Você está na página 1de 20

PEREKONOMIAN INDONESIA

TUJUAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAN STRATEGI PENCAPAIANNYA

OLEH :

Made Dewi Gita Puspita Lestari (1506305030)

Ketut Memi Wulandari (1506305032)

Ni Luh Ayounik Mahasabha (1506305057)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2017
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan paper yang mengulas tentang Tujuan
Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Strategi Pencapaiannya,dengan lancar dan tepat pada
waktunya. Penulisan dan penyusunan paper ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perekonomian Indonesia.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam memberikan referensi guna menyelesaikan paper ini. Penulis berharap, dengan membaca
paper ini dapat memberi manfaat baik bagi penulis maupun pembaca untuk menambah wawasan
kita mengenai Tujuan Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Strategi Pencapaiannya. Penulis
memohon maaf karena penulisan paper ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan sumbangsih berupa kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah
yang lebih baik.

Denpasar, Februari 2017

Penulis
Daftar Isi

Tujuan Pembangunan Ekonomi Indonesia


Tujuan Masyarakat Adil
Tujuan Masyarakat Makmur
Masyarakat Indonesia Seutuhnya

Strategi Pembangunan untuk Mencapai Tujuan


Masyarakat Makmur dan Adil
Masyarakat Makmur dengan Adil

2.1. Tujuan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Tujuan mengadakan pembangunan ekonomi di Indonesia dapat ditemukan dalam UUD


1945 pada Pembukaannya yakni, yang pada prinsipnya, adalah untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur, material dan spiritual. Dalam buku Perekonomian Indonesia oleh Ketut
Nehen, dijelaskan bahwa masyarakat adil-makmur material dan spiritual dapat direfleksikan
hanya pada masyarakat adil-makmur. Alasannya adalah bahwa aspek material dan spiritual dari
masyarakat direfleksikan melalui pendapatan (terutama pengeluaran) masyarakat, hal mana juga
menggambarkan masyarakat adil-makmur.

2.1.1. Tujuan Masyarakat Adil

1. Distribusi Pendapatan
Jika diantara tetangga kita terdapat seorang kepala rumah tangga dengan
lima anak dan semua anaknya (laki/perempuan) disekolahkan dan semuanya
diberi warisan tanah yang kurang lebih sama, mungkin kita mengatakan bahwa
kepala rumah tangga tersebut adil kepada semua anaknya. Tetapi dilain pihak,
satu keluarga juga mempunyai lima anak, hanya menyekolahkan anaknya yang
laki-laki sedangkan anak perempuannya tidak sekolah. Tentu kita dapat
mengatakan bahwa keluarga ini kurang adil dibandingkan dengan keluarga yang
disebutkan yang pertama. Kalau demikian halnya, maka kita dapat mengatakan
bahwa keadilan diukur melalui bagaiman kekayaan (pendapatan) didistribusikan
diantara yang berhak. Makin merata pembagiannya makin adil dan sebaliknya
makin timpang pembagiannya makin kurang adil.

2. Mengukur Masyarakat Adil


Para ekonomi berusaha mengukur tingkat keadilan pembagian pendapatan
nasional satu negara dengan menghitung Rasio Gini dan Rasio Kunztes. Rasio
Gini. Perangkat yang paling sering digunakan untuk mengukur derajat
keadilan/ketimpangan pendapatan relatif di suatu negara adalah rasio Gini. Rasio
ini dikenal dengan nama rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) diambil
dari ahli statistik Italia yang merumuskannya pertama kali pada tahun 1912. Rasio
ini dikenal dengan ukuran ketimpangan agregrat yang angkanya berkisar antara
nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Pada
prakteknya, koefisien Gini untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya
tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangakan untuk negara-negara yang
distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara 0,20 hingga
0,35. Gini rasio antara 0,36 samapai 0,49 menunjukan pembagian pendapatan
dengan keadilan yang sedang.
Rasio Kuznets. Rasio ini adalah perbandingan antara jumlah pendapatan
dari 40% individu (rumah tangga) termiskin dengan jumlah pendapatan dari 20%
individu (rumah tangga) terkaya. Rasio ini diberi nama sesuai dengan nama
penganjurnya, yakni nama pemenang hadiah Nobel Simon Kunznets. Cara
menghitungnya adalah pertama-tama kita harus mempunyai pendapatan (per
tahun) dari semua individu (rumah tangga) di Indonesia, katakanlah sejumlah 60
juta rumah tangga. Atur pendapatan per rumah tangga tersebut dari yang paling
rendah sampai rumah tangga yang paling kaya. Kemudian dihitung 40 persen dari
seluruh jumlah rumah tangga di Indonesia (atau 24 juta rumah tangga) yang
termiskin dan beberapa jumlah pendapatan mereka. Katakanlah, sebagai contoh
jumlah pendapatan mereka sebesar 15% dari jumlah seluruh pendapatan pada
tahun bersangkutan. Selanjutnya kita mencari 20% dari seluruh rumah tangga
(atau sejumlah 12 juta rumah tangga) yang terkaya dan hitung jumlah pendapatan
mereka. Sekali kali, sebagai contoh katakanlah jumlah pendapatan mereka sebesar
50 persen dari seluruh pendapatan pada tahun bersangkutan. Dalam hal ini, rasio
Kuznets adalah 15% dibagi 50% = 0,30. Sebenarnya tidak ada kriteria yang pasti
berapa rasio Kuznets untuk kita dapat katakandistribusi pendapatan sangat
timpang, atau sedang, dan relatif baik. Sebagai pegangan mungkin dapat
dikatakan bahwa nilai rasio Kuznets dari 0,20 sampai 0,33 menunjukkan
pembagian yang sangat timpang, 0,34 sampai 0,40 menunjukkan distribusi yang
relatif baik. Distribusi pendapatan dari contoh kita diatas ternyata sangat timpang.

3. Pencapaian Masyarakat Adil di Indonesia


Pemerintah Indonesia telah berusaha memperbaiki keadilan pembagian
pendapatan nasionalnya dengan menjalankan berbagai kebijaksanaan ekonomi.
Sesungguhnya setiap kebijaksanaan ekonomi pemerintah bersifat memperparah
ketimpangan (kalau kebijaksanaan tersebut bersifat lebih menguntungkan kaum
kaya di bandingkan dengan kaum miskin), atau bersifat mengurangi ketimpangan
(kalau kebijaksanaan tersebut bersifat lebih menguntungkan kaum miskin
dibandingkan kaum kaya). Dibawah ini disajikan beberapa kebijakan pemerintah
yang bersifat memperbaiki dan memperburuk kesenjangan distribusi pendapatan
nasional.
1) Undang-undang pokok agrarian tahun 1960. Dalam undang-undang ini
ditentukan batas maksimum pemilikan tanah sawah atau tanah tegalan
atau gabungan dari keduanya. Luas maksimum kepemilikan hanyalah 9
hektar untuk tanah tegalan per keluarga petani dan halnya 7,5 hektar untuk
sawah dan tegalan. Maksud dari pembatasan ini adalah agar tidak terjadi
ketimpangan yang mencolok dalam hal kepemilikan tanah.
2) Pajak penghasilan untuk perorangan dan untuk badan (dari laba). Dari
sejak pemerinthan belanda sampai sekarang ini pajak selalu bersifat
progresif, yakni makin besar pendapatan seseorang (laba satu perusahaan)
makin tinggi persentase pajaknya. Dengan sifat pajak seperti ini
diharapkan distribusi pendapatan antar perorangan (rumah tangga) lebih
menjadi merata.
3) Berbagai kebijaksanaan kredit perbankan yang memihak kepada rakyat
kecil (kaum yang lebih rendah penghasilannya), seperti misalnya kredit
investasi kecil KIK), kredit modal kerja permanen (KMKP), kredit usaha
tani (KUT), kredit usaha kecil (KUK), kredit program bimas padi, bimas
palawija, dan sebaginya yang khusus untuk petani, untuk menyebut
beberapa saja.
4) Berbagai program pengeluaran pemerintah yang lebih memihak kepada
mereka yang berpenghasilan rendah, seperti misalnya pengeluaran
pemerintahan secara besar-besaran untuk membangun dam, waduk dan
saluran irigasi untuk para petani, pengeluran pemerintah untuk kesehatan
dak keluarga berencana dan wajib belajar Sembilan tahun dan sebagainya.
5) Berbagai kebijakan jaringan pengamanan sosial yang dilaksanakan baru-
baru ini yang bersifat khusus untuk menerangi kemiskinan seperti
misalnya beras untuk orang miskin (raskin), jaminan kesehatan
(jamkesmas), bantuan langsung tunai (BLT). PNPM Mandiri
(pemberdayaan masayarakat mandiri untuk kaum miskin), berbagai jenis
subsidi untuk para petani, dan sebagainya.
Kesemua kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan
pembagian pendapatan nasional, atau dengan kata lain untuk mencapai pembagian
pendapatan yang adil di antara masyarakat di Indonesia. Namun sayang sekali
bahwa kebijaksanaan pemerintah yang tujuannya untuk orang miskin malah
sebagian besar dinikmati oleh golongan yang lebih kaya yang tidak dimaksudkan
program tersebut. Sebagai contoh, misalnya banyak sekali petani kaya yang dapat
terhindar dari ketentuan pada Undang-Undang Pokok Agraria, banyak kaum kaya
dan pengusaha yang dapat dengan liciknya bebas dari aturan pajak, tidak sedikit
kredit yang dimaksudkan untuk orang miskin diterima oleh masyarakat yang lebih
kaya, pengeluaran untuk irigasi dan pendidikan lebih banyak dinikmati oleh orang
kaya, dan terakhir raskin, BLT, dan jamkesmas dinikmati oleh orang yang tidak
berhak.
Disamping kebijaksanaan tersebut diatas yang dimaksudkan untuk
mengurangi ketimpangan pembagian pendapatan nasional, ternyata pemerintah
juga melaksanakan kebijaksanaan yang mengutamakan orang kaya, atau membuat
modal menjadi lebih murah dari semestinya dan membuat tenaga kerja relatif
mahal, sehingga kaum pengusaha dan investor lebih memilih teknologi yang
padat modal, memerlukan lebih sedikit tenaga kerja yang murahnya memperburuk
distribusi pendapatan nasional. Diantara kebijaksanaan yang ternyata lebih
memihak kepada kaum kaya atau menyebabkan kaum modal relatif murah, antar
lain adalah:
1) Undang-undang Penanaman Modal Asing, yang memberi fasilitas kepada
investor asing (investor besar) untuk menanamkan modalnya dalam
negeri.
2) Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri,yang menyediakan
fasilitas kredit kepada investor besar dalam negeri untuk lebih aktif dalam
pembangunan ekonomi.
3) Kredit dan Bantuan Likiuditas Bank Indonesia, yang memberikan fasilitas
kredit dengan bunga yang relatif rendah atau malah tanpa bunga kepada
bank nasional yang mengalami kesulitan likuiditas.
4) Tingkat bunga kredit yang relatif lebih rendah untuk investasi jangka
panjang dibandingkan dengan tingkat bunga untuk kredit komsumtif.
5) Pembebasan bea masuk bagi investor yang memasukkan barang modal
dari luar negeri.
6) Nilai rupiah yang dibuat terlalu mahal (over valued currency) oleh
pemerintah terhadap mata uang asing (terutama US$) sehingga pemerintah
berkali-kali melaksanakan kebijaksanaan devaluasi nilai rupiah.
Dengan mengingat kekuatan-kekuatan yang memperkecil dan
memperbesar ketimpangan pembagian pendapatan diatas,maka di peroleh ukuran
distribusi pendapatan nasional yang diukur dengan Gini Rasio (1965-2007) dan
rasio Kuznets (2002-2007) sebagai dibawah ini.
Tabel2.1: Gini Rasio di Indonesia,1965-2007
Tahun Gini Rasio Tahun Gini Rasio Tahun Gini Rasio
1965 0,35 1986 0,33 1997 0,37
1970 0,35 1987 0,32 2002 0,33
1976 0,34 1990 0,32 2003 0,32
1978 0,40 1993 0,34 2004 0,32
1980 0,34 1994 0,34 2005 0,36
1981 0,33 1995 0,35 2006 0,33
1984 0,33 1996 0,36 2007 0,37
Sumber:1965-1997:BPS seperti pada tahun 20011:table 3.3
2002-2007:BPS seperti pada BI LPI 2007

Tabel 2.2: Persentase Pendapatan yang Diterima Oleh Berbagai Kelompok penduduk di
Indonesia, 2002-2007
Kelompok Penduduk 2002 2003 2004 2005 2006 2007
(1).40%Termiskin 20,92
(2).4o%Menengah 38,89
(3).20%Terkaya 42,19
Rasio Kuznets(3):(1) 2,07 2.06 2,03 2,38 2,13 2,35
(1):(3) 0,45 0,49 0,49 0,42 0,47 0,43
Sumber: BPS seperti pada BI LPI 2007

Meskipun tidak diperoleh data mengenai ketimpangan distribusi


pendapatan Indonesia untuk seluruh periode. Namun dapat diduga bahwa
distribusi pendapatan selama pemerintahan sukarno mungkin mempunyai nilai
gini yang relatif lebih besar dari pada koefisien Gini pada pemerintahan Sukarno.
Sejak tahun 1965 dan setiap tahun setelah itu koefisien Gini tercatat sekitar 0,35,
kecuali pada tahun 1978. Pada waktu mana koefisien Gini tercatat paling tinggi
sebesar 0,40, untuk kemudian menurun lagi mencapai 0,32 pada tahun 1989-90.
Namun nilai tersebut meningkat lagi pada tahun-tahun krisis ekonomi pada tahun
1997-98 mencapai 0,37. Secara umum dapat dikatakan bahwa disribusi
pendapatan yang ditunjukan oleh Gini Rasio di Indonesia termaksud pada
kategori ketimpangan sedang. Sedangkan untuk tahun 2002-2007 rasio Kuznets
menunjukan tidaklah terjadi ketimpangan yang mencolok, rasio dari bagian yang
diterima oleh 20 persen penduduk terkaya hanyalah sekitar dua kali dan
maksimum hanya 2,3 kali dari bagian yang diterima oleh 40 persen penduduk
termiskin.

2.1.2. Tujuan Masyarakat Makmur

1. Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi pada umumnya adalah agar
pendapatan nasional tumbuh untuk memperoleh tingkat kemakmuran yang lebih
tinggi. Kalau demikian halnya, ukuran mengenai kemakmuran dapat dikatakan
sebagai tingkat pertumbuhan ekonomi.
2. Elemen Pertumbuhan Ekonomi
Terdapat tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari
setiap bangsa. Ketiga faktor tersebut adalah:
1) Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk investasi baru yang
ditambahkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya
manusia. Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan di
tabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output
dan pendapatan di kemudian hari.
2) Pertumbuhan penduduk, yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah
angkatan kerja.
Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja (yang terjadi beberapa
tahun kemudian setelah pertumbuhan penduduk). Secara tradisonal
dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan
ekonomi .Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah
jumlah tenaga produktif, sedangakan pertumbuhan penduduk yang lebih
besar berarti meningkatkan pasar domestiknya. Meskipun demikian kita
masih mempertanyakan apakah begitu cepatnya pertumbuhan penawaran
angkatan kerja sehingga terjadi kelebihan tenaga kerja benar-benar akan
memberikan dampak positif atau justru negatif terhadap pembangunan
ekonominya. Sebenarnya hal tersebut (positif atau negatifnya
pertambahan penduduk bagi upaya pembangunan ekonomi). Sepenuhnya
tergantung pada kemampuan sistem perekonomian yang bersangkutan
untuk menyerap dan secara produktif memanfaatkan tambahan angkatan
kerja tersebut.
3) Kemajuan teknologi
Kemajuan teknologi bagi kebanyakan ekonomi dan kemajuan
teknologi (technological progress) merupakan sumber pertumbuhan
ekonomi yang paling penting. Dalam pengertiannya yang paling
sederhana, kemajuan teknologi terjadi karena ditemukannya cara baru
dalam menangani pekerjaan-pekerjaan tradisonal. Ada tiga jenis kemajuan
teknologi yang bersifat netral (neutral technologi progress), Kemajuan
teknologi yang hemat tenaga kerja (labor-saving technological progress),
dan kemajuan teknologi yang hemat modal (capital-technological
progress).
Kemajuan teknologi yang bersifat netral (neutral technological
progress) terjadi apabila teknologi tersebut memungkinkan kita mencapai
tingkat produksi yang lebih tinggi dengan menggunakan jumlah dan
kombinasi faktor input yang sama. Inovasi yang sederhana, seperti
pembagian kerja (semacam spesialisasi) yang mendorong peningkatan
output dan kenaikan konsumsi masyarakat
Kemajuan teknologi dapat menghemat pemakaian modal atau
tenaga kerja. Sedangkan kemajuan teknologi yang hemat modal (capital-
saving technological progress) merupakan fenomena relative langka. Hal
ini dikarenakan hampir semua penelitian dalam dunia ilmu pengetahuan
dan teknologi dilakukan di negara-negara maju dengan tujuan utama
menghemat tenaga kerja,dan bukan untuk menghemat modal. Modal
merupakan sesuatu yang paling diperlukan. Kemajuan teknologi ini akan
menghasilkan metode produksi padat karya yang lebih.
Kemajuan teknologi dapat juga meningkatkan modal atau tenaga
kerja. Kemajuan teknologi yang meningkat kan pekerja (labor-augmenting
technological progress) terjadi apabila penerapan teknologi tersebut
mampu meningkatkan mutu atau keterampilan angkatan kerja secara
umum. Misalnya, dengan menggunakan videotape, televisi, dan media
komunikasi elektronik lainnya di dalam kelas, proses belajar bisa lebih
lancar sehingga tingkat penyerapan bahan pelajaran juga lebih baik.
Demikian pula halnya dengan kemajuan teknologi yang meningkatkan
modal (capital-augmenting technological progress). Jenis kemajuan ini
terjadi jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita
memanfaatkan barang modal yang secara lebih produktif. Misalnya
penggantian bajak kayu dengan bajak baja dalam produksi pertanian.

3. Pertumbuhan Ekonomi (Kurva Kemungkinan Produksi)


Dengan bekal pemahaman awal perihal dua komponen pertama dan utama
dari pertumbuhan ekonomi itu, kita dapat mempelajari interaksi yang berlangsung
antara kedua komponen utama tersebut melalui kurva kemungkinan produksi
guna memahami peningkatan potensia total output dari suatu perekonomian. Pada
tingkat penguasaan teknologi tertentu dan jumlah sumber daya manusia dan
modal fisik yang tertentu pula, kurva kemungkinan produksi memperlihatkan
jumlah output maksimum yang bisa dicapai berupa kombinasi dua jenis
komoditi, misalnya saja beras (padat karya) dan radio (padat modal atau
teknologi), seandainya segenap sumber daya yang tersedia dalam perekonomian
yang bersangkutan benar-benar digunakan secara penuh dan efisien. Peraga satu
berikut memperlihatkan kurva-kurva kemungkinan produksi beras dan radio.
Jika kita andaikan teknologi produksi sama sekali tidak mengalami
perubahan, kuantitas sumber daya manusia dan fisik akan meningkatkan dua kali
lipat sebagai hasil dari investasi pada pengadaan sumber daya yang baru, seperti
menambah luas tanah, menambah modal,dan juga tenaga kerja. Pada peraga 1
terlihat bahwa peningkatan kualitas sumber daya sampai dua kali lipat akan
menggeser kurva kemungkinan produksi keluar secara sejajar, dari p-p ke p-p.
Hal ini jelas menunjukan bahwa perekonomian atau negara yang bersangkutan
sekarang dapat memproduksi lebih banyak radio dan beras.

Karena sejak semula bisa diasumsiakan bahwa perekonomian tersebut


hanya memproduksi dua jenis barang saja,maka jelas peningkatan produksi beras
dan radio langsung menambah total PNB (yakni jumlah seluruh nilai barang dan
jasa yang diproduksi). Berkat kenaikan produksi itu,PNB Negara tersebut
meningkat lebih tinggi dari sebelumnya. Dalam kalimat ini, negara atau
perekonomian tadi tengah mengalami proses pertumbuhan ekonomi.
Perhatikan bahwa walaupun Negara tersebut beroperasi di bawah
kapasitas sumber daya yang ada pada titik X pada peraga diatas, kenaikan sumber
daya prodiktif tetap dapat meningkatkatkan output pada titik X, meskipun disitu
terdapat pengangguran dan penggunaan tanah dan modal dibawah kapasitas
maksimal. Satu hal yang perlu dicatat disini adalah penambahan sumber daya
belum tentu akan meningkatkan output (menciptakan pertumbuhan ekonomi).
Selain itu pertumbuhan sumber daya ternyata tidak selalu merupakan syarat
mutlak bagi adanya pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, mengingat
pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara lebih baik ternyata juga dapat
meningkatkan output, seperti terlihat dari pergeseran dari titik X ke X pada
peraga diatas. Meskipun demikian, dalam jangka panjang, peningkatan kualitas
sumber daya yang ada serta investasi baru yang memperbanyak kuantitas sumber
daya jelas merupakan syarat mutlak untuk mempercepat pertumbuhan output
nasional.
4. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sejalan dengan pendapat kebanyakan ekonom bahwa kemajuan teknologi
merupakan sumber pertumbuhan yang paling penting, Presiden Sukarno pada
sekitar tahun 1960 menyarankan agar bangsa Indonesia loncat jauh (frog jump)
dalam pemilihan teknologi. Artinya adalah bahwa kita sebaiknya memakai
teknologi yang sudah using di negara maju, maka jumlah produksi nasional akan
meloncat jauh dan mungkin akan mampu mendekati produksi nasional negara-
negara maju. Sehubungan dengan anjuran ini, Indonesia tidak memperkenankan
impor barang modal bekas. Yang diimpor mestinya hanya mesin-mesin terbaru
yang paling canggih untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Kemudian sekitar
1970an telah diperkenankan teknologi penyosokan beras untuk mengganti
teknologi untuk menumbuk beras, ani-ani di ganti dengan sabit, bajak dengan
traktor dan banyak lagi kemajuan teknologi yang diterapkan disektor pertanian.
Demikian juga halnya disektor lain, penerapan teknologi baru di sektor industry
dengan memakai mesin pemintalan otomatis sebagai pengganti ATBM,
pemakaian komputer dan sebagainya. Namun barangkali dewasa ini, pintu impor
barang bekas sudah dibuka lagi, seperti misalnya impor pesawat terbang bekas
dan modal lainnya.
Akibat dari kebijakan teknologi pada bidang produksi dan pemasaran barang
dan jasa di Indonesia diperoleh tingkat pertumbuhan Pendapatan Nasional rata-
rata per tahun seperti pada table berikut.
Tabel 2.3: Pertumbuhan Pendapatan Nasional di Indonesia
Periode Persen / Tahun Persen/tahun Tahun Persen
(Tahun) Tahun
1953-1959 3,2 1993 6,46 2000 4,8
1960-1965 2,0 1994 7,34 .......... ..........
1965-1971 6,o 1995 8,2 2004 5,0
1971-1977 7,9 1996 7,8 2005 5,7
.......... .......... 1997 4,7 2006 5,5
1991 6,91 1998 -13,3 2007 6,3
1992 6,43 1999 0,3

Sumber: 1953-1977 A.Booth dan P. Mc Cawley,1979:5


1991-1994:BPS seperti pada Hg.Suseno T.Widodo 1997:Tabel 2.5
1995-2000:BPS seperti pada Tambunan,2001:Tabel 2.2
2004-2007:BPS seperti pada BI LPI 2007 Tabel 2.7

Tingkat pertumbuhan ekonomi ini dianggap sebagai tingkat perkembangan


kemakmuran masyarakat Indonesia. Selama periode pemerintahan Orde Baru
tingkat pertumbuhan ekonomi sangat rendah, yakni 3 persen untuk periode 1960-
1965. Pada masa pemerintahan Suharto, tingkat partumbuhan ekonomi relatif
tinggi, 6 persen, 7 persen, malah pernah mencapai 8 persen per tahun, untuk
kemudian pada akhir masa jabatannya, 1997, hanya mencapai tingkat
pertumbuhan sebesar 4,7 persen, dan pada tahun krisis ekonomi, 1998 diperoleh
pertumbuhan yang negatif sebesar 13,3 persen. Pada masa reformasi dan
demokrasi, pertumbuhan mulai merangkak dari 0,3, persen pada tahun 1999, dan
kemudian mencapai sekitar 4-6 persen sampai sekarang ini.

2.1.3 Membangun Masyarakat Indonesia Seutuhnya


Jika kita meninjau lebih teliti apa yang sesungguhnya menjadi tujuan
pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam hal ini mungkin kita teringat akan masyarakat
adil makmur, material, dan spiritual dan tujuan ini bukanlah tujuan yang terpisah,
masyarakat makmur dahulu, kemudian masyarakat adil dan pemenuhan kebutuhan
material dahulu, kemudian setelah itu baru kemudian kebutuhan spiritual. Dengan kata
lain tujuan pembangunan ekonomi tersebut merupakan satu kesatuan bulat yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tujuan tersebut dapat juga dikatakan untuk
membangun masyarakat Indonesia seutuhnya.

1. Tujuan Inti Pembangunan


Tujuan pembangunan dalam arti seluas-luasnya adalah membangun manusia
(masyarakat) Indonesia seutuhnya, ini berarti sebagai suatu proses yang
berkesinambungan atas satu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang
lebih baik dan lebih manusiawi. Menurut para ahli ( Profesor Gaulet dan tokoh-tokoh
lainnya) paling tidak ada tiga komponen dasar untuk memahami kehidupan yang lebih
baik dan lebih manusiawi. Ketiga nilai inti tersebut adalah :
a. Kecukupan (subtenance)
Yang dimaksud kecukupan disini bukan hanya menyangkut
makanan, melainkan mewakili semua hal yang merupakan kebutuhan
dasar manusiasecara fisik. Kebutuhan dasar ini meliputi pangan, sandang,
dan papan, kesehatan, dan keamanan. Fungsi dasar dari semua kegiatan
ekonomi, pada hakikatnya, adalah untuk menghindari segala kesengsaraan
dan ketidakberdayaan yang diakibatkan oleh kekurangan pangan,
sandang, papan, kesehatan, dan keamanan.
Atas dasar itulah, kita bisa menyatakan bahwa keberhasilan
pembangunan ekonomi merupakan prasyarat bagi membaiknya kualitas
kehidupan. Tanpa adanya kemajuan ekonomi secara berkesinambungan,
maka realisasi potensi manusia, baik di tingkat individu maupun
masyarakat tidak mungkin berlangsung. Dengan demikian, kenaikan
pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan absolut, perluasan
lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan, merupakan hal-hal yang
harus ada bagi pembangunan, tetapi hal ini saja belum cukup.
b. Harga Diri ( Self Esteem) : manusia menjadi seutuhnya.
Sifat dan bentuk dari harga diri ini berbeda dari satu masyarakat ke
masyarakat yang lain dari satu budaya ke budaya yang lain. Tetapi,
dengan adanya penyebaran nilai-nilai modern yang bersumber dari
negara-negara maju telah mengakibatkan kejutan dan kebingungan
budaya di banyak negara. Kontak dengan masyarakat lain yang secara
ekonomis atau teknologi lebih maju acap kali mengakibatkan definisi dan
batasan mengenai baik-buruk atau benar salah menjadi kabur.
Kemakmuran material lambat laun dianggap sebagai satu ukuran
kelayakan yang universal, dinobatkan menjadi landasan penilaian atas
segala sesuatu. Selanjutnya, negara yang dianggap hebat adalah yang
memiliki kemajuan ekonomi dan teknologi modern, sehingga masyarakat
negara-negara berkembang berlomba-lomba mengejarnya dan tanpa
disadari mereka telah kehilangan jati dirinya.
Jika kesejahteraan ekonomi terlanjur diyakini sebagai syarat
mutlak untuk mencapai kehidupan yang serba lebih baik, maka mereka
yang terbelakang selamanya akan merasa sengsara dan tidak berharga.
Dewasa ini, negara-negara berkembang tengah giat mengupayakan
pembangunan untuk meraih kembali harga diri yang sempat tercampakkan
akibat adanya atribut keterbelakangan. Pembangunan itu harus
diabsahkan sebagai suatu tujuan karena hal ini merupakan kunci untuk
meraih sesuatu yang sangat penting, dan itu bukanlah kekayaan melainkan
penghargaan.
c. Kebebasan (Freedom) dari sifat menghamba.
Kemerdekaan (kebebasan) manusia di sini diartikan sebagai
kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh
pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini. Sekali saja kita
menjadi budak materi, maka sederet kecenderungan negara mulai dari
sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, sikap mementingkan diri
sendiri kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain, dan
seterusnya, akan meracuni diri kita.
Kebebasan disini juga dapat diartikan sebagai kebebasan terhadap
ajaran-ajaran yang diogmatis. Jika kita memiliki kebebasan, itu berarti
untuk selamanya kita mampu berfikir jernih dan menilai segala sesuatu
atas dasar keyakinan, pikiran sehat, dan hati nurani kita sendiri.
Kebebasan juga meliputi kemampuan indivudial atau masyarakat untuk
memilih satu atau sebagian dari sekian banyak pilihan yang tersedia.
Dengan adanya kebebasan, kita tidak semata-mata dipilih, melainkan
kitalah yang memilih.
Konsep kebebasan manusia juga melingkupi segenap komponen yang
terkandung di dalam konsep kebebasan politik, termasuk juga keamanan
diri pribadi, kepastian hukum, kemerdekaan berkespresi, partisipasi
politik, dan pemerataan kesempatan. Perlu dicatat bahwa sebagian kisah
sukses dibidang ekonomi selama dekade 1970an dan 1980an yang diraih
banyak negara termasuk Indonesia ternyata secara umum tidak dibarengi
dengan prestasi yang setara dalam indeks kebebasan manusia (human
freedom index) yang disusun oleh Program Pembangunan PBB (United
Nations Development Program) pada tahun 1991.

2. Indeks Pembangunan Manusia


Program Pembangunan PBB (UNDP) telah berusaha menyusun alat pengukuran
holistis atas tingkat kehidupan manusia yang disebut Indeks Pembangunan Manusia
(IPM= Human Development Index,HDI). Indeks ini dapat dipergunakan untuk
menganalisis status pembangunan sosial ekonomi secara sistematis dan komprehensif
baik untuk negara maju maupun berkembang. IPM mencoba memeringkat semua negara
dari skala nol (tingkat pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat
pembangunan manusia yang tertinggi) berdasarkan tiga tujuan atau produk akhir
pembangunan :
- Masa hidup (longevity), yang diukur dengan usia harapan hidup
- Pengetahuan (knowledge), yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang
dewasa secara tertimbang (dua pertiga) dan rata-rata tahun bersekolah
(sepertiga)
- Standar kehidupan (standard of living), yang diukur dengan pendapan riil per
kapita , disesuaikan dengan parsial daya beli (purchasing power parity atau
PPP) dari mata uang setiap negara untuk mencerminkan biaya hidup dan
untuk memenuhi asumsi utilitas marginal yang semakin menurun dari
pendapatan.
Pengukuran HDI telah mengalami beberapa perubahan. Di masa lampau, rumus
yang relatif lebih rumit digunakan untuk mengonversi PPP menjadi pendapatan yang
disesuaikan (yang berarti bahwa pendapatan disesuikan demi memenuhi asumsi utilitas
marginal yang semakin menurun. Sekarang kita memperoleh pendapatan yang
disesuaikan hanya dengan menghitung log natural dari pendapatan pada saat ini.
Salah satu keuntungan terbesar dari IPM adalah indeks ini mengungkapkan bahwa
suatu negara dapat berbuat jauh lebih baik pada tingkat pendapatan yang rendah, dan
bahwa kenaikan pendapatan ayng besar dapat berperan relatif kecil dalam pembangunan
manusia. Selanjutnya IPM menunjukan dengan jelas bahwa kesenjangan dalam
pendapatan lebih besar daripada kesenjangan dalam indikator pembangunan yang lain,
paling tidak dalam indikator kesehatan dan pendidikan. IPM juga mengingatkan kita
bahwa pembangunan yang kita maksudkan adalah pembangunan manusia dalam arti luas,
bukan hanya bentuk pendapatan yang lebih tinggi.
Kesehatan dan pendidikan bukan hanya input fungsi produksi (seperti dalam
perannya sebagai komponen modal manusia) namun juga merupakan tujuan
pembangunan yang fundamental. Kita tidak hanya berpendapat bahwa negara yang
mempunyai penduduk berpendapatan tinggi namun tidak terdidik dan mempunyai
masalah kesehatan yang berat sehingga usia harapan hidupnya lebih singkat daripada
negara yang lain di seluruh dunia, telah mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi
daripada negara berpendapatan rendah namun usia harapan hidup dan kemampuan baca
tulisnya tinggi. Indikator kesenjangan pembangunan dan pemeringkatan yang baik harus
memasukan variabel kesehatan dan pendidikan dalam pengukuran kesejahteraan yang
tertimbang dan bukan hanya melihat tingkat pendapatannya saja; dan IPM merupakan
peringkat yang sangat bermanfaat untuk mengukur indikator ini.

2.2 Strategi Pencapaian Tujuan Pembangunan Ekonomi Indonesia


Ada dua cara untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi Indonesia yakni :
1. Makmur dan Adil (Growth and Equity), dan
2. Makmur dengan Adil (Growth with Equity)

2.2.1 Masyarakat Makmur dan Adil


Cara untuk mengukur masyarakat adil makmur adalah dengan cara terpisah antara
masyarakat makmur dan mayarakat adil. Dalam cara ini, semula dikejar kemakmuran
(tingkat pendapatan nasional secara maksimum), setelah kuenasionalnya besar baru
dikejar keadilan (diadakan pembagian pendapatan nasional yang lebih adil, tidak terlalu
timpang. Cara ini adalah cara yang biasa diterapkan di Negara maju. Pertumbuhan
pendapatan nasional dikejar agar terjadi penggunaan sumber produksi yang efisien,
kemudian melalui berbagai kebijaksanaan fiskal dikejar pemerataan. Tujuan pemerataan
ini diusahakan melalui sistem pajak yang progresif disertai dengan sistem kesejahteraan
social yang masif untuk penduduk yang kurang beruntung dalam proses pembangunan
ekonomi. Sistem kesejahteraan sosialnya terlihat dari pos pengeluaran dalam anggaran
belanja negaranya, sangat memihak pada kaum miskin seperti misalnya untuk
pendidikan, kesehatan, bantuan untuk orang tua, dll. Karena kebijaksanaan sosial yang
masif ini kebanyakan Negara yang sebelumnya dikenal sebagai Negara kapitalis,
kemudian dikenal sebagai Negara kesejahteraan seperti Inggris, Negara-negara Eropa
Barat, Kanada, Amerika Serikat, dll. Cara pencapaian tujuan seperti ini biasanya
dianggap berhasil untuk Negara-negara maju karena sistem pajaknya diberlakukan secara
tegas, dan demikian juga sistem bantuan sosialnya. Sistem yang terpisah ini dianggap
tidak cocok untuk Negara berkembang. Pencapaian tujuan pembangunan di Negara maju
biasanya ditandai dengan tingkat pertumbuhan yang sedang ( sekitar 3 5 persen per
tahun ) dengan tingkat ketimpangan yang kecil.

2.2.2 Masyarakat Makmur dengan Adil

Cara pencapaian ini dikenal dengan istilah tujuan makmur dengan adil (growth
with equity objectives). Dasar logika dari pendekatan ini adalah bahwa pembangunan
ekonomi terdiri dari serangkaian proyek pembangunan. Dalam mengimplementasikan
setiap proyek mestinya tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, melainkan
sekaligus mempertimbangkan pembagian keuntungan dari proyek tersebut. Pendekatan
ini disponsori oleh lembaga-lembaga internasional seperti The World Bank, Organisasi
Pembangunan Industri PBB, Organisasi Negara-negara Maju, dll.
Cara pencapaian yang kedua ini telah banyak diperdebatkan di Indonesia pada
tahun 1976. Banyak menteri kabinet waktu itu lebih menghendaki cara pencapaian yang
pertama (pertumbuhan dan pemerataan). Namun, barang kali sebagian disebabkan oleh
tekanan luar negeri, terutama Bank Dunia, pendekatan kedua terpaksa disetujui dan
diterapkan mulai pada Pelita III melalui delapan jalur pemerataan. Sejak Pelita III (1979)
tujuan pemerataan ditempatkan diatas tujuan pertumbuhan. Demikianlah tujuan
pembangunan diimplementasikan pada waktu itu, namun tampaknya tidak begitu lama
setelah itu sampai sekarang, tidak lagi terdengar istilah delapan jalur pemerataan tersebut.
Disamping itu, juga tidak jelas bagaimana ukuran keberhasilan tujuan pembangunan itu
diperoleh, apakah dibiarkan begitu saja terpisah antara tingkat pertumbuhan ekonomi
dengan tingkat ketimpangan pembagian pendapatan. Setelah tahun 1979 tingkat
pertumbuhan pendapatan nasional tidak secara nyata berbeda dari periode sebelumnya.
Demikian juga halnya dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan nasional.
Daftar Pustaka

Você também pode gostar

  • Sap 1
    Sap 1
    Documento8 páginas
    Sap 1
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • SAP 3 Fix
    SAP 3 Fix
    Documento16 páginas
    SAP 3 Fix
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Bab 13
    Bab 13
    Documento8 páginas
    Bab 13
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Sap 2
    Sap 2
    Documento17 páginas
    Sap 2
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • CG Sap 4
    CG Sap 4
    Documento13 páginas
    CG Sap 4
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • CG Sap 8
    CG Sap 8
    Documento22 páginas
    CG Sap 8
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Eka
    Eka
    Documento14 páginas
    Eka
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Sap 2 Alasan
    Sap 2 Alasan
    Documento19 páginas
    Sap 2 Alasan
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Sap 4
    Sap 4
    Documento23 páginas
    Sap 4
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Suharlan Bab II
    Suharlan Bab II
    Documento90 páginas
    Suharlan Bab II
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Utang
    Utang
    Documento4 páginas
    Utang
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Data Revisi Individu
    Data Revisi Individu
    Documento16 páginas
    Data Revisi Individu
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Kasus Sap 12
    Kasus Sap 12
    Documento30 páginas
    Kasus Sap 12
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • EFAS External Factor Analysis Summary
    EFAS External Factor Analysis Summary
    Documento13 páginas
    EFAS External Factor Analysis Summary
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Sap 1 Aja Revisi
    Sap 1 Aja Revisi
    Documento16 páginas
    Sap 1 Aja Revisi
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Analisis Perbandingan
    Analisis Perbandingan
    Documento2 páginas
    Analisis Perbandingan
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Study Kelayakan Bisnis
    Study Kelayakan Bisnis
    Documento12 páginas
    Study Kelayakan Bisnis
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Sap 2 Kelompok 1 - Teori Mendasari GCG
    Sap 2 Kelompok 1 - Teori Mendasari GCG
    Documento10 páginas
    Sap 2 Kelompok 1 - Teori Mendasari GCG
    goufaprs
    Ainda não há avaliações
  • Laporan Interim
    Laporan Interim
    Documento1 página
    Laporan Interim
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Sap 3 Fix
    Sap 3 Fix
    Documento13 páginas
    Sap 3 Fix
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • RMK Akpri Pertanggungjawaban
    RMK Akpri Pertanggungjawaban
    Documento10 páginas
    RMK Akpri Pertanggungjawaban
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Foto Bioenergi
    Foto Bioenergi
    Documento1 página
    Foto Bioenergi
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • SPM Sap 2
    SPM Sap 2
    Documento16 páginas
    SPM Sap 2
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Statistika Peluang
    Statistika Peluang
    Documento3 páginas
    Statistika Peluang
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • RMK Bab 1
    RMK Bab 1
    Documento19 páginas
    RMK Bab 1
    Gita Puspita
    Ainda não há avaliações
  • Sap 2 Fix
    Sap 2 Fix
    Documento13 páginas
    Sap 2 Fix
    Gita Puspita
    Ainda não há avaliações
  • Laporan Keuangan PRSH Dagang
    Laporan Keuangan PRSH Dagang
    Documento6 páginas
    Laporan Keuangan PRSH Dagang
    Ekhachee Ghadiztchilidizt
    Ainda não há avaliações
  • Mankeu
    Mankeu
    Documento4 páginas
    Mankeu
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Sap 1
    Sap 1
    Documento2 páginas
    Sap 1
    Ari Susanti
    Ainda não há avaliações
  • Laporan Interim
    Laporan Interim
    Documento3 páginas
    Laporan Interim
    ARI SUSANTI
    Ainda não há avaliações