Você está na página 1de 9

Fisika Medis? Apa itu?

posted Nov 2, 2013, 12:10 AM by Lukmanda Evan Lubis [ updated May 15, 2015, 4:27 PM ]

Fisika Medis? Apa itu? Mata


pelajaran baru kah? Jurusan kuliah baru kah?

Well, sebagian benar dan sebagian kurang benar. Fisika Medis memang boleh dideskripsikan
sebagai 'mata pelajaran', tapi bukan dengan konteks mata pelajaran dari-bel-sampai-bel-
lagi ala mata pelajaran sekolah. This is a lot and way better than that. Dan, Fisika Medis
memang adalah sebuah jurusan kuliah, tapi nggak baru. Yah, nggak baru-baru amat lah.
Mungkin sebagian kalangan profesional atau praktisi kesehatan (dari dokter, regulator,
sampai importir alat kesehatan) sudah agak familiar dengan dua kata 'Fisika Medis' atau
'Fisikawan Medis' (sebagai pihak pelaku Fisika Medis), terlebih jika lahan pekerjaannya tidak
berjauhan dengan Radiologi, Radioterapi, dan Kedokteran Nuklir. Nah lho? Apa pula itu?

Okay, sebelum kita melangkah lebih jauh ke penjelasan tiga sub-bidang Fisika Medis itu, ada
baiknya (udah pastinya) lebih enak jika istilah 'Fisika Medis' dulu yang dipaparkan.

Sejarah Ringkas Fisika Medis

Di Tanah Air, istilah Fisika Medis muncul sebagai serapan dari bahasa Inggris; Medical
Physics. Nah, dalam Bahasa Indonesia sendiri, padanan dari kata 'Medical' di sini dapat
berarti 'Medis' maupun 'Medik'. Karena keduanya memiliki arti yang sama (yakni 'berkenaan
dengan kesehatan'), maka keduanya benar. Tidak perlu heran ketika melihat tulisan 'Fisika
Medik', karena yang dimaksud adalah sama dengan Fisika Medis. Di halaman ini digunakan
istilah Fisika Medis semata-mata untuk alasan konsistensi.

Masyarakat Fisika Medis sendiri umumnya mengasosiasikan lahirnya Fisika Medis dengan
dideskripsikannya fenomena sinar-X di Wrzburg oleh Prof. Wilhelm Rntgen pada Desember
1894 (cerita ringan soal teramatinya sinar-X ini diberikan di post lainnya). Ada pula yang
mengaitkannya dengan Prof. Marie Curie, yang pertama kali menggunakan substansi
radioaktif untuk keperluan medis (terapi kanker). Secara modern, karya dan dedikasi
keduanya memang titik awal meroketnya ilmu Fisika Medis. Jika saja Prof. Rntgen tidak
mengungkapkan fenomena sinar-X, mungkin sekarang tidak ada pesawat sinar-X
konvensional, boro-boro CT-Scan. Jika Prof. Curie tidak menginisiasi penggunaan radioaktif
sebagai metode terapi kanker, maka saat ini tidak ada Radioterapi dan Brakhiterapi. Pada
kenyataannya, Fisika Medis begitu melesat setelah kontribusi kedua orang yang namanya
tersebut tadi. Hal inilah yang mendasari dipilihnya ulang tahun Marie Curie sebagai Hari
Fisika Medis Internasional.
Tapi apakah hanya dari
situ saja? Apakah istilah Fisika Medis benar-benar muncul hanya karena mereka? Nyatanya
tidak. Menurut Francis Duck (sumber) istilah Fisika Medis pada masa itu sudah lazim dan
digunakan dalam artikel-artikel ilmiah. Yah, tentunya nggak dalam bahasa Inggris 'Medical
Physics'. Lebih tepatnya, ranah ini dibahas dalam die medizinische Physik oleh Adolf Fick
(1858) dan lebih dahulu lagi dalam karya Neil Arnott 'Elements of Physics or Natural
Philosophy, General and Medical' yang dipublikasikan tahun 1827. Itu yang paling awal?
Tidak juga. Istilah yang berarti 'Fisika Medis' pertama muncul dalam literatur sebagai
'Physique Mdicale' di Paris, tahun 1779. Istilah ini dibahas oleh Flix Vicq D'Azir sebagai
pimpinan Socit Royale De Mdicine, sebuah asosiasi ilmiah kedokteran yang didanai raja
Perancis kala itu, Louis XVI (ya, ini raja Perancis yang pada akhirnya dipenggal saat revolusi
bergolak).

Physique Mdicale waktu itu menjadi bab dalam jurnal yang dikelola Socit Royale De
Mdicine (beriringan dengan bab lain, seperti Chemie Mdicale dan lain-lain). Saat itu, bab
tersebut berisi pembahasan prosedur terapi menggunakan aliran listrik serta magnetisme
dari hewan untuk pengobatan kelumpuhan. Tahun 1824, masih di negara yang sama, terbit
buku berjudul "Trait lmentaire de physique gnrale et mdicale" yang ditulis oleh Pierre
Pelletan. Buku ini merupakan textbook Fisika Medis pertama di dunia. Intinya, istilah Fisika
Medis (lebih tepatnya saat itu Physique Mdicale) sudah tumbuh subur di Eropa jauh
sebelum hadirnya inovasi Marie Curie dan Rntgen. Namun, pada masa itu
perkembangannya belum memiliki arah dan belum ada kesamaan persepsi antar ilmuwan
yang menggeluti bidang tersebut.

Tujuan yang seragam baru dirancang setelah didalaminya Radiobiologi, khususnya


mengenai efek radiasi pada sel hidup. Radiobiologi sendiri merupakan hal baru ketika itu,
yang lahir pasca kajian mengenai meninggalnya Marie Curie akibat leukemia demi
menyelidiki hubungannya dengan kontak terhadap radiasi. Dari sanalah perlahan-lahan
terbentuk konsep Fisika Medis seperti yang sekarang ini, yang didalamnya mencakup sub
bidang Proteksi Radiasi. Pada masa ini, ilmuwan terkait sudah memiliki kesepahaman
mengenai radioaktivitas dan interaksi radiasi dengan materi, sehingga arah pengamatan
pun lebih jelas. Atas inovasi dari Curie, berkembanglah Radioterapi, yang pertama kalinya
dari Brakhiterapi, kemudian menjadi ruangan yang berisi sumber radiasi, lalu, menjelang
kematian Curie, terapi eksternal mulai diperkenalkan. Seiring dengan berjalannya waktu,
konsep klinis berupa standar struktur pelayanan rumah sakit pun semakin jelas. Aplikasi
radioaktif pada terapi lebih dulu masuk ke ranah klinis ketimbang sinar-X sebagai modalitas
diagnostik. Dengan diintegrasikannya kedua bidang ini pada konsep rumah sakit (ingat,
konsep rumah sakit dengan jajaran dokter, perawat, dan manajemennya baru berkembang
menjadi seperti sekarang ini di awal abad 20), menyusul kemudian Kedokteran Nuklir,
keberadaan Fisikawan di rumah sakit mulai dipertimbangkan. Pada November 1958, AAPM
(American Association of Physicists in Medicine) berdiri sebagai ikatan fisikawan yang
bekerja di bidang medis. IOMP (International Organization of Medical Physics) pun menyusul
dibentuk pada Juli 1963 sebagai wadah organisasi internasional Fisika Medis yang berperan
menyatukan organisas-organisasi Fisika Medis di seluruh dunia (sumber: Med. Phys.
5(4):290-6., Jul-Aug 1978)

Dengan adanya tuntutan profesi, bangkitnya jurusan khusus Fisika Medis di lingkungan
akademik pun terjadi setelah sebelumnya Fisikawan Medis adalah 'sekedar' lulusan jurusan
Fisika yang bekerja di ranah klinis. Institusi pendidikan pertama yang membuka program
Fisika Medis adalah University of Wisconsin di Madison, USA. Dalam kurun yang hampir
bersamaan, Prof. John Cameron dari institusi tersebut menerbitkan buku berjudul 'Medical
Physics' yang berisi konsep Fisika pada sistem hidup. Publikasi inilah yang kemudian
mendunia dan membuat Prof. Cameron menjadi salah satu sesepuh Fisika Medis dunia yang
dikenal. Semenjak saat itu, hingga sekarang, Fisika Medis masih terus berkembang dan
berkontribusi dalam dunia klinis.

Di Ibu Pertiwi sendiri, Fisika Medis mengalami perkembangan yang cukup notable. Indonesia
memiliki dua asosiasi yang keduanya berfungsi secara strategis dan saling berkoordinasi
dalam harmoni yang amat terjaga. IKAFMI (Ikatan Fisikawan Medik Indonesia) berdiri
sebagai organisasi profesi resmi yang memperjuangkan masa depan profesi Fisikawan Medis
dalam konteksnya mengenai kebijakan yang diregulasikan oleh Kementerian Kesehatan dan
mengupayakan implementasinya. Sementara itu, ranah keilmiahan-akademik dan
representasi di kancah internasional diwakili oleh HFMBI (Himpunan Fisika Medis dan
Biofisika Indonesia), yang merupakan anggota resmi dari AFOMP (Asian Federation of
Organizations for Medical Physics), dan SEAFOMP (South-East Asian Federation of
Organizations for Medical Physics). SEAFOMP sendiri adalah regional chapter dari IOMP dan
lahirnya SEAFOMP pada tahun 2000 turut dibidani oleh Prof. Dr. Djarwani S. Soejoko
(Universitas Indonesia) yang juga, semenjak jauh sebelum itu hingga detik ini,
memperjuangkan recognition dari Fisika Medis Indonesia secara internal maupun eksternal.
Artikel mengenai sejarah Fisika Medis di Indonesia dan statusnya saat ini akan diberikan
pada kesempatan lainnya.

Fisika Medis, Fisikawan Medis, dan Ruang Lingkupnya

Oke, cukup dengan istilah dan sejarah. Lalu 'Fisika Medis' ini apa artinya? Bagaimana ruang
lingkupnya dan apa yang dikerjakan kalau saya menjadi Fisikawan Medis?

Secara harafiah, tentu istilah 'Fisika Medis' dapat dengan mudah dirangkai menjadi
beberapa kata; 'fisika yang berkenaan dengan kesehatan', dan memang artinya ya itu.
Dilihat dari istilahnya saja, bisa ditebak bahwa cakupan Fisika Medis yang ada sekarang
masih sangat luas dan berkaitan dengan banyak bidang lain, dan pada kenyataannya
memang demikian. Ilmu Kedokteran, teknik, elektronika, biologi, biofisika, fisika inti, dan
sederetan ranah ilmu lainnya turut berkontribusi dalam kemajuan maupun aplikasi Fisika
Medis. Lingkup Fisika Medis pun agaknya berbeda di setiap wilayah di dunia. Di Belanda
misalnya, Fisika Medis identik dengan ilmu mengenai suara (Audiologi). Di Finlandia, bidang
Neurofisiologi direkatkan pada Fisika Medis. Namun, umumnya (sesuai kesepakatan dari
berbagai asosiasi Fisika Medis termasuk IOMP) Fisika Medis dipersempit ke aplikasi radiasi
(elektromagnetik, panas, suara) dalam bidang kedokteran, dan cakupan ini yang penulis
bawakan di tulisan ini maupun tulisan-tulisan selanjutnya.

AAPM sebagai pemrakarsa organisasi Fisika Medis telah memiliki kerangka yang begitu jelas
mengenai deskripsi kerja, ruang lingkup, bahkan sertifikasi berdasarkan spesialisasi (setiap
spesialisasi memiliki badan sertifikasi yang berbeda-beda). Dideskripsikan dalam AAPM
Professional Policy No. 17 bahwa Fisika Medis adalah cabang fisika yang berhubungan
dengan praktik klinis (medis). AAPM membagi spesialisasi menjadi 4, yakni; diagnostic
medical physics, therapeutic medical physics, nuclear medical physics, dan medical health
physics. Setiap sub-bidang (spesialisasi) inilah yang disertifikasi oleh komite yang berbeda-
beda.

Nah, secara praktik, tidak semua lulusan Fisika Medis bisa mengakui dirinya sebagai
seorang Fisikawan Medis. AAPM dalam Professional Policy No. 1 menyatakan bahwa
Fisikawan Medis Berkualifikasi (QMP, Qualified Medical Physicist) adalah mereka yang
memiliki gelar S2 atau S3 di bidang Fisika Medis, Biofisika, Fisika Radiologi, Fisika Kesehatan,
serta bidang lain yang dapat disetarakan dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
Terakreditasi? Seperti kita ada akreditasi DIKTI gitu? Bukan. Mereka punya komite akreditasi
sendiri untuk universitas yang memiliki program Fisika Medis (CAMPEP, Commission on
Accreditation of Medical Physics Education Programs) dan kalau program itu tidak
terakreditasi CAMPEP maka lulusannya tidak bisa menjadi Fisikawan Medis. Lalu itu saja?
Tidak. Para lulusan kampus terakreditasi CAMPEP ini harus lebih dahulu melaksanakan
Clinical Training (semacam co-ass kalau untuk dokter) selama minimal dua tahun untuk
menekuni sub-bidang atau spesialisasinya. Program training tambahan satu tahun lagi juga
disarankan untuk mendalami sub-sub-bidangnya (contohnya; seorang Fisikawan Medis di
unit CT-Scan yang sudah lulus Clinical Training untuk Radiologi Diagnostik selama dua tahun
disarankan untuk mengambil tambahan pelatihan satu tahun lagi untuk bidang CT-Scan).
Setelah melalui itu semua, individu tersebut berhak menyebut dirinya Fisikawan Medis.

Menyusul AAPM, IOMP juga mengeluarkan statuta yang mendefinisikan dan mengatur tugas
dan peranan Fisikawan Medis. Dua dokumen dipublikasikan secara bersamaan setelah
disahkan pada World Congress on Medical Physics di Beijing tahun 2012 silam. IOMP Policy
Statement No. 1 mendeskripsikan mengenai tugas dan tanggung jawab seorang Fisikawan
Medis di situasi klinis, sedangkan IOMP Policy Statement No. 2 merumuskan jenjang
pendidikan dan training yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi Fisikawan Medis.
Secara garis besar, isi dari Policy Statement ini sama dengan dokumen AAPM di atas tadi,
hanya ada perbedaan redaksional dan istilah (AAPM menyebut Qualified Medical Physicist
sementara IOMP menyebut Certified Medical Physicist, sebuah perbedaan kecil yang tak
berarti). IOMP dan AAPM terlihat sangat sinergis dalam menentukan aturan prasyaratan
akademik dan pelatihan untuk menjadi Fisikawan Medis. Perlu dicatat pula bahwa dokumen
AAPM masuk ke dalam daftar referensi di Policy Statement IOMP.

Untuk ruang lingkup tugas Fisikawan Medis, baik IOMP dan AAPM menjabarkan dengan
sangat lengkap setiap poin tugas. Pada garis besarnya, IOMP mendeskripsikan seorang
Fisikawan Medis untuk bertugas:

Melaksanakan layanan klinis, diantaranya pelaksanaan QA/QC, perencanaan terapi


(bagi Fisikawan Medis di Radioterapi), serta sederet tugas lainnya yang spesifik
berdasarkan spesialisasinya.

Mengawasi keamanan dan keselamatan radiasi dengan melaksanakan perancangan


desain dan shielding ruangan, pengawasan batas radiasi (survey), kalibrasi
peralatan, dan lain-lain.

Melayani konsultasi internal mengenai perencanaan pengembangan atau perbaikan


metode di lingkup kerjanya.

Melakukan penelitian dan membuat inovasi

Menjadi pendidik bagi sesama staf medis dan calon staf medis mengenai
keselamatan radiasi dan Fisika Medis, serta membimbing Fisikawan Medis yang
masih dalam masa training.

Untuk hal deskripsi tugas, dokumen AAPM disusun dengan begitu mendetil (spesifik untuk
setiap spesialisasi sebagai tambahan bagi deskripsi kerja Fisikawan Medis secara umum).
Namun pada intinya, kedua dokumen mengisyaratkan bahwa selain kegiatan klinis,
Fisikawan Medis juga bertanggung jawab untuk melakukan penelitian dan pengembangan
serta pendidikan (ya, ini yang penting: Fisikawan Medis harus bisa ngajar).

Mengintip Status Fisika Medis di Indonesia


Oke. Tadi sudah dibahas mengenai Fisika Medis menurut aturan internasional. Lantas
bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita mengikuti aturan IOMP dan AAPM? Well, bagi
penulis sendiri situasi ini menjadi sesuatu yang sangat unik. Sebagai negara berdaulat, kita
berhak menentukan peraturan sendiri mengenai kerangka jabatan, deskripsi kerja dan tugas
pekerjanya. Untuk Fisikawan Medis, aturan ini memang sudah ada dan tertuang jelas dalam
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara no. PER/12/M.PAN/5/2008
tentang jabatan fungsional Fisikawan Medis dan Angka Kreditnya. Dalam aturan tersebut
(pasal 26 ayat 1) seorang calon Fisikawan Medis harus memiliki gelar minimum S1 Fisika
Medis dan berpangkat paling rendah Penata Muda (golongan III/a) dengan syarat penilaian
prestasi kerja tertentu untuk dapat diangkat menjadi Fisikawan Medis. Dalam regulasi ini
disebutkan pula jenjang pangkat Fisikawan Medis yang terdiri dari Fisikawan Medis Pertama,
Fisikawan Medis Muda, dan Fisikawan Medis Madya, dengan poin-poin tanggung jawab
masing-masing. Penulis mengamati adanya keselarasan dengan dokumen AAPM sebagai
deskriptor Fisika Medis pertama. Perbedaan yang amat mencolok adalah dari segi
pendidikan prasyaratnya.

Well, dapat dipahami bahwa kondisi Fisika Medis di Indonesia memang unik. Dari sejarah
mulainya pun kasus kita sudah tidak bisa dikatakan sama dengan yang dialami negara lain.
Karenanya, syarat gelar S1 sebagai kompromi kini bertengger di deretan peraturan Meneg
PAN RI tersebut. Sebagian mungkin tergelitik untuk menghela nafas melihat paut jauh
antara regulasi kita dengan regulasi internasional. Tapi mau bagaimana? Kemampuan kita
saat ini memang segitu. Meski demikian, bersikap pesimis itu haram dan nggak banget.
Coba tengok fakta bahwa negara kita memang terlambat lebih dari 40 tahun dalam
mengembangkan Fisika Medis. Menurut hemat penulis, semuanya wajar. Yang tidak wajar
adalah kalau kita terus-terusan menganggap tertinggal itu wajar. Sedikit melegakan
mengetahui bahwa praktisi, regulator, dan akademisi sepakat untuk mengejar
ketertinggalan. Asal tahu saja, HFMBI dan IKAFMI terus-terusan berjuang menyamakan
kedudukan pelayanan Fisika Medis Tanah Air dengan internasional, termasuk mengupayakan
diadakannya Clinical Training yang hingga saat ini masih sangat sulit dilakukan. BAPETEN
(Badan Pengawas Tenaga Nuklir) juga tak kurang-kurang menegakkan peraturan-peraturan
yang berkiblat pada maksimalnya pelayanan Fisika Medis di rumah sakit. Sementara dari
segi akademik, para institusi pendidikan yang memiliki program Fisika Medis diantaranya UI,
ITB, UGM, UNHAS, USU, UNAS, UNDIP, UNIBRAW, dan lain-lain (penulis tidak ingat betul)
sudah merapat ke dalam Asosiasi Institusi Pendidikan Fisika Medis Indonesia (AIPFMI) dan
sudah menyamakan persepsi dalam hal kurikulum pendidikan Fisika Medis. Asosiasi ini
diinisiasikan oleh Universitas Indonesia yang sejak tahun 1998 mengadopsi kurikulum dari
AAPM. See? Kita tidak berpangku tangan.

Nah, sekarang hanya tinggal kemauan dari 'bocah-bocah kecil' seperti penulis untuk
digembleng demi kemajuan Fisika Medis dalam negeri. Dengan begitu, apa yang
diupayakan oleh para 'orangtua' di Fisika Medis Indonesia tidak sia-sia. Let us not waste any
more time, for we have a lag to pursue!

We should, must, and will overcome the lag!

Você também pode gostar