Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
d
D,
W
Wt
^<W
LAPORAN
MENDETEKSI KETIMPANGAN
SOSIAL MELALUI PENILAIAN
WARGA
PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL 2016
Tim Penyusun:
Bagus Takwin
M. Himawan Arifianto
Alfindra Primaldhi
Paksi Walandow
Sahat K. Panggabean
Mei 2017
Didukung oleh:
Laporan ini dihasilkan atas dukungan pendanaan dari TIFA dan Ford FoundationIsi dari buku ini
sepenuhnya tanggung jawab INFID dan penulis, dan tidak mencerminkan posisi TIFA dan Ford
Foundation
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 5
RINGKASAN 6
BAB 1. PENDAHULUAN 11
MENGGALI PERSEPSI WARGA MENGENAI KETIMPANGAN SOSIAL 11
SEBAGAI CARA MENDETEKSI KEADILAN SOSIAL
1.1. Latar Belakang 11
1.2. Pertanyaan Utama 14
1.3. Tujuan Pengukuran Ketimpangan Sosial 14
1.4. Manfaat Indeks Ketimpangan Sosial 14
DAFTAR PUSTAKA 42
Lampiran 1 43
Lampiran 2 45
Harapannya, hasil survei dapat dijadikan salah acuan untuk memantau upaya-upaya
pemerintah dalam mengurangi ketimpangan. Tidak hanya itu, hasil survei ini juga
diharapkan dapat membantu memperkuat pengambil kebijakan untuk merumuskan
kebijakan dan program pengurangan ketimpangan.
Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada Dr. Bagus Takwin beserta
timnya yang telah bekerja keras dalam melaksanakan dan menyusun laporan
ketimpangan social ini.
Hamong Santono
Senior Program Officer SDGs INFID
Penghasilan dirasakan oleh warga sebagai ranah yang paling timpang dan
paling besar peranannya dalam menghasilkan ketimpangan sosial. Ketimpangan
penghasilan berdampak pada ketimpangan pada kepemilikan rumah dan harta
benda, pendidikan dan kesehatan.Pengaruh ketimpangan penghasilan terhadap
ketimpangan sosial keseluruhan paling besar.
Warga juga menilai masih terjadinya diskriminasi. Diskrimisnasi dipersepsi oleh warga
terjadi baik di Indonesia Bagian Barat, Tengah dan Timur. Persepsi pengalaman
diskriminasi lebih tinggi di Indonesia bagian Timur dan Sumatra, bila dibandingkan
dengan rata-rata (seluruh Indonesia).
'PUP(FSSZ
BAB 1
PENDAHULUAN
Konsep keadilan sosial didasari oleh postulat bahwa setiap individu harus
diberdayakan untuk mengejar arah kehidupan yang ditentukannya sendiri, agar
mereka terlibat dalam partisipasi sosial yang luas. Latar belakang sosial tertentu,
seperti keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau ketidaksamaan titik
awal tidak seharusnya memengaruhi secara negatif rencana kehidupan pribadi.
Setidaknya ada enam dimensi keadilan sosial, meliputi pencegahan kemiskinan;
akses pendidikan; inklusi pasar tenaga kerja; kohesi sosial dan non-diskriminasi;
kesehatan; dan keadilan antargenerasi. Konsep keadilan ini menekankan penjaminan
setiap kesempatan individu yang benar-benar sama untuk realisasi diri melalui
investasi yang ditargetkan dalam pengembangan kapabilitas individu. Tujuannya
adalah penyetaraan keadilan distributif atau kesetaraan kesempatan hidup formal
dengan aturan main dan kode prosedur yang diterapkan sama. Tujuan yang lain
Keadilan sosial bukan hal yang terberi begitu saja atau sesuatu yang otomatis
berfungsi di masyarakat. Diperlukan usaha terus-menerus untuk menghadirkannya
dalam kehidupan bersama, mulai dari identifikasi faktor yang berpeluang
menghasilkan ketidakadilan, hingga upaya aktivitas-aktivitas yang menghasilkan
keadilan. Salah satu usaha mencegah dan mengatasi ketidakadilan sosial adalah
dengan mengidentifikasi ketimpangan sosial, yaitu ketimpangan di ranah-ranah
kehidupan masyarakat, seperti penghasilan; kepemilikan benda; kesehatan;
pendidikan; hukum; gender; dan politik. Dengan demikian, perlu ada aktivitas
pengukuran ketimpangan, termasuk mengukur persepsi yang mengandung
penilaian warga mengenai ketimpangan yang terjadi di masyarakatnya.
Pentingnya identifikasi ketimpangan sosial disadari oleh INFID. Salah satu upaya
INFID mengidentifikasi ketimpangan sosial adalah mengukur persepsi warga
mengenai ketimpangan sosial. Seperti yang dilakukan pada tahun 2015, pada tahun
2016 INFID juga melakukan pengukuran persepsi warga mengenai ketimpangan
sosial yang terjadi pada tahun 2015. Pengukuran persepsi mengenai ketimpangan
sosial merupakan satu bentuk audit dari warga mengenai keadilan sosial yang ada di
masyarakat Indonesia. Hasilnya dapat menjadi bahan pembanding dan pelengkap
pengukuran ketimpangan dalam bentuk lain yang pernah dilakukan di Indonesia,
seperti Gini Ratio, yang umum dijadikan indeks dari ketimpangan distribusi
pendapatan.
Pengukuran ketimpangan sosial ini merupakan bagian tugas INFID sebagai organisasi
masyarakat sipil yang memiliki mandat untuk memantau pembangunan. Berdasarkan
hasil pemantauan, berupaya mengubah kebijakan dan program pembangunan
agar menjadi lebih inklusif, bermanfaat, imparsial, dan tidak diskriminatif. Dalam
menjalankan mandatnya, INFID menaruh perhatian besar terhadap kemiskinan,
ketimpangan penghasilan, ketimpangan kesempatan terutama kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan, serta belum adanya jaminan kesehatan dan jaminan
pensiun. Pengukuran ini merupakan usaha melengkapi bentuk pemantauan
pembangunan Indonesia yang selama ini sudah dilakukan INFID.
Survei Ketimpangan Sosial yang dilakukan INFID bertujuan untuk menggali persepsi
warga mengenai:
1. Ranah/aspek/hal yang berperan menghasilkan ketimpangan sosial di Indonesia
2. Seberapa besar ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia
3. Penyebab ketimpangan sosial di Indonesia
4. Pihak yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial yang
ada di Indonesia
5. Usulan cara mengurangi ketimpangan di Indonesia
6. Ketimpangan gender di Indonesia
7. Perlakukan diskriminatif di Indonesia
1.4. Manfaat Indeks Ketimpangan Sosial
'PUP(FSSZ
BAB 2
TEMUAN-TEMUAN PENGUKURAN
KETIMPANGAN SOSIAL
Bab ini akan memaparkan hasil survei persepsi warga mengenai ketimpangan sosial
di Indonesia. Ketimpangan sosial adalah perbedaan penghasilan, sumber daya,
kekuasaan, dan status di dalam dan di antara masyarakat (Naidoo dan Wills, 2008).
Ketimpangan sosial secara rinci merujuk pada tingkat perbedaan kategori sosial
orang (menurut karakteristik, seperti jenis kelamin, usia, kelas, dan etnis) dalam
hal akses ke berbagai kemaslahatan sosial, seperti tenaga kerja, pasar dan sumber
penghasilan, sistem pendidikan dan kesehatan, serta bentuk-bentuk representasi
dan partisipasi politik.
Sumber ketimpangan jika diurutkan dapat dilihat aspek yang menimbulkan masalah
ketimpangan. Urutan tertinggi berada di atas. Urutan sumber ketimpangan adalah
sebagai berikut.
Berdasarkan data, dapat dilihat ranah yang sering terjadi ketimpangan di masyarakat.
Urutan tertinggi berada di atas. Urutan ranah yang sering terjadi ketimpangan adalah
sebagai berikut.
1. Kesempatan mendapatkan pekerjaan
2. Penghasilan
3. Hukum
4. Pendidikan
5. Harta benda yang dimiliki
6. Rumah/tempat tinggal
7. Kesejahteraan keluarga
8. Keterlibatan dalam politik
9. Lingkungan tempat tinggal
10. Kesehatan
Membaca data di atas, terdapat diskrepansi antara ranah yang dipersepsikan dapat
menimbulkan ketimpangan dengan di ranah tempat ketimpangan aktual terjadi.
Dapat dilihat dari jarak persentase ranah-ranah yang dipersepsikan menimbulkan
ketimpangan dan di ranah-ranah tempat ketimpangan terjadi.
Indonesia jika dibagi lima, yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, dan gugusan
Indonesia bagian Timur, dapat dilihat ketimpangan yang lebih tinggi berada di
Sumatera dan Jawa-Bali bila dibandingkan dengan wilayah lain.
Perbedaan persepsi terhadap penghasilan jika Indonesia dibagi menjadi lima wilayah
akan memetakan ketimpangan lebih spesifik. Jika dilihat persebaran datanya, lima
wilayah ini (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia bagian Timur)
terbagi menjadi dua pola ketimpangan. Gugus Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan,
dan Sulawesi tidak terlalu berbeda jauh ketimpangannya. Rata-rata 50% warga
merasa bahwa penghasilannya sudah sesuai harapan dan sekitar 30% warga merasa
penghasilannya masih berada di bawah harapan. Sementara, Indonesia bagian Timur
berbeda dibandingkan pola sebelumnya, dengan jumlah persepsi penghasilan yang
tidak sesuai harapan lebih rendah (51%) dibandingkan dengan penghasilan yang
sesuai harapan (38%). Hasil ini memberikan gambaran bahwa terdapat ketimpangan
dalam persepsi terhadap penghasilan, dengan implikasi bahwa warga di Indonesia
bagian Timur merasakan ketimpangan lebih besar dibandingkan wilayah Indonesia
lainnya.
Mayoritas responden (60%) menilai penghasilan yang mereka peroleh sesuai dengan
usaha mereka. Artinya, usaha mereka bekerja untuk mendapatkan penghasilan
terkompensasi dengan baik. Sekitar 38% responden merasa bahwa penghasilan
yang mereka dapatkan tidak mencukupi kebutuhan. Mereka menilai penghasilannya
jauh dari harapan dan kecukupan pemenuhan kebutuhan. Persepsi ini relatif merata,
baik di wilayah Indonesia Barat maupun Timur.
Dilihat per wilayah, lebih dari 70% responden di Jawa-Bali, Kalimantan, dan Sulawesi
mempersepsikan bahwa mereka merasakan ketimpangan, setidaknya di satu ranah.
Persentase lebih tinggi diSumatera dan Indonesia Timur, yaitu lebih dari 80%.
Di ranah harta benda yang dimiliki, ketimpangan paling besar dipersepsikan oleh
masyarakat Jawa-Bali (25%), diikuti Sulawesi (22%), Sumatera (20%), Kalimantan
(16%), dan Indonesia Timur (14%).
Grafik 17. Perlakuan Diskriminatif (Bagi Dirinya dan Orang Lain) di Indonesia Barat dan
Timur
Grafik 18. Perlakuan Diskriminatif (Bagi Dirinya dan Orang Lain) di Sumatera, Jawa-Bali,
Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur
Sebagian besar warga (62%) mengakui bahwa jika mereka mengalami masalah
hukum, mereka akan membawanya ke aparat penegak hukum/pengadilan. Namun,
48% menjawab pasti untuk membawa masalah hukum ke aparat penegak hukum.
Grafik 23. Fungsi dan Proses Memperoleh Kartu Identitas dan Akta Kelahiran
Berdasarkan data yang didapatkan, 59% warga menilai bahwa kartu identitas/akta
kelahiran sangat penting fungsinya bagi warga negara. Sekitar 57% warga menilai
bahwa proses mendapatkan kartu identitas/akta kelahiran ini mudah, dan 15% yang
menjawab prosesnya sangat mudah.
4.1. Kesimpulan
1. Pada pengukuran kali ini, diperoleh indeks ketimpangan yang lebih baik
dibandingkan tahun sebelumnya. Indeks ketimpangan sosial pada tahun 2016
adalah 4,4. Artinya, seluruh responden menilai ada ketimpangan di 4 dari 10 ranah
sumber ketimpangan. Indeks ketimpangan 2016 lebih rendah dibandingkan
indeks ketimpangan 2015 yang mencapai angka 5,06. Menurut penilaian warga,
secara keseluruhan pada 10 ranah yang dinilai di tahun 2015 terjadi penurunan
ketimpangan sosial.
2. Secara keseluruhan, 77% responden (dari total sampel 2100) mempersepsikan
adanya ketimpangan, setidaknya di satu ranah. Bisa dikatakan, 7 dari 10 warga
Indonesia mempersepsi adanya ketimpangan.
3. Derajat ketimpangannya tergolong moderat, memiliki rentang sebesar 14-
28% partisipan menilai setiap ranah timpang-sangat timpang. Angka ini
mengindikasikan peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu.
4. Penghasilan dirasakan oleh warga sebagai ranah yang paling timpang dan paling
besar peranannya dalam menghasilkan ketimpangan sosial.
5. Persepsi pengalaman diskriminasi lebih tinggi di Indonesia bagian Timur dan
Sumatera, bila dibandingkan dengan rata-rata (seluruh Indonesia). Terdapat tiga
aspek yang rentan terhadap diskriminasi, yaitu harta benda, kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan, dan penghasilan.
6. Persepsi ketimpangan gender lebih tinggi di wilayah Indonesia bagian Timur
dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian Barat.
7. Sebagian besar masyarakat (56%) tidak mengetahui bahwa negara menyediakan
bantuan hukum gratis bagi rakyat miskin, namun hanya 48% yang menjawab
pasti membawa masalah hukum tersebut ke aparat penegak hukum.
4.2. Rekomendasi
1. Mengingat kesenjangan yang paling dirasakan warga adalah ketimpangan
penghasilan, diperlukan program sosial yang dapat mengatasi ketimpangan.
Acemoglu, Daron, and James A Robinson. 2012. Why Nations Fail: The Origins of
Power, Prosperity and Poverty. 1st ed. New York: Crown.
Merkel, Wolfgang (2001): The Third Ways of Social Democracy, in: Cuperus, Rene/
Duffek, Karl/Kandell, Johannes (Eds.): European Social Democracy
Facing the Twin Revolution of Globalisation and the Knowledge Society,
Amsterdam/Berlin/Vienna: 27-62.
Naidoo, Jenny and Wills, Jane. 2008. Health Studies: An Introduction. Basingstoke:
Palgrave.
Sen, Amartya (1982). Choice, Welfare, and Measurement. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Turner, Bryan (1986) Equality. Chichester, and Tavistock, London: Ellis Horwood.
Kerangka Teoretik
1. Ketimpangan Sosial
Ketimpangan sosial didefinisikan sebagai ketidakmerataan distribusi sumber
daya dalam masyarakat. Konsep ketimpangan sosial dikembangkan untuk dapat
memberikan gambaran perbedaan antara pendapatan rata-rata dengan yang
didapatkan orang miskin dan kaya atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Konsep ketimpangan sosial dapat mengenalitingkat kebaikan warga negara yang
berbeda mendistribusikan atau berbagi pendapatan yang mereka peroleh.
Metode
1. Pendekatan
Secara umum, survei ini akan mengadopsi perspektif keadilan sosial sebagaimana
disusun dalam Indeks Keadilan Sosial yang disusun Wolgang Merkel/Bertlleman
Stiftung. Tetapi softwareitu disadur dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
Indonesia dan metode survei. Metode itu antara lain mengukur dan menilai kebijakan
mengatasi kemiskinan, ketimpangan, kinerja pelayanan kesehatan, pasar kerja, dan
sebagainya.
2. Waktu Pelaksanaan
Pengukuran dilaksanakan selama tiga bulan dengan perincian, satu bulan persiapan,
satu bulan pengambilan data lapangan, dan satu bulan pengolahan data serta
pembuatan laporan.
3. Permasalahan
Indikator ketimpangan sosial, antara lain.
1. Banyaknya ranah yang menjadi sumber ketimpangan sosial. Dalam pengukuran
ini sumber ketimpangan sosial yang dinilai warga mencakuppenghasilan; harta
benda yang dimiliki; kesejahteraan keluarga; pendidikan; pekerjaan; rumah/
tempat tinggal; lingkungan tempat tinggal; hukum; kesehatan; dan aktivitas
politik.
2. Penilaian warga mengenai seberapa jauh terjadi ketimpangan di setiap ranah
yang menjadi sumber ketimpangan sosial.
Selain hendak menggali sumber dan seberapa jauh ketimpangan sosial terjadi
menurut warga, dalam pengukuran ini juga digali persepsi warga mengenai
penyebab ketimpangan sosial. Di sini digali juga persepsi warga tentang pihak yang
semestinya bertanggungjawab atas ketimpangan sosial dan cara untuk mengatasi
ketimpangan sosial. Untuk melengkapi pemahaman mengenai ketimpangan sosial,
4. Metode Riset
Pengukuran Ketimpangan Sosial 2015 termasuk dalam jenis riset kuantitatif. Metode
riset yang digunakan adalah metode kuantitatif yang mengandalkan peroleh
data pada wawancara, observasi, dan kuesioner. Data yang diperoleh adalah data
kuantitatif atau data yang diberi kode angka berdasarkan skala ordinal dan interval
sehingga dapat dianalisis menggunakan perhitungan matematik.