Você está na página 1de 3

ALIRAN HUKUM MODERN

I. Aliran Legal Positivism


Aliran legal positivism adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan
bahwa hukum satu-satunya adalah hukum positif. Aliran ini hanya memandang hukum
sebagai norma semata. Tidak ada norma-norma hukum (keadilan) di atas batas hukum positif
dan hukum positif hanyalah Undang-undang.
Aliran legal positivism disebut juga aliran Rechtspositivisme yang mengedepankan
ajran-ajaran hukum materialistis. Aliran ini sebenarnya berinduk pada aliran filsafat umum
positivism. Suatu aliran dalam ilmu hukum yang beranggapan bahwa hukum adalah Undang-
Undang (recht is wet) adalah aliran legisme. Tidak ada hukum diluar Undang-Undang. Satu-
satunya sumber hukum ialah Undang-Undang (de wet als enige rechtsbom).
Legisme yang juga terkenal dengan nama positivism perundang-undangan. Kaum
kanonist (orang yang menyelidiki hukum gereja) dan kaum legist (mereka yang mempelajari
hukum Romawi) mempunyai pendirian bahwa hukum kebiasaan hanya mengikat, jika
undang-undang menyebutnya.
Perkembangan pikiran rasionalis, teori tersebut dapat diterima serta mendapat banyak
pengikut, karena ajaran legisme pada dasarnya dapat diterima akal, antara lain:
a. Hukum yang ditentukan dalam Undang-undang produk/karya badan legislative karena itu,
hanya peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi hukum.
b. Hukum kebiasaan tidak dapat diterima sebagai hukum yang sungguh-sungguh kaena sifat
hukum kebiasaan berbeda-beda menurut tempat dan waktu, sehingga tidak cocok dengan
faham Hukum Alam, karena sifat hukum alam adalah universal dan berlaku abadi, tidak
tergantung pada waktu dan tempat.
Anggapan legisme cocok dengan ajaran Social Contract atau ajaran-ajaran
perjanjian masyarakat dan sesuai juga dengan teori Montesquieu, Trias Politica yang
mengajarkan bahwa dalam rangka pemisahan kekuasaan, tugas pembentukan hukum adalah
semata-mata hak luar biasa dari badan pembentuk Undang-undang. Oleh karena itu, norma
baru merupakan norma hukum, apabila norma tersebut dibuat dan ditentukan oleh badan
kenegaraan yang diserahi tugas dan kekuasaan legislatif.

II. Aliran Positivisme


Aguste Comte sebagai pelopor aliran positivism ingin menerapkan hukum alam dalam
kehidupan masyarakat. Ia ingin menyusun metode untuk ilmu kemasyarakatan dan ilmu
pengetahuan alam. Aliran yang ingin memakai metode ilmu dan peradaban manusia
disebut naturalisme. Ajaran Comte membagi tiga masa atau tiga tingkat perkembangan
pikiran manusia, antara lain:
a. Masa/tingkat religi
Manusia belum banyak berpikir sendiri, masih menyandarkan kepada kemauan Tuhan
yang terdapat dalam kitab-kitab suci.
b. Masa/tingkat metafisika
Manusia sudah mulai dapat berpikir sendiri dan sudah mampu mencari penjelasan
sendiri namun sifatnya masih abstrak/spekulatif.
c. Masa/tingkat positif
Manusia mengakui bahwa yang penting adalah fakta/kenyataan. Pada fase logika
masyarakat yang dapat menerima bukan sekedar tataran teoritis.
Positivisme menolak berpikir abstrak, dengan mengedepankan hal-hal yang transedental.
Aliran Hukum Positif menolak ajaran Hukum Alam karena sifatnya yang spekulatif dan
abstrak. Menurut hukum positif, spekulatif abstraktif harus dihindari, yang nampak bukan
status naturalis, status civilis, leges fundamentalis, pactum unionis, pactum subjektionis,
semua tidak ada hanya fiktif belaka. Bagi hukum positif semuanya harus dihubungkan
dengan pengalaman manusia.

III. Pengertian Positivisme


Prof. H.L.A. Hart memberikan arti tentang pengertian positivism dengan ciri-ciri yang
dikenali dalam ilmu hukum dewasa, yaitu:
a. Hukum adalah perintah dari manusia
b. Tidak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan moral atau hukum sebagaimana
yang berlaku dan hukum yang seharusnya. (law as it is and law as ought to be).
c. Analisis konsepsi hukum:
- Mempunyai arti penting
- Harus dipisahkan dengan penyelidikan
- Historis yang mengedepankan sebab musabab dan sumber-sumber hukum
- Melepaskan pula penyelidikan sosiologis tentang hubungan hukum dengan gejala
sosial lainnya
- Penilaian hukum secara kritis, baik yang didasarkan pada moral, tujuan sosial,
fungsi hukum dan lain-lain.
d. Sistem hukum merupakan sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed at
logical system) didalam ketentuan-ketentuan hukum yang benar serta dapat diperoleh
dengan pendekatan logika atas peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan
sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran
moral.
e. Pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai kenyataan yang
ada, perlu ada pembuktian lewat argumentasi rasional atau percobaan. (non
cognitivism in ethics)

Menurut Austin, hukum positif atau hukum yang tepat ad alah hkum yang mengandung
unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Suatu peraturan yang tidak
memenuhi keempat unsur tersebut bukanlah positive law malinkan positive morality.

IV. Aliran Wina


Salah satu cabang mazhab Rechts Positivism (legal positivism) yang beranggapan bahwa
hukum harus dibersihkan dari unsur-unsur/factor-faktor yang bersifat non yuridis, etis dan
sosiologis. Tokoh utama mazhab Wina adalah Hans Kelsen, ahli hukum Austria. Kelsen
beranggapan bahwa suatu sistem hukum sebagaik suatu sistm pertanggaan dari norma-
norma di mana suatu norma hukum tertentu akan dicari sumber asalnya oada norma yang
lebih tinggi derajatnya. Norma yang merupakan puncak dari sistem pertanggaan tersebut
dinamakan sebagai norma dasar atau grundnorm yang hipotesis. Menurut Kelsen,
hukum itu secara berangsur-angsur dan bertangga seperti bentuk piramida (stuffen), mulai
dari norma hukum yang tertinggi derajatnya yang bersifat konkrit, khusus
(individualized) dan bersifat pelaksanaan. Norma hukum yang lebih rendah derajatnya
mendapat legalitas (daya berlaku) dari norma hukum yang derajatnya lebih tinggi, dimana
setiap tingkatan sekaligus merupakan penciptaan hukum baru dan pelaksanaan dari
hukum yang lebih tingi tersebut (create and apply).

Você também pode gostar