Você está na página 1de 124

Asuhan Keperawatan Pada Klien Tn.

B dengan Fraktur Femur Sinistra Post

Pemasangan Plate

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah
satu sebab. Penyebab trauma antara lain kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga,
maupun kecelakaan rumah tangga. Dampak dari kecelakaan tersebut dapat
mengakibatkan fraktur atau patah tulang, cedera tulang belakang, cedera kepala,
dan sebagainya. Ditambah dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mengakibatkan semakin banyaknya tingkat kecelakaan trauma di
bidang transportasi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari medikal record Rumah Sakit Pusat
Kepolisisan Raden Said Sukanto Jakarta, pada bulan Januari 2009 sampai dengan
desember 2009 jumlah klien yang menderita fraktur sbanyak 382 orang,
sedangkan klien yang menderita fraktur femur sebanyak 82 orang (22%).

Penanganan fraktur harus dilakukan dengan cepat dan tindakan tepat agar
imobilisasi dilakukan sesegera mungkin karena pergerakan pada fragmen tulang
dapat menyebabkan nyeri. Kerusakan jaringan lunak dan perdarahan yang
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya syok dan komplikasi neurovaskuler.

Keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang


memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan klien dan keluarga secara
biopsikososiospiritual dan kultural. Perawat berperan dalam pemberian asuhan
keperawatan pada fraktur femur sinistra diantaranya dengan usaha promotif yaitu
memberikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya menjaga keamanan dan
keselamatan diri. Usaha preventif, perawat menjelaskan cara pencegahan infeksi
lanjut yang ditimbulkan oleh tindakan pembedahan. Sedangkan upaya kuratif
adalah perawat dapat berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat
dan pembedahan. Upaya rehabilitatif, perawat menganjurkan kepada pasien untuk
sesegera mungin melakukan mobilisasi secara bertahap.

menganjurkan kepada pasien untuk sesegera mungin melakukan mobilisasi secara


bertahap, setelah penatalaksanaan medis.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat masalah


bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur femur
sinistra post pemasangan plate dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan?

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan pengalaman secara nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan klien Fraktur Femur Sinistra Post Pemasangan Plate.

2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada klien fraktur femur sinistra post
pemasangan plate.
b. Mampu menentukan masalah keperawatan pada klien fraktur femur sinistra
post pemasangan plate.
c. Mampu merencanakan asuhan keperawatan pada klien fraktur femur sinistra
post pemasangan plate.
d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien fraktur femur sinistra
post pemasangan plate.
e. Mampu melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien fraktur femur sinistra
post pemasangan plate.
f. Mampu mengidentifikasi kesenjangan antara teori dan praktek fraktur femur
sinistra post pemasangan plate.
g. Mampu mengidentifikasi faktor-faktor pendukung, penghambat serta mencari
solusi/ alternatif pemecahan masalah
h. Mampu mendokumentasikan semua kegiatan keperawatan dalam bentuk narasi

C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode :
1. Deskriptif
a. Studi kasus, yang meliputi observasi, partsipasi dengan cara melakukan
pengamatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien dengan cara
wawancara dengan keluarga, melihat catatan medis, melihat catatan keperawatan
dan informasi dari rekan satu profesi maupun dari tim lain.
b. Studi dokumentasi yaitu menggunakan format pengkajian untuk melakukan
pemeriksaan.
2. Studi literature yaitu dengan membaca dan mempelajari buku kepustakaan yang
berkaitan dengan fraktur femur sinistra untuk mendapatkan dasar-dasar ilmiah
yang berhubungan dengan isi makalah ini.

D. Ruang Lingkup
Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi pada Asuhan Keperawatan pada
klien Tn. S dengan fraktur femur sinistra post pemasangan plate di Ruang Mahoni
II Rumah Sakit Pusat Kepolisian Raden Said Sukanto Jakarta, yang dilakukan
selama 3 hari yaitu pada tanggal 14 Juli 2010 sampai 16 Juli 2010.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini disusun menjadi lima bab yang terdiri dari: Bab
I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang , tujuan penulisan, ruang lingkup
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Teori,
terdiri dari pengertian, etiologi, patofisiologi, proses penyakit, manifestasi klinik,
komplikasi, penatalaksaan medis, klasifikasi fraktur, proses penyembuhan tulang,
pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan,
pelaksanaan keperawatan, evaluasi keperawatan. Bab III Tinjauan Kasus, terdiri
dari pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan,
implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan. Bab IV Pembahasan, terdiri
dari pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan,
implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan. Bab V Penutup, terdiri dari
kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. (Smeltzer dan Bare, 2002).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang
rawan sendi. (Soebroto Sapardan, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah)

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. (Marylin E. Doengoes. 2000)

Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana
potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 2000 : 1138).

Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi
akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan
biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh
dalam syok (FKUI, 2005:543)
B. Etiologi
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
4. Fraktur patologik yaitu fraktur yang terjadi pada tulang disebabkan oleh
melelehnya struktur tulang akibat proses patologik. Proses patologik dapat
disebabkan oleh kurangnya zat-zat nutrisi seperti vitamin D, kaslsium, fosfor,
ferum. Factor lain yang menyebabkan proses patologik adalah akibat dari proses
penyembuhan yang lambat pada penyembuhan fraktur atau dapat terjadi akibat
keganasan.

C. Patofisiologi
1. Proses Penyakit
Apabila terjadi terputusnya kontinuitas tulang, maka hal tersebut akan
mempengaruhi berbagai struktur yang ada disekitarnya, seperti otot dan pembuluh
darah. Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur yang
dapat dilihat dari tipe, luas, dan lokasi fraktur itu sendiri. Pada umumnya terjadi
edema pada jaringan lunak, perdarahan otot dan persendian, dislokasi atau
pergeseran tulang, rupture tendon, putus persarafan, kerusakan pembuluh darah,
dan perubahan bentuk tulang, serta terjadinya deformitas.

Bila terjadi patah tulang maka sel-sel tulang akan mati. Perdarahan biasanya
terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar tulang
tersebut. Jaringan lunak biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan
hebat timbul setelah fraktur. (Smeltzer dan Bare, 2002)

2. Manifestasi Klinis
Daerah paha yang patah tulangnya sangat membengkak, ditemukan tanda-tanda
fungsiolesa (tungkai bawah tidak dapat diangkat). Nyeri tekan, nyeri gerak.
Tampak adanya deformitas angulasi lateral atau angulasi anterior, rotasi
(ekso/endo).

Pada tungkai bawah, ditemukan adanya perpendekan tungkai. Pada fraktur 1/3
tengah femur, pada pemeriksaan harus diperhatikan adanya dislokasi sendi
panggul, dan robekan di daerah ligamen sendi panggul, kecuali itu juga diperiksa
keadaan saraf sciatica dan arteri dorsalis pedis.

3. Komplikasi
Menurut Sylvia and Price 2001, komplikasi yang biasanya ditemukan antara lain :
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan
bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea, demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkmans Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
supai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

D. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah garis patah.
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
1) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
3) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
6. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
7. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.

E. Proses Penyembuhan Tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel
darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang
lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua
fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur
sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast
mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang
tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman
tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada
4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan
pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki
dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya.

F. Penatalaksanaan Medis
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis
(brunner, 2001).

Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi
fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur
menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.

Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk


menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan
analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia.
Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut

Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan


mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual.

Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi


dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar x harus dilakukan
untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.

Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar x digunakan
untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang
sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar x. Ketika kalus telah kuat
dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.

Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan


pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk
pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga
sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi
fragmen tulang.

c. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun.

Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,


atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

d. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan
ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).

Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse
dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian
bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya,
fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres
pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan
beban berat badan.

G. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetic.
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.

2. Pola-Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat. Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain
itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos.
Marilynn E, 2002).
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya.
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien.

3. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
2) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
3) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut.
4) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak
ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit
klien yang berhubungan dengan paru.
b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainnya.
d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor
dan ronchi.
11) Jantung
a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d) Auskultasi
20 kali/menit.e) Peristaltik usus normal
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
a) Keadaan Lokal
5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian
distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
Normal 3 5 (a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah,
atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

H. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon actual atau
potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan
berkompeten untuk mengatasinya. Respon actual dan potensial klien didapatkan
dari data dasar pengkajian, tinjauan literature yang berkaitan, catatan medis klien
masa lalu, dan konsultasi dengan professional lain.

Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada pasien fraktur menurut
Marilyn E. Doengoes adalah sebagai berikut:
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
3. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
4. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
5. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
6. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada

I. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa 1
Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan : Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan
tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan
tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik
sesuai indikasi untuk situasi individual
Rencana Tindakan
1. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan
atau traksi.
Rasional : Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
Rasional : Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)
Rasional : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan
kelelahan otot.
5. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi
visual, aktivitas dipersional)
Rasional : Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
nyeri yang mungkin berlangsung lama.
6. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai
keperluan.
Rasional : Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri
baik secara sentral maupun perifer.
8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan
tanda-tanda vital)
Rasional : Menilai perkembangan masalah klien.

Diagnosa 2
Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral
hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
Rencana Tindakan
1. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi
distal cedera.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
Rasional : Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian
keketatan bebat/spalk.
3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi
adanya sindroma kompartemen.
Rasional : Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada
adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.
4. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
Rasional : Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan
trombus vena.
5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit
distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
Rasional : Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi
sesuai keadaan klien.

Diagnosa 3
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria
klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal.

Rencana Tindakan
1. Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.
Rasional : Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.
2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.
Rasional : Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.
3. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid
sesuai indikasi.
Rasional : Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli.
Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi
emboli lemak.
4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit.
Rasional : Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan
pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak
darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.
5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor,
penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.
Rasional : Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini
insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap
awal.

Diagnosa 4
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat
paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh
menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas.
Rencana Tindakan
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan
teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
Rasional : Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri,
membantu menurunkan isolasi sosial.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun
yang sehat sesuai keadaan klien.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus
otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah
reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.
3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.
Rasional : Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.
Rasional : Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi
keterbatasan klien.
5. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
Rasional : Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
6. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
Rasional : Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan
konstipasi.
7. Berikan diet tinggi kalori tinggi protein..
Rasional : Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan
dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
Rasional : Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas
fisik secara individual.
9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.
Rasional : Menilai perkembangan masalah klien.

Diagnosa 5
Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku
tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai
indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
Rencana Tindakan
1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun
kencang, bantalan bawah siku, tumit).
Rasional : Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
2. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan
otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal.
Rasional : Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi
fekal.
4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.
Rasional : Menilai perkembangan masalah klien.

Diagnosa 6
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen
atau eritema dan demam.
Rencana Tindakan
1. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protocol.
Rasional : Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.
2. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
Rasional : Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara
profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah
infeksi tetanus.
3. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur
dan sensitivitas luka/serum/tulang)
Rasional : Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan
peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi
organisme penyebab infeksi.
4. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.
Rasional : Mengevaluasi perkembangan masalah klien.

Diagnosa 7
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien
mengerti dan memahami tentang penyakitnya.
Rencana Tindakan
1. Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.
Rasional : Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.
2. Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.
Rasional : Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan
dan pelaksanaan program terapi fisik.
3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerlukan evaluasi medik (nyeri berat,
demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)
Rasional : Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini
yang memerulukan intervensi lebih lanjut.
4. Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.
Rasional : Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi masalah
sesuai kondisi klien.

J. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan,
dimana rencana perawatan dilaksanakan pada tahap ini perawat siap untuk
menjelaskan dan melaksanakan intervensi dan aktifitas yang telah dicatat dalam
rencana keperawatan klien, agar implementasi perencanaan ini tepat waktu dan
efektif terhadap biaya, perlu mengidentifikasi prioritas perawatan klien.
Kemudian bila telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respon pasien
terhadap setiap intervensi dan mendokumentasikannya informasi ini kepada
penyediaan perawatan kesehatan keluarga. ( Doengoes, 2002; hal. 105 )

Pelaksanaan keperawatan merupakan tindakan keperawatan yang dilaksanakan


untuk mencapai tujuan pada rencana tindakan keperawatan yang telah disusun.
Prinsip dalam memberikan tindakan kepeerawatan menggunakan komunikasi
terapeutik serta penjelasan setiap tindakan yang diberikan pada pasien.
Pendekatan yang digunakan adalah independent, dependen dan interdependen.
1. Secara mandiri (independen)
Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien
dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi rekasi karena adanya stressor
(penyakit), misalnya :
a. Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
b. Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus.
c. Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara
wajar.
d. Menciptakan lingkungan terapeutik.
2. Saling ketergantungan /kolaborasi (interdependen)
Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerjasama sesama tim perawatan atau
kesehatan lainnya seperti dokter, fisioterapi, analisis kesehatan, dll.
3. Rujukan / ketergantungan
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya
dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisioterapi, dsb. Pada penatalaksanaannya
tindakan keperawatan dilakukan secara :
a. Langsung : ditangani sendiri oleh perawat
b. Delegasi : diserahkan kepada orang lain/perawat lain yang dapat dipercaya.
Apabila tujuan, hasil dan intervensi telah diidentifikasi, perawat siap untuk
melakukan aktivitas pencatatan pada rencana perawatan klien. Dalam
mengaplikasikan rencana kedalam tindakan dan penggunaan biaya secara efektif
serta pemberian perawatan tersebut. Dalam menentukan prioritas saat ini, perawat
meninjau ulang sumber sumber sambil berkonsultasi dan mempertimbangkan
keinginan klien. ( Doengoes E. Marillyn, Rencana Askep, hal. 21 )
K. Evaluasi Keperawatan
Meskipun proses keperawatan mempunyai tahap-tahap, namun evaluasi
berlangsung terus menerus sepanjang pelaksanaan proses keperawatan. Tahap
evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Langkah dari evaluasi
proses keperawatan adalah mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan
dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Perawat mengevaluasi apakah
perilaku atau respon klien mencerminkan suatu kemunduran atau kemajuan dalam
diagnosa keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat. Selama evaluasi,
perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan sebelumnya telah
efektif dengan menelaah respon klien dan membandingkannya dengan perilaku
yang disebutkan dalam hasil yang diharapkan.

Perawat menggunakan berbagai kemampuan dalam memutuskan efektif atau


tidaknya pelayanan keperawatan yang diberikan. Untuk memutuskan hal tersebut
dalam melakukan evaluasi seorang perawat harus mempunyai pengetahuan
tentang standar pelayanan, respon klien yang normal, dan konsep model teori
keperawatan.
Dalam melakukan proses evaluasi, ada beberapa kegiatan yang harus diikuti oleh
perawat, antara lain: mengkaji ulang tujuan klien dan kriteria hasil yang telah
ditetapkan, mengumpulkan data yang berhubungan dengan hasil yang diharapkan,
mengukur pencapaian tujuan, mencatat keputusan atau hasil pengukuran
pencapaian tujuan, dan melakukan revisi atau modifikasi terhadap rencana
keperawatan bila perlu. Evaluasi terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Evaluasi proses. Evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat dan
apakah perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan merasa cocok, tanpa
tekanan, dan sesuai wewenang. Area yang menjadi perhatian pada evaluasi proses
mencakup jenis informasi yang didapat pada saat wawancara dan pemeriksaan
fisik, validasi dari perumusan diagnosa keperawatan, dan kemampuan tehnikal
perawat.
2. Evaluasi hasil. Evaluasi hasil berfokus pada respons dan fungsi klien. Respons
prilaku klien merupakan pengaruh dari intervensi keperawatan dan akan terlihat
pada pencapaian tujuan dan kriteria hasil.
Untuk penentuan masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak teratasi adalah
dengan cara membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan kriteria hasil yang
telah ditetapkan. Subjective adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari
klien setelah tindakan diberikan. Objective adalah informasi yang didapat berupa
hasil pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah
tindakan dilakukan. Analisis adalah membandingkan antara informasi subjective
dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan
bahwa masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak teratasi. Planning adalah
rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisa.
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan
dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi
tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang
diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Fungsi neurovaskuler baik
3. Kebutuhan oksigenasi terpenuhi.
4. Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling
tinggi.
5. Kerusakan kulit tidak terjadi dan ketidaknyamanan menghilang
6. Penyembuhan luka sesuai waktu
7. Klien menunjukkan pengetahuan bertambah.

BAB III
TINJAUAN KASUS

Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang Asuhan Keperawatan pada klien
Tn. S dengan diagnosa Fraktur Femur Sinistra Post Pemasangan Plate di Ruang
Mahoni II Rumah Sakit Pusat Kepolisian Raden Said Sukanto. Study kasus ini
diambil 3 hari mulai dari tanggal 14 Juli 2010 sampai dengan tanggal 16 Juli
2010.

Berikut adalah Asuhan Keperawatan yang penulis lakukan sesuai dengan tahap-
tahap proses keperawatan yang meliputi tahap pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencaaan keperawatan, implementasi, dan evaluasi keperawatan.

A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data klien. Dalam pengkajian penulis mendapatkan data dari
klien, perawat ruangan, catatan medis, dan tim medis lainnya dengan melakukan
wawancara dan observasi kesehatan. Adapun hal dari pengkajian adalah sebagai
berikut :
1. Identitas Klien
Klien adalah seorang laki-laki berinisial Tn. S berusia 42 tahun, status perkawinan
adalah menikah, berasal dari suku Jawa dengan alamat Jalan Hanapi 18 Rt 01 Rw
03 Cipinang Jakarta Timur. Klien beragama islam. Klien bekerja sebagai seorang
wiraswasta. Klien di rawat di Rumah Sakit Pusat Kepolisian Raden Said Sukanto
Jakarta di Ruang Mahoni II pada tanggal 01 Juli 2010 dengan nomor register 52
95 63 dan diagnose medis Fraktur Femur Sinistra.

2. Resume
Klien tiba di ruang Mahoni II Rumah Sakit Pusat Kepolisian Raden Said Sukanto
Jakarta pada tanggal 01 Juli 2010 pukul 10.00 WIB. Klien merupakan seorang
pria berinisial Tn. S berusia 42 tahun dengan diagnose medis fraktur femur
sinistra.
Keadaan umum sakit sedang, kesadaran composmentis. Observasi tanda-tanda
vital tekanan darah 120/90 mmHg nadi 84 x/menit pernafasan 20 x/menit suhu
36C.

2. Resume
Klien tiba di ruang Mahoni II Rumah Sakit Pusat Kepolisian Raden Said Sukanto
Jakarta pada tanggal 01 Juli 2010 pukul 10.00 WIB. Klien merupakan seorang
pria berinisial Tn. S berusia 42 tahun dengan diagnose medis fraktur femur
sinistra yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

Keadaan umum sakit sedang, kesadaran composmentis. Observasi tanda-tanda


vital tekanan darah 120/90 mmHg nadi 84 x/menit pernafasan 20 x/menit suhu
36C.

Pada tanggal 06 Juli 2010 pasien dilakukan operasi pukul 09.00 WIB pemasangan
plate pada fraktur femur sinistra, jenis anestesi spinal. Nama operasi reposisi dan
pemasangan plate dan srew. Persiapan operasi puasa mulai pukul 00.00 WIB,
mengisi inform concent, cukur bulu pubis, observasi keadaan umum, dan
observasi tanda-tanda vital. Td : 120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, pernapasan : 20
x/menit, suhu : 36C. klien diberikan penjelasan oleh dokter dan perawat
mengenai penyakit dan operasi klien.

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 07 juli 2010 Hemoglobin : 13,4 g/dl,


Hematokrit 41%, leukosit 6.100/ul, dan Trombosit 300.000/ul. Klien mendapatkan
therapy injeksi Ketorolac 3 x 1amp/IV, Cefadroxil 3 x 500mg, diit : makan biasa.

Masalah keperawatan yang timbul adalah gangguan rasa nyeri, intoleransi


aktivitas, dan resiko infeksi. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan secara
mandiri yaitu melakukan observasi tanda-tanda vital, membantu klien dalam
beraktivitas, mengkaji tanda-tanda infeksi. Tindakan keperawatan kolaboratif
yaitu memberikan terapi analgetik dan antibiotic.

Evaluasi keperawatan untuk gangguan rasa nyaman nyeri belum teratasi. Untuk
resiko infeksi, tidak ditemukan tanda-tanda infeksi, dan intoleransi aktivitas
belum teratasi.

3. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan utama : Klien mengeluh nyeri pada luka post op, kualitas nyeri seperti
berdenyut, intensitas hilang timbul, karakteristik nyeri setempat, nyeri timbul pada
saat klien melakukan pergerakan atau perubahan posisi dan akan berkurang jika
klien beristirahat.
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Klien mengatakan sebelumnya tidak pernah di rawat di rumah sakit, klien
mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi obat, makanan, binatang,maupun
lingkungan. Klien juga tidak mengkonsumsi obat-obatan.
c. Riwayat kesehatan keluarga

Keterangan :
= meninggal
= perempuan
= laki-laki
----------- = tinggal dalam satu rumah
= klien
= hubungan pernikahan
= hubungan persaudaraan
Dari genogram dan riwayat kesehatan keluarga dapat disimpulkan bahwa klien
tidak mempunyai riwayat penyakit yang dapat menjadi factor resiko terjadinya
fraktur femur sinistra.
d. Riwayat psikososial dan spiritual
Klien mengatakan orang paling dekat dengan dirinya selama di rumah sakit adalah
anak-anaknya, interaksi dalam keluarga baik, pola komunikasi klien dalam
keluarga baik, pembuat keputusan adalah dirinya sendiri, kegiatan
kemasyarakatan yang diikuti adalah mengaji.

Dampak penyakit klien terhadap keluarga adalah keluarga menjadi khawatir


terhadap kondisi klien, masalah yang mempengaruhi klien saat ini adalah aktivitas
klien terbatas. Hal yang sangat dipikirkan saat ini adalah klien ingin cepat sembuh
dari sakitnya. Harapan setelah menjalani perawatan adalah klien dapat melakukan
aktivitas seperti semula. Perubahan yang dirasakan setelah jatuh sakit adalah klien
mengalami keterbatasan dalam beraktivitas. Klien tidak mempunyai nilai-nilai
yang bertentangan dengan kesehatan, saat ini aktivitas keagamaan yang dilakukan
adalah berdoa. Kondisi lingkungan rumah baik dan tidak mempengaruhi
kesehatan saat ini.
e. Pola kebiasaan sehari-hari sebelum sakit
1) Pola nutrisi
Klien tidak ada masalah dengan pola makan. Frekuensi makan 3x/hari, nafsu
makan baik, jumlah yang dihabiskan adalah 1 porsi, tidak ada makanan yang
membuat alergi atau makanan yang tidak di sukai serta tidak ada makanan
pantangan, diit makan di rumah yaitu makan biasa. Tidak ada penggunaan obat-
obatan sebelum makan, dan tidak ada penggunaan alat bantu NGT.
2) Pola eliminasi
Klien buang air kecil (BAK) sebanyak 6-7 x/hari, warna kuning jernih, tidak ada
keluhan saat BAK, tidak ada penggunaan alat bantu kateter. Klien buang air besar
(BAB) 1 x/hari dengan waktu yg tidak tentu, berwarna kuning kecokelatan, bau
khas feces, konsistensi padat, dan klien tidak pernah menggunaan obat-obatan
laksatif.
3) Pola personal hygiene
Klien mandi 2 x/hari dengan menggunakan sabun mandi pada waktu pagi dan sore
hari, oral hygiene (sikat gigi) 2x/hari dengan menggunakan pasta gigi pada waktu
pagi dan sore hari, mencuci rambut 3x/minggu dengan menggunakan shampoo.
4) Pola istirahat dan tidur
Klien tidur siang + 2 jam / hari, tidur malam + 7 jam / hari, klien biasa berdoa
sebelum tidur.
5) Pola aktivitas dan latihan
Klien bekerja dari pagi sampai sore, klien tidak pernah berolahraga dan tidak ada
keluhan dalam beraktivitas.
6) Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Klien mengatakan tidak mempunyai kebiasaan merokok dan minum - minuman
keras / NAPZA.

f. Pola kebiasaan di rumah sakit


1) Pola nutrisi
Klien tidak ada masalah dengan pola makan. Frekunsi makan 3x/hari, nafsu
makan baik, jumlah yang dihabiskan adalah 1 porsi, tidak ada makanan yang
membuat alergi atau makanan yang tidak di sukai serta tidak ada makanan
pantangan, diit makan di rumah yaitu makan biasa. Tidak ada penggunaan obat-
obatan sebelum makan, dan tidak ada penggunaan alat bantu NGT.
2) Pola eliminasi
Klien buang air kecil (BAK) sebanyak 6-7 x/hari, warna kuning jernih, tidak ada
keluhan saat BAK, tidak ada penggunaan alat bantu kateter. Klien buang air besar
(BAB) 1 x/hari dengan waktu yg tidak tentu, berwarna kuning kecokelatan, bau
khas feces, konsistensi padat, klien tidak pernah menggunaan obat-obatan laksatif.
3) Pola personal hygiene
Klien mandi 1x/hari pada pagi hari, oral hygine dilakukan pada pagi hari.
4) Pola istirahat dan tidur
Klien tidur + 10 jam /hari, tidur siang 3 jam /hari, tidur malam 7 jam /hari, klien
mempunyai kebiasaan berdoa sebelum tidur.
5) Pola aktivitas dan latihan
Klien tidak dapat beraktivitas secara mandiri, aktivitas klien di bantu oleh
perawat. Klien mengatakan nyeri pada luka post op jika melakukan pergerakan.

4. Pengkajian Fisik
a. Pemeriksaan fisik umum
Berat badan sebelum sakit 54 kg, berat badan setelah sakit 54 kg, tinggi badan 165
cm, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x /menit, frekuensi nafas 20x /menit,
suhu tubuh 360C
b. Sistem penglihatan
Sisi mata tampak simetris baik kiri maupun kanan, kelopak mata normal,
pergerakan bola mata normal, konjungtiva merah muda, kornea normal tidak
keruh/berkabut dan tidak terdapat perdarahan, sklera anikterik, pupil isokor, otot-
otot mata tidak ada kelainan, fungsi penglihatan baik, tidak terdapat tanda-tanda
radang, klien menggunakan kacamata, tidak memakai lensa kontak, reaksi
terhadap cahaya baik.
c. Sistem pendengaran
Daun telinga normal, kondisi telinga tengah normal, tidak terlihat adanya cairan
yang keluar dari telinga dan tidak ada perasaan penuh pada telinga, klien tidak
mengalami tinnitus, fungsi pendengaran baik, klien tidak menggunakan alat bantu
pendengaran.
d. Sistem Wicara
Klien tidak mengalami gangguan wicara, klien dapat mengucapkan kata-kata
dengan jelas.
e. Sistem Pernapasan
Pada jalan napas bersih, tidak ada sesak dan klien tidak menggunakan alat bantu
pernapasan, frekuensi nafas 20x /menit, irama nafas teratur, jenis pernafasan
spontan, klien tidak batuk dan tidak terdapat sputum, suara nafas
normal/vesikuler, dan tidak ada nyeri saat bernafas.

f. Sistem Kardiovaskuler
Nadi 80x /menit, irama teratur dengan denyut kuat, tekanan darah 130/90 mmHg,
tidak terjadi distensi vena jugularis baik kanan maupun kiri, temperatur kulit
hangat, warna kulit kemerahan, pengisian kapiler 2 detik, tidak terdapat edema,
kecepatan denyut apical 84 x/menit, irama teratur, tidak terdengar adanya kelainan
pada bunyi jantung dan tidak sakit dada.
g. Sistem Hematologi
Klien tidak terlihat pucat dan tidak ada perdarahan.
h. Sistem Saraf Pusat
Klien mengatakan tidak pusing, tingkat kesadaran composmentis, GCS E4 M6
V5, tidak terjadi tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (seperti muntah
proyektil, nyeri kepala hebat, papil edema), klien tidak mengalami gangguan
sistem persarafan.
i. Sistem Pencernaan
Klien tidak menggunakan gigi palsu, tidak terdapat carries, tidak tampak
stomatitis, lidah tidak kotor, salifa normal, klien mengatakan tidak nyeri perut,
bising usus belum ada karena masih dalam pengaruh anastesi, klien tidak
megalami diare dan konstipasi, tidak teraba pembesaran hepar, dan abdomen tidak
kembung.
j. Sistem Endokrin
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, nafas tidak berbau keton, tidak terdapat
luka ganggren.
k. Sistem Urogenital
Intake 2600 cc/24 jam, output 2400 cc/24 jam dan balance cairan 200 cc, tidak
ada perubahan pola kemih, BAK warna kuning jernih, tidak terdapat distensi
kandung kemih, dan tidak ada keluhan sakit pinggang.
l. Sistem Integument
Turgor kulit baik, temperatur kulit hangat, warna kulit kemerahan, keadaan kulit
baik, terdapat insisi operasi lokasi di paha sebelah kiri,dengan panjang luka
15cm, kondisi luka tertutup elastic verband. Tidak ada perdarahan pada luka dan
tidak ada pembengkakan. Tidak ada kelainan kulit, keadaan rambut : tekstur
rambut baik dan bersih.

m. Sistem Musculoskeletal
Klien mengalami kesulitan dalam pergerakan karena jika melakukan pergerakan
akan terasa nyeri pada luka post op pemasangan plate, terdapat fraktur dengan
lokasi femur.
55555555
55554444

5. Data tambahan (pemahaman tentang penyakit)


Klien mengerti tentang penyakitnya yaitu klien dapat menyebutkan penyebab,
tanda dan gejala yang timbul, persiapan yang harus dilakukan sebelum operasi,
dan alasan mengapa harus dilakukan tindakan pembedahan.

6. Data penunjang
Data penunjang yang terdapat pada klien yaitu hasil pemeriksaan rontgen pada
tanggal 01 Juli 2010 :
Hasil : tampak fraktur femur sebelah kiri
Hasil rontgen tanggal 06 Juli 2010 yaitu tampak terpasang plate dan srew di femur
sinistra.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang terdapat pada klien yaitu : Cefadroxil 3 x
500mg/oral, Ketorolac 3 x 10mg/oral, dan diit makan biasa.

8. Data Fokus
Data fokus terdiri dari data subyektif dan data obyektif. Data fokus yang terdapat
pada klien adalah sebagai berikut :
a. Data Subyektif
Klien mengeluh nyeri pada luka post op, kualitas nyeri seperti berdenyut,
intensitas hilang timbul, karakteristik nyeri setempat, nyeri timbul pada saat klien
melakukan pergerakan atau perubahan posisi dan akan berkurang jika klien
beristirahat. Klien mengatakan sulit untuk beraktivitas.

b. Data Obyektif
Keadaan umum sakit sedang, kesadaran composmentis, hasil observasi tanda-
tanda vital Td : 120/80 mmHg, Nd : 80 x/menit, Rr : 20 x/menit, Sh : 360C.
Terlihat luka post op dengan panjang + 15 cm di paha sebelah kiri, luka bersih
tertutup elastic verband, tidak ada perdarahan, tidak ada pembengkakan. Skala
nyeri 4. Tampak aktivitas klien dibantu oleh perawat, mobilisasi bertahap, tampak
terdapat luka pada jari-jari kaki sebelah kiri. Hasil rontgent tanggal 06 Juli 2010,
tampak terpasang plate dan screw, therapy Cefadroxil 3 x 500mg/oral, ketorolac 3
x 10mg/oral.

9. Analisa Data
Berdasarkan data yang terkumpul pada tanggal 14 Juli 2010 maka penulis
mengelompokkan analisa data sebagai berikut :
No Data Masalah Etiologi
1. Data Subyektif
a. Klien mengeluh nyeri pada luka daerah pemasangan plate dan screw, kualitas
nyeri seperti berdenyut, intensitas hilang timbul, karakteristik nyeri setempat,
skala nyeri 4, nyeri timbul pada saat klien melakukan pergerakan atau perubahan
posisi dan akan berkurang jika klien beristirahat.
Data Obyektif
a. Observasi tanda-tanda vital Td : 120/80 mmHg, Nd : 80 x/menit, Rr : 20
x/menit, Sh : 360C.
b. Tampak klien menahan rasa sakit saat beraktivitas.
c. Tampak luka insisi bedah pada femur sinistra, dengan kondisi tertutup elastic
verband.
d. Tampak luka pada batang femur sinistra dengan kondisi lu
basah dan masih mengeluarkan darah.

e. Tampak terdapat luka pada jari-jari kaki kiri, dengan kondisi luka tertutup

kassa steril. Gangguan rasa nyaman nyeri Terputusnya kontinuitas

jaringan

2. Data Subyektif

a. Klien mengatakan sulit untuk beraktivitas

Data Obyektif

a. Tampak aktivitas klien dibantu oleh perawat.

b. Hasil rontgen tanggal 06 Juli 2010, tampak terpasang plate pada femur sinistra

Gangguan mobilitas fisik Kerusakan rangka neuromuskuler

3. Data Subyektif : -----

Data Obyektif

a. Tampak luka pada batang femur sinistra kondisi luka basah dan masih berdarah

saat dilakukan perawatan luka Gangguan integritas kulit Insisi bedah

4. Data Subyektif : -------

Data Obyektif

a. Tampak luka post op sepanjang 15cm, kondisi luka tertutup elastic verband

Resiko terjadinya infeksi Masuknya mikroorganisme pathogen akibat tindakan

invasive (pemasangan plate)

B. Diagnosa Keperawatan

Setelah data terkumpul dan di analisa, maka dapat dirumuskan beberapa diagnose

keperawatan, adapun diagnosa keperawatan tersebut disusun berdasarkan hirarki

maslows adalah sebagai berikut :

1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas


jaringan.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka

neuromuskuler.

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah.

4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masunya mikroorganisme

pathogen akibat tindakan invasive ( pemasangan plate ).

C. Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi Keperawatan

Diagnosa 1

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas

jaringan ditandai dengan

Data Subyektif : Klien mengeluh nyeri pada luka terpasangnya plate dan screw,

kualitas nyeri seperti berdenyut, intensitas terus menerus, karakteristik nyeri

setempat, skala nyeri 4, nyeri timbul pada saat klien melakukan pergerakan atau

perubahan posisi dan akan berkurang jika klien beristirahat.

Data Obyektif : Tampak klien menahan rasa sakit saat beraktivitas, observasi

tanda-tanda vital Td : 130/90 mmHg, Nd : 80 x/menit, Rr : 20 x/menit, Sh : 360C.

Tampak luka insisi bedah pada femur sinistra, dengan kondisi tertutup elastic

verband, Tampak luka pada batang femur sinistra dengan kondisi luka basah dan

berdarah. Tampak terdapat luka pada jari-jari kaki kiri, dengan kondisi luka

tertutup kassa steril.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan

gangguan rasa nyaman nyeri teratasi/berkurang

Kriteria hasil : Klien melaporkan rasa nyeri yang berkurang, tanda-tanda vital
dalam batas normal (Td : 120/80 mmHg, Nd : 80-100 x/menit, Rr : 18-24 x/menit,

Sh : 36-370C), tampak ekspresi wajah rileks, skala nyeri 0-1.

Rencana tindakan

1. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

2. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

3. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi

visual, aktivitas dipersional)

4. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.

5. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verbal, perubahan

tanda-tanda vital)

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 14 Juli 2010

Pukul 07.30 WIB melakukan observasi tanda-tanda vital Td : 130/90 mmHg, Nd :

80 x/menit, Rr : 20 x/menit, Sh : 360C. Pukul 08.20 WIB mengkaji keluhan nyeri,

hasil : klien mengeluh nyeri pada luka post op, kualitas nyeri seperti berdenyut,

intensitas hilang timbul, karakteristik nyeri setempat, nyeri timbul pada saat klien

melakukan pergerakan atau perubahan posisi dan akan berkurang jika klien

beristirahat. Pukul 10.00 WIB melakukan kolaborasi dengan fisioterapi. Hasil :

klien melakukan latihan gerak pasif. Pukul 11.30 WIB menganjurkan teknik

relaksasi untuk mengurangi nyeri, hasil : klien mengerti dan akan melakukannya.

Pukul 12.00 WIB memberikan terapi oral ketorolac 10mg, hasil : obat masuk

sesuai program melalui oral. Pukul 13.00 WIB meninggikan posisi ekstremitas
yang terkena. Hasil : posisi ekstremitas yang terkena lebih tinggi. Pukul 20.00

WIB memberikan terapi oral ketorolac 10mg, hasil : obat masuk sesuai program

melalui oral.

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 15 Juli 2010

Subyektif : Klien mengatakan nyeri pada daerah post operasi, intensitas nyeri

hilang timbul, kualitas nyeri sedang, karakteristik nyeri berdenyut, skala nyeri 4,

klien mengatakan nyeri baru hilang jika klien beristirahat.

Obyektif : Observasi tanda-tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80

x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36C, tampak klien menahan sakit saat

beraktivitas. Tampak luka insisi bedah pada femur sinistra, dengan kondisi

tertutup elastic verband, Tampak luka pada batang femur sinistra dengan kondisi

luka basah dan berdarah. Tampak terdapat luka pada jari-jari kaki kiri, dengan

kondisi luka tertutup kassa steril.

Analisa : Masalah gangguan rasa nyaman nyeri belum teratasi, tujuan

keperawatan belum tercapai.

Planning : Tindakan keperawatan dilanjutkan.

Rencana Tindakan

1. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

2. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

3. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi

visual, aktivitas dipersional)

4. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.


5. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan

tanda-tanda vital)

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 15 Juli 2010

Pukul 04.00 WIB memberikan terapi Ketorolac 10mg/oral, hasil : obat masuk

sesuai program melalui oral. Pukul 07.00 WIB melakukan observasi tanda-tanda

vital tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu

36C. Pukul 08.00 WIB mengkaji keluhan nyeri, hasil : klien mengeluh nyeri pada

luka post op, kualitas nyeri seperti berdenyut, intensitas hilang timbul,

karakteristik nyeri setempat, nyeri timbul pada saat klien melakukan pergerakan

atau perubahan posisi dan akan berkurang jika klien beristirahat. Pukul 10.00 WIB

melakukan kolaborasi dengan fisioterapi. Hasil : klien melakukan latihan gerak

pasif.Pukul 12.00 WIB memberikan terapi Ketorolac 10mg/oral, hasil : obat

masuk sesuai program melalui oral. Pukul 20.00 WIB memberikan terapi

Ketorolac 10mg/oral, hasil : obat masuk sesuai program melalui oral.

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010

Subyektif : Klien mengatakan nyeri pada daerah post operasi, intensitas nyeri

hilang timbul, kualitas nyeri sedang, karakteristik nyeri berdenyut, klien

mengatakan nyeri baru hilang jika klien beristirahat dan jika diberi obat analgetik.

Obyektif : Observasi tanda-tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80

x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36C. Tampak luka insisi bedah pada femur
sinistra, dengan kondisi tertutup elastic verband, Tampak luka pada batang femur

sinistra dengan kondisi luka basah dan berdarah. Tampak terdapat luka pada jari-

jari kaki kiri, dengan kondisi luka tertutup kassa steril.

Analisa : Masalah gangguan rasa nyaman nyeri belum teratasi, tujuan

keperawatan belum tercapai.

Planning : Tindakan keperawatan dilanjutkan.

Rencana Tindakan

1. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

2. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

3. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi

visual, aktivitas dipersional)

4. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.

5. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan

tanda-tanda vital)

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 16 Juni 2010

Pukul 04.00 WIB memberikan terapi Ketorolac 10mg/oral, hasil : obat masuk

sesuai program melalui oral. Pukul 07.00 melakukan observasi tanda-tanda vital,

hasil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 74 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu

36C. Pukul 10.00 WIB melakukan kolaborasi dengan fisioterapi. Hasil : klien

melakukan latihan gerak pasif.Pukul 12.00 WIB memberikan terapi Ketorolac

10mg/oral, hasil : obat masuk sesuai program melalui oral. Pukul 13.00 WIB

mengkaji keluhan nyeri, hasil : klien mengatakan nyeri pada luka post op sudah
berkurang, skala nyeri 4. Pukul 20.00 WIB memberikan terapi Ketorolac

10mg/oral, hasil : obat masuk sesuai program melalui oral.

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010 Pukul 20.15 WIB

Subyektif : Klien mengatakan nyeri pada daerah post operasi, intensitas nyeri

hilang timbul, kualitas nyeri sedang, karakteristik nyeri berdenyut, skala nyeri 4,

klien mengatakan nyeri baru hilang jika klien beristirahat.

Obyektif : Observasi tanda-tanda vital, hasil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 74

x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36C. Tampak luka insisi bedah pada femur

sinistra, dengan kondisi tertutup elastic verband, Tampak luka pada batang femur

sinistra dengan kondisi luka basah dan berdarah. Tampak terdapat luka pada jari-

jari kaki kiri, dengan kondisi luka tertutup kassa steril.

Analisa : Masalah gangguan rasa nyaman nyeri belum teratasi, tujuan belum

tercapai.

Planning : Tindakan keperawatan dilanjutkan.

Rencana Tindakan

1. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

2. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

3. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi

visual, aktivitas dipersional)

4. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.

5. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan

tanda-tanda vital)
Diagnosa 2

Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler ditandai dengan

Data Subyektif : Klien mengatakan sulit untuk beraktivitas.

Data Obyektif : Tampak aktivitas dibantu oleh perawat, hasil rontgen tanggal 06

Juli 2010, tampak terpasang plate pada femur sinistra.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan

gangguan mobilitas fisik teratasi.

Kriteria hasil : Klien dapat beraktivitas dengan bantuan minimal/mandiri,

mobilisasi pasca operasi baik.

Rencana tindakan

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan

teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun

yang sehat sesuai keadaan klien.

3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.

5. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.

6. Berikan diit tinggi kalori tinggi protein.

7. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.

8. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 14 Juli 2010


Pukul 07.00 WIB memberikan papan penyangga kaki. Hasil : Pukul 09.00 WIB

membantu klien BAK. Hasil : klien dapat memenuhi kebutuhan eliminasi urine

dengan bantuan. Pukul 10.00 WIB melakukan kolaborasi dengan fisioterapi. Hasil

: klien melakukan latihan gerak pasif.Pukul 11.00 WIB menganjurkan klien untuk

tetap mempertahankan asupan cairan 1000ml. Hasil : klien mengerti dan mau

melakukannya. Pukul 11.30 WIB mempertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi

terapeutik. Hasil : klien dikunjungi teman dan keluarganya.Pukul 12.00 WIB

menyajikan diit siang. Hasil : klien makan habis 1 porsi. Pukul 14.00 WIB

melakukan evaluasi kemampuan mobilisasi klien. Hasil : klien mampu melakukan

mobilisasi dini. Pukul 15.00 WIB menganjurkan klien untuk tetap

mempertahankan asupan cairan 500ml. Hasil : klien mengerti dan mau

melakukannya. Pukul 19.00 WIB menganjurkan klien untuk tetap

mempertahankan asupan cairan 500ml. Hasil : klien mengerti dan mau

melakukannya

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 15 Juli 2010

Subyektif : Klien mengatakan sulit beraktivitas.

Obyektif : Tampak klien beraktivitas dengan bantuan perawat.

Analisa : Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi.

Planning : Tindakan keperawatan lanjutkan.

Rencana tindakan

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan


teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun

yang sehat sesuai keadaan klien.

3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.

5. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.

6. Berikan diit tinggi kalori tinggi protein.

7. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.

8. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 15 Juli 2010

Pukul 05.10 WIB menyajikan diit pagi. Hasil : klien makan habis 1 porsi. Pukul

07.00 WIB membantu klien dalam memenuhi kebutuhan personal hygiene. Hasil :

klien dapat memenuhi kebutuhan personal hygiene (mandi). Pukul 10.00 WIB

melakukan kolaborasi dengan fisioterapi. Hasil : klien melakukan latihan gerak

pasif.Pukul 11.00 WIB membantu klien BAK. Hasil : klien dapat memenuhi

kebutuhan eliminasi urine dengan bantuan. Pukul 12.00 WIB menganjurkan klien

untuk tetap mempertahankan asupan cairan 1000ml/hari. Hasil : klien mengerti

dan mau melakukannya. Pukul 12.10 WIB menyajikan diit siang. Hasil : klien

makan habis 1 porsi. Pukul 14.00 WIB melakukan evaluasi kemampuan

mobilisasi klien. Hasil : klien mampu melakukan mobilisasi dini. Pukul 17.10

WIB menyajikan diit sore. Hasil : klien makan habis 1 porsi. Pukul 15.00 WIB

menganjurkan klien untuk tetap mempertahankan asupan cairan 500ml. Hasil :


klien mengerti dan mau melakukannya. Pukul 19.00 WIB menganjurkan klien

untuk tetap mempertahankan asupan cairan 500ml. Hasil : klien mengerti dan

mau melakukannya

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010

Subyektif : Klien mengatakan sulit beraktivitas.

Obyektif : Tampak klien beraktivitas dengan bantuan perawat.

Analisa : Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi.

Planning : Tindakan keperawatan lanjutkan.

Rencana tindakan

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan

teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun

yang sehat sesuai keadaan klien.

3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.

5. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.

6. Berikan diit tinggi kalori tinggi protein.

7. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.

8. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010


Pukul 05.10 WIB menyajikan diit pagi. Hasil : klien makan habis 1 porsi. Pukul

07.00 WIB membantu klien dalam memenuhi kebutuhan personal hygiene. Hasil :

klien dapat memenuhi kebutuhan personal hygiene (mandi). Pukul 08.00 WIB

membantu klien BAK. Hasil : klien dapat memenuhi kebutuhan eliminasi urine

dengan bantuan. Pukul 09.00 WIB menganjurkan klien untuk tetap

mempertahankan asupan cairan 1000ml/hari. Hasil : klien mengerti dan mau

melakukannya. Pukul 10.00 WIB melakukan kolaborasi dengan fisioterapi. Hasil :

klien melakukan latihan gerak pasif Pukul 12.10 WIB menyajikan diit siang. Hasil

: klien makan habis 1 porsi. Pukul 14.00 WIB melakukan evaluasi kemampuan

mobilisasi klien. Hasil : klien mampu melakukan mobilisasi dini. Pukul 17.10

WIB menyajikan diit sore. Hasil : klien makan habis 1 porsi. Pukul 15.00 WIB

menganjurkan klien untuk tetap mempertahankan asupan cairan 500ml. Hasil :

klien mengerti dan mau melakukannya. Pukul 19.00 WIB menganjurkan klien

untuk tetap mempertahankan asupan cairan 500ml. Hasil : klien mengerti dan

mau melakukannya

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010 Pukul 20.15 WIB

Subyektif : Klien mengatakan sulit beraktivitas.

Obyektif : Tampak klien beraktivitas dengan bantuan perawat.

Analisa : Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi.

Planning : Tindakan keperawatan lanjutkan.

Rencana tindakan

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan


teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun

yang sehat sesuai keadaan klien.

3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.

5. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.

6. Berikan diit tinggi kalori tinggi protein.

7. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.

8. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.

Diagnosa 3

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah ditandai dengan

Data Subyektif : ------

Data Obyektif : Tampak luka pada batang femur sinistra kondisi luka basah dan

berdarah.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan

gangguan integritas kulit teratasi.

Kriteria Hasil : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan

perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan

sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi

terjadi.

Rencana Tindakan

1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun

kencang, bantalan bawah siku, tumit).


2. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.

3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal.

4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 14 Juli 2010

Pukul 07.00 WIB mengganti alat tenun yang kotor. Hasil : tempat tidur tampak

bersih dan kering. Pukul 09.00 WIB melakukan observasi keadaan kulit daerah

insisi pembedahan. Hasil : kondisi luka di batang femur tampak basah dan

berdarah.

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 15 Juli 2010

Subyektif : -------

Obyektif : Tampak luka pada batang femur sinistra kondisi luka basah dan

berdarah, tempat tidur klien tampak bersih dan kering.

Analisa : Masalah gangguan integritas kulit belum teratasi.

Planning : Tindakan keperawatan lanjutkan.

Rencana tindakan

1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun

kencang, bantalan bawah siku, tumit).

2. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.

3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal.


4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 15 Juli 2010

Pukul 07.00 WIB merapihkan tempat tidur. Hasil : tempat tidur tampak bersih dan

kering. Pukul 10.00 WIB melakukan observasi keadaan kulit daerah insisi

pembedahan. Hasil : kondisi luka di batang femur tampak basah dan berdarah.

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010

Subyektif : Klien mengatakan sulit beraktivitas.

Obyektif : Tampak luka pada batang femur sinistra kondisi luka basah dan

berdarah, tempat tidur klien tampak bersih dan kering.

Analisa : Masalah gangguan integritas kulit belum teratasi.

Planning : Tindakan keperawatan lanjutkan.

Rencana tindakan

1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun

kencang, bantalan bawah siku, tumit).

2. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.

3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal.

4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010


Pukul 07.00 WIB mengganti alat tenun yang kotor. Hasil : tempat tidur tampak

bersih dan kering. Pukul 09.00 WIB melakukan observasi keadaan kulit daerah

insisi pembedahan. Hasil : kondisi luka di batang femur tampak basah dan

berdarah.

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010 Pukul 20.15 WIB

Subyektif : Klien mengatakan sulit beraktivitas.

Obyektif : Tampak luka pada batang femur sinistra kondisi luka basah dan

berdarah, tempat tidur klien tampak bersih dan kering.

Analisa : Masalah gangguan integritas kulit belum teratasi.

Planning : Tindakan keperawatan lanjutkan.

Rencana tindakan

1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun

kencang, bantalan bawah siku, tumit).

2. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.

Diagnosa 4

Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme

pathogen akibat tindakan invasive ditandai dengan

Data Subyektif : ---

Data Obyektif : Tampak luka post op 15 m, kondisi luka tertutup elastic verband.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam diharapkan

resiko terjadinya infeksi teratasi.


Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, tumor, rubor, dan

fungsiolesa), tanda-tanda vital dalam batas normal (Td : 120/80 mmHg, Nd : 80-

100 x/menit, Rr : 18-24 x/menit, Sh : 36-370C), hasil pemeriksaan laboratorium

leukosit dalam batas normal ( 5.000-10.000/ul).

Rencana tindakan

1. Lakukan perawatan luka sesuai protocol.

2. Kolaborasi pemberian antibiotika sesuai indikasi.

3. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur

dan sensitivitas luka/serum/tulang)

4. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 14 Juli 2010

Pukul 07.00 WIB melakukan observasi tanda-tanda vital, hasil tekanan darah

120/80 mmHg, nadi 74 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36C.Pukul 10.00

WIB melakukan perawatan luka. Hasil : luka tampak bersih, tertutup elastic

verband.. Pukul 12.00 WIB memberikan terapi Cefadroxil 3 x 500mg/oral. Hasil :

obat masuk sesuai program melalui oral. Pukul 10.10 WIB melakukan perawatan

luka. Hasil : kondisi luka bersih, tertutup elastic verband. Pukul 10.40 WIB

mengkaji tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, tumor, rubor, dan fungsiolesa). Hasil :

tidak ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, tumor, rubor, dan fungsiolesa). Pukul

20.00 WIB memberikan terapi Cefadroxil 3 x 500mg/oral. Hasil : obat masuk

sesuai program melalui oral.


Evaluasi Keperawatan

Tangal 15 Juli 2010

Subyektif : -----

Obyektif : Luka tampak bersih, tertutup elastic verband, tidak ada tanda-tanda

infeksi (kalor, dolor, tumor, rubor, dan fungsiolesa). Observasi tanda-tanda vital,

hasil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu

36C.

Analisa : Masalah resiko terjadinya infeksi belum teratasi, tujuan belum tercapai.

Plannning : Tindakan keperawatan dilanjutkan.

Rencana tindakan

1. Lakukan perawatan luka sesuai protocol.

2. Kolaborasi pemberian antibiotika sesuai indikasi.

3. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur

dan sensitivitas luka/serum/tulang)

4. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 15 Juli 2010

Pukul 04.00 WIB memberikan terapi Cefadroxil 500mg/oral. Hasil : obat masuk

sesuai dengan program melalui oral. Pukul 07.00 WIB melakukan observasi

tanda-tanda vital, hasil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan

20 x/menit, suhu 36C.Pukul 12.00 WIB memberikan terapi Cefadroxil

500mg/oral. Hasil : obat masuk sesuai dengan program melalui oral. Pukul 10.00

WIB melakukan perawatan luka mengevaluasi tanda-tanda peradangan.. Hasil :


kondisi luka tertutup elastic verband dan tidak ada tanda-tanda radang. Pukul

20.00 WIB memberikan terapi Cefadroxil 500mg/oral. Hasil : obat masuk sesuai

dengan program melalui oral

Evaluasi Keperawatan

Tangal 16 Juli 2010

Subyektif : -----

Obyektif : Kondisi luka bersih, tertutup elastic verband. Tidak ada tanda-tanda

infeksi (kalor, dolor, tumor, rubor, dan fungsiolesa). observasi tanda-tanda vital,

hasil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu

36C

Analisa : Masalah resiko terjadinya infeksi belum teratasi, tujuan belum tercapai.

Plannning : Tindakan keperawatan dilanjutkan.

Rencana tindakan

1. Lakukan perawatan luka sesuai protocol.

2. Kolaborasi pemberian antibiotika sesuai indikasi.

3. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur

dan sensitivitas luka/serum/tulang)

4. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.

Pelaksanaan Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010

Pukul 04.00 WIB memberikan terapi Cefadroxil 500mg/oral. Hasil : obat masuk

sesuai dengan program melalui oral. Pukul 07.00WIB melakukan observasi tanda-

tanda vital, hasil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 20
x/menit, suhu 36C Pukul 10.00 WIB melakukan perawatan luka dan

mengevaluasi tanda-tanda peradangan. Hasil : kondisi luka tertutup elastic

verband, tidak ada tanda-tanda peradangan. Pukul 12.00 WIB memberikan terapi

Cefadroxil 500mg/oral. Hasil : obat masuk sesuai dengan program melalui oral.

Pukul 20.00 WIB memberikan terapi Cefadroxil 500mg/oral. Hasil : obat masuk

sesuai dengan program melalui oral

Evaluasi Keperawatan

Tanggal 16 Juli 2010 Pukul 20.15 WIB

Subyektif : -----

Obyektif : Kondisi luka bersih, tertutup elastic verband. Tidak ada tanda-tanda

infeksi (kalor, dolor, tumor, rubor, dan fungsiolesa). Observasi tanda-tanda vital.

tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36C

Analisa : Masalah resiko terjadinya infeksi belum teratasi, tujuan belum tercapai.

Plannning : Tindakan keperawatan dilanjutkan.

Rencana tindakan

1. Lakukan perawatan luka sesuai protocol.

2. Kolaborasi pemberian antibiotika sesuai indikasi.

3. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur

dan sensitivitas luka/serum/tulang)

4. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.


BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membandingkan dan menganalisa antara teori dengan

kasus yang telah dibahas pada bab III mengenai asuhan keperawatan pada klien

Tn. S dengan Fraktur Femur Sinistra Post Pemasangan Plate dan Screw.

Adapun yang akan dibahas dalam bab ini meliputi kesamaan, kesenjangan antara

teori dan kasus yang ditemukan pada klien Tn. S dengan Fraktur Femur Sinistra

serta factor penghambat dan pendukung dalam asuhan keperawatan pada klien Tn.

S dengan diagnosa medis Fraktur Femur Sinistra Post Pemasangan Plate dan

Screw diruang Mahoni II Rumah Sakit Pusat Kepolisian Raden Said Sukanto

Jakarta yang dilakukuan selama dua hari dari tanggal 14 Juli 2010 sampai 16 Juli

2010.

A. Pengkajian Keperawatan

Proses pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 2010. Pada tahap

pengkajian penulis mengumpulkan data dasar melalui wawancara, observasi,

pemeriksaan fisik dan catatan medis pasien.

Pada tahap pengkajian di temukan perbedaan antara teori dengan kasus. Secara

teori ditemukan adanya kelainan deformitas dan krepitasi, tetapi pada kasus tidak

ditemukan adanya deformitas dan krepitasi, karena klien sudah dilakukan


pemasangan plate dan screw sejak 1 minggu yang lalu, karena proses

penyembuhan sedang berlangsung.

Untuk etiologi dan predisposisi terjadinya fraktur serta penatalaksanaan medis

tidak ditemukan adanya kesenjangan.

Faktor pendukung yaitu pada pengkajian keperawatan klien terlihat kooperatif

saat dilakukan pemeriksaan. Sedangkan faktor penghambat yaitu data-data yang

ada pada status klien tidak terdokumentasikan dengan lengkap. Pemecahan

masalahnya yaitu dengan cara bertanya kembali kepada klien ataupun keluarga

klien serta pada perawat yang bertanggungjawab di ruangan tersebut.

B. Diagnosa Keperawatan

Pada diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur femur sinistra di dalam

teori terdapat 7 diagnosa keperawatan. Sedangkan pada kasus Tn. S dengan

fraktur femur sinistra terdapat 4 diagnosa keperawatan. Adapun diagnosa yang

muncul pada teori tetapi tidak muncul pada kasus adalah :

1. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera

vaskuler, edema, pembentukan trombus). Diagnosa ini tidak muncul dikarenakan

pada saat pengkajian tidak ditemukan data yang menunjang mengenai disfungsi

neurovaskular yaitu akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara

aktif walaupun terbatas dengan bantuan minimal.

2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan

membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti), diagnosa ini tidak


dimunculkan pada kasus karena klien menunjukkan adanya kebutuhan oksigenasi

yang terpenuhi dengan baik.hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya

keluhan berupa sesak nafas.

3. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d

kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,

kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada. Diagnosa ini tidak muncul karena

pada saat pengkajian ditemukan data bahwa klien mengerti tentang penyakitnya

yaitu klien dapat menyebutkan penyebab, tanda dan gejala yang timbul, persiapan

yang harus dilakukan sebelum operasi, dan alasan mengapa harus dilakukan

tindakan pembedahan.

Pada tahap ini yang menjadi faktor pendukung yaitu berdasarkan hasil analisa data

ditemukannya data-data yang mengacu pada diagnosa keperawatan yang muncul.

Selain itu faktor penghambat yang muncul yaitu ada beberapa data atau informasi

yang kurang lengkap pada saat pengkajian sehingga penulis sedikit kesulitan

dalam menegakkan diagnosa. Tetapi dengan cara mengkaji ulang dan

mengumpulkan informasi lebih lengkap lagi maka diagnosa pun dapat ditegakkan.

C. Perencanaan Keperawatan

Pada tahap perencanaan keperawatan terdapat perbedaan antara teori dengan

kasus. Dimana pada teori tidak dicantumkan waktu karena tidak dapat

diidentifikasi, sedangkan pada kasus waktu dibutuhkan untuk program

tercapainya tujuan keperawatan. Berdasarkan hirarki Maslows rumusan masalah


keperawatan disesuaikan dengan prioritas.

Pada penentuan prioritas, disesuaikan dengan yang ada pada teori. Diagnosa

gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas

jaringan menjadi diagnose prioritas karena apabila nyeri tidak diatasi maka akan

mengganggu kenyamanan klien selain itu nyeri merupakan sensori subyektif dan

pengalaman emosional yang tidak menyenangkan bagi pasien berkaitan dengan

kerusakan jaringan. Sehingga nyeri dapat merupakan factor utama yang

menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk pulih dari suatu penyakit.

(Asmadi, 2008)

Diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan

rangka neuromuskuler, menjadi diagnose kedua karena jika tidak diatasi akan

mengakibatkan komplikasi yaitu atrofi otot. Diagnosa ketiga yaitu gangguan

integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah karena jika tidak diatasi akan

menyebabkan terjadinya abrasi kulit yang semakin luas yang memungkinkan

bakteri berkembang biak sehingga terjadi infeksi. Diagnose keempat yaitu resiko

terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen

karena tindakan invasive (pemasangan plate), jika tidak diatasi maka akan terjadi

infeksi.

Factor pendukung yang penulis dapatkan pada penyusunan perencanaan adalah

adanya bantuan dari perawat senior dan kawan-kawan mahasiswa dalam membuat
rencana keperawatan. Tidak ditemukan faktor penghambat dalam penyusunan

perencanaan keperawatan.

D. Pelaksanaan Keperawatan

Dalam tahap pelaksanaan, tindakan keperawatan dilakukan sesuai dengan rencana

yang telah dibuat dan semua tindakan yang dilakukan pada klien

didokumentasikan ke dalam catatan keperawatan.

Ada beberapa rencana tindakan yang tidak dapat dilaksanakan. Pada diagnose

yang pertama penulis tidak mempertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan

tirah baring, bebat/gips, traksi karena tahap penyembuhan tulang klien telah pada

tahap penyembuhan ke dua yaitu tahap proliferasi seluler dan klien sudah

diperbolehkan untuk melakukan mobilisasi dini. Tidak melakukan kompres dingin

pada daerah yang sakit. Hal ini dikarenakan klien post op pemasangan plate hari

ke 8 dan kondisi luka masih basah, tidak melakukan perubahan posisi karena

klien sudah dapat bermobilisasi dini.

Pada diagnosa kedua yaitu gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan

kerusakan rangka neuromuskuler, penulis tidak melakukan perubahan posisi

secara periodic dikarenakan pasien sudah dapat bermobilisasi. Pada diagnose

ketiga yaitu gangguan integritas kulit berhubungan dengan, insisi bedah rencana
tindakan yang tidak dapat direalisasikan adalah massase kulit di daerah

penonjolan tulang dan area distal gips karena klien pada tanggal 14 Juli 2010 gips

sudah tidak terpasang. Pada diagnose keempat yaitu resiko terjadinya infeksi

berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen karena tindakan

invasive (pemasangan plate), ada rencana tindakan yang tidak dapat direalisasikan

yaitu melakukan kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (leukosit) karena

tidak ditemukan tanda-tanda infeksi.

Faktor pendukung yang penulis dapatkan adalah keluarga yang sangat kooperatif

dan mau bekerja sama saat dilakukan tindakan keperawatan. Factor penghambat

yang penulis temukan adalah adanya keterbatasan waktu dalam melaksanakan

tindakan keperawatan, serta keterbatasan alat yang digunakan untuk melakukan

perawatan luka. Alternative pemecahan masalah yang penulis lakukan adalah

dengan memanfaatkan waktu seefisien mungkin dan meminimalkan penggunaan

alat-alat sehingga kesterilan alat dapat terjaga

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dalam penulisan proses kepeawatan, pada

evaluasi ini penulis menilai sejauh mana tujuan keperawatan dapat dicapai dari 4

diagnosa pada kasus Tn. S. Setelah dievaluasi, semua diagnose keperawatan yang

telah dibuat sebelumnya masalah belum teratasi,dan tujuan keperawatan belum

tercapai.

Pada diagnose gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya

kontinuitas jaringan, hasil evaluasi adalah masalah keperawatan belum teratasi.


Hal ini dibuktikan dengan adanya keluhan nyeri pada daerah pemasangan plate

dan screw.

Diagnosa gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka

neurovaskuler, belum teratasi karena klien masih terpasang plate.

Diagnosa gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah belum

teratasi karena pada tanggal 16 Juli 2010, kondisi luka pada batang femur masih

tampak basah dan mengeluarkan darah. Diagnosa resiko terjadinya infeksi

berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen karena tindakan

invasive (pemasangan plate) belum teratasi karena klien masih terpasang plate dan

screw. Keadaan pemasangan plate dan screw ini masih beresiko terhadap

terjadinya infeksi.

Faktor pendukung yang penulis temukan saat melakukan evaluasi keperawatan

adalah adanya bantuan dari perawat ruangan dan rekan mahasiswa dalam

memberikan askep pada klien, serta dengan adanya informasi dari tenaga medis

lainnya, juga adanya criteria hasil yang sudah penulis buat sebelumnya sehingga

dapat di jadikan pedoman dalam menentukan apakah tujuan tercapai atau belum.

Factor penghambat yang penulis temukan adalah adanya keterbatasan waktu yang

diberikan kepada penulis untuk memberikan asuhan keperawatan pada Tn. S.

Alternative pemecahan masalah yang penulis lakukan adalah dengan

mengkonfirmasikan/mendelegasikan perencanaan keperawatan yang belum dapat


dilakukan oleh penulis kepada perawat di ruangan untuk melanjutkan sehingga

evaluasi dapat dilakukan secara tuntas.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengkajian pada Tn. S dengan diagnosa Fraktur Femur Sinistra

Post Pemasangan Plate dan Screw, diperoleh data bahwa Klien mengeluh nyeri

pada daerah pemasangan plate dan screw, kualitas nyeri seperti berdenyut,

intensitas hilang timbul, karakteristik nyeri setempat, nyeri timbul pada saat klien

melakukan pergerakan atau perubahan posisi dan akan berkurang jika klien

beristirahat atau diberikan obat analgetik, klien mengeluh sulit melakukan

aktivitas karena terasa nyeri jika melakukan pergerakan.

Pada diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus juga terdapat dalam teori

klien fraktur femur adalah tujuh diagnosa, tiga diagnosa keperawatan tidak

terdapat dalam kasus. Hal ini dikarenakan tidak ada data yang menunjang untuk

menegakkan diagnosa keperawatan tersebut. Adapun diagnosa yang muncul pada

kasus adalah gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya

kontinuitas jaringan, gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan

neuromuskuler, gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah, dan

resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme

pathogen akibat tindakan invasive (pemasangan plate).


Pada tahap perencanaan, rencana keperawatan disusun sesuai dengan masalah

keperawatan. Dalam memprioritaskan masalah keperawatan dilihat dari

kebutuhan dan kondisi klien pada saat pengkajian.

Pada tahap pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana

keperawatan yang telah dibuat dan didokumentasikan pada catatan keperawatan.

Penulis melakukan tindakan keperawatan antara lain adalah mengkaji lokasi dan

karakteristik nyeri, yaitu nyeri pada derah pemasangan plate dan screw dengan

skala nyeri 4, mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan memberikan posisi

nyaman sehingga klien lebih rileks dan nyaman, melakukan observasi tanda-tanda

vital, melakukan perawatan luka dengan tehnik septic dan aseptic agar luka bersih

dan bebas dari infeksi yaitu melakukan tehnik aseptic seperti mencuci tangan

sebelum melakukan tindakan keperawatan dan mendokumentasikan tindakan yang

telah dilakukan, sedangkan perawat ruangan khususnya Mahoni II dalam

melakukan tindakan keperawatan tidak melakukan komunikasi terapeutik, tidak

mendokumentasikan tindakan keperawatan yang telah dilakukan serta tidak

memperhatikan tehnik aseptik.

nyaman sehingga klien lebih rileks dan nyaman, melakukan observasi tanda-tanda

vital, melakukan perawatan luka dengan tehnik septic dan aseptic agar luka bersih

dan bebas dari infeksi yaitu melakukan tehnik aseptic seperti mencuci tangan

sebelum melakukan tindakan keperawatan dan mendokumentasikan tindakan yang

telah dilakukan, sedangkan perawat ruangan khususnya Mahoni II dalam

melakukan tindakan keperawatan tidak melakukan komunikasi terapeutik, tidak


mendokumentasikan tindakan keperawatan yang telah dilakukan serta tidak

memperhatikan tehnik aseptik.

Pada tahap evaluasi yang di lakukan pada tanggal 16 Juli 2010 dari empat

diagnosa keperawatan yang ada tujuan belum tercapai dan masalah keperawatan

belum teratasi semua. Adapun diagnosa yang belum teratasi adalah gangguan rasa

nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, gangguan

mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, gangguan

integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah, dan resiko terjadinya infeksi

berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen karena tindakan

invasive (pemasangan plate).

B. Saran

Untuk perawat

a. Hendaknya setiap memberikan asuhan keperawatan harus di dokumentasikan

dengan baik dan benar untuk mempertanggung jawabkan keadaan klien setelah

dilakukan tindakan keperawatan.

b. Hendaknya setiap memberikan tindakan keperawatan seperti perawatan luka

dan perawatan infuse harus meperhatikan tekhnik septic dan aseptic yaitu mencuci

tangan sebelum melakukan tindakan keperawatan dan menjaga kesterilan alat

dalam melakukan tindakan keperawatan agar tidak terjadi infeksi setelah

dilakukan tindakan keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba
Medika

Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Monica Ester, Penerjemah

Jakarta: EGC

Marilyn, E. Doenges, et-al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Monica

Ester, Penerjemah Jakarta:EGC

Muttakin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC

Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Volume 1. Edisi 4.

Renata Komalasari, Penerjemah. Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.

Edisi 6. Brahm U. Pendit, Penerjemah. Jakarta: EGC

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta:

EGC

Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume II.

Edisi 8. Agung Waluyo, Penerjemah. Jakarta : EGC

Diposkan oleh alhy pista di 09.00 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Posting LamaBeranda

Langganan: Ent
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR DENGAN NANDA, NOC, NIC

Diposkan oleh Rizki Kurniadi

A. Pengertian:

Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma.

Fraktur digolongkan sesuai jenis dan arah garis fraktur.

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis

dan luasnya. Fraktur dapat terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari

yang dapat diabsorbsi .

B. Klasifikasi fraktur :

Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst).

2. Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :

a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui

kedua korteks tulang).

b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang

tulang).

3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :


a. Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).

b. Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).

c. Fraktur Multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan

tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya).

4. Berdasarkan posisi fragmen :

a. Undisplaced (tidak bergeser) / garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak

bergeser.

b. Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur

5. Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :

a. Tertutup

b. Terbuka (adanya perlukaan dikulit).

6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :

a. Garis patah melintang.

b. Oblik / miring.

c. Spiral / melingkari tulang.

d. Kompresi

e. Avulsi / trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya. Missal pada patela.

7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :

a. Tidak adanya dislokasi.


b. Adanya dislokasi

At axim : membentuk sudut.

At lotus : fragmen tulang berjauhan.

At longitudinal : berjauhan memanjang.

At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.

C. Etiologi:

Menurut Apley dan Salomon (1995), tulang bersifat relative rapuh namun cukup

mempunyai kekuatan gaya pegas untuk menahan tekanan.

Fraktur dapat disebabkan oleh

- Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir

mendadak, kontraksi otot ekstrim.

- Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu

jauh.

- Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur

patologis.

D. Patofisiologis :

Jenis fraktur :
Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya

mengalami pergeseran

Fraktur inkomplit, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

Fraktur tertutup (fraktur simple), tidak menyebabkan robekan kulit.

Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks), merupakan fraktur dengan luka

pada kulit atau membrana mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka

digradasi menjadi : Grade I dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya dan

sakit jelas, Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif

dan Grade III, yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan

lunak ekstensi, merupakan yang paling berat.

Penyembuhan/perbaikan fraktur :

Bila sebuah tulang patah, maka jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum

terpisah dari tulang dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah

terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan akan membentuk jaringan granulasi,

dimana sel-sel pembentuk tulang premitif (osteogenik) berdeferensiasi menjadi

kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan mensekresi fosfat yang akan

merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus disekitar lokasi

fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapian kalus dari

fragmen yang satunya dan menyatu. Fusi dari kedua fragmen terus berlanjut

dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan

meluas menyebrangi lokasi fraktur.Persatuan (union) tulang provisional ini akan

menjalani
transformasi metaplastikuntuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus

tulang akan mengalami re-modelling dimana osteoblas akan membentuk tulang

baru sementara osteoklas akan menyingkirkan bagian yanng rusak sehingga

akhirnya akan terbentuk tulang yang menyerupai keadaan tulang aslinya

E. Manifestasi klinis:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen

tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk

bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan

eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan

ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena

fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.

3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan

dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai

2,5 sampai 5,5 cm

4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya

derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan

lainnya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan

perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam

atau beberapa hari setelah cedera.


F. Komplikasi fraktur

- Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam

posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring

- Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan

kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.

- Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.

- Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang

berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu

tempat.

- Shock,

- Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah.

Faktor resiko terjadinya emboli lemakada fraktur meningkat pada laki-laki usia

20-40 tahun, usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.

- Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada

individu yang imobiil dalm waktu yang lama karena trauma atau ketidak

mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma

komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil

- Infeksi

- Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis

iskemia.
- Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem

saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena

nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.

G. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium :

Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering rendah

akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan

lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P meengikat di dalam darah.

Radiologi :

X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.

Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk

mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.

H. Penanganan fraktur

Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan

pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.

- Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada kesejajarannya

dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup, traksi dan

reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur


Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya

(ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.

Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.

Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat

fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam

dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai

penyembuhan tulang yang solid terjadi.

- Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di

imobilisasi atau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang benar sampai

terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau

inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan

teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam

yang berperan sebagai bidai inerna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur

femur imobilisasi di butuhkan sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu,

intra trohanterik 10-12 minggu, batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15

minggu.

- Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada

penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;

Mempertahankan reduksi dan imobilisasi

Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan

Memantau status neurologi.


Mengontrol kecemasan dan nyeri

Latihan isometrik dan setting otot

Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari

Kembali keaktivitas secara bertahap.

Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur :

- Imobilisasi fragmen tulang.

- Kontak frgmen tulang minimal.

- Asupan darah yang memadai.

- Nutrisi yang baik.

- Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.

- Hormon-hormon pertumbuhan tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.

- Potensial listrik pada patahan tulang.

FRAKTUR FEMUR

A. Pengertian
Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat : bagian kaput, kolum atau

trochanter, batang femur dan daerah lutut /suprakondiler.

B. Klasifikasi

Ada 2 tipe utama fraktur pinggul :

1. fraktur kolum femur : intra kapsuler

2. fraktur trokhenter : ekstrakapsuler.

Fraktur kolum femur : penyembuhan akan lebih sulit disbandingkan

dengan fraktur trokhenter, karena system pembuluh darah yang memasok darah

kekaput dan kolum femur mengalami kerusakan karena fraktur.

C. Manifestasi Klinik

1. tungkai mengalami pemendekan

2. adduksi dan rotasi eksterna

3. nyeri ringan selangkangan atau sisi medial lutut

D. Penanganan Fraktur

1. Traksi kulit sementara untuk mereduksi spasme otot, untuk mengimobilisasi

ekstremitas dan mengurangi nyeri.

2. ORIF
E. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (fraktur)

2. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, tekanan

dan disuse

3. Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan hilangnya kemampuan

menjalankan aktivitas.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma, imunitas tubuh primer menurun,

prosedur invasive

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan patah tulang

6. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d kurang paparan

terhadap informasi, terbatasnya kognitif

RENPRA FRAKTUR

No Diagnosa Tujuan Intervensi

1 Nyeri akut b/d Setelah dilakukan Manajemen nyeri :

agen injuri Asuhan keperawatan .


Kaji nyeri secara komprehensif
fisik, fraktur jam tingkat
termasuk lokasi, karakteristik,
kenyamanan klien
meningkat, tingkat nyer durasi, frekuensi, kualitas dan faktor

i terkontrol dg KH: presipitasi.

Klien melaporkan nyeri Observasi reaksi nonverbal dari

berkurang dg scala 2-3 ketidak nyamanan.

Ekspresi wajah tenang Gunakan teknik komunikasi

terapeutik untuk mengetahui


klien dapat istirahat dan
pengalaman nyeri klien sebelumnya.
tidur

Kontrol faktor lingkungan yang


v/s dbn
mempengaruhi nyeri seperti suhu

ruangan, pencahayaan, kebisingan.

Kurangi faktor presipitasi nyeri.

Pilih dan lakukan penanganan nyeri

(farmakologis/non farmakologis).

Ajarkan teknik non farmakologis

(relaksasi, distraksi dll) untuk

mengetasi nyeri..

Berikan analgetik untuk

mengurangi nyeri.

Evaluasi tindakan pengurang

nyeri/kontrol nyeri.

Kolaborasi dengan dokter bila ada


komplain tentang pemberian

analgetik tidak berhasil.

Administrasi analgetik :.

Cek program pemberian analgetik;

jenis, dosis, dan frekuensi.

Cek riwayat alergi.

Tentukan analgetik pilihan, rute

pemberian dan dosis optimal.

Monitor TV

Berikan analgetik tepat waktu

terutama saat nyeri muncul.

Evaluasi efektifitas analgetik, tanda

dan gejala efek samping.

2 Resiko Setelah dilakukan askep Memberikan posisi yang nyaman

terhadap cidera jam untuk Klien:

b/d kerusakan terjadipeningkatan


Berikan posisi yang aman untuk
neuromuskuler, Status keselamatan
pasien dengan meningkatkan
tekanan dan Injurifisik Dg KH :
obsevasi pasien, beri pengaman
disuse
Bebas dari cidera tempat tidur

Pencegahan Cidera Periksa sirkulasi periper dan status

neurologi

Menilai ROM pasien

Menilai integritas kulit pasien.

Libatkan banyak orang dalam

memidahkan pasien, atur posisi

3 Sindrom defisit Setelah dilakukan akep Bantuan perawatan diri

self care b/d jam kebutuhan ADLs


Monitor kemampuan pasien
kelemahan, terpenuhi dg KH:
terhadap perawatan diri
fraktur
Pasien dapat
Monitor kebutuhan akan personal

hygiene, berpakaian, toileting dan

makan
melakukan aktivitas

sehari-hari.

Kebersihan diri pasien Beri bantuan sampai pasien

terpenuhi mempunyai kemapuan untuk

merawat diri

Bantu pasien dalam memenuhi

kebutuhannya.

Anjurkan pasien untuk melakukan

aktivitas sehari-hari sesuai


kemampuannya

Pertahankan aktivitas perawatan

diri secara rutin

4 Risiko infeksi Setelah dilakukan asuhan Konrol infeksi :

b/d imunitas keperawatan jam


Bersihkan lingkungan setelah
tubuh primer tidak terdapatfaktor
dipakai pasien lain.
menurun, risiko infeksidan infeksi
Batasi pengunjung bila perlu.
prosedur terdeteksidg KH:

invasive, Intruksikan kepada pengunjung


Tdk ada tanda-tanda
fraktur untuk mencuci tangan saat
infeksi
berkunjung dan sesudahnya.
AL normal
Gunakan sabun anti miroba untuk
V/S dbn
mencuci tangan.

Lakukan cuci tangan sebelum dan

sesudah tindakan keperawatan.

Gunakan baju dan sarung tangan

sebagai alat pelindung.

Pertahankan lingkungan yang

aseptik selama pemasangan alat.

Lakukan perawatan luka, dainage,

dresing infus dan dan kateter setiap


hari.

Tingkatkan intake nutrisi dan

cairan

berikan antibiotik sesuai program.

Jelaskan tanda gejala infeksi dan

anjurkan u/ segera lapor petugas

Monitor V/S

Proteksi terhadap infeksi

Monitor tanda dan gejala infeksi

sistemik dan lokal.

Monitor hitung granulosit dan

WBC.

Monitor kerentanan terhadap

infeksi..

Pertahankan teknik aseptik untuk

setiap tindakan.

Inspeksi kulit dan mebran mukosa

terhadap kemerahan, panas, drainase.

Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.

Ambil kultur, dan laporkan bila


hasil positip jika perlu

Dorong istirahat yang cukup.

Dorong peningkatan mobilitas dan

latihan sesuai indikasi

5 Kerusakan Setelah dilakukan askep Terapi ambulasi

mobilitas fisik jam


Kaji kemampuan pasien dalam
berhubungan terjadipeningkatan
melakukan ambulasi
dengan patah Ambulasi :Tingkat
Kolaborasi dg fisioterapi untuk
tulang mobilisasi, Perawtan
perencanaan ambulasi
diri Dg KH :

Latih pasien ROM pasif-aktif


Peningkatan aktivitas
sesuai kemampuan
fisik

Ajarkan pasien berpindah tempat

secara bertahap

Evaluasi pasien dalam kemampuan

ambulasi

Pendidikan kesehatan

Edukasi pada pasien dan keluarga

pentingnya ambulasi dini

Edukasi pada pasien dan keluarga


tahap ambulasi

Berikan reinforcement positip atas

usaha yang dilakukan pasien.

6 Kurang Setelah dilakukan askep Pendidikan kesehatan : proses

pengetahuan . Jam pengetahuan penyakit

tentang klien meningkat dg KH:


Kaji pengetahuan klien.
penyakit dan
Klien dapat
Jelaskan proses terjadinya
perawatannya
mengungkapkan kembali
penyakit, tanda gejala serta
b/d kurang
yg dijelaskan.
komplikasi yang mungkin terjadi
paparan
Klien kooperatif saat
terhadap Berikan informasi pada keluarga
dilakukan tindakan
informasi, tentang perkembangan klien.

keterbatan
Berikan informasi pada klien dan
kognitif
keluarga tentang tindakan yang akan

dilakukan.

Diskusikan pilihan terapi

Berikan penjelasan tentang

pentingnya ambulasi dini

jelaskan komplikasi kronik yang

mungkin akan muncul

Hari Rabu, Maret 14, 2012


KTI FRAKTUR FEMUR

BAB II

TINJAUAN TEORI

Dalam penulisan landasan teori ini terdiri dari anatomi dan fisiologi tulang femur,

konsep dasar fraktur, etiologi, proses penyembuhan tulang, patofisiologi,

komplikasi, penatalaksanaan, serta asuhan keperawatan klien dengan fraktur.

A. Anatomi Dan Fisiologi Tulang Femur

Disini penulis hanya membahas anatomi tulang Femur sesuai dengan kasus yang

didapati yaitu Fraktur tulang Femur dekstra.

Os Femur atau tulang paha adalah tulang terpanjang dari tubuh. Tulang ini

bersendi dengan asetabulum dan formasi persendian panggul dan dari sini

menjulur ke persendian lutut dan membuat sendi dengan tibia. Tulangnya berupa

tulang pipa dan mempunyai sebuah batang dan sebuah ujung.

Ujung atas memperlihatkan sebuah kepala yang menduduki dua pertiga dari

daerah itu, dipuncaknya ada sebuah lekukan seperti kulit telur dengan permukaan

kasar, untuk kaitan dengan ligamentuim teras. Dibawah kepala ada leher yang

panjang dan gepeng. Pada dataran ini, ditempat leher menjadi batang, sebelah luar

terdapat trokanther minor.Batang femur berbentuk silinder, halus dan bundar,

didepan dan sisi-sisinya melengkung ke depan dan di belakangnya ada belebas

yang sangat jelas disebut linea aspera, tempat kaitan sejumlah otot, diantaranya

adductor dari paha.

Ujung bawah adalah lebar dan memperlihatkan dua kondil, sebuah lekukan

interkondiler, sebuah permukaan poplineum dan sebuah permukaan patealaris.


Kedia kondisinya sangat jelas menonjol, yang medial lebih rendah dari yang

lateral. Keduanya masuk dalam formasi persendian lutut. ( Pearce Evelynn. C,

1999 )

( Gambar tulang femur terlampir )

B. Konsep Dasar Fraktur

1. Defenisi

a. Fraktur adalah terputusnya hubungan / kontinuitas jaringan atau tulang. Fraktur

dapat mengenai semua bagaian tubuh dan usia. Fraktur lebih sering terjadi pada

laki laki dari pada orang perempuan dengan umur di bawah 45 tahun dan sering

berhubungan dengan olahraga, pkerjaan atau luka yang disebabkan oleh

kendaraan bermotor , sedangkan pada orang tua serta pada wanita lebih sering

mengalami fraktur yang dikarenakan oleh pengaruh perubahan hormon pada

menaupause.( Depkes RI, 1995 ).

b. Fraktur adalah gangguan pada kontinuitas tulang yang normal yang terjadi

akibat adanya stress yang lebih besar pada tulang dari yang diserap oleh tulang

(Black Joyce M. and jacob Matassarin Esther, 1997)

c. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan

jenis dan luasnya. ( Brunner dan Suddarth, 2002 )

d. Fraktur adalah gangguan kontinuitas yang terjadi ketika tulang mendapt

tekanan yang lebih besar dari pada yang dapat diabsorbsinya dan dapat tejadi juga

injuri jaringan lunak disekitarnya. Walaupun beberapa fraktur dapat mengancam

kehidupan ( karena berhubungan dengan perdarahan dan shock ) sebagian lagi

tidak mengancam kehidupan. (Luckmann and Sorensen 1993 ).


e. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang. ( Corwin Elizabeth. J, 2001 )

Jenis jenis fraktur Menurut Reeves, Charlene. J, ( 1999 ) terdiri dari :

a. Menurut hubungan dengan dunia luar.

1) Fraktur terbuka (berhubungan dengan dunia luar)

a) Pecahnya tulang masuk ke dalam kulit.

b) Kerusakan jaringan kulit menyebabkan resiko tinggi terhadap infeksi.

2) Fraktur tertutup yaitu fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar

(tidak terjadi kerusakan jaringan kulit).

b. Menurut bentuk fraktur

1) Tranversal (bentuk fraktur melintang)

2) Miring (oblique)

3) Melingkar ( spiral )

c. Menurut jumlah garis fraktur

1) Single fraktur : hanya terdapat satu garis fraktur.

2) Multiple fraktur : lebih dari satu garis fraktur.

3) Meliangkar.

d. Menurut garis fraktur

1) Inkomplit : tulang tidak terpotong secara total.

2) Komplit : terpotong secara total.

3) Hair Line : garis tulang hampir tidak tampak sehingga bentuk tulang tidak ada

peruhan.

2. Etiologi

Menurut Black Joyce M, (1997 ) ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
terjadinya fraktur, yaitu :

a. Trauma , dapat dibagi menjadi dua :

1) Direct : fraktur terjadi pada tulang yang terkena benturan secara langsung.

2) Indirect : fraktur yang terjadi pada tulang yang terletak jauh dari tempat

terjadinya trauma.

b. Patologi : Fraktur yang terjadi secara tidak wajar karena fraktur bisa terjadi

walau hanya terkena stress normal tidak mungkin terjadi (misalnya : terbentur

benda biasa seperti meja) fraktur ini juga diakibatkan oleh adanya kelainan pada

tulang tersebut ( seperti tumor tulang, infeksi tulang dan lain-lain ).

c. Degeneratif : Fraktur yang terjadi karena adanya proses kemunduran misalnya

pada klien hiperkiroid.

d. Spontan : fraktur yang terjadi karena adanya tarikan otot yang sangat kuat,

biasanya pada penari balet.

3. Patofisiologi

Sewaktu tulang patah ( fraktur ) mengakibatkan terpajannya sum-sum tulang atau

pengaktifan saraf simpatis yang mengakibatkan tekanan dalam sum-sum tulang,

sehingga merangsang pengeluaran katekolamin yang yang akan merangsang

pembebasan asam lemak kedalam sirkulasi yang menyuplai oragan, terutama

organ paru sehingga paru akan terjadi penyumbatan oleh lemak tersebut maka

akan terjadi emboli dan menimbulkan distress atau kegagalan pernafasan.

Trauma yang menyebabkan fraktur ( terbuka atau tertutup ) yang mengakibatkan

perdarahan terjadi disekitar tulang yang patah dan kedalam jaringan lunak

disekitar tulang tersebut dan terjadi perdarahan masif yang bila tidak segera

ditangani akan menyebabkan perdarahan hebat, terutama pada fraktur terbuka


( shock hypopolemik ).

Perdarahan masif ini ( pada fraktur tertutup ) akan meningkatkan tekanan dalam

suatu ruang diantara tepi tulang yang yang fraktur dibawah jaringan tulang yang

membatasi jaringan tulang yang fraktur tersebut, menyebabkan oedema sehingga

akan menekan pembuluh darah dan saraf disekitar tulang yang fraktur tersebut

maka akan terjadi sindrom kompartemen ( warna jaringan pucat, sianosis, nadi

lemah, mati ras dan nyeri hebat. )dan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan

neuro muskuler ( 4-6 jam kerusakan yang irreversible, 24-48 jam akan

mengakibatkan organ tubuh tidak berfungsi lagi ).

Perdarahan masif juga dapat menyebabkan terjadinya hematoma pada tulang yang

fraktur yang akan menjadi bekuan fibrin yang berfungsi sebagai jala untuk

melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk

tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorbsi sel-sel tulang

baru secara perlahan mengalami remodeling ( membentuk tulang sejati ) tulang

sejati ini akan menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi

( jadi tulang yang matur ).

Skema Patofisiologi

Trauma ( langsung atau tidak langsung )

Fraktur terbuka atau tertutup ( sel-sel tulang mati )


Perdarahan terjadi disekitar tulang yang patah dan kedalam jaringan lunak

disekitar tulang tersebut ( jaringan lunak disekitar tulang yang patah tersebut

juga mengalami kerusakan )

Syock hypopolemik Perdarahan massif

Peningkatan tekanan dalam suatu ruang

diantara tepi tulang yang fraktur

dibawah periosteum jar. tulang yang membatasi jar. Tulang

Terpajannya sum-sum yang fraktur tersebut

Tulang atau pengaktifan

Saraf simpatis. Oedeme, menekan pembuluh Darah dan saraf

Peningkatan tekanan dalam disekitar tulang yang fraktur tersebut

sum-sum Tulang, merangsang

pengeluaran Terjadi sindrom kompartemen

Katekolamin. yang menyuplai ditandai dengan warna jaringan

pucat, sianosis,nadi lemah,mati rasa,nyeri hebat

Merangsang pembebasan Terjadi kerusakan neuromuskuler4-6 jam irreversible

dan setelah

asam lemak 24-48jam organ tubuh tidak berfungsi lagi

Kedalam sirkulasi

banyak organ

terutama organ paru-paru

. Terjadi hematoma pada tulang

Yang fraktur yang menjadi bekuan fibrin Yang berfungsi


Terjadi emboli sebagai jala untuk melekatnya Sel sel baru

Menimbulkan distress atau Aktivitas osteoblas segera terangsang

Kegagalan pernafasan dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut kalus

Bekuan fibrin direasorbsi dan sel-sel tulang baru

secara perlahan mengalami remodeling ( membentuk tulang sejati )

Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perla han

Mengalami kalsifikasi ( tulang yang matur )

( Corwin Elizabeth. J, 2001 )

4. Proses Penyembuhan Tulang (Bone healing)

Pada proses penyembuhan tulang menurut Rasjad Chaeruddin, ( 2000 ) terdiri dari

beberapa fase, yaitu :

a. Hematoma Stage

Dalam 24 jam mulai pembekuan darah terjadi hematom sekitar fraktur, setelah 24

jam suplai darah ke ujuang fraktur meningkat, hematom mengelilingi fraktur dan

tidak diabsborbsi selama peyembuhan tetapi berubah menjadi Granulasi.

b. Cellular Proliferation stage

Sel sel kapiler baru secara bertahap menginvasi hematoma, bebrapa hari
jaringan granulasi menggantikan bekuan darah. Dua hari setelah injuri sel darah

merah dan puing puing jaringan dikeluarkan dengan cara fagositosis. Secara

bersamaan bekuan darah pada perifer dimusnahkan fibroblas. Kemudian

membentuk jaringan callus halus di sekeliling fraktur.

c. Callus Formation Stage

6 7 hari setelah fraktur, jaringan granulasi berubah dan membentuk cartilago dan

matriks diawali dari jaringan callus yang lunak. Callus bertambah banyak, meluas

dan menganyam masa tulang dan cartilago sehingga diameter tulang melebihi

normal , hal ini untuk melindungi fragmen tulang tetapi tidak memberikan

kekuatan.

d. Callus Ossification Stage

callus yang menetap menjadi tulang kaku karena adanya penumpukan garam.

Garam dan kalsium dan bersaatu bersama ujung ujung tulang. Proses dari callus

bagian luar kemudian bagian dalam dan tengah (3-10 minggu).

e. Consolidation and Remodelling

Pada waktu yang sama pembentukan tulang yang sebenarnya, callus dibentuk dari

aktivitas dan osteoclass, kelebihan kelebihan tulang seperti di paha dan

diabsorbsi dari callus.

(Gambar Proses Penyembuhan Tulang Terlampir )

5. Komplikasi

Menurut Black Joyce M, ( 1997 ) bahwa komplikasi fraktur terdiri dari :

a. Immediete (segera)
1) Shock Neurogenic

2) Kerusakan Organ dan injury.

b. Early Complication

1) Osteomyelitis

2) Emboli

3) Tetanus, Necrosis

4) Syndrom kompartemen

c. Late Complication

1) Kaku Sendi

2) Degeneratif Sendi

3) Penyembuhan Luka Terganggu

6 Pemeriksaan diagnostik / penunjang.

a. Pemeriksaan Diagnostik

1). Pemeriksaan sinar X : Menentukan lokasi atau luasnya fraktur/trauma.

2) Scan Tulang : Memperlihatkan fraktur, juga dapat mengidentifikasi kerusakan

jaringan lunak.

3) Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau

menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma

multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal setelah trauma.

5) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

6) Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,tranfusi

multiple,atau cedera hati. ( Doenges. ME, 2000 )


7. Penatalaksanaan

Pada klien dengan masalah fraktur femur dapat diberikan penatalaksaan non

operatif dan operatif.

a. Non Operatif

Untuk fraktur yang tidak mengalami dislokasi dapat ditanggulangi dengan

beberapa cara , antara lain :

1) Perban elastis (teknis Robert jones)

2) Memasang gips (long leg plaster)

3) Traksi skeletal menurut cara Appley. klien tidur terlentang, pada femur 1/3

proksimal dipasang steinmann pin, langsung ditarik dengan beban yang cukup (>

6 Kg). Sementara dilakukan traksi, lutut pasien yang cidera dapat digerakkan.

b. Operatif

Apabila terjadi dislokasi yang cukup lebar atau permukaan sendi tibia amblas

lebih dari 2 mm, dilakukan reduksi terbuka dan dipasang fiksasi interna dangan

butress plate dan cancellous screw.( Black Joyce. M 1997 )

C. Asuhan keperawatan Klien dengan fraktur

Proses keperawatan adalah suatu metode dimana suatu konsep diterapkan dalam

praktek keperawatan, yang mana hal ini disebut sebagai pendekatan Problem

solving yang memerlukan ilmu, tekhnik dan keterampilan interpersonal dan ini

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga ( Nursalam, 2001 )

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan yang merupakan suatu

proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. ( Nursalam, 2001,

dikutip dari Iyer et al, 1996 )

Menurut Doenges. ME. ( 2000 ) pengkajian pada klien dengan fraktur terdiri dari :

Aktivitas dan istirahat.

Tanda : keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena ( mungkin

segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan

jaringan, nyeri ).

Sirkulasi.

Tanda : Hipertensi ( biasanya sebagai respon dari rasa nyeri atau cemas ) atau

hipotensi karena perdarahan, takikardi sebagai respon dari stress atau syok

hipopolemi,bradikardi pada bagian distal yang cidera,pengisian kapiler

lambat,pucat pada bagian yang terkena.

Neurosensori

Tanda dan gejala : Hilang gerakan/spasme otot, kesemutan,deformitas lokal,

angulasi abnormal pemendekan, rotasi, krepitasi, agitasi.

Nyeri/Kenyamanan

Gejala : Nyeri berat secara tiba-tiba pada saat cedera karena kerusakan jaringan

atau tulang atau tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.

Keamanan

Gejala : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna,

pembengkakan lokal.

2. Diagnosa Keperawatan

Dinagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon

manusia ( status kesehatan atau resiko perubahan pola ) dari individu atau
kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan

memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan , menurunkan,

membatasi, mencegah dan merubah. ( Capernito. 2000 )

Adapun diagnosa keperawatan pada klien fraktur menurut Doenges. ME. (2000 )

antara lain :

a. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang

(fraktur)

b. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, dan

cidera pada jaringan lunak, alat traksi atau immobilisasi, strees, ansietas.

c. Disfungsi neuro vaskuler perifer, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan

penurunan atau interupsi darah adalah : cidera vaskuler langsung, oedema

berlebihan, pembentuksn trombus, hipovolemia.

d. Pertukaran gas, kerusakan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan aliran

darah atau emboli lemak, perubahan membran alveola atatu kapiler : interstisial,

edema paru, kongesti.

e. Mobilitas fisik, kerusakan berhubungan kerusakan rangka neurovaskuler, nyeri

ketidak nyamanan, terapi restriktif (imobilisasi tungkai).

f. Integritas kulit atau kerusakan jaringan : aktual atau resiko tinggi terhadap

berhubungan dengan cidera tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan

traksi pen, kawat sekrup, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi ekskresi atau

sekret, imobilisasi fisik.

g. Infeksi, resiko tinggi terhadapberhubungan dengan tak adekuatnya pertahanan

primer, kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur

invasif, traksi tulang.


3. Perencanaan

Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi

atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan.

Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan

rencana dokumentasi. ( Nursalam, 2001, dikutip dari Iyer, 1996 )

Dx. I Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas

tulang

Tujuan : Memperthankan stabilisasi dan posisi fraktur

Kriteria nhasil : Menunjukan nmekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada

posisi fraktur dan menunjukan pembentukan kalus atau mulai penyatuan dengan

tepat.

Rencana Tindakan

1. Pertahankan tirah baring / ekstrimitas sesuai indikasi.

Rasional : Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi

atau penyembuhan

2. Sokong fraktur dengan bantal / gulungan selumut

Rasional : Mencegah gerakan yang tak perlu dan perubahan.

3. Evaluasi pembebat ekstrimitas terhadap resolusi oedema

Rasional : Pembebat koapsi memungkinkan digunakan untuk memberikan

immobilisasi fraktur dimana pembengkakan jaringan berlebihan.

4. Kolaborasi kaji ulang foto / evaluasi.


Rasional : Memberikan bukti visual mulainya pembengkakan kalus / proses

penyembuhan untuk menenntukan tingkat aktivitas dan kebutuhan perubahan /

tambahan terapi.

5. Berikan / perubahan stimulasi listrik bila digunakan.

Rasional : Mungkin diindikasikan untuk meningkatkan pertumbuhan tulang pada

keterlambatan penyembuhan / tidak menyatu.

Dx. 2 Nyeri berhubungan dengan spasme dan gerakan fragmen tulang, oedema,

dan cidera pada jaringan lunak.

Tujuan : Menyatakan nyeri hilang

Kriteria hasil : Menunjukan tindakan santai ; mampu berpartisipasi dalam

aktivitas / tidur / istirahat dengan tepat.

Rencana tindakan

1. Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring.

Rasional : Mengurangi nyeri dan mempertahankan posisi tulang / tegangan

jaringan yang cidera.

2. Tinggikan dan dukung ekstrimitas yang terkena.

Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan kesalahan posisi tulang /

tegangan jaringan yang cidera.

3. Hindari penggunaan sprei / bantal plastik dibawah ekstrimitas dibawah gips.

Rasional : Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan produksi

panas dalam gips yang kering

4. Pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki.

Rasional : Mempertahankan kehangatan tubuh tanpa ketidaknyamanan karena

tekanan selimut pada bagian yang sakit.


5. Evaluasi keluhan nyeri / ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik,

termasuk intensitas ( skala 0-10 ).

Rasional : Mempengaruhi pilihan / pengawasan / keefektifan. Tingkat ansietas

dapat mempengaruhi persepsi / reaksi tehadap nyeri

6. Dorong klien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan cidera

Rasional : Membantu untuk menghilangkan ansietas klien dan dapat merasakan

kebutuhan untuk menghilangkan pengalaman kecelakaan

7. Jelaskan prosedur sebelum tindakan

Rasional : Memungkinkan klien untuk siap secara mental untuk aktivitas juga

berpartisipasi dalam mengontrol tingkat kenyamanan.

8. Beri obat sebelum perawatan aktivitas.

Rasional : Meningkatkan relaksasi otot dan meningkatkan partisipasi.

9. Lakukan pengawasan latihan rentang gerak pasif/ aktif.

Rasional : Mempertahankan kekuatan mobilitas otot yang sakit dan memudahkan

resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera

10. Dorong klien menggunakan manajemen strees (relaksasi dan distraksi).

Rasional : Meningkatkan rasa kontrol, dan meningkatkan kemampuan koping

dalam manajemen nyeri.

11. Kolaborasi : pemberian analgetik

Rasional : Mencegah fluktuasi dalam penghalangan nyeri berhubungan dengan

ketengan otot spasme.

DX.3 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri atau ketidaknyamanan

Tujuan : Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat paling

tinggi
Kriteria hasil : Mepertahankan posisi fungsional dan menunjukan mampu

melakukan aktivitas, menunjukkan nyeri atau ketidaknyamanan tidak terujadi.

Rencana tindakan

1. Kaji derajat imobilitas pasien

Rasional : Pasien mungkin dibatasi dalam aktivtas fisik

2. Dorong partisipasi klien pada aktivitas terapeutik/rekreasi.

Rasional : Memberikan kesempatan pada klien untuk meningkatkan rasa kontrol

diri dan membantu menurunkan isolasi sosial

3. Bantu klien dalam rentang gerak aktif/pasif

Rasional : Untuk meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang

4. Bantu klien dalam perawatan diri (mandi, eliminasi)

Rasional :Untuk meningkatkan kontrol pasien dalam situasi, dan meningkatkan

kesehatan diri langsung.

5. Awasi TD setelah melakuakn aktivitas

Rasional : Hipotensi postural adalh masalah umum menyertai tiorah baring yang

lama.

6. Ubah posisi secara periodik

Rasional : Mencegah komplikasi pada kulit contohnya dekubitus.

DX.4 Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka

.Tujuan : Menyatakan ketidaknyamanan menghilang

Kriteria hasil : Menunjukkan perilaku mencegah kerusakan kulit, mencapai

penyembuhan luka tepat waktu.

Rencana tindakan

1. Kaji kulit untuk luka terbuka


Rasional : Memberikan informasi pada kulit yang terbuka

2. Ubah posoi dengan sering

Rasional : Mengurangi tekanan yang konstan pada area terluka.

3. Bersihkan daerah luka

Rasional : Menurunkan kadar kontaminasi kulit

4. Letakkan bantalan pelindung dibawah kaki dan pergelengan tulang.

Rasional : Meminimalkan tekanan pada area yang terluka

DX. 5 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit,

terpajan pada lingkungan dan prosedur invasive

Tujuan dan kriteria hasil : Mencapai penyembuhan luka tepat waktu, tidak ada

pus, eritema, dan demam.

Rencana tindakan

1. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi robekan kontinuitas

Rasional : Pen tidak harus dimasukan melalui kulit yang dapat menimbulkan

infeksi tulang

2. Kaji sisi pen /kulit apakah ada keluhan nyeri, edema, eritema dan drainase bau

tidak enak.

Rasional : Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi local/nekrosis jaringan

3. Lakukan perawatan luka

Rasional : Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi

4. Observasi luka terhadap tanda-tanda infeksi

5. Kolaborasi pemberian obat antibiotik

Rasional : Antibiotik spectrum luas dapat digunakan sebagai profilaksis atau dapat

ditujukan pada mikroorganisme khusus. ( Doenges, ME. 2000 )


4. Pelaksanaan

Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk

mencapai tujuan yang spesifik ( Nursalam, 2001, dikutip dari Iyer, et al, 1996 ),

Tahap ini merupakan tahap keempat dari proses keperawatan, oleh karena itu

pelaksanaannya dimulai setelah rencana tindakan dirumuskan dan mengacu

kepada rencana tindakan sesuai skala ; sangat urgen, urgen, dan tidak urgen ( non

urgen ). ( Nursalam, 2001, dikutip dari Griffin, et al, 1986 )

Menurut Nursalam,(2001), ada beberapa tahap dalam tindakan keperawatan,

yaitu:

a. Tahap Persiapan, yang menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang

diperlukan dalam tindakan.

b. Tahap Intervensi, adalah kegiatan pelaksanaan dari perencanaan yang meliputi

kegiatan Independen (mandiri), Dependen (pelaksanaan dari tindakan medis) dan

Interdependen (kerjasama dengan tim kesehatan lain).

c. Tahap Dokumentasi, adalah pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu

kejadian dalam proses keperawatan.

5. Evaluasi

evaluasi adalah salah satu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematis

pada status kesehatan klien. ( Nursalam, 2001, dikutip dari Griffin dan

Christensen, 1986 ), sedangkan mengatakan evaluasi adalah tindakan intelektual

untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa

keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.

( Nursalam 2001, yang dikutip dari Ignatavius dan Bayne, 1994 )

Evaluasi yang digunakan mencakup 2 bagian yaitu evaluasi formatif yang disebut
juga evaluasi proses atau evaluasi jangka pendek adalah evaluasi yang

dilaksanakan secara terus menerus terhadap tindakan yang telah dilakukan.

Sedangkan evaluasi sumatif yang disebut juga evaluasi akhir adalah evaluasi

tindakan secara keseluruhan untuk menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan

dan menggambarkan perkembangan dalam mencapai sasaran yang telah

ditentukan. Bentuk evaluasi ini lazim menggunakan format SOAP ( Nursalam,

2001, dikutip dari Griffin dan Christensen 1986 ).


FRAKTUR TERTUTUP

LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR

I. Definisi

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau

tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Kapita Selekta

Kedokteran, 2000 : 36).

Fraktur dapat dibagi menjadi :

1. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan

tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

Atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh.

2. Fraktur berbuka (open / compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan

tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah / sedang berhubungan dengan

dunia luar.

II. Klasifikasi menurut Gastilo dan Anderson dari derajat patah tulang

1. Derajat 1

- Luka < 1 cm.


- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk.

- Fraktur sederhana, transversal, oblik atau kominutif ringan.

- Kontaminasi mininal.

2. Derajat 2

- Laserasi > 1 cm.

- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap / arulsi.

- Fraktur kominutif sedang.

- Kontaminasi sedang.

3. Derajat 3

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luar meliputi struktur kulit, otot dan neuro

vaskuler serta keutamaan derajat tinggi secara otomatis, Gustilo membagi lagi

menjadi 3 bagian :

1. Derajat III A

Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi

luas / flap / avulsi / fraktur segmental / sangat kuminatif yang disebabkan oleh

trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.

2. Derajat III B

Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi.
3. Derajat III C

Luka pada pembuluh arteri / saraf perifer yang harus dan perbaiki tanpa melihat

keruskaan jaringan lunak.

(Kapita Selekta Kedokteran, 2000 : 347)

III. Anatomi Fisiologi

Tulang paha / femur terdiri dari ujung atas, corpus dan ujung bawah, ujung atas

terdiri dari

a. Kaput adalah masa yang membuat dan mengarah ke dalam dan ke atas tulang

tersebut halus dan dilapisi dengan kartilago kembali fovea, lubang kecil tempat

melekatnya ligamen pendek yang menghubungkan kaput ke area yang besar pada

asetabulum os coxal.

b. Trochanten mayor sebelah lateral dan trochanter minor sebelah medial,

merupakan melekatnya otot-otot.

Carpus adalah tulang panjang agak mendatar ke arah medial, sebagian besar

permukaannya halus dan tempat melekatnya otot-otot. Pada bagian posterior linea

aspera adalah tulang yang berbentuk hubungan ganda, membentang ke bawah dari

trochanter atas dan melebar keluar bawah untuk menutup area yang halus. Ujung

bawah terdiri dari kondik medial dan lateral yang besar dan suatu area tulang

diantaranya kondile mempunyai permukaan artikulur untuk fibia dibawah dan

patela di depan.
Fraktur collum dan kaput merupakan fraktur femur yang umum, fraktur tersebut

lebih mudah terjadi pada orang tua sebagai akibat karena jatuh. Fraktur tidak

dapat segera sembuh karena pada fraktur tersebut memotong banyak suplay darah

ke kaput femoris. Untuk membantu menyembuhkan dan memudahkan pergerakan

pasien secepat mungkin. Fraktur ini biasanya ditangani dengan memasang

pembaja melalui trochanter mayor ke dalam kaput femuris. Dengan demikian

pasien mampu untuk turun dari tempat tidur dan mulai untuk berjalan (John

Gibson, 1995 : 44).

IV. Patofisiologi
V. Penatalaksanaan

a. Patah tulang terbuka

Prinsip

1. Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang membahayakan

jiwa airway, breathing, circulation.


2. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan

penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan dengan

perban tekan, menghentikan perdarahan besar dengan klem.

3. Pemberian antibiotika.

4. Debridement dan irigasi sempurna.

5. Stabilisasi.

6. Penutub luka.

7. Rehabilitasi.

1. Life Saving

Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita dengan

kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius. Hal ini perlu

ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya

yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat

multi organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and circulation.

2. Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat

Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut terancam

untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah

tulang tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminsi (golden periode)
dan setelah waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu

penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode

terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun

ditinjau dari segi prioritas penanganannya. Tulang secara primer menempati

urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,

penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.

3. Pemberian antibiotika

Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi tergantung

dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang tepat sukar untuk

ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan

spektrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.

4. Debridemen dan irigasi

Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah terbuka baik

berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati.

Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan

larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik dengan tekanan maupun tanpa

tekanan.

Di Intion is solution for polution untuk mengetahui kualitas dari otot hendaknya

selalu di ingat 4 C : Contractibility, color, consistency, capacity to bleed.

Kedua tindakan ini harus dilakukan sesempurna mungkin sebelum penanganan

definitif.
5. Stabilisasi.

Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen tulang,

cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang terbukanya dan

fasilitas yang ada.

Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara

primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini harus

sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.

6. Penutup luka

Penutup luka primer dapat dipertimbangkan pada patah tulang derajat 1 dan 2

tidak dianjurkan penutupan luka primer. Hanya saja kalau memungkinkan tulang

yang nampak diusahakan ditutup dengan jaringan lunak (otot) untuk memperkuat

hidupnya.

7. Rehabilitasi Dini

Perlu dilaksanakan sebab dengan demikian maka keadaan umum penderita akan

jadi sangat baik dan fungsi anggota gerak di harapkan kembali secara normal.

(Pedoman diagnosis dan terapi, UPF, 1994: 133)

b. Patah tulang tertutup


1. Pertolongan darurat (Emergency)

Pemasangan bidal (splint)

a. Mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut.

b. Mengurangi rasa nyeri.

c. Menekan kemungkinan terjadinya emboli dan syok.

d. Memudahkan transportasi dan pengambilan foto.

2. Pengobatan definitif

- Reposisi secara tertutup

a. Manipulasi secara tertutup untuk mereposisi terbatas hanya pada patah tulang

tertentu.

b. Traksi dengan melakukan tarikan pada ekstremitas bagian distal.

- Imobilisasi

a. Gips (Plaster of paris castis)

b. Traksi secara kontinue : traksi kulit, traksi tulang.

- Reposisi secara terbuka

Melakukan reposisi dengan operasi kemudian melakukan imobilisasi dengan

menggunakan fiksasi interna yang dapat berupa plat, pen dan kawat.
3. Rehabilitasi

Tujuan umum

a. Mempertahankan ruang gerak sendi.

b. Mempertahankan kekuatan otot.

c. Mempercepat proses penyembuhan fraktur.

d. Mempercepat pengambilan fungsi penderita

Latihan terdiri dari

- Mempertahankan ruang gerak sendi.

- Latihan otot.

- Latihan berjalan

(Pedoman diagnosis dan terapi, UPF, 1994: 138)

VI. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan radiologi untuk memastikan daerah fraktur dengan.

- 2 arah (antero-posterior dan lateral).

- 2 waktu yang berbeda (saat setelah trauma dari 10 hari setelah trauma).

- 2 sendi : sendi proksimal dan distal dari fraktur harus terlihat pada film.
- 2 ekstremitas : sebagai pembanding, bila garis fraktur meragukan terutama

pada anak-anak.

b. Pemeriksaan laboratorium

(Pedoman diagnosis dan terapi, UPF, 1994: 137)

B. ASUHAN KEPERAWATAN

Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan

secara ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah klien,

merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil

tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Nasrul Effendy, 1995 : 2-3)


Adapun tahapan dalam proses keperawatan antara lain :

1. Pengkajian

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk

mengumpulkan informasi / data tentang pasien agar dapat mengidentifikasi,

mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien baik

fisik, mental, sosial dan lingkungan.

(Nasrul Effendy, 1995 : 18)

a. Pengumpulan Data.

Meliputi

1. Identitas Klien

Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan, kebangsaan, suku,

pendidikan, no register, diagnosa medis.

2. Keluhan Utama

Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat beraktivitas / mobilisasi

pada daerah fraktur tersebut.

3. Riwayat Penyakit

- Riwayat Penyakit Sekarang.

Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma / kecelakaan,

degeneratif dan pathologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan


sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat / perubahan warna

kulit dan kesemutan.

- Riwayat Penyakit Dahulu.

Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak sebelumnya

dan ada / tidaknya klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah menderita

osteoporosis sebelumnya.

- Riwayat Penyakit Keluarga.

Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan

tuberkolosis atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular.

4. Pola-pola Fungsi Kesehatan.

- Pola resepsi dan tata laksana hidup sehat.

Pada fraktur akan mengalami perubahan dan gangguan pada personal hiegene,

misalnya kebiasaan mandi, gosok gigi, mencuci rambut, ganti pakaian, BAK dan

BAB serta berolahraga sehingga dapat menimbulkan masalah perawatan diri.

- Pola eliminasi
Kebiasaan miksi dan defekasi sehari-hari, kesulitan waktu defekasi, dikarenakan

imubilisasi, fases warna kuning dan konsistensi defekasi padat . Pada miksi klien

tidak mengalami gangguan, warna urin jernih, buang air kecil 3 4 x/hari.

- Pola nutrisi dan metabolisme

Pada umumnya tidak akan mengalami gangguan penurunan nafsu makan,

meskipun menu berubah misalnya makan di rumah gizi tetap sama sedangkan di

rumah sakit disesuaikan dengan penyakit dan diet klein.

- Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas dan latihan mengalami perubahan / gangguan dari fraktur femur

sehingga kebutuhan perlu dibantu baik oleh perawat atau keluarga, misalnya

kebutuhan sehari-hari, mandi, BAB, BAK dilakukan diatas tempat tidur.

- Pola penanggulangan stres

Masalah fraktur femur dapat menjadi stres tersendiri bagi klien. Dalam hal ini

pola penanggulangan stress sangat tergantung pada sistem mekanisme klien itu

sendiri misalnya pergi kerumah sakit untuk dilakukan perawatan / pemasangan

traksi.

- Pola sensori dan kognitif

Nyeri yang disebabkan oleh fraktur femur adanya kerusakan jaringan lunak serta

tulang yang parah dan hilangnnya darah serta cairan seluler ke dalam jaringan.

Hal ini yang menyebabkan gangguan sensori sedangkan pada pola kognitif atau

cara berfikir klien tidak mengalami gangguan jiwa.


- Pola hubungan peran

Pola hubungan dan peran akan mengalami gangguan, jika klien sebagai kepala

rumah tangga / menjadi tulang punggung keluarga.

- Pola persepsi diri

Pada fraktur femur akan mengalami gangguan konsep diri karena terjadi

perubahan cara berjalan akibat kecelakaan yang menyebabkan patah tulang dan

klien takut cacat seumur hidup / tidak dapat kembali bekerja.

- Pola reproduksi dan seksual

Bila klien sudah berkeluarga dan mempunyai anak maka akan mengalami pola

seksual dan reproduksi, jika klien belum berkeluarga klein tidak akan mengalami

gangguan.

- Pola tidur dan istirahat

Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami gangguan yang disebabkan oleh

nyeri, misalnya nyeri akibat fraktur.

- Pola tata nilai dan kepercayaan

Pada fraktur terutama fraktur femur akan mengalami perubahan / gangguan dalam

menjalankan sholat dengan cara duduk dan dilakukan diatas tempat tidur.

5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum

Meliputi keadaan sakit pasien, tingakat kesadaran dan tanda-tanda vital

b. Pemeriksaan Sistem Integumen.

Tidak ada perubahan yang menonjol pada sistem integumen seperti warna kulit,

adanya jaringan parut / lesi, tekstur kulit kasar dan suhu kulit hangat serta kulit

kotor.

c. Pemeriksaan Kepala Dan Leher.

Tidak ada perubahan yang menonjol pada kepala dan leher seperti warna rambut,

mudah rontok, kebersihan kepala, alupeaus, keadaaan mata, pemeriksaan takanan

bola mata (TIO), pemeriksaan visus, adanya massa pada telinga, kebersihan

telinga, adanya serumen, kebersihan hidung, adanya mulut dan gigi, mulut bau

adanya pembengkakan pada leher, pembesaran kelenjar linfe atau tiroid.

d. Pemeriksaan Sistem Respirasi.

Tidak ada perubahan yang menonjol seperti bentuk dada ada tidaknya sesak nafas,

sura tambahan, pernafasan cuping hidung.

e. Pemeriksaan Kordiovaskuler.
Klien fraktur mengalami denyut nadi meningakat terjadi respon nyeri dan

kecemasan, ada tidaknya hipertensi, tachikardi perfusi jaringan dan perdarahan

akiobat trauma.

f. Pemeriksaan Sistem Gastro Intestinal.

Tidak ada perubahan yang menonjol seperti nafsu makan tetap, peristaltik usus,

mual, muntah, kembung.

g. Pemeriksaan Sistem Ganitourinaria.

Tidak ada perubahan yang menonjol seperti produksi urin, warna urin, apakah ada

hematovia / tidak, adakah disuria, kebersihan genital.

h. Pemeriksaan Sistem Muskuslukeletal.

Terdapat fraktur, yeri gerak, kekakuan sendi, bagaimana tinus ototnya ada

tidaknya atropi dan keterbatasan gerak, adanya karepitus.

i. Pemeriksaan Sistem Endokrin.

Tidak ada perubahan yang menojol seperti ada tidaknya pembesaran thyroid /

struma serta pembesaran kelenjar limfe.

j. Pemeriksaan Sistem Persyarafan.

Ada tidaknya hemiplegi, pavaplegi dan bagaimana reflek patellanya.

b. Analisa Data
Analisa data adalah kemampuan meningkatkan data dan menghubungkan

tersebut dengan konsep, teori dan prinsip yang relevan untuk menbuat kesimpulan

dalam menentukan masalah kesehatan dan kepereawatan pasien.

(Nasrul Effendy, 1995 : 24)

c. Diagnosa Keperawatan

Tahap akhir dari pengkajian adalah merumuskan diagnosa keperawatan. Diagnosa

keperawatan merupakan pernyatan / kesimpulan yang diambil dari pengkajian

tentang status kesehatan klien / pasien.

(Nasrul Effendy, 1995 : 26)

Berdasarkan analisa data, dirumuskan suatu diagnosa keperawatan sesuai dengan

prioritasnya yaitu sebagai berikut :

1. Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) yang berhubungan dengan terputusnya

kontinuitas jaringan.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dnegan immobilisasi kaki (pemasangan

traksi)

3. Aktual / resiko tinggi terjadinta kerusakan integritas jaringan atau kulit

berhubungan dengan luka, fraktur, pembedahan.

4. Gangguan psikologis (kecemasan / berhubungan dengan kurangnya

pengetahuan tentang penyakitnya.


2. Perencanaan

Perencanaan dalam proses keperawatan lebih dikenal dengan rencana asuhan

keperawatan (Nursing Care Plan) yang merupakan tahap selanjutnya setelah

pengkajian dan penentuan diagnosa keperawatan (Nasrul Effendy, 1995 : 35).

1. Diagnosa I

Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) yang berhubungan dengan terputusnya

kontinuitas jaringan.

Tujuan : Nyeri berkurang / hilang setelah diberikan tindakan asuhan keperawatan.

Kriteria Hasil : Klien tidak mengeluh nyeri, klien tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam

aktivitas istirahat dan tidur, klien mampu melakukan teknik relaksasi.

Rencana Tindakan :

1. Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab nyeri.

R/ Dengan memberikan penjelasan diharapkan klien tidak merasa cemas dan dapat

melakukan sesuatu yang dapat mengurangi nyeri.

2. Kaji tingkat nyeri klien (lokasi, karakteristik dan durasi) serta respon verbal dan

non verbal pada klien yang mengisyaratkan nyeri.

R/ Mengevaluasi tingkat nyeri klien dapat mendeteksi gejala dini yang timbul

sehingga perawat dapat memilih tindakan keperawatan selanjutnya serta mengkaji


respon verbal dan non verbal klien dapat diketahui intervensi kita berhasil atau

tidak.

3. Ajarkan pada klien cara pengurangan nyeri misalnya memijat atau merubah

posisi.

R/ Memijat / merubah posisi dapat membantu sirkulasi yang menyeluruh dan dapat

menurunkan tekanan lokal dan kelemahan otot sehingga mengurangi nyeri.

4. Pertahankan immobilisasi / bedrest karena adanya trauma / patah tulang /

pemasangan traksi.

R/ Immobilisasi / bedrest dapat meringankan nyeri dan mencegah displacement tulang

/ eksistensi jaringan luka.

5. Observasi tanda-tanda vital.

R/ Observasi tanda-tanda vital dapat diketahui keadaan umum klien.

6. Lakukan kolaborasi dalam pemberian obat sesuai dengan yang di indikasikan

yaitu anal gesik dan pelemas otot.

R/ Obat analgesik diharapkan dapat mengurangi nyeri dan obat pelemas otot

diharapkan dapat melemaskan otot.

(Marlyn E. Doenges, 1991 : 775-777)


2. Diagnosa Keperawatan II

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dnegan immobilisasi kaki (pemasangan

traksi).

Tujuan : Klien dapat melakukan aktivitas secara bertahap.

Kriteria Hasil : Klien dapat bergerak secara maksimal, klien dapat mempertahankan fungsi tubuh

secara maksimal, klien dapat menambahkan kekuatan / fungsi dari pada bagian

tubuh yang berpengaruh (fraktur).

Rencana Tindakan :

1. Observasi keterbatasan gerak klien dan catat respon klien terhadap

immobilisasi.

R/ Dengan observasi dapat diketahui seberapa jauh tingkat perubahan fisik klien

(keterbatasan gerak) dan bagaimana respon / persepsi klien tentang gambaran

dirinya.

2. Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam aktivitas dan pertahankan stimulasi

lingkungan antara lain TV, Radio dan surat kabar.

R/ Dapat memberi kesempatan pasien untuk mengeluarkan energi, memfokuskan

perhatian, meningkatkan rangsangan control diri pasien dan membantu dalam

menurunkan isolasi sosial.

3. Ajarkan pada klien untuk berlatih secara aktif / pasif dari latihan POM.
R/ Dapat menambah aliran darah ke otot dan tulang melakukan gerakan sendi dapat

mencegah kontruktur / atropi.

4. Monitor tekanan darah dan catat masalah sakit kepala.

R/ Hipertensi postural adalah masalah umum yang mengurangi bedrest lama dan

memerlukan tindakan khusus.

5. Konsultasikan dangan ahli terapi fisik / spesialis, rehabilitasi.

R/ Konsultasi dengan ahli terapi / spesialis rehabilitasi dapat menciptakan program

aktivitas dan latihan individu.

3. Pelaksanaan

Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakanm realisasi dari pada rencana

tindakan kepereawatan yang telah ditetapkan, meliputi tindakan dependent, inter

dependent. Pada pelaksanaan terdiri dari bebereapa kegitan, validasi, rencana

keperawatan, mendokumentasikan keperawatan, memberikan asuhan keperawatan

dan pengumpulan data.

(Susan Martin, 1998)

4. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan.

Ada tiga alternatif dalam evaluasi :


a. Masalah teratasi, jika klien mampu menunjukkan prilaku sesuai dengan waktu

dan tanggal yang telah ditentukan sesuai dengan pernyataan tujuan.

b. Masalah teratasi sebagian, jika klien mampu menunjukkan prilaku tetapi tidak

seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan.

c. Masalah tidak teratasi, jika klien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku

yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

(Susan Martin, 1998, 55)


DAFTAR PUSTAKA

- Arif Mansjoer, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

- Susan Martin Tucker, dkk, 1995, Standart Keperawatan Pasien, Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

- Nasrul Effendi, 1995, Pengatar Proses Keperawatan, Buku Kedokteran EGC,

Jakarta.

- Marilynn E. Doenges dkk, 1991, Nursing Care Plans, Quidelinnes For

Planning Patient Care (Second Etition).

Você também pode gostar