarakat lokal,
maupun dukungan secara formal dari pemerintah daerah. Kesepatan bersama di
antara masyarakat lokal ini tertuang dalam buku saku awig-awig pengelolaan sumber
daya perikanan pantai Lombok Timur. Buku saku ini ditetapkan oleh kepala desa,
camat, dan ketua Badan Permusyawaratab Desa (BPD) di wilayah pesisir Kabupaten
Lombok Timur, serta ketua Komite Pengawasan Perikanan Laut (KPPL) kawasan
sejak tahun 2003. Dukungan formal dari pemerintah daerah melalui penetapan
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan Pantai Secara Partisipatif.
Kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur diyakini merupakan perkembangan dari awig-awig yang
ini diinisiasi oleh kelompok nelayan Nautilus dari desa Tanjung Luar. Awig-awig ini
dibuat karena makin maraknya penggunaan bom dan potas dari kegiatan
penangkapan ikan, penurunan hasil tangkapan, penangkapan ikan yang dilindungi,
dan lain sebagainya. Tetapi, sampai saat ini, masih banyak ditemukan pelanggaran
atas peraturan yang telah disepakati dalam awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai, seperti masih banyak kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bom dan potas di wilayah perairan pantai di Kabupaten Lombok
Timur yang ditunjukkan masih ditemukan beberapa lokasi kegiatan penangkapan
ikan dengan bom dan potas (Tabel 1.1 dan Lampiran 1) dan kerusakan lingkungan
(Syaifullah 2009).

Tabel 1.1 Jumlah lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas di wilaya perairan
pantai Kabupaten Lombok Timur tahun 2002-2013
Tahun Jumlah lokasi kegiatan penangkapan ikan degan bom dan potas
2002 8
2003 6
2004 5
2005 5
2006 7
2007 10
2008 10
2009 10
2010 11
2011 11
2012 12
2013 12
Sumber: Data Primer, Diolah
4

Tabel 1.1 memperlihatkan lokasi kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan
potas di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur terus bertambah setiap
tahun. Berdasarkan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig sejak tahun
2003, nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas ini
banyak yang merupakan nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur sendiri (Syaifullah
2009).
Berdasarkan informasi-informasi tersebut di atas, beberapa pertanyan yang
mendasari penelitian ini berdasarkan informasi dan permasalahan di atas, antara lain:
1. bagaimana kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur;
2. bagaimana dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan
pantai di Kabupaten Lombok Timur;
3. bagaimana implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur.

1.3 Hipotesis

Beberapa hipotesis pada penelitian ini, antara lain:


1. diduga telah terjadi disinsentif dari pelaksanaan awig-awig pengelolaan sumber
daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur yang mengakibatkan
ketidakefektivan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai;
2. ketidakefektifan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai berakibat
pada pemanfaatan sumber daya perikanan pantai tidak efisien baik secara biologi
dan ekonomi.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum
penelitian ini adalah mengevalusi efektifitas kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai menuju kepada pemanfaatan sumber daya perikanan
yang lestari di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur. Tujuan khusus penelitian
ini meliputi:
1. analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur;
2. evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap pemanfaatan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur;
3. evaluasi implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang ada, hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. informasi tentang kinerja kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur; dan
2. rekomendasi dalam perbaikan kinerja kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur.
5

1.6 Struktur Penulisan

Penulisan tesis ini terbagi menjadi delapan bab. Bab Pertama, pendahuluan,
berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, hipotesis, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan struktur penulisan tesis. Bab Kedua, tinjauan pustaka,
berisikan tentang kajian-kajian pustaka terkait penelitian ini. Bab Ketiga, metode
penelitian dan kerangka analisis data, berisikan tentang waktu dan tempat penelitian,
metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab Keempat, keadaan umum
lokasi penelitian, berisikan tentang gambaran umum kondisi Kapubaten Lombok
Timur, yang meliputi kondisi geografis, topografis, demografis, dan potensi sumber
daya perikanan yang dimiliki oleh Kabupaten Lombok Timur.
Bab Kelima, analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur, berisikan pendahuluan, tinjauan
pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dari tujuan
pertama penelitian ini. Analisis ini dilakukan dengan pendekatan Institutional
Analysis Development (IAD) yang meliputi analisis peraturan yang disepakati,
analisis situasi aksi, dan analisis aktor. Bab Keenam, dampak kelembagaan awig-
awig terhadap sumber daya perikanan pantai, berisikan pendahuluan, tinjauan
pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dari tujuan
kedua penelitian ini. Evaluasi dampak kelembagaan dilakukan dengan pendekatan
analisis bioekonomi surplus produksi, analisis degradasi dan depresiasi, dan analisis
efisiensi Data Envelopment Analysis (DEA).
Bab Ketujuh, implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai
di Kabupaten Lombok Timur, berisikan pendahuluan, tinjauan pustaka, metode
penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dari tujuan ketiga penelitian ini.
Evaluasi implikasi kebijakan dilakukan dengan mengevaluasi hasil-hasil yang
diperoleh pada Bab kelima dan keenam, dan memberikan beberapa rekomendasi
untuk perbaikan kelembagaan awig-awig berdasarkan hasil analisis yang telah ada.
Bab Kedelapan, kesimpulan dan saran, berisikan kesimpulan dan saran dari hasil
penelitian secara keseluruhan.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelembagaan dalam Mengelola Sumber Daya Perikanan

Ostrom et al. (1994) berdasarkan kerangka Institutional Analysis Developtment


(IAD), berpendapat bahwa pengelolaan terhadap sumber daya alam yang memiliki
karakteristik CPR (Gambar 1.1), seperti sumber daya perikanan, dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain karakteristik sumber daya alam, karakteristik pemanfaat
sumber daya alam, dan peraturan yang disepakati. Bagaimana pengelolaan ini
berjalan dapat mempengaruhi bagaimana sumber daya alam tersebut dimanfaatkan
(Gambar 2.1).

Karakteristik
sumber daya

Karakteristik Arena aksi Pola


pemanfaat a. Situasi aksi interaksi
sumber daya b. Aktor

Hasil

Peraturan yang
disepakati
Evaliasi
kriteria
Gambar 2.1 Kerangka IAD
(Ostrom et al. (1994)

2.1.1 Karakteristik Sumber Daya Perikanan

Karakteristik sumber daya perikanan dalam kerangka IAD menitikberatkan


pada pemahaman sumber daya perikana sebagai CPR (Gambar 1.1), yakni sumber
daya alam yang memiliki karakteristik sangat sulit dilakukan pengawasan dan
pencegahan agar seseorang tidak masuk di suatu wilayah perikanan tertentu dan
seseorang tidak bisa mencegah orang lain untuk tidak meningkatkan upaya untuk
mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan yang sama. Keadaan ini, sering
menempatkan sumber daya perikanan sebagai sumber daya alam yang mempunyai
nilai ekonomi yang sangat rendah. Selama ini, nilai ekonomi dari sumber daya
perikanan didasarkan pada estimasi dari biaya-biaya yang dikeluarkan dalam
pengambilan manfaat dari sumber daya perikanan pantai per unit alat tangkap
(Ostrom 1990; Grafton et al. 2004), sehingga mendorong pada pemanfaatan sumber
daya perikanan secara bebas (open access), karena pemanfaat lebih memikirkan
untuk mendapatkan hasil ikan sebanyak mungkin dengan biaya yang rendah. Jika hal
ini terus berlanjut akan memicu pada pemanfaatan sumber daya perikanan secara
tangkap lebih baik secara biologi dan ekonomi (Grafton et al. 2004).
Kondisi ini menunjukkan interaksi antara manusia sebagai pemanfaat dengan
sumber daya alam dan lingkungan yang dimanfaatkan akan berpengaruh pada
kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan tersebut (Hanna et al.
8

1996:3). Demikian pula sumber daya perikanan, sebagai sumber daya alam yang
memiliki daya gerak yang sangat tinggi dan sebagai sumber daya alam terbarukan,
persediaannya di alam tergantung secara biologi dan ekonomi (Hanna et al. 1996;
Petersen 2006). Secara biologi, persediaan sumber daya perikanan ini berkaitan
dengan kematian (mortality) dan produksi (production). Berapa stok sumber daya
perikanan yang ada, seberapa sumber daya perikanan yang telah dimanfaatkan, dan
kondisi maximum sustainable yield (MSY) digunakan sebagai standar pengukuran
apakah sumber daya perikanan dimanfaatkan secara efisien atau tidak (Hanna et al.
2006; Petersen 2006; Fauzi 2010). Secara ekonomi, persediaan sumber daya
perikanan berkaitan dengan upaya penangkapan (effort) dan hasil tangkapan (yield)
oleh manusia. Kondisi maximum economic yield (MEY), berapa keuntungan dari
kegiatan penangkapan, dan melihat bagaimana kondisi open access mempengaruhi
kedua kondisi (MSY dan MEY) tersebut digunakan sebagai standar pengukuan
apakah sumber daya perikanan telah dimanfaatkan secara efisien (Hanna et al. 1996;
Petersen 2006; Fauzi 2010).
Selain pemahaman tersebut di atas, perubahan kualitas dan kuantitas sumber
daya alam dan lingkungan juga dapat dilihat dari laju degradasi, deplesi dan
depresiasi. Pada penelitian ini, laju degradasi, deplesi, dan degradasi merujuk kepada
Fauzi dan Anna (2005). Di mana, deplesi merupakan tingkat/laju pengurangan stok
dari sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-renewable resources). Dalam hal
ini terjadi jumlah penurunan stok sumber daya alam yang jauh di atas laju penurunan
stok yang seharusnya, atau terjadi laju eksploitasi yang lebih tinggi dari yang
seharusnya (contoh pemanfaatan pasir laut). Degradasi merupakan penurunan
kualitas/kuantitas sumber daya alam yang terbarukan (renewable resources). Dalam
hal ini, kemampuan alami sumber daya alam terbarukan untuk beregenerasi sesuai
kapasitas produksinya telah berkurang (contoh sumber daya ikan). Keadaan ini
memperlihatkan baik deplesi dan degradasi lebih ditujukan pada perubahan kondisi
fisik sumber daya alam dan lingkungan. Sedangkan, depresiasi sendiri lebih
ditujukan kepada mengukur perubahan nilai moneter dari kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan, atau dengan kata lain depresiasi sebagai
pengukuran deplesi atau degradasi yang dirupiahkan.

2.1.2 Karakteristik Pemanfaat Sumber Daya Perikanan

Karakteristik pemanfaat sumber daya perikanan pantai melibatkan siapa saja


yang memanfaatkan sumber daya perikanan, bagaimana kondisi ekonomi para
pemanfaat sumber daya perikanan, bagaimana hubungan di antara para pemanfaat,
dan bagaimana pemanfaat ini mempengaruhi pada kebijakan pengelolaan sumber
daya perikanan (Dolsak dan Ostrom 2003).
Suatu kelembagaan pengelolaan sumber daya alam yang bersifat CPR seperti
sumber daya perikanan akan lebih kuat, jika para pemanfaat langsung sumber daya
perikanan (seperti nelayan tangkap, nelayan budidaya, nelayan pengolah hasil laut,
dan pedagang hasil laut) dilibatkan secara aktif dalam pembuatan suatu kebijakan
pengelolaan sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan, para pemanfaat ini
dianggap lebih mengetahui secara pasti kondisi sumber daya perikanan yang mereka
manfaatkan sehari-hari, sehingga akan memperkecil konflik (konflik teknologi dan
konflik wilayah) dalam memanfaatkan sumber daya perikanan (Ostrom 1990).
9

2.1.3 Peraturan yang Disepakati

Beberapa literatur seperti Ostrom (1990), Ostrom et al. (1994) dan Hanna et al.
(1996) berpendapat bahwa perubahan pada kualitas dan kuantitas sumber daya alam
dan lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan oleh manusia akan membawa kepada the tragedy of the commons-
Hardin (1968), sehingga diperlukan pengelolaan untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya perikanan, salah satunya melalui penerapan property rights (hak
kepemilikan) atas sumber daya alam dan lingkungan agar terhindar dari the tragedy
of the commons-Hardin ini.
Tujuan dari mengatur hak kepemilikan atas sumber daya perikanan, antara lain
untuk mengatur siapa yang memiliki hak dan kewenangan dalam mengelola sumber
daya perikana, siapa yang berhak untuk memanfaatkan sumber daya perikanan, dan
kegiatan-kegiatan apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam mengambil
manfaat atas sumber daya perikanan (Ostrom 1990; Hanna et al. 1996).

2.1.3.1 Hak Kepemilikikan

Schlager dan Ostrom (1992) membagi hak kepemilikan atas sumber daya alam
dan lingkungan terutama yang memiliki karakteristik sebagai CPR seperti sumber
daya perikanan menjadi access (hak akses), withdrawal (hak memanfaatkan),
management (hak manajemen), exclusion (hak ekslusif), dan alienation (hak alienasi)
(Tabel 2.1).
Hak akses merupakan hak untuk memasuki suatu wilayah di mana sumber
daya alam dan lingkungan berada, misalnya hak untuk memasuki suatu wilayah
perairan. Hak memanfaatkan merupakan hak untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam dan lingkungan yang ada di suatu wilayah tertentu, misalkan hak untuk
menangkap sumber daya ikan (Schlager dan Ostrom1992).
Hak manajemen merupakan hak untuk mengelola pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan yang ada, misalkan seberapa banyak sumber daya perikanan
yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan dalam suatu wilayah perairan. Hak eksklusif
merupakan hak untuk melakukan pembatasan pada pemanfaatan sumber daya alam
dan lingkungan, dan memiliki hak untuk mentrasfer atau memindahtangankan hak
kepemilikan tersebut. Hak alienasi merupakan hak untuk menjual, menyewakan atau
keduanya atas hak kepemilikan yang dimiliki. Kelima hak kepemilikan ini dapat
dimiliki oleh beberapa pihak yang berbeda, sehingga memungkinkan satu pihak
hanya memiliki hak akses saja, atau satu pihak dapat juga memiliki lebih dari satu
hak kepemilikan (Schlager dan Ostrom1992).

Tabel 2.1 Klasifikasi hak kepemilikan


Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna

Hak Akses dan


x x x x
Memanfaatkan
Hak Manajemen x x x

Hak Eksklusif x x

Hak Alienasi x
Sumber: Schlager dan Ostrom (1992)
10

2.1.3.2 Hak Kepemilikan versus Hak Akses Sumber Daya Alam

Pengaturan hak kepemilikan berdasarkan klaim atas sumber daya alam dan
lingkungan dapat dibedakan menjadi hak kepemilikan secara bebas (open access );
hak kepemilikan pada swasta (private property); hak kepemilikan pada pemerintah
(state property); dan hak kepemilikan bersama (common property) (Hanna et al.
1996) (Tabel 2.2).
Hak kepemilikan secara bebas (Open access), dicirikan bahwa tidak ada pihak
yang mengklaim hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan, sehingga siapa
saja dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan yang ada
tanpa ada kewajiban apapun terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang
dimanfaatkan dan/atau pemanfaat yang lain (Hanna et al. 1996; Fauzi 2010). Hak
kepemilikan pada swasta, hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan
diklaim oleh pihak swasta/individu. Pengaturan ini dicirikan adanya pengontrolan
dalam mengakses sumber daya alam dan lingkungan baik dengan pembatasan
wilayah dan pembatasan jumlah sumber daya alam dan lingkungan yang
diperbolehkan untuk dimanfaatkan (Hanna et al. 1996; Imperial dan Yandle 2005).

Tabel 2.2 Tipe hak kepemilikan dengan pemilik, hak pemilik, dan kewajiban pemilik
Tipe Pengaturan Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik
Individu/Swasta Individu/swasta Ada kontrol dalam Mengindari
mengakses penggunaan yang
tidak dapat diterima
oleh sosial
Bersama/Komunal Bersama Tidak ada pembatasan Pemeliharaan dan
atas kepemilikan pembatasan tingkat
penggunaan sumber
daya
Negara Pemerintah Pengaturan secara Menjaga penggunaan
formal secara sosial

Bebas Tidak Ada Pemanfaatan yang Tidak ada kewajiban


klaim bebas
Sumber: Hanna et.al. 1996:5

Hak kepemilikan pada negara, hak kepemilikan sumber daya alam dan
lingkungan diklaim oleh pemerintah. Pengaturan ini dicirikan pemerintah yang
memiliki hak dan kewenangan dalam pembuatan kebijakan dalam mengelola sumber
daya alam dan lingkungan yang ada. Hak kepemilikan bersama, hak kepemilikan
sumber daya alam dan lingkungan diklaim secara bersama. Pada hak kepemilikan
bersama, masyarakat di sekitar sumber daya alam dan lingkungan biasanya yang
memiliki klaim hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan (Hanna et al.
1996; Imperial dan Yandle 2005).
Selain pengaturan hak kepemilikan berdasarkan klaim atas sumber daya alam,
pengaturan hak akses terhadap sumber daya alam juga dinilai sangat penting. Di
mana, hak akses ini dapat dibedakan menjadi akses terbuka (open access), dan akses
terbatas (limited access) (Fauzi 2010).
11

Fauzi (2010) berpendapat bahawa terdapat empat kemungkinan kombinasi


antara hak akses dan hak kepemilikian seperti terlihat pada Gambar 2.2, antara lain:
1. Tipe pertama
Di mana hak kepemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses
terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumber daya alam yang
lestari.
2. Tipe kedua
Di mana sumber daya alam dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas.
Pada tipe ini karakteristik hak kepemilikan teridentifikasi dengan jelas dan
pemanfaatan sumber daya yang berlebihan dapat dihindari.
3. Tipe ketiga
Di mana kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka.
Tipe inilah yang dalam perspektif Hardin (1968) menimbulkan the tragedy of
the common.
4. Tipe keempat
Kombinasi ini jarang terjadi (garis terputus-putus), di mana, sumber daya alam
dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan ini tidak
akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaat yang tidak sah,
sehingga sumber daya alam akan cepat terkuras habis.

Komunal Terbuka
(Open access)

Hak Negara Hak Akses


Kepemilikan

Individu Terbatas
(Limited Access)

Gambar 2.2 Hubungan antara hak kepemilikan dan hak akses


(Fauzi 2010)

2.1.4 Tata Kelola Sumber Daya Perikanan

Arena aksi dalam kerangka IAD meliputi situasi aksi dan aktor yang terlibat
dalam kelembagaan (Gambar 2.1). Arena aksi ini merupakan inti analisis dari
kerangka IAD, predeksi-predeksi dan penjelasan tindakan-tindakan dari para aktor
yang terlibat dalam kelembagaan (Ostrom et al. 1994).
Telah banyak cara untuk mengelola agar pemanfaatan sumber daya perikanan
menuju pada pemanfaatan yang berkeadilan dan berkelanjutan baik secara biologi
dan ekonomi. Tetapi, pengelolaan tidak mudah dilaksanakan terhadap sumber daya
perikanan sebagai CPR, dan beberapa pengelolaan menagalami kegagalan. Seperti
penerapan Total Allowable Catch (TAC) sebagai salah satu contoh pengelolaan yang
dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan ini didasarkan pada data-data perikanan dan
input dari kegiatan penangkapan, sehingga lebih ditujukan pada pembatasan
pemanfaat, upaya penangkapan, dan jumlah tangkapan. Tetapi, karena pengaturan ini
berlaku secara formal, mengakibatkan tingginya upaya penangkapan dan hanya
beberapa nelayan saja (yakni nelayan yang memiliki modal besar dalam kegiatan
12

penangkapannya) yang dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya perikanan


yang ada. Oleh karena itu, pengelolaan ini sering melupakan kondisi nelayan lokal
yang memiliki modal kecil dalam kegiatan penangkapan, akibatnya nelayan lokal
tidak dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada
(Schlager dan Ostrom 1992; Imperial dan Yandle 2005).
Demikian pula, Individual Tradable atau Transferable Quata (ITQ) sebagai
contoh pengelolaan yang dilakukan oleh swasta. Pengelolaan ini berdasarkan pada
pertukaran atau pemindahtanganan hak untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Seperti pada pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah, penerapan ITQ juga
memperlihatkan adanya ketidakadilan dalam kegiatan penangkapan ikan, karena hak
ini biasanya dimiliki oleh individu, sehingga hanya nelayan yang memiliki modal
besar yang dapat memiliki hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya
perikanan yang ada, dan/atau dapat memiliki hak lebih banyak dibandingkan dengan
nelayan yang bermodal lebih kecil (Imperial dan Yandle 2005).
Pengaturan secara bersama lebih didasarkan pada norma, peraturan, dan sanksi
dari masyarakat di sekitar sumber daya perikanan berada. Pengaturan ini dianggap
lebih efisien, karena peraturan, larangan, dan sanksi dibuat berdasarkan kebiasan dan
pengetahuan masyarakat di sekitar sumber daya perikanan. Sehingga peraturan,
larangan, dan sanksi terutama dalam mengkontrol jumlah pemanfaat, jumlah sumber
daya yang diperbolehkan untuk diambil dianggap lebih memihak pada kondisi fisik
sumber daya perikanan yang ada dan kondisi ekonomi dari masyarakat pemanfaat
sumber daya perikanan (Schlager dan Ostrom 1992). Tetapi, pengelolaan ini bukan
berarti tidak memiliki kendala. Salah satu kendala yang biasa terjadi, adalah jika
dukungan dari masyarat lokal menurun yang dikarenakan alasan kebutuhan ekonomi
sehari-hari dan kurangnya pemahaman masyarakat lokal bahwa segala kegiatan
pemanfaatan sumber daya perikanan yang mereka lakukan dapat mempengaruhi
kondisi sumber daya perikanan yang ada, dan kondisi sumber daya perikanan ini juga
dapat mempengaruhi keberlanjutan kegiatan penangkapan mereka (Imperial dan
Yandle 2005).

2.2 Telaah Penelitian Terdahulu

Salah satu pengelolaan sumber daya perikanan pantai secara bersama yang
berkembang di Indonesia adalah kelembagan awig-awig. Awig-awig ini merupakan
norma, peraturan, larangan, dan sanksi yang tidak tertulis mengenai hubungan antar
masyarakat seperti perkawinan, pencurian, dan sebagainya yang berkembang di
mayarakat Bali dan Lombok (Indrawasih 2008). Di beberapa wilayah pesisir
Lombok, awig-awig ini diadopsi untuk mengelola sumber daya perikanan pantai
(Hidayat 2005; Solihin dan Satri 2007; Indrawasih 2008; Adrianto 2011).
Hidayat (2005); dan Solihin dan Satria (2007) memaparkan hasil penelitian
dengan berawal dari ketidakefektifan pengelolaan sumber daya perikanan yang
dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah pusat. Hidayat (2005) memaparkan
bahwa beberapa kendala pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain
berkurangnya anggaran dari pemerintah; tingginya biaya transaksi (terutama dalam
pengumpulan informasi, biaya pembuatan peraturan dan penegakkan hukum, biaya
operasional (terutama untuk petugas keamanan), dan biaya monitoring); dan
menurunya koordinasi dari pemerintah (baik pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, dan sebaliknya).
13

Demikian pula, Solihin dan Satria (2007) berpendapat bahwa pengelolaan


sumber daya perikanan secara sentralis oleh pemerintah telah menciptakan konflik
antar pelaku perikanan dan tumpang tindihnya wilayah penangkapan ikan. Di mata
nelayan kecil, kebijakan secara sentralis ini dipahami sebagai persekongkolan kaum
komprador, yakni pemerintah, pengusaha, dan aparat penegak hukum dalam rangka
pengurasan sumber daya ikan ikan tanpa memperdulikan nelayan kecil. Sehingga
kedua literatur ini kemudian memandang pentingnya pengelolaan secara hak ulayat
oleh masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan.
Pengelolaan sumber daya perikanan secara hak ulayat di Lombok telah
berjalan sejak tahun1965 melalui upacara sawen, yakni kegiatan melarungkan kepala
kerbau ke wilayah perairan yang bertujuan sebagai ucap syukur atas nikmat yang
diberikan oleh Allah STW atas keberadaan sumber daya perikanan di wilayah
mereka. Kemudiaan tradisi ini menghilang seiring dengan perubahan kondisi sosial,
ekonomi, dan politik di Indonesia (Solihin dan Satria 2007; Adrianto 2011). Tetapi,
dengan ditetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi oleh
Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Peraturan Daerah, memberikan kesempatan
kembali bagi berkembangnya pengelolaan sumber daya perikanan yang berdasarkan
kearifan lokal atau kebijakan lokal, seperti halnya awig-awig untuk mengelola
sumber daya perikanan di wilayah perairan Lombok (Adrianto 2011).
Awi-awig di wilayah perairan Lombok ini dibuat karena semakin maraknya
penggunaan bom dan potas dalam kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan
Lombok. Sebagai penerapan dari pengelolaan yang diklaim secara bersama, awig-
awig ini dibuat bersama-sama oleh masyarakat sekitar sumber daya perikanan. Pada
perkembangnya, awig-awig ini kemudian mendapatkan dukungan secara formal
terutama oleh pemerintah daerah setempat (Hidayat 2005; Solihin dan Satria 2007;
Indrawati 2008; dan Adrianto 2011).
Beberapa literatur di atas lebih memfokuskan bahasan kepada bagaimana
kelembagaan awig-awig berjalan. Hanna et al. (1996); Dosak dan Ostrom (2003)
berpendapat bahwa bagaimana pengelolaan berjalan akan mempengaruhi kondisi
sumber daya alam dan lingkungan yang dikelola. Oleh sebab itu, peneliti
memandang penting melakukan penelitian bagaimana suatu kelembagaan berjalan
dan bagaimana dampak kelembagaan tersebut terhadap sumber daya alam dan
lingkungan yang dikelola.
3. METODE PENELITAN

3.1 Metode Penelitian

3.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2013. Lokasi penelitian


mencakup tujuh kawasan pengelolaan berdasarkan peraturan yang disepakati dalam
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur,
Nusa Tenggara Barat (Gambar 3.1) dengan satu kawasan diwakili oleh satu desa
penelitian, di mana KPPL Kawasan (lembaga informal yang bertugas dan
berwewenang dalam pembuatan awig-awig) berada. Ketujuh kawasan ini antara lain
(1) Kawasan Sambelia; (2) Kawasan Pringgebaya; (3) Kawasan Labuhan Haji; (4)
Kawasan Sakra Timur; (5) Kawasan Teluk Jukung; (6) Kawasan Teluk Serewe; dan
(7) Kawasan Teluk Ekas.

Keterangan:
: wilayah penelitian

Gambar 3.1 Gambar peta wilayah penelitian


(Adhuri 2013)

Kawasan Sambelia terletak di bagian Utara Kabupaten Lombok Timur.


Kawasan ini memiliki beberapa pulau kecil (Gili), seperti Gili Lampu dan Gili Sulat,
yang digunakan sebagai daerah wisata dan daerah kawasan konservasi laut, sehingga
kawasan ini lebih ditujukan sebagai daerah wisata. Kegiatan penangkapan ikan oleh
nelayan lokal di kawasan ini dilakukan dengan menggunakan perahu mesin tempel
dan alat tangkap pancing. Kawasan Sambelia pada penelitian ini, diwakili oleh Desa
Sambelia, Kecamatan Sambelia sebagai lokasi desa penelitian.
Kawasan Pringgebaya memiliki salah satu pelabuhan terbesar di Kabupaten
Lombok Timur, yakni Labuhan Lombok. Labuhan Lombok ini digunakan sebagai
tempat penyeberangan LombokSumbawa. Kapal-kapal besar dengan muatan di atas
5 gross ton (GT) dan kapal-kapal perikanan dari luar Lombok banyak bersandar dan
dokking di Labuhan Lombok, sehingga tidak sedikit nelayan pendatang kemudian
menetap di kawasan ini. Nelayan lokal di kawasan Pringgebaya menggunakan bagan
sampan dengan satu perahu yang bermesin tempel dalam melakukan kegiatan
16

penangkapan. Kawasan Pringgebaya pada penelitian ini, diwakili oleh Desa Labuhan
Lombok, Kecamatan Pringgabaya sebagai lokasi desa penelitian.
Kawasan Labuhan Haji merupakan kawasan yang terletak paling dekat dengan
ibu kota Selong. Hari Sabtu dan Minggu (weekends) pagi, Labuhan Haji banyak
dikunjungi oleh penduduk dari luar Desa Labuhan Haji terutama dari Kota Selong,
yang bertujuan untuk berekreasi dan/atau membeli ikan segar. Nelayan lokal di
kawasan Labuhan Haji menggunakan sampan yang bermesin motor tempel dan alat
tangkap pancing dalam melakukan kegiatan penangkapan. Kawasan Labuhan Haji
pada penelitian ini diwakili oleh Desa Labuhan Haji, Kecamatan Labuhan Haji
sebagai desa penelitian.
Kawasan Sakra Timur, seperti kawasan Labuhan Haji, nelayan lokal di
kawasan ini melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan sampan
bermesin tempel dan alat tangkap pancing. Kawasan Sakra Timur pada penelitian ini,
diwakili oleh Desa Gelanggang, Kecamatan Sakra Timur sebagai lokasi penelitian.
Kawasan Teluk Jukung, seperti kawasan Pringgebaya, di kawasan ini terdapat
pelabuhan terbesar di Kabupaten Lombok Timur dan memiliki jumlah nelayan
terbanyak di wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur. Awig-awig pengelolaan
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur diyakini sebagai perkembangan dari
awig-awig yang diinisiasi oleh kelompok nelayan di Kawasan Teluk Jukung.
Nelayan lokal di kawasan Teluk Jukung melakukan kegiatan penangkapan dengan
menggunakan sampan bermotor tempel dan alat tangkap pancing. Kawasan Teluk
Jukung pada penelitian ini diwakili oleh Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak
sebagai desa penelitian.
Kawasan Teluk Serewe dan Teluk Ekas terletak di bagian Selatan Kabupaten
Lombok Timur. Teluk Serewe dan Teluk Ekas berbatasan langsung dengan
Samudera Hindia, tetapi letak kedua teluk ini masih berada di wilayah perairan yang
terlindungi, sehingga banyak digunakan sebagai wilayah budidaya laut seperti
budidaya rumput laut, lobster, dan jenis ikan laut lainnya. Nelayan lokal di kawasan
ini banyak menggunakan sampan bermotor tempel dan alat tangkap pancing dalam
melakukan kegiatan penangkapan. Kawasan Teluk Serewe pada penelitian ini
diwakili Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru; dan Kawasan Teluk Ekas diwakili Desa
Batu Nampar, Kecamatan Jerowaru sebagai desa penelitian.

3.1.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa
informasi tentang kelembagaan awig-awig yang diperoleh melalui wawancara
langsung dengan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan sumber daya perikanan
pantai di wilayah periaran pantai Kabupaten Lombok Timur. Pengambilan sample
pada penelitian ini, menggunakan snow-ball sampling yang dilakukan dengan
mengadaptasi Reed et al. (2009) dan Prell et al. (2009), yakni dengan menentukan
terlebih dahulu beberapa aktor yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig di
Kabupaten Lombok Timur dan melakukan wawancara, kemudian dari informasi ini
ditentukan beberapa aktor berikutnya yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig.
Selain melalui wawancara langsung, data primer juga didapatkan melalui
pengumpulan data secara observasi. Observasi dilakukan dengan pengamatan tidak
mendetail hanya dengan mendeskripsikan apa yang ada di lapangan, karena data
observasi digunakan untuk mendukung hasil data wawancara.
17

Data sekunder berupa peraturan-peraturan yang terkait pengelolaan sumber


daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur, data perikanan, dan data-data
pendukung lainnya seperti kondisi topografi dan demografi kondisi umum lokasi
penelitian diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, antara
lain, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lombok
Timur, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Lombok Timur, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik yang berupa
tesis, desertasi, dan jurnal-jurnal nasional dan international.

3.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif yang merupakan adopsi dari kerangka analisis kelembagaan Institutional
Analysis Develompent (IAD) yang dikembangkan oleh Ostrom et al. (1994) (Gambar
2.1) dengan menyesuaikan kondisi di lapangan. Pada kerangka analisis kelembagaan
IAD yang dikembangkan oleh Ostrom et al. (1994) terdapat tiga bagian analisis
yakni:

1. Kondisi fisik sumber daya, kondisi masyarakat, dan peraturan yang disepakati
Pada bagian pertama dalam penerapan kerangka analisis IAD ini dengan
menganalisis kondisi fisik sumber daya, kondisi masyarakat, dan peraturan yang
disepakati. Kondisi fisik sumber daya, menganalisis bagaimana karakteristik sumber
daya alam dan lingkungan yang dimanfaatkan. Kondisi masyarakat, menganalisis
karakteristik masyarakat teutama pemanfaat sumber daya alam dan lingkungan, yang
biasanya merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar sumber daya alam dan
lingkungan berada. Peraturan yang disepakati, analisis peraturan, larangan dan
sanksi yang disepakati bersama dalam mengakses, memanfaatkan dan mengelola
sumber daya alam dan lingkungan. Pengaturan ini dapat berupa peraturan secara
formal maupun informal (Ostrom et al. 1994; Polsik dan Ostrom1999; Mokhahlane
2009).

2. Arena aksi
Arena aksi pada kerangka analisis IAD ini merupakan inti dari analisis
kelembagaan, prediksi-predeksi, dan penjelasan tentang perilaku dari pada aktor
yang terlibat dalam kelembagaan. Arena aksi ini meliputi analisis situasi aksi dan
aktor. Situasi aksi menganalisis kondisi sosial di mana para aktor saling berinteraksi,
melakukan pertukaran barang dan jasa, penyelesaian permasalahan, dan perselisihan,
dan beberapa kegiatan lain yang terjadi saat para aktor ini memanfaatkan sumber
daya alam dan lingkungan. Aktor menganalisis bagaimana preferensi dan tindakan-
tindakan yang dilakukan para aktor yang terlibat dalam siatuasi aksi (Ostrom et al.
1994).

3. Hasil
Bagian terakhir dari kerangka analisis IAD adalah hasil (outcome). Bagian
hasil menganalisis interaksi antara karakteristik sumber daya alam dan lingkungan,
karakteristik masyarakat pemanfaat sumber daya alam dan lingkunga, peraturan yang
disepakati, dan kondisi yang terjadi pada arena aksi. Biasanya lebih berbicara pada
bagaimana akibat dari pelaksanaan kebijakan yang ada, apakah telah berjalan secara
efisien (efficiency) baik secara ekonomi dan fiskal, berkeadilan (equity), dapat
18

dipertanggungjawabkan (accountabity), dan berkelanjutan (sustainability) (Ostrom et


al. 1994; Polski dan Ostrom 1996).
Kerangka analisis IAD (Ostrom et al. 1994) ini, kemudian disesuaikan dengan
kondisi pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur
seperti terlihat pada Gambar 3.2 dan Tabel 3.1. Kerangka analisis data pada
penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni analisis kelembagaan awig-awig,
evaluasi dampak kelembagaan awig-awig, dan evaluasi implikasi kebijakan
pengelolaan. Pada kerangka analisis ini, yang merupakan arena aksi adalah
kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai.

Sumber daya perikanan pantai


Kabupaten Lombok Timur

Analisis kelembagaan Kelembagaan awig-awig


awig-awig pengelolaan sumber daya
a. Situasi aksi dan perikanan pantai
Aktor
b. Peraturan yang
Parameter
berlaku
Evaluasi dampak kelembagaan a. Produksi lestari
awig-awig terhadap sumber b. Maximum sustainable
daya perikanan pantai yield (MSY)
Parameter a. Kondisi sumber daya c. Produksi Aktual
a. Peraturan, perikanan pantai d. Rente lestari
larangan dan b. Kondisi pemanfaat sumber e. Rente aktual
sanksi yang daya f. Degradasi dan
disepakati c. Kondisi teknologi depresiasi
b. Siapa saja yang g. Efisiensi
berperan serta
dalam
kelembagaan Evaluasi implikasi kebijakan
c. Tugas dan pengelolaan sumber daya
Parameter
wewenang setiap perikanan pantai
Hasil analisis
actors a. Evaluasi hasil analisis
kelembagaan awig-awig
kelembagaan awig-awig
dan evaluasi dampak
dan evaluasi dampak
kelembagaan awig-awig
kelembagaan
terhadap sumber daya
b. Rekomendasi perbaikan
perikanan
kelembagaan awig-awig

Gambar 3.2 Kerangka penelitian dan analisis data

1. Analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai


Analisis kelembagaan awig-awig ini merupakan adopsi dari bagian pertama
dan kedua pada kerangka analisis IAD. Analisis kelembagaan awig-awig
pengelolaan sumber daya perikanan pantai, berdasarkan pendekatan IAD dilakukan
dengan menganalisis peraturan yang disepakati, situasi aksi, dan analisis aktor.
a. Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok
Timur
Bagian ini membahas tentang hasil analisis situasi aksi dan analisis aktor. Pada
penelitian ini, dibatasi pada analisis aktor yang turut serta dalam kelembagaan awig-
awig di Kabupaten Lombok Timur dan bagaimana tugas dan kewenangan dari para
aktor, bagaimana para aktor ini melaksanakan tugas dan kewenangan yang ada.

b. Peraturan yang disepakati


Bagian ini membahas tentang hasil analisis peraturan yang disepakati, yang
dilakukan dengan identifikasi dan analisis pada peraturan, larangan, dan sanksi dari
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok Timur apakah awig-
awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur telah
memenuhi kriteria pada design principle (Ostrom 1990).
19

2. Evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan


pantai
Evaluasi dampak kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan
pantai, pada penelitian ini merupakan adopsi dari bagian ketiga pada kerangka
analisis IAD. Evaluasi dampak kelembagaan awig-awig, pada penelitian ini,
dianalisis melalui pendekatan analisis bioekonomi surplus produksi Gordon-Schaefer
(bioekonomi surplus produksi GS), analisis degradasi dan depresiasi, dan analisis
efisiensi Data Envelopment Analysis (DEA).

a. Analisis bioekonomi surplus produksi Gordon-Schaefer (GS)


Analisis bioekonomi surplus produksi GS, pada penelitian ini, dibatasi pada
kegiatan produksi perikanan tangkap oleh nelayan lokal yang melakukan kegiatan
penangkapan di wilayah perairan pantai dengan menggunakan perahu motor tempel,
alat tangkap pancing dan bagan sampan, dengan jenis sumber daya ikan cucut,
kakap, dan kerapu. Kondisi ini dipilih karena sampai penelitian ini selesai dilakukan,
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur
masih lebih difokuskan pada monitoring dan penegakkan sanksi pada kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan lokal yang melakukan kegiatan penangkapan di
wilayah perairan pantai.
Analisis bioekonomi surplus produksi GS dilakukan menganalisis kondisi
sumber daya perikanan aktual, upaya penangkapan aktual, dan kondisi sumber daya
perikanan lestari, serta kondisi rente aktual dan rente lestari dengan mengikuti
langkah-langkah yang dikembangkan oleh Anna 2003; Fauzi dan Anna 2005; dan
Fauzi 2010.

b. Analisis degradasi dan depresiasi


Analisis degradasi dan depresiasi pada penelitian ini dilakukan untuk
mengevaluasi kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan pantai, dengan
menganalisis laju degradasi dan laju depresiasi dari kegiatan perikanan tangkap yang
dilakukan oleh nelayan lokal dalam memanfaatkan sumber daya perikanan, dengan
mengikuti langkah-langkah yang dikembangkan oleh Anna 2003.

c. Analisis efisiensi DEA


Pendekatan analisis DEA yang digunakan pada penelitian ini untuk memahami
bagaimana kondisi teknologi yang digunakan oleh nelayan lokal Kabupaten Lombok
Timur dalam melakukan pemanfaatan akan sumber daya perikanan pantai terutama
pada kegiatan penangkapan oleh nelayan lokal, apakah telah efisien atau tidak,
dengan mengikuti langka-langkah yang dikembangkan oleh Fare et al. 2000; Anna
2003; Fauzi dan Anna 2005; dan Fauzi 2010.

3. Implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai


Implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai dilakukan
dengan mengevaluasi hasil-hasil dari analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai dan dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber
daya perikanan pantai, serta memaparkan beberapa rekomendasi perbaikan
kelembagaan awig-awig dari hasil-hasil analisis yang telah dilakukan.
20

Tabel 3.1 Indikator, parameter, dan data yang diperlukan dalam penelitian
Tujuan Indikator Parameter Data yang Diperlukan Analisis
1. Analisis Kelembagaan a. Peraturan yang Bagaimana peraturan, Peraturan, larangan, dan The Institutional Analysis
Awig-awig disepakati larangan, dan sanksi yang sanksi yang disepakati, and Development (IAD)
b. Situasi aksi disepakati, siapa saja yang aktoryang turut serta framework (Adaptasi
c. Aktor berperan serta dalam awig- dalam awig-awig, dan Dolsak dan Ostrom, 2003)
awig, bagaimana peran dari bagaimana struktur
setiap aktor, bagaimana organisasi
pembagian tugas dan
kewenangan
2. Evaluasi Dampak a. Kondisi sumber daya a. MSY Data produksi perikanan, Analisis bioekonomi
Kelembagaan Awig-awig perikanan pantai b. Penangkapan aktual harga ikan yang berlaku, surplus produksi Gorgon-
Terhadap Sumber Daya b. Kondisi pemanfaat c. Rente sustainable biaya yang diperlukan Schaefer (GS), Analisis
Perikanan Pantai sumber daya perikanan d. Rente aktual dalam melakukan upaya Degradasi dan Depresiasi,
pantai e. Degradasi penangkapan Data Envelopment
c. Teknologi f. Depresiasi Analysis (DEA) (Adaptasi
g. Efisiensi Fauzi (2010), Fauzi
(2010), Fauzi dan Anna
(2005), Anna (2003), dan
Fare et.al. (2000).

3. Evaluasi Implikasi a. Analisis kelembagaan Bagaimana interaksi yang Hasil dari analisis The Institutional Analysis
Kebijakan Pengelolaan awig-awig terjadi antara hasil analisis kelembagaan awig-awig and Development (IAD)
Sumber Daya Perikanan b. Evaluasi dampak kelembagaan awig-awig dan evalusi dampak framework (Adaptasi
Pantai kelembagaan terhadap dengan evaluasi dampak kelembagaan terhadap Dolsak dan Ostrom, 2003)
sumber daya perikanan kelembagaan terhadap sumber daya perikanan
pantai sumber daya perikanan pantai
21

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITAN

Kabupaten Lombok Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di Propinsi


Nusa Tenggara Barat dengan Selong sebagai Ibu Kota Kabupaten (Gambar 3.1).
Kabupaten Lombok Timur memiliki luas wilayah 2.679,88 km2 yang terdiri dari
wilayah daratan seluas 1.605,55 km (59,91%), dan wilayah lautan seluas 1.074,33
km (40,09%). Kabupaten Lombok Timur dikelilingi oleh pulau-pulau kecil (Gili)
yang berjumlah 37 Gili dengan 6 Gili yang berpenghuni (BPS Kabupaten Lombok
Timur 2009).
Kabupaten Lombok Timur secara geografis terletak antara 116-117 Bujur
Timur dan antara 8-9 Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Lombok Timur sebelah
Utara dibatasi oleh Laut Jawa dan Laut Flores; sebelah Selatan oleh Samudera
Hindia; sebelah Barat oleh Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok
Barat; dan sebelah Timur oleh Selat Alas (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).

4.1 Kondisi Topografi

Kabupaten Lombok Timur terletak pada ketinggian antara 0-3.726 meter di


atas permukaan laut dengan kemiringan lereng bervariasi mulai dari kelas
kemiringan lereng antara 0-2% sampai kelas kemiringan lereng lebih dari 40%.
Bagian Utara merupakan dataran tinggi, dengan kondisi pantai landai dan berpotensi
untuk pengembangan wisata bahari (terumbu karang dan mangrove); bagian Tengah
merupakan dataran rendah yang subur dengan kondisi pantai landai; bagian Selatan
merupakan dataran yang bergelombang dan berbukit-bukit, dengan kondisi pantai
landai dan sebagian curam (bertebing), serta berpasir putih, dan berpotensi untuk
pengembangan daerah wisata (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010). Secara
administratif, Kabupaten Lombok Timur terbagi menjadi 20 kecamatan, 13
kelurahan dan 96 desa (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009). Berdasarkan
pembagian ini, hanya 6 kecamatan dan 23 desa yang terletak di wilayah pesisir (DKP
Kabupaten Lombok Timur 2010).

4.2 Kondisi Demografis

Jumlah penduduk di Kabupaten Lombok Timur sebanyak 1.105.671 yang


terdiri dari pria 514.327 jiwa dan wanita 591.344 jiwa, sehingga seks rasio sebesar
87 per 100, artinya tiap 100 wanita terdapat 87 pria. Hal ini menggambarkan bahwa
jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki-laki.
Dari jumlah penduduk di Kabupaten Lombok Timur, jumlah penduduk di wilayah
pesisir sebesar 189.953 jiwa atau sekitar 17% dari populasi total (BPS Kabupaten
Lombok Timur 2009) (Gambar 4.1).
Berdasarka hasil observasi di lapangan, kondisi pemukiman di wilayah pesisir
terutama yang bekerja sebagai nelayan, rata-rata memiliki rumah panggung, yakni
rumah yang terbuat dari kayu yang dibangun 1-2 m dari atas permukaan tanah
dengan kondisi tanpa kamar mandi, sehingga mereka masih banyak menggunakan
jasa sungai untuk keperluan MCK (mandi, cuci, kakus). Hanya beberapa orang saja
yang memiliki rumah lengkap dengan dapur, kamar mandi, dan dinding yang terbuat
dari batu bata, mereka biasanya orang-orang terpandang, seperti kepala desa, tokoh
masyarakat, dan pedagang ikan (Lampiran 2). Di Desa Tanjung Luar, beberapa
22

rumah ditemukan yang pada awalnya tinggi bangunan 2 m di atas permukaan tanah,
tetapi saat ini, hanya tinggal 0,5 m di atas permukaan tanah. Kondisi ini diakibatkan
gelombang pasang tinggi yang melanda Kabupaten Lombok Timur pada awal tahun
2013.

Wilayah Pesisir Wilayah Selain Pesisir


17%

83%

Gambar 4.1 Prosentase penduduk berdasarkan wilayah tempat tinggal


(BPS Kabupaten Lombok Timur 2009)

Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Lombok Timur selama 5 tahun


terakhir rata-rata 213 jiwa/km2. Berdasarkan kepadatan penduduk, kecamatan di
Kabupaten Lombok Timur dikelompokkan kedalam tiga kategori kepadatan, yaitu
tinggi (>2.000 jiwa/km2), meliputi Sakra, Masbagik, Sukamulia dan Selong; sedang
(1.0002.000 jiwa/km2) meliputi Keruak, Sakra Barat, Sakra Timur, Terara,
Montong Gading, Suralaga, Labuhan Haji dan Wanasaba; dan rendah (<1000
jiwa/km2) meliputi Jerowaru, Sikur, Pringgasela, Pringgabaya, Suela, Aikmel,
Sembalun dan Sambelia (Kabupaten Lombok Timur 2014).
Jumlah penduduk di Kabupaten Lombok Timur yang beragama Islam selama
tahun 2009 sebanyak 1.095.489 orang, Kristen sebayak 137 orang, dan Hindu
sebanyak 539 orang. Dilihat dari ketersedian fasilitas peribadatan, Kabupaten
Lombok Timur terkenal dengan sebutan seribu masjid, pada tahun 2009 tercatat
sebanyak 1.184 atau dengan kata lain selama kurun waktu dua tahun telah dibangun
masjid sebanyak 72 unit, sedangkan Gereja dan Pura masing-masing 1 unit dan
berada di kecamatan Selong (Kabupaten Lombok Timur 2014).
Di bidang pendidikan, pemerintah Kabupaten Lombok Timur melalui program
Wajib Belajar mengharuskan penduduk usia sekolah 6-17 tahun dapat mengikuti
pendidikan formal SD sampai SLTP (Kabupaten Lombok Timur 2014). Berdasarkan
kategori umur, penduduk Kabupaten Lombok Timur termasuk kategori struktur
intermediate (peralihan umur muda ke umur tua). Lebih dari 30% penduduk berusia
di bawah umur 15 tahun dan penduduk usia 65 tahun ke atas kurang dari 10%
(Gambar 4.2). Sehingga rasio ketergantungan cukup tinggi sekitar 57 per 100, yakni
100 orang usia produktif menanggung beban hidup 57 orang usia tidak produktif dan
belum produktif (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009).
Potensi sumber daya manusia di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan
ketersedian tenaga kerja dan keahlian yang dimiliki oleh rata-rata tenaga kerja yang
belum tersalurkan dari masing-masing kecamatan yang ada, sekitar 5-10% dengan
rata-rata pendidikan terakhir SD-SMP dan banyak yang putus atau tidak sekolah
(BPS Kabupaten Lombok Timur 2009).
23

<15 Tahun 15-65 Tahun >65 Tahun


10%
30%

60%

Gambar 4.3 Prosentase penduduk berdasarkan umur


(BPS Kabupaten Lombok Timur 2009)

Persentase penduduk untuk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan


usaha seperti bidang pertanian 48,80%; industri pengolahan 13,46%; usaha
perdagangan sebesar 17,15%;bidang jasa 8,71%; bidang kontruksi 2,80%; angkutan
dan komunikasi 6,05%; dan lain-lainnya sebesar 3,03% (Gambar 4.3). Dengan
demikian, dapat dikatakan masyarakat cendrung melakukan kegiatan bertani atau
berusaha membuka suatu usaha kecil seperti pengrajin patung, anyaman bambu, dan
tenun timbul, terutama di wilayah terisolasi/terpencil meskipun demikian dapat
memberikan keuntungan bagi wilayah Lombok Timur (BPS Kabupaten Lombok
Timur 2009).

Bidang Pertanian Industri Pengolahan


Usaha Perdagangan Bidang Jasa
Bidang Konstruksi Angkutan dan Komunikasi
Lain-lain 6% 3%
2,8%
8,7%
48,80%

17%

13%

Gambar 4.2 Prosentase penduduk berdasarkan bidang lapangan pekerjaan


(BPS Kabupaten Lombok Timur 2009)

Sedangkan, profesi sebagai nelayan terutama nelayan tangkap banyak


dilakukan secara turun-temurun. Jika sang ayah bekerja sebagai nelayan tangkap,
maka minimal satu anak laki-laki dalam keluarga juga berprofesi sebagai nelayan,
sehingga, pemahaman akan sumber daya perikanan dan kebiasan-biasaan dalam
melakukan kegiatan penangkapan oleh nelayan yang satu dengan nelayan yang lain
tidak banyak perbedaan. Keadaan ini didukung dari data Kecamatan dan Desa
Pesisir, serta jumlah nelayan tahun 2006-2010 (Tabel 4.1), terlihat bahwa telah
terjadi penambahan jumlah nelayan hampir di setiap desa pesisir dari tahun 2006-
2010.
24

Tabel 4.1 Kecamatan, desa pesisir, dan jumlah nelayan tahun 2006-2010
Jumlah Nelayan Per Tahun
No Kecamatan Desa/Kelurahan
2006 2007 2008 2009 2010
1 Jerowaru - Jerowaru 851 851 854 854 854
- Pemongkong 2.264 2.264 2.284 2.284 2.284
- Sukaraja 175 175 179 179 179
- Batu Nampar 871 871 876 876 876
Jumlah 4.161 4.161 4.193 4.193 4.193
2 Keruak - Tanjung Luar 5.253 5.253 5.278 5.278 5.278
- Pijot 757 757 759 759 759
Jumlah 6.010 6.010 6.037 6.037 6.037
3 Sakra Timur - Surabaya 265 265 266 266 266
- Gelanggang 340 340 342 342 342
Jumlah 605 605 608 608 608
4 Labuhan Haji - Penede Gandor 245 245 249 249 249
- Labuhan Haji 985 985 989 989 989
- Suryawangi 175 175 176 176 176
- Ijobalit 95 95 95 95 95
- Korleko 90 90 90 90 90
Jumlah 1.590 1.590 1.599 1.599 1.599
5 Pringgabaya - Kerumut 155 155 155 155 155
- Pohgading 60 60 60 60 60
- Batuyang 95 95 - - -
- Pringgabaya 227 324 330 330 330
- Labuhan Lombok 1.680 1.777 1.877 1.877 1.877
Jumlah 2.217 2.411 2.422 2.422 2.422
6 Sambelia - Labu Pandan 317 317 323 323 323
- Sugian 739 739 620 620 620
- Belanting 375 375 379 379 379
- Obel-obel 235 235 300 300 300
Jumlah 1.666 1.666 1.622 1.622 1.622
Total Jumlah 16.249 16.411 16.481 16.481 16.481
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok TimurTahun 2006-2010

4.3 Potensi Sumber Daya Perikanan

Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Lombok Timur didominasi oleh


sampan dengan motor tempel (outbroad engine boat) sekitar 3.138 unit (Lampiran
2), kemudian diikuti dengan perahu tanpa motor (canoe) sebayak 479 unit, dan kapal
motor (inboard engine boat) 345 unit (Tabel 4.2). Berdasarkan hasil observasi di
lapangan, beberapa nelayan lokal yang menjadi responden menggunakan sampan
dengan ukuran 7x1,5x0,5 m dan beberapa menggunakan sampan dengan ukuran
8x1,5x0,5 m. Motor tempel yang digunakan berkekuatan 2-4 horse power (PK)
dengan wilayah penangkapan di perairan 24 mil dari air surut terendah atau di
sekitar wilayah perairan pantai.
25

Tabel 4.3 Jumlah perahu tangkap di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan tempat
pendaratan tahun 2012
Pelabuhan Jukung atau Perahu Motor Kapal Jumlah
No
Pendaratan Perahu Sampan Tempel Motor Total
1 Tanjung Luar 10 965 179 1.154
2 Labuhan Haji 62 237 2 301
3 Labuhan Lombok 77 121 110 308
4 Batu Nampar 103 1.540 12 1.655
5 Sugian 212 203 39 454
6 Sakra Timur 15 72 3 90
Jumlah 479 3.138 345 3.962
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur 2012

Jenis alat tangkap yang digunakan untuk melakukan kegiatan penangkapan di


wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur bervasiasi seperti alat tangkap seperti
payang, purse seine, jaring insang H, jaring insang Ttp, jaring lingkar apung, jaring
klitik, bagan tancap, bagan sampan, pancing rawai, pancing biasa, pancing tonda,
pancing ulur, pukat pantai dan bubu (Tabel 4.3).

Tabel 4.2 Jumlah alat tangkap yang dipergunakan di Kabupaten Lombok Timur
berdasarkan tipe dan tempat pendaratan tahun 2012
Tj. Lab. Lb. Bt. Sakra
No Alat Tangkap Sugian Jumlah
Luar Haji Lombok Nampar Timur
1 Payang 366 - 13 19 - - 398
2 Purse Seine 37 - 15 - - - 52
3 Jaring Insang H 52 56 68 - 90 24 290
4 Jaring Insang Ttp 226 75 88 152 27 54 622
5 Jaring Lkr.Apung 12 - - - 8 - 20
6 Jaring Klitik 280 84 128 425 52 34 1.003
7 Bagan Tancap 33 - - 40 - - 73
8 Bagan Sampan - - 25 - 7 - 32
9 Pancing Rawai 588 90 178 149 30 20 1.055
10 Pancing Biasa 409 215 92 205 334 175 1.430
11 Pancing Tonda 397 111 199 122 130 43 1.002
12 Pancing Ulur 245 103 172 85 52 31 688
13 Pukat Pantai 6 - 6 - - - 12
14 Bubu 79 12 - 22 17 15 145
Jumlah 2.730 746 984 1.219 747 396 6.822
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur 2012

Hasil observasi di lapangan, nelayan lokal yang melakukan kegiatan


penangkapan di wilayah perairan pantai banyak yang menggunakan alat tangkap dari
jenis pancing dan bagan sampan. Kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh
nelayan lokal dengan alat tangkap pancing dan bagan sampan yang melakukan
kegiatan penangkapan di wilayah perairan pantai biasanya one day trip, yakni
nelayan hanya melakukan satu kali penangkapan setiap hari. Jika kegiatan
penangkapan dilakukan pagi hari, maka hasil tangkapan didaratkan pada sore hari.
Begitu sebaliknya, jika kegiatan penangkapan dilakukan malam hari, hasil
26

tangkapan didaratkan pagi hari. Nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur bekerja
sebagai pemilik kapal sekaligus anak buah kapal (ABK).
Kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan yang dapat dikembangkan di
Kabupaten Lombok Timur antara lain perikanan tangkap; budidaya ikan laut;
budidaya ikan air payau; dan budidaya ikan air tawar, dengan potensi sumber daya
perikanan dari berbagai jenis ikan laut; ikan air tawar; mangrove; terumbu karang;
dan lamun. Potensi sumber daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur menyebar
di Kecamatan Jerowaru, Kecamatan Keruak, Kecamatan Pringgabaya, dan
Kecamatan Sambelia (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).
Bila dibandingkan antara jumlah produksi dengan jumlah keseluruhan alat
tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur dari tahun
2002-2011 (Tabel 4.4), menujukkan produksi sumber daya perikanan laut pada tahun
2003 dan 2004 mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2002.
Kemudian produksi mengalami peningkatan pada tahun 2005 sampai mencapai
produksi tertinggi pada tahun 2008 sebesar 15.074,80 ton. Pada tahun 2009 hingga
2011 mengalami penurunan produksi kembali.
Salah satu pemicu fluktuasi jumlah produksi adalah adanya kenaikan jumlah
alat tangkap setiap tahun (Tabel 4.4). Terlihat pada tahun 2002 dan 2003 tidak ada
penambahan jumlah alat tangkap tetapi produksi menurun, sehingga nelayan
cenderung untuk menurunkan jumlah alat tangkap yang ada pada tahun 2004. Pada
tahun 2005, jumlah alat tangkap meningkat hingga pada tahun 2008. Pada tahun
2009, 2010, dan 2011 terlihat bahwa jumlah alat tangkap terus meningkat yang
diikuti dengan penurunan hasil produksi perikanan laut. Keadaan ini, diduga bahwa
kegiatan penangkapan di Kabupaten Lombok Timur telah melampaui titik maxsimum
sustainable yield (MSY). Dugaan ini didasarkan pada makin bertambah upaya dalam
penangkapan menyebabkan produksi sumber daya perikanan penurun (Fauzi 2010).
Selain itu, keadaan ini juga dipicu dari makin maraknya penangkapan ikan dengan
bom dan potas di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur (Syaifullah
2009).

Tabel 4.4 Produksi perikanan laut dan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lombok
Timur tahun 2003-2007
Tahun Produksi (ton) Jumlah Alat Tangkap (unit)
2002 13.168,70 5.331
2003 12.769,00 5.331
2004 12.563,30 5.207
2005 12.591,60 5.313
2006 12.691,50 5.395
2007 14.761,30 5.987
2008 15.074,80 6.304
2009 13.942,00 6.087
2010 13.384,80 6.090
2011 13.095,30 6.718
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, 2010

Potensi wilayah kegiatan budidaya laut di Kabupaten Lombok Timur seluas


6.842,31 ha. Kegiatan budidaya perikanan laut yang dapat dikembangkan di
Kabupaten Lombok Timur meliputi mutiara, ikan kerapu, udang lobster, rumput laut,
27

teripang, dan kerang-kerangan. Jenis sumber daya laut ini sesuai dengan kondisi
perairan Kabupaten Lombok Timur yang berkarang dan landai. Potensi wilayah
pengembangan budidaya laut meliputi Kecamatan Jerowaru 3.420,00 ha; Kecamatan
Keruak 452,00 ha; Kecamatan Labuhan Haji 157,00 ha; Kecamatan Pringgabaya
754,13 ha; dan Kecamatan Sambelia 2.059,18 ha (Tabel 4.5).

Tabel 4.5 Potensi wilayah budidaya laut di Kabupaten Lombok Timur


Luas Potensi Peluang
Pemanfaatan
Pengembangan
Budidaya Laut Wilayah Produksi Budidaya Laut
Budidaya Laut
(ha) (ton/tahun) (ha) (%) (ha) (%)
Mutiara 3.433,65 6,71 1.805,50 52,58 1.628,15 47,42
Ikan Kerapu 509,40 41.261,40 6,50 1,28 502,90 98,72
Udang Lobster 525,76 21.027,20 12,37 2,35 513,39 97,65
Rumput Laut 2.000,00 588.250,00 232,58 11,63 1.767,42 88,37
Teripang 194,00 115,80 0,00 0,00 194,00 100,00
Kerang-Kerangan 174,00 224,38 0,00 0,00 174,00 100,00
Sumber: Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, 2010

Tabel 4.5 memperlihatkan pemanfaatan wilayah budidaya laut di Kabupaten


Lombok Timur masih sangat kurang. Pemanfaatan wilayah untuk budidaya mutiara
sebesar 52,58%; budidaya rumput laut sebesar 11,63%; lobster sebesar 2,35%; dan
ikan kerapu sebesar 1,28%. Sedangkan wilayah untuk jenis teripang dan kerang-
kerangan masih belum termanfaatkan. Berdasarkan hasil observasi, budidaya mutiara
ini menjadi peluang bisnis, karena memiliki nilai jual yang tinggi dan sudah memiliki
pasar international. Budidaya rumput laut, udang loster, dan ikan kerapu ini banyak
dilakukan oleh nelayan yang berada di wilayah Teluk Ekas dan sudah memiliki pasar
tersendiri terutama budidaya rumput laut, telah memiliki pabrik yang siap
menampung hasil produksinya.
Potensi wilayah untuk kegiatan budidaya air payau (tambak) di Kabupaten
Lombok Timur seluas 3.500,00 ha dengan potensi produksi 24.500,00 ton/tahun.
Pemanfaatan wilayah budidaya air payau ini baru mencapai 269,50 ha (7,70%) dari
potensi wilayah yang ada. Produksi budidaya air payau di Kabupaten Lombok Timur
tahun 2011, meliputi udang windu sebesar 384,80 ton; udang vaname sebanyak
2.181,40 ton; dan ikan bandeng sebanyak 15 ton (BKPM 2013).
Potensi wilayah budidaya air payau di Kabupaten Lombok Timur terbesar di
wilayah Kecamatan Sambelia yakni 1.441,50 ha (Tabel 4.6). Keadaan ini ditunjang
dengan kondisi alam dari perairan di Kecamatan Sambelia yang memiliki arus yang
lebih tenang bila dibandingkan dengan wilayah perairan di kecamatan yang lain,

Tabel 4.6 Penyebaran wilayah potensi budidaya air payau


Kecamatan Luas Area (ha)

Jerowaru 1.408,50
Keruak 50,00
Sakra Timur 150,00
Labuhan Haji 75,00
Pinggabaya 375,00
Sambelia 1.441,50
Jumlah 3.500,00
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, 2010
28

seperti di Kecamatan Jerowaru kondisi perairan lebih kepada teluk yang terlindungi,
karena wilayah perairan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sedangkan
pada wilayah perairan di Kecamatan Pringgabaya, Kecamatan Keruak, Kecamatan
Sakra Timur, dan Kecamatan Labuhan Haji lebih diutamakan sebagai wilayah
penangkapan dan penyeberangan dari pada wilayah budidaya.
Potensi wilayah budidaya ikan air tawar di Kabupaten Lombok Timur hampir
menyebar di seluruh Kecamatan. Budidaya ikan air tawar ini meliputi budidaya
kolam, minapadi, dan karamba (Tabel 4.7). Tabel 4.7 memperlihatkan pemanfaatan
wilayah budidaya air tawar masih 23,83% dari total luas wilayah potensi yang ada,
dengan pemanfaatan wilayah untuk kolam 16,38%; minapadi 7,45%; dan karamba
0,002% dari luas potensi wilayah yang ada.

Tabel 4.7 Potensi budidaya ikan air tawar


Budidaya Ikan Luas Potensi Pemanfaatan
Air Tawar Wilayah (ha) (ha) (%)
Kolam 1.771,35 805,57 16,38
Minapadi 3.138,00 366,25 7,45
Karamba 8,85 0,08 0,002
Jumlah 4.918,20 1.171,90 23,83
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, 2010

Jenis ikan yang dibudidayakan di kolam antara lain ikan mas 3,10 ton; ikan
nilai 52,91 ton; ikan patin 0,50 ton; ikan gurami 2,40 ton; ikan bawal 0,40 ton; dan
ikan lele 61,50 ton. Budidaya minapadi meliputi ikan mas 2,50 ton; dan ikan nilai
4,16 ton. Budidaya karamba meliputi ikan mas 3,10 ton; dan ikan nila 52,91 ton
(BKPM 2013).
Potensi sumber daya perikanan lainnya yang dapat dikembangkan di
Kabupaten Lombok Timur adalah ekosistem bakau (mangrove), terumbu karang
(coral reef), dan lamun (seagress). Luas ekosistem mangrove mencapai 1.589,82 ha
yang tersebar di beberapa lokasi di Kabupaten Lombok Timur, seperti Kecamatan
Jerowaru 364,81 ha; Kecamatan Keruak 40,00 ha; dan Kecamatan Sambelia 1.185,00
ha (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).
Potensi terumbu karang merata hampir di seluruh perairan laut di Kabupaten
Lombok Timur yang berada pada kedalaman 8,034,0 meter dengan perkiraan luas
mencapai 321,04 km2. Kondisi ekosistem terumbu karang pada beberapa lokasi
cukup memperihatinkan seperti pada perairan Labuhan Lombok, Sambelia, Labuhan
Haji, dan Pemokong yang disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan sumber daya
perikanan yang tidak ramah lingkungan seperti penggalian terumbu karang untuk
bahan kapur, dan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potas. Walupun
demikian, di beberapa lokasi seperti di Gili Sulat, Gili Lawang, Pantai Surga,
Tanjung Ringgit, Sarewe, dan Teluk Sunut kondisi terumbu karang relatif masih baik
(DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).
Ekosistem lamun di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur termasuk
kaya akan jenis, yakni hampir 11 jenis dari 12 jenis lamun yang ada di perairan
Indonesia, dengan wilayah penyebaran di perairan Serewe, Teluk Ekas, Pijot, Gili
Petagan, Gili Sulut, dan Gili Lawang (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).
5. ANALISIS KELEMBAGAAN AWIG-AWIG PENGELOLAAN
SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI DI KABUPATEN
LOMBOK TIMUR

ABSTRAK
Kelembagaan awig-awig merupakan norma, hukum adat, peraturan, larangan,
dan sanksi yang tidak tertulis mengenai hubungan antar masyarakat yang
berkembang di wilayah Bali dan Lombok. Di Kabupaten Lombok Timur,
kelembagaan awig-awig diadopsi untuk mengelola sumber daya perikanan pantai
melalui awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai. Pada bagian ini,
penulis menfokuskan pembahasan hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai melalui pendekatan kerangka analisis Institutional
Analyisis Development (IAD) dengan menganalisis situasi aksi, aktor, dan peraturan
yang disepakati. Hasil analisis menunjukkan kelembagaan awig-awig sampai saat ini
belum berjalan secara efektif yang ditandai dengan belum semua aktor yang
memanfaatkan sumber daya perikanan pantai terlibat secara aktif dalam kelembagaan
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan, peraturan yang disepakati masih
lemah dalam memberikan batas pengaturan, dan resiko keselamatan jiwa yang tinggi
pada kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig. Keadaan ini mengakibatkan
masih ditemukan beberapa lokasi kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas,
serta hilangnya salah satu pulau kecil di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok
Timur.

Kata kunci: awig-awig, analisis kelembagaan IAD

5.1 Pendahuluan

Kelembagaan awig-awig merupakan kebijakan lokal berupa norma, hukum


adat, peraturan, larangan, dan sanksi yang tidak tertulis mengenai hubungan antar
masyarakat seperti perkawinan, pencurian dan lain sebagainya. Di Kabupaten
Lombok Timur, awig-awig diadopsi untuk mengelola sumber daya perikanan pantai.
Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai yang berkembang di
Kabupaten Lombok Timur ini diyakini merupakan perkembangan dari awig-awig
yang diinisiasi oleh kelompok nelayan Nautilus yang berasal dari Desa Tanjung Luar
(Indrawasih 2008; dan Syaifullah 2009).
Awig-awig yang diinisiasi oleh kelompok nelayan Nautilus ini dibuat untuk
mengatasi permasalahan konflik wilayah, konflik alat tangkap, dan penurunan hasil
tangkapan (terutama pada cumi-cumi) yang marak terjadi di wilayah perairan
Kabupaten Lombok Timur terutama di wilayah perairan Desa Tanjung Luar. Awig-
awig ini berupa anjuran dan pengarahan untuk tidak menggunakan alat tangkap yang
merusak lingkungan seperti bom dan potas melalui kotbah di mesjid yang mengacu
kepada kutipan-kutipan Al-Quran. Hal ini dilakukan, karena nelayan di Desa
Tanjung Luar banyak yang beragama Islam. Selain kegiatan pengarahan, kelompok
ini juga mengajak warga setempat untuk melakukan kegiatan penghijauan di sekitar
30

pesisir Teluk Jukung. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan dengan harapan dapat


mengubah pola pikir dan kebiasaan terutama kegiatan penangkapan ikan agar lebih
ramah lingkungan. Namun, praktiknya, awig-awig ini belum dapat berjalan seperti
yang diharapkan, dengan masih banyak ditemukan penggunaan alat tangkap yang
merusak lingkungan seperti bom dan potas oleh nelayan lokal (Syaifullah 2009).
Kelompok Nautilus ini kemudian memandang perlu adanya dukungan dari
pemerintah setempat. Pada tahap ini, kelompok Nautilus bekerja sama dengan
pemerintah desa setempat untuk menetapkan awig-awig menjadi awig-awig desa
dengan harapan awig-awig ini lebih dihormati oleh nelayan lokal. Tetapi, awig-awig
desa ini juga belum dapat berjalan secara efektif, karena masih adanya kesulitan,
terutama dalam penegakkan sanksi, jika pelanggaran dilakukan oleh nelayan yang
berasal dari desa lain (Syaifullah 2009).
Di sisi lain, dengan adanya program Pembangunan Masyarakat Pantai dan
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan (Coastal Community Development and
Fisheries Resource Management Project) atau yang lebih dikenal dengan Co-Fish
Project dari Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Lombok Timur,
sebagai salah satu program pemerintah yang mendukung dan mengakui kebijakan
lokal yang berkembang di wilayah perairan Indonesia, awig-awig yang semula
merupakan awig-awig desa diubah menjadi awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai (Indrawasih 2008).
Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai membagi wilayah
perairan pantai Kabupaten Lombok Timur menjadi tujuh Kawasan, untuk
kemudahan pengelolaan. Setiap kawasan terdiri dari beberapa desa pantai dan satu
Komite Pengelolaan Perikanan Laut Kawasan (KPPL Kawasan). KPPL Kawasan
merupakan lembaga informal yang memiliki tugas dan kewenangan untuk membuat,
memonitoring, menerapkan dan menegakkan awig-awig. Kegiatan monitoring dan
penegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten
Lombok Timur lebih menitikberatkan pada kegiatan pengawasan perikanan terutama
pada kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas, dan/atau penangkapan ikan
yang dilindungi. Tetapi, sampai saat ini, kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai juga belum dapat mengatasi permasalahan yang terjadi
di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur, dengan masih banyak
ditemukan beberapa lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas (Syaifullah
2009), serta hilangnya salah satu pulau kecil (Gili).
Berdasarkan informasi di atas, peneliti memandang penting dilakukan analisis
kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten
Lombok Timur. Analisis dilakukan melalui pendekatan IAD yang fokus pada analisis
peraturan yang disepakati, situasi aksi, dan aktor.

5.2 Tinjauan Pustaka

Sumber daya alam seperti sumber daya perikanan, yang memiliki karakteristik
fisik sumber daya milik bersama (1.1) dan secara alami tidak memiliki batasan
wilayah yang jelas, sehingga pemanfaatan sumber daya perikanan ini cenderung
open access yakni siapa saja diperbolehkan untuk memanfaatkan sumber daya
perikanan dan tanpa ada kewajiban untuk memeliharanya. Keadaan ini yang sering
menjadi kritik pada pemanfaatan sumber daya perikanan, karena menyebabkan
kegiatan tidak memberikan manfaat baik secara biologi dan ekonomi (Grafton 2004).
31

Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan agar sumber daya perikanan ini dapat
dimanfaatkan secara efisien baik biologi dan ekonomi (Petersen 2006). Salah satu
pengaturan ini adalah melalui pengaturan hak kepemilikan. Pengaturan hak
kepemilikan dilakukan dengan harapan jika ada kejelasan siapa pemegang hak
kepemilikan, maka akan ada kejelasan siapa yang berhak dan berwewenang untuk
membuat peraturan dalam suatu wilayah perairan, siapa saja dan seberapa banyak
yang dibolehkan untuk memiliki hak mengakses dan memanfaatkan sumber daya
perikan, seberapa banyak sumber daya perikanan dapat dimanfaatkan, tindakan
seperti apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, peraturan seperti apa yang
digunakan, prosedur seperti apa yang harus diikuti, dan imbalan seperti apa yang
akan diberikan kepada individu berdasarkan tindakan yang dilakukan (Ostrom 1990;
Hanna et al. 1996).

5.2.1 Hak Kepemilikan dan Hak Akses Sumber Daya Perikanan

Secara teori, banyak yang memberikan gambaran apa sebenarnya hak


kepemilikan. Schlager dan Ostrom (1992) membagi hak kepemilikan sumber daya
alam dan lingkungan terutama yang memiliki karakteristik CPR, terdiri dari hak
akses, hak memanfaatkan, hak memanagemen, hak eksklusif, dan hak alienasi (Tabel
2.1). Pada teori yang lain, pembagian hak kepemilikan didasarkan pada siapa yag
memiliki hak kepemilikan atas sumber daya alam dan lingkungan melalui klaim
kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan. Berdasarkan klaim kepemilikan,
pengaturan hak kepemilikan terdiri dari hak kepemilikan secara bebas (open access );
hak kepemilikan pada swasta (private property); hak kepemilikan pada pemerintah
(state property); dan hak kepemilikan bersama (common property) (Hanna et al.
1996) (Tabel 2.2) (Mokhahlane 2009; Fauzi 2010).
Sehingga salah satu cara pengaturan hak kepemilikan atas sumber daya alam
dapat berupa penyusunan peraturan baik yang berlaku secara formal dan informal
akan siapa memiliki hak, kewajiban dan kewenangan seperti apa (Ostrom etal. 1994;
Dolsak dan Ostrom 2003). Ostrom (1990) melalui design principle membantu
menjelaskan bagaimana keberhasilan suatu kelembagaan dalam mempertahaan
keberadaan sumber daya alam yang memiliki karakteristik CPR. Di mana, suatu
pengaturan dikatakan berhasil jika telah memiliki minimal 7 dari 8 prinsip yang ada
(Tabel 5.1).
Prinsip pertama, Kejelasan dalam pengaturan (Clearly defined boundaries)
berkaitan dengan penentuan batasan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan dan
penentuan siapa saja yang memiliki hak kepemilikan atas sumber daya. Kejelasan
pengaturan merupakan hal terpenting, karena selama tidak ada batasan yang jelas
atas sumber daya dan/atau pemanfaat sumber daya, maka tidak ada satu pun yang
mengetahui apa yang dikelola dan untuk siapa pengelolaan dibuat. Selain itu, tanpa
adanya batasan sumber daya dan pemanfaat, maka masyarakat lokal menghadapi
resiko persaingan dengan pemanfaat sumber daya yang berasal dari luar wilayah
dalam mengambil manfaat dari sumber daya alam yang ada.
Prinsip kedua, kesesuaian pengaturan dengan kondisi lokal (congruence
between appropriation and provision rules and local conditions) menjelaskan harus
adanya kesesuaian antara peraturan yang ada, kondisi pemanfaat, dan kondisi
masyarakat lokal, sehingga ada penghargaan dari pemanfaat baik yang berasal dari
luar dan pemanfaat lokal kepada keberadaan kelembagaan lokal dalam mengelola
sumber daya alam dan kondisi sumber daya alam yang dimanfaatkan.
32

Tabel 5.1 Design principles


Design Principles Uraian
Kejelasan dalam pengaturan Harus ada ketentuan yang jelas pada individu dan/atau
(Clearly defined boundaries) kelompok yang dapat memanfaatkan sumber daya
alam; kejelasan batasan sumber daya alam yang
dimanfaatkan
Kesesuaian pengaturan Pengaturan waktu, tempat, dan teknologi yang
dengan kondisi lokal digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam
(congruence between harus sesuai dengan kondisi sumber daya alam, dan
appropriation and provision kondisi masyarakat sekitar sumber daya alam
rules and local conditions)
Pengaturan di tingkat kolektif Semua individu yang memanfaatkan sumber daya
(Collective-choice alam memiliki hak dan kewajiban untuk ikut serta
arrangements) dalam pembuatan peraturan
Kegiatan monitoring Para pemonitor harus aktif dan berkelanjutan dalam
(monitoring) memeriksa kondisi sumber daya alam. Para pemonitor
ini bertanggung jawab kepada pemanfaat untuk
memberikan informasi terkini akan kondisi sumber
daya alam. Para pemonitor ini dapat berasar dari
pemanfaat sumber daya alam itu sendiri
Pemberian sanksi (graduated Pemanfaat sumber daya alam yang melakukan
sanstions) pelanggaran pada peraturan yang telah disepakati
harus diberikanan sanksi/hukuman. Pemberi hukuman
dapat dilakukan oleh pemanfaat yang lain, atau
lembaga lokal, atau lembaga formal, atau ketiganya
sesuai peraturan yang disepakati
Mekanisme resolusi konflik Pemanfaat, lembaga informal, dan/atau lembaga
(conflict-resolution formal memiliki akses untuk menyelesaikan konflik
mechanisms) yang terjadi antar pemanfaat sumber daya alam, dan
antara pemanfaat sumber daya alam dengan pihak lain
(lembaga informal dan lembaga formal)
Minimal recognition of rights Peraturan yang dibuat oleh pemanfaat sumber daya
to organize alam tidak bertentangan dengan peraturan formal yang
dibuat oleh pemerintah
Pengaturan untuk wilayah Pengaturan untuk wilayah yang lebih luas dengan
yang lebih luas (Nested pemanfaat sumber daya yang lebih kompleks.
enterprises (for CPR that are
part of larger system))
Sumber: Ostrom (1990: 90)

Prinsip ketiga, pengaturan di tingkat kolektif (Collective choice arangement),


dimaksudkan setiap individu yang berpartisipasi pada tingkat operasional dapat turut
serta dalam pembuatan peraturan, karena individu-individu ini yang selalu
berinteraksi secara langsung dengan pemanfaat lain dan sumber daya alam, sehingga
mengetahui secara pasti batas-batas sumber daya alam, kondisi sumber daya alam
dan kondisi masyarakat lokal.
Prinsip keempat, kegiatan monitoring (Monitoring) menjelaskan sangat
penting dilakukan kegiatan monitoring dan pemeriksaan kondisi sumber daya alam,
sampai di mana sumber daya alam termanfaatkan. Individu yang terlibat dalam
kegiatan monitoring ini dapat berasal dari pemanfaat sumber daya alam.
33

Prinsip kelima, pemberian sanksi (graduated sanctions) menjelaskan


pentingnya pemberian sanksi jika terjadi pelanggaran pada peraturan yang ada.
pemberian sanksi ini dapat dilakukan oleh lembaga informal maupun lembaga
formal, dan/atau keduanya, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan dan peraturan
yang telah disepakati.
Prinsip keenam, mekanisme resolusi konflik (conflict-resolution mechanism)
menjelaskan pentingya penyelesaian konflik yang terjadi dalam kegiatan
pemanfaatan terhadap sumber daya alam. Konflik ini dapat terjadi antara pemanfaat
sumber daya alam, maupun antara pemanfaat sumber daya alam dengan lembaga
yang memiliki hak dan kewenangan dalam mengelola sumber daya alam yang dapat
disebabkan karena perbedaan kepentingan dan pengetahuan pada kondisi sumber
daya alam yang ada.
Prinsip ketujuh, dukungan dari lembaga formal (minimal recognition of rights
to organize) menjelaskan pengaturan kelembagaan terutama yang dibuat oleh
masyarakat lokal menjadi lebih kuat, saat peraturan yang dibuat tidak bertentangan
dengan peraturan formal dari pemerintah dan mendapat dukungan dari pemerintah.
Prinsip kedelapan, pengaturan untuk wilayah yang lebih luas (Nested
enterprises) berkaitan dengan ketujuh prinsip di atas dalam kondisi pengelolaan yang
lebih tinggi dan wilayah yang lebih luas, sehingga pihak yang bersaing lebih banyak
dan biasanya ditujukan pada pemanfaatan sumber daya alam pada sistem yang besar.

5.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2013. Lokasi penelitian


mencakup tujuh kawasan pengelolaan berdasarkan peraturan yang disepakati dalam
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur,
Nusa Tenggara Barat (Gambar 3.1) dengan satu kawasan diwakili oleh satu desa
penelitian. Ketujuh kawasan ini antara lain kawasan Sambelia, kawasan Pringgebaya,
kawasan Labuhan Haji, kawasan Sakra Timur, kawasan Teluk Jukung, kawasan
Teluk Serewe, dan kawasan Teluk Ekas (3.1).
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa
informasi tentang kelembagaan awig-awig yang diperoleh melalui wawancara
langsung dengan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan sumber daya perikanan
pantai di wilayah periaran Kabupaten Lombok Timur. Pengambilan sample pada
penelitian ini, menggunakan snow-ball sampling yang dilakukan dengan
mengadaptasi Reed et al. (2009) dan Prell et al. (2009), yakni dengan menentukan
terlebih dahulu beberapa aktor yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig di
Kabupaten Lombok Timur dan melakukan wawancara, kemudian dari informasi ini
ditentukan beberapa aktor berikutnya. Selain melalui wawancara langsung, data
primer juga dilakukan melalui pengumpulan data secara observasi. Observasi ini
dilakukan dengan mendeskripsikan apa yang ada di lapangan untuk mendukung hasil
data wawancara.
Data sekunder berupa peraturan-peraturan yang terkait pengelolaan sumber
daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur, data perikanan, dan data-data
pendukung lainnya seperti kondisi topografi dan demografi kondisi umum lokasi
penelitian diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, antara
lain Badan Pusat Statistik (BPS), BPS Kabupaten Lombok Timur, Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok
Timur, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik yang berupa tesis, desertasi,
34

maupun jurnal-jurnal nasional dan international. Setelah data terkumpul dilakukan


analisis melalui pendekatan IAD (Ostrom et al. 1990) sesuai dengan kerangka
analisis data (Gambar 3.3), yakni dengan menganalisis peraturan yang disepakati,
situasi aksi, dan aktor.

5. 4 Metode Analisis Data

Analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di


Kabupaten Lombok Timur sesuai dengan kerangka analisis data yang ada (Gambar
3.3), dilakukan dengan menganalisis situasi aksi, aktor dan peraturan yang
disepakati.

5.4.1 Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten


Lombok Timur

Bagian ini membahas tentang hasil analisis situasi aksi dan analisis aktor. Pada
penelitian ini, dibatasi pada analisis aktor yang turut serta dalam kelembagaan awig-
awig di Kabupaten Lombok Timur dan bagaimana tugas dan kewenangan dari para
aktor, bagaimana para aktor ini melaksanakan tugas dan kewenangan yang ada.

5.4.2 Peraturan yang disepakati

Bagian ini membahas tentang hasil analisis peraturan yang disepakati, yang
dilakukan dengan identifikasi dan analisis pada peraturan, larangan, dan sanksi dari
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok Timur apakah awig-
awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur telah
memenuhi kriteria pada design principle (Ostrom, 1990).

5.5 Hasil dan Pembahasan

Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur,


pada awalnya, diinisiasi oleh kelompok nelayan Nautilus. Awig-awig ini dibuat
untuk mengatasi permasalahan yang sering terjadi pada kegiatan penangkapan ikan
oleh nelayan lokal Desa Tanjung Luar antara lain makin maraknya penggunaan alat
tangkap bom dan potas, penangkapan ikan yang dilindungi (seperti lumba-lumba),
penurunan hasil tangkapan (terutama pada cumu-cumi), serta kerusakan lingkungan
(terumbu karang dan berkurangnya kawasan mangrove). Sehingga, awig-awig ini
ditujukan kepada larangan penggunaan bom dan potas. Awig-awig ini
disosialisasikan melalui kotbah di mesjid, karena banyak nelayan Desa Tanjung luar
yang beragama islam. Selain itu, beberapa tokoh agama dan masyarakat, serta
pemerhati lingkungan mengajak masyakat pesisir Desa Tanjung Luar untuk
melakukan kegiatan bersih-bersih pantai dan penanaman mangrove. Tetapi, awig-
awig ini belum dapat berjalan efektif karena sanksi sulit ditegakkan jika nelayan
yang melakukan pelanggaran berasal dari luar Desa Tanjung Luar (Syaifullah 2009).
Kemudian para tokoh masyarakat dan pemberhati lingkungan menganggap
penting dukungan dari lembaga formal. Pada perkembangan selanjutnya, awig-awig
yang ada berubah menjadi awig-awig desa, dengan harapan lebih adanya
penghargaan dari pemanfaat sumber daya perikanan pantai dengan melibatkan
pemerintah desa setempat dalam pengaturan. Tetapi, praktiknya, awig-awig desa ini
juga mengalami ketidakefektifan dengan masih banyak ditemukan penangkapan ikan
35

dengan menggunakan bom dan potas di wilayah perairan Desa Tanjung Luar
(Syaifullah 2009).
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki
program Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
(Coastal Community Development and Fisheries Resource Management Project)
atau yang lebih dikenal dengan Co-Fish Project sebagai salah satu program
penguatan kelembagaan lokal memberikan dukungan kepada kelembagaan awig-
awig ini. Sehingga, awig-awig yang semula hanya berpusat pada Desa Tanjung Luar
diperluas pada seluruh wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur, dengan
membagi wilayah perairan menjadi tujuh kawasan dan setiap kawasan memiliki satu
lembaga informal yang bertugas untuk membuat awig-awig, dan nama awig-awig
desa diubah menjadi awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Lombok Timur.
Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok
Timur ini kemudian dibukukan sejak tahun 2003. Selain, dilakukan pembagian
wilayah perairan, peraturan yang disepakati dalam awig-awig juga diperbaiki, dan
aktor yang terlibat juga lebih diperluas dengan melibatkan lembaga informal dan
formal, serta awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai ini mendapatkan
dukungan secara formal dari pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur dengan
ditetapkan Perda Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Pantai Secara Partisipatif.

5.5.1 Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten


Lombok Timur

Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok


Timur dilakukan dengan membagi wilayah perairan di Kabupaten Lombok Timur
menjadi tujuh kawasan dan setiap kawasan memiliki satu lembaga informal yang
bertugas dan berwewenang untuk membuat, memonitoring, dan menegakkan awig-
awig yang dikenal dengan KPPL Kawasan. Selain KPPL Kawasan, beberapa aktor
lain yang berperan serta dalam kelembagaan awig-awig adalah nelayan lokal, Komite
Kelautan dan Perikanan Kabupaten (KKPK), Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat,
dan Perguruan Tinggi (Tabel 5.2).
KPPL Kawasan beranggotakan wakil dari nelayan lokal, tokoh agama, tokoh
masyarakat, pemerhati lingkungan, pamswakarsa, dan wanita nelayan. Tetapi,
sampai saat ini, wakil dari nelayan budidaya, nelayan pengolah hasil laut, dan wanita
nelayan belum terlibat secara aktif dalam kepengurusan di KPPL Kawasan.
Ketidakakikutsertaan wanita nelayan ini dikarenakan, kegiatan pengawasan
perikanan sebagai wujud dari awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan
dianggap berbahaya bagi wanita.
Nelayan lokal merupakan nelayan yang berasal dari Kabupaten Lombok Timur
yang melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan baik kegiatan
penangkapan ikan, budidaya sumber daya perikanan, dan pengolahan hasil perikanan
di wilayah perairan pantai (wilayah perairan laut yang lebarnya sampai dengan empat
mil dihitung dari garis pasang surut terendah). Tetapi sampai saat ini, nelayan lokal
yang terlibat dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai hanya
nelayan perikanan tangkap.
Nelayan lokal memilik tugas dan kewenangan dalam memanfaatkan sumber
daya perikanan yang ada dan turut bertugas dalam monitoring dan penegakkan awig-
36

awig melalui kegiatan pengawasan perikanan yang dilakukan bersama-sama dengan


KPPL Kawasan dan/atau saat mereka melakukan kegiatan penangkapan. Saat
nelayan mengetahui adanya pelanggaran atas peraturan dalam awig-awig, maka
nelayan lokal ini wajib menginformasikan kegiatan pelanggaran tersebut kepada
pihak KPPL Kawasan.
KKPK merupakan lembaga informal di tingkat Kabupaten yang beranggotakan
wakil dari KPPL Kawasan, nelayan lokal, pembudidaya, wanita nelayan, perguruan

Tabel 5.2 Aktor, tugas dan kewenangan dalam awig-awig pengelolaan perikanan
pantai
Aktor Anggota Tugas dan Kewenangan
Nelayan Lokal Nelayan lokal dan pembudidaya Sebagai pemanfaat sumber daya
sumber daya perikanan perikanan pantai Kabupaten
Lombok Timur, dan membantu
dalam kegiatan pengawasan
perikanan dan penerapan
peraturan
KPPL Kawasan Wakil dari nelayan lokal, tokoh Menjaga dan mengawasi sumber
agama, tokoh masyarakat, daya perikanan, melaksanakan
pamswakarsa, pengusaha dan menegakkan awig-awig,
perikanan, pemerhati mengkoordinir sumbangan dari
lingkungan, dan wanita nelayan masyarakat, dan memberikan
masukan dalam rangka rangka
penyempurnaan awig-awig
KKPK Wakil dari KPPL Kawasan, Memberikan penilaian dan
nelayan lokal, pembudidaya, pertimbangan terhadap suatu
wanita nelayan, perguruan tingg, usulan kegiatan usaha di wilayah
unit pelaksana teknis pesisir
penangkapan ikan
Pemerintah Pemerintah Kabupaten Lombok Bertanggung jawab akan
Daerah Timur, Dinas Kelautan dan peraturan secara formal,
Perikanan, Dinas Kelautan, mengakui keberadaan awig-awig,
Pemerintah Kecamatan, penentu pembagian wilayah,
Pemerintah Desa dan Perikanan menetapkan kepenguruan KPPL
Propinsi Nusa Tenggara Barat Kawasan, menetapkan
kepengurusan KKPK,
menyediakan bantuan teknis,
melakukan koordinasi antar
pemerintah daerah, melakukan
kegiatan pengawasan, pemerintah
desa bersama dengan pemerintah
kecamatan, dan BPD menetapkan
awig-awig
Pemerintah Pusat Kementiraan Kelautan dan Penyedia dana dan bantuan teknis
Perikanan melalui program pengembangan
kelembagaan lokal, melakukan
kegiatan monitoring akan
pelaksanaan awig-wig
Perguruan Tinggi Universitas Mataram Melakukan kegiatan
pendampingan, dan pelatihan
Sumber: Data primer, Awig-awig pengelolaan perikanan pantai 2003, dan Perda nomor 9 tahun 2006,
Data Diolah
37

tinggi, dan unit pelaksana teknis penangkapan ikan. KKPK ini memiliki tugas dan
kewenangan dalam memberikan penilaian dan pertimbangan terhadap suatu usulan
kegiatan usaha di wilayah pesisir, sehingga pertemuan KKPK ini sering digunakan
sebagai tempat untuk berkoordinasi antar KPPL Kawasan.
Pemerintah daerah yang turut serta dalam awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai, meliputi pemerintah propinsi melalui Dinas Kelautan dan
Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur,
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, Pemerintah Kecamatan
dan Pemerintah Desa, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berada di
wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki tugas
dan kewenangan sebagai lembaga formal yang melakukan kegiatan pengawasan
perikanan di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Lombok Timur memiliki tugas dan kewenangan dalam melaksanakan
pengawasan perikanan secara formal; mengesahkan kepengurusan KPPL Kawasan
dan memberikan rekomendasi pada peraturan yang disepakati dalam awig-awig agar
peraturan tidak menyimpang dari peraturan formal yang berlaku; membagi wilayah
perairan; dan mengadakan penyuluhan dan pelatihan.
Pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur memiliki tugas dan kewenangan
dalam pengakuan atas awig-awig melalui penetapan peraturan daerah; pengesahan
kepengurusan KKPK; dan melakukan koordinasi antar pemerintah daerah.
Pemerintah Kecamatan, Desa dan BPD memiliki tugas dan kewenangan dalam
mengesahkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, dan turut serta
dalam kegiatan penyuluhan dan pelatihan.
Pemerintah pusat diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki
tugas dan kewenangan dalam penyedia dana dan bantuan teknis melalui program
pembangunan masyarakat pantai dan pengelolaan sumber daya perikan (costal
community development and fisheries resource management project-cofish), dan
kegiatan monitoring pelaksanaan awig-awig. Tetapi, sayangnya program iniseperti
kebanyakan program pemerintah yakni hanya terjadi beberapa tahun sajasaat
penelitian ini dilaksanakan, telah berakhir. Universitas Mataram sebagai wakil dari
pihak perguruan tinggi dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
memiliki tugas dan kewenangan dalam pendampingan, penyuluhan dan pelatihan
baik saat pembuatan peraturan dan pembukuan peraturan.
Saat ini, hanya tiga dari enam aktor yang masih aktif menlaksanakan tugas dan
kewenangan yang ada. Ketiga aktor yang masih aktif dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan yang ada antara lain nelayan lokal, KPPL Kawasan, dan pemerintah
daerah yang diwakili oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur.
Sedangkan, ketiga aktor yang lain, KKPK, pemerintah pusat, dan perguruan tinggi,
peran serta mereka lebih banyak dirasakan saat program co-fish dari pemerintah
pusat berjalan, dan saat program ini telah berakhir peran serta mereka sudah tidak
tampak di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur. Hal ini juga yang sering
menjadi kritik bahwa program oleh pemerintah pusat selalu terbatas oleh waktu
(Adhuri dan Indrawasih, 2003).
Pelaksanaan tugas dan kewenangan oleh aktor yang masih aktif pun bukan
tidak memiliki hambatan dengan berakhirnya program co-fish ini. Hal ini terlihat
dengan adanya penurunan kualitas dan kuantitas dari kegiatan pengawasan perikanan
terutama oleh KPPL Kawasan karena tidak ada lagi pemberi dana operasional
38

terbesar untuk kegiatan pengawasan perikanan, yang tersisa hanya speet boat yang
tidak dapat digunakan, karena tingginya biaya operasional. Di sisi lain, resiko
keselamtan jiwa juga dirasakan menjadi salah satu hambatan dari pelaksanaan
pengawasan perikanan. Di mana, jika nelayan lokal memperingatkan nelayan lokal
lain yang melakukan pelanggaran, maka ada kemungkinan nelayan lokal yang
memperingatkan ini yang menjadi sasaran bom dan potas, sehingga mereka
kelihangan pekerjaan.
Selain itu, ketidakaktifan wanita nelayan, nelayan budidaya, dan nelayan
pengolah hasil laut dalam kelembagaan awig-awig, menunjukkan bahwa tidak semua
aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten
Lombok Timur mendukung keberdaaan awig-awig. Ketidakikutsertaan wanita
nelayan hanya dikarenakan kegiatan pengawasan perikanan berbahaya bagi wanita.
Di sisi lain, wanita nelayan turut serta aktif dalam membatu kegiatan penagkapan
yang dilakukan oleh suami mereka. Wanita nelayan ini banyak yang berprofesi
sebagai pedagang ikan, yakni menjual hasil tangkapan suami mereka.
Sedangkan nelayan budidaya, terutama nelayan budidaya yang melakukan
kegiatan budidaya laut (seperti budidaya rumput laut, ikan kerapu, dan lain
sebagainya) juga memanfaatkan wilayah perairan. Jika tidak ada kerja sama di antara
nelayan tangkap dan nelayan budidaya, maka akan memicu konflik wilayah.
Demikian pula dengan nelayan pengolah hasil laut, di mana, nelayan pengolah hasil
laut ini memanfaatkan sumber daya laut untuk diolah menjadi ikan kering atau
dipindang, sehingga, jika hasil laut yang dijual merupakan hasil tangkapan dari bom
dan potas, hasil olahan juga akan memiliki kualitas yang buruk, sehingga nilai jual
pun tidak tinggi.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, sebagai wakil dari
pemerintah daerah yang masih aktif dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang
ada, tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangan secara maksimal karena adanya
perampingan anggaran dari pemerintah daerah sendiri, yang mengakibatkan kegiatan
penyuluhan dan pengawasan perikanan yang biasanya dapat dilakukan sebulan
sekali, saat ini hanya dapat dilakukan tiga bulan sekali, atau setahun dua kali.
Penurunan pelaksanaan tugas dan kewenangan dari para aktor yang terlibat
dalam kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur (terutama kegiatan pengawasan perikanan),
mengakibatkan masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggar terhadap awig-awig
terutama kegiatan penangkapan dengan bom dan potas yang ditandai dengan masih
ditemukan beberapa lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas (Lampiran 1)
dan hilangnya hilangnya satu pulau kecil (gili) di kawasan Sambelia.

5.5.2 Peraturan yang disepakati

Peraturan yang disepakati dalam awig-awig pengelolaan sumber daya


perikanan pantai Lombok Timur tidak hanya mengatur tentang batas pengelolaan,
kegiatan apa saja yang termasuk larangan, tetapi juga dan mengatur sanksi yang apa
yang diberikan atas suatu pelanggaran (Lampiran 3).

5.5.2.1 Batas pengaturan

Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok


Timur membagi wilayah perairan pantai di Kabupaten Lombok Timur dibagi
39

menjadi tujuh kawasan, yakni kawasan Sambelia, kawasan Pringgebaya, kawasan


Labuhan Haji, kawasan Sakra Timur, kawasan Teluk Jukung, kawasan Teluk
Serewe, dan kawasan Teluk Ekas (Gambar 5.1).
1. Kawasan Sabelia
Kawasan Sambelia meliputi wilayah perairan pantai mulai dari Labuhan
Pandan sampai Desa Obel-Obel yang terdiri dari tiga desa pantai yakni
Sambelia, Belanting, dan Obel-Obel.
2. Kawasan Pringgabaya
Kawasan Pringgabaya, meliputi wilayah perairan pantai dari Pantai Komala
Sari sampai Labuhan Lombok yang terdiri dari lima desa pantai yakni
Kerumut, Pohgading, Batuyang, Pringgabaya, dan Labuhan Lombok.
3. KPPL Kawasan Labuhan Haji
Kawasan Labuhan Haji meliputi Desa Labuhan Haji, Peneda Gandor,
Korleko, Suryawangi, dan Ijobalit.
4. KPPL Kawasan Sakra Timur
Kawasan Sakra Timur meliputi Desa Surabaya dan Desa Gelanggang.
5. KPPL Kawasan Teluk Jukung
Kawasan Teluk Jukung meliputi Desa Tanjung Luar dan Desa Pijot.
6. KPPL Kawasan Teluk Serewe
Kawasan Teluk Serewe meliputi Desa Seriwe, dan Desa Ujung.
7. KPPL Kawasan Teluk Ekas
Kawasan Teluk Ekas meliputi Desa Jerowaru, Desa Pemokong, dan Desa
Batu Nampar.
Pembagian ini dilakukan untuk kemudahan dalam pengelolaan. Di mana, setiap
kawasan terdiri dari beberapa desa dan kecamatan yang terletak di wilayah pesisir,
dan satu KPPL Kawasan.

Keterangan:
: batas wilayah kawasan
1. Kawasan Sambelia
2. Kawasan Pringgebaya
3. Kawasan Labuhan Haji
4. Kawasan Sakra Timur
5. Kawasan Teluk Jukung
6. Kawasan Teluk Serewe
7. Kawasan Teluk Ekas

Gambar 5.1 Pembagian wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur


(Adhuri 2013)

Selain batas wilayah setiap kawasan, awig-awig pengelolaan sumber daya


perikanan pantai juga mengatur zonasi pemanfaatn wilayah perairan pantai dengan
pembagian wilayah kegiatan penangkapan, kegiatan budidaya, dan kegiatan
konservasi, serta pembagian wilayah pada kegiatan penangkapan antar jenis alat
tangkap. Batas wilayah setiap kawasan dan wilayah kegiatan pemanfaatan sumber
daya perikanan pantai dapat berupa batas alami dan batas yang sengaja dibuat. Batas
alami berupa posisi karang dan/atau gili (pulau kecil). Batas buatan dapat berupa
pelampung, dan saat ini, batas buatan sudah tidak tampak, karena tidak ada
perawatan.
40

Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai juga mengatur tentang


penggunaan alat tangkap dan jenis sumber daya perikanan yang diperbolehkan dan
tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan. Batasan penggunaan alat tangkap dengan
ditetapkan larangan penggunaan bom dan potas, serta batas penggunaan alat bantu
penangkapan seperti jumlah lampu yang disesuaikan dengan kondisi sumber daya
perikanan yang ada di setiap kawasan. Batasan jenis sumber daya perikanan dengan
ditetapkan larangan penangkapan lumba-lumba dan baby fish (ikan yang belum
dewasa).
Tetapi, peraturan yang disepakati dalam awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur, belum mengatur tentang batas
kepemilikan, penggunaan alat tangkap, batas hari melaut, batas jumlah sampan dan
mesin yang diperbolehkan melaut, mengakibatkan nelayan lokal bebas menggunakan
berapapun alat tangkap yang digunakan dalam sekali kegiatan penangkapan, yang
mengakibatkan kurang kehati-hatian dalam penggunaan alat tangkap seperti bagan
sampan dan pancing yang merupakan alat tangkap yang dominan digunakan oleh
nelayan lokal.

5.5.2.2 Kesesuaian Peraturan dengan Kondisi Lokal

Kesesuaian peraturan dengan kondisi sumber daya perikanan dan kondisi


nelayan lokal ditunjukkan dengan adanya beberapa perbedaan dari peraturan yang
dibuat di setiap kawasan. sebagai contoh perbedaan peraturan di kawasan Sambelia
dan Pringgebaya (Tabel 5.3). Kedua kawasan ini saling berdekatan, tetapi sebagaian
besar wilayah kawasan Sambelia digunakan sebagai kawasan konservasi, maka
pengaturan pada kegiatan penangkapan lebih diperketat, misalnya pembatasan
jumlah penggunaan lampu sebagai alat bantu penangkapan maksimal hanya dua
buah. Sedangkan, kawasan Pringgebaya yang banyak digunakan sebagai wilayah
penangkapan ikan, penggunaan lampu diperbolehkan sampai empat buah. Demikian
pula pada sanksi yang diberikanan, setiap pelanggaran yang merusak sumber daya
perikanan dan lingkungan di kawasan Sambelia memiliki denda yang lebih besar
dibandingkan dengan kawasan Pringgebaya.
Tabel 5.3 Contoh perbedaan peraturan dalam awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai
Kawasan Sambelia Kawasan Pringgebaya
Jumlah lampu yang diperbolehkan untuk Jumlah lampu yang diperbolehkan untuk
penjala maksimal 2 buah penjala maksimal 4 buah
Menangkap ikan dengan menggunakan Menangkap ikan dengan menggunakan
kompresor dikenai denda minimal Rp. kompresor dikenai denda minimal Rp.
1.000.000,00 300.000,00
Melakukan penebangan, pengerusakan bakau, Melakukan penebangan, pengerusakan bakau,
dan pengambilan pasir laut dikenakan denda dan pengambilan pasir laut dikenakan denda
minimalRp. 200.000,00 minimal Rp. 100.000,00
Sumber: Data primer dan Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai 2003, Diolah

5.5.2.3 Pengaturan secara kolektif

Peraturan dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai telah


melibatkan semua aktor yang memanfaatkan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur, yakni nelayan lokal, tokoh agama, tokoh masyarakat,
41

pamswakarsa, pengusaha perikanan, pemerhati lingkungan dan nelayan wanita,


terutama dalam kepengurusan KPPL Kawasan, lembaga informal yang bertugas dan
berwenang dalam membuat, memonitoring dan menegakkan awig-awig.
Tetapi pada pelaksanaannya, sampai saat ini peran wanita nelayan belum
dilibatkan secara aktif dalam kepengurusan, dikarenakan adanya anggap bahwa
kegiatan pengelolaan terutama kegiatan pengawasan perikanan terlalu berbahaya
bagi wanita. Pada nelayan lokal, yang terlibat dalam kepengurusan hanya nelayan
tangkap, sedangkan nelayan budidaya, dan nelayan pengolah hasil perikanan belum
dilibatkan secara aktif dalam kepengurusan di KPPL Kawasan. Saat ini,
Pamswakarsa dan pengusaha perikanan, juga tidak diketahui keberadaanya.
Keadaan ini memperlihatkan bahwa belum semua aktor yang memanfaatkan
sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur memiliki peran secara
aktif dalam pembuatan, monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan
perikanan pantai.

5.5.2.4 Kegiatan monitoring

Peraturan dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai telah


mencantumkan kegiatan monitoring pemanfaatan sumber daya perikanan pantai.
Kegiatan monitoring dilaksanakan melalui kegiatan pengawasan perikanan dengan
semua aktor (baik formal dan informal) turut serta dalam kegiatan pengawasan
perikanan seperti nelayan lokal, KPPL Kawasan, dan pemerintah daerah melalui
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur.
Kegiatan pengawasan perikanan, saat ini telah mengalami penurunan kualitas
dan kuantitas yang dikarenakan dana operasional yang sangat tinggi. Sehingga,
kegiatan pengawasan dikonsentrasikan pada kegiatan pengawasan penangkapan ikan
dengan menggunakan bom, potas dan kompresor. Sedangkan kegiatan penangkapan
ikan yang melampaui batas zona penangkapan yang telah disepakati, kegiatan
penangkapan ikan yang dilindungi, penggunaan bagan tancap yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang disepakati, penggunaan lampu lebih dari yang telah
ditentukan, kegiatan budidaya yang tidak sesuai dengan ketentuan, pengambilan
kerang dengan cara merusak lingkungan, kegiatan penebangan dan perusakan bakau,
serta pengambilan pasir laut belum banyak dilaksanakan.
Demikian pula pada kegiatan perbaikan sumber daya perikanan dan
lingkungan juga belum dilakukan, karena sampai saat ini baik KPPL Kawasan
maupun nelayan lokal masih banyak yang beranggapan bahwa yang berkewajiban
dalam kegiatan perbaikan sumber daya dan lingkungan adalah pemerintah.

5.5.2.5 Pemberian sanksi

Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai juga telah mengatur


jenis-jenis kegiatan yang termasuk dalam pelanggaran, pemberian denda dan
penegakkan sanksi, pelaksanaan sidang atas pelanggaran yang dilakukan, dan
penyaluran denda. Jenis-jenis pelanggaran ini antara lain, penangkapan ikan dengan
bom dan potas, kegiatan penangkapan ikan yang melampaui batas zona penangkapan
yang telah disepakati, kegiatan penangkapan ikan yang dilindungi, penggunaan
bagan tancap yang tidak sesuai dengan ketentuan yang disepakati, penggunaan lampu
lebih dari yang telah ditentukan, kegiatan budidaya yang tidak sesuai dengan
42

ketentuan, pengambilan kerang dengan cara merusak lingkungan, dan kegiatan


penebangan dan perusakan bakau, serta pengambilan pasir laut.
Denda yang diberikan disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh
nelayan. Dari hanya yang berupa pengarahan bahwa kegiatan yang dilakukan telah
melanggar awig-awig yang ada, penyitaan alat tangkap dan sampan, sampai pada
denda berupa uang. Jumlah denda berupa uang yang diberikan atas pelanggaran juga
disesuaikan dengan kondisi sumber daya perikanan dan kondisi nelayan lokal.
Sebagai contoh, pada kawasan Sambelia dan kawasan Pringgebaya yang memiliki
perberdaan dalam pemanfaatan kawasan, pada pelanggaran yang sama yakni
penebangan dan pengerusakan mangrove, jika dilakukan di kawasan Sambalia akan
dikenakan denda minimal Rp.200.000,00/pohon dan diwajibkan melakukan
penanaman mangrove sebanyak yang ditebang atau dirusak. Sedangkan, jika
pelanggaran dilakukan di sskawasan Pringgabaya denda hanya dikenakan minimal
Rp.100.000,00/pohon dan diwajibkan melakukan penanaman mangrove sebanyak
yang ditebang atau dirusak.
Penegakkan sanksi dilakukan melalui pelaksanaan sidang. Sidang ini
dilakukan dengan pembetukan devisi pemutus dan devisi juri di setiap KPPL
Kawasan. Sidang dapat dilakukan dengan dua cara, yakni Sidang biasa dan Sidang
luar biasa. Sidang biasa dilaksanakan jika pelanggaran dilakukan oleh nelayan lokal
pada kawasan di mana nelayan ini berasal. Sedangkan, sidang luar biasa
dilaksanakan jika nelayan lokal melakukan pelanggaran di kawasan lain. Dengan
demikian, sidang biasa ini dilakukan oleh pengurus KPPL Kawasan di mana terjadi
pelanggaran, sedangkan sidang luar biasa melibatkan dua atau lebih KPPL Kawasan.
Sampai saat ini, penegakkan sanksi banyak dilakukan melalui sidang biasa
terutama pada pelanggaran atas penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan
potas. Sedangkan, sidang luar biasa, masih menemui beberapa kendala, karena
banyak pihak yang tidak terlibat dalam penegakkan sanksi turut serta dan/atau bukti
yang dikumpulkan kurang cukup membuktikan seorang nelayan telah melakukan
pelanggaran. Sidang dapat dilaksanakan minimal telah ada dua alat bukti
pelanggaran, dan syarat ini yang sering memberatkan dalam pelaksanaan sidang,
sehingga banyak pelanggaran yang tidak dapat diproses lebih lanjut dan pelanggar
hanya diberi pengarahan bahwa kegiatan yang dilakukan telah menyalahi peraturan
awig-awig yang telah disepakati.
Denda yang terkumpul dari hasil sidang, berdasarkan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai dimanfaatkan untuk kegiatan operasional KPPL
Kawasan, kegiatan sosial, dan perbaikan lingkungan. Tetapi sampai saat ini,
penyaluran denda banyak dimanfaatkan untuk kegiatan sosial seperti pembangunan
masjid, sedangkan untuk kegiatan operasional KPPL Kawasan, dan untuk perbaikan
lingkungan masih kurang mendapatkan perhatian.

5.5.2.6 Mekanisme Penyelesaian Konflik

Mekanisme penyelesaian konflik pada penelitian ini, dibatasi pada parameter


jenis konflik dan penyelesaian konflik. Awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai masih menitikberatkan kepada konflik dan penyelesaian konflik
dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, yakni dengan adanya pengaturan pada
zonasi penangkapan, zonasi untuk wilayah bagan tancap, dan budidaya, dan
penyelesaian konflik dengan pelaksanaan sidang.
43

Sedangkan penyelesaian konflik kepentingan antar aktor yang sering terjadi


karena adanya perbedaan latar belakang pendidikan dari para aktor terutama yang
berperan serta dalam kepengurusan KPPL Kawasan (di mana, mereka memiliki latar
belakang yang bervariasi dari berpendidikan SD sampai perguruan tinggi, dengan
konsentrasi keilmuan yang beragam) belum banyak dilaksanakan. Sampai saat ini,
penyelesaian konflik kepentingan dilakukan melalui kegiatan pertemuan rutin oleh
KPPL Kawasan, dan/atau kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur. Tetapi, kegiatan ini
mengalami penurunan terutama dalam kuantitas, yang biasanya dapat dilakukan
sebulan sekali, karena adanya kekurangan anggaran, maka hanya dilakukan setahun
sekali saja atau setahun dua kali.

5.5.2.7 Pengakuan dari peraturan formal

Pengakuan dari peraturan formal terhadap awig-awig pengelolaan sumber daya


perikanan pantai ditunjukkan dengan ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun
2006 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai Secara Parisipatif oleh
pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur.
Selaian itu, pengakuan dari peraturan formal juga ditunjukkan dengan adanya
pengakuan KPPL Kawasan sebagai lembaga informal yang membuat, memonitoring,
dan menegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai melalui
pengesahan Surat Keputusan (SK) Kepengurusan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Lombok Timur (Lampiran 4).
Selain ketujuh kriteria dalam design prinsciples (Ostrom, 1990), peraturan
yang disepakati dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan juga mengatur
tentang pembagian hak kepemilikan (Schlager dan Ostrom, 1992) (Tabel 5.4). Tabel
5.4 memperlihatkan nelayan lokal memiliki hak akses, hak memanfaatkan, dan hak
mengelola sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur. Keadaan ini
didukung oleh nelayan lokal yang terlibat secara aktif dalam pembuatan peraturan
dalam awig-awig melalui perwakilan yang duduk di kepengurusan KPPL Kawasan,
dan tugas pembantuan dalam memonitoring, dan penegakkan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai melalui kegiatan pengawasan perikanan.

Tabel 5.4 Pemetaan hak kepemilikan berdasarkan Schlager dan Ostrom (1992)
Aktor Hak Akses dan Hak manajemen Hak Eksklusif Hak
memanfaatkan Alienasi
Nelayan lokal
KPPL Kawasan
Pemerintah Daerah
Sumber: Data primer, Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai 2003 dan Perda nomor
9 tahun 2006, Diolah

KPPL Kawasan yang beranggotakan wakil dari nelayan lokal, tokoh


masyarakat, tokoh agama, pemerhati lingkungan, pamswakarsa, pengusaha perikanan
dan wanita nelayan, mempunyai hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumber
daya perikanan pantai, serta memangemen, karena tugas dan kewenangan KPPL
Kawasan ini adalah membuat awig-awig, memonitoring, dan menegakkan peraturan
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai jika terjadi pelanggaran.
Pemerintah daerah memiliki hak managemen, hak eksklusif, dan hak alienasi.
Hak managemen melalui tugas dan kewenangan dalam pengakuan secara formal dari
44

awig-awig pengelolaan perikanan pantai, tugas dan kewenangan dalam pembagian


kawasan perikanan, sebagai pemberi rekomendasi sebelum awig-awig ditetapkan,
serta pemerintah desa dan kecamatan turut serta dalam pengesahan awig-awig. Hak
eksklusif dan alienasi, ini berkaitan dengan tugas dan kewenangan pemerintah daerah
sebagai lembaga formal yang memiliki hak dan kewenangan atas sumber daya alam
yang dimiliki demi kesejahteraan masyarakatnya.
Hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan
pantai di Kabupaten Lombok Timur melalui analisis sitasi aksi, aktor, dan peraturan
yang disepakati menunjukkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
belum berjalan secara efektif baik pada proses pembuatan, isi peraturan yang
disepakati, dan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan sumber
daya perikanan pantai.
Ketidakefektifan proses pembuatan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan ini terlihat bahwa belum semua aktor yang memanfaatkan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur turut serta secara aktif. Hal ini
ditandai dengan ketidakikutsertaan nelayan budidaya, nelayan pengolah hasil
perikanan dan wanita nelayan di kepengurusan KPPL Kawasan yang merupakan
lembaga informal yang bertugas dan berwenang dalam membuat, memonitoring, dan
menegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai.
Ketidakefektifan isi peraturan yang disepakati dalam awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai ini, terlihat dengan masih lemah peraturan yang
disepakati dalam memberikan batasan, terutama tanpa ada batasan pada jumlah
pemanfaat, jumlah alat tangkap, jumlah sampan yang diperbolehkan untuk dimiliki
dan dioperasikan dalam satu kali kegiatan penangkapan yang dilakukan. Hal ini
memicu pada kegiatan penangkapan sumber daya perikanan tanpa kehati-hatian dan
tanpa memperdulikan kondisi sumber daya perikanan yang ada, karena nelayan lokal
diberikan kebebasan dalam menggunakan teknologi dalam pengambilan manfaat dari
sumber daya perikanan yang ada.
Ketidakefektifan dari monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai sebagai wujud dari pelaksanaan awig-awig, terlihat
dari kegiatan monitoring dan penegakkan peraturan yang disepakati lebih ditekankan
pada kegiatan pengawasan perikanan terutama pada kegiatan pelanggaran
penggunaan bom dan potas dalam kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan
pantai Kabupaten Lombok Timur. Sedangkan kegiatan perbaikan dan perlindungan
akan sumber daya perikanan dan lingkungan, masih kurang mendapatkan perhatian.
Selain itu, adanya disinsentif dari kegitan pengawasan perikanan yang disebabkan
resiko keselamatan jiwa yang tinggi. Keadaan ini mengakibatkan masih ditemukan
beberapa lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas, serta hilangnya salah satu
pulau kecil di kawasan Sambelia.

5.3 Simpulan

Hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan


pantai di Kabupaten Lombok Timur menunjukkan bahwa ketidakefektifan
kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai dikarenakan
ketidakefektifan pada proses pembuatan awig-awig, peraturan yang disepakati, dan
kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan
pantai.
6. DAMPAK KELEMBAGAAN AWIG-AWIG TERHADAP
SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI DI KABUPATEN
LOMBOK TIMUR

ABSTRAK
Pemanfaatan akan sumber daya perikanan sebagai sumber daya alam yang
bersifat CPR cenderung kepada pemanfataan secara open access. Banyak
pengelolaan dilakukan untuk mengatur pemanfaatan pada sumber daya perikanan
seperti kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
Kabupaten Lombok Timur. Bagaimana suatu pengelolaan dilaksanakan berdampak
pada kondisi sumber daya perikanan yang dikelola. Pada bagian ini, peneliti
menfokuskan pada evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur melalui pendekatan bioekonomi
surplus produksi GS, analisis degradasi dan depresiasi, serta analisis efisiensi DEA.
Hasil analisis data perikanan tahun 2002-2011 dan kegiatan penangkapan oleh
nelayan lokal, menunjukkan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur masih belum berjalan secara efektif,
karena upaya penangkapan yang mengalami peningkatan setiap tahun diiringi oleh
produksi sumber daya perikanan yang terus menurun, nilai produksi aktual telah
melebihi nilai MSY, nilai upaya penangkapan aktual mendekati titik perpotongan
TR-TC yang ditunjukkan dengan penurunan rente aktual (kerugian yang terus
meningkat), nilai degradasi dan nilai depresiasi telah mendekati nilai ambang batas
degradasi, dan penggunaan teknologi melebihi kapasitas input untuk mendapatkan
per satuan output dalam kegiatan penangkapan.

Kata Kunci: awig-awig, bioekonomi, degradasi dan depresiasi, dan efisiensi

6.1 Pendahuluan

Pengelolaan sumber daya alam dipengaruhi pada bagaimana kondisi sumber


daya alam yang dikelola, kondisi pemanfaat sumber daya baik secara langsung
maupun tidak langsung, dan teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumber
daya tersebut (Ostrom et al. 1994; Dolsak dan Ostrom 2003). Kondisi sumber daya
alam ini dapat meliputi ukuran, daya dukung sumber daya alam dan lingkungan, dan
kualitas dari sumber daya alam (Mokhahlane 2009).
Pemahaman kondisi sumber daya alam sangat penting baik bagi pemanfaat
langsung sumber daya alam maupun pemanfaat tidak langsung. Pemanfaat langsung
merupakan pengguna yang memanfaatkan langsung jasa sumber daya alam, seperti
nelayan sebagai pemanfaat langsung sumber daya perikanan. Pemanfaat tidak
langsung ini lebih ditujukan pada pengguna yang memiliki kepentingan dalam
pengelolaan, seperti pemerintah, universitas, dan pembuat kebijakan. Sehingga,
ketidaktepatan dalam pemahaman pada sumber daya alam juga berdampak bagi
kedua pengguna tersebut. Misalkan, pada pemanfaatan langsung sumber daya
perikanan, seperti nelayan, jika nelayan memiliki informasi kondisi sumber daya
46

perikanan yang kurang tepat, maka akan menyebabkan pada konflik antar nelayan
seperti konflik teknologi dan konflik wilayah (Ostrom et al. 1994).
Sedangkan, ketidaktepatan pemahaman pada sumber daya perikanan oleh
pemanfaat tidak langsung seperti pemerintah maupun pembuat kebijakan, maka akan
mengarah kepada misleading dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan. Dan,
bagaimana pelaksanaan pengelolaan sumber daya perikanan ini dapat mempengaruhi
bagaiman sumber daya perikanan ini dimanfaatkan (Dolsak dan Ostrom 2003).
Selain pengetahuan dan pemahaman kondisi fisik sumber daya perikanan,
pengetahuan dan pemahaman kondisi pemanfaat sumber daya perikanan ini yang
ditekankan pada kondisi sosial dan ekonomi dari pemanfaat langsung sumber daya
alam juga sangat penting dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Sebagai contoh,
bagaimana kondisi sosial-ekonomi dari nelayan ini akan mempengaruhi bagaimana
preferensi nelayan tersebut akan sumber daya perikanan, dan kebiasaan-kebiasaan
yang dipilih dalam pemanfaatan sumber daya perikanan seperti pemilihan waktu
penangkapan, pemilihan wilayah penangkapan, dan seberapa banyak sumber daya
perikanan yang akan diambil dalam sekali melaut (Ostrom et al. 1994).
Pengetahuan dan pemahaman akan kondisi sumber daya alam dan kondisi
sosial ekonomi pemanfaat sumber daya ini akan mempengaruhi bagaimana teknologi
yang dipilih dalam mengambil manfaatkan sumber daya alam, seperti pemilihan jenis
perahu, alat tangkap, dan alat bantu penangkapan. Penggunaan teknologi ini juga
dapat berdampak langsung terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan (Dolsak
dan Ostrom 2003).
Berdasarkan informasi tersebut di atas, maka peneliti memandang penting
untuk mengevaluasi dampak awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
terhadap sumber daya perikanan pantai. Pada penelitian ini, evaluasi dampak
kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan dilakukan dengan
pendekatan analisis bioekonomi surplus produksi GS, analisis degradasi dan
depresiasi sumber daya perikanan, dan analisis efisiensi DEA dengan mengikuti
langkah-langkah yang dikembangkan oleh Anna (2003), Fauzi dan Anna (2005),
Fauzi (2010), dan Fauzi (2010).

6.2 Tinjauan Pustaka

6.2.1 Ekonomi Sumber Daya Perikanan

Salah satu pendekatan secara kuantitatif untuk memahami bagaimana kondisi


sumber daya perikanan, kondisi pemanfaat sumber daya perikanan dan teknologi
yang digunakan dalam mengambil manfaat dari sumber daya perikanan, yakni
melalui pendekatan analisis bioekonomi surplus produksi yang dikembangkan oleh
Gordon-Schaefer (bioekonomi GS). Pendekatan bioekonomi GS ini didasarkan pada
pemahaman bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan telah mengalami tangkap
lebih (overfishing) dan tragedy of the common-Hardin. Gordon mengembangkan
model biologi perikanan Schaefer (1954), yang saat ini dikenal dengan konsep
maximum sustainable yield (MSY), dengan memasukkan faktor-faktor ekonomi ke
dalam model seperti harga dan biaya (Gordon 1954; Fauzi 2010; dan Fauzi 2010).
Secara teori, model bioekonomi berkembang untuk mencoba menjelaskan
hubungan antara produksi sumber daya alam yang dapat diperbaharui dengan usaha
pemanfaatan atas sumber daya alam tersebut. Secara sederhana, model ini mencoba
untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara rata-rata produksi pada sisi stok
47

sumber daya, upaya pemanfaatan pada sisi biaya, dan bagaimana hubungan
keduanya dengan percepatan pemanfataan sebagai akibat dari keuntungan yang
diterima dari hasil penjualan sumber daya tersebut. Pada kegiatan penangkapan ikan,
hubungan sosial-ekonomi yang terbentuk di antara pemanfaat sumber daya
perikanan, merupakan salah satu faktor penting, tidak hanya untuk pertukaran
informasi tentang kondisi sumber daya perikanan, tetapi juga menyangkut tentang
seberapa keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan penangkapan ikan tersebut
(Gordon 1954; Fauzi, 2010).

6.2.2 Efisiensi Kegiatan Perikanan Tangkap

Beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan metode untuk mengetahui


bagaimana kondisi teknologi yang digunakan pada kegiatan pemanfatan sumber daya
perikanan, apakah telah efisien secara biologi dan ekonomi, melalui analisis efisiensi
data envelopment analysis (DEA) (Fare et al. 2000; Anna 2003; Fauzi dan Anna
2005; Fauzi 2010; Hien 2011).
Penggunaan teknologi dapat mempengaruhi secara langsung bagaimana
sumber daya dimanfaatkan (Dolsak dan Ostrom 2003). Dengan demikian, informasi
tentang bagaimana teknologi yang digunakan juga sangat penting dalam pengelolaan
sumber daya perikanan. Analisis efisensi yang berkaitan dengan kegiatan penangkan
sumber daya ikan, digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk mengestimasi dan
menilai kapasitas (capacity) dan kapasitas pemanfaat (capacity utilization-CU).
Penilaian kapasitas, dimaksudkan pada kapasitas maksimal dari output yang dapat
diproduksi dari kegiatan penangkapan ikan (Fare et al. 2000). Sedangkan CU
dimaksudkan pada pengukuran tingkat penggunaan input relatif terhadap output yang
dihasilkan dan dapat dijadikan sebagai indikator seberapa efisien alat tangkap yang
digunakan (Fauzi 2010).

6.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur,


Nusa Tenggara Barat pada bulan Juni-Juli 2013. Penelitian ini menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer berupa kegiatan dan kebutuhan yang
diperlukan dalam melakukan kegiatan penangkapan oleh nelayan lokal, dikumpulkan
melalui wawancara langsung dengan nelayan lokal di Kabupaten Lombok Timur
yang melakukan kegiatan penangkapan di wilayah perairan pantai. Pengambilan
sample pada penelitian ini, menggunakan snow-ball sampling yang dilakukan dengan
mengadaptasi Reed et al. (2009) dan Prell et al. (2009), yakni dengan menentukan
terlebih dahulu beberapa nelayan lokal yang kemungkinan terlibat dalam
kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur dan
melakukan wawancara mengenai informasi kegitan penangkapan yang mereka
dilakukan, kemudian dari informasi-informasi yang didapat, ditentukan beberapa
nelayan lokal berikutnya baik yang terlibat secara langsung dalam kelembagaan
awig-awig maupun nelayan lokal yang tidak terlibat secara langsung. Selain melalui
wawancara langsung, data primer juga dilakukan melalui pengumpulan data secara
observasi dengan mendeskripsikan apa yang ada di lapangan, karena data observasi
digunakan untuk mendukung hasil data wawancara.
48

Data sekunder berupa data perikanan, dan data-data pendukung lainnya


diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, antara lain, Badan
Pusat Statistik (BPS); BPS Kabupaten Lombok Timur; Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP); Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur; dan
hasil-hasil penelitian sebelumnya baik yang berupa tesis, desertasi, maupun jurnal-
jurnal nasional dan international.

6.4 Metode Analisis Data

Data-data yang didapat kemudian dilakukan analisis bioekeonomi surplus


produksi GS, analisis degradasi dan depresiasi, dan analisis efisiensi DEA. Analisis
ini dilakukan untuk mengevaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap kondisi
sumber daya perikanan pantai, kondisi pemanfaat sumber daya perikanan pantai dan
kondisi teknologi yang digunakan oleh nelayan lokal (Gambar 3.3). Analisis
bioekonomi melalui pendekatan surplus produksi GS, analisis depresiasi dan analisis
DEA pada penelitian ini mengikuti langkah-langkah yang dikembangkan oleh Fare et
al. (2000), Anna (2003), Fauzi dan Anna (2005), Fauzi (2010), dan Fauzi (2010).

6.4.1 Bioekonomi Surplus Produsen

Pendekatan model bioekonomi surplus produksi GS pada penelitian ini,


dengan mengasumsikan pertumbuhan biomas mengikuti fungsi logistik:


= = 1 (1)
Pertumbuhan biomasa tersebut di atas berlaku tanpa adanya gangguan atau
penangkapan oleh manusia. Jika kemudian produksi perikanan oleh manusia
diasumsikan tergantung dari input (upaya) yang digunakan, jumlah biomas, serta
kemampuan teknologi atau fungsi penangkapan diasumsikan bersifat Cobb-
Douglass:
= (2)
x adalah biomas, E adalah input yang digunakan untuk memanen ikan, q, r, dan K
adalah parameter biologi yang masing-masing menggambarkan koefisien daya
tangkap, pertumbuhan, dan daya dukung lingkungan. Maka kurva pertumbuhan di
atas akan berubah menjadi:


= 1

= 1 (3)
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya
perikanan adalah adanya variable biomasa yang tidak bisa diamati, sementara yang
tersedia hanya data produksi (h) dan jumlah input (E) misalnya jumlah kapal, jumlah
trip, atau jumlah hari melaut.
Kendala ini kemudian diatasi dengan mengasumsikan kondisi ekologi dalam

keadaan keseimbangan = 0 , sehingga persamaan (3) dapat dipecahkan untuk
mencari nilai biomas () sebagai fungsi dari input, atau:

= 1 (4)
Pensubstitutian persamaan di atas ke dalam persamaan (2) akan menghasilkan:

= 1 (5)
49

Persamaan di atas berbentuk kuadratik terhadap input. Dalam model


bioekonomi, keadaan ini dikenal dengan istilah Kurva Upaya-Lestari. Namun,
dengan membagi kedua sisi persamaan dengan variable E, akan diperoleh persamaan
linear yang disederhanakan dalam bentuk:
2

=
= (6)
Di mana U adalah produksi per satuan input, atau dikenal dengan CPUE (catch per
2
unit effort), = , = .
Dengan meregresikan secara linear variable U dengan E dari data time series
produksi dan upaya untuk mendapatkan nilai dan , maka akan dapat ditentukan
nilai maximum sustainable yield (MSY) pada tingkat upaya ( ) dan produksi
( ).

= 2 (7)
2
= 4 (8)
Meregresikan persamaan (6) bukan saja menimbulkan masalah dari sisi
metodologi, namun juga menyembunyikan beberapa informasi penting menyangkut
pendugaan sumber daya, serta tidak dipenuhinya syarat-syarat stasioner dari data urut
waktu yang menjadi basis perhitungan parameter tadi. Menyadari kekurangan ini,
Scott Gordon kemudian menambahkan nuansa ekonomi ke dalam model Schaefer
dengan mendefinisikan bahwa pengelolaan sumber daya ikan haruslah memberikan
manfaat ekonomi (dalam bentuk rente ekonomi) yang merupan selisih dari
penerimaan yang diperoleh dari ekstraksi sumber daya perikanan dengan biaya yang
dikeluarkan, atau dapat dituliskan ke dalam bentuk persamaan:
=
2
= 2 (9)
Dengan p adalah harga output ikan dan c adalah biaya per satuan input (konstan).
Pada penelitian ini, pendugaan parameter koefisien biologi dilakukan melalui
pendekatan yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto, dan Pooley dikenal dengan
model CYP. Pendekatan parameter biologi ini dipilih karena parameter ini sesuai
untuk kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan lebih dari satu jenis alat
tangkap (multi gears) dengan hasil tangkapan lebih dari satu spesies (multi species),
seperti pada kegiatan penangkapan di wilayah perairan tropis. Selain itu, pendekatan
ini mendukung data perikanan yang terbatas dan upaya penangkapan dengan
menggunakan pendekatan jumlah hari melaut (Clarke et al 1992; Tai et al. 2000;
Fauzi dan Anna 2005). Persamaan CYP secara matematis ditulis sebagai berikut:
2 (2)
(+1 ) = () + (2+) ( )
(2+)
( + +1 )
(2+)
(10)

6.4.2 Degradasi dan Depresiasi

Analisis degradasi dan depresiasi sumber daya perikanan pantai yang


dilakukan melalui pendekatan laju degradasi dan laju depresiasi melalui pendekatan
yang dikembangkan oleh Anna (2003). Pendekatan laju degradasi dilakukan dengan
cara menghitung koefisien degradasi berdasarkan persamaan dibawah ini:
1
= (11)
1+
50

Dengan: = Laju Degradasi


= Produksi sustainable
= Produksi aktual

Untuk laju depresiasi pada dasarnya sama dengan laju degradasi, hanya
menggunakan parameter-parameter ekonomi, sebagai berikut:
1
= (12)
1+
Dengan: = Laju Depresiasi
= Rente sustainable
= Rente aktual
6.4.3 Efisiensi DEA

Analisis efisiensi dari teknologi yang digunakan oleh nelayan lokal Kabupaten
Lombok Timur, pada penelitian ini, melalui pendekatan Data Envelopment Analysis
(DEA). Pendekatan ini berorientasi pada input dan output yang dikembangkan
pertama kali oleh Charnes, Cooper, dan Rhode (1978) (Fare et al. 2000). Anna
(2003) dan Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa di dalam DEA, efisiensi
diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala
relatif efisien seluruh unit tidak boleh melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi
dalam DEA merupakan solusi dari persamaan :

max = (13)

Dengan kendala:


1 untuk setiap unit ke-j
Dengan: = pembobotan untuk output
= jumlah output
= pembobotan untuk input
= jumlah input

Pemecahan masalah pemrograman matematis di atas akan menghasilkan nilai


yang maksimal, sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah ke efisiensi. Jika,
nilai = 1, unit ke-m tersebut dikatakan efisien relatif terhadap unit yang lain.
Sebaliknya, jika nilai relatif lebih kecil dari 1, unit lain dikatakan lebih efisien relatif
terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimisasi unit m.

6.5 Hasil dan Pembahasan


6.5.1 Bioekonomi Surplus Produksi

Sumber daya perikanan yang digunakan untuk analisis bioekonomi pada


penelitian ini adalah jenis-jenis ikan demersal, yang dikenal dengan sebutan
demersalan oleh nelayan lokal. Berdasarkan hasil observasi di lapangan,
menunjukkan, ikan demersal yang banyak ditangkap adalah ikan cucut, kakap dan
kerapu. Sumber daya ikan ini sesuai dengan kondisi wilayah perairan Kabupaten
Lombok Timur yang berkarang dan landai. Sumber daya ikan ini memiliki daya
gerak yang terbatas, yakni menghabiskan hampir setiap fase hidupnya di atau dekat
51

dasar laut dan sumber daya ikan kakap dan kerapu melakukan fase bertelur pada
wilayah perairan yang berkarang (Hallacher 2003; WWF-Indonesia 2009; Mazurek
2011; Sudrajat 2011) (Lampiran 5).
Pemanfaat sumber daya perikanan pantai dan teknologi pada penelitian ini
dibatasi pada nelayan lokal yang menggunakan sampan dan mesin tempel dengan
alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan yang melakukan kegiatan
penangkapan di wilayah perairan pantai (perairan laut yang lebarnya sampai dengan
4 mil dihitung dari garis pasang surut terendah) di Kabupaten Lombok Timur.
Nelayan ini dipilih karena mendominasi nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur.

6.5.1.1 Estimasi Produksi Aktual Sumber Daya Ikan Demersal

Tahap awal analisis bioekonomi surplus produsen GS pada penelitian ini


dengan melakukan dekomposisi estimasi produksi aktual sumber daya ikan demersal.
Estimasi produksi aktual dilakukan dengan menghitung sharing produksi ikan cucut,
kakap, dan kerapu dari alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan (Tabel 6.1;
Gambar 6.1; dan Lampiran 6).
Total sharing ikan demersal pada Tabel 6.1 menunjukkan telah terjadi
penurunan nilai produksi dari alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan. Sharing
produksi tertinggi terjadi pada tahun 2004 dengan nilai 916,40 ton, sedangkan
sharing produksi terendah pada tahun 2011 dengan nilai 160,11 ton. Secara
keseluruhan, penurunan sharing produksi ini telah terjadi semenjak tahun 2005,
dengan rata-rata nilai penurunan sharing produksi sebesar 85%.
Tabel 6.1 Hasil estimasi produksi aktual sumber daya ikan demersal
Produksi Aktual (ton)

Tahun Sharing Sharing Bagan Total Sharing

Pancing Rawai (ton) Sampan (ton) (ton)

2002 726,71 22,33 749,04


2003 878,36 33,00 911,36
2004 884,10 32,30 916,40
2005 392,28 10,05 402,33
2006 496,52 12,86 509,38
2007 424,98 12,02 437,00
2008 288,15 10,18 298,33
2009 248,75 7,44 256,19
2010 210,83 7,30 218,13
2011 155,56 4,55 160,11
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur 2002-2011, Data Diolah

Gambaran secara grafik akan pergerakan penurunan produksi aktual yang


terjadi selama tahun 20022011 dapat dilihat pada Gambar 6.1. Pergerakan produksi
aktual dari alat tangkap bagan sampan tidak terlalu menunjukkan adanya perubahan
yang terlalu besar. Penurunan pergerakan produksi dari alat tangkap pancing rawai
terlihat lebih jelas terutama pada tahun 2004 menuju 2005.
52

1000,00 Produksi Pancing Rawai (ton)


Produksi Bagan Sampan (ton)

ton
500,00

0,00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun

Gambar 6.1 Total share produksi ikan demersal berdasarkan alat tangkap

Keadaan ini juga dirasakan oleh nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur.
Beberapa tahun yang lalu, untuk menangkap ikan demersalan dengan pancing rawai
sederhana dalam 1 hari bisa mendapatkan ikan sebanyak 8-10 kg dan kegiatan
penangkapan hanya dilakukan di wilayah yang tidak jauh dari darat, yakni tidak lebih
dari 2 mil. Tetapi saat ini, dalam 1 hari melaut hanya mendapatkan ikan sebanyak 3-
4 kg saja, dan saat musim paceklik, 1 hari melaut bisa tidak mendapatkan ikan sama
sekali, walau harus berkeliling sepanjang perairan pantai dan jika kondisi kapal dan
cuaca memungkinkan penangkapan dilakukan lebih ke tengah yakni antara 3-4 mil.
Kesulitan dalam melakukan kegiatan penangkapan ini, diyakini karena makin
maraknya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bom dan potas. Sedangkan,
keadaan alam yang tidak menentu seperti gelombang tinggi, angin kencang, dan
hujan sudah dianggap bukan lagi halangan untuk melakukan kegiatan penangkapan.

6.5.1.2 Standardisasi Upaya Penangkapan

Tahap kedua analisis bioekonomi GS pada penelitian ini adalah melakukan


standardisasi upaya penangkapan (Tabel 6.2 dan Lampiran 7). Standardisasi upaya
penangkapan ini dilakukan dengan mengestimasi jumlah hari melaut per tahun dari
alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan, dikarenakan nelayan lokal melakukan
one day trip dalam kegiatan penangkapan. Selain itu, para ahli perikanan
mengganggap bahwa jumlah hari melaut lebih tepat sebagai alat ukur fishing effort
(upaya penangkapan) (Anna 2003).
Tabel 6.2 Hasil estimasi standardisari upaya penangkapan
Upaya Penangkapan
Pancing Bagan Indeks Bagan Standarisasi Upaya Total Upaya
Tahun
Rawai Sampan Sampan Bagan Sampan Penangkapan
(hari melaut) (hari melaut) (hari melaut) (hari melaut)
2002 233.688 8.112 0,89 7.179,37 240.867,37
2003 260.652 9.048 1,08 9.792,82 270.444,82
2004 236.434 7.744 1,12 8.637,50 245.071,50
2005 297.792 8.640 0,88 7.626,31 305.418,31
2006 297.792 9.216 0,84 7.713,37 305.505,37
2007 358.488 10.094 1,00 10.142,01 368.630,01
2008 358.488 9.984 1,27 12.660,60 371.148,60
2009 329.160 9.360 1,05 9.841,72 339.001,72
2010 354.480 10.080 1,22 12.274,90 366.754,90
2011 354.480 10.752 0,97 10.378,73 364.858,73
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur 2002-2011, Data Diolah
53

Hasil standardisasi menunjukkan bahwa upaya penangkapan terus bertambah


seiring bertambahnya tahun. Keadaan ini juga dirasakan oleh nelayan lokal, yakni
mereka harus meningkatkan upaya setiap tahun untuk mendapatkan minimal hasil
yang sama dengan hasil tahun sebelumnya (Tabel 6.2).
Jika nilai upaya aktual ini dibandingkan dengan nilai produksi aktual sumber
daya ikan demersal (Gambar 6.2), maka terlihat peningkatan upaya penangkapan
setiap tahun mengakibatkan nilai produksi sumber daya perikanan mengalami
penurunan menurun, membuat nelayan untuk meningkatkan upaya penangkapan.
Peningkatan upaya penangkapan, menyebabkan penurunan stok ikan.

1500,00 400

300
1000,00 Produksi Aktual (ton) ribu hari
ton

200 melaut
Upaya Aktual (hari melaut)
500,00
100

0,00 0
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun

Gambar 6.2 Grafik perbandingan upaya dan produksi aktual tahun 2002-2011

6.5.1.3 Parameter Biologi

Tahap ketiga analisis bioekonomi pada penelitian ini adalah menentukan nilai
parameter biologi seperti parameter pertumbuhan (r), koefisien daya tangkap (q), dan
daya dukung sumber daya perikanan dan lingkungan (carrying capacity) (K).
Estimasi parameter biologi ini dilakukan dengan pendekatan metode CYP yang
dibantu oleh perangkat microsoft office excel 2007 (Tabel 6.3 dan Lampiran 7).
Berdasarkan estimasi parameter biologi didapatkan parameter pertumbuhan (r)
sebesar 1,3325; koefisien daya tangkap (q) sebesar 0,000196179; dan carrying
capacity (K) sebesar 639,038ton.

Tabel 6.3 Hasil estimasi parameter biologi dengan CYP


Parameter Nilai
r 1,332584055
q 0,000196179
K 639,0383151 ton

Regression Statistics
Multiple R 0,917609647
R Square 0,842007465
Adjusted R Square 0,789343286
Standard Error 0,338600696
Observations 9
54

6.5.1.4 Estimasi Biaya

Tahap keempat analisis bioekonomi pada penelitian ini adalah melakukan


estimasi biaya. Estimasi total biaya dihitung dari biaya rata-rata per tahun yang
dikeluarkan oleh nelayan pancing dan nelayan bagan sampan dalam melakukan
kegiatan penangkapan one day trip antara lain biaya untuk makan, bensin, dan es
(Tabel 6.4).
Tabel 6.4 Rincian kebutuhan melaut
Harga (Rp.)
No Kebutuhan Melaut Lainnya Jumlah
Satuan Total
1 Es 10 kg 500,00 5.000,00
2 Bensin 15 l 6.000,00 90.000,00
3 Bahan Pangan (Nasi Bungkus) 1 bungkus 5.000,00 5.000,00
Total Pengeluaran Kebutuhan Melaut Lainnya 100.000,00
Sumber: Data Primer, Diolah

Total biaya/upaya didapatkan dengan membagi total biaya dengan total upaya.
Kemudian nilai ini dikalikan dengan rasio landing ikan demersal tahun 2002 (pada
penelitian ini menggunakan based line tahun 2002). Dengan demikian didapatkan
nilai real cost per unit standar upaya penangkapan tahun 2002 sebesar Rp. 2.079,15.
Untuk mendapatkan nilai biaya series dari tahun 2002-2011, dilakukan penyesuaian
biaya unit standarisasi upaya penangkapan tahun 2002 dengan indeks harga
konsumen tahunan dari Badan Pusat Statistik (Tabel 6.5).
Tabel 6.5 Hasil estimasi biaya melaut dari alat tangkap pancing dan bagan sampan
Biaya/Upaya
Rata-Rata Biaya Rata-RataAlat Total Biaya Total Biaya/Upaya
Nelayan (Rp./hari
Per Tahun (Rp.) Tangkap (unit) (Rp./unit) (Rp./hari melaut)
melaut)

Pancing Rawai 30.240.000,00 1001 30.258.144.000,00 18.623,37 2.079,15

Bagan Sampan 37.320.000,00 30 1.128.379.156,80


Sumber: Data Primer, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur (2002-2011), Badan
Pusat Statistik (2002-2011), Data Diolah

Data harga didapatkan selain dari data primer juga dengan melakukan
perhitungan rataan geometric dari data produksi Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Lombok Timur (Tabel 6.6). Tabel 6.6 memperlihatkan bahwa pada nilai
real price dan real cost terus mengalami kenaikan dengan rata-rata real price sebesar
21,42 juta rupiah dan rata-rata real cost sebesar 0,25 juta rupiah. Hasil ini juga
mendukung hasil analisis pada estimasi produksi aktual sumber daya ikan demersal
dan standarisasi upaya, yakni dengan penurunan sumber daya ikan demersal,
menunjukkan terjadi kelangkaan sumber daya ikan demersal, yang mengakibatkan
peningkatan harga ikan demersal di sisi harga, dan peningkatan upaya kegiatan
penangkapan di sisi biaya.
55

Tabel 6.6 Hasil estimasi real price dan real cost tahun 2002-2011
Tahun Real Price (Juta Rp.) Real Cost (Juta Rp./hari melaut)

2002 17,55 0,21


2003 18,31 0,22
2004 19,19 0,23
2005 21,33 0,25
2006 23,99 0,28
2007 25,63 0,30
2008 23,09 0,27
2009 20,66 0,24
2010 22,21 0,26
2011 23,76 0,28
Sumber: Data Primer, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur (2002-2011),
Badan Pusat Statistik (2002-2011), Data Diolah

6.5.1.5 Tangkap Lestari (Sustainable Yield)

Tahap kelima analisis bioekonomi pada penelitian ini adalah melakukan


estimasi tangkap lestari (sustainable yield). Penentuan nilai tangkap lestari
menggunakan parameter biologi yang telah didapatkan pada analisis parameter
biologi. Langkah pertama dengan melakukan perbandingan antara tangkap lestari
dengan tangkap aktual. Hal ini dilakukan untuk melihat keragaman dari produksi
perikanan selama periode waktu 2002-2011 (Tabel 6.7 dan Gambar 6.3).

Tabel 6.7 Hasil estimasi produksi aktual dan produksi lestari


Produksi
Tahun
Aktual (ton) Lestari (ton)
2002 749,04 211,82
2003 911,36 227,69
2004 916,40 214,18
2005 402,33 244,23
2006 509,38 244,27
2007 437,00 268,59
2008 298,33 269,42
2009 256,19 258,01
2010 218,13 267,96
2011 160,11 267,32
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2002-2011, Data Diolah

Tabel 6.7 dan Gambar 6.3 menunjukkan selama periode 2002-2011, nilai
produksi aktual ikan demersal di Kabupaten Lombok Timur selalu berada di atas
produksi lestari. Kondisi ini mendukung hasil analisis-analisis sebelumnya, bahwa
produksi sumber daya ikan demersal di Kabupaten Lombok Timur telah mengalami
penurunan produksi.
56

1200,00
1000,00 Produksi Aktual (ton)
800,00
Produksi Lestari (ton)
ton 600,00
400,00
200,00
0,00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun

Gambar 6.3 Grafik produksi aktual dengan produksi lestari ikan demersal

Langkah kedua pada analisis upaya lestari pada penelitian ini adalah
melakukan pendugaan produksi lestari-upaya (Yield-Effort Curve) dan pendugaan
total benefit (Total Revenue-TR) dan total biaya (Total Cost-TC) (Tabel 6.8 dan
Lampiran 8). Tabel 6.8 merupakan hasil dari perhitungan untuk h, x, effort, rent
dengan parameter biologi CYP dari hasil analisis parameter biologi pada Tabel 6.3.
Hasil perhitungan ini dilakukan dengan 3 skenario pengelolaan, yakni pengelolaan
Open access, Sole owner (MEY), dan Maximum sustainable yield (MSY).
Perhitungan ini dilakukan sesuai dengan langkah-langkah yang dikembangkan oleh
Fauzi dan Anna (2005); dan Fauzi (2010) dari pengembangan perhitungan
bioekonomi GS.
Tabel 6.8 terlihat bahwa jika pengelolaan perikanan di Kabupaten Lombok
Timur dilakukan secara open access, maka hasil tangkapan memperlihatkan nilai
paling kecil yakni 74,47 ton; nilai upaya paling tinggi yakni 613.601,14 hari melaut;
Sedangkan, jika pengelolaan dilakukan secara MSY, maka hasil tangkapan paling
tinggi dengan nilai 212,89 ton dan nilai upaya lebih rendah dibandingkan keadaan
open access, yakni dengan nilai 339.635,71 hari melaut. Saat, pengelolaan dilakukan
secara MEY, nilai produksi sebesar 210.90 ton; dan nilai upaya sebesar 306.751,57
hari melaut.
Tabel 6.8 Hasil estimasi h, x, upaya, rente dengan parameter biologi CYP dengan
maple 14
Parameter/
Open Access Sole Owner MSY
variable
x (ton) 61,87 350,46 319,52
h (ton) 74,47 210,90 212,89
E (hari melaut) 613.501,14 306.751,57 339.635,71
(Rp juta) 0 3.719,87 3.677,12

Pendugaan total benefit dan total biaya dilakukan dengan memasukan faktor
harga dan biaya. Berdasarkan Fauzi (2010), untuk mengembangkan model GS ini,
beberapa asumsi perlu digukanan untuk memudahkan pemahaman, antara lain:
1. Harga per satuan ourput diasumsikan konstan atau kurva permintaan
diasumsikan elastis sempurna;
2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan;
3. Spesies sumber daya ikan bersifat tunggal;
4. Struktur pasar bersifat kompetitif;
57

5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukka faktor


pascapanen dan lain sebagainya).
Maka dengan mengalikan harga dan produksi lestari diperoleh total benefit (TR=ph).
Dan, dengan mengalikan biaya per satuan input dengan upaya diperoleh total biaya
(TC=cE) yang linear terhadap upaya (Tabel 6.8; Tabel 6.9; dan Lampiran 7).
Saat TR=TC atau TR-TC=0, di mana kondisi ini pada keadaan open access,
yakni saat nilai upaya 613.501,14 hari melaut. Dengan kata lain, pada posisi ini
nelayan lokal hanya mendapatkan nilai oportunitas dan rente ekonomi atau manfaat
ekonomi tidak diperoleh. Saat keadaan MSY, nilai rente ekonomi sebesar 3.677,12
juta rupiah, dan saat keadaan MEY, nilai rente ekonomi paling tinggi, yakni 3.719,87
juta rupiah. Keadaan MEY ini lah yang diharapkan jika pengelolaan dilakukan pada
sumber daya perikanan, yakni hasil produksi tinggi, tetapi upaya tidak terlalu besar
dengan nilai profit tinggi.
Keadaan ini jika dibandingkan dengan nilai produksi aktual, upaya aktual, dan
rente aktual (Tabel 6.9), terlihat nilai produksi aktual dan nilai upaya aktual dari
kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur
sudah melebihi pada keadaan MSY dan MEY, dan menuju pada keadaan open acces,
sehingga kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan lokal Kabupaten
Lombok Timur sudah berada pada kondisi mengalami penurunan produksi dan rente
aktual(kerugian terus meningkat), jika kegiatan penangkapan terus dilakukan
peningkatan upaya, misalnya dengan penambahan jumlah hari, alat tangkap, kapal,
dan lain sebagainya, maka dapat dipastikan, sumber daya ikan akan habis atau berada
pada titik nol.
Tabel 6.9 Upaya aktual, produksi aktual dan rente aktual
Upaya aktual Produksi aktual Rente aktual
Tahun
(hari melaut) (ton) (juta Rupiah)
2002 240.867 749,04 -36.934
2003 270.445 911,36 -41.975
2004 245.072 916,40 -38.130
2005 305.418 402,33 -68.609
2006 305.505 509,38 -74.595
2007 368.630 437,00 -100.729
2008 371.149 298,33 -94.650
2009 339.002 256,19 -77.685
2010 366.755 218,13 -91.650
2011 364.859 160,11 -98.885
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2002-2011, Data Diolah

6.5.2 Degradasi dan Depresiasi

Analisis selanjutnya untuk melihat dampak kelembagaan awig-awig terhadap


sumber daya perikanan pada penelitian ini dilakukan analisis nilai degradasi dan
depresiasi sumber daya ikan demersal. Pada penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan nilai koefisien laju degradasi dan laju depresiasi sesuai dengan langkah
pada metode analisis.
58

Nilai koefisien laju degradasi ini merupakan perbandingan antara produksi


aktual dengan produksi lestari. Rata-rata nilai koefisien laju degradasi menunjukkan
0,3; jika dibandingkan dengan nilai ambang batas degradasi (threshold of
degradation=0,50) (Anna 2003), maka nilai ini telah mendekati nilai ambang batas
degradasi (Tabel 6.10 dan Gambar 6.4).
Tabel 6.10 Hasil estimasi nilai koefisien laju degradasi
Produksi Produksi Koefisien
Tahun
Aktual (ton) Lestari (ton) Degradasi
2002 749,04 211,82 0,430
2003 911,36 227,69 0,438
2004 916,40 214,18 0,442
2005 402,33 244,23 0,353
2006 509,38 244,27 0,382
2007 437,00 268,59 0,351
2008 298,33 269,42 0,288
2009 256,19 258,01 0,268
2010 218,13 267,96 0,226
2011 160,11 267,32 0,158
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2002-2011, Data Diolah

Tabel 6.10 dan Gambar 6.4 menunjukkan laju degradrasi tertinggi pada tahun
2006 dengan nilai 0,383 dan laju degradasi terrendah pada tahun 2011 dengan nilai
0,158. Pergerakan pada koefisien laju degradasi ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi produksi aktual yang dihasilkan, maka akan semakin tinggi pula laju degradasi
yang dihasilkan. Jika nilai produksi aktual menurun, maka koefisien degradasi juga
menurun. Pergerakan ini lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6.4.
Gejala ini menunjukkan bahwa jika ada kegiatan penangkapan sumber daya
perikanan, maka jumlah sumber daya perikanan yang ditangkap mengalami
pengurangan stok sejumlah dengan hasil yang ditangkap. Keadaan inilah yang
dipahami sebagai degradasi, karena kita tidak dapat mengetahui secara pasti seberapa
banyak sumber daya perikanan yang tersedia di perairan, maka untuk mengetahui
seberapa besar degradasi dari kegiatan penangkapan melalui pendekatan dari
seberapa besar sumber daya perikanan yang ditangkap dari perairan (Fauzi dan Anna
2005).

1200,00 Produksi Aktual (ton) 0,500


Koefisien Degradasi
1000,00 0,400
800,00 Koefisien
0,300
Degradasi
ton

600,00
0,200
400,00
200,00 0,100
0,00 0,000
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun

Gambar 6.4 Grafik produksi aktual dan koefisien laju degradasi


59

Estimasi nilai koefisien laju depresiasi pada penelitian ini dilakukan dengan
membandingkan antara rente aktual dengan rente lestari (Tabel 6.11 dan Gambar
6.5). Rente didapatkan dari hasil pengurangan antara penerimaan dengan biaya.
Sehingga, nilai rente aktual didapatkan dari hasil pengurangan antara penerimaan
aktual dengan biaya aktual. Penerimaan aktual ini didapatkan dari perkalian antara
produksi aktual dengan harga, sedangkan biaya aktual didapatkan dari perkalian
antara upaya aktual dengan biaya. Rente lestari didapatkan dari hasil pengurangan
antara penerimaan lestari dengan biaya lestari. Penerimaan lestari didapatkan dari
pengalikan antara produksi lestari dengan harga, dan biaya lestari dihasilkan dari
pengalian antara upaya dengan biaya.
Tabel 6.11 Hasil estimasi nilai koefisien laju depresiasi
Rente Rente Koefisien
Tahun
Aktual (Juta Rp.) Lestari (Juta Rp.) Depresiasi
2002 -36.934,27 -46.362,49 0,285
2003 -41.974,92 -54.492,14 0,214
2004 -38.129,58 -51.605,03 0,205
2005 -68.609,07 -71.981,82 0,259
2006 -74.594,58 -80.953,47 0,253
2007 -100.729,36 -105.045,79 0,261
2008 -94.649,99 -95.317,50 0,268
2009 -77.685,23 -77.647,55 0,269
2010 -91.650,27 -90.543,65 0,271
2011 -98.885,22 -96.338,37 0,274
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2002-2011, Data Diolah

Hasil nilai koefisien depresiasi (Tabel 6.11) menunjukkan bahwa nilai


koefisien depresiasi tertinggi pada tahun 2004 dengan nilai 0,323 dan nilai laju
depresiasi terendah pada tahun 2011 dengan nilai 0,264. Seperti pada nilai koefisien
degradasi, saat nilai koefisien depresiasi ini dibandingkan dengan produksi aktual
(Gambar 6.5), maka terlihat semakin tinggi produksi aktual, maka nilai laju
depresiasi ini juga tinggi, sedangkan jika produksi aktual menurun, maka nilai laju
depresiasi juga menurun.
Keadaan ini mempelihatkan, saat upaya penangkapan ditingkatkan, maka
biaya juga meningkat, dan jika produksi aktual didapatkan tinggi, maka penerimaan
juga tinggi sehingga, menyebabkan laju depresiasi tinggi pula. Dengan demikian,
jika nelayan lokal meningkatkan upaya dalam penangkapan di Kabupten Lombok
Timur untuk meningkatkan produksi, maka akan terus membawa pada peningkatan
laju degradasi dan depresiasi.
Produksi Aktual (ton)
1500,00 0,400
Koefisien Depresiasi
0,300
1000,00
ton

0,200 Koefisien
500,00 Depresiasi
0,100

0,00 0,000
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun

Gambar 6.5 Grafik produksi aktual dan koefisien depresiasi


60

6.5.3 Efisiensi DEA

Langka terakhir untuk mengevaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap


sumber daya perikanan pada penelitian ini dengan menganalisis efisiensi teknologi
yang digunakan oleh nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur. Analisis efisiensi
dilakukan dengan membandingkan nilai input dan output kegiatan penangkapan oleh
nelayan lokal di Kabupaten Lombok Timur. Nilai input didapatkan dari nilai upaya
penagkapan, ukuran sampan (gross tonnage-GT), ukuran mesin tempel (horse
power-PK), jumlah tenaga kerja (anak buah kapal-ABK) yang digunakan oleh
nelayan lokal pada kegiatan penangkapan yang menggunakan alat tangkap pancing
rawai dan bagan sampan, sedangkan output dari nilai produksi. Pada penelitian ini
analisis effisiensi dilakukan sesuai dengan pada metode analisis dan dibantu dengan
XLDEA Solver 2.0. Pada program ini nilai efisiensi dilakukan dengan pendekatan
constant retun scale (CCRCharnesCooperRhodes) dan mengasumsikan nilai 1
adalah nilai efisien.
Analisis efisiensi dilakukan dengan tiga pendekatan. Pertama, analisis efisiensi
dengan alat tangkap sebagai DMU (decision making unit), yakni dengan
membandingkan nilai rata-rata input-output yang digunakan pada alat tangkap
pancing rawai dan bagan sampan. Kedua, analisis efisiensi dengan tahun sebagai
DMU, yakni dengan membandingkan nilai input-output yang digunakan nelayan
lokal pada tahun 2002-2011. Ketiga, analisis efisiensi dengan nelayan pancing dan
nelayan bagan sebagai DMU, yakni dengan membandingkan nilai input-output yang
digunakan oleh nelayan nelayan pancing dan nelayan bagan sampan dari data
responden (Lampiran 9).

6.5.3.1 DEA dengan alat tangkap sebagai DMU

Analisis DEA dengan alat tangkap sebagai DMU, nilai input dengan
memasukkan rata-rata nilai upaya, ukuran sampan, ukuran mesin, dan tenaga kerja
dari alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan selama setahun, dan nilai output
dengan memasukkan rata-rata produksi dari alat tangkap pancing dan bagan sampan
selama setahun. Berdasarkan analisis pada teknologi yang digunakan oleh nelayan
lokal Kabupaten lombok Timur, maka analisis efisiensi pada peneliti dibedakan
sampan yang berukuran 7x1,5x0,5 m dengan sampan berukuran 8x1,5x0,5 m untuk
alat tangkap pancing dan bagan (Tabel 6.12).

Tabel 6. 12 Data alat tangkap sebagai DMU


(i)Ukuran (i)Ukuran (i)Tenaga
(i)Upaya (o)Produksi
DMU sampan mesin Kerja
(trip) (ton)
(GT) (PK) (ABK)
Pancing1 5338 349,125 532 266 1,944
Pancing2 8004 414 1104 276 2,208
Bagan Sampan1 6510 354,375 816 270 0,939
Bagan Sampan2 7008 408 912 272 1,048
Keterangan: Pancing1: nelayan pancing rawai dengan sampan berukuran 7x1,5x0,5 meter; Pancing2: nelayan pancing rawai
dengan sampan berukuran 8x1,5x0,5 meter; Bagan Sampan1: nelayan bagan sampan dengan sampan
berukuran 7x1,5x0,5 meter; Bagan Sampan2: nelayan bagan sampan dengan sambpan berukuran 8x1,5x0,5
meter
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2002-2011, dan Data Primer, Data Diolah
61

Hasil penilaian dengan analisis DEA seperti pada Tabel 6.13; Gambar 6.11;
dan Lampiran 7. Hasil penilaian menunjukkan alat tangkap pancing rawai dengan
sampan berukuran 7x1,5x0,5 m dan sampan berukuran 8x1,5x0,5 m memiliki nilai 1
atau dengan kata lain kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap
pancing lebih efisien bila dibandingkan alat tangkap bagan sampan. Alat tangkap
bagan sampan dengan ukuran sampan 8x1,5x0,5 m memiliki nilai 0,497; dan alat
tangkap bagan sampan dengan ukuran sampan 7x1,5x0,5 m memiliki nilai yang
paling tidak efisien yakni dengan nilai 0,475.
Tabel 6.13 Nilai efisiensi alat tangkap sebagai DMU
No. DMU Nilai Ranking
1 Pancing1 1 1
2 Pancing2 1 1
3 Bagan Sampan1 0,475869 4
4 Bagan Sampan2 0,497189 3
Keterangan: Pancing1: nelayan pancing rawai dengan sampan berukuran 7x1.5x0.5 meter; Pancing2: nelayan
pancing rawai dengan sampan berukuran 8x1.5x0.5 meter; Bagan Sampan1: nelayan bagan
sampan dengan sampan berukuran 7x1.5x0.5 meter; Bagan Sampan2: nelayan bagan sampan
dengan sambpan berukuran 8x1.5x0.5 meter

Berdasarkan rangking nilai efisiensi, alat tangkap pancing dengan ukuran


sampan 7x1,5x0,5m dan alat tangkap pancing dengan ukuran sampan 8x1,5x0,5m
menempati urutan pertama; alat tangkap bagan sampan dengan ukuran sampan
8x1,5x0,5m menempati urutan ketiga, dan alat tangkap bagan sampan dengan ukuran
sampan 7x1,5x0,5m menempati urutan keempat. Keadaan ini memperlihatkan bahwa
dari perbandingan input-output, alat tangkap pancing rawai lebih efisien dari pada
alat tangkap bagan sampan. Gambar 6.6 memperlihatkan gambaran secara grafik dari
nilai efisiensi alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan.

Bagan Sampan1

Bagan Sampan2
DMU

Pancing2

Pancing1

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1


Nilai efisiensi

Gambar 6.6 Grafik nilai efisiensi alat tangkap sebagai DMU


Ketidakefisienan dari kegiatan penangkapan dari alat tangkap pancing rawai
dan bagan sampan di Kabupaten Lombok Timur seperti pada Tabel 6.14. Sebagai
contoh, kegiatan penangkapan oleh pancing1 bernilai 1, dengan nilai input kegiatan
penangkapan selama setahun upaya sebesar 5.338 hari melaut; ukuran kapal 349 GT;
62

ukuran mesin 125 PK; dan jumlah tenaga kerja 532 ABK; serta mendapatkan hasil
output produksi sebesar 1,944 ton. Sedangkan, untuk bagan sampan1 dengan nilai
efisiensi 0,47 memiliki nilai input kegiatan penangkapan selama setahun sebesar
upaya 6.510 hari melaut; ukuran sampan 354,375 GT; ukuran mesin 816 PK; dan
tenaga kerja 270ABK; serta produksi hanya sebesar 0,939 ton. Dari kedua contoh ini
terlihat bahwa, alat tangkap bagan sampan1 memiliki nilai efisiensi yang lebih kecil
dari pancing1, karena penggunaan input dari bagan sampan1 yang melebihi
kemampuan input maksimum untuk mendapatkan per satuan output. Keadaan ini
didukung dengan tanda negatif dari %, di mana, agar kegiatan penangkapan bagan
sampan1 menjadi efisien, maka harus mengurangi nilai upaya penangkapan sebesar
60%; nilai GT sebesar 52%; nilai PK sebesar 69%; dan nilai ABK sebesar 52% dari
kegiatan penangkapan yang saat ini dilakukan. Nilai prosentase ini menunjukkan
bahwa alat tangkap bagan sampan1 harus mengurangi nilai upaya penangkapan
sebesar 3.931,61 hari melaut; mengurangi nilai ukuran sampan sebesar 185,73 GT;
dan mengurangi nilai ukuran mesin sebesar 559,03 PK; dan mengurangi nilai tenaga
kerja sebesar 141,51 ABK.

Tabel 6.14 Projection of potential improvment alat tangkap sebagai DMU


DMU Score
No. Projection Difference %
I/O Data

1 Pancing1 1

Upaya (hari melaut) 5338 5338 0 0,00%


Ukuran sampan (GT) 349,125 349,125 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 532 532 0 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 266 266 0 0,00%
Produksi (ton) 1,944 1,944 0 0,00%
2 Pancing2 1
Upaya (hari melaut) 8004 8004 0 0,00%
Ukuran sampan (GT) 414 414 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 1104 0 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 276 0 0,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%

3 Bagan Sampan1 0,475869

Upaya (hari melaut) 6510 2578,386 -3931,61 -60,39%


Ukuran sampan (GT) 354,375 168,636 -185,739 -52,41%
Ukuran mesin (PK) 816 256,9691 -559,031 -68,51%
Tenaga kerja (ABK) 270 128,4846 -141,515 -52,41%
Produksi (ton) 0,939 0,939 0 0,00%

4 Bagan Sampan2 0,497189

Upaya (hari melaut) 7008 3484,298 -3523,7 -50,28%


Ukuran sampan (GT) 408 193,6688 -214,331 -52,53%
Ukuran mesin (PK) 912 442,9767 -469,023 -51,43%
Tenaga kerja (ABK) 272 135,2353 -136,765 -50,28%
Produksi (ton) 1,048 1,048 0 0,00%
63

6.5.3.2 DEA dengan tahun 2002-2011 sebagai DMU

Analisis DEA kedua dilakukan dengan memasukan nilai input-output dengan


menestimasi nilai upaya, ukuran sampan , ukuran mesin, dan tenaga kerja dari alat
tangkap pancing dan bagan sampan selama periode 2002-2011sebagai variable input
dan produksi aktual pancing dan bagan sampan selama periode tahun 2002-2011
sebagai variable output (Tabel 6.15).
Tabel 6.15 Data tahun sebagai DMU
(i)Upaya
(ii)Ukuran (iii)Ukuran (iv)Tenaga Prod. Aktual
Tahun (hari
sampan (GT) mesin (PK) kerja (ABK) (ton)
melaut)
2002 240.867 1.295.895,04 2.669.637,60 914.898,60 749,04
2003 270.445 1.295.895,04 2.669.637,60 914.898,60 911,36
2004 245.072 898.042,61 1.850.032,80 634.015,80 916,40
2005 305.418 939.054,38 1.934.520,00 662.970,00 402,33
2006 305.505 1.310.843,25 2.700.432,00 925.452,00 509,38
2007 368.630 1.299.676,63 2.677.427,95 917.568,39 437,00
2008 371.149 1.430.428,95 2.946.787,20 1.009.879,20 298,33
2009 339.002 1.370.252,81 2.822.820,00 967.395,00 256,19
2010 366.755 1.370.636,10 2.823.609,60 967.665,60 218,13
2011 364.859 1.601.375,18 3.298.948,80 1.130.566,80 160,11
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2002-2011, dan Data Primer, Data Diolah

Hasil nilai efisiensi dengan tahun sedagai DMU dapat dilihat pada Tabel 6.16;
Gambar 6.9; dan Lampiran 7. Hasil penilaian menunjukkan hanya di tahun 2004 saja
yang memiliki nilai efisiensi 1, sedangkan tahun 2002, 2003, 2005, 2006, 2007,
2008, 2009, 2010 dan 2011 memiliki nilai yang rendah, dan ada kecenderungan nilai
efisiensi ini dari tahun 2005 sampai 2011 terus mengalami penurunan dan menjauh
dari angka 1.

Tabel 6. 16 Nilai efisiensi tahun sebagai DMU


No. DMU Nilai Ranking

1 2002 0,8316 3
2 2003 0,9012 2
3 2004 1,0000 1
4 2005 0,4199 5
5 2006 0,4459 4
6 2007 0,3295 6
7 2008 0,2150 7
8 2009 0,2021 8
9 2010 0,1591 9
10 2011 0,1174 10
64

Hasil rangking dari nilai efisiensi menepatkan tahun 2011 pada rangking
terakhir dengan nilai efisiensi 0,1174; diikuti tahun 2010 dengan nilai 0,1591; tahun
2009 dengan nilai 0,2021; tahun 2008 dengan nilai 0,2150; tahun 2007 dengan nilai
0, 3295; tahun 2006 dengan nilai 0,4459; tahun 2005 dengan nilai 0,4199; tahun
2002 dengan nilai 0,8316; dan tahun 2003 dengan nilai 0,9012. Rangking pertama
ditempati tahun 2004 dengan nilai efisiensi 1. Gambar 6.9 memberikan gambaran
secara grafik dari nilai efisiensi dengan tahun sebagai DMU.
DMU

0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000 0,6000 0,7000 0,8000 0,9000 1,0000
Nilai efisiensi

Gambar 6.7 Grafik nilai efisiensi DEA tahun sebagai DMU

Ketidakefisienan dari kegiatan nelayan lokal di Kabupaten Lombok Timur


selama tahun 2002-2011 dapat dilihat dari hasil analisis Projection of Potential
Improvement (Tabel 6.17). Berdasarkan projection of potential improvement
menunjukkan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan lokal Kabupaten Lombok
Timur yang paling efisien di tahun 2004 dengan penggunaan nilai input upaya
245.071 hari melaut; ukuran kapal 898.042 GT; ukuran mesin 1.850.023 PK; dan
tenaga kerja sebesar 634.015 ABK; dengan menghasilkan nilai output produksi
sebesar 916,40 ton. Dan, tahun 2011 yang merupakan tahun yang paling tidak efisien
saat penggunaan nilai input upaya sebesar 364.859 hari melaut; ukuran sampan
1.601.375 GT; ukuran mesin 3.298.948 PK; dan tenaga kerja 1.130.566 ABK;
dengan menghasilkan nilai output produksi sebesar 160,11 ton. Ketidakefisienan di
tahun 2011, terlihat bahwa penggunaan input telah melebihi kapasitas input untuk
mendapatkan per satuan output, yang ditunjukkan dengan tanda negatif pada %,
yakni nilai upaya 88%; ukuran sampan; ukuran mesin; dan tenaga kerja masing-
masing 90%. Ketidakefisienan yang terjadi memperlihatkan bahwa sangat penting
dilakukan pembatasan jumlah hari melaut, penggunaan sampan dan alat tangkap
pada kegiatan penangkapan oleh nelayan lokal di Kabupaten Lombok Timur.
65

Tabel 6.17 Projection of potential improvement tahun sebagai DMU


DMU Score
No Projection Difference %
I/O Data
1 2002 0,83
Upaya (hari melaut) 240.867,37 40.553,41 -200.313,96 -16,84%
Ukuran sampan (GT) 1.295.895,04 561.862,38 -734.032,65 -43,36%
Ukuran mesin (PK) 2.669.637,60 1.157.477,24 -1.512.160,36 -43,36%
Tenaga kerja (ABK) 914.898,60 396.673,44 -518.225,16 -43,36%
Produksi (ton) 749,04 0,00 749,04 0,00%
2 2003 0,90
Upaya (hari melaut) 270.444,82 26.720,59 -243.724,23 -9,88%
Ukuran sampan (GT) 1.295.895,04 402.789,36 -893.105,68 -31,08%
Ukuran mesin (PK) 2.669.637,60 829.775,30 -1.839.862,30 -31,08%
Tenaga kerja (ABK) 914.898,60 284.368,29 -630.530,31 -31,08%
Produksi (ton) 911,36 0,00 911,36 0,00%
3 2004 1,00
Upaya (hari melaut) 245.071,50 0,00 -245.071,50 0,00%
Ukuran sampan (GT) 898.042,61 0,00 -898.042,61 0,00%
Ukuran mesin (PK) 1.850.032,80 0,00 -1.850.032,80 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 634.015,80 0,00 -634.015,80 0,00%
Produksi (ton) 916,40 0,00 916,40 0,00%
4 2005 0,42
Upaya (hari melaut) 305.418,31 197.824,64 -107.593,67 -64,77%
Ukuran sampan (GT) 939.054,38 544.786,97 -394.267,41 -58,01%
Ukuran mesin (PK) 1.934.520,00 1.122.300,63 -812.219,37 -58,01%
Tenaga kerja (ABK) 662.970,00 384.618,21 -278.351,79 -58,01%
Produksi (ton) 402,33 0,00 402,33 0,00%
5 2006 0,45
Upaya (hari melaut) 305.505,37 169.282,16 -136.223,21 -55,41%
Ukuran sampan (GT) 1.310.843,25 811.665,46 -499.177,79 -61,92%
Ukuran mesin (PK) 2.700.432,00 1.672.089,65 -1028.342,35 -61,92%
Tenaga kerja (ABK) 925.452,00 573.033,75 -352.418,25 -61,92%
Produksi (ton) 509,38 0,00 509,38 0,00%
6 2007 0,33
Upaya (hari melaut) 368.630,01 251.763,28 -116.866,73 -68,30%
Ukuran sampan (GT) 1.299.676,63 871.428,93 -428.247,70 -67,05%
Ukuran mesin (PK) 2.677.427,95 1.795.206,75 -882.221,20 -67,05%
Tenaga kerja (ABK) 917.568,39 615.226,60 -302.341,79 -67,05%
Produksi (ton) 437,00 0,00 437,00 0,00%
7 2008 0,21
Upaya (hari melaut) 371.148,60 291.367,44 -79.781,17 -78,50%
Ukuran sampan (GT) 1.430.428,95 1138.078,00 -292.350,95 -79,56%
Ukuran mesin (PK) 2.946.787,20 2344.523,09 -602.264,11 -79,56%
Tenaga kerja (ABK) 1.009.879,20 803.480,16 -206.399,04 -79,56%
Produksi (ton) 298,33 0,00 298,33 0,00%
8 2009 0,20
Upaya (hari melaut) 339.001,72 270.489,75 -68.511,97 -79,79%
Ukuran sampan (GT) 1.370.252,81 1119.196,79 -251.056,02 -81,68%
Ukuran mesin (PK) 2.822.820,00 2305.626,47 -517.193,53 -81,68%
Tenaga kerja (ABK) 967.395,00 790.150,10 -177.244,90 -81,68%
Produksi (ton) 256,19 0,00 256,19 0,00%
9 2010 0,16
Upaya (hari melaut) 366.754,90 308.420,45 -58.334,45 -84,09%
Ukuran sampan (GT) 1.370.636,10 1156.874,71 -213.761,39 -84,40%
Ukuran mesin (PK) 2.823.609,60 2383.245,65 -440.363,95 -84,40%
Tenaga kerja (ABK) 967.665,60 816.750,60 -150.915,00 -84,40%
Produksi (ton) 218,13 0,00 218,13 0,00%
10 2011 0,12
Upaya (hari melaut) 364.858,73 322.039,44 -42.819,29 -88,26%
Ukuran sampan (GT) 1.601.375,18 1444.467,72 -156.907,46 -90,20%
Ukuran mesin (PK) 3.298.948,80 2975.708,10 -323.240,70 -90,20%
Tenaga kerja (ABK) 1.130.566,80 1.019.790,53 -110.776,27 -90,20%
Produksi (ton) 160,11 0,00 160,11 0,00%
66

6.5.3.3 DEA dengan nelayan pancing dan nelayan bagan sampan sebagai DMU

Analisis efisiensi DEA ketiga pada peneltian ini dilakukan pada nelayan
pancing dan nelayan bagan sampan sebagai DMU. Analisis efisiensi ini dilakukan
dengan menganalisis nilai efisiensi dari masing-masing nelayan lokal yang menjadi
responden, yakni dengan membandingan nilai efiesiensi nelayan pancing rawai
sesama nelayan pancing rawai; dan nelayan bagan sampan sesama nelayan bagan
sampan. Seperti pada analisis DEA sebelumnya, nilai input-output dengan
memasukkan rata-rata nilai upaya, GT, PK, dan ABK selama setahun dari nelayan
lokal yang menggunakan alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan pada
variable input, dan estimasi rata-rata produksi dari nelayan pancing dan nelayan
bagan sampan selama setahun sebagai variable output.

6.5.3.3.1 Nelayan Pancing Rawai


Nilai input-output nelayan pancing rawai yang menjadi responden seperti pada
Tabel 6.18. Data responden nelayan pancing rawai sejumlah 10 orang. Jumlah ini
didapatkan dari hasil wawancara dengan nelayan lokal yang menggunakan alat
tangkap pancing rawai yang melakukan kegiatan di wilayah perairan Kabupaten
Lombok Timur yang bersedia berbagi informasi tentang kegiatan penangkapan yang
mereka lakukan. Dari hasil wawancara terlihat bahwa kegiatan penangkapan oleh
nelayan pancing rawai tidak jauh berbeda dari informasi yang diberikan antara
responden yang satu dengan resonden yang lain.

Tabel 6. 18 Data nelayan pancing rawai sebagai DMU


(i)Ukuran
(i)Upaya (hari (i)Ukuran (i)Tenaga (o)Produksi
DMU sampan
melaut) mesin (PK) kerja (ABK) (ton)
(GT)
Pancing1 4.752 346,50 528 264 1,32
Pancing2 8.004 362,25 552 276 1,10
Pancing3 8.004 414,00 1.104 276 2,20
Pancing4 4.752 346,50 528 264 2,64
Pancing5 8.004 414,00 1.104 276 2,21
Pancing6 8.004 414,00 1.104 276 2,21
Pancing7 4.752 346,50 528 264 2,64
Pancing8 5.016 346,50 528 264 1,32
Pancing9 8.004 414,00 1.104 276 2,21
Pancing10 4.752 346,50 528 264 2,64
Sumber: Data Primer, Data Diolah
Keterangan: Pancing=nelayan pancing rawai

Hasil penilaian efisiensi dengan menggunakan analisis DEA dapat dilihat pada
Tabel 6.19; Gambar 6.10; dan Lampiran 7. Hasil penilaian menunjukkan pancing4,
pancing7, dan pancing10 yang memiliki nilai 1, sedangkan pancing3, pancing5,
pancing6, dan pancing9 memiliki nilai 0,8. Pancing1 dan pancing8 memiliki nilai
efisiensi 0,5. Dan, pancing2 memiliki nilai efisiensi 0,4. Keadaan ini menunjukkan
bahwa hanya sekitar 33% atau kurang dari 50% nelayan pancing rawai yang
melakukan kegiatan penangkapan secara efisien.
67

Tabel 6.19 Nilai efisiensi nelayan pancing rawai


No. DMU Score Rank
1 Pancing1 0,5 8
2 Pancing2 0,4 10
3 Pancing3 0,8 4
4 Pancing4 1 1
5 Pancing5 0,8 4
6 Pancing6 0,8 4
7 Pancing7 1 1
8 Pancing8 0,5 8
9 Pancing9 0,8 4
10 Pancing10 1 1

Hasil ranking dari nilai efisiensi pancing4; pancing7; dan pancing10


menempati ranking pertama. Pancing3; pancing5; dan pancing6 saling menempati
ranking keempat. Pancing1 dan pancing8 menempati ranking kedepalan; dan,
pancing2 yang paling tidak efisien menempati ranking kesepuluh. Gambaran secara
grafik dari nilai efisiensi nelayan pancing rawai seperti pada Gambar 6.10.
Ketidakefisienan yang terjadi pada kegiatan penangkapan oleh nelayan
pancing rawai dapat dilihat dari Projection of Potential Improvement (Tabel 6.20).
Sebagai contoh nelayan pancing rawai4 yang memiliki nilai efisiensi 1, melakukan
kegiatan penangkapannya selama setahun dengan menggunakan nilai input upaya
4.725 hari melaut; ukuran sampan 347 GT; ukuran mesin 528 PK; tenaga kerja 264
ABK; dengan nilai output produksi sebesar 2,64 ton.

Pancing1
Pancing3
DMU

Pancing6
Pancing10
Pancing4

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1


Efficiency

Gambar 6.8 Grafik nilai efisiensi nelayan pancing rawai

Sedangkan nelayan pancing rawai2 yang memiliki nilai efisiensi paling kecil
yakni 0,4 melakukan kegiatan penangkapan selama satu tahun dengan menggunakan
nilai input upaya 8.004 hari melaut; ukuran sampan 362 GT; ukuran mesin 552 PK;
dan tenaga kerja 276 ABK; dengan hanya menghasilkan output produksi sebesar
1,10 ton. Ketidakefisienan ini terlihat bahwa, penggunaan input oleh nelayan pancing
rawai2 telah melebihi kapasitas input maksimum yang dapat digunakan untuk
mendapatkan per satuan outpu. Sehingga, nelayan pancing rawai2 agar kegiatan
penangkapann menjadi efisien harus mengurangi nilai input upaya sebesar 75%; GT,
PK, dan ABK sebesar 50%.
68

Tabel 6.20 Projection of potential improvement nelayan pancing rawai sebagai


DMU
DMU Score
No. Projection Difference %
I/O Data
1 Pancing1 0,50
Upaya (hari melaut) 4.752,0 2.376,00 -2.376,00 -50,00%
Ukuran sampan (GT) 346,5 173,25 -173,25 -50,00%
Ukuran mesin (PK) 528 264,00 -264,00 -50,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 132,00 -132 -50,00%
Produksi (ton) 1,32 1,32 0 0,00%
2 Pancing2 0,40
Upaya (hari melaut) 8.004 1.987,2 -6.016,8 -75,17%
Ukuran sampan (GT) 362,25 144,9 -217,35 -60,00%
Ukuran mesin (PK) 552 220,8 -331,2 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 110,4 -165,6 -60,00%
Produksi (ton) 1,104 1,104 0 0,00%
3 Pancing3 0,80
Upaya (hari melaut) 8.004 3.974,4 -4.029,6 -50,34%
Ukuran sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1.104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
4 Pancing4 1
Upaya (hari melaut) 4.752 4.752 0 0,00%
Ukuran sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 2,64 2,64 0 0,00%
5 Pancing5 0,80
Upaya (hari melaut) 8.004 3.974,4 -4.029,6 -50,34%
Ukuran sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1.104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
6 Pancing6 0,80
Upaya (hari melaut) 8.004 3.974,4 -4.029,6 -50,34%
Ukuran sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1.104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
7 Pancing7 1
Upaya (hari melaut) 4.752 4752 0 0,00%
Ukuran sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 2,64 2,64 0 0,00%
8 Pancing8 0,50
Upaya (hari melaut) 5.016 2376 -2640 -52,63%
Ukuran sampan (GT) 346,5 173,25 -173,25 -50,00%
Ukuran mesin (PK) 528 264 -264 -50,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 132 -132 -50,00%
Produksi (ton) 1,32 1,32 0 0,00%
9 Pancing9 0,80
Upaya (hari melaut) 8.004 3.974,4 -4.029,6 -50,34%
Ukuran sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
10 Pancing10 1
Upaya (hari melaut) 4.752 4.752 0 0,00%
Ukuran sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi 2,64 2,64 0 0,00%

Seperti pada hasil nilai efisiensi alat tangkap dan tahun sebagai DMU, nelayan
pancing rawai sebagai DMU juga memperlihatkan adanya penggunaan input yang
69

melebihi batas maksimum input yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan per
satuan output, sehingga sangat penting untuk dilakukan pembatasan hari melaut dan
pembatasan jumlah sampan dan alat tangkap pada kegiatan penangkapan oleh
nelayan lokal di Kabupaten Lombok Timur.

6.5.3.3.2 Nelayan bagan sampan


Data nilai input-output dari nelayan bagan sampan yang menjadi responden
dapat dilihat pada Tabel 6.21. Data responden nelayan bagan sampan berjumlah 10
orang. Seperti pada nelayan pancing rawai, jumlah ini didapatkan dari hasil
wawancara dengan nelayan lokal yang menggunakan alat tangkap bagan sampan
yang melakukan kegiatan di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur yang
bersedia berbagi informasi mengenai kegiatan penangkapan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil wawancara, menunjukkan kegiatan penangkapan oleh nelayan
bagan sampan yang satu tidak jauh berbeda dari informasi yang yang diberikan oleh
nelayan bagan yang lain.

Tabel 6.21 Data nelayan bagan sampan sebagai DMU


(i)Ukuran (i)Ukuran
(i)Upaya (i)Tenaga (o)Produksi
DMU sampan mesin
(hari melaut) kerja (ABK) (ton)
(GT) (PK)
Bagan Sampan1 8.004 414,00 1104 276 1,38
Bagan Sampan2 8.004 414,00 1104 276 1,10
Bagan Sampan3 5.016 396,00 528 264 0,79
Bagan Sampan4 5.016 346,50 528 264 1,06
Bagan Sampan5 8.004 414,00 1104 276 1,10
Bagan Sampan6 8.004 362,25 1104 276 0,56
Bagan Sampan7 5.016 396,00 528 264 0,53
Bagan Sampan8 8.004 362,25 1104 276 0,83
Bagan Sampan9 8.004 414,00 1104 276 1,38
Bagan
5.016 346,50 528 264 1,32
Sampan10
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2002-2011, dan Data Primer, Data Diolah

Hasil penilaian efisiensi nelayan bagan sampan sebagai DMU dengan


menggunakan analisis DEA dapat dilihat pada Tabel 6.22; Gambar 6.11; dan
Lampiran 7. Hasil penilaian menunjukkan nelayan bagan sampan1, nelayan bagan
sampan9, dan nelayan bagan sampan10 yang memiliki nilai 1, sedangkan nelayan
bagan sampan2, nelayan bagan sampan4, dan nelayan bagan sampan5 memiliki nilai
0,8. Nelayan bagan sampan3 dan nelayan bagan8 memiliki nilai efisiensi 0,6; dan
nelayan bagan sampan6 dan nelayan bagan sampan7 memiliki nilai efisiensi 0,4.
Keadaan ini seperti pada nelayan pancing rawai, di mana, kurang dari 50% nelayan
bagan sampan yang menjadi responden yang melakukan kegiatan penangkapan
secara efisien.
Hasil ranking dari nilai efisiensi terlihat nelayan bagan sampan1, nelayan
bagan sampan9, dan nelayan bagan sampan 10 menempati ranking pertama. Nelayan
bagan sampan2, nelayan bagan sampan5 menempati ranking keempat. Nelayan
bagan sampan3 dan nelayan bagan sampan8 menempati ranking ketujuh, dan nelayan
bagan sampan6 dan nelayan bagan sampan7 yang paling tidak efisien menempati
70

ranking kesembilan. Gambaran secara grafik dari nilai efisiensi nelayan bagan
sampan terlihat pada Gambar 6.11
Tabel 6.22 Nilai efisiensi nelayan bagan sampan sebagai DMU
No. DMU Score Rank
1 Bagan Sampan1 1 1
2 Bagan Sampan2 0,8 4
3 Bagan Sampan3 0,6 7
4 Bagan Sampan4 0,8 4
5 Bagan Sampan5 0,8 4
6 Bagan Sampan6 0,4 9
7 Bagan Sampan7 0,4 9
8 Bagan Sampan8 0,6 7
9 Bagan Sampan9 1 1
10 Bagan Sampan10 1 1

Ketidakefisienan dari kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan


bagan sampan, dapat dilihat dari analisis Projection of Potential Improvement (Tabel
6.23). Sebagai contoh, nelayan bagan10 memiliki nilai efisiensi 1 yang menggunakan
nilai input selama setahun sebesar upaya 5.016 hari melaut; ukuran sampan 346 GT;
ukuran mesin 528 PK; dan tenaga kerja 264 ABK; dengan hasil output produksi
sebesar 1,32 ton. Sedangkan nelayan bagan sampan6 yang memiliki nilai efisiensi
paling kecil yakni 0,4 menggunakan nilai input selama setahun sebesar upaya 8.004
hari melaut; ukuran sampan 363 GT; ukuran mesin 1104 PK; tenaga kerja 276 ABK;
dengan nilai output produksi sebesar 0,55 ton.

Bagan Sampan6

Bagan Sampan8
DMU

Bagan Sampan5

Bagan Sampan1

Bagan Sampan10

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1


Efficiency

Gambar 6.9 Grafik nilai efisiensi nelayan bagan sampan

Keadaan ini memperlihatkan bahwa nilai efisiensi nelayan bagan sampan6


kecil karena penggunaan input yang melebihi batas maksimum input untuk
pendapatkan per satuan output. Agar kegiatan penangkapan oleh nelayan bagan
sampan6 menjadi efisien, nelayan bagan sampan6 harus mengurangi nilai upaya
sebesar 74%; GT 60%, PK 80%; dan ABK 60%.
71

Tabel 6.23 Projection of potential improvement nelayan bagan sampan sebagai DMU
DMU Score
No. Projection Difference %
I/O Data
1 Bagan Sampan1 1
Upaya (hari melaut) 8.004 5.244 -2.760 -34,48%
Ukuran sampan (GT) 414 362,25 -51,75 -12,50%
Ukuran mesin (PK) 1.104 552 -552 -50,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 276 0 0,00%
Produksi (ton) 1,38 1,38 0 0,00%
2 Bagan Sampan2 0,8
Upaya (hari melaut) 8.004 4.195,2 -3.808,8 -47,59%
Ukuran sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1.104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 1,104 1,104 0 0,00%
3 Bagan Sampan3 0,6
Upaya (hari melaut) 5.016 3.009,6 -2.006,4 -40,00%
Ukuran sampan (GT) 396 207,9 -188,1 -47,50%
Ukuran mesin (PK) 528 316,8 -211,2 -40,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 158,4 -105,6 -40,00%
Produksi (ton) 0,792 0,792 0 0,00%
4 Bagan Sampan4 0,8
Upaya (hari melaut) 5.016 4.012,8 -1.003,2 -20,00%
Ukuran sampan (GT) 346,5 277,2 -69,3 -20,00%
Ukuran mesin (PK) 528 422,4 -105,6 -20,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 211,2 -52,8 -20,00%
Produksi (ton) 1,056 1,056 0 0,00%
5 Bagan Sampan5 0,8
Upaya (hari melaut) 8.004 4.195,2 -3.808,8 -47,59%
Ukuran sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1.104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 1,104 1,104 0 0,00%
6 Bagan Sampan6 0,4
Upaya (hari melaut) 8.004 2.097,6 -5.906,4 -73,79%
Ukuran sampan (GT) 362,25 144,9 -217,35 -60,00%
Ukuran mesin (PK) 1.104 220,8 -883,2 -80,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 110,4 -165,6 -60,00%
Produksi (ton) 0,552 0,552 0 0,00%
7 Bagan Sampan7 0,4
Upaya (hari melaut) 5.016 2.006,4 -3.009,6 -60,00%
Ukuran sampan (GT) 396 138,6 -257,4 -65,00%
Ukuran mesin (PK) 528 211,2 -316,8 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 105,6 -158,4 -60,00%
Produksi (ton) 0,528 0,528 0 0,00%
8 Bagan Sampan8 0,6
Upaya (hari melaut) 8004 3146,4 -4857,6 -60,69%
Ukuran sampan (GT) 362,25 217,35 -144,9 -40,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 331,2 -772,8 -70,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 165,6 -110,4 -40,00%
Produksi (ton) 0,828 0,828 0 0,00%
9 Bagan Sampan9 1
Upaya (hari melaut) 8.004 5.244 -2.760 -34,48%
Ukuran sampan (GT) 414 362,25 -51,75 -12,50%
Ukuran mesin (PK) 1104 552 -552 -50,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 276 0 0,00%
Produksi (ton) 1,38 1,38 0 0,00%
10 Bagan Sampan10 1
Upaya (hari melaut) 5.016 5.016 0 0,00%
Ukuran sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 1,32 1,32 0 0,00%
72

Hasil ini mendukung hasil analisis efisiensi pada alat tangkap, tahun, dan
nelayan pancing rawai sebagai DMU, di mana, penggunaan input untuk kegiatan
penangkapan oleh nelayan lokal di Kabupaten Lombok Timur saat ini telah melebihi
kapasitas maksimum input untuk mendapatka per satuan output.
Hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya
perikanan pantai memperlihatkan bahwa ketidakefektifan kelembagaan awig-awig
pengelolaan sumber daya perikanan pantai masih memberikan dampak negatif
terhadap sumber daya perikanan pantai. Keadaan ini diduduk dari hasil analisis
bioekonomi surplus produksi, analisis degradasi dan depresiasi, sert analisis efisiensi.
Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, peningkatan nilai upaya aktual tahun 2002-
2011 diikuti dengan penurunan hasil produksi; nilai upaya yang ada telah melebihi
nilai upaya pada kondisi MSY dan MEY; dan nilai rente ekonomi yang terus
mengalami penurunan. Hasil analisis degradasi dan depresiasi menunjukkan bahwa
nilai laju degradasi dan depresiasi telah mendekati nilai ambang batas degradasi.
Hasil analisis efisiensi teknologi yang digunakan dalam kegiaat penangkapan oleh
nelayan lokal menunjukkan bahwa penggunaan input telah melebihi kapasiatas
maksimum input untuk mendapatkan per satuan output. Hasil analisis yang ada
menynjukkan bahwa sangat penting untuk melakukan kegiatan monitoring; dan
kejelasan batas-batas pengaturan, terutama dalam batasan penggunaan alat tangkap,
alat bantu penangkapan, sampan, mesin, dan tenaga kerja dalam kegiatan
penangkapan. Pada kenyataannya, memang sangat sulit untuk membatasi kegiatan
penangkapan, tetapi kegiatan penangkapan ini dapat dialihkan pada kegiatan
konservasi atau kegiatan pariwisata seperti persewaan kapal oleh nelayan lokal yang
dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan nelayan yang lain.

6.6 Simpulan

Hasil analisis evaluasi kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur


menunjukkan ketidakefektifan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai berdampak pada bagaimana sumber daya perikanan dimanfaatkan.
7. IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PERIKANAN PANTAI DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

ABSTRAK

Suatu kebijakan dinilai dapat beradaptasi atau berkelanjutan, saat kelembagaan


ini dapat merespon perubahan yang terjadi pada kondisi sumber daya dan
lingkungan, serta perubahan informasi. Dengan demikian, penting untuk mengetahui
bagaimana implikasi suatu kebijakan dalam mengelolaa sumber daya. Pada bagian
ini, penulis menfokuskan pada hasil dan pembahasan bagaimana implikasi kebijakan
pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur melalui
evaluasi dari hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai dan hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap
sumber daya perikanan pantai pada bagian sebelumnya. Hasil evaluasi didapatkan
bahwa bagaimana suatu kebijakan diterapkan mempengaruhi bagaimana sumber
daya yang dikelola digunakan. Hasil ini diperlihatkan dengan ketidakefektifan
kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, mengakibatkan
kondisi sumber daya perikanan pantai sudah tidak memberikan manfaat secara
biologi dan ekonomi. Perbaikan pada proses pembuatan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai; perbaikan peraturan yang disepakati; dan perbaikan
kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig merupakan rekomendasi yang
ditawarkan dari hasil penelitian ini untuk perbaikan dalam proses pembentukan, isi
peraturan yang disepakati, dan pelaksanaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan.

Kata kunci: awig-awig, evaluasi kebijkan, ketidakefektifan

7.1 Pendahuluan

Pembangunan perikanan dan kelautan baik dalam skala global maupun dalam
skala lokal telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan ini selain
dipicu oleh faktor biologi, di mana, hampir 75% stok sumber daya global sudah tidak
memberikan manfaat secara biologi (telah mengalami biological overfishing), juga
dipicu oleh perubahan sosial, ekonomi, dan kelembagaan serta politik yang memaksa
beberapa negara yang memiliki laut melakukab turning the tide terhadap kebijakan
perikanan dan kelautan mereka (Fauzi 2005). Dengan demikian, erat kaitannya
antara kondisi sumber daya perikanan dengan bagaimana kelembagaan dalam
mengelola sumber daya perikanan ini.
Berbagai model pengelolaan dikembangkan untuk mengatur sumber daya
perikanan, agar terhindar dari kondisi degradasi dan permasalahan lainnya terkait
pada kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan seperti konflik teknologi dan
konflik wilayah. Pada dasarnya, pengelolaan ini dibuat untuk mengatur hak
kepemilikan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan (Schlager dan Ostrom
74

1992; Ostrom et al. 1994; Agrawal 2003; Dolsak dan Ostrom 2003; Imperial dan
Yandle 2003; Hidayat 2005).
Salah satu contoh kelembagaan lokal yang berkembang di Indonesia untuk
mengelola sumber daya perikanan pantai adalah awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur. Kelembagaan awig-awig ini bertujuan
untuk mengatasi konflik yang marak terjadi di antara nelayan lokal dengan nelayan
pendatang dan antar nelayan lokal sendiri, terkait persaingan wilayah penangkapan
dan persaingan penggunaan teknologi terutama alat tangkap yang menyebabkan
kondisi sumber daya perikanan pantai tindak memberikan manfaat secara biologi dan
ekonomi seperti penurunan hasil tangkapan; kerusakan ekosistem terumbu karang
dan mangrove; hilangnya salah satu pulau kecil (Gili) di wilayah perairan Kabupaten
Lombok Timur; dan penurunan pendapatan nelayan lokal (Syaifullah 2009). Atas
dasar ini, penulis menganggap penting untuk mengevaluasi implikasi kebijakan
pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur.

7.2 Tinjaun Pustaka

7.2.1 Kinerja Kelembagaan

Analisis kinerja (performance) kelembagaan (institutional arrangement)


berdasarkan kerangka analisis IAD terdapat 2 pendekatan. Pertama, berkaitan dengan
waktu tertentu (specific points in time), dan yang kedua, berkaitan dengan waktu
yang keberlanjutan (sustained period of time) (Miarintsoa 2011). Analisis kinerja
kelembagaan yang berkaitan dengan waktu yang berkelanjutan dapat dilakukan
penilaian efisiensi (efficiency), berkeadilan (equity), dapat dipertanggungjawabkan
(accountability), dan berkelanjutan (adaptability) (Miarintsoa 2011; Mokhahlane
2009; Imperial dan Yandle 2005; Polski dan Ostrom 1999).
Efisensi (efficiency) dapat berupa efiseinsi ekonomi dan efisiensi fiskal.
Penilaian secara efisiensi ekonomi ini berkaitan dengan seberapa besar perubahan
aliran keuntungan bersih terkait dengan alokasi atau realokasi sumber daya, dengan
kata lain efisiensi secara ekonomi ini berjalan saat tidak adanya realokasi sumber
daya, tetap memberikan kesejahteraan kepada sebagian orang atau kelompok tanpa
merugikan orang atau kelompok yang lain (keadaan ini sering dikenal sebagai
Pareto-Efficient). Sedangkan, penilaian efisiensi fiskal yang dimaksudkan di sini
adalah berkaitan dengan biaya administrasi yang dikeluarkan untuk melakukan
pengelolaan, sehingga efisiensi fiskal sangat tergantung kepada siapa yang terlibat
dalam pengelolaan (Polski dan Ostrom 1999).
Keadilan (equity), terdiri dari dua konsep keadilan, yakni keadilan secara
fiskal dan keadilan retribusi. Keadilan secara fiskal ini berkaitan dengan siapa yang
berhak dan kewajiban menanggung beban keuangan dalam pengelolaan, sehingga
keadilan fiskal ini juga tergantung bagaimana dan siapa saja yang terlibat dalam
pengelolaan. Sedangkan keadilan retribusi berkaitan dengan kegiatan pengelolaan
dikaitkan dengan kemampuan untuk membayar (Imperial dan Yandle 2005).
Dipertanggungjawabkan (accoutability), di mana prinsip penting dalam
pengaturan kelembagaan (institutonal arrangement) adalah bahwa setiap tindakan
(actions) dapat dipertanggunjawabkan oleh semua aktor yang terlibat dalam
pengaturan kelembagaan. Mekanisme pertanggungjawaban ini dapat berjalan secara
formal maupun informal, dan dapat mempengaruhi efisiensi dan keberlanjutan dari
kelembagaan (Polski dan Ostrom 1999).
75

Keberlanjutan (adaptability/sustainability), di mana, analisis ini membutuhkan


waktu yang lebih lama, karena pada penilaian ini melihat bagaimana kelembagaan
yang ada dapat menerima perubahan-perubahan informasi dan lingkungan yang
terjadi, dan biasanya sangat dipengaruhi bagaimana tanggung jawab dilaksanakan
(Imperial dan Yandle 2005).
Suatu kelembagaan dikatakan keberlanjutan (sustainability) atau tidak, dapat
dilihat dari bagaimana kondisi sumber daya yang dikelola, seperti hasil penelitian
Wendel (2004) dalam Mokhahlane (2009), di mana Wandel menyatakan bahwa
pengelolaan akan wilayah penggembalaan peternakan menjadi tidak berkelanjutan
(sustainable), karena terjadi degradasi sumber daya air dan tanah akibat investasi
dari pemilik lahan tanpa melibatkan pemanfaat lahan yang lain, dan tanpa ada
batasan yang jelas akan wilayah yang dapat dimanfaatkan, serta siapa saja yang
diperbolehkan untuk memanfatkan lahan.
Sehingga pada indikator keberlanjutan ini sangat erat hubungannya antara
kelembagaan dengan kondisi sumber daya yang dikelolanya. Di mana, suatu
kelembagaan tidak akan berkelanjutan saat kelembagaan ini tidak dapat meneriman
tekanan dan perubahan terutama yang terjadi pada kondisi sumber daya perikanan
dan kondisi masyarakat pemanfaat, maupun teknologi yang digunakan dalam
memanfaatkan sumber daya (Ostrom et al. 1994; Dolsak dan Ostrom 2003).

7.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur,


Nusa Tenggara Barat, dan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2013. Pada
penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan
melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan sumber
daya perikanan pantai di wilayah periaran Kabupaten Lombok Timur mengenai
kelembagaan awig-awig. Pengambilan sample pada penelitian ini, menggunakan
snow-ball sampling yang dilakukan dengan mengadaptasi Reed et al.(2009) dan Prell
et al. (2009), yakni dengan menentukan terlebih dahulu beberapa aktor yang
kemungkinan terlibat dalam kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur
dan melakukan wawancara, kemudian dari informasi ini akan ditentukan beberapa
aktor berikutnya yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig ini.
Selain melalui wawancara langsung, data primer juga dilakukan melalui
pengumpulan data secara observasi. Observasi ini dilakukan dengan pengamatan
tidak mendetail hanya dengan mendeskripsikan apa yang ada di lapangan, karena
data observasi ini hanya untuk mendukung hasil data wawancara.
Data sekunder berupa peraturan-peraturan yang terkait pengelolaan sumber
daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur, data perikanan, dan data-data
pendukung lainnya seperti kondisi topografi dan demografi kondisi umum lokasi
penelitian diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, antara
lain, Badan Pusat Statistik (BPS), BPS Kabupaten Lombok Timur, Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok
Timur, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik yang berupa thesis, desertasi,
maupun jurnal-jurnal nasional dan international.
Implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupten
Lombok Timur, pada penelitian ini, dilakukan dengan mengevaluasi hasil analisis
kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai dan hasil
evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai.
76

7.4 Metode Analisis Data

Implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai dilakukan


dengan mengevaluasi hasil-hasil dari analisis kelembagaan awig-awig dan evaluasi
dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai dan
memaparkan beberapa rekomendasi perbaikan kelembagaan awig-awig dari hasil-
hasil analisis yang telah dilakukan (Gambar 3.3).

7.5 Hasil dan Pembahasan

Hasil evaluasi menunjukkan keterkaitan antara kondisi pemanfaat sumber daya


perikanan, kondisi sumber daya perikanan yang ada, pengaturan yang disepakati, dan
penggunaan teknologi dalam kegiatan pemanfaatan sumber dapat mempengaruhi
bagaimana suatu kelembagaan berjalan dalam mengelola sumber daya perikanan
yang ada. Dan, bagaimana implikasi dari suatu kelembagaan mempengaruhi kondisi
sumber daya alam yang dikelola (Tabel 7.1).
Tabel 7.1 Evaluasi awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten
Lombok Timur
Analisis Kelembagaan Awig-Awig Evaluasi Dampak Kelembagaan Awig-Awig
Pengelolaan Sumber Daya Perikan Pantai Terhadap Sumber Daya Perikanan
Ketidakefektifan proses pembuatan awig- Peningkatan upaya penangkapan yang diikuti
awig; peraturan yang disepakati; kegiatan dengan penurunan produksi perikanan, laju
monitoring dan penegakkan awig-awig degradasi dan depresiasi yang mendekati
ambang batas degradasi, penggunaan teknologi
yang tidak efisien
Sumber: Data Primer, Diolah

Hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan


pantai di Kabupaten Lombok Timur menunjukan ketidakefektifan kelembagaan
awig-awig yang ditandai pada ketidakefetifan pembuatan awig-awig, peraturan yang
disepakati; dan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig. Ketidakefektifan
proses pembentukan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai ditandai
dengan ketidakikutsertaan nelayan budidaya, nelayan penglolah hasil laut, dan
wanita nelayan dalam kepengurusan KPPL Kawasan, yang merupakan lembaga
informal yang mempunyai tugas dan kewenangan membuat, memonitoring, dan
menegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan. Nelayan budidaya
terutama nelayan budidaya hasil laut juga memanfaatkan wilayah perairan pantai,
sehingga dengan ketidakikutsertaan nelayan budidaya ini akan memicu pada konflik
wilayah pemanfaatan sumber daya perikanan pantai.
Sedangkan, nelayan pengolah hasil laut juga memiliki kepentingan dan
bergantung kepada sumber daya perikanan pantai, jika hasil perikanan mengalami
penurunan kualitas dan kuantitas yang disebabkan karena penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan, maka hasil produk pengolahan juga mengalami penurunan
kualitas dan harga jual akan menurun. Wanita nelayan juga memiliki peran dan
kepentingan pada kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan. Di mana, hampir
semua wanita nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur membatu suami
mereka yang berprofesi sebagai nelayan dalam mempersiapkan keperluan melaut,
dan menjualkan hasil tangkap.
77

Ketidakefektifan peraturan yang disepakati ditandai dengan peraturan yang ada


masih lemah dalam memberikan batas pengaturan seperti tidak adanya batas hari
melaut, dan batas kepemilikan serta penggunaan alat tangkap. Batas pengaturan ini
berkaitan dengan penggunaan teknologi dalam memanfaatkan sumber daya
perikanan pantai yang ada.
Ketidakefektifan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai ini ditandai dengan adanya penurunan kualitas dan
kuantitas dari kegiatan monitoring dan pengakkan, terutama saat awig-awig
pengelolaan sumber daya perikanan pantai telah dibukukan pada tahun 2003. Di
mana, kegiatan monitoring ini dilaksanakan patroli laut dengan menggunakan speed
boat setiap sebulan sekali, tetapi saat ini, kegiatan hanya dilakukan di darat dan
dibantu oleh nelayan lokal saat mereka melaut, sedangkan speed boat saat ini, hanya
sebagai simbul bahwa KPPL Kawasan pernah berjaya dalam kegiatan patroli laut.
Dan, nelayan lokal sendiri, beberapa melaporkan jika melihat adanya pelanggaran
terhadap awig-awig, seperti penggunaan bom dan potas; tetapi beberapa nelayan
lebih memilih tidak melaporkan dengan alasan demi keselamatan jiwa dan
keberlanjutan kegiatan penangkapan mereka. Sehingga, ketidakefektifan kegiatan
monitoring dan penegakkan awig-awig ini selain dipicu pada tingginya biaya
operational kegiatan patroli laut, juga disebabkan karena tingginya resiko
keselamatan jiwa.
Hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya
perikanan terlihat bahwa kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan masih mengakibatkan sumber daya perikanan pantai tidak memberikan
manfaat secara biologi dan ekonomi. Pada sisi biologi, keadaan ini terlihat bahwa
dengan pengelolaan yang ada saat ini masih menunjukkan hasil produksi sumber
daya perikanan pantai yang terus menurun yang diikuti peningkatan nilai upaya
penagkapan; nilai produksi aktual ini telah melebihi nilai MSY; nilai laju degradasi
dan laju depresiasi yang mendekati nilai ambang batas degradasi. Pada sisi ekonomi,
ditandai dengan nilai upaya aktual penangkapan telah melebihi kondisi MEY dan
MSY; nilai rente atau keuntungan dan nilai manfaat dari kegiatan penangkapan yang
terus menurun (atau dengan kata lain nelayan terus mengalami kerugian); dan
penggunaan teknologi yang tidak efisien, di mana, nilai input (upaya, ukuran kapal,
ukuran mesin, dan tenaga kerja) melebihi kemampuan input untuk mendapatkan per
unit output (hasil tangkapan).
Hasil evaluasi implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai
menunjukkan ketidakefektifan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur ini dapat diperbaiki. Beberapa
rekomendasi perbaikan pada proses pembentukan, peraturan yang disepakati, dan
kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig dari hasil analisis pada penelitian ini
seperti terlihat pada Tabel 7.2.
Perbaikan proses pembentukan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai. Sesuai kesepakatan bersama, awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai masih memungkinkan adanya perbaikan-perbaikan, baik pada segi
isi peraturan yang disepakati maupun pada kepenguruan KPPL Kawasan yang
merupakan lembaga informal yang bertugas dalam membuat, menerapkan, dan
menegakkan awig-awig. Berdasarkan hasil analisis pada analisis kelembagaan dan
evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan perbaikan
pada proses pemberntukan awig-awig ini dengan lebih melibatkan secara aktif
78

masyarakat lokal terutama yang terlibat secara langsung pada kegiatan pemanfaatan
sumber daya perikanan pantai seperti melibatkan nelayan budidaya, nelayan
pengolah hasil perikanan, dan wanita nelayan.
Tabel 7.2 Perbaikan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan
pantai di Kabupaten Lombok Timur
Perbaikan Awig-awig Pengelolaan Pelaksanaan
Sumber Daya Perikanan Pantai
Proses Meningkatkan peran Nelayan tangkap membantu dalam mencarikan
pembentukan nelayan lokal dalam pakan alami untuk nelayan pembudidaya;
awig-awig kelembagaan awig- dan/atau Nelayan tangkap bersama-sama
awig nelayan pembudidaya mengembangkan usaha di
bidang parawisata dengan melakukan kegiatan
1 hari keliling pantai (one day trip)
Meningkatkan peran Melibatkan secara aktif wanita nelayan dalam
wanita nelayan dalam kepengurusan KPPL Kawasan
kelembagaan awig-
awig
Isi peraturan Pembatasan hari Menanbahakan dalam peraturan awig-awig
yang melaut pengelolaan sumber daya perikanan pantai
disepakati tentang pembatasan jumlah hari mereka melaut
Pembatasan jumlah Menambahkan dalam peraturan awig-awig
alat tangkap pengelolaan sumber daya parikanan pantai
tentang pembatasan kepemilikan alat tangkap
saat melakukan 1 (satu) kali kegiatan
penangkapan
Meningkatkan Setiap warga yang melaksanakan pernikahan
pemahaman akan dan selamatan (kelahiran, khitanan, dan
sumber daya kematian) diwajibkan untuk menanam pohon
perikanan dan mangrove, melakukan penebaran benih ikan,
lingkungan dan/atau turut dalam rehabilitasi terumbu
karang yang ada; dan, setiap 1 minggu sekali
atau setidaknya satu bulan sekali, dilaksankanan
kegiatan bersih-bersih pantai, yakni dengan
bersama-sama membersihkan pantai dari
sampah-sampah terutama sampah plastik.

Monitoring Meningkatkan peran Peningkatan peran kelembagaan formal seperti


dan kelembagaan formal Pemerintah Daerah Lombok Timur, Pemerintah
penegakkan Propinsi, dan Pemerintah Pusat, serta dari
awig-awig lembaga pendidikan seperti Universitas
Mataram dapat dilakukan dengan cara
mendukung kelembagaan awig-awig baik dari
segi pemberian informasi dan finansial melalui
kegiatan pelatihan dan penyuluhan, serta
bantuan berupa biaya operasional untuk
kegiatan pengawasan, walaupun tidak berupa
pemberian uang, tetapi dapat dilakukan dengan
bekerja sama dan melibatkan pengurus KPPL
Kawasan saat melakukan kegiatan pengawasan.
79

Ketiga aktor ini juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
memanfaatkan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur. Seperti
pada nelayan budidaya, terutama nelayan yang melakukan kegiatan budidaya laut
banyak ditemukan di kawasan Teluk Ekas dan Teluk Serewe. Nelayan pengolah hasil
perikanan ini banyak ditemukan di kawasan Pringgebaya. Sedangkan wanita nelayan
ini banyak yang bekerja sebagai pengolah hasil perikanan dan pedagang ikan. Wanita
nelayan ini sering membantu dalam memasarkan hasil tangkapan dari suami mereka.
Pengutan isi peraturan yang disepakati, dengan memambahkan batasan hari
melaut, batasan penggunaan alat tangkap, dan peningkatan pemahaman kondisi
sumber daya perikanan dan lingkungan. Pembatasan hari melaut, dilakukan untuk
mengurangi kelebihan input terutama pada kegiatan penangkapan yang dilakukan
oleh nelayan pancing dan bagan sampan. Pembatasan jumlah hari ini, dapat
dilakukan dengan menambahkan peraturan dalam awig-awig pengelolaan sumber
daya perikanan pantai bahwa setiap nelayan diperbolehkan melaut dalam sebulan
hanya beberapa hari saja dan di hari-hari tertentu, dilarang melakukan kegiatan
penangkapan. Sampai saat ini, sebenarnya nelayan lokal hanya melaut selama 20-23
hari dalam sebulan, sehingga kebiasaan ini dapat ditambahkan dalam peraturan awig-
awig, dan jika nelayan melanggar aturan ini, maka dikenakan denda dalam jumlah
yang disesuaikan berdasarkan kesepakatan bersama.
Selain itu, pembatasan hari melaut terutama untuk kegiatan penangkapan ini
dapat dialihkan kepada kegiatan pariwisata, misalnya dengan menyewakan perahu
untuk kegiatan sehari berkeliling perairan. Kegiatan ini telah dilakukan oleh nelayan
lokal di kawasan Sambelia, di mana, saat mereka tidak melakukan kegiatan
penangkapan, mereka menyewakan perahu mereka untuk kegiatan pariwisata, seperti
berkeliling wilayah perairan pantai, mengunjungi beberapa pulau kecil, dan/atau
mengantarkan para wisatawan untuk bersnorkling dan diving di kawasan Sambelia.
Pembatasan jumlah alat tangkap, dilakukan untuk mengurangi kelebihan input
terutama pada kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pancing dan
bagan sampan. Pentingnya pembatasan kepemilikan alat tangkap ini karena sampai
saat ini pengkontrolan akan kepemilikan alat tangkap ini belum dilakukan, sehingga
tidak ada pengkontrolan akan alat tangkap yang diperbolehkan untuk digunakan oleh
nelayan lokal dalam melakukan satu kali kegiatan penangkapan, yang menyebabkan
nelayan dapat menggunakan lebih dari satu alat tangkap dalam melakukan satu kali
penangkapan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan pendataan dan monitoring pada
nelayan lokal dan kepemilikan alat tangkap, dan saat ada pelanggaran akan batas
kepemilikan alat tangkap ini, maka nelayan tersebut dikenakan denda sesuai dengan
kesepatan dalam peraturan yang disepakati.
Peningkatan pemahaman kondisi sumber daya perikanan dan lingkungan ini
dapat dilakukan dengan menambahkan dalam peraturan dalam awig-awig
pengelolaan sumber daya perikanan pantai tentang kewajiban terutama bagi
masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, saat mereka menyelenggarakan
pernikahan dan/atau selamatan untuk melakukan penanaman mangrove, penebaran
bibit ikan, dan/atau turut dalam program rehabilitasi terumbu karang. Dengan
kewajiban ini, maka secara tidak langsung akan meningkatkan pemahaman
masyarakat setempat akan pentingnya perawatan dan pelestarian sumber daya
perikanan dan lingkungan. Selain itu, kegiatan bersih-bersih pantai yang dilakukan
seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali ini juga dapat membantu peningkatan
pemahaman terhadap sumber daya perikanan dan lingkungan.
80

Perbaikan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan


sumber daya perikanan pantai, dilakukan dengan meningkatkan peran serta dari
lembaga formal terutama pemerintah daerah. Peningkatan peran lembaga formal ini
seperti pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Lombok Timur, dan lebih melibatkan pula dari pihak keamanan seperti
polisi air dan udara Kabupaten Lombok Timur dan/atau pihak kepolisian setempat.
Hal ini, dikarenakan kelembagaan awig-awig yang ada saat ini masih menunjukkan
ketergantungan yang tinggi terhadap lembaga formal, sehingga masih diperlukannya
peran lembaga formal untuk memicu insentif dari kegiatan monitoring, pelaksanaan,
dan penegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, terutama
dalam membantu penyediaan biaya operasional. Selain itu, sampai saat ini, nelayan
lokal terutama yang tergabung dalam KPPL Kawasan masih menganggap bahwa
dengan kertelibatan secara langsung pihak pemerintah, pelaksanaan dan penegakkan
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai lebih kuat secara hukum dan
lebih dihormati oleh nelayan yang lain.

7.6 Simpulan

Hasil evaluasi implikasi pengelolaan sumber daya perikanan pantai di


Kabupaten Lombok Timur, menunjukkan pelaksanaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai sampai saat ini masih mengalami ketidakefektifan
yang dikarenakan adanya kegagalan dalam proses pembentukan awig-awig; isi
peraturan; dan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan sumber
daya perikanan pantai.
8. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan

1. Hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai


menunjukan ketidakefektifan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur terjadi karena ketidakefektifan
proses pembuatan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan; peraturan
yang disepakti; dan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig.
2. Hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan
menunjukkan ketidakefektifan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai berdampak pada kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan
pantai yakni nilai produksi sumber daya perikanan terus menurun yang diikuti
dengan peningkatan upaya penangkapan setiap tahun; nilai produksi yang telah
melampaui MSY; nilai upaya yang melampaui kondisi MSY dan MEY; laju
degradasi dan laju depresiasi yang mendekati nilai ambang batas degradasi;
penurunan nilai profit dan benefit, serta ketidakefisienan penggunaan teknologi.
3. Beberapa rekomendasi dari hasil evaluasi implikasi kebijakan pengelolaan
sumber daya perikanan untuk perbaikan ketidakefektifan kelembagaan awig-awig
pengelolaan sumber daya perikanan pantai antara lain perbaikan pada proses
pembuatan awig-awig; isi peraturan yang disepakati; dan kegiatan monitoring
dan penegakkan awig-awig.

8.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang ada, antara lain:
1. Perbaikan pada proses pembentukan dengan lebih melibatkan masyarakat lokal,
seperti nelayan perikanan tangkap, nelayan budidaya, nelayan pengolah hasil
perikanan dan kelauatan, dan wanita nelayan;
2. Perbaikan pada isi peraturan yang disepakati dengan menambahkan batasan hari
melaut, batasan penggunaan alat tangkap, dan peningkatan pemahaman kondisi
sumber daya perikanan dan lingkungan;
3. Perbaikan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig dengan meningkatkan
peran serta lembaga formal terutama pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Adhuri D S. 2013. Opportunities and Challenges for Ecosystem based Fisheries


Management in East Lombok: Some Impressions from a Short Field Visit.
Adhuri D S dan Indrawasih R. 2003. Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara
Terpadu (Co-Management Sumber Daya Alam) Pembelajaran dari Praktek
Pengelolaan Sumber Daya Laut di Bangka-Belitung. Jawa Tengah. dan Jawa
Timur serta Pengelolaan Taman Nasional Lore di Sulawesi Tengah. Jakarta:
Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI.
Adrianto L. 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di
Indonesia. IPB Press: Bogor.
Agrawal A. 2003. Sustainable Governance of Common-Pool Resource:Context.
Methods. and Politics. Annu. Rev. Anthropol.32:243-262.
Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-Pencemaran.
Desertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai Di Lombok Timur Tahun
2003.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur. Sakernas 2009.[Internet].
[diunduh 2013 Juli 2013]. Tersedia pada http://lomboktimurkab.go.id/.
[BPS] Badan Pusat Statistik. Sakernas 2004-2013.[Internet]. [diunduh 2014 Februari
20]. Tersedia pada http://bps.go.id/.
[BKPM] Direktorat Pengembangan Potensi Daerah BKPM. 2013. Potensi Budidaya
Tambak Kabupaten Lombok Timur [Internet]. [diunduh 2014 Februari 06].
Tersedia pada www.regionalinvestment.bkpm.go.id.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur. 2012. Data
Statistik Perikanan Tahun 2012.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur. 2010. Buku
Potensi Kelautan dan Perikanan kabupaten Lombok Timur. 44 hlm.
Dolsak N dan Ostrom E. 2003. The Commons in The New Millennium Challenges
and Adaptation. Massachusettes: The NIT Press.
[EC] Economics Concepts. Law of Returns to Scale.[Internet]. [diunduh 2014
Februari 02]. Tersedia pada http://economicsconcepts.com.
Fare R, Grosskopf S, dan Kirkley J E. 2000. Data Envelopment Analysis (DEA): A
Framework for Assessing Capacity in Fisheries When Data are Limited. IIFET
Proccedings.
Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Isu, Sintesis, dan Gagasan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi A. 2010. Ekonomi Sumber Daya Perikanan Teori. Kebijakan. dan Pengelolaan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi A. 2010. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi A dan Anna S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk
Analisis Kebijakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi A dan Anna S. 2002. Penilaian Depresiasi Sumberdaya Perikanan Sebagai
Bahan Pertimbangan Penentuan Kebijakan Pembangunan Perikanan. Pesisir
dan Lautan Volume 4 Nomor 2 Tahun 2002. 36-49.
84

Grafton R Q, Adamowicz W, Dupont D, Nelson H, Hill R J, dan Renzetti S. 2004.


The Economics of The Environment and Natural Resources. Oxford: Blackwell
Publishing.
Gordon S H. 1954. The Economic Theory of A Common-Property Resource: The
Fisheries. The Journal of Political Economy. Vol. 62. No.2. 124-142.
Hanna S, Folke C, Maler K-G, Jasson A. 1996. Rights to Nature Ecological,
Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the
Environmental. Washington DC: Island Press.
Hallacher E. 2003. The Ecology of Coral Reef Fishes. University of Hawaii: Hilo.
Hien T T. 2011. Measuring Capacity and Capacity Utilization in Small-Scale
Fisheries in Nha Trang. Master Thesis in Fisheries and Aquaculture
Management and Economics, The Norwegian Collage of Fishery Science,
University of Tromso, Norway and Nha Trang University, Vietnam.
Hidayat A. 2005. Institutional Analysis of Coral Reef Management A Case Study of
Gili Indah Village West Lombok. Indonesia. Shaker Verlag:Berlin. Humboldt-
Unv.
Imperial M T dan Yandle T. 2005. Taking Institutional Seriously: using the IAD
Framework to Analyze Fisheries Policy. Social and Natural Resource. 18:493-
509.
Indrawasih R. 2008. Co-Management Sumber daya Laut Pembelajaran dari
Pengelolaan Model Co-Fish di Kabupaten Lombok Timur. Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial ekonomi Kelautan dan
Perikanan 3(2). 175-198.
Kabupaten Lombok Timur.[Internet]. [diunduh 2014 Februari 02]. Tersedia pada
http://lomboktimurkab.go.id.
Mazurek R. 2011. Commercially Important Groupers of The Gulf of Mexico ans
South Atlantic Regions. Seafood Watch Seafood Report. Monterey Bay
Aquarium.
Miarintsoa H. 2011. Developing a Sustainable Financing of The Protected Areas:
Watershed-based Payment of Ecosystems Services in Madagascar. The
University of Tokyo.
Mokhahlane M. 2009. Institutional Factors Affecting The Use of Communal
Rangelands in The Eastern Cape Province of South Africa. A Dissertation
Submitted in Fulfilment of the Requirements For The Degree of Master of
Science. Departement of Agricultural Economics and Extension. Faculty of
Science and Agricultural. University of Fort Hare. Republic of South Africa.
Ostrom E dan Gardner R. Walker J. 1994. Rules. Games. and Common-Pool
Resources. University Of Michigan Press.
Ostrom E. 1990. Governing The Commons The evolutions of institutions for
collective action. Cambridge University Press.
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 9 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai Secara Partisipatif.149-177.
Petersen E H. 2006. Institutional Economics and Fisheries Management The Case of
Pasific Tuna. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Inc.
Polski M dan Ostrom E. 1999. An Institutional Framework for Policy and Design.
Prell C, Hubacek K, dan Reed M. 2009. Stakeholder Analysis and Social Network
Analysis in Natural Resource Management. Society and Natural Resource 22:
501-518.
85

Reed M S, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C, Quinn


C H, dan Stringer L C. 2009. Whos in and Why? A typology of stakeholder
analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental
Management 90: 1933-1949.
Syaifullah. 2009. Awi-awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan Komite
Pengelolaan Perikanan Laut.
Schlager E dan Ostrom E. 1992. Property-Rights Regimes and Natural Resources: A
Conceptual Analysis. Land Economics. 68(3):249-262.
Solihin A dan Satria. 2007. Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai Solusi
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus Awig-Awig di Lombok Barat.
Jurnal Transdisipliner Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol.1
Tahun 2007. 67-85.
Sudrajat A. 2011. Glosarium Akuakultur. Yrama Widya: Bandung.
Tai S Y, Noh K M, Abdullah N M R. 2000. Valuing Fisheries Depreciation in
Natural Resource Accounting. Environmental and Resource Economics. 15:
227-241.
[WWF] The World Wide Fund Indonesia. 2009. Ecosystem-based Fisheries
Management to Achieve Sustainable Business and Resources [Internet].
[diunduh 2014 Januari 05]. Tersedia pada http://awsassets.
wwf.or.id/downloads/11_fisheries_profile___marine.pdf.
87

Lampiran 1. Gambar lokasi penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan


potas
88

Lampiran 2 Kondisi tempat tinggal nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur


89

Lampiran 3 Contoh awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai


Kabupaten Lombok Timur
90
91
92

Lampiran 4 Contoh Surat Keputusan (SK) KPPL Kawasan

7
93

Lampiran 5 Gambar sampan mesin tempel yang digunakan oleh nelayan lokal
Kabupaten Lombok Timur
94

Lampiran 6 Contoh sumber daya ikan yang ditangkap oleh nelayan lokal
Kabupaten Lombok Timur
95

Lampiran 7Analisis bioekonomi


Estimasi Produksi Sumber Daya Ikan
Produksi (ton)
produksi share pancing Share Bagan S Total Produksi
Tahun
total total
cucut kakap kerapu total cucut kakap kerapu cucut kakap kerapu ikan demersal
pancing bagan s
2002 1257,90 943,70 558,60 2760,20 125,79 377,48 223,44 726,71 8,81 8,49 5,03 22,33 749,04
2003 2786,80 970,80 528,40 4286,00 278,68 388,32 211,36 878,36 19,51 8,74 4,76 33,00 911,36
2004 2611,80 978,10 579,20 4169,10 261,18 391,24 231,68 884,10 18,28 8,80 5,21 32,30 916,40
2005 256,80 746,90 169,60 1173,30 25,68 298,76 67,84 392,28 1,80 6,72 1,53 10,05 402,33
2006 355,60 806,80 345,60 1508,00 35,56 322,72 138,24 496,52 2,49 7,26 3,11 12,86 509,38
2007 518,12 621,45 311,46 1451,04 51,81 248,58 124,59 424,98 3,63 5,59 2,80 12,02 437,00
2008 777,50 312,50 213,50 1303,50 77,75 125,00 85,40 288,15 5,44 2,81 1,92 10,18 298,33
2009 387,50 315,10 209,90 912,50 38,75 126,04 83,96 248,75 2,71 2,84 1,89 7,44 256,19
2010 538,30 296,30 96,20 930,80 53,83 118,52 38,48 210,83 3,77 2,67 0,87 7,30 218,13
2011 222,00 276,30 57,10 555,40 22,20 110,52 22,84 155,56 1,55 2,49 0,51 4,55 160,11

Estimasi Standarisasi Alat Tangkap


Upaya (hari melaut)

Tahun Upaya CPUE Indeks Standarisasi


Jumlah jumlah Jumlah Bagan Upaya CPUE Total Upaya
Bagan Bagan Bagan Upaya Bagan
hari pancing (unit) Sampan (unit) Pancing pancing Stand
Sampan Sampan Sampan Sampan

2002 312 749 26 233688 8112 0,00311 0,002752 0,885031 7179,36768 240867,3677
2003 348 749 26 260652 9048 0,00337 0,003647 1,082319 9792,81873 270444,8187
2004 242 977 32 236434 7744 0,003739 0,004171 1,11538 8637,50284 245071,5028
2005 288 1034 30 297792 8640 0,001317 0,001163 0,882675 7626,30828 305418,3083
2006 288 1034 32 297792 9216 0,001667 0,001395 0,836954 7713,37177 305505,3718
2007 312 1149 32 358488 10094 0,001185 0,001191 1,004761 10142,0103 368630,0103
2008 312 1149 32 358488 9984 0,000804 0,001019 1,268089 12660,6043 371148,6043
2009 312 1055 30 329160 9360 0,000756 0,000795 1,051466 9841,71859 339001,7186
2010 336 1055 30 354480 10080 0,000595 0,000724 1,217748 12274,8977 366754,8977
2011 336 1055 32 354480 10752 0,000439 0,000424 0,965283 10378,7259 364858,7259
96

Estimasi Parameter Biologi


Total Upaya
Total Produksi
Tahun Stand (hari CPUE CPUE(t+1) E(t+1) LN CPUE(t+1) LN CPUE E+E(t+1)
(ton)
melaut)

2002 749,036 240867,368 0,003109745 0,00336986 270444,8 -5,6928849 -5,77321 511312,2


2003 911,3604 270444,819 0,003369857 0,00373931 245071,5 -5,5888542 -5,69288 515516,3
2004 916,3983 245071,503 0,00373931 0,0013173 305418,3 -6,6321747 -5,58885 550489,8
2005 402,3261 305418,308 0,001317295 0,00166734 305505,4 -6,3965268 -6,63217 610923,7
2006 509,3808 305505,372 0,001667338 0,00118547 368630 -6,7376135 -6,39653 674135,4
2007 437,00091 368630,01 0,001185473 0,00080379 371148,6 -7,1261693 -6,73761 739778,6
2008 298,3265 371148,604 0,000803793 0,00075571 339001,7 -7,1878509 -7,12617 710150,3
2009 256,1875 339001,719 0,000755712 0,00059476 366754,9 -7,4273551 -7,18785 705756,6
2010 218,1306 366754,898 0,000594759 0,00043884 364858,7 -7,7313757 -7,42736 731613,6
2011 160,1146 364858,726 0,00043884 Y X1 X2

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 0,917609647
R Square 0,842007465
Adjusted R Square 0,789343286
Standard Error 0,338600696
Observations 9
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 2 3,666117 1,833058488 15,98823889 0,003944
Residual 6 0,687903 0,114650432
Total 8 4,35402
97

Standard Lower Upper


Coefficients Error t Stat P-value 95% Upper 95% Lower 95,0% 95,0%
Intercept -1,66065461 1,224674 -1,35599741 0,223908784 -4,65732 1,336014414 -4,657323627 1,336014
X Variable 1 0,200269801 0,404445 0,495171717 0,638088139 -0,78937 1,189911437 -0,789371835 1,189911
X Variable 2 -5,8867E-05 2,99E-05 -1,965707218 0,096925273 -0,00013 1,44106E-05 -0,000132144 1,44E-05

r=2*(1-b)/(1+b) 1,332584055
q=-c*(2+r) 0,000196179
K=(EXP((a*(2+r)/(2*r)))/q) 639,0383151 ton

EMSY=r/(2*q) 339634,7115 hari melaut


MSY=K/2 319,5191575 ton
hMSY=r*(K/4) 212,8930672 ton
98

Lampiran 8 Maple output

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>
99

>

>

>

>

>

>

>

>
100

Lampiran 9 Analisis DEA

Data Alat Tangkap Sebagai DMU


DMU (i)Effort (i)GT (i)PK (i)ABK (o)Produksi
Pancing1 5338 349,125 532 266 1,944
Pancing2 8004 414 1104 276 2,208
Bagan Sampan1 6510 354,375 816 270 0,939
Bagan Sampan2 7008 408 912 272 1,048

Score

No. DMU Score Rank


1 Pancing1 1 1
2 Pancing2 1 1
Bagan
3 0,475869 4
Sampan1
Bagan
4 0,497189 3
Sampan2

In Rank order
Rank DMU Score
1 Pancing1 1
1 Pancing2 1
Bagan
3 Sampan2 0,497189
Bagan
4 Sampan1 0,475869

DMU

Bagan Sampan2
DMU

Pancing1

0 0,10,20,30,40,50,60,70,80,9 1

Efficiency
101

No. DMU Score


I/O Data Projection Difference %
1 Pancing1 1
Upaya(hari
melaut) 5338 5338 0 0,00%
Ukuran Sampan
(GT) 349,125 349,125 0 0,00%
Ukuran mesin
(PK) 532 532 0 0,00%
Tenaga Kerja
(ABK) 266 266 0 0,00%
Produksi (ton) 1,944 1,944 0 0,00%
2 Pancing2 1
Upaya(hari
melaut) 8004 8004 0 0,00%
Ukuran Sampan
(GT) 414 414 0 0,00%
Ukuran mesin
(PK) 1104 1104 0 0,00%
Tenaga Kerja
(ABK) 276 276 0 0,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
3 Bagan Sampan1 0,475869
Upaya(hari
melaut) 6510 2578,3858 -3931,61 -60,39%
Ukuran Sampan
(GT) 354,375 168,635995 -185,739 -52,41%
Ukuran mesin
(PK) 816 256,969136 -559,031 -68,51%
Tenaga Kerja
(ABK) 270 128,484568 -141,515 -52,41%
Produksi (ton) 0,939 0,939 0 0,00%
4 Bagan Sampan2 0,497189
Upaya(hari
melaut) 7008 3484,298 -3523,7 -50,28%
Ukuran Sampan
(GT) 408 193,668787 -214,331 -52,53%
Ukuran mesin
(PK) 912 442,976666 -469,023 -51,43%
Tenaga Kerja
(ABK) 272 135,235311 -136,765 -50,28%
Produksi (ton) 1,048 1,048 0 0,00%
102

(i)Upaya
(ii)Ukuran (iii)Ukuran (iv)Tenaga Prod. Aktual
Tahun (hari
sampan (GT) mesin (PK) kerja (ABK) (ton)
melaut)
2002 240867 1295895,04 2669637,60 914898,60 749,04
2003 270445 1295895,04 2669637,60 914898,60 911,36
2004 245072 898042,61 1850032,80 634015,80 916,40
2005 305418 939054,38 1934520,00 662970,00 402,33
2006 305505 1310843,25 2700432,00 925452,00 509,38
2007 368630 1299676,63 2677427,95 917568,39 437,00
2008 371149 1430428,95 2946787,20 1009879,20 298,33
2009 339002 1370252,81 2822820,00 967395,00 256,19
2010 366755 1370636,10 2823609,60 967665,60 218,13
2011 364859 1601375,18 3298948,80 1130566,80 160,11

No. DMU Nilai Ranking


1 2002 0,8316 3
2 2003 0,9012 2
3 2004 1,0000 1
4 2005 0,4199 5
5 2006 0,4459 4
6 2007 0,3295 6
7 2008 0,2150 7
8 2009 0,2021 8
9 2010 0,1591 9
10 2011 0,1174 10
DMU

0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000 0,6000 0,7000 0,8000 0,9000 1,0000
Nilai efisiensi
103

DMU Score
No Projection Difference %
I/O Data
1 2002 0,83
Upaya (hari melaut) 240867,37 40553,41 -200313,96 -16,84%
Ukuran sampan (GT) 1295895,04 561862,38 -734032,65 -43,36%
Ukuran mesin (PK) 2669637,60 1157477,24 -1512160,36 -43,36%
Tenaga kerja (ABK) 914898,60 396673,44 -518225,16 -43,36%
Produksi (ton) 749,04 0,00 749,04 0,00%
2 2003 0,90
Upaya (hari melaut) 270444,82 26720,59 -243724,23 -9,88%
Ukuran sampan (GT) 1295895,04 402789,36 -893105,68 -31,08%
Ukuran mesin (PK) 2669637,60 829775,30 -1839862,30 -31,08%
Tenaga kerja (ABK) 914898,60 284368,29 -630530,31 -31,08%
Produksi (ton) 911,36 0,00 911,36 0,00%
3 2004 1,00
Upaya (hari melaut) 245071,50 0,00 -245071,50 0,00%
Ukuran sampan (GT) 898042,61 0,00 -898042,61 0,00%
Ukuran mesin (PK) 1850032,80 0,00 -1850032,80 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 634015,80 0,00 -634015,80 0,00%
Produksi (ton) 916,40 0,00 916,40 0,00%
4 2005 0,42
Upaya (hari melaut) 305418,31 197824,64 -107593,67 -64,77%
Ukuran sampan (GT) 939054,38 544786,97 -394267,41 -58,01%
Ukuran mesin (PK) 1934520,00 1122300,63 -812219,37 -58,01%
Tenaga kerja (ABK) 662970,00 384618,21 -278351,79 -58,01%
Produksi (ton) 402,33 0,00 402,33 0,00%
5 2006 0,45
Upaya (hari melaut) 305505,37 169282,16 -136223,21 -55,41%
Ukuran sampan (GT) 1310843,25 811665,46 -499177,79 -61,92%
Ukuran mesin (PK) 2700432,00 1672089,65 -1028342,35 -61,92%
Tenaga kerja (ABK) 925452,00 573033,75 -352418,25 -61,92%
Produksi (ton) 509,38 0,00 509,38 0,00%
6 2007 0,33
Upaya (hari melaut) 368630,01 251763,28 -116866,73 -68,30%
Ukuran sampan (GT) 1299676,63 871428,93 -428247,70 -67,05%
Ukuran mesin (PK) 2677427,95 1795206,75 -882221,20 -67,05%
Tenaga kerja (ABK) 917568,39 615226,60 -302341,79 -67,05%
Produksi (ton) 437,00 0,00 437,00 0,00%
7 2008 0,21
Upaya (hari melaut) 371148,60 291367,44 -79781,17 -78,50%
Ukuran sampan (GT) 1430428,95 1138078,00 -292350,95 -79,56%
Ukuran mesin (PK) 2946787,20 2344523,09 -602264,11 -79,56%
Tenaga kerja (ABK) 1009879,20 803480,16 -206399,04 -79,56%
Produksi (ton) 298,33 0,00 298,33 0,00%
8 2009 0,20
Upaya (hari melaut) 339001,72 270489,75 -68511,97 -79,79%
Ukuran sampan (GT) 1370252,81 1119196,79 -251056,02 -81,68%
Ukuran mesin (PK) 2822820,00 2305626,47 -517193,53 -81,68%
Tenaga kerja (ABK) 967395,00 790150,10 -177244,90 -81,68%
Produksi (ton) 256,19 0,00 256,19 0,00%
9 2010 0,16
Upaya (hari melaut) 366754,90 308420,45 -58334,45 -84,09%
Ukuran sampan (GT) 1370636,10 1156874,71 -213761,39 -84,40%
Ukuran mesin (PK) 2823609,60 2383245,65 -440363,95 -84,40%
Tenaga kerja (ABK) 967665,60 816750,60 -150915,00 -84,40%
Produksi (ton) 218,13 0,00 218,13 0,00%
10 2011 0,12
Upaya (hari melaut) 364858,73 322039,44 -42819,29 -88,26%
Ukuran sampan (GT) 1601375,18 1444467,72 -156907,46 -90,20%
Ukuran mesin (PK) 3298948,80 2975708,10 -323240,70 -90,20%
Tenaga kerja (ABK) 1130566,80 1019790,53 -110776,27 -90,20%
Produksi (ton) 160,11 0,00 160,11 0,00%
104

Data Nelayan Pancing Sebagai DMU


DMU (i)Effort (i)GT (i)PK (i)ABK (o)Produksi
Pancing1 4752,00 346,50 528,00 264,00 1,32
Pancing2 8004,00 362,25 552,00 276,00 1,10
Pancing3 8004,00 414,00 1104,00 276,00 2,21
Pancing4 4752,00 346,50 528,00 264,00 2,64
Pancing5 8004,00 414,00 1104,00 276,00 2,21
Pancing6 8004,00 414,00 1104,00 276,00 2,21
Pancing7 4752,00 346,50 528,00 264,00 2,64
Pancing8 5016,00 346,50 528,00 264,00 1,32
Pancing9 8004,00 414,00 1104,00 276,00 2,21
Pancing10 4752,00 346,50 528,00 264,00 2,64

Score In Rank order

No. DMU Score Rank Rank DMU Score


1 Pancing1 0,5 8 1 Pancing4 1
2 Pancing2 0,4 10 1 Pancing7 1
3 Pancing3 0,8 4 1 Pancing10 1
4 Pancing4 1 1 4 Pancing5 0,8
5 Pancing5 0,8 4 4 Pancing6 0,8
6 Pancing6 0,8 4 4 Pancing9 0,8
7 Pancing7 1 1 4 Pancing3 0,8
8 Pancing8 0,5 8 8 Pancing8 0,5
9 Pancing9 0,8 4 8 Pancing1 0,5
10 Pancing10 1 1 10 Pancing2 0,4

DMU
Pancing2

Pancing3
DMU

Pancing5

Pancing4

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

Efficiency
105
No. DMU Score
I/O Data Projection Difference %
1 Pancing1 0,5
Upaya(hari melaut) 4752 2376 -2376 -50,00%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 173,25 -173,25 -50,00%
Ukuran mesin (PK) 528 264 -264 -50,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 132 -132 -50,00%
Produksi (ton) 1,32 1,32 0 0,00%
2 Pancing2 0,4
Upaya(hari melaut) 8004 1987,2 -6016,8 -75,17%
Ukuran Sampan (GT) 362,25 144,9 -217,35 -60,00%
Ukuran mesin (PK) 552 220,8 -331,2 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 110,4 -165,6 -60,00%
Produksi (ton) 1,104 1,104 0 0,00%
3 Pancing3 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 3974,4 -4029,6 -50,34%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
4 Pancing4 1
Upaya(hari melaut) 4752 4752 0 0,00%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 2,64 2,64 0 0,00%
5 Pancing5 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 3974,4 -4029,6 -50,34%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
6 Pancing6 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 3974,4 -4029,6 -50,34%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
7 Pancing7 1
Upaya(hari melaut) 4752 4752 0 0,00%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 2,64 2,64 0 0,00%
8 Pancing8 0,5
Upaya(hari melaut) 5016 2376 -2640 -52,63%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 173,25 -173,25 -50,00%
Ukuran mesin (PK) 528 264 -264 -50,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 132 -132 -50,00%
Produksi (ton) 1,32 1,32 0 0,00%
9 Pancing9 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 3974,4 -4029,6 -50,34%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
10 Pancing10 1
Upaya(hari melaut) 4752 4752 0 0,00%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 2,64 2,64 0 0,00%
106

Data Bagan Sampan Sebagai DMU


(i)u.
(i)u.sam
(i)Effort(hari pan (i)u. (i)t. kerja
DMU melaut (GT) mesin(PK) (ABK) (o)produksi(ton)
Bagan Sampan1 8004 414 1104 276 1,38
Bagan Sampan2 8004 414 1104 276 1,104
Bagan Sampan3 5016 396 528 264 0,792
Bagan Sampan4 5016 346,5 528 264 1,056
Bagan Sampan5 8004 414 1104 276 1,104
Bagan Sampan6 8004 362,25 1104 276 0,552
Bagan Sampan7 5016 396 528 264 0,528
Bagan Sampan8 8004 362,25 1104 276 0,828
Bagan Sampan9 8004 414 1104 276 1,38
Bagan Sampan10 5016 346,5 528 264 1,32

Score In Rank order


No. DMU Score Rank Rank DMU Score
1 Bagan Sampan1 1 1 1 Bagan Sampan10 1
2 Bagan Sampan2 0,8 4 1 Bagan Sampan9 1
3 Bagan Sampan3 0,6 7 1 Bagan Sampan1 1
4 Bagan Sampan4 0,8 4 4 Bagan Sampan4 0,8
5 Bagan Sampan5 0,8 4 4 Bagan Sampan5 0,8
6 Bagan Sampan6 0,4 9 4 Bagan Sampan2 0,8
7 Bagan Sampan7 0,4 9 7 Bagan Sampan8 0,6
8 Bagan Sampan8 0,6 7 7 Bagan Sampan3 0,6
9 Bagan Sampan9 1 1 9 Bagan Sampan6 0,4
10 Bagan Sampan10 1 1 9 Bagan Sampan7 0,4

DMU
Bagan Sampan7
Bagan Sampan8
DMU

Bagan Sampan4
Bagan Sampan10

0 0,10,20,30,40,50,60,70,80,9 1

Efficiency
107

No. DMU Score


I/O Data Projection Difference %
1 Bagan Sampan1 1
Upaya(hari melaut) 8004 5244 -2760 -34,48%
Ukuran Sampan (GT) 414 362,25 -51,75 -12,50%
Ukuran mesin (PK) 1104 552 -552 -50,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 276 0 0,00%
Produksi (ton) 1,38 1,38 0 0,00%
2 Bagan Sampan2 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 4195,2 -3808,8 -47,59%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 1,104 1,104 0 0,00%
3 Bagan Sampan3 0,6
Upaya(hari melaut) 5016 3009,6 -2006,4 -40,00%
Ukuran Sampan (GT) 396 207,9 -188,1 -47,50%
Ukuran mesin (PK) 528 316,8 -211,2 -40,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 158,4 -105,6 -40,00%
Produksi (ton) 0,792 0,792 0 0,00%
4 Bagan Sampan4 0,8
Upaya(hari melaut) 5016 4012,8 -1003,2 -20,00%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 277,2 -69,3 -20,00%
Ukuran mesin (PK) 528 422,4 -105,6 -20,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 211,2 -52,8 -20,00%
Produksi (ton) 1,056 1,056 0 0,00%
5 Bagan Sampan5 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 4195,2 -3808,8 -47,59%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 1,104 1,104 0 0,00%
6 Bagan Sampan6 0,4
Effort 8004 2097,6 -5906,4 -73,79%
GT 362,25 144,9 -217,35 -60,00%
PK 1104 220,8 -883,2 -80,00%
ABK 276 110,4 -165,6 -60,00%
produksi 0,552 0,552 0 0,00%
7 Bagan Sampan7 0,4
Effort 5016 2006,4 -3009,6 -60,00%
GT 396 138,6 -257,4 -65,00%
PK 528 211,2 -316,8 -60,00%
ABK 264 105,6 -158,4 -60,00%
produksi 0,528 0,528 0 0,00%
8 Bagan Sampan8 0,6
Effort 8004 3146,4 -4857,6 -60,69%
GT 362,25 217,35 -144,9 -40,00%
PK 1104 331,2 -772,8 -70,00%
ABK 276 165,6 -110,4 -40,00%
produksi 0,828 0,828 0 0,00%
9 Bagan Sampan9 1
Effort 8004 5244 -2760 -34,48%
GT 414 362,25 -51,75 -12,50%
PK 1104 552 -552 -50,00%
ABK 276 276 0 0,00%
produksi 1,38 1,38 0 0,00%
10 Bagan Sampan10 1
Effort 5016 5016 0 0,00%
GT 346,5 346,5 0 0,00%
PK 528 528 0 0,00%
ABK 264 264 0 0,00%
produksi 1,32 1,32 0 0,00%
109

RIWAYAT HIDUP

Peneliti dilahirkan di Lumajang, Jawa Timur pada tanggal 8 Maret 1982, anak
ketiga dari Bapak Soedarno, BA dan Ibu Sugiyati. Peneliti menyelesaikan Sekolah
Menengah Atas di SMAN 1 Kota Probolinggo pada tahun 2000 dan melanjutkan
pendidikan Strata 1 (S1) di Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro,
Semarang dan selesai pada tahun 2004.
Sebelum peneliti memutuskan untuk bergabung pada Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor Program Magister Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan tahun
2011, pada tahun 2006 sampai dengan Tahun 2009 peneliti bekerja magang pada
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Probolinggo. Peneliti juga pernah bekerja
sebagai Tenaga Pendamping Desa (TPD) dari Program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP) Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
dan ditempatkan pada Kota Probolinggo pada tahun 2007 dan 2008. Selain itu, pada
Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2009. peneliti juga pernah bekerja sebagai Dosen
pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bayuangga. Kota Probolinggo.
Selama menempuh pendidikan di pascasarjana IPB, peneliti mendapatkan
Beasiswa Unggulan dari Badan Kerjasama Luar Negeri (BU-BKLN), dan sebagian
kegiatan penelitian mendapatkan dana dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (PSPKL-IPB) melalui Governing Marine Conservation Area for Sustainable
Fisheries Project.

Você também pode gostar