Você está na página 1de 28

Laporan Kasus

Abortus Inkomplet

Pembimbing :

dr. Fransiskus Christianto Rahardja, Sp.OG

Oleh :

Cinthya Ayu Christine

11-2016-003

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSIAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 09JANUARI 2017 18 MARET 2017

RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU


STATUS OBSTETRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Jl. Arjuna Utara No. 6. Kebon Jeruk- Jakarta Barat
SMF OBSTETRI RS MARDI RAHAYU KUDUS

Nama : Cinthya Ayu Christine Tanda tangan :


NIM : 11.2016.003
Dr pembimbing / penguji : dr. Fransiskus Christianto Rahardja,SpOG

IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Ny.NI Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 18 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Kawin (GIP0A0) Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA
Alamat : Kalidoro Lor No. RT.03 RW.06 Masuk Rumah Sakit : 1 Febuari 2017
Bulung Cangkring, Jekulo, Kudus. Pukul 09.10 WIB

Nama suami : Tn.S


Umur : 40 Tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat :Kalidoro Lor No. RT.03 RW.06 Bulung Cangkring, Jekulo, Kudus.

Anamnesis

Dilakukan autoanamnesis tanggal 1 Febuari 2017, pukul 09.30 WIB

Keluhan utama :
Keluar gumpalan darah dari jalan lahir sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Wanita berusia 18 tahun, hamil 12 minggu, datang dengan keluhan keluar darah dari jalan
lahir sejak 1 hari SMRS. Perdarahan awalnya berupa flek-flek. Pada malam hariSMRS perut
terasa mules, perdarahan semakin banyak dan keluar gumpalan gumpalan darah. Pasien
memiliki nafsu makan yang baik. Riwayat BAB dan BAK lancar. Pasien tidak memilik riwayat
penyakit kronis. Pasien tidak pernah operasi. Ini merupakan kehamilan yang pertama. Pasien
tidak pernah keguguran. Pasien memiliki riwayat menstruasi teratur. Pasien memiliki HPHT 5
November 2016, saat ini pasien hamil 12 minggu.

Riwayat Kehamilan
ANC 1 kali di bidan .

Riwayat Haid
Menarche : 11 tahun
Siklus haid : 28 hari
Lamanya : 7 hari
Banyaknya : 1 pembalut
Dismenore : tidak ada
Haid terakhir (HPHT) : 5November 2016
HPL : 12 Agustus 2017

Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali pada usia 18 tahun, selama 2 bulan

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Hamil Usia Jenis Penyulit Penolon Jenis BB/TB Umur Masa
ke kehamila persalina g kelamin lahir sekaran Nifas
n n g
Hamil ini

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah menderita penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis, asma dan alergi.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis, asma
dan alergi.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 106 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,2oC
Skala Nyeri : 3/10 ( Lokasi : perut )
Berat Badan : 45 kg
Tinggi Badan : 152 cm
Kepala : Mescocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/- , Sklera ikterik -/-
Jantung : BJ I-II reguler murni, gallop (-), murmur (-)
Paru : Suara napas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Tampak membesar sesuai massa kehamilan. BU (+), Nyeri tekan (-).
Genitalia : Lihat status obstetrikus
Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat+/+

Pemeriksaan Obstetri
Pemeriksaan Luar

Wajah : Chloasma gravidarum (-)

Payudara : pembesaran payudara (+), hiperpigmentasi areola mammae (+), putting susu
menonjol (+), pengeluaran ASI (-)

Abdomen :
Inspeksi : Linea nigra (-), striae livids (-), striae albicans (-), bekas operasi (-)
Palpasi :TFU sulit dinilai

VT :

Flx (+), fluor (-)


V/U/V : tak ada kelainan
Portio : sesuai jempol tangan
OUE terbuka 1 jari tangan , teraba jaringan
Corpus uteri sebesar telur bebek
Adnexa : tak ada kelainan
Cavum douglasi : tak ada kelainan

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 1 Febuari 2017 Jam 10:17
Darah rutin
Golongan darah/Rh A/+
Waktu perdarahan/BT 1.30 menit (N : 1-3)
Waktu pembekuan/CT 5.00 menit (N : 2-6)
Hemoglobin 12,6g/dL (N : 11,7 15,5)
Leukosit 13,40 ribu (N : 3,6- 11,0)
Hematokrit 35,60% (N : 36-46)
Trombosit 196 10^3/uL (N : 150.000-400.000)

Imunoserologi
HbsAg negatif(-) N : negatif (-)
HIV stik negatif (-) N : negative (-)

Tanggal 1 Febuari 2017 Jam 12:02


Urine
Plano test positif

Ringkasan
Ny. NI 18 tahun GIP0A0 hamil 12 minggu datang dengan keluhan keluar darah dari jalan
lahirsejak 1 hari SMRS. Perdarahan awalnya berupa flek-flek. Pada malam hari SMRS perut
terasa mules, perdarahan semakin banyak dan keluar gumpalan gumpalan darah.Ini merupakan
kehamilan yang kedua. Pasien tidak pernah keguguran. Pasien memiliki HPHT 5 November
2016, saat ini pasien hamil 12 minggu.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan nyeri tekan suprapubik. Pada pemeriksaan fisik
ginekologi didapatkan Flx (+), Fl (-), V/U/V tak ada kelainan, portio sesuai jempol tangan, OUE
terbuka 1 jari tangan, teraba jaringan, corpus uteri sebesar telur bebek, adnexa dan cavum
douglastak ada kelainan.Pemeriksaan laboratorium darah rutin dalam batas normal.

Haid terakhir (HPHT) : 5 November 2017


Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 106 x/menit
Suhu : 36,20C
Pernapasan : 22 x/menit
Skala nyeri : 3/10 di perut

Pemeriksaan Luar
Wajah : Chloasma gravidarum (-)
Payudara : pembesaran payudara (+), hiperpigmentasi areola mammae (+), putting susu
menonjol (+), pengeluaran ASI (-)
Abdomen :
Inspeksi : Linea nigra (-), striae livids (-), striae albicans (-), bekas operasi (-)
Palpasi :TFU sulit dinilai

VT :
Flx (+), fluor (-)
V/U/V : takada kelainan
Portio : sesuai jempol tangan
OUE terbuka 1 jari tangan , teraba jaringan
Corpus uteri sebesar telur bebek
Adnexa : tak ada kelainan
CP : tak ada kelainan

Diagnosis Kerja
GIP0Ao Umur 18 tahun, Hamil 12 minggu dengan abortus inkomplet
Rencana pengelolaan
IVFD RL + induxin (oksitosin) 20 tpm
Puasa
Pro curetage

Prognosis
Power : dubia ad bonam
Passage : dubia ad bonam
Passanger : malam

Follow Up
Tanggal 1 Febuari 2017 Jam 09:30 WIB
S : keluar darah dari jalan lahir dan nyeri perut
O:
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 106 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,2 oC
A : GIP0A0 hamil 12 minggu dengan abortus inkomplet
P:
IVFD RL + induxin (oksitosin) 20 tpm
Puasa

Tanggal 2 Febuari 2017 Jam 11:00 WIB


Dilakukan curetage
Anestesi pre-kuretage
- KTM 30 mg
- Sedacum 5 mg
- SA 1 amp

Pemeriksaan Fisik Post curetage :


Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 84 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Suhu : 37 0C

Diagnosis Post Curetage :


P0AI, umur 18 tahun
Post kuret a/i abortus inkomplet

Pengobatan post kuret :


IVFD RL + induksin 20 tpm
Spiranter 3x1
Pospargin 3x1
Zegavit 1x1

FOLLOW UP
Tanggal 3 Febuari 2017 jam 07: 30 WIB
S : nyeri perut (+)
O : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 84x
pernapasan : 20 x
Suhu : 36,5oC
CA -/-
C/P dbn
BU (+)
PPV (+) darah
A : post kuret a/i abortus inkomplet
P : boleh pulang

Tinjauan Pustaka
ABORTUS INKOMPLET

Definisi

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang
dari 500 gram.1Atau berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada atau sebelum
kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar
kandungan.2

Abortus Inkomplet

Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih tertinggal.Batasan ini
juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari
500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus dimana pada
pemeriksaan vagina,kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau
menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa
banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian
placental site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus.2 Pasien dapat Jatuh dalam
keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan
pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan
hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG
hanya dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari
umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa
hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan.1

Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa hasil
konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera
dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti Selanjutnya
dilakukan tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan
keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan ialah dengan karet vakum
menggunakan kanuh dari pbstik. Pascatindakan perlu diberikan uterotonika parenteral ataupun
per oral dan antibiotika.1
Klasifikasi Abortus

Jenis abortus ada yang spontan dan ada yang buatan yaitu :2

1. Abortus spontan keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis maupun mekanis.
2. Abortus buatan, abortus provocatus (disengaja, digugurkan), yaitu:
Abortus buatan menurut kaidah ilmu (Abortus provocatus artificialis atau abortus
therapeuticus) indikasi abortus untuk kepentingan ibu, misalnya: penyakit jantung,
hipertensi esensial, dan karsinoma serviks. Keputusan ini ditentukan oleh tim ahli yang
terdiri dari dokter ahli kebidanan, penyakit dalam dan psikiatri, atau psikolog.
Abortus buatan criminal (abortus provocatus criminalis) pengguguran kehamilan
tanpa alasan medis yang sah atau oleh orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh
hukum atau dilakukan oleh yang tidak berwenang. Kemungkinan adanya abortus
provokatus kriminalis harus dipertimbangkan bila ditemukan abortus febrilis.

Epidemiologi

Insidensi abortus sulit ditentukan karena kadang kadang seorang wanita dapat
mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan tidak mempunyai gejala yang hebat
sehingga hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus memanjang). Terlebih lagi
insidensi abortus kriminalis, sangat sulit ditentukan karena biasanya tidak dilaporkan. Angka
kejadian abortus dilaporkan oleh rumah sakit sebagai rasio dari jumlah abortus terhadap jumlah
kelahiran hidup. Di USA, angka kejadian secara nasional berkisar antara 10 20%. Di Indonesia
kejadian berdasarkan laporan rumah sakit.1

Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secara berturut-turut.
Kejadiannya sekitar 3 5 %. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus
spontan, pasangan punya risiko 15 % untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2
kali, risikonya akan meningkat 25 %. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3
abortus berurutan adalah 30 45 %.1

Etiologi
Penyebab abortus bervariasi sering diperdebatkan. Umunya lebih dari satu penyebab.
Penyebab terbanyak di antaranya adalah sebagai berikut. 1,3
1.
Penyebab Genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling
sedikit 50 % kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik.
Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan
gen tunggal atau mutasi pada beberapa lokus yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan
kariotip.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan.
Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadiaan
sporadic, misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal.
Separuh dari abortus karena kelainan sitogenik pada trimester pertama berupa trisomi
autosom. Triploidi ditemukan pada 16 % kejadian abortus, di mana terjadi fertilisasi
ovum normal haploid olehh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer.
Trisomy timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien
dengan kariotip normal. Untuk sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa
berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia.
Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30 % dari seluruh trisomi, merupakan penyebab
terbanyak . Semua kromosom trisomy berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom
1. Sindroma turner merupakan penyebab 20-25% kelainan sitogenik pada abortus.
Sepertiga dari fetus dengan sindrom down (trisomi 21) bisa bertahan.
Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetic amniosentesis pada
semua ibu hamil dengan usia lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Risiko ibu terkena aneuploidi
adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan
kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun.
Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal (tetraploidi,
triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kelangsungan kehamilan.
Tetraploidi terjadi pada 8% kejadian abortus akibat kelainan kromosom, di mana
terjadinya kelainan pada fase sangat awal sebelum proses pembelahan.
Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan structural
terjadi pada sekitar 3 % kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menunjukkan bahwa
kelainan struktur kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom
pada pria bisa berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas, dan bisa
mengurangi peluang kehamilan dan terjadinya keguguran.
Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya mutasi
gen yang bisa mengganggu proses implamasi bahkan menyebabkan abortus. Contoh
untuk kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang adalah myotonic
dystrophy, yang berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini
progresif, dan penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan
gangguan fungsi uterus. Kemungkinan juga karena adanya mosaic gonad pada ovarium
atau testis.
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya sindroma marfan, sindroma ehlers-
danlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada perempuan dengan
sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark
pada plasenta. Kelainan hematologic lain yang menyebabkan abortus misalnya
disfibrinogenemi, defisiensi faktor XIII, dan hipofibrinogenemi afibrinogenemi
kongenital.
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang
abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak
diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan
kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.
2.
Penyebab Anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti
abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus
berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, di-
temukan anomali uterus pada 27% pasien.
Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus,
mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan,
sedangkan 36,5% mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang). Penyebab
terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40 80%),
kemudian uterus bikomis atau uterus didelfis atau unikornis (10 30%). Mioma uteri
bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara
10 30% pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan
gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum)
yang akan menimbulkan gangguan.
Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta
pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 80%,
bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa
digunakan histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi.

3.
Penyebab Autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun.
Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antipbospholipid Antibodies
(aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE.
Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10 %, dibanding populasi umum.
Bila digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka
diperkirakan 75 % pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan.
Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan
antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dan fosfolipid. Paling sedikit ada 3
bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus
Anticoagulant (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs), dan biologically false-positive
untuk syphilis(FP-STS). APS (antiphosholipid syndrome) sering juga ditemukan pada
beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklampsia, IUGR dan prematuritas.
Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu trombosis arteri-vena,
trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum.
The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria untuk
APS, yaitu meliputi:1,3
Trombosis vascular
- Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapilar yang
dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histopatologi
- Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi
Komplikasi kehamilan
- Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa
kelainan anatomik, genetik, atau hormonal
- Satu atau lebih kematian janin di mana gambaran morfologi secara
sonografi normal
- Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan
berhubungan denganpreeklampsia berat atau insufisiensi plasenta yang
berat
Kriteria Laboratorium
- aCL: IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2 kali
atau lebih pemeriksaan dengan jarak lebih dari atau sama dengan 6
minggu
- aCL diukur dengan metode ELISA standar
Antibodi fosfolipid/antikoagulan
- Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT dan
CT)
- Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan
penambahan plasma platelet normal
- Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan
fosfolipid
- Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian
heparin

aPA ditemukan kurang dari 2 % pada perempuan hamil yang sehat, kurang dari
20 % pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33 % pada perempuan
dengan SLE. Pada kejadian abortus berulang ditemukan infark plasenta yang luas,
akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular kini dianjurkan pemeriksaan darah terhadap
-2glikoprotein 1 yang lebih spesifik.
Pemberian antikoagulan misalnya aspirin, heparin, IL-3 intravena menunjukkan
hasil yang efektif. Pada percobaan binatang, kerja IL-3 adalah menyerupai growtb
hormone plasenta dan melindungi kerusakan jaringan plasenta.
Trombosis plasenta pada APS diawali adanya peningkatan rasio tromboksan ter-
hadap prostasiklin, selain juga akibat dari peningkatan agregrasi trombosit, penurunan c-
reaktif protein dan peningkatan sintesis platelet-activating factor.Secara klinis lepasnya
kehamilan pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan di atas 10 minggu.
Pengelolaan secara umum meliputi pemberian, heparin subkutan, aspirin dosis
rendah, prednison, imunoglobulin, atau kombinasi semuanya. Studi case-
controlmenunjukkan pemberian heparin 5.000 U 2x/hari dengan 81 mg/hari aspirin
meningkatkan daya tahan janin dari 50 % jadi 80 % pada perempuan yang pernah
mengalami abortus lebih dari 2 kali tes APLAs positif. Yang perhi diperhatikan ialah
pada penggunaan heparin jangka panjang, perlu pengawasan terhadap risiko kehilangan
massa tulang, perdarahan, serta trombositopeni.

4.
Penyebab Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika
DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada
perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga
berdampak pada kejadian abortus antara lain :
Bakteri
- Listeria monositogenes
- Klamidia trakomatis
- Ureaplasma urealitikum
- Mikoplasma hominis
- Bakterial vaginosis
Virus
- Sitomegalovirus
- Rubella
- Herpes simpleks virus (HSV)
- Human immunodeficiency virus (HIV)
- Parvovirus
Parasit
- Toksoplasmosis gondii
- Plasmodium falsiparum
Spirokaeta
- Treponema pallidum
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap
risiko abortus/ EPL, diantaranya sebagai berikut.
Adanya metabolic toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak
langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin
sulit bertahan hidup.
Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian
janin.
Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal
mikoplasma homonis, klamidia, ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa
mengganggu proses implantasi.
Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatif, Listeria monositogenes).
Memacu perubahan genetic dan anatomic embrio, umumnya oleh karena virus
selama kehamilan awal (misalnya rubella, parvovirus B19, sitomegalovirus,
koksakie virus B, varisela-zoster, kronik sitomegalovirus CMV, HSV).
5.
Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia,
atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan
gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik,
antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat
sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan ja-
nin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi feto-
plasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.

6.
Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik
systempengaturan hormon matemaL Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap
systemhormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi
terutama kadar progesteron.

Diabetes mellitus
Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak
lebih jelek jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan
diabetes dengan kadar HbAlc tinggi pada trimester pertama, risiko abonus dan
malformasi janin meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin dependen dengan
kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2 3 kali lipat mengalami abortus.

Kadar progesteron yang rendah


Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas endometrium
terhadap implantasi embrio. Pada tahun 1929, Allen dan Comer mempublikasikan
tentang proses fisiologi korpus lutum, dan sejak itu diduga bahwa kadar
progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko abortus. Support fase luteal
punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat di mana trofoblas
harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan
korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan bila
progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan.

Defek fase luteal


Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesteron
saat fase luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada23 60% perempuan dengan
abortus berulang. Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk
mendiagnosis gangguan ini. Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami
abortus lebih dari atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17 % kejadian defek fase
luteal. Dan, 50 % perempuan dengan histologi defek fase luteal punya gambaran
progesteron yang normal.

Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua


Perubahan endometrium jadi desidua mengubah semua, sel pada mukosa uterus.
Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses implantasi juga
proses migrasi trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu.
Di sini berperan penting interaksi antara trofoblas ekstravillous dan infiltrasi
leukosit pada mukosa uterus. Sebagian besar sel ini berupa Large Granular
Lymphocytes (LGL) dan makrofag, dengan sedikit sel T dan sel B.Sel NK
dijumpai dalam jumlah banyak, terutama pada endometrium yang terpapar
progesteron. Peningkatan sel NK pada tempat implantasi saat trimester pertama
mempunyai peran penting dalam kelangsungan proses kehamilan karena ia akan
mendahului membunuh sel target dengan sedikit atau tanpa ekspresi H LA. Trofo-
blas ekstravillous (dengan pembentukan cepat HLA1) tidak bisa dihancurkan oleh
sel NK desidua, sehingga memungkinkan terjadinya invasi optimal untuk
plasentasi yang normal.

7.
Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya
mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta berbagai komponen koagulasi dan
fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan
plasentasi.2Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan:

Peningkatan kadar faktor prokoagulan

Penurunan faktor antikoagulan

Penurunan aktivitas fibrinolitik

Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal,
terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu.
Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek
hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan kawan menunjukkan bahwa perempuan
dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang
berlebihan pada usia kehamilan 4 6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat
usia kehamilan 8 1 1 minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin memacu
vasospasme serta agregrasi trombosit, yang akan menyebabkan mikrotrombi serta
nekrosis plasenta Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida.
Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan trombosis sistematik
ataupun piasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada
lebih dari 22% kasus.
Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin ke
sistein. Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita, berhubungan dengan
trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21 % abortus
berulang. Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang
didapat adalah defisiensi folat. Pada pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan
kadar homosistein normal dalam beberapa hari.
Patogenesis
Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin yang kemudian diikuti
dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan perubahan nekrotik pada
daerah implantasi, infiltrasi sel sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan per vaginam.
Buah kehamilan terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing
dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi
pendorongan benda asing itu keluar rongga rahim (ekspulsi). Perlu ditekankan bahwa pada
abortus spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling lama 2 minggu sebelum perdarahan.
Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak dilakukan jika telah terjadi
perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari.4

Sebelum minggu ke 10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini
disebabkan sebelum minggu ke 10 vili korialis belum menanamkan dirinya. Antara minggu ke
10 12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat
hingga mulai saat tersebut sering sisa sisa korion (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus.5

Gambaran Klinis

Secara klinis abortus dibedakan menjadi:2,6

1. Abortus iminens (keguguran mengancam) abortus ini baru mengancam dan masih ada
harapan untuk mempertahankannya, ostium uteri tertutup uterus sesuai umur kehamilan.
2. Abortus insipiens (keguguran berlangsung) abortus ini sedang berlangsung dan tidak
dapat dicegah lagi, ostium terbuka, teraba ketuban, berlangsung hanya beberapa jam saja.
3. Abortus inkompletus (keguguran tidak lengkap) sebagian dari buah kehamilan telah
dilahirkan, tetapi sebagian (biasanya jaringan plasenta) masih tertinggal di dalam rahim,
ostium terbuka teraba jaringan.
4. Abortus kompletus (keguguran lengkap) seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan
lengkap, ostium tertutup uterus lebih kecil dari umur kehamilan atau ostium terbuka kavum
uteri kosong.
5. Abortus tertunda (missed abortion) keadaan di mana janin telah mati sebelum minggu ke
20, tetapi tertahan di dalam rahim selama beberapa minggu setelah janin mati. Batasan ini
berbeda dengan batasan ultrasonografi
6. Abortus habitualis (keguguran berulang) abortus yang telah berulang dan berturut turut
terjadi; sekurang kurangnya 3 kali berturut turut.
Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baut dalam
kandungan.1
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan
pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit
atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih
tertutup besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih
positif. Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar
hormon hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa
pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka
prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka prognosisnya dubia
ad malam.1
Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada informed consent yang diberikan.
Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan tersebut, maka pengelolaan harus maksimal
untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui
pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah terjadi
pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah sesuai
dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin
diperhatikan di samping ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis
servikalis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan baik secara transabdominal maupun
transvaginal. Pada USG transabdominal jangan lupa pasien harus tahan kencing terlebih
dahulu untuk mendapatkan acoustic window yang baik agar rincian hasil USG dapat jelas.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa
diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon progesteron
atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus.2 Obat-obatan ini walaupun secara
statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada penderita sangat
menguntungkan. Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengari pesan
khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.1
Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar
dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan
dalam proses pengeluaran.1
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat,
Perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur
kehamilan.Besar uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan
masih positif. Pada pemeriksaan USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai
dengan umur kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin
sudah mulai tidak normal,Biasanya terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya.
Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari dinding uterus.1
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan Keadaan umum dan perubahan
keadaan hemodinamik yang terjadi .Segera lakukan tindakan evakuasi/pengeluaran hasil
konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan di atas 12
minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus
hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan
tindakan kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah
terjadinya perforasi pada dinding uterus. pasca tindakan perlu perbaikan keadaan umum,
pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis.1

Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, ostium uteri telah menutup, uterus sudah
mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai.
Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif samoa 7 10 hari setelah abortus.
Pengelolaan penderita tidan memerlukan tindahan khusus ataupun pengobatan. Biasanya
hanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak
perlu diberikan.1

Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam
kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan
dalam kandungan.1
Penderita missed abortion biasanya odak merasakan keluhan apa pun kecuali merasakan
pertumbuhan kehamilannya tkbk seperti yang diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu
sampai 20 minggu penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-
tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang.2 Kadangkala missed abortion
juga diawali dengan abortus iminens yang kemudian merasa sembuh, tetapi pertumbuhan
janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu dan
terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang
mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran
fetus yang tidak ada tanda- tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4
minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan penjendalan darah oleh karena
hipofibri- nogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan
kuretase.1
Pengelolaan missed aborhon perlu diutarakan kepada pasien dan keluarganya
secara baik karena risiko tindakan operasi dan kuretase ini dapat menimbulkan komplikasi
perdarahan atau tidak bersihnya evakuasi/kuretase dalam sekali tindakan. Faktor mental
penderita perlu diperhatikan, karena penderita umumnya merasa gelisah setelah tahu
kehamilannya tidak tumbuh atau mati. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu
tindakan evakuasi dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase
bila serviks uterus memungkinkan. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari
20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan
induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis servikalis.
Beberapa cara dapat dilakukan ancara bin dengan pemberian infus mtravena cairan oksitosin
dimulai dari dosis 10 unit dalam 500 cc dekstrose 5 % tetesan 20 tetes per menit dan dapat
diulangi sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah
terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan
kemudian induksi diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi
berhasil keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.1
Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan
prostaglandin atau sintetisnya untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satu
cara yang banyak disebutkan adalah dengan pemberian mesoprostol secara sublingual
sebanyak 400 mg yang dapat diulangi 2 kali dengan jarak enam jam. Dengan obat ini akan
terjadi pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga tindakan
evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan untuk mengosongkan kavum uteri. Kemungkinan
penyulit pada tindakan missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan plasenta yang
menempel pada dinding uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat
hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah segar atau fibrinogen. Pascatindakan
kalau perlu dilakukan pemberian infus intravena cairan oksitosin dan pemberian antibiotika.1

Abortus Habitualis
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-
turut.Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali,
tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Bishop
melaporkan kejadian abortus habitualis sekitar 0,41 % dari seluruh kehamilan.1
Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya
dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast
cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan
terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau heparinisasi. Akan
tetapi, dekade terakhir menyebutkan perlunya mencari penyebab abortus ini secara lengkap
sehingga dapat diobati sesuai dengan penyebabnya.1
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu
keadaan di mana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup
setelah kehamilan melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka
(inkompeten) tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran
janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya,
misalnya pada tindakan usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang
luas sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar.1
Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang cermat.
Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikalis dan
didapati selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua.
Diameter ini melebihi 8 mm. Untuk itu, pengelolaan penderita inkompetensia serviks di-
anjurkan untuk periksa hamil seawal mungkin dan bila dicurigai adanya inkompetensia
serviks harus dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat
menerima beban dengan berkembanya umur kehamilan.operasi dilakukan pada umur
kehamilan12 14 minggu dengan cara SHIRODKAR atau McDONALD dengan melingkari
kanalis servikalis dengan benang sutera/MERSILENE yang tebal dan simpul baru dibuka
setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.1

Abortus Infeksiosus, Abortus Septik

Abortus infeksiosus salah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.
Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh
atau peritoneum (septikemia atau peritonitis).Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi
tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan
asepsis dan antisepsis.1
Abortus infeksiosus dan abortus septik perlu segera mendapatkan pengelolaan
yang adekuat karena dapat terjadi infeksi yang lebih luas selain di sekitar alat genitalia juga
ke rongga pentoneum, bahkan dapat ke seluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh
dalam keadaan syok septik.1
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan
abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan tanda
panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus
yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi
dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas
tinggi, menggigil, dan tekanan darah turun.1
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan
perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas
kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk
lahap pertama dapat diberikan Penisilin 4x 1,2 juta unit atau Ampisilin 4x1 gram ditambah
Gentamisin 2 x 80 mg dan Metronidazol 2x1 gram. Selanjutnya antibiotik disesuaikan
dengan hasil kultur.1
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 6
jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tindakan uterus dilindungi
dengan uterotonika.1
Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari
pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai.
Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis
vagina/uterus dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu histerektomi total secepatnya.1

Gambaran Klinis Abortus Spontan

Abortus Abortus Abortus Abortus Abortus Missed


iminens insipiens inkompletu komplit habitualis abortion
s
Perdaraha + + + + + + hitam
n
OUE Tertutup Terbuka Terbuka Terbuka Terbuka Tertutup
Urin + + + + + -
Terapi Bedrest Kuret Kuret - Kuret Kuret
Uterus Sesuai Sesuai Lebih kecil Lebih ? Lebih
kecil kecil

Penatalaksanaan Abortus Inkomplet

Tentukan besar uterus (taksir usia gestasi), kenali dan atasi setiap komplikasi (perdarahan
hebat, syok, infeksi/sepsis).2
Hasil konsepsi yang terperangkap pada serviks yang disertai perdarahan hingga ukuran
sedang, dapat dikeluarkan secara digital atau cunam ovum. Setelah itu evaluasi
perdarahan :2
o Bila perdarahan berhenti, beri ergometrin 0,2 mg IM atau misoprostol 400 mg
peroral.
o Bila perdarahan terus berlangsung, evakuasi sisa hasil konsepsi dengan AVM atau
D&K (pilihan tergantung dari usia gestasi, pembukaan serviks dan keberadaan
bagian-bagian janin)
Bila tak ada tanda-tanda infeksi, beri antibiotika profilaksis (ampisilin 500 mg oral atau
doksisiklin 100 mg)
Bila terjadi infeksi, beri ampisilin 1 g dan metronidazole 500 mg setiap 8 jam.
Bila terjadi perdarahan hebat dan usia gestasi di bawah 16 minggu, segera lakukan
evakuasi dengan AVM.
Bila pasien tampak anemik, berikan sulfas ferosus 600 mg per hari selama 2 minggu
(anemia sedang) atau transfuse darah (anemia berat).
Jika usia kehamilan < 16 minggu dan perdarahan sedikit :3
Evakuasi dengan cunam ovum atau secara digital. Ergometrin 0,2 mg IM atau
misoprostol 400 g PO dapat diberikan setelah perdarahan berhenti.
Jika usia kehamilan < 16 minggu dan perdarahan banyak : 3
Evakuasi dengan AVM. Kuret tajam hanya dipakai bila AVM tidak tersedia. Ergometrin
0,2 mg IM (bila perlu bisa di ulang setelah 15 menit) atau misoprostol 400 g PO (bila
perlu diulang setelah 4 jam) diberikan jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan.
Jika usia kehamilan > 16 minggu :3
Infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml NaCl 0,9% atau RL 40 tetes per menit sampai
ekspulsi jaringan konsepsi. Misoprostol 200 mcg pervaginam setiap 4 jam (maksimal
8000 mcg) dapat diberikan untuk membantu proses ekspulsi. Jangan lupa evakuasi sisa
jaringan yang tertinggal.
Pada kasus-kasus abortus inkomplit, dilatasi serviks sebelum tindakan kuretase sering
tidak diperlukan. Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal terletak secara
longgar dalam kanalis servikalis dan dapat diangkat dari ostium eksterna yang sudah
terbuka dengan memakai forsep ovum atau forsep cincin. Bila plasenta seluruhnya atau
sebagian tetap tertinggal di dalam uterus, induksi medis ataupun tindakan kuretase untuk
mengevakuasi jaringan tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya perdarahan
lanjut.4
Sebelum melakukan tindakan kuretase, pasien, tempat dan alat kuretase disiapkan
terlebih dahulu.5,7

- Pada pasien yang mengalami syok, atasi syok terlebih dahulu.


- Kosongkan kandung kencing, selanjutnya dapat diberikan anestesi (jika
diperlukan).
- Lakukan pemeriksaan ginekologik ulang untuk menentukan besar dan bentuk
uterus, kemudian lakukan tindakan antisepsis pada ginitalia eksterna, vagina dan
serviks.
- Spekulum vagina dipasang dan selanjutnya serviks dipresentasikan dengan
tenakulum.
- Uterus disondase dengan hati-hati untuk menentukan besar dan arah uterus.
- Masukkan kanula yang sesuai dengan dalam kavum uteri melalui serviks yang
telah berdilatasi (tersedia ukuran kanula dari 4 mm sampai 12 mm).
- Selanjutnya kanula dihubungkan dengan aspirator (60 Hg pada aspirator listrik
atau 0,6 atm pada syringe).
- Kanula digerakkan perlahan-lahan dari atas kebawah dan sebaliknya, sambil
diputar 360.
- Bila kavum uteri sudah bersih dari jaringan konsepsi, akan terasa dan terdengar
gesekan kanula dengan miometrium yang kasar, sedangkan dalam botol
penampung jaringan akan timbul gelembung udara.
- Pasca tindakan tanda-tanda vital diawasi selama 15-30 menit tanpa anestesi dan
selama 1 - 2 jam bila dengan anestesi umum.
- Pemeriksaan lanjut dapat dilakukan 1 - 2 minggu kemudian.

Komplikasi Abortus
Tanda-tanda komplikasi pada kasus abortus adalah 2

1. Perdarahan hebat
2. Infeksi dan sepsis
Ditandai dengan demam tinggi, sekret berbau pervaginam, nyeri perut bawah, dinding
perut tegang, nyeri goyang porsio, dehidrasi, gelisah atau pingsan.
3. Syok
Ditandai dengan pucat, berkeringat banyak, pingsan, tekanan sistolik < 90 mmHg, nadi >
112 x/menit.

Daftar Pustaka

1. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ke 4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo; 2014.h.460-73.
2. Prawirohardjo S. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Edisi
ke 5. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009.h.145-51.
3. Pelayanan kesehatan ibu di pusat pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Jakarta :
Pelayanan kesehatan ibu; 2011. h. 7-10.
4. Bratakoesoema DS. Distosia. Dalam: Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Ed.
II. Jakarta: EGC; 2004.h.121-3
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri
Williams. Vol. I. Jakarta: EGC; 2010.h. 546-7.
6. Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. kelainan telur, plasenta, air ketuban, cacat, dan
gangguan janin. Dalam: Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Ed. II. Jakarta:
EGC; 2004.h.29-30, 33.
7. Wijayanegara H, Wirakusumah FF, Mose JC, Krisnadi SR, Sukarya WS, Sabarudin U.
pedoman diagnosis dan terapi obstetri dan ginekologi RS. Hasan Sadikin. Bag. I.
Bandung: FK Unpad; 2005.h.70-2.

Você também pode gostar