Você está na página 1de 7

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


JAKARTA

GREEN SUKUK
ALTERNATIF PEMBIAYAAN
INFRASTRUKTUR PERTANIAN

Disusun Oleh:
Galu Bernie Aprian
NPM: 1401160105
7B Reguler / 15

Dosen Pengampu:
Amanudin Djajadiwirja, Dipl. Df.

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Seminar Keuangan Publik Program Diploma IV Keuangan
Spesialisasi Akuntansi Reguler
Semester VII T.A 2016/2017
ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan negara agraris karena tanahnya yang

subur. Peran bidang pertanian dalam perekonomian sangatlah besar baik itu untuk produk

domestik bruto maupun penyerap tenaga kerja terbanyak. Prioritas pembangunan di bidang

kedaulatan pangan yang merupakan salah satu program nawacita dan sejalan dengan tema

RKP. Namun hal itu tidak sejalan dengan banyaknya infrastruktur pertanian yang rusak

dikarenakan kurangnya pendanaan dari pemerintah. Untuk membiayai hal tersebut,

alternatif pembiayaan yang bisa pemerintah adalah green sukuk. Green Sukuk merupakan

pembiayaan infrastruktur dengan dasar penerbitan (underlying asset) harus memenuhi

kriteria green infrastructure yang berlandaskan hukum syariah. Salah satu proyek yang

dikategorikan green infrastructure adalah peningkatan ketahanan pangan. Melalui paper ini

akan diuraikan peluang, tantangan, dan action plan yang bisa dilakukan pemerintah.

Kata Kunci: ketahanan pangan, infrastruktur pertanian, green sukuk, green infrastructure.

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terkenal dengan julukan negara agraris, hal

itu tidak terlepas dari kesuburan tanahnya. Peran bidang pertanian sendiri dalam

perekonomian di Indonesia sampai sangat ini masih sangat besar. Menurut data BPS yang

diolah penulis, kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian dalam arti sempit (di luar

perikanan dan kehutanan) pada tahun 2015, yaitu sekitar 909,57 triliun rupiah atau 10,13 %

dari PDB Nasional yang besarnya 8.976,93 triliun rupiah (berdasarkan harga konstan tahun

2010). Sedangkan sampai dengan triwulan III tahun 2016 PDB pertanian sebesar 743,57

triliun rupiah atau sebesar 10,56 % dari PDB Nasional yang besarnya 7.044,61 triliun rupiah.

Selama periode 2011 2015, pertumbuhan PDB pertanian tersebut berkisar antara 3,31 %

sampai 4,58 % dengan rata-rata sebesar 3,81 %. Selain hal tersebut, sektor pertanian juga

menjadi penyerap tenaga kerja yang sangat banyak. Hal tersebut bisa dilihat pada tahun 2014,

1
penyerapan tenaga kerja sebesar 35,76 juta tenaga kerja atau 30,27 % ( data berasal dari

kegiatan sektor primer, belum termasuk sekunder dan tersier).

Pemerintah terus menerus mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di

Indonesia, yang salah satunya adalah di bidang kedaulatan pangan yang merupakan

implementasi dari agenda ke-7 Nawacita. Hal tersebut pemerintah canangkan dengan

mengalokasikan untuk Kementerian Pertanian sebesar Rp 22,1 triliun untuk perluasan areal

persawahan dan upaya meningkatkan produktivitas dan Kementerian Pekerjaan Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp10,4 triliun untuk membangun/meningkatkan

jaringan irigasi untuk pertanian.

Namun dalam realitasnya banyak kelemahan dalam alokasi dan penggunaan sumber daya

yang terbatas dalam mewujudkan nawacita tersebut. Menurut World Bank (1998),

Weaknessses in resources allocation and use. Weakness that undermine public sector

performance include:, Inadequate funding of operation and maintenance.. Hal

tersebut dapat kita lihat pada infrastruktur pertanian saat ini. Dalam suatu berita elektronik,

Menteri Pertanian, Amran menyebut, sebanyak 52 % dari total sekitar 2 juta hektar lahan

sawah irigasi mengalami kerusakan dan dibiarkan kurang lebih 32 tahun. (dikutip dari

www.detik.com).

Banyaknya infrastruktur pertanian yang kurang memadai, membuat pemerintah harus

memutar otak dalam membiayai belanja tersebut dengan dana yang terbatas. Kementerian

Bappenas memperkirakan hingga akhir tahun 2019 setidaknya diperlukan dana sekitar Rp

5.519 triliun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur. Kebutuhan pembiayaan

yang sangat besar tersebut tentu membutuhkan sumber-sumber pembiayaan. Berangkat dari

hasil tersebut, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan menggunakan instrumen

green sukuk sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur pertanian di Indonesia.

II. METODE

2
Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data-data kualitatif, dengan

tambahan data kuantitatif sebagai penunjang dasar pengambilan kesimpulan penelitian.

Pengambilan kesimpulan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana penulis menarik

kesimpulan berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan. Kesimpulan bersifat subjektif

sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini.

III.PEMBAHASAN

Green Sukuk merupakan suatu instrumen utang yang digunakan secara eksklusif untuk

mendanai investasi dalam penghijauan dengan underlying asset berupa proyek atau program

yang memenuhi kriteria green infrastructure secara syariah. Infrastruktur dari sektor

pertanian seperti pembangunan waduk, irigasi, dan PLTA sangat potensial untuk

dikategorikan sebagai green infrastructure karena menunjang pemanfaatan air agar lebih

berdaya guna (sustainable water management), mengurangi penggunaan air tanah untuk

pertanian, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan non fosil.

Sudah ada beberapa contoh korporasi yang mengunakan green sukuk sebagai

pembiayaan, seperti Solar Guys International and Mitabu, sebuah joint venture of two

Australian solar companies mendapatkan dana dari penerbitan green sukuk dengan total A$

550 juta untuk mendanai proyek pembangkit listrik tenaga surya 250 megawatt di Indonesia

dan pada tahun 2015, Uni Emirat Arab berencana menerbitkan green sukuk untuk proyek

energi yang diperbaharukan.

Setelah membahas tentang green sukuk secara garis besar, sekarang kita akan mengupas

peluang dan tantangan ke depan atas terbitnya green sukuk. Peluang Green Sukuk bagi

pemerintah Indonesia adalah: 1) Meningkatnya permintaan akan kebutuhan efesiensi energi

dan energi bersih dengan bertambahnya populasi; 2) Meningkatnya permintaan akan

pendanaan energi dan investasi pembiayaan untuk mendapatkan efesiensi energi dan energi

bersih; 3) Sebagai instrumen investasi bagi investor muslim dan non-muslim untuk

3
berinvestasi yang dana investasi dapat dimanfaatkan pemerintah untuk membangun

perekonomian bangsa dan menciptakan kesejahteraan masyarakat; 4) Memperkuat kondisi

ekonomi Indonesia dan menahan buble ekonomi karena akan memperbanyak portofolio mata

uang asing selain dollar; 5) Instrumen yang tepat untuk membidik investor di Timur Tengah

ataupun belahan Eropa lainnya yang concern mengenai infrastruktur yang ramah lingkungan

dengan memberikan alternatif pembiayaan sesuai syariat Islam.

Selain peluang yang didapat pemerintah, green sukuk tidak bisa terhindar dari namanya

tantangan dan batasan. Tantangan green sukuk ke depan adalah: 1) Pasar sekunder untuk

green sukuk adalah sangat kecil untuk jumlah kecil investor yang yang berinvestasi pada

sukuk tersebut dan pasar sekunder yang sehat dan kuat; 2) Belum adanya standar atau aturan

dan sistem verifikasi untuk mengukur kinerja dari green sukuk tersebut; 3) Tidak ada

standarisasi fatwa mengenai struktur produk-produk instrumen syariah dari masing-masing

negara dan standar AAOIFI standard belum digunakan sebagai acuan oleh semua negara yang

penduduknya mayoritas Muslim; 4) Green sukuk mungkin mengekspos profile resiko yang

lebih tinggi dikarenakan banyaknya proyek ramah lingkungan yang menggunakan teknologi

baru dalam konstruksi dan operasi penghijauan; 5) Manajemen resiko seperti resiko

operasional dan resiko ketidakpatuhan pada prinsip syariah; 6) Kesulitan meyakinkan

investor bahwa dana sukuk digunakan untuk proyek yang memiliki nilai ekonomi yang telah

diterima dan sesuai dengan standar green sukuk yang kredibel; 7) Kurang pahamnya

masyarakat akan keberadaan sukuk yang mengakibatkan kecenderungan masyarakat

(investor) dalam berinvestasi masih berorientasi pada keuntungan; 8) Kepastian perpajakan

mengenai besarnya pajak yang dikenakan untuk green sukuk.


Agar proyek-proyek yang dibiayai dengan penerbitan Sukuk Negara sesuai dengan

ketentuan syariah dan memenuhi kriteria green infastructure, maka pemerintah dapat

melakukan tahap-tahap atau action plan berikut:

4
1. Pembentukan hukum yang jelas dibuat dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi

institusi keuangan islam maupun investor individu untuk berinvestasi pada instrumen

green sukuk.
2. Identifikasi proyek untuk memastikan bahwa proyek yang akan dilaksanakan sesuai

dengan prioritas pembangunan nasional dan memenuhi kriteria green infrastructure.

Identifikasi ini dapat dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

untuk penerbitan green sukuk di pasar domestik. Sedangkan untuk penerbitan green

sukuk di pasar keuangan internasional memerlukan opini yang dikeluarkan oleh lembaga

lingkungan tingkat internasional seperti the Center for International Climate and

Environmental Research at the University of Oslo (CICERO).


3. Penilaian kelayakan proyek dinilai oleh instansi pemerintah yang berwenang (misal:

Bappenas) atau bekerja sama dengan lembaga independen yang mempunyai keahlian

pada bidangnya serta meminta DSN MUI untuk memberikan opininya untuk kesesuaian

proyek dengan kriteria syariah. Selanjutnya dapat diusulkan untuk dibiayai melalui

penerbitan Sukuk Negara dalam APBN sesuai aturan yang berlaku.


4. Setelah proyek tersebut dianggarkan dalam APBN, maka pemerintah dapat menerbitkan green

sukuk untuk membiayai proyek tersebut dengan mengikuti peraturan yang berlaku.

5. Pelaksanaan proyek dilaksanakan sesuai dengan peraturan terkait, misalnya melalui

proses pelelangan dan penyelesaian proyek sesuai dengan tahap-tahap yang direncanakan.

Demikian halnya penggantian pembiayaan kepada rekanan pemerintah mengikuti aturan

pembiayaan proyek yang telah ada.

6. Monitoring proyek dilaksanakan pada saat proyek dimulai sampai dengan penyelesaian

proyek yang bertujuan untuk memantau kemajuan proyek, kemudian dilaporkan secara

berkala. Kegiatan ini dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang berwenang atau

organisasi independen yang diberi tugas oleh pemerintah. Monitoring dapat dilakukan

sesuai dengan kebutuhan pemerintah.

7. Untuk memastikan bahwa proyek telah berjalan sesuai dengan rencana, termasuk proses

5
pelelangan, pengelolaan keuangan, manfaat maupun dampak dari implementasi proyek

serta kesinambungan proyek maka dilaksanakan kegiatan evaluasi. Kegiatan ini dapat

memberikan masukan (feedback) untuk keberlangsungan proyek di masa yang akan

datang. Evaluasi dilakukan instansi pemerintah yang berwenang atau organisasi

independen yang diberi tugas oleh pemerintah.

IV. Referensi

Bank Negara Malaysia. 2016. Sri & Green Sukuk: Challenge & Prospects.
www.mifc.com/index.php?ch=28&pg=72&ac=162&bb=uploadpdf. Diakses tanggal 07
Januari 2017.

Fatah, Dede Abdul. 2011. Perkembangan Obligasi Syariah (Sukuk) di Indonesia: Analisis
Peluang dan Tantangan. Al-Adalah, Vol. X, No.1, Januari 2011.

Hariyanto, Eri. 2016. Green Sukuk untuk Pembangunan Infrastruktur Pertanian. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko Kementerian Keuangan.

Hariyanto, Eri. 2015. Peluang Penerbitan Green Sukuk. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko Kementerian Keuangan.

Idris, Muhammad. 2017. Separuh Irigasi di RI Dibiarkan Rusak Selama 32 Tahun.


https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3388517/separuh-irigasi-di-ri-
dibiarkan-rusak-selama-32-tahun. Diakses pada tanggal 07 Januari 2007.

Jarkasih, Muhamad, Aam Slamet Rusydiana. 2009. Perkembangan Pasar Sukuk:


Perbandingan Indonesia, Malaysia, dan Dunia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Volume 1, No.2, Desember 2009.

Nota Keuangan Beserta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017.

Você também pode gostar