Você está na página 1de 9

Membentuk KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) yang Mewadahi

Aspirasi dan Mewakili Kepentingan Masyarakat


Rubiyanto

Pendahuluan
Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin
demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama
memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan
masyarakat merespons dinamika kehidupan di sekitarnya. Untuk menjamin
suksesnya pelaksanaan konsep otonomi daerah, diperlukan komitmen yang kuat dan
kepemimpinan yang konsisten dari pemerintah pusat. Dari daerah juga diharapkan
lahirnya pemimpin-pemimpin pemerintahan yang demokratis, DPRD yang mampu
menjembatani antara tuntutan rakyat dengan kemampuan pemerintah, organisasi
masyarakat yang terus memobilisasi dukungan terhadap kebijakan yang
menguntungkan masyarakat luas, kebijakan ekonomi yang berpihak pada pembukaan
lapangan kerja dan kemudahan berusaha, serta berbagai pendekatan sosial budaya
yang secara terus menerus menyuburkan harmoni dan solidaritas antar warga (Haris,
2007: 11-12).
Komunikasi masa memiliki peranan penting dalam memberikan pelayanan
informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Informasi di sini tidak hanya berupa
informasi dari luar yang masuk ke dalam, akan tetapi juga merupakan informasi yang
dapat dimanfaatkan sebagai kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah daerah. Secara tidak langsung hal ini juga dapat menjadi sebuah tolak
ukur bagaimana pemerintah dapat menetapkan kebijakan yang benar-benar merakyat.
Kebijakan yang memihak rakyat tentu merupakan bagian penting dari keberhasilan
pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Sayangnya sangat
sedikit sekali lembaga penyiaran publik lokal yang dapat mengimplementasikan hal
ini. Banyak lembaga penyiaran yang justru lebih terkonsentrasi kepada penyiaran yang
mengejar unsur materi.
Pendirian Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Radio dan Televisi
pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang
sehat serta melestarikan budaya daerah untuk kepentingan seluruh masyarakat.
Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio dan Televisi Pemerintah Daerah adalah
Lembaga Penyiaran Publik Lokal yang menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio
dan televisi yang bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi
memberikan pelayanan untuk kepentingan masyarakat. Di samping itu LPPL televisi
dan radio pemerintah daerah mempunyai tugas memberikan pelayanan informasi,
pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial dan budaya serta
melestarikan kebudayaan bangsa khususnya kebudayaan daerah dan untuk
kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan siaran daerah yang
menjangkau seluruh wilayah daerahnya (Yantos, 2015: 94-95).
Dalam praktiknya, untuk dapat merealisasikan terbentuknya lembaga penyiaran
yang sepenuhnya dapat mengaplikasikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan
yang sehat, kontrol dan perekat sosial dan budaya serta melestarikan kebudayaan
bangsa khususnya kebudayaan daerah dan untuk kepentingan seluruh lapisan
masyarakat bukanlah hal yang mudah. Bobot acara, kualitas dan kuantitas
penayangan tentu membutuhkan pula pendanaan yang tidak sedikit. Selain sumber
daya manusia, peralatan yang mumpuni juga menjadi bekal yang benar-benar harus
disiapkan dengan baik.
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) sebagai sebuah lembaga yang salah
satunya memiliki otoritas untuk menjamin masyarakat memperoleh informasi yang
layak dan benar, menjamin terbentuknya satuan SDM yang berkompeten di bidang
penyiaran, harus dapat menjalankan tugas, kewajiban, fungsi dan wewenangnya
dengan baik. KPID harus menjadi lembaga yang membuka diri terhadap aspirasi
masyarakat, serta dapat mewakili kepentingan masyarakat, yang secara tidak
langsung hal ini akan memiliki dampak positif terhadap pembangunan tatanan
informasi yang adil, merata dan seimbang, dan tentunya menjadi daya dorong bagi
pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah. KPID yang hakikatnya bentukan
pemerintah, tetapi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya juga harus tetap
konsisten di jalur independen, tanpa keberpihakan pada lembaga penyiaran tertentu,
baik lembaga penyiaran pemerintah, maupun lembaga penyiaran swasta.
Wewenang, Tugas dan Kewajiban KPID (Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah)

Mengapa harus ada KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah)? Menurut Ahli
penyiaran Amir E. Effendi Siregar selaku penggagas, KPID perlu untuk menjamin
berjalannya prinsip diversity of ownership dan diversity of content. KPI daerah perlu
karena wilayah geografis Indonesia yang sangat luas, KPI pusat kesulitan
mengaksesnya tanpa desentralisasi. Keputusan menerapkan otonomi daerah yang
mengharuskan desentralisasi penyiaran juga mendorong perlunya KPID sebagai
jaminan partisipasi lokal. Usulan bahwa KPI hanya di pusat mengacu model FCC di
Amerika Serikat yang sentralistis dalam memproses perizinan. Sementara itu, usulan
adanya KPI daerah mengacu model lembaga regulator di Jerman yang desentralistis.
Di landasi dengan semangat desentralisasi penyiaran, usulan kedua ini pun disepakati
semua pihak, baik KPI pusat maupun KPI daerah memiliki kewenangan memberikan
izin dan perpanjangannya sesuai area masing-masing. Menyangkut desentralisasi ini,
secara pendekatan politik penyiaran akan ada lima ciri positif. Pertama, desentralisasi
membantu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan demokrasi di
ranah penyiaran bagi kalangan masyarakat. Kedua, meningkatkan akuntabilitas dan
responsibilitas terhadap berbagai kepentingan dan urusan penyiaran lokal. Ketiga,
memberi bermacam saluran akses tambahan pada kelompok-kelompok yang secara
historis terpinggirkan dalam penyiaran dan meningkatkan keterwakilan. Keempat,
memberi peluang bagi kekuatan alternatif penyiaran daerah untuk mendapatkan
banyak hak yang berimbang. Kelima, memberi peluang bagi chek and balances
terhadap kekuasaan lembaga penyiaran (Masduki, 2007: 209-210).
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah diperlukan untuk dapat menyelaraskan
antara pengembangan sektor penyiaran di daerah dan bagaimana upaya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan kepentingan masyarakat, baik berupa
penyaluran aspirasi, maupun bentuk kontrol terhadap kebijakan pemerintah daerah,
sehingga masyarakat mendapatkan keterbukaan mengenai penentuan arah kebijakan
pemerintah. Dan pemerintah secara tidak langsung dapat terbantu, karena dengan
cara demikian tentulah secara tidak langsung pemerintah akan mendapatkan
dukungan penuh dari masyarakat, ketika kebijakan yang dijalankan mendapat
dukungan dari masyarakat.
Komisi Penyiaran Indonesia sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi
mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran (pasal 8
ayat 1). Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI
mempunyai wewenang: (a) menetapkan standar program siaran, (b) menyusun
peraturan dan menetapkan pedoman perilaku siaran, (c) mengawasi pelaksanaan
peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, (d) memberi
sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standar program siaran, (e) melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan
pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat (ayat 2).
KPI mempunyai tugas dan kewajiban (a) menjamin masyarakat untuk
memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia, (b)
ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran, (c) ikut membangun iklim
persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait, (d) memelihara
tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang, (e) menampung, meneliti,
dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat
terhadap penyelenggaraan penyiaran, dan (f) menyusun perencanaan pengembangan
sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran (ayat 3) (UU
RI No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 8 ayat 1-3).

Membentuk KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) yang Dapat


Mewadahi Aspirasi Masyarakat akan Penyiaran di Daerah
Dalam masyarakat yang demokratis, penyediaan ruang publik yang bebas
merupakan sebuah keniscayaan. Tersedianya ruang publik yang menjadi tempat
pertemuan aneka gagasan yang dilontarkan anggota masyarakat akan membentuk
masyarakat menjadi cerdas dan peduli terhadap ruang sosialnya. Melalui Lembaga
Penyiaran Publik Lokal (LPPL) masyarakat bisa melakukan diskusi yang rasional,
membentuk opini, menjalankan pengawasan terhadap negara. Terkait dengan isi
siaran LPPL sebagai media publik, maka format isi siaran dapat merepresentasikan
budaya lokal sebagai benteng sekaligus pelestari budaya agar masyarakat tidak
tercerabut dari budaya asli (lokal). Siaran dapat menjangkau segmen masyarakat
yang lebih luas dengan menghadirkan siaran yang bisa mendorong warga terlibat
secara aktif, dan dapat berfungsi sebagai ruang publik tempat masyarakat
mendiskusikan persoalan-persoalan mutakhir yang dihadapi (Surokin & Handaka,
2014: 134).
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah harus dapat membantu LPPL agar dapat
memiliki konten-konten penyiaran yang dapat menampung aspirasi masyarakat di
daerah. Itulah salah satu tujuan dari dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia Daerah
yang menjadi perpanjangan tangan dari tugas dan fungsi dari Komisi Penyiaran
Indonesia pusat di Jakarta. Komisi Penyiaran Indonesia di pusat tentu tidak dapat
mengontrol dengan baik kegiatan-kegiatan penyiaran di daerah, karena jauhnya
jangkauan. Aspirasi-aspirasi masyarakat di daerah akan sangat sulit di serap dunia
penyiaran jika hanya mengandalkan tugas dan fungsi Komisi Penyiaran Indonesia
saja.
Sejatinya, lembaga penyiaran publik di daerah harus menjadi sebuah ruang
tempat berdialognya semua komponen yang ada di masyarakat. Misalnya, bila
pemerintah daerah ingin mengeluarkan sebuah kebijakan menaikkan ongkos
angkutan kota, maka lembaga penyiaran publik daerah harus bisa menyediakan ruang
publik untuk berdialog bagi pemerintah dan kelompok masyarakat yang akan terkena
dampak kebijakan tersebut. Dalam ruang itu, pemerintah dan masyarakat dapat
berdebat secara terbuka perihal kebijakan yang akan terbit itu. Hal ini sejalan dengan
konsep public sphere, sebagai ruang otonom di antara negara (state), dan civil society,
di mana setiap warga negara bisa melibatkan diri dalam diskursus tentang masalah
bersama dan untuk mengontrol negara dan pasar. Celah tersebut dapat diisi dan
diperankan oleh media massa yang berfungsi kepublikan yang memasok dan
menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap dalam
masyarakat. Dalam konteks ini, penyiaran publik juga memfasilitasi pembentukan
opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen untuk
perdebatan publik, menyangkut isu ekonomi, politik, sosial dan budaya (Surokin &
Handaka, 2014: 133-134).
Pentingnya peran media sebagai mediator setiap warga negara agar bisa
melibatkan diri dalam diskursus tentang masalah bersama dan untuk mengontrol
negara dan pasar dapat terbantu dengan adanya KPI yang berkedudukan di setiap
daerah. Kontrol yang baik demi suksesnya pemerintahan, juga menjadi poin positif
bagi pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah sesuai dengan aspirasi
masyarakatnya. KPID dapat menjadi lembaga tempat masyarakat menyampaikan
pengaduan jika menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam kegiatan penyiaran itu
sendiri, maupun dalam kegiatan pemerintahan yang dilakukan pemerintah daerah.
Menjadi lembaga yang independen, bukan berarti semata-mata mendukung
masyarakat dengan segenap aspirasinya, tetapi juga dapat menjadi lembaga yang
dapat mengontrol media penyiaran agar dapat memberikan edukasi kepada
masyarakat tentang visi misi pemerintah daerah yang terkadang hanya dipandang
sebelah mata oleh sebagian masyarakat, tanpa mengetahui dengan pasti nilai
manfaat dan tujuan dari visi misi, kendala, dan mungkin konsekuensi dari program
pemerintah daerah, terhadap kehidupan sosial masyarakat. Karena, setiap visi dan
misi yang baik, yang tujuannya pula baik, belum tentu dapat dilaksanakan tanpa
benturan-benturan kepentingan di masyarakat. Oleh sebab itu, KPID harus menjadi
lembaga yang tidak memihak, baik itu media penyiaran tertentu, masyarakat tertentu,
atau bahkan secara total mendukung pemerintah.

Bentuk-bentuk Tindakan KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah)


dalam Mewakili Kepentingan Masyarakat akan Penyiaran
Di Indonesia terdapat banyak perusahaan yang bersedia mengucurkan dana
ratusan miliar rupiah untuk beriklan di televisi karena keluasan daya jangkau
pemasaran produk yang mereka lakukan. Dengan dana itulah, stasiun-stasiun televisi
dapat hidup dan berkembang. Hanya sedikit belanja iklan yang mengalir ke stasiun-
stasiun televisi lokal. Hasil akhirnya adalah persaingan yang sama sekali tidak
seimbang. Program-program harus diproduksi sendiri dengan biaya murah,
menggunakan teknologi produksi dan penyiaran dengan terbatas, dengan memberi
imbalan terbatas pada para pekerja media (Armando, 2011: 51-52).
Hal ini mencerminkan, seakan-akan penyiaran lokal di daerah tidak cakap
membuat program yang baik. Sebenarnya, persoalan yang dihadapi media penyiaran
lokal tidak semata-mata persoalan teknis. Kualitas siaran tidak hanya dinilai dari
seberapa bagus siaran secara teknis, tetapi loyalitas masyarakat sebagai pemirsa
juga menjadi bagian penting yang turut menjadi pertimbangan dalam kelangsungan
sebuah media penyiaran, televisi khususnya.
Jadi, kelemahan stasiun televisi lokal bukanlah soal kecakapan yang tidak
memadai untuk membuat program menarik. Persoalan utamanya tidak terkait dengan
soal keahlian. Masalahnya ada pada ketidakadilan persaingan. Bahkan, kalaupun
stasiun televisi lokal dapat membuat satu-dua program yang memikat, pemasukan
iklan yang diperoleh di acara unggulan itu akan terlalu minimal untuk menjadikan
stasiun tersebut dapat menyajikan muatan atraktif secara berkelanjutan sepanjang
hari. Karena sajiannya tidak secara konsisten menarik, penonton enggan menjadi
khalayak setia. Ketika stasiun televisi lokal tidak dapat mempertahankan
penontonnya, bahkan pengiklan akan berhenti beriklan di televisi lokal. Pada titik itu,
kebangkrutan menjelang (Armando, 2011: 52).
KPID sebagai pengontrol penyiaran publik lokal, harus membuat terobosan
dengan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mendorong lembaga penyiaran
lokal agar dapat membuat program/konten yang menarik, dan dapat mewakili
kepentingan masyarakat. Dengan demikian, permasalahan mengenai operasional
pembuatan konten yang secara umum dilakukan dari pendanaan melalui iklan dapat
ditekan. Ditekan di sini dalam artian bahwa konten yang dibuat tidak harus memiliki
daya tarik dari sisi popularitas konten, tetapi dari seberapa baik konten tersebut
menyerap kepentingan masyarakat untuk diangkat menjadi sebuah konten penyiaran
yang menarik minat masyarakat untuk menjadi pemirsa siaran tersebut.
Isi siaran Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) harus mencerminkan
kepentingan publik dan benar-benar didasarkan atas kebutuhan publik (publics need)
bukan sekedar yang diinginkan publik (publics want). Program siaran harus
mencerminkan kepentingan publik (representasi suara publik). Tidak hanya
representasi suara publik semata, tetapi juga sebagai benteng pertahanan budaya
lokal. Transisi ini bisa dimulai dengan menjadikan Lembaga Penyiaran Publik Lokal
(LPPL) sebagai media komunikasi masyarakat dengan berbagai lembaga pelayan
publik. Masyarakat bisa mendapatkan informasi terkait dengan problematika yang
sedang dihadapi dan radio mampu menjembatani kepentingan itu dengan
mempertemukan para pihak terkait melalui siaran (Surokim & Handaka, 2014: 133).
Walaupun tidak mudah, menarik perhatian masyarakat dengan cara menjadi
lembaga independen (KPID) yang mendorong media komunikasi masyarakat
(penyiaran publik di daerah) untuk membuat konten yang baik dan mewakili
kepentingan masyarakat, agar pemirsa beralih dari pemirsa yang hanya menyimak
penyiaran yang hanya bersifat menghibur semata, menjadi penyimak penyiaran yang
lebih mengarah pada komunikasi masyarakat dengan berbagai lembaga pelayan
publik, tetap dapat dilakukan. Dan secara perlahan, masyarakat akan tahu, bahwa
konten seperti inilah yang sebenarnya banyak di lupakan oleh lembaga-lembaga
penyiaran yang sudah ada, terlebih di daerah. Ketika kepentingan masyarakat terlah
terwakili dengan baik melalui lembaga penyiaran, setidaknya simpati masyarakat
untuk menyimak siaran dari lembaga penyiaran tersebut dapat dibangun secara
perlahan, dan dipertahankan tentunya.

Kesimpulan
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) merupakan lembaga independen
yang diperlukan untuk dapat menyelaraskan antara pengembangan sektor penyiaran
di daerah dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
keterwakilan kepentingan masyarakat, baik berupa penyaluran aspirasi, maupun
bentuk kontrol terhadap kebijakan pemerintah daerah, sehingga masyarakat
mendapatkan keterbukaan mengenai penentuan arah kebijakan pemerintah.
KPID dapat mewadahi aspirasi masyarakat dengan cara membentuk Lembaga
Penyiaran Publik Lokal (LPPL), agar masyarakat bisa melakukan diskusi yang rasional,
membentuk opini, menjalankan pengawasan terhadap negara. Menjadi lembaga yang
independen, bukan berarti semata-mata mendukung masyarakat dengan segenap
aspirasinya, tetapi juga dapat menjadi lembaga yang dapat mengontrol media
penyiaran agar dapat memberikan edukasi kepada masyarakat tentang visi misi
pemerintah daerah yang terkadang hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian
masyarakat, tanpa mengetahui dengan pasti nilai manfaat dan tujuan dari visi misi,
kendala, dan mungkin konsekuensi dari program pemerintah daerah, terhadap
kehidupan sosial masyarakat.
KPID dapat mendorong media komunikasi masyarakat (penyiaran publik di
daerah) untuk membuat konten yang baik dan mewakili kepentingan masyarakat,
agar pemirsa beralih dari pemirsa yang hanya menyimak penyiaran yang hanya
bersifat menghibur semata, menjadi penyimak penyiaran yang lebih mengarah pada
komunikasi masyarakat dengan berbagai lembaga pelayan publik, tetap dapat
dilakukan. Dan secara perlahan, masyarakat akan tahu, bahwa konten seperti inilah
yang sebenarnya banyak di lupakan oleh lembaga-lembaga penyiaran yang sudah ada,
terlebih di daerah.

Daftar Pustaka

Anonim, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.


Ade Armando. (2011). Televisi Jakarta di Atas Indonesia. Yogyakarta: Mizan Media
Utama.
Masduki. (2007). Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LKis Pelangi
Aksara Yogyakarta.
Surokin & Tatag Handaka (2014). Transisi Kelembagaan dan Isi Siaran Radio Pemda
Menjadi Radio Publik Lokal di Jawa Timur. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan
dan Politik, Volume 27, Nomor 3, tahun 2014.
Syamsuddin Haris (Ed). (2007). Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi,
Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: LIPI Press.
Yantos. (2015). Peranan Lembaga Penyiaran Publik Lokal dalam Mendukung
Pemerintah Daerah. Jurnal Risalah. Volume 26, Nomor 2, Juni 2015.

Você também pode gostar