Você está na página 1de 10

GLOBALISASI DAN PERGESERAN BUDAYA INDONESIA

Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai aspek sosial budaya yang beragam banyaknya.
Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk
Indonesia berjumlah lebih dari 200 juta jiwa dalam 30 kesatuan suku bangsa. Indonesia memiliki
67 budaya induk yang tersebar dari barat sampai ke timur nusantara. Selain itu Indonesia terdiri
atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 pulau.

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan
sumber daya alam dan sumber daya budaya yang melimpah. Bangsa kita merupakan bangsa yang
serba multi, baik itu multibahasa, multibudaya, maupun multiagama. Semua itu bila dikelola
dengan baik dapat dijadikan sebagai potensi untuk memakmurkan rakyat dan memajukan bangsa
kita.

Kebudayaan dalam perspektif klasik pernah didefinisikan oleh Koentjaraningrat sebagai


keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan identitas diri manusia yang diperoleh dengan cara belajar. Dalam
pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang merupakan keseluruhan hasil cipta,
karsa, dan karya manusia, termasuk di dalamnya benda-benda hasil kreativitas dan ciptaan
manusia. Contohnya adalah tari daearah, lagu daerah, dan kesenian daerah lainnya yang
diperoleh dengan cara belajar. Namun dalam perspektif antropologi yang lebih kontemporer,
kebudayaan didefinisikan sebagai suatu sistem simbol dan makna dalam sebuah masyarakat
manusia yang di dalamnya terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan sosial dan
perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan. Baik perspektif klasik maupun
kontenporer sama-sama mengakui bahwa kebudayaan adalah identitas diri yang akan
membedakan dengan bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu perlu adanya suatu pelestarian secara
turun-temurun sehingga cipta, karsa, dan karya manusia tersebut tidak hilang.
Pengaruh globalisasi terhadap budaya bangsa

Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa
Indonesia . Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah
kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya.
Perkembangan 3T (Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya
keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri . Budaya Indonesia yang dulunya ramah-
tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya (meminjam istilah Band Zamrud) yang
`gaul`, `fungky` dan doyan ngucapin `ember`.

Muncul di media massa tentang sepinya pengunjung untuk menonton kesenian Sunda di salah
satu gedung kesenian di Bandung . Padahal kesenian itu berasal dari Jawa Barat. Cukup
memprihatinkan memang jika kita berusaha mencari jawabannya. Mungkin lebih tepat kalau kita
menilik terlebih dahulu pada selera atau apresiasi kita masing-masing terhadap seni. Sebagian
besar generasi muda sekarang ini sudah tidak lagi memiliki ketertarikan terhadap kesenian
daerah. Padahal sebenarnya seni itu indah dan mahal. Kesenian adalah aset Indonesia . Sebagai
tunas muda hendaknya memelihara seni budaya kita untuk masa depan anak cucu.

Di Tapanuli (Sumatera Utara) misalnya, duapuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih
banyak yang berminat untuk belajar tari tor-tor dan tagading (alat musik batak). Hampir setiap
minggu dan dalam acara ritual kehidupan, remaja di sana selalu diundang pentas sebagai hiburan
budaya yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan
daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan
Taman Mini Indonesi Indah (TMII). Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila
dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan
untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang
menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.

Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa indonesia yang
baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa). Sudah lazim di Indonesia untuk
menyebut orang kedua tunggal dengan Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda dibandingkan
dengan kau atau kamu sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan sebutan Bung cukup
populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat nasional ketika awal-awal
kemerdekaan Indonesia . Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda yang lebih suka
menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya) dan lu
(kamu). Selain itu kita sering dengar anak muda mengunakan bahasa Indonesia dengan
dicampur-campur bahasa inggris seperti OK, No problem dan Yes, bahkan kata-kata makian
(umpatan) sekalipun yang sering kita dengar di film-film barat, sering diucapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Kata-kata ini disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan dan
sinetron bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan fashion .

Gaya berpakaian remaja Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi norma kesopanan telah
berubah mengikuti perkembangan jaman. Ada kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota
besar memakai pakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya
perpakaian minim ini dianut dari film-film dan majalah-majalah luar negri yang
ditransformasikan kedalam sinetron-sinetron Indonesia . Derasnya arus informasi, yang juga
ditandai dengan hadirnya internet, turut serta `menyumbang` bagi perubahan cara berpakaian.
Pakaian mini dan ketat telah menjadi trend dilingkungan anak muda.

Boleh dikatakan bahwa budaya yang merupakan sistem simbol dan norma dalam masyarakat
Indonesia yang ada sekarang ini macet. Kemacetan budaya ini karena masyarakat kurang
mengantisipasi dengan baik pengaruh globalisasi terhadap budaya bangsa sendiri. Lihat saja
bagaimana takjubnya kita dengan kesenian asal negeri barat. Kita seolah tidak menghargai
kesenian tradisional kita. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat kita kurang bisa mengantisipasi
masuknya budaya asing.

Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa globalisasi telah membawa dampak yang negatif dalam
pelestarian budaya. Thomas Friedman dalam bukunya The Lexus and the OliveTree (2000)
menyatakan bahwa ancaman globalisasi saat ini adalah globalisasi. Artinya sistem di dalam
globalisasi itu sendiri menyimpan potensi penghancuran. Ritme cepat globalisasi yang
ditentukan oleh negara-negara maju pada gilirannya telah menimbulkan dikotomi baru dalam
hubungan antarnegara. Negara-negara yang tidak mengikuti irama globalisasi dimasukkan ke
dalam katagori negara primitif atau `ketinggalan jaman`. Oleh sebab itu setiap negara
berlomba-lomba untuk mentransfer kemajuan ilmu dan teknologi dari negara-negara Barat.
Salah satu keberhasilan penyebaran kebudayaan Barat ialah meluasnya anggapan bahwa ilmu
dan teknologi yang berkembang di Barat merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya
barat (dalam kemasan ilmu dan teknologi) diterima dengan `baik`. Pada sisi inilah globalisasi
telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur (termasuk Indonesia ) sehingga
terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan nilai-nilai ketimuran.

Pengaruh globalisasi disatu sisi ternyata menimbulkan pengaruh yang negatif bagi kebudayaan
bangsa Indonesia . Norma-norma yang terkandung dalam kebudayaan bangsa Indonesia
perlahan-lahan mulai pudar. Gencarnya serbuan teknologi disertai nilai-nilai interinsik yang
diberlakukan di dalamnya, telah menimbulkan isu mengenai globalisasi dan pada akhirnya
menimbulkan nilai baru tentang kesatuan dunia. Radhakrishnan dalam bukunya Eastern Religion
and Western Though (1924) menyatakan untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia,
kesadaran akan kesatuan dunia telah menghentakkan kita, entah suka atau tidak, Timur dan Barat
telah menyatu dan tidak pernah lagi terpisah. Artinya adalah bahwa antara barat dan timur
tidak ada lagi perbedaan. Atau dengan kata lain kebudayaan kita dilebur dengan kebudayaan
asing.

Apabila timur dan barat bersatu, masihkah ada ciri khas kebudayaan kita? Ataukah kita larut
dalam budaya bangsa lain tanpa meninggalkan sedikitpun sistem nilai kita? Oleh karena itu perlu
dipertahanan aspek sosial budaya Indonesia sebagai identitas bangsa. Caranya adalah dengan
penyaringan budaya yang masuk ke Indonesia dan pelestarian budaya bangsa.

Bagi masyarakat yang mencoba mengembangkan seni tradisional menjadi bagian dari kehidupan
modern, tentu akan terus berupaya memodifikasi bentuk-bentuk seni yang masih berpolakan
masa lalu untuk dijadikan komoditi yang dapat dikonsumsi masyarakat modern. Karena
sebenarnya seni itu indah dan mahal. Kesenian adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak
ternilai harganya dan tidak dimiliki bangsa-bangsa asing. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda,
yang merupakan pewaris budaya bangsa, hendaknya memelihara seni budaya kita demi masa
depan anak cucu.

http://indoculture.wordpress.com/2008/11/08/globalisasi-dan-pergeseran-budaya-indonesia/
Sistem Sosial Budaya Indonesia
R I Z K I AD E VTA

0916031111

Ilmu Komunikasi 09

Ganjil (A)
Pariwisata dan Pergeseran Sosial Budaya

Oleh: Mohammad Taufiq A*

Paradigma pembangunan di banyak negara kini lebih berorientasi kepada pengembangan sektor
jasa dan industri, termasuk di dalamnya adalah industri pariwisata. Demikian juga halnya yang
berlangsung di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir, aktivitas sektor pariwisata telah
didorong dan ditanggapi secara positif oleh pemerintah dengan harapan dapat menggantikan
sektor migas yang selama ini menjadi primadona dalam penerimaan devisa negara. Sektor
pariwisata memang cukup menjanjikan untuk turut membantu menaikkan cadangan devisa dan
secara pragmatis juga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Situasi nasional yang kini
mulai memperlihatkan perkembangan ke arah kestabilan khususnya dalam bidang politik dan
keamanan akan memberikan jaminan kepercayaan kepada wisatawan asing untuk masuk ke
wilayah Indonesia.

Prospek industri pariwisata Indonesia diprediksikan WTO akan semakin cemerlang, dengan
perkiraan pada tahun 2010 akan mengalami pertumbuhan hingga 4,2% per tahun. Selain itu
sektor industri pariwisata nasional memberikan kontribusi nasional bagi program pembangunan.
Sebagai contoh, pada tahun 1999 sektor pariwisata menghasilkan devisa langsung sebesar US$
4,7 juta, serta menyumbang 9,61% pada PDB dan menyerap 8% angkatan kerja nasional (6,6 juta
orang) pada tahun yang sama. Selain faktor-faktor di atas, industri pariwisata juga memiliki
karakter unik, bahwa sektor pariwisata memberikan efek berantai (multiplier effect) terhadap
distribusi pendapatan penduduk di kawasan sekitar pariwisata, elastis terhadap krisis nasional
yang terjadi dalam arti tidak terlalu terpengaruh oleh krisi keuangan dalam negeri, ramah
lingkungan serta kenyataan bahwa industri pariwisata merupakan industri yang nir konflik.
Interaksi dan Perubahan Sosial

Pariwisata secara sosiolosis terdiri atas tiga interaksi yaitu interaksi bisnis, interaksi politik dan
interaksi kultural (B. Sunaryo, 2000). Interaksi bisnis adalah interaksi di mana kegiatan ekonomi
yang menjadi basis materialnya dan ukuran-ukuran yang digunakannya adalah ukuran-ukuran
yang bersifat ekonomi. Interaksi politik adalah interaksi di mana hubungan budaya dapat
membuat ketergantungan dari satu budaya terhadap budaya lain atau dengan kata lain dapat
menimbulkan ketergantungan suatu bangsa terhadap bangsa lain yang dipicu oleh kegiatan
persentuhan aktivitas pariwisata dengan aktivitas eksistensial sebuah negara. Sedangkan
interaksi kultural adalah suatu bentuk hubungan di mana basis sosial budaya yang menjadi
modalnya. Dalam dimensi interaksi kultural dimungkinkan adanya pertemuan antara dua atau
lebih warga dari pendukung unsur kebudayaan yang berbeda. Pertemuan ini mengakibatkan
saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga bisa terbentuk suatu kebudayaan
baru, tanpa mengabaikan keberadaan interaksi bisnis dan interaksi politik.

Berangkat dari pemahaman bahwa model yang digunakan untuk pengembangan kawasan wisata
adalah model terbuka maka berarti tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kontak antara
aktivitas kepariwisataan dengan aktivitas masyarakat sekitar kawasan wisata. Kontak-kontak ini
tidak bisa dibatasi oleh kekuatan apapun apalagi ditunjang dengan adanya sarana pendukung
yang memungkinkan mobilitas masyarakat. Kontak yang paling mungkin terjadi adalah kontak
antara masyarakat sekitar dengan pengunjung atau wisatawan. Masyarakat sekitar berperan
sebagai penyedia jasa kebutuhan wisatawan.

Kontak ini apabila terjadi secara massif akan mengakibatkan keterpengaruhan pada perilaku,
pola hidup dan budaya masyarakat setempat. Menurut Soekandar Wiraatmaja (1972) yang
dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan proses-proses sosial atau mengenai susunan
masyarakat. Sedangkan perubahan budaya lebih luas dan mencakup segala segi kebudayaan,
seperti kepercayaan, pengetahuan, bahasa, teknologi, dsb. Perubahan dipermudah dengan
adanya kontak dengan lain-lain kebudayaan yang akhirnya akan terjadi difusi (percampuran
budaya). Kita lihat misalnya bagaimana terjadinya pergeseran kultur kehidupan masyarakat
sekitar kawasan Candi Borobudur yang semula berbasis dengan aktivitas kehidupan agraris
(bertani) bergeser menjadi masyarakat pedagang dan penjual jasa.

Dengan demikian pariwisata ditinjau dari dimensi kultural dapat menumbuhkan suatu interaksi
antara masyarakat tradisional agraris dengan masyrakat modern industrial. Melalui proses
interaksi itu maka memungkinkan adanya suatu pola saling mempengaruhi yang pada akhirnya
akan mempengaruhi struktur kehidupan atau pola budaya masyarakat khususnya masyarakat
yang menjadi tuan rumah. Dari dimensi struktural budaya, aktivitas industri pariwisata
memungkinkan terjadinya suatu perubahan pola budaya masyarakat yang diakibatkan oleh
penerimaan masyarakat akan pola-pola kebudayaan luar yang dibawa oleh para pelancong. Pola-
pola kebudayaan luar ini terekspresikan melalui tingkah laku, cara berpakaian, penggunaan
bahasa serta pola konsumsi yang diadopsi dari wisatawan yang datang berkunjung.

Apabila tingkat massifitas kedatangan turis ini cukup tinggi maka ada kemungkinan terjadi
perkawinan antara dua unsur kebudayaan yang berbeda. Dari pertemuan atau komunikasi antar
pendukung-pendukung kebudayaan yang berbeda tersebut, akan muncul peniru-peniru perilaku
tertentu atau muncul pola perilaku tertentu. Meniru tindakan orang lain adalah kewajaran dari
seorang manusia. Tindakan ini bisa lahir karena tujuan-tujuan tertentu, dan bisa jadi karena
terdorong oleh aspek kesadaran ataupun karena dorongan-dorongan yang sifatnya emosional.
Artinya, seseorang individu bisa saja meniru perilaku orang lain hanya karena dia melihat
bahwa perilaku yang ditampilkan oleh orang lain tersebut nampak indah atau nampak lebih
modern. Tindakan meniru atau yang biasa disebut dengan tindakan imitasi bisa terjadi jika ada
yang ditiru. Di sini faktor emosional dominan bermain karena seseorang tidak akan memikirkan
apakah perilaku yang ditiru tersebut sesuai atau tidak dengan keadaaan dirinya. Dengan kata lain,
orang tersebut tidak sempat lagi untuk memikirkan kenampakan-kenampakan yang paling
mungkin untuk muncul ke permukaan, yang penting bagi dia adalah aku ingin seperti turis itu
karena aku menganggap turis itu keren.
Kontak selanjutnya antara wisatawan dengan masyarakat tuan rumah adalah komunikasi verbal.
Kontak antara masyarakat tuan rumah dengan wisatawan membutuhkan suatu perantara atau
media atau alat yang mampu menjalin pengertian antara kedua belah pihak, perantara atau media
tersebut adalah bahasa, bahasa menjadi faktor determinan. Akhirnya masyarakat kembali
terdorong untuk bisa berbahasa asing. Dorongan itu muncul bukan semata-mata karena motif
ingin berhubungan misalnya korespondensi atau yang lain, melainkan lebih disebabkan karena
faktor ekonomi, untuk dapat komunikatif dalam memasarkan dagangannya (baik produk
souvenir, jasa menjadi guide, dll). Ini berarti telah terjadi pola perubahan budaya masyarakat
menuju ke arah yang positif yaitu memperkaya kemampuan masyarakat khususnya dalam bidang
bahasa.

Demikian pula kemunculan hotel, cafe, maupun toko-toko cinderamata di sekitar kawasan wisata
adalah variabel yang turut membantu menjelaskan apa yang menjadi penyebab terjadinya
perubahan sosial budaya masyarakat sekitar kawasan wisata. Dengan adanya berbagai sarana
penunjang pariwisata itu masyarakat menjadi paham akan adanya pola / sistem penginapan yang
bersifat komersial, dengan adanya cafe dan toko, logika pasar tradisional akan sedikit tergeser
dari pola penjualan dengan model tawar-menawar menjadi model harga pas.
Ketahanan Sosial Budaya

Dengan demikian sedikit banyak telah terjadi pergeseran budaya dan tatanan sosial di
masyarakat sekitar kawasan wisata. Artinya budaya-budaya lama itu mengalami proses adaptasi
yang diakibatkan oleh adanya interaksi dengan para pelancong tersebut. Hal itu dimungkinkan
juga karena sifat dari budaya itu sendiri yang dinamis terhadap perubahan yang terjadi.

Pariwisata dengan segala aktivitasnya memang telah mampu memberikan pengaruh yang cukup
signifikan bagi perubahan masyarakat baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Hal itu
menuntut adanya perhatian yang lebih dari para pengambil kebijakan sektor pariwisata untuk
mempertimbangkan kembali pola pengembangan kawasan wisata agar masyarakat sekitar lebih
dapat merasakan manfaatnya. Dengan kata lain bagaimana membuat suatu kawasan wisata yang
mampu membuka peluang pelibatan aktif masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan industri
pariwisata bukan hanya sekedar sebagai obyek. Sekaligus menjadi catatan, bahwa faktor
kemanusiaan dan entitas budaya lokal tidak boleh diabaikan, artinya kehidupan masyarakat tidak
boleh tercerabut dari akar budayanya hanya karena adanya penekanan segi komersial dari
tourism. Pun juga, jangan sampai penekanan pada aspek ekonomi mengabaikan dimensi lain
seperti dimensi ketahanan sosial budaya, karena perkembangan mutakhir dari dunia
kepariwisataan adalah beralihnya minat wisatawan dari massive tourism ke etnic tourism,
wisata-wisata unik yang sangat peduli pada karakter asli masyarakat setempat.

Você também pode gostar