Você está na página 1de 11

BAB III

ANALISIS KASUS

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstitial. Kondisi ini disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti bakteri, virus, dan
jamur yang ditandai oleh demam, batuk, sesak (peningkatan frekuensi pernapasan),
retraksi dinding dada, napas cuping hidung dan terkadang dapat terjadi sianosis
(Behrman et al, 2008; CDC, 2006).
WHO memperkirakan bahwa hingga 1 juta kematian disebabkan oleh bakteri
Streptococcus pneumoniae dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara
berkembang. Sampai saat ini, penyakit pneumonia merupakan penyebab utama
kematian balita di dunia. Diperkirakan 1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan
oleh pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis. Di
Indonesia, pneumonia juga merupakan urutan kedua penyebab kematian pada balita
setelah diare (Kemenkes RI, 2012; WHO-UNICEF, 2014).
Pneumonia pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, dan jamur. Pada negara berkembang pneumonia lebih sering
disebabkan oleh bakteri dibandingkan virus. Sedangkan pada negara maju, virus
menjadi penyebab tersering. Banyak faktor yang bisa meningkatkan resiko pneumonia
seperti penurunan imunitas karena penyakit tertentu atau obat serta lama diopname di
rumah sakit. Selain mikroorganisme, pneumonia juga dapat disebabkan oleh proses
aspirasi mekonium pada bayi baru lahir dan aspirasi makanan pada bayi serta anak
anak. Jenis mikroorganisme patogen penyebab pneumonia bervariasi menurut usia,
penyakit dasar, dan maturasi serta fungsi dari sistem imun. Menurut usia, etiologi
pneumonia dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu:

Tabel 2. Etiologi Pneumonia dikelompokkan berdasarkan Usia8


Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang

Lahir 20 Bakteri : Bakteri :


hari E.Coli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria Monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum

Virus :
Cytomegalovirus
Herpes Simplex Virus
3 minggu Bakteri : Bakteri :
3 bulan Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Hamophillus influenza tipe B
Moraxella catharallis
Virus : Staphylococcus aureus
Virus Adeno Ureaplasma urealyticum
Virus influenza
Virus parainfluenza 1,2,3 Virus :
Respiratory Synctial virus Cytomegalovirus
4 bulan 5 Bakteri : Bakteri :
tahun Chlamydia trachomatis Hamophillus influenza tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharallis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Staphylococcus aureus
Virus :
Virus Adeno Virus :
Virus influenza Varicella Zoster Virus
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory Synctial Virus

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang


5 tahun remaja Bakteri : Bakteri :
Chlamydia trachomatis Hamophillus
Mycoplasma pneumoniae influenza tipe B
Streptococcus pneumoniae Legionella sp
Staphylococcus
aureus

Virus :
Adenovirus
Epstein Barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory Synctial
virus
Varicella Zoster Virus

Pneumonia dapat terjadi akibat pengaruh dari 3 faktor antara lain: host, mikroorganisme
yang menyerang (agent), dan interaksi lingkungan (environment). Berbagai macam cara
penularan pneumonia antara lain melalui droplet dapat disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator disebabkan oleh Enterobacter
sp dan Pseudomonas aeruginosa. Pada kondisi sehat atau imunitas host baik maka tidak
terjadi pertumbuhan mikroorganisme (agent) di paru karena adanya mekanisme
pertahanan paru yang berfungsi dengan baik. Ketika mekanisme pertahanan paru tidak
menjalankan fungsi dengan baik maka agent dapat menuju alveoli melalui saluran
pernafasan sehingga mengakibatkan inflamasi pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya. Patogenesis pneumonia terdiri dari empat stadium, yaitu (Fransiska, 2006;
Silitonga, 2013) :
a Stadium Kongesti (4 12 jam pertama)
Stadium ini disebut juga hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini
terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut antara lain
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskular paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan
cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus dilalui oleh
oksigen dan karbondioksida, yang akan mengakibatkan gangguan proses pertukaran
gas sehingga terjadi penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b Stadium Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Hal ini terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang
dihasilkan oleh host sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan terasa seperti hepar. Pada
stadium ini udara di dalam alveoli sangat minimal hingga tidak ada sehingga
penderita akan terlihat sesak. Stadium ini berlangsung singkat, yaitu selama 48 jam.
c Stadium Hepatisasi Kelabu (3 8 hari)
Stadium ini terjadi akibat sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera
dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit mulai direabsorbsi,
lobus masih tetap padat karena adanya fibrin dan leukosit, warna merah berubah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d Stadium Resolusi (7 12 hari)
Pada stadium ini terjadi penurunan respon imun dan peradangan sehingga
dinamakan sebagai stadium resolusi. Sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke struktur semula.
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (Fransiska, 2006; Silitonga, 2013, Behrman et al, 2008)
a Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak antara lain batuk, demam tinggi terus
menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi),
dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Selain itu,
dapat pula timbul gejala penurunan nafsu makan.
b Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam tinggi (38,50C), takipnea, retraksi
(subkostal, interkostal, suprasternal), napas cuping hidung, sianosis, deviasi trakea,
tanda-tanda terdapatnya konsolidasi seperti: ekspansi dada yang berkurang,
peningkatan vokal fremitus, suara redup yang terlokalisir pada perkusi, suara napas
yang melemah, bronkial atau bronkovesikuler, ronkhi, wheezing dapat terdengar
pada auskultasi.
c Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah lengkap pada pneumonia umumnya didapatkan dengan
leukositosis dengan neutrofil yang mendominasi pada hitung jenis. Leukosit
>30.000 dengan dominasi neutrofil mengarah ke bakteri Pneumonia
streptococcus. Trombositosis >500.000 khas pada pneumonia bakterial. Infeksi
yang disebabkan oleh virus biasnya menyebabkan trombositopenia. Kultur darah
merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus.
Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan
diagnosis. Foto thoraks AP/lateral bertujuan untuk menentukan lokasi anatomi
dalam paru. Gambaran patchy infiltrate dan terdapat gambaran air bronchogram
merupakan gambaran pada foto thoraks penderita pneumonia.
Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi dapat dilakukan melalui swab tenggorokan, sekresi
nasofaring, sputum, aspirasi trakea, pungsi pleura, darah, aspirasi paru dan bilasan
bronkus. Pemeriksaan ini sulit dilakukan dari segi teknis maupun biaya.
Penatalaksanaan dari pneumonia pada bayi dan anak anak meliputi terapi suportif,
simtomatis, serta etiologi penyebab pneumonia, diantaranya adalah (CDC, 2006; WHO,
2014; Fransiska. 2006):

a Oksigen
Terapi oksigen diberikan apabila terdapat tanda-tanda hipoksemia; gelisah, sianosis
dan lain-lain. Pada usia < 2 tahun biasanya diberikan 2 liter/menit sedangkan pada
usia > 2 tahun dapat diberikan oksigen hingga 4 liter/ menit.
b Cairan dan makanan bergizi
Cairan : komposisi paling sederhana adalah Dextrose 5%, komposisi lain
tergantung kebutuhan, jumlah 60-70% kebutuhan total, beberapa sumber
menyatakan dapat diberikan sesuai kebutuhan maintenance.
Makanan : bila tidak dapat peroral, dapat dipertimbangkan pemberian intravena
seperti asam amino dan emulsi lemak.
c Simtomatis
Antipiretika diberikan bila terdapat hiperpireksia. Hindari asetosal karena dapat
memperberat asidosis.
Mukolitik/ ekspektorans.
Antifusif umumnya tidak diberikan.
Antikonvulsan; dapat dipertimbangkan bila kejang bukan karena hipoksemia;
dapat dicoba kloralhidrat 50mg/kg/hari ( dibagi 3 dosis ) atau diazepam 05-
0.73/kg/kali, im/IV
d Antiviral / antibiotika
Antiviral diberikan untuk pneumonia viral yang berat/ cenderung menjadi berat
(disertai kelainan jantung atau penyakit dasar yang lain). Menurut jenis virus
penyebab pneumonia, terapi medikamentosa yang dapat diberikan adalah:

RSV : Ribavirin

Varicella : Ancyclovir

Influenza A : Amantadin

Cytomegalovirus : Gancyclovir

Bila berdasarkan panduan WHO dengan memakai klasifikasi terbaru, penanganan


antibiotika yang dipakai pada pneumonia adalah:
2 bulan hingga 12 bulan (4kg - <10kg) : Amoxicillin 250 mg 1 tablet dua kali
sehari selama lima hari
12 bulan hingga 3 tahun (10kg - <14kg) : Amoxicillin 250 mg 2 tablet dua kali
sehari selama lima hari
3 tahun hingga 5 tahun (14kg - 19kg) : Amoxicillin 250 mg 3 tablet dua kali sehari
selama lima hari
Pada pasien yang tidak dapat menerima obat per oral karena muntah dan pasien
dengan klasifikasi pneumonia berat diberikan antiobiotik intravena.
Antibiotik Dosis Frekuensi Keterangan
Penisilin G 50.000 unit/kg/kali tiap 4 jam S. pneumonia
Ampisilin 100 mg/kg/hari tiap 6 jam S. pneumonia
Kloramfenikol 100 mg/kg/hari tiap 6 jam S. pneumonia
Ceftriaxone 50 mg/kg/kali dosis 1 kali/hari S. pneumonia, H. influenza
tungggal maksimal 2 gram
Clindamycin 10 mg/kg/kali, dosis tiap 6 jam Group A Streptococcus, S.
tunggal maksimal 1,2 gram aureus, S. Pneumoniae

Pemberian selafosporin seperti ceftriaxone merupakan lini kedua dengan dosis 50


hingga 100 mg setiap 12 jam sebagai pilihan kedua pada pneumonia yang diduga
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae.
e Kortikosteroid
Kadang-kadang diberikan pada kasus yang berat (konsolidasi masif), atelektasis,
dan infiltrasi milier (dengan sesak dan sianosis).
Pada kasus ini didapatkan keluhan utama berupa sesak nafas pada seorang pasien bayi
laki-laki usia 6 bulan dengan berat badan 6 kg dan panjang badan 65 cm yang dibawa
orang tuanya ke IGD RSUD Dr. Moewardi. Berdasarkan anamnesis, pasien awalnya
mengalami demam yang naik dan turun sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Demam turun dengan obat penurun demam, paracetamol. Saat itu keluhan
disertai batuk. Awalnya batuk kering, kemudian ditemukan batuk berdahak. Pada pasien
tidak mengeluhkan pilek, tidak ada cairan keluar dari telinga, tidak ada mual dan
muntah. Lalu, pasien dibawa ke bidan diberikan obat paracetamol dan amoksisilin.
Namun, tidak ada perubahan. Saat tiga hari SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas.
Demam masih ditemukan naik turun. Batuk semakin berkembang ke batuk berdahak.
Pasien semakin sulit makan MP ASI dan minum ASI (Pudjiadi et al., 2009). Pada pasien
pneumonia, perlu dilakukan anamnesis hal-hal sebagai berikut: adanya dahak, sesak
nafas, demam, kesulitan makan dan minum, semakin terlihat lemas atau tidak. Perlu
juga ditanyakan untuk keluhan penyerta untuk mengetahui adakah penyakit lain yang
menyertai seperti: pilek, otitis media, dan campak (Kemenkes RI, 2015).
Hari masuk rumah sakit, pasien masih mengeluhkan sesak nafas, dengan disertai
demam dan batuk berdahak. Demam merupakan salah satu gejala dari suatu pneumonia
yang menjadi tanda dari infeksi (Pudjiadi et al., 2009). Orang tua pasien mengatakan
bahwa pasien kesulitan dalam menetek dan makan. Tidak menguluhkan adanya pilek.
Pada pasien tidak mengeluhkan muntah. Dan dirasa tidak ada mual. BAK pasien tidak
ada keluhan. Sebelum berangkat ke IGD pasien sempat BAB dan tidak ada keluhan.
Saat di IGD RSUD Dr. Moewardi, pasien masih tampak sesak nafas. Ditemukan juga
adanya demam. Juga ditemukan batuk berdahak. Tidak ada mual dan muntah. BAK
terakhir 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan didapatkan keadaan
umum pasien sadar, menangis, rewel, bergerak kurang aktif, nampak lemas, dengan
BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Terlebih dahulu dilakukan penilaian, klasifikasi, dan tindakan awal pada pasien ini jika
diperlukan. Hal ini dilakukan untuk memeriksa tanda bahaya umum. Pertanyaan yang
perlu diajukan adalah sebagai berikut :
Apakah anak bisa minum atau menyusu ?
Apakah anak memuntahkan semua akanan dan/atau minuman ?
Apakah anak pernah kejang selama sakit ?
Kemudian dilakukan pemeriksaan look and listen sebagai berikut :
Apakah anak rewel atau gelisah, letargis, atau tidak sadar ?
Apakah anak mengalami kejang saat ini ?
Apakah terdengar stridor ?
Apakah anak tampak biru (sianosis) ?
Apakah ujung tangan dan kaki pucat dan dingin ?
Pada pasien tidak ditemukan tanda-tanda bahaya umum. Pasien masih bisa menetek
walau sulit. Dan demam tidak sampai menyebabkan kejang (Kemenkes RI, 2015).
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dari pasien dimungkinkan mengalami
pneumonia berat dd bronkiolitis. Ditemukan gejela-gejala yang mendukung ke arah
pneumonia berat, yaitu adanya tarikan dinding nafas. Data-data yang mendukung ke
arah pneumonia adalah batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif dengan
dahak, sesak nafas, demam, kesulitan makan atau minum, dan tampak lemah.
Sedangkan pada pasien tidak ditemukan adanya keluhan pada hidung, seperti nasal
discharge, yang mengarah ke bronkiolitis.
Saat ini pasien berusia 6 bulan dengan berat badan 6 kg dan panjang 65 cm. Pada
antropometri didapatkan gizi baik, normoweight, normoheight.
Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko kejadian dan derajat pneumonia, antara
lain adalah defek anatomi bawaan, defisit imunologi, polusi, GERD (Gastroesophageal
reflux), aspirasi, gizi buruk, berat badan lahir rendah, tidak mendapatkan air susu ibu
(ASI), imunisasi tidak lengkap, adanya saudara seumah yang menderita batuk, dan
kamar tidur yang terlalu padat penghuninya. Pada pasien ini ditemukan faktor risiko
berupa adanya saudara serumah yang menderita batuk, dalam kasus ini adalah tante
yang biasanya ikut mengasuh pasien. Pada pasien juga didapatkan defek anatomi
bawaan berupa Penyakit Jantung Bawaan asianotik. Pada beberapa penelitian dikatakan
PJB adalah penyakit yang mendasari terjadinya pneumonia dengan prevalensi di
Indonesia mencapai 11,57%. Perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan perubahan
sistem pernapasan disertai penurunan imunitas seluler yang memudahkan pasien
terutama anak-anak terserang infeksi pada sistem pernapasan. PJB asianotik mengalami
peningkatan beban volume dan beban tekanan pada jantung membuat aliran darah ke
jantung menjadi bertambah. Bertambahnya volume darah dalam paru-paru menurunkan
kelenturan pulmonal dan menaikkan kerja pernafasan. Peningkatan tekanan
intravaskuler pada kapiler paru menyebabkan edema paru. Edema paru ini yang
menyebabkan gejala ISPA pada anak. Pada pasien juga didapatkan down sindrom yang
bisa jugamenjadi faktor risiko terjadinya pneumonia. Pada kondisi down sindrom
nasofaring lebih sempit sehingga rentan terjadinya infeksi dengan kondisi makroglosia
sehingga cavum oris tidak menutup sempurna. Hal ini bisa menjadi pintu masuk bagi
bakteri-bakteri. Imunitas pada anak down sindrom juga lebih rendah disbanding anak-
anak lainnya. Hal ini bisa menjadi faktor predisposisi juga. (Moore, 2013; Rodiah,
2015, Pudjiadi et al., 2009).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tersebut
pasien didiagnosis dengan : pneumonia berat.
Dalam penatalaksanaan pasien pneumonia pada bayi dan anak meliputi terapi
simtomatis, suportif, dan etiologi penyebab terjadinya pneumonia. Pasien ditatalaksana
dengan dirawat bangsal respirologi anak untuk dilakukan monitoring sekaligus.
Terapi simtomatis diberikan sesuai dengan gejala pada pasien. Pasien dengan keluhan
utama sesak nafas. Selain itu terlihat pasien juga tampak gelisah. Maka terapi yang
diberikan pertama kali adalah terapi oksigen (O 2). Diberikan sesuai usia, pasien dengan
usia < 2 tahun, maka diberikan terapi oksigen 2 liter/menit (WHO, 2014). Pasien yang
diberikan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk
pemeriksaan saturasi oksigen (Pudjiadi et al., 2009).
Pasien juga mengeluhkan susah menetek ASI dan makan MP ASI. Maka pasien
dianggap memiliki asupan per oral yang kurang (Pudjiadi et al., 2009) . Maka dilakukan
pemberian terapi cairan berupa infus DS + NS 500cc. Diberikan per parenteral
dengan jumlah tetes 5 tetes per menit. Cairan infus ini mengandung Natrium 38.5
meg/Liter, Klorida 38.5 meg/liter, Dextrose 50 gram/Liter dengan tingkat osmolaritas
355 mOsm/Liter. Terapi ini bertujuan sebagai pengganti cairan dan kalori (Alexander et
al., 2010).
Keluhan sesak nafas yang bertambah berat dan ditandai dengan adanya retraksi dinding
dada pada sub costal menjadi tanda dari pneumonia berat. Sehingga perlu mendapatkan
terapi dengan tujuan mucociliary clearance. Dahak yang susah dikeluarkan pada bayi
dapat menjadi faktor pendorong terjadinya sesak nafas. Nebulisasi dengan 2 agonis
dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki mucociliary clearance. Pulmicort
mengandung bahan akif berupa Budesonide sebagai 2 agonis. Dosis yang diberikan
adalah 1 respule Pulmicort ditambahkan 5 ml NaCl 0,9%. Dilakukan nebulisasi setiap 8
jam.
Antibiotik menjadi pilihan dalam terapi etiologi. Tergantung dari organisme yang
menyebabkan. Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak
<5 tahun karena efektif melawan sebagian besa patogen yang menyebabkan pneumonia
pada anak, ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-amoksiklav,
ceflacor, eritromisin, claritromisin, dan azitromisin. Pada pasien ini diberi ampisilin
secara intravena karena pasien termasuk dalam derajat pneumonia berat. Antibiotik
intravena yang dianjurkan yang lain adalah kloramfenikol, co-amoksiklav, cefotaksime.
Kemudian apabila terjadi perburukan klinis walaupun sudah diterapi yang ditandai
dengan adanya pneumatokel, pneumothoraks dengan efusi pleura, ditemukan kokus
gram positif pada tes sputum, didukung oleh infeksi kulit yang disertai pus maka
diberikan ceftriaxone 50 mg/12 jam secara IV atau kloksasilin 50 mg/kgBB IM atau IV
setiap 6 jam dan gentamisin 7,5 mg/kgBB IM atau IV.

Você também pode gostar