Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Khutbah Pertama:
Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam puasa satu bulan
penuh kecuali pada bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau
shallallahu alaihi wa sallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan
dengan puasa beliau shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Syaban.(HR. al-
Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Bukhari, ada riwayat lain, Beliau shallallahu alaihi wa sallam
berpuasa penuh pada bulan Syaban.(HR. al-Bukhari).
Beliau shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Syaban kecuali
sedikit.(HR. Muslim).
Ibadallah,
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam al-Lathaif, dalam Sunan Ibnu Majah
dengan sanad yang lemah dari Ali radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam bersabda, Jika malam nisfu Syaban, maka shalatlah di malam harinya
dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allah Azza wa Jalla turun pada saat
matahari tenggelam, lalu berfirman, Adakah orang yang memohon ampun lalu
akan saya ampuni ? adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri ? (HR. Ibnu
Majah).
Saya mengatakan, Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis kitab
al Mannar. Beliau rahimahullah mengatakan, Yang benar, hadits itu maudhu
(palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang
dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullah dan Yahya bin
Main rahimahullah mengatakan, Orang ini pernah memalsukan hadits.
Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Syaban itu
bukan amalan sunat. Karena berdasarkan kesepakatan para ulama, hukum syariat
tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah
dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur
periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini bisa naik
derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh dijadikan landasan
untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).
Ada beberapa riwayat yang dikomentari oleh Ibnu Rajab rahimahullah setelah
membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan
para ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibban rahimahullah menilai
sebagiannya shahih dan beliau rahimahullah membawakannya dalam shahih Ibnu
Hibban.
Tingkatan Pertama : Shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa melakukannya
diluar malam nisfu Syaban. Seperti orang yang terbiasa melakukan shalat malam.
Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa dilakukannya diluar malam nisfu
Syaban pada malam nisfu Syaban tanpa memberikan tambahan khusus dan
dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini memiliki keistimewaan, maka shalat
yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa. Karena ia tidak membuat-buat suatu yang
baru dalam agama Allah Azza wa Jalla.
Tingkatan Kedua : Shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Syaban. Ini
termasuk bidah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam
yang menyatakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan, atau
mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali
radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullah, Jika malam
nisfu Syaban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya.
Syarat kedua, hadits yang lemah itu menjelaskan suatu yang ada dasarnya.
Misalnya, ada ibadah yang ada dasarnya lalu ada hadits-hadits lemah yang
menjelaskannya sementara kelemahannya tidak parah, maka hadits-hadits lemah
ini bisa memberikan tambahan motivasi untuk melakukannya, dengan
mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa meyakininya sepenuh hati. Artinya,
jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya, sedangkan jika tidak benar,
maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil lain yang dijadikan landasan
utama.
Dan sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk
menunaikan shalat nisfu Syaban, syarat-syarat ini tidak terpenuhi. Karena perintah
ini tidak memiliki dalil yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dan yang lainnya.
Dalam al-Lathaif Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, Begitu juga tentang shalat
malam pada malam nisfu Syaban, tidak ada satu dalil sahih pun dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam maupun dari shahabat. Muhammad Rasyid Ridha
rahimahullah mengatakan, Allah Azza wa Jalla tidak mensyariatkan bagi kaum
Mukminin satu amalan khusus pun pada malam nisfu Syaban ini, tidak melalui
kitabullah, ataupun melalui lisan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga tidak
melalui sunnah beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Keterangan terbaik tentang shalat malam nisfu Syaban yaitu perbuatan sebagian
tabiin, sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathaif, Malam nisfu Syaban
diagungkan oleh tabiin dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh melakukan ibadah
pada malam itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan malam ini
diambil. Ada yang mengatakan,, Riwayat yang sampai kepada mereka tentang
malam nisfu Syaban itu adalah riwayat-riwayat israiliyyat. Ketika kabar ini
tersebar diseluruh negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada yang
menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Syaban,
sedangkan Ulama Hijaz mengingkarinya. Mereka mengatakan, Semua itu
perbuatan bidah.
Tidak diragukan lagi, pendapat yang ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar.
Karena Allah berfirman, yang artinya, Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu. (al-Maidah/5:3). Seandainya shalat malam nisfu
Syaban itu bagian dari agama Allah, tentu Allah Azza wa Jalla jelaskan dalam kitab-
Nya, atau dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melalui ucapan
maupun perbuatannya n . Ketika keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus
ini bukan bagian dari agama Allah Azza wa Jalla . Semua (ibadah) yang bukan
bagian dari agama Allah Azza wa Jalla adalah bidah, sementara ada dalil shahih
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, Semua bidah itu sesat.
Tingkatan Ketiga. Dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu
dan ini dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih parah daripada tingkatan kedua dan
lebih jauh dari sunnah. Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya adalah
hadits palsu. As-Syaukani rahimahullah mengatakan, Semua riwayat tentang
shalat malam nisfu Syaban ini adalah riwayat bathil dan palsu.
Ibadallah,
Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu
pada malam qadar (lailatul Qadar). Allah berfirman.
Haa miim. Demi Kitab (al Quran) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh
hikmah. (ad-Dukhan/44:1-4).
Yaitu pada bulan Ramadhan. Karena Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Quran pada
bulan itu. Allah Azza wa Jalla berfirman,
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Quran. (al-
Baqarah/2:185)
Orang yang mengira bahwa malam nisfu Syaban merupakan waktu Allah Azza wa
Jalla menentukan apa yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah
menyelisihi kandungan al-Quran.
Ibadallah,
Ada sebagian orang yang membuat makanan pada hari nisfu Syaban dan
membagikannya kepada fakir miskin.
Ini yang mereka namakan asyiyatul walidain. Perbuatan ini juga tidak ada dasarnya
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam . Sehingga mengkhususkan amalan ini pada
nisfu Syaban termasuk amalan bidah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dengan sabda beliau shallallahu alaihi wa
sallam ,Semua bidah itu sesat.
Ketahuilah, orang yang membuat kebidahan dalam agama Allah Azza wa Jalla ini
berarti dia telah terjerumus dalam beberapa larangan:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu. (al-Maidah/5:3).
Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai bagian dari agama ini tidak
termasuk agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari
kebidahan ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan).
Kdua: Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allah dan
rasul-Nya.
Ketiga: Orang yang membuat-buat suatu yang baru berarti ia memposisikan dirinya
sama dengan Allah Azza wa Jalla dalam menghukumi manusia. Allah berfirman.
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ? (as-Syuura/42:21)
Khutbah Kedua:
Ibadallah,
Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu
sudah cukup bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah Subhanahu wa
Taala. Allah Azza wa Jalla berfirman,
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, Dengan kurnia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengannya. karuniaa Allah dan rahmat-
Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Yunus/10:57-58).
Dan firman-Nya.
Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan
)celaka. (Thaha/20:123
Akhirnya saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar senantiasa memberikan
petunjuk kepada kami dan kepada saudara-saudara kami kaum Muslimin menuju
shiratul mustaqm dan saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar senantiasa
mengurusi kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha
Dermawan dan Maha Pemurah.
.
.
.
.